BAB III PROYEK TRANSMIGRASI ANGKATAN DARAT II DESA...

23
43 BAB III PROYEK TRANSMIGRASI ANGKATAN DARAT II DESA HANURA DAN PERKEMBANGANNYA TAHUN 1966 SAMPAI 1979 A. Proses Pelaksanaan Proyek Transmigrasi Angkatan Darat II Hanura Tahun 1966 Gambar 1 Lambang Desa Hanura (sumber: Dokumen Desa Hanura) Pelaksanaan Proyek Trans-AD II Hanura telah direncanakan secara matang. Diawali dengan survey yang dilakukan oleh TNI-AD lewat Dinas Transmigrasi Angkatan Darat bekerjasama dengan Departemen Penerangan dan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Republik Indonesia. survey dilakukan sejak bulan April, tahun 1966. Didalam kegiatan survey dilakukan pula mediasi dengan masyaraka Hurun sebagai penduduk asli tentang masalah perizinan pemanfaatan lahannya sebagai tempat pelaksanaan Proyek Trans-AD II Hanura. Masyarakat mendapatkan sosialisasi tentang

Transcript of BAB III PROYEK TRANSMIGRASI ANGKATAN DARAT II DESA...

43

BAB III

PROYEK TRANSMIGRASI ANGKATAN DARAT II DESA HANURA DAN

PERKEMBANGANNYA TAHUN 1966 SAMPAI 1979

A. Proses Pelaksanaan Proyek Transmigrasi Angkatan Darat II Hanura

Tahun 1966

Gambar 1

Lambang Desa Hanura

(sumber: Dokumen Desa Hanura)

Pelaksanaan Proyek Trans-AD II Hanura telah direncanakan secara matang.

Diawali dengan survey yang dilakukan oleh TNI-AD lewat Dinas Transmigrasi

Angkatan Darat bekerjasama dengan Departemen Penerangan dan Dinas Transmigrasi

dan Tenaga Kerja Republik Indonesia. survey dilakukan sejak bulan April, tahun 1966.

Didalam kegiatan survey dilakukan pula mediasi dengan masyaraka Hurun sebagai

penduduk asli tentang masalah perizinan pemanfaatan lahannya sebagai tempat

pelaksanaan Proyek Trans-AD II Hanura. Masyarakat mendapatkan sosialisasi tentang

44

transmigrasi, alasan, dan dampak yang akan tibul setelah adanya transmigrasi. Pihak

TNI-AD dibantu mengambil jalan ganti rugi untuk mengambil alih lahan milik warga

Desa Hurun, agar tidak terjadi sengketa tanah di kemudian hari yang dapat merugikan

kedua belah pihak.

Pada hari Selasa, tanggal 26 Juli 1966, puku 09.00 WIB, setelah rapat pertama

pada tanggal 26 Mei 1966 dilaksanakanlah rapat kedua. Rapat lanjutan antara Kepala

Kampung Hurun, pihak Trans-AD Hanura dan Pejabat Kabupaten lampung Selatan.

Rapat dilaksanakan di Kantor Kabupaten Lampug Selatan. Rapat ini dihadiri oleh

Kepala Kampung Hurun, Hasan Besri (Bupati Lampung Selatan), Ridwan (Wakil

DPRGR Lamsel), Wedana Kantor Kabupaten Lamsel, Camat Teluk Betung, dan Peltu

Jusuf, Dari Pihak Trans-AD dihadiri oleh Mayor Ardan, Mayor Sugito, Letda Ramadi,

Letda Sutikno dan Sukatam. Rapat berjalan diawali pembukaan dari Bupati yang

menyampaikan dan menanggapi tentang adanya pernyataan dari Warga Hurun yaitu;

pertama, tanah yang dipakai untuk Proyek Trans-AD dan tanaman yang ada di atasnya

diganti rugi seluruhnya. Kedua, tentang danya larangan terhadap warga Hurun yang

ingin berladang namun dilarang oleh Kepala Negeri Teluk Betung. Tanggapan Bupati

Lamsel bahwa, Trans-AD akan memanfaatkan tanah di Kampung Hurun yang belum

digunakan atau masih tertutup dan Warga Hurun tetap berladang dan berintegrasi

dengan anggota Trans-AD, kecuali yang bersedia menyerahkannya kepada pihak Trans-

AD. Setelah itu, Kepala Kampung Hurun menyampaikan pernyataan bahwa pada

prinsipnya Warga Hurun menyetujui tanah yang di gunakan untuk Proyek Trans-AD,

45

tetapi hanya tanah yang masih kosong. Warga Hurun tetap dapat berladang dan

berkebun di tanahnya masig-masing walau di dalam batas milik Trans-AD, serta

meminta kepada pihak Trans-AD untuk tidak mengganggu gugat tanah yang sudah ada

hak milik Warga Hurun, jadi hanya tanah milik pemerintah saja yang digunakan.

Pernyataan selanjutnya disampaikan oleh Wakil DPRGR yang menyatakan jika prinsip

rakyat tetap seperti apa yang disampaikan oleh Kepala Kampung, maka Trans-AD tidak

akan mendapatkan lahan. Wakil DPRGR meminta tanah larangan, tanah yang tidak

boleh dijadikan Proyek Trans-AD, dua macam yaitu, tanah berair dan tanah tidak berair.

Terakhir pernyataan disampaikan oleh Mayor Ardan yang menyampaikan bahwa

pendirian Proyek Trans-AD tetap akan dilaksanakan, tanah yang berada di Km 12-14

jalan Tanjung karang-Padang Cermin seluruhnya akan diganti rugi. Mayor Ardan

mempertanyakan dasar jika masyarakat merasa keberatan dan mengapa Warga Hurun

tidak mengajukan keberatannya sejak saat survey dilaksanakan, sejak bulan april sampai

Juli, tahun 1966. Mayor Ardan juga menyampaikan bahwa keberadaan Trans-AD

adalah demi kepentingan masyarakat dan demi kemajuan, serta mengajak rakyat untuk

andil dalam Revolusi. Rapat berakhir pada pukul 12.00 WIB, rapat pada hari itu belum

mendapatkan keputusan, rapat dilanjutkan dengan musyawarah yang dilaksanakan pada

1 Agustus 1966 di tempat Kepala Kampung Hurun.33

33

Arsip Komando Pelaksana Transmigrasi Angkatan Darat Korem 043 Garuda

Hitam, “Salinan Notulen Hasil Rapat Antara Kepala Kampung Hurun, Trans-AD dan

Pejabat Kabupaten Lampung Selatan, Tanggal 26 Juli 1966”, (Lampung: Korem 043

Garuda Hitam, 1966).

46

Musyawarah sebagai kelanjutan rapat sebelumnya dilaksanakan pada hari Senin,

Tanggal 1 Agustus 1966, pukul 11.00 WIB, bertempat di rumah Kepala kampung

Hurun. musyawarah dihadiri oleh Moch. Isa (Kepala Negeri Teluk Betung), Mayor

Ardan (Pihak Trans-AD), Camat Teluk Betung, Bupati Lamsel, dan Wakil DPRGR

Lamsel. Musyawarah diawali dengan pembicaraan oleh Kepala Negeri yang

menyampaikan bahwa telah melakukan tiga kali musyawarah dengan Warga Hurun.

Pembukaan Trans-AD bukanlah kehendak Bupati, Mayor Ardan, Mayor Sugito,

ataupun kemauan Camat, tetapi proyek Trans-AD merupakan kehendak Pemerintah atau

Negara. Kepala Negeri juga menyampaikan, baik dirinya ataupun Kepala Kampung

tidak mendapatkan keuntungan atau menerima uang dari perizinan Proyek Trans-AD.

Pembicaraan dilanjutkan oleh Mayor Ardan yang menjelaskan tentang perjalanan

perjuangan TNI sejak tahun 1945 sampai dengan penumpasan Gestapu PKI. Mayor

Adnan juga menjelaskan tentang alasan dilaksanakannya Trans-Ad. Tujuan

dilaksanakannya Trans-Ad antara lain, untuk menjaga keamanan baik dalam jangka

waktu pendek maupun panjang, memanfaatkan hasil produksi untuk membantu

pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi, dan memajukan daerah-daerah yang

masih tertinggal. Mayor Ardan juga berharap pengertian masyarakat tentang perjuangan

dan pengorbanan jiwa raga TNI yang tidak sedikit. Pembicaraan dilanjutkan oleh Camat

Teluk Betung, menyampaikan tentang usaha-usaha yang telah ditempuh oleh pihak

Trans-AD antara lain, proses merintis, pendirian barak-barak, pendaftaran tanah/cek

ganti rugi, dan pemetaan. Camat juga menyampaikan setuju dan sebuah kewajaran jika

dalam usaha-usaha Trans-AD tersebut terdapat pohon yang ditebang. Bupati Lamsel

47

dan Wakil DPRGR Lamsel dalam musyawarah ini meyakinkan Warga Hanura bahwa

pelaksanaan Trans-AD tidak akan merugikan mereka, justru akan memberikan

keuntungan-keuntungan moril dan materil. Oleh karena itu, masyarakat harus

membantu penyelenggaraannya. Musyawarah berakhir pada pukul 13.30 WIB, tidak

diadakan tanya jawab dan diputuskan pada tanggal 2 Agustus 1966 akan diadakan

Sidang Segitiga antara Kampung Hurun, Trans-AD, dan Pemerintah Daerah Tingkat II

Lampung Selatan.34

Pada tanggal 2 Agustus 1966 yang jatuh pada hari Selasa, pukul 12.00 WIB,

dilaksanakan Rapat Segitiga antara Warga Kampung Hurun, Pemerintah Kabupaten

Lamsel, dan Trans-AD. Rapar dilaksanakan di Kantor Kabupaten Lampung Selatan dan

dihadiri oleh, perwakilan kampung Hurun, Wakil Pemerintah Daerah Tingkat II Lamsel

dan Perwakilan dari pihak Trans-AD. Bupati membuka jalannya rapat dengan

menjabarkan proses kegiatan Trans-AD sejak bulan April sampai dengan pelaksanaan

rapat tanggal 2 Agustus 1966. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan

kegiatan Trans-AD yang disetujui antara lain, pemetaan, pendaftaran/cek ganti rugi, dan

pendiria barak-barak. Persetujuan dilaksanakannya Proyek Trans-AD dengan syarat

yaitu, hak-hak masyarakat tidak dinodai, masyarakat juga memiliki pengorbanan,

masyarakat dapat hidup berintegrasi dengan Trans-AD, dan ada ganti rugi atas lahan

yang digunakan. Sempat terjadi kesalah pahaman antara Kepala Kampung Hurun

34

Arsip Komando Pelaksana I Kementrian Angkatan Darat Korem 043 Garuda

Hitam, “salinan notulen musyawarah dengan Rakyat Hurun, Tanggal 1 Agustus 1966”,

(Lampung: Korem 043 Garuda Hitam, 1966).

48

dengan warganya yang di dalam rapat disampaikan oleh Mad Nuh sebagai perwakilan

Kampung Hurun. Mad Nuh pertama menyampaikan prinsip bahwa masyarakat

menyetujui adanya Trans-AD di Kampung Hurun demi kemajuan. Kedua, Mad Nuh

menyampaikan bahwa Kepala Kampung Hurun tidak pernah memberikan penjelasan-

penjelasan tentang adanya Proyek Trans-AD dengan alasan tidak tahu. Ketiga, meminta

pertimbangan agar masyarakat Hurun tidak kehilangan mata pencaharian bertani dan

berkebun. Ditanggapi oleh bupati Lamsel, prinsip rakyat yang setuju dengan

diadakannya Proyek Trans-AD II Hanura namun tidak ingin tanahnya diganggu gugat

adalah masalah yang ingin diselesaikan dalam rapat tersebut. Pernyataan keberatan

masyarakat yang disampaikan oleh Mad Nuh dianggap telah terlambat, mengingat pihak

Trans-AD telah melangkah jauh untuk melaksanakan proyek ini dan harus mengambil

alih sebagian tanah milik masyarakat Hurun untuk dikorbankan demi pembangunan.

Peltu Jusuf menyampaikan pendapat dari masyarakat Hurun yang berisi agar lahan

yang terkena pembangunan jalan atau bangunan mendapatkan ganti rugi dan sisanya

tetap menjadi milik masyarakat. penyelesaian masalah dalam rapat tersebut disampaikan

oleh Perwakilan Pihak Trans-AD, Mayor Ardan, keputusannya yaitu, Proyek Trans-AD

II Hanura bertempat diantara Km 12-14, jalan Teluk Betung-Padang Cermin. Setiap

masyarakat mendapatkan haknya, penduduk Hurun yang memiliki kebun dan tinggal di

dalam batas wilayah Trans-AD akan diajak hidup bersama, bergotong royong

membangun desa, namun penduduk tersebut hanya boleh memiliki tanah seluas 2 Ha,

sebagian tanahnya diganti rugi oleh Trans-AD. Masyarakat yang tinggal di luar batas

Transad, namun memiliki kebun di dalam wilayah Trans-AD, maka tanah kebun diganti

49

rugi. Masyarakat yang ada di dalam maupun di luar wilayah Trans-AD II Hanura tetap

mendapatkan hak yang sama, masyarakat akan menuai hasil dari apa yang telah

dikorbankan. Perjanjian, batas-batas lahan Trans-AD dan klasifikasi ganti rugi telah

jelas dalam rapat tersebut.35

Pada tanggal 12 Agustus 1966 dilaksanakan Acara

Penyelesaian Tanah-Tanah Masyarakat, diputuskan bahwa Km 12-14 di Kampung

Hurun yang secara resmi menjadi lahan untuk Proyek Trans-AD II Hanura.36

Pembayaran anti rugi tidak langsung dilaksanakan setelah keputusan, Trans-AD masih

melakukan pengukuran-pengukuran dan pembangunan barak-barak untuk tempat

tinggal sementara peserta Trans-AD.

Pada bulan September 1966, anggota Trans-AD II Hanura didatangkan terlebih

dahulu tanpa keluarga dan sementara tinggal di barak-barak untuk membangun rumah

dan fasilitas-fasilitas lain yang dibutuhkan untuk memulai kehidupannya sendiri setelah

didatangkan bersama keluarga dan mengenal keadaan sekitar. Bangunan yang dibangun

antara lain, rumah tempat tinggal Trans-AD, masjid, sekolah SD sampai SMP, Sekolah

Pendidikan Guru (SPG), jalan raya sepanjang 12,5 Km dari Ibu Kota provinsi, kantor

desa, dan lapangan. Pembangunan rumah dan fasilitas-fasilitas lain dibangun secara

gotong-royong.

35

Arsip Dinas Transmigrasi Angkatan Darat Komando Pelaksana I Korem 043

Garuda Hitam, “Salinan Notulen Sidang Segi Tiga Antara Rakyat kampong Hurun,

Pemerintah, Kabupaten Lampung Selatan dan Trans-AD, Tanggal 2 Agustus 1966”,

(Lampun, Korem 043 Garuda Hitam). 36

Arsip Kolak Korem 043 Garuda Hitam, ”Salinan Keputusan Rapat Segi Tiga

Antara Wakil Rakyat Kampung Hurun dengan Pemerintah Kabupaten Lamsel dan

Pihak Trans-AD sebagai sambungan Rapat Umum di Kampung Hurun, tanggal 12

Agustus 1966”, (Jakarta: Korem 043 Garuda Hitam, 1966).

50

Gambar 2

Rumah Anggota Trans-AD II Hanura

(sumber: Dokumen Desa Hanura)

Fasilitas dan permukiman di Desa Hanura pada awalnya dibangun oleh Para

Anggota Trans-AD dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Tembok,

jendela, dan pintu rumah dibuat dengan bahan kayu dan alas rumah masih berupa tanah.

Bangunan kantor kepala desa, sekolah, dan masjid masih menggunakan kayu. Pohon

51

kelapa atau tanaman keras yang lain menjadi patok penanda batas tanah antar rumah

milik Anggota Trans-AD.37

Pada tahun 1967 para anggota Trans-AD II Hanura yang berasal dari Jawa mulai

diberangkatkan bersama keluarga. Pemberangkatan anggota Trans-AD yang berasal dari

Pusat, Kodam Siliwangi, Kodam Diponegoro, Kodam Brawijaya, dan Veteran.

Pemindahan para Anggota Proyek Transmigrasi Angkatan Darat II Hanura dilakukan

secara seremonial. Para anggota TNI-AD yang ikut dalam proyek transmigrasi dilepas

dari kesatuannya melalui upacara kemudian diberangkatkan bersama keluarga

menggunakan kereta yang disebut dengan Kereta Luar Biasa (KLB). KLB merupakan

kereta yang gerbongnya digunakan khusus untuk mengantar para anggota Trans-AD

dari bagian timur Pulau Jawa sampai ke pelabuhan. Anggota Trans-AD diturunkan di

sebuah pelabuhan yang berada di Provinsi Banten, yaitu Pelabuhan Merak. Transmigran

kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal motor. Kapal yang

digunakan adalah Kapal Motor Krakatau, Halimun, dan Bukit Barisan. Pada periode

tersebut baru terdapat tiga kapal yang digunakan untuk penyeberangan dari Pulau Jawa

ke Sumatera. Kapal pengangkut para transmigran bersandar di Pelabuhan Panjang

Provinsi Lampung.

Menginjakan kaki di tanah Lampung, para transmigran melanjutkan perjalanan

dengan menggunakan kendaraan yang telah disediakan yaitu truk-truk yang biasa

digunakan untuk mengangkut para anggota TNI saat bertugas, milik KOREM

37

Wawancara dengan Sukarsono (68 tahun, Kepala Dusun A, Anak dari Pelda.

Purn. Sankardi), Tanggal 15 Maret 2016.

52

043/Garuda Hitam. Dengan mengendarai truk para transmigran melewati jalanan tanah

dan berbatu untuk sampai di lokasi proyek Trans-AD. Tak jarang para transmigran

harus turun dari kendaraan untuk mengeluarkan truk yang tidak dapat berjalan karena

bannya terjebak lumpur. Para anggota transmigran yang dipindahkan masih cukup kuat

berjalan kaki untuk sampai di Desa Hanura.38

Anggota Trans-AD yang berasal dari Kodam Sriwijaya diberangkatkan.

Beberapa anggota menggunakan bus dan sisanya menggunakan truk pasukan milik TNI-

AD. Para anggota Trans-AD yang berasal dari Kodam Sriwijaya didatangkan sehari

sebelum pemberangkatan Anggota Trans-AD dari Jawa. Anggota Trans-AD Kodam

Sriwijaya ditugaskan untuk menysun acara pembukaan Proyek Trans-AD II Hanura

sekaligus menyambut kedatangan para Trans-AD.

Setelah sampai di Desa Hanura pada tanggal 17 Maret 1967, para transmigran

disambut dengan upacara oleh kesatuan KOREM 043/Garuda Hitam di lapangan Desa

Hanura. Suasana haru menyelimuti keluarga anggota transmigran, karena pada waktu

itu Desa Hanura masih berupa wilayah yang dikelilingi oleh hutan lebat dan tempat

tinggal yang disediakan masih berupa bangunan yang terbuat dari kayu dan material lain

dari hutan.39

Tahun 1971 dilaksanakan prosesi ganti rugi oleh Pihak Trans-AD kepada Warga

Hurun yang Tanahnya Terkena Proyek Trans-AD II Hanura berdasarkan ketentuan yang

38

Wawancara dengan Pudiardjo (70 tahun, anak dari Serka. kariman, Kodam

Diponegoro) tanggal 18 April 2016. 39

Wawancara dengan Sitompul (81 tahun, Staf Komando Pelaksana (Kolak)

Trans-AD II) tanggal 14 Maret 2016.

53

telah disepakati pada musyawarah yang pernah dilaksanakan sebelumnya pada tahun

1968. Masyarakat Hurun pada waktu itu meminta peninjauan kembali terhadap nilai

ganti rugi tanah yang telah disepakati, karena telah melewati masa dua tahun sejak

keputusan tanggal 5 September 1966, maka nilai tanah ikut mengalami perubahan.

Pihak Trans-AD menanggapi permintaan masyarakat untuk melakukan peninjauan

kembali dengan diadakan sidang yang dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1968. Sidang

dilaksanakan di ruang DPRGR Lamsel. Pihak Kolak I sebagai pelaksana Trans-AD

menyetujui dan memutuskan adanya peninjauan ulang untuk harga ganti rugi tanah.

Hasil keputusan Kolak I yang disampaikan pada rapat tersebut antara lain: pertama,

Peninjauan kembali harga lama yang akan disesuaikan dengan harga sekarang. Kedua,

dipakai sebagai pedoman dalam penempatan harga hak milik rakyat yaitu tarif

penetapan harga panitia 5 September 1966 dinaikan 3 kali lipat untuk semua jenis hak

milik rakyat yang tanahnya terkena Proyek Trans-AD dengan catatan bahwa harga-

harga ini atau ketetapan panitia tersebut berlaku sampai dengan akhir bulan September

1968, dengan ketentuan bahwa setelah batas waktu tersebut berakhir maka ketetapan

harga tersebut akan ditinjau kembali. Ketiga, semua tanam tumbuh hak milik rakyat

yang blum dibayar tidak dapat diganggu gugat oleh Trans-AD dan masih tetap hak

milik rakyat yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa pemilik tanah dapat

mengambil hasilnya dari tanam tumbuh tersebut. Seluruh anggota rapat menyepakati

keputusan Kolak I Trans-AD.40

40

Arsip Kodam 043 Garuda Hitam, “Berita Acara Peninjauan Kembali Ganti

Rugi Harga-Harga Tanam Tumbuh Milik Rakyat Hurun Tanggal 6 Juli 1968”,

54

Gambar 3. Peta dan Pembagian Kavling Proyek Trans-AD II Hanura

(Sumber: Dokumen Korem 043 Garuda Hitam)

(Lampung: Korem 043 Garuda Hitam, 1968).

55

Desa Hanura berada di atas tanah seluas 600 Ha yang diperoleh melalui proses

ganti rugi dari Desa Hurun. Hampir sebagian areal tanah terdiri atas areal perkebunan

pisang dan bukit-bukit. Ganti rugi lahan dibayarkan oleh Proyek Trans-AD II Hanura

pada tanggal 1 September 1971, dilaksanakan di Madrasah Desa Cilimus, diketuai oleh

Mayor Burhanudin sebagai Kepala Petugas Lapangan Hanura, dalam ganti rugi

mengalami perubahan kenaikan harga menjadi 1,5 kali lipat dari Harga yang disepakati

sebelumnya pada tanggal 5 September 1966 dan peninjauan kembali tahun 1968.

Pembayaran diserahkan kepada 179 warga Hanura yang tanahnya digunakan sebagai

Proyek Trans-AD. Areal tanah yang terkena Proyek seluas 606,40 Ha seharga Rp

13.268.639,67. Ganti rugi tanah baru menyelesaikan 498,65 Ha dan sisanya 107,75 Ha

diselesaikan tanggal 2 September 1971. Pembayaran ganti rugi telah selesai seluruhnya

pada tanggal 6 Desember 1971 dan tanah milik anggota Trans AD II Hanura didata

untuk disertifikasi.

Anggota Proyek Trans-AD II Hanura yang didatangkan merupakan anggota

TNI-AD yang berasal dari enam KODAM dengan rician jumlah sebagai berikut:

KODAM Siliwangi sebanyak 14 KK, KODAM Diponegoro sebanyak 86 KK, KODAM

Brawijaya sebanyak 32 KK, KODAM IV Sriwijaya sebanyak 12 KK, Departemen

Pertahanan Pusat sebanyak 4 KK, dan Veteran sebanyak 9 KK.41

41

Arsip Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, “Proyek Transad Hanura”, (Lampung: Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, 1979).

56

Tabel 1. Jumlah Penempatan Anggota Tiap Dusun Dari Masing-masing KODAM

KODAM KK/DUSUN

A B C D

PUSAT 1 2 1 -

IV SRIWIJAYA 5 2 2 5

VI SILIWANGI 7 4 1 3

VII DIPONEGORO 23 20 23 17

VIII BRAWIJAYA 3 9 10 8

VETERAN - 4 2 4

(Sumber: Dokumen Desa Hanura tahun 1966)

Pembagian tanah kavling untuk dijadikan rumah dan pekarangan milik anggota

Trans-AD di tiap dusun dilakukan secara acak. Hal ini bertujuan agar setiap anggota

Trans-AD bisa saling berbaur dan bergotong-royong membangun lingkungan dusunnya.

Berdasarkan tabel, anggota Trans-AD II Hanura paling banyak berasal dari KODAM

VII Diponegoro dan yang paling sedikit berasal dari Pusat.

B. Proses Adaptasi Masyarakat Proyek Trans-AD II Hanura dengan Masyarakat

Sekitar dan Penyerahan Kepada Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Tahun

1979

Para Anggota Trans-AD II Desa Hanura dalam kurun waktu 1967 sampai 1979

berhasil membangun permukiman dengan fasilitas-fasilitas yang memadai dan

membangun struktur birokrasi dan administrasi pemerintahan desa yang berstatus

berdiri sendiri dan bertingkat Desa Swadaya. Fasilitas yang dibangun oleh Proyek

Trans-AD II Desa Hanura yaitu rumah tempat tinggal Trans-AD yang berjumlah 157

unit, rumah guru 25 unit, rumah petugas 2 unit, masjid, poliklinik, sekolah SD sampai

57

SMP, Sekolah Pendidikan Guru (SPG), bangunan kapel, Bangunan buller, jalan raya

sepanjang 12,5 Km dari ibu kota provinsi, kantor desa, pasar, dan lapangan.42

Pada tahun 1969 di Sungai Way Cilimus pernah dibangun bendungan kecil

untuk mengairi sawah milik warga Hanura, namun tidak bisa digunakan dengan

maksimal karena debit air yang kecil. Oleh karena itu, Desa Hanura tidak memiliki

banyak lahan persawahan.43

Beraneka ketegangan dapat timbul di daerah transmigrasi karena perbedaan

pendidikan dan keterampilan,oleh karena para transmigran merebut kedudukan-

kedudukan yang lebih baik dan lebih menguntungkan daripada penduduk setempat.44

Ketegangan ataupun konflik antara masyarakat Trans-AD Hanura dengan masyarakat

asli tidak terjadi sama sekali sejak kedatangan para anggota Trans-AD. Konflik yang

terjadi di daerah transmigrasi biasanya disebabkan oleh pengambil alihan lahan yang

tidak tuntas dan perencanaan pembangunan hanya memperhatikan sektor pertanian,

namun kurang memperhatikan sektor keamanan dan pendidikan.

Sejak tahun pertama penempatan, anggota Trans-AD yang belum pensiun masih

melaksanakan apel dan patroli rutin setiap pagi dan sore hari untuk menjaga keamanan.

Patroli rutin dilakukan untuk mencegah adanya gerakan-gerakan yang bersifat radikal

42

Arsip Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, “Proyek Transad Hanura”, (Lampung: Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, 1979). 43

Wawancara dengan Sukarsono (68 tahun, Kepala Dusun A, Anak dari Pelda.

Purn. Sankardi), tanggal 12 Maret 2016. 44

Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Transmigrasi di Indonesia 1905-

1985, (Jakarta: UI Press, 1985). Hlm. 225.

58

yang dianggap mengancam kedaulatan NKRI di tengah masyarakat, seperti lahirnya

paham komunis.

Pembangunan infrastruktur seluruhnya selesai dibangun, fasilitas pendidikan

yang ada langsung digunakan oleh para anggota Trans-AD untuk menaikkan status

sosial keluarganya. Pada tahun 1968, dilakukan penambahan oleh pihak Trans-AD,

yaitu mendatangkan beberapa tenaga guru dan pegawai dari Jawa untuk menyokong

fasilitas yang telah dibangun. Jumlah Pegawai dan Guru di datangkan sebanyak 41 KK,

dan pengikut (Panitia Trans-AD) 127 KK, jumlah total keseluruhan Peserta Trans-AD II

Hanura adalah 325 KK atau 2.234 jiwa. Sekolah Tingkat Kanak-kanak yang masih

berstatus swasta, dibina langsung oleh ibu-ibu anggota PKK. Tercatat 29 murid yang

bersekolah dengan jumlah guru sebanyak dua orang. Sekolah Dasar yang telah berstatus

negeri mendapatkan murid sebanyak 700 orang dengan jumlah guru 15 orang. Sekolah

Menengah Pertama Hanura mendapatkan 240 orang murid dengan jumlah guru

sebanyak 9 orang. Pada tahun awal pembangunan desa, Desa Hanura belum memiliki

Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah Pendidikan Guru (SPG) menjadi pilihan untuk

masyarakat melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari SMP. SPG mendapatkan 103

murid dengan jumlah guru sebanyak 12 orang.

Terletak di Km 12 sampai Km 14 jalan raya Teluk Betung-Padang Cermin. Desa

Hanura pada masa awal Proyek Trans-AD masih termasuk dalam Kecamatan Panjang,

Kabupaten Lampung Selatan. Daerah territorial KODIM 0410/ Lampung Selatan,

KOREM 043/ Garuda Hitam, dan KODAM IV/Sriwijaya. Luas wilayahnya dibagi

59

menjadi, pekarangan 117,75 Ha, Tanah Publik kavling guru dan tanah cadangan 286

Ha, dan perladangan 196,25 Ha. Sebagian desar wilayah merupakan perkebunan, tanah

kering, dan perbukitan.

Agama merupakan salah satu pengaruh dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

Agama dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi individu dalam hubungan

sosialnya. Agama terdiri atas beberapa unsur pokok, yaitu kepercayaan agama sebagai

suatu prinsip yang dianggap benar dan tidak diragukan lagi. Simbol agama, yaitu

identitas agama yang dianut umatnya. Praktik keagamaan merupakan hubungan vertikal

antara manusia dengan Tuhan, dan hubungan horizintal antara manusia dengan manusia

sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Pengalaman keagamaan, yaitu berbagai bentuk

pengalaman keagamaan yang dialami oleh pemeluk agama secara pribadi. Di Indonesia

terdapat enam agama yang diakui secara resmi, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu,

Budha, dan Konghuchu.45

Penduduk Lampung sudah mulai menganut Agama Islam sejak abad ke-16.

Agama Islam di Lampung berasal dari Sumatera Barat dan Aceh yang merupakan

pendatang yang melakukan perdagangan di daerah bagian Selatan Sumatera. Agama

lain yang sudah menyebar di Lampung adalah Kristen yang dibawa oleh saudagar-

saudagar dari Cina.46

Masyarakat transmigran dengan mudah hidup berdampingan

45

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta:

Gramedia, 1974), hlm. 137-142. 46

Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043 Garuda

Hitam, “Proyek Transad Hanura”, (Lampung: Komando Resor Militer 043 Garuda

Hitam, 1979), hlm. 28

60

dengan penduduk asli, karena masyarakat Desa Hurun mayoritas menganut agama

Islam.

Masyarakat Desa Hanura pada awal kedatangannya masih menerapkan budaya

tradisional yang dibawa dari Pulau Jawa dalam kesehariannya. Nilai budaya yang

berpengaruh disebut dengan adat istiadat. Adat istiadat merupakan kebiasaan atau pola

perilaku tradisional masyarakat yang menerapkan kebudayaan tertentu. Adat adalah

kebiasaan yang dilakukan dan menjadi norma dalam masyarakat. Adat membentuk pola

perilaku masyarakat di dalam suatu wilayah. Adat istiadat mengandung aturan-aturan,

nilai dan pengetahuan yang saling berkaitan. Adat istiadat memiliki fungsi sebagai

pedoman tertinggi dalam bersikap dan berprilaku bagi seluruh masyarakat.

Masyarakat Desa Hanura masih melaksanakan beberapa upacara-upacara

tradisional. Upacara keagamaaan yang masih sering dilaksanakan di Desa Hanura

adalah Upacara Selametan. Upacara Selametan umumnya dapat digolongkan sesuai

dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari seperti perkawinan,

kelahiran, kematian, bersih desa, tolak bala dan lain-lain.47

Pada tahun 1966 para transmigran menempati permukiman barunya, berbaur

dengan masyarakat dan mengembangkan kesenian yang dibawa dari jawa, pulau asal

penduduk Hanura. Alasan transmigran tetap melestarikan kesenian Jawa adalah untuk

memupuk rasa persaudaraan diantara para trasmigran sendiri dan masyarakat yang

47

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,

1979), hlm. 340.

61

tinggal di sekitar desa. Pertunjukan seni juga menjadi sarana hiburan di tengah aktivitas

sehari-hari masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani dan nelayan.

Pertunjukan seni digelar disebuah bangunan balai desa yang telah dibangun oleh

anggota Trans-AD beserta fasilitas-fasilitas yang cukup mendukung. Gedung balai desa

berada tepat bersebelahan dengan Kantor Kepala Desa Hanura. Pertunjukan yang

ditampikan, yaitu karawitan khas Jawa Tengah oleh kelompok kesenian yang dibentuk

oleh anggota Trans-AD II. Balai desa pernah digunakan menjadi tempat ibadah

sementara untuk para anggota yang beragama Kristen dan Katolik.

Kebudayaan dari daerah yang dibawa oleh masyarakat Trans-AD juga ikut

berkembang di tengah masyarakat khususnya kesenian. Masyarakat mengembangkan

kesenian Karawitan Jawa, Gendang Pencak dari Jawa Barat, dan Orkes keroncong. Di

Desa Hanura juga disediakan balai desa yang terletak disebelah kantor kepala desa.

Balai desa digunakan untuk mempertunjukan kesenian-kesenian yang ada dan sebagai

sarana pengakraban antara masyarakat asli dengan masyarakat Trans-AD.

Perekonomian transmigran semakin membaik, hanya ada beberapa anggota yang

memiliki ekonomi lemah, karena berasal dari veteran dengan uang pensiun yang sangat

kecil. Terkadang terjadi kegiatan perjudian yang dilakukan masyarakat akibat

terpengaruh budaya negatif dari kota atau desa sekitar. Masih terdapat perkebunan

penduduk yang administrasinya tunduk kepada Kepala Kampung di luar proyek. Hal ini

menyulitkan pembinaan desa. Belum adanya penegasan mengenai status tanah-tanah

62

pantai menyebabkan keraguan untuk mengolah tanah-tanah tersebut.48

Dibentuk pula

sebuah lembaga sebagai pembantu sarana perekonomian masyarakat yaitu Koperasi

Unit Desa (KUD) yang bergerak pada bidang perdagangan, simpan pinjam, pelayanan

Bimas, Inmas, dan telah berbadan Hukum. Lembaga KUD hanya terdapat pada Proyek

Trans-AD I Poncowati dan Hanura.49

Pada tahun 1979, proses pembagian tanah, baik tanah pekarangan maupun tanah

garapan telah selesai seluruhnya dan masing-masing anggota transmigran telah

menerima sertifikat. Tanah kavling pekarangan dan garapan untuk Trans-AD II Hanura

adalah seluas 2 Ha per Kepala Keluarga, dan jumlah sertifikat yang terbagikan adalah

319 buah sertifikat. Sertifikat tanah untuk warga Trans-AD II Hanura dan batas-batas

Desa dipasangi patok-patok oleh Direktorat Agraria. Proses sertifikasi tanah terjadi

melalui beberapa proses musyawarah yang cukup panjang dengan warga Hurun, karena

ada wilayah yang belum sepenuhnya mendapatkan ganti rugi.

Rencana akan pembangunan pangkalan TNI Angkatan Laut di Padang Cermin

pada tahun 1980-an menjadi salah satu faktor bertambahnya jumlah penduduk di Desa

Hanura. Masyarakat Padang Cermin yang tanahnya diambil alih kebanyakan memilih

untuk pindah dan membeli tanah milik warga Hanura yang sebagian dijual untuk

48

Arsip Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, “Laporan Singkat Perkembangan dan Permasalahan Proyek Desa

Transmigrasi Angkatan Darat Di Lampung”, (Lampung: Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, 1979), hlm. 7. 49

Arsip Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, “Proyek Transad Hanura”, (Lampung: Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, 1979).

63

dibangun tempat tinggal. Tanah-tanah tersebut dijual oleh penduduk Desa Hanura

setelah mendapatkan sertifikat tanah dari pemerintah.

Pada tahun 1979 terjadi kasus penyakit Malaria yang menyerang penduduk.

Akibat pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Penyakit ini ditularkan oleh vektor

nyamuk (Anopheles betina) malaria yang semula banyak ditemukan di daerah rawa-

rawa. Tambak udang yang sudah tidak berfungsi karena pemilik berganti mata

pencaharian, kemudian terbengkalai dan menjadi sarang tempat berkembangbiak

Nyamuk Malaria. Dalam laporan tidak disebutkan secara pasti jumlah warga yang

terserang penyakit malaria, namun penyakit ini menjadi masalah yang serius di dalam

wilayah Kecamatan Padang Cermin. Dilakukan penanganan dan pengawasan oleh Dinas

Kesehatan kabupaten Lamsel untuk megurangi penyebaran penyakit malaria tersebut

agar tidak semakin meluas.50

Kordinator Pelaksana lapangan, KOREM 043 Garuda Hitam secara resmi

membentuk Pemerintahan Desa Trans-AD II Hanura. Sebagai Kepala Pemerintahan

Desa Pertama ditunjuklah Mayor Mariyo dengan mempertimbangkan umur dan pangkat

yang tertinggi kala itu dan sebagai sekretaris desa ditunjuk Soepriyanto. Sebagai Kepala

dusun diperintahkan kepada salah satu anggota yang memiliki pangkat tertinggi di tiap

dusun. Nama-nama kepala Dusun Desa Trans-AD II Hanura antara Lain, Dusun A

dipimpin oleh Mayor Marijo, Dusun B oleh Katriman, Dusun C oleh Sarwan, dan

Dusun D oleh Peltu ST. Sulaiman. Melihat usia dan kemampuanya telah menurun,

50

Mardiana dan Dwi Fibrianto, ”Hubungan Karakteristik Lingkungan Luar

Rumah Dengan Kejadian Penyakit Malaria”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 5

(1), (Semarang: Kemas, 2009), hlm. 12.

64

maka Mayor Mariyo melepaskan jabatannya sebagai kepala Desa Hanura pada tahun

1967 dan digantikan oleh Kapten William Corne sampai tahun 1969.

Pada tahuin 1969 merupakan proses awal Demokrasi dalam suksesi Kepempinan

Desa, pemilihan Kepala Desa Trans-AD II Hanura dilaksanakan, Kopral satu Tugio

terpilih Sebagai Kepala Desa, namun dalam perjalanan memimpin Desa Hanura, pada

bulan November tahun 1971, Kopral Satu Tugio meninggal dunia. Kepemimpinan Desa

diteruskan oleh bapak Pembantu Letnan Satu Sankardi sampai tahun 1972. Periode

1972–1977 Desa Trans-AD II Hanura kembali melaksanakan pemilihan kepala desa

baru, dan terpilihlah sersan Mayor Sularno. Kemudian pada Periode 1977–1982

diadakan pemilihan kepala desa yang ke tiga kalinya, terpilihlah Pembantu Letnan Satu

Enan Setiyadi untuk menjabat Kepala Desa Trans-AD II Hanura. Namun ditengah

perjalanan kepemimpinannya Pembantu Letnan Satu Enan Setiyadi meninggal dunia

pada bulan September 1978, dan Pemerintahan Desa diteruskan oleh Sersan Mayor

Supardi sebagai Pejabat Kepala Desa Trans-AD II Hanura sampai tahun 1980.51

Pada tanggal 27 Desember 1978 berdasarkan Surat Perintah Panglima Komando

Daerah Militer II Sriwijaya Nomor: SPRIN/2549/XII/1978, seluruh Proyek

Transmigrasi Angkatan Darat di Propinsi Lampung (6 Proyek Transmigrasi) yaitu,

Poncowati, Hanura, Purnama Tungal, Bandar Agung, Bandar Sakti, dan Tanjung Anom

diserahkan pengelolaanya kepada Pemerintah Daerah Propinsi Lampung. Serah terima

51

Arsip Komando Daerah Militer IV Sriwijaya dan Komando Resor Militer 043

Garuda Hitam, “Sejarah Singkat Proyek-Proyek Transmigrasi Angkatan Darat (Trans-

AD) Di Daerah Lampung”, (Lampung: Komando Resor Militer 043 Garuda Hitam,

1979), hlm. 16.

65

Proyek Transmigrasi dilakukan secara seremonial pada tanggal 14 Februari 1979 di

Desa Poncowati yang merupakan Proyek Trans-AD I. Di bawah kepemimpinan

Pembantu Letnan Dua M. Gunung dari tahun 1980–1990 Desa Trans-AD II Hanura

kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, dibawah

pembinaan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, dengan status Desa Swadaya.

Semenjak diberlakukannya pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Kabupaten

Lampung Selatan, maka penyelenggaraan Pemerintah Desa mengacu pada Undang-

Undang No.5 tahun 1979, oleh karena itu suksesi kepemimpinan desa segera

dipersiapkan sesuai dengan UU yang berlaku.