BAB III PERGESERAN GELAR KEBANGSAWANAN DI...
Transcript of BAB III PERGESERAN GELAR KEBANGSAWANAN DI...
-
BAB III
PERGESERAN GELAR KEBANGSAWANAN
DI SUMBA TIMUR
A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
1. Lokasi dan Lingkup Alam
Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten di pulau Sumba dari tiga
kabupaten lainnya (Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan
Kabupaten Sumba Barat Daya) yang termasuk di dalam wilayah Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT).
Luas Wilayah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2010, 7.000,5 Km2 atau
700.050 Hektare (luas daratan). Kabupaten Sumba Timur memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut:1
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sabu.
-
Gambar 1.
Kabupaten Sumba Timur
Kabupaten Sumba Timur terdiri dari dua puluh dua (22) kecamatan, yakni:
1) Kecamatan Haharu
2) Kecamatan Kahaungu Eti
3) Kecamatan Kambata
Mapambuhang
4) Kecamatan Kambera
5) Kecamatan Kanatang
6) Kecamatan Karera
7) Kecamatan Katala Hamu
8) Kecamatan Kota Waingapu
9) Kecamatan Lewa
10) Kecamatan Lewa Tidahu
11) Kecamatan Mahu
12) Kecamatan Matawai Lapau
13) Kecamatan Ngadu Ngala
14) Kecamatan Nggaha Oriangu
15) Kecamatan Paberiwai
16) Kecamatan Pahunga Lodu
17) Kecamatan Pandawai
18) Kecamatan Pinu Pahar
19) Kecamatan Rindi
20) Kecamatan Tabundung
21) Kecamatan Umalulu
22) Kecamatan Waijelu
-
Seperti umumnya iklim di daerah Nusa Tenggara Timur, iklim di
Kabupaten Sumba Timur ditandai oleh musim kemarau yang panjang dari Maret
sampai November, angka curah hujan yang tidak menentu di mana curah hujan
relatif lebih rendah dari pada musim kemarau serta keadaan tanah yang berbatu
karang dan keadaan wilayah yang terjal. Sedangkan temperatur udara pertahunnya
antara 26 0 sampai dengan 32 0 Celcius. Berdasarkan data tersebut maka tampaklah
daerah tersebut merupakan daerah yang panas dan kering.
2. Penduduk
Mengenai asal-usul orang Sumba, penulis tidak bisa menyimpulkan secara
pasti karena penelitian yang menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang hal ini
belum dilakukan secara mendalam. Namun dalam pemahaman umum, orang
Sumba berasal dari Malaka-Tana Bara, Napa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa-Ndua
Njawa, Ruhuku-Mbali, Ndima-Makaharu, Endi -Ambarai, Enda-Ndua, Haba-Rai
Njua. Jadi mereka masih ingat kedatangan mereka dari Semenanjung Malaka,
Tanabara (Singapura), Riau, Jawa, Bali, Bima, Makassar, Ende (Roti), Ndau
(Dao), Haba (Seba/Sabu) dan Raejua.2 Mereka datang berkelompok-kelompok,
mendarat di Tanjung Sasar jembatan batu. Dengan kata lain menurut tradisi dan
dalam panggung sejarah suku Sumba berasal dari sekumpulan imigran-imigran
yang datang dengan beberapa gelombang yang kemudian tersebar ke seluruh
bagian pulau Sumba sesuai dengan kelompok-kelompok.
-
!
Kelompok-kelompok itu kemudian dikenal sebagai kabihu-kabihu3 utama
yang kemudian melahirkan sub-sub kabihu. Setiap paraingu4 mempunyai kabihu
utama. Paraingu mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat
Sumba. Dimana, di sanalah mereka berdiam, dan di sanalah adat-isitiadat, ritus
atau ritual keagamaan diselenggarakan. Kegiatan social, ekonomi, politik
(pemerintahan), keagamaan dan kebudayaan berpusat di dalam paraingu.
Paraingu merupakan salah satu bentuk ikatan persekutuan masyarakat Sumba.5
Berdasarkan hal diatas penduduk asli Sumba berasal dari cerita-cerita yang
nampak dalam lagu atau baitan-baitan yang dipelihara dari cerita mulut kemulut
tanpa ada satu dokumen atau bukti ilmiah yang diuji dalam tataran empiris atau
ilmu pasti.
Dari data statistik yang diperoleh dari Kantor Statistik Kabupaten Sumba
Timur, jumlah penduduk kabupaten Sumba Timur adalah 231.393 jiwa,6 dengan
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 119.079 jiwa dan penduduk perempuan
sebesar 112.314 jiwa. Dari data tersebut dilihat dari jenis kelamin, tidak seimbang
karena dalam 100 jiwa penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki.
Penduduk Sumba Timur terdiri dari berbagai etnis, yakni Sumba, Sabu,
Jawa, Flores, Timor, Alor, China, Bali, dan etnis lainnya. Etnis Sumba adalah
Etnis yang mendominasi, sedangkan yang menempati urutan kedua adalah etnis
Sabu. Pada umumnya masyarakat Sumba Timur memiliki mata pencaharian
sebagai petani dan peternak. Masih adanya penduduk yang hidup dari ladang atau
"# $$%# %"&&$&$
%%"%'%"&&%'%"# (&&$)&*$
&*%# %*&$$+# ,&$# -. # / ,$0$$&&'1*1# *2# !!
-
kebun yang berpindah-pindah dan juga beternak. Tercatat sebanyak 60.955 jiwa
yang menggeluti kedua pekerjaan utama ini. Yang menguasai perdagangan
adalah etnis China, Sumba Barat Daya, Sabu dan Jawa. Namun dalam hal
kedudukan dalam pemerintahan, etnis Sumba lebih mendominasi dalam hal ini
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini bukan berarti etnis lain tidak mendapat
kedudukan, etnis Sabu, Jawa, dan etnis lainya juga mendapatkan tempat dalam
pemerintahan. Banyaknya PNS menurut Dinas/ Instansi Pemerintah di Sumba
Timur/ 2010, berjumlah 3.426 jiwa, ini belum termasuk 2.239 guru didalamnya.
3. Stratifikasi Sosial di Sumba Timur
Masyarakat Sumba Timur mengenal stratifikasi social dalam bentuk kasta.
Untuk itu ada baiknya kita melihat terbentuknya gelar-gelar dalam kasta tersebut.
Dalam panggung sejarah, masyarakat Sumba Timur terbagi dalam empat (4)
golongan atau stratifikasi social. Golongan-golongan tersebut yaitu: ratu (imam),
maramba (bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (hamba).
Namun tidak ada bukti empiris yang menjelaskan kemunculan stata ini,
karena dari beberapa document yang sudah ada, hanya menjelaskan penentuan
dan pembagian dalam kabihu sudah ditetapkan sejak dahulu kala bersama-sama
dengan kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing dalam masyarakat.7
Sekarang pada umumnya masyarakat Sumba hanya mengenal tiga (3)
golongan.8 Golongan pertama, maramba (bangsawan) terdiri dari dua kelompok,
. # ,&3 "# $"1# *&%% # %%" # # "
# # # 4#
)')"**%) *$3
%# & & )# *+*& # # *# &%% &$
-
yaitu maramba bokulu (bangsawan besar/tinggi) dan maramba kudu (bangsawan
kecil/biasa). Disebut bangsawan besar karena ditentukan oleh asal-usulnya, yaitu
keturunan murni bangsawan. Dikatakan murni karena bangsawan memelihara
keaslian darahnya dengan menikahi sesama bangsawan besar. Biasanya mereka
menjaga hubungan darah dengan memberdayakan sistem pernikahan anak tuya.9
Mereka juga memelihara keaslian darah dengan menjalin hubungan kekeluargaan
dan kekerabatan antar golongan mereka dengan memberlakukan pernikahan antar
kampung pemberi perempuan dan kampung yang menerima perempuan.
Mereka inilah yang memimpin dan menjadi raja. Sedangkan maramba
kudu, dibagi lagi kedalam dua kelompok, maramba mandamu dan maramba
kalawihi (anak hamba). Maramba mandamu adalah bangsawan yang dihasilkan
karena adanya perkawinan laki-laki bangsawan besar dengan golongan kabihu
(orang merdeka), sedangkan maramba kalawihi ini adalah hasil perkawinan anak
laki-laki bangsawan besar dengan golongan ata (hamba). Bangsawan mandamu
dapat menjadi maramba bakulu apabila menikah dengan seorang yang berasal dari
golongan maramba bakulu. Perkawinan ini akan mungkin terjadi apabila orang
yang termasuk golongan maramba mandamu ini adalah seorang yang kaya.10 Lain
halnya dengan perkawinan perempuan dari golongan maramba bokulu dengan
laki-laki golongan orang merdeka ataupun hamba, anaknya pasti akan turun
derajatnya.11
&%%$)# &&%%$. 3 4&5# *
&6!&)$3 3 4&0( # *%7 %&
6!& !" ! "
,! "%# $$# )&$6'&$&
# # )# &$&'"!. # / -
. 3 4&5# *# %&&!6!
-
Golongan bangsawan ini memakai gelar tertentu di depan namanya.
Seorang laki-laki memakai gelar Umbu atau Tamu Umbu dan perempuan bergelar
Rambu atau Tamu Rambu. Umbu Nai dan Rambu Nai juga sering menjadi nama
bangsawan. Maramba ini adalah pemimpin yang mampu mengayomi masyarakat.
Adapun istilah yang menggambarkan keberadaan bangsawan ini, Ina
Mangu Tana, Ama mangu luku (Ibu yang mempunyai tanah, Bapak yang
mempunyai Sungai). Mereka ini adalah orang yang mampu mengayomi baik
secara fisik maupun fisik.12 Para bangsawan ini memiliki tugas, tanggung jawab,
dan kewajiban untuk melindungi dan memberi kesejahteraan terhadap warga
kampungnya. Hal ini karena pada zaman dahulu terjadi perang dimana-mana,
maka siapa yang mampu memberikan perlidungan, siapa yang mampu berkuasa
dan kuat merekalah yang menjadi maramba. Mereka menguasai segala aspek
kehidupan masyarakat pada saat itu. Entah ekonomi, hukum dan sebagainya.
Raja Pau Oemboe Ngikoe mengatakan,
butuh tenaga yang cukup ekstra untuk menjadi raja, karena
harus sanggup menjadi tempat pelarian dan memberikan jalan
keluar bagi semua masalah yang dialami oleh rakyat sekitar,
menjadi tempat perlindungan, menggauli, merangkul dan
sebagainya.
Dalam urusan domestic dan ritual adat pernikahan atau kematian,
perlakuan kepada mereka pun berbeda. Misalnya, dalam hal menyuguhan gelas,
. 3 4&5# * &6!&&8$
03 # *&6!
-
,
piring dan sendok. Mereka juga mempunyai hamba yang terus ada mengikuti
mereka.
Golongan kedua adalah golongan kabihu (orang merdeka). Golongan ini
dibagi kedalam dua (2) kelompok, yaitu kabihu bakulu (orang merdeka besar) dan
kabihu kudu (orang merdeka kecil). Mereka ini berada di bawah raja, namun
mereka, Kabihu bakulu dapat bertindak untuk turut membantu raja dalam
mengambil keputusan. Bisa dikatakan mereka adalah rekan kerja raja namun tidak
berada dibawah kekuasaan raja.
Kelompok orang merdeka besar dapat bertindak dalam hal-hal tertentu
sebagai penasihat golongan bangsawan. Mereka bertindak sebagai pemimpin
perang (makaborang) dalam suatu peperangan. Oleh karena itu mereka diberi
gelar penopang negeri dan pengampu padang (tulaku paraingu-lindiku marada).13
Keberadaan status kabihu saat bekerjasama dengan raja, nampak dalam
setiap paraingu yang ada di Sumba Timur. Setiap paraingu, pasti mempunyai
empat (4) kabihu besar yang membantu raja. Misalnya, dalam kampung Pau14,
kabihu Ana mandua (sebutan kabihu raja) didukung oleh 4 pilar besar kabihu
pendukung, yakni: Katorak-Raurara-Polamidu-Watubara, dalam kampung
Rindi15, kabihu Anamburu (sebutan kabihu raja) didukung oleh 4 pilar besar
kabihu pendukung, yakni: Kihi-Kaburu-Katinahu-Mahuara, mereka ini mewakili
40 kabihu yang ada di Rindi Umalulu.16 Sama halnya pula dengan kampung
!" # $%&$'
,# &$# "(# $)$&)$"
%)($# $0("# # # $ # *%7 %"(# (*$*
%909 1# *2# -(# &$# "(# $)$&)"$"$#
$:$$%$". 3 4&5# * # *%# *&6!
-
-
Lambanapu17, dengan 4 kabihu pendukung: Honda-Anakaku-Anakariung-Luku
tana, mereka ahli pikir raja.18 Dan berbagai kampung lainnya. Mereka juga punya
hamba, namun pengaruh mereka dalam masyarakat kurang. Adapun kelompok
mereka yang kaya adapula yang miskin.
Golongan ketiga adalah ata. Ata ini juga terbagai kedalam dua (2)
kelompok. Ata ndai (hamba pusaka) dan ata bidi (hamba baru). Hamba pusaka
diyakini sebagai golongan yang sudah bersama dengan tuannya sejak nenek
moyang orang Sumba datang ke Sumba. Di Sumba mereka mengambil hamba lagi
dari penduduk yang telah berada di Sumba. Kelompok semua hamba ini disebut
ata bokulu (hamba besar). Kedudukan mereka sangat istimewa. Mereka menjadi
jurubicara, bendahara, pengawal kepercayaan tuannya, bahkan tuannya
memberikan sejumlah ternak untuk dipeliharanya. Oleh karena itu, mereka
dihormati oleh masyarakat seperti menghormati tuannya. Sering kali mereka lebih
kaya dibandingkan orang merdeka besar. Sedangkan ata bidi, adalah hamba baru
yang tidak termasuk anggota rumah raja atau bangsawan. Kelompok hamba ini
disebut ata kudu (hamba kecil). Mereka menjadi hamba karena dibeli disebut ata
pakei (hamba belian) dan menjadi hamba karena menjadi tawanan dalam
peperangan. Biasa disebut ata payappa (hamba tawanan). Mereka ini hanya
memiliki nilai ekonomis bagi tuannya, karena mereka menggarap ladang dan
sawah serta menjaga dan memelihara ternak tuannya. Di samping itu terdapat pula
ata ngandi (hamba bawaan). Hamba ini adalah hamba yang diberikan oleh orang
tua perempuan atau laki-laki kepada anak mereka ketika mereka menikah. Ata
)$)$# "*&&&)%&1# *2#
. 3 4&0(5# *7 %&6!
-
ngandi ini pada umumnya berasal dari golongan hamba pusaka.19 Hidup, mati,
dan perkawinan mereka diatur oleh maramba.20
Hubungan antar ketiga struktur sosial diatas awalnya terjalin dengan baik.
Raja tempat berlindung, mengatur segala kehidupan politik, ekonomi hukum,
yang juga dibantu oleh orang merdeka sebagai penasehat yang membantu
bangsawan. Segala keputusan pun demi kepentingan bersama. Mereka hidup
dalam satu paraingu, ada juga yang di luar paraingu, namun tetap terikat dalam
satu hubungan kekeluargaan yang mengikat mereka dalam kampung mereka.
Misalnya orang merdeka ada yang bertempat tinggal di luar kampung, namun
mereka sering dipanggil oleh bangsawan untuk berembuk tetang masalah yang
mereka hadapi bersama. Orang merdeka ini berada di luar kekuasaan raja,
misalnya hendak menikah, makan dan berbagai kebutuhan jasmani lainnya. Orang
merdeka sering meminta bantuan kepada bangsawan untuk mendapatkan
perlindungan dan berbagai masalah lainnya. Demikian pun hubungan dengan
bangsawan dan hamba. Hamba ini dalam sejarah, sangat dekat dengan raja.
Terkadang dalam sebutan bangsawan dalam hal ini nama atau panggilan
bangsawan, menggunakan nama hambanya. Misalnya Umbu Nai Djaka. Umbu
atau tuan dari hambanya yang bernama Djaka. Ketika tuannya meninggal pun,
hambanya diberikan mandat untuk menunggangi kuda sang tuan, dengan segala
perhiasan yang dipakai oleh tuannya dikenakan kepada hambanya. Ini
membuktikan bahwa hubungan antar tuan, orang merdeka, dan hamba ini baik.
Walaupun kalau mau dilihat, berbagai aktivitas hamba dibatasi oleh tuannya,
misalnya ketika hendak menikah, bersekolah dan berbagai hal lainnya.
. # #
!. 3 4&5# *7 %&6!
-
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, hamba ini dibebaskan. Namun
hamba pusaka ini menjadi anggota keluarga bangsawan. Mereka disebut ana
lakuru umu (anak dalam rumah). Adapula mereka yang bebas karena lari dari
tuannya dan hidup terpisah dari tuannya.21
B. Kenyataan Sosial tentang perubahan Gelar Kebangsawanan
Perbedaan status dalam kurun sejarah yang cukup lama berkembang
menyebabkan gelar tersebut dipelihara dalam tatanan kehidupan masyarakat Sumba
Timur. Itulah mengapa status atau gelar kebangsawanan terus dibawa-bawa sampai
pada urusan social-politik sebagai element-element penting yang terus bersinggungan
dengan budaya masyarakat Sumba Timur.
Sebagian orang Sumba masih terjebak dalam romantisme sejarah. Bapak
Gidion Mbilijora menyebutnya kebanggan masa lalu.22 Sebagai pemimpin nomor satu
di Sumba Timur, beliau juga menyaksikan perubahan akan gelar tersebut. Hal yang
sama juga yang dikatakan oleh bapak Pdt Elias Rawambani, Umbu Manggana, Umbu
Hamakonda, Umbu Makambombu, Oemboe Ngikoe, Yohanys A. Praing, Chris
Praing, Key Informan dan lain-lain. Mereka mengatakan banyak fenomena social
yang terjadi di Sumba Timur akan pergeseran gelar kebangsawanan ini.
Pdt Elias Rawambani,23 mengatakan gelar kebangsawanan ini sudah banyak
yang dikaburkan dalam artian tidak lagi asli. Beliau mengatakan bahwa sejak zaman
pemerintahan Belanda sebenarnya sudah terjadi pengkaburan, di mana Hindia
Belanda mengangkat raja-raja untuk menguasai wilayah disekitar mereka.
. 3 4&&8$03 # *&6!
. 3 4&1# *2# &% *(%&-6!
. 3 4&6!
-
Menurutnya, ada raja yang diangkat juga bukan merupakan keturunan asli leluhur
Sumba. Untuk melihat keaslian gelar kebangsawanan tersebut, harus dilihat dari garis
keturunan marapu.24 Garis ketutunan marapu akan diketahui dengan meilhat
pahomba. Pahomba adalah kuburan leluhur di mana dari situlah akan terlihat jelas
wilayah kekuasaan leluhurnya yang merupakan asalnya.
Beliau juga berpendapat bahwa, keaslian gelar tersebut berubah, ketika
keturunan bangsawan itu punah. Entah karena tidak memiliki keturunan sehingga
orang dalam rumah yang tidak memiliki hubungan darah dengannya mewarisi
kekayaan. Dan dengan sendirinya menggunakan nama atau gelar tuannya. Hal inilah
yang terjadi dibeberapa daerah. Selain itu tidak ada dokumen yang pasti yang
menjelaskan tentang keaslian gelar ini. Selain itu juga karena budaya Sumba yang
hanya dibicarakan dari mulut kemulut dan keasilian gelar sudah tidak tampak karena
terjadi kawin campur di mana-mana.
Gelar dalam nama menurut orang Sumba, sebenarnya menjelaskan siapa
dirinya. Misalnya Umbu untuk laki-laki yang diikuti dengan nama selanjutnya,
menjelaskan nama leluhur pendahulu yang digunakannya.25 Misalnya Tamu Umbu
Maramba Rihi, itu menjelaskan tamu atau nama yang sama dari Umbu Maramba Rihi,
nenek atau pendahulunya. Begitupun nama Umbu Nai Djaka, menjelaskan tuan dari
Djaka. Djaka disini adalah nama hambanya. Begitupun nama Rambu untuk
perempuan. Umbu dan Rambu, dahulu juga digunakan untuk menyapa orang asing,
orang yang tidak mereka kenal yang menghampiri tempat mereka. Misalnya nggi
welingmu rambu/umbu? (dari mana rambu/umbu?).
, )"# # (&1# *
-. 3 4&;)$&6!
-
Bapak Pdt Elias Rawambani, mengatakan bahkan sekarang banyak orang yang
over dalam menamai kebangsawanannya dengan memanggil mirri (tuhan atau tuan).
Ada juga yang sebenarnya maramba tidak lagi menggunakan gelar ini dalam
nama aslinya. Sekarang terlihat jelas bahwa nama ini sudah tidak hanya dipakai oleh
bangsawan, orang Sumba bukan maramba, orang luar Sumba pun terlihat
menggunakan sebutan ini. Jadi sekarang makna nama umbu dan rambu lebih banyak
dimaknai sebagai sapaan, nama yang memberikan identitas mereka sebagai orang
Sumba atau pernah ke Sumba dan bukan hanya golongan bangsawan yang boleh
menggunakan.
Hal ini juga dipertegas oleh key informan yang mengatakan, kita tidak bisa
memberikan contoh secara ekstrim karena ini merupakan hal yang sensitif. Namun
tidak bisa dipungkiri ketika seseorang mendapat kedudukan yang tinggi dalam
pemerintahan, memiliki kekayaan yang banyak, orang cenderung lupa atau bahkan
mengaburkan identitas status sosial. Nama sebagai gelar kebangsawanan juga tidak
lagi memiliki nilai kultus seperti dahulu karena tidak ada sangsi adat yang akan
dikenakan sehingga orang dengan bebas menggunakannya.26
Bapak Gidion Mbilijora, mengatakan hal ini karena kebanggaan masa lalu
akan status sosial tersebut tidak lagi berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat
Sumba Timur. Walaupun masih ada daerah Selatan, Timur dan bagian Tengah,
Sumba Timur masih terlihat penggunaan gelar ini. Namun daerah perkotaan sudah
tidak jelas lagi dan mengalami perubahan.27
. 3 4&6!
. 3 4&&% *(%&-6!
-
,!
Dalam hal pembedaan penyuguhan makanan dan minuman, lewat peralatan
makan dan minum saat perkawinan dan kematian sudah lebih berbeda. Apabila
undangan adalah orang yang memiliki kedudukan tinggi misalnya pemerintah, dosen,
pendeta yang kemudian diperlakukan sama seperti bangsawan dalam ritual atau
upacara tersebut. Diperlakukan sama karena adanya penghargaan terhadap tamu.
Walaupun ada beberapa kasus, dimana ada pembedaan dalam ritual kematian dan
pernikahan. Misalnya kepada sopir, diberikan peralatan makan dan minum yang kecil,
sementara bosnya diberikan yang besar layaknya bangsawan. Hal ini dikarenakan
mindset orang Sumba, masih terkungkung dalam budaya lama, di mana yang
memiliki pekerjaan bagus itu layaknya maramba dan yang sopir biasanya di bawah
maramba. Pemikiran yang terpolakan seperti itu mempengaruhi mereka dalam
menerima tamu. Namun secara keseluruhan, sudah banyak pergeseran dalam hal
penyuguhan peralatan makan dan minum ini. Bapak Umbu Manggana mengatakan
sekarang cara penyuguhan makan sudah lebih modern. Terlepas dari beberapa contoh
yang dialami di kampung tertentu di mana upacara adat dilakukan.
Hal di atas dapat dipertegas dengan adanya beberapa kasus yang sering terjadi
di Sumba Timur. Walaupun tidak bisa dipredikisi berapa kali kasus yang sama, yang
terjadi disetiap tahunnya. Namun penulis berhasil menguak informasi untuk
mendapatkan data yang valid untuk keperluan peneliti. Diantaranya:
1. Kasus Pertama
Seorang nara sumber berinisial RN adalah seorang perempuan berasal dari
kelompok bangsawan. Ia adalah hasil dari pernikahan bapak UT dan ibu MSE.
Bapak bangsawan dan ibu dari golongan bawah. RN akhirnya menikah dengan
seorang laki-laki, berinisial DB dari keturunan golongan bawah bapaknya SB
dan ibunya NY. RN adalah anak dari keluarga yang berada, bapaknya
-
,
memiliki jabatan penting dalam pemerintahan dengan golongan 4a dan ibunya
seorang guru dengan golongan 3a. Dilihat dari gaji perbulan yang diperoleh
dan asset peninggalan nenek moyang lainnya, bisa dikategorikan kaya. RN
dan DB, sebelumnya bertemu di SLTA, dan kemudian hubungan mereka
barulah resmi pacaran saat kuliah. RN, berkuliah di Semarang dan DB di
Bandung. Ketika menikah tidak ada kendala yang hadir karena sang suami
DB, sudah memiliki jabatan yang strategis di pemerintahan, belum lagi
ditambah dengan kedudukan bapaknya yang juga pejabat pemerintahan. Saat
diadakan wawancara RN mengatakan, 28
status atau gelar itu ditentukan dari mampunya saya menghidupi
keluarga, anak dan saudara-saudara dari kampung suami, bapak, atau
mama saya maupun mertua saya. Suami saya dari golongan mana juga
tidak masalah. Sekarang sudah tidak jaman lagi, nona. Yang penting
suami kerja bagus, orang tua mana juga setuju. Sekarang banyak koq
yang seperti itu. Saya punya banyak hewan, yang mampu mengangkat
nama saya ketika saya memotong hewan dalam upacara-upacara adat
seperti kematian. Saya tetap Rambu dan anak-anak saya pun tetap saya
menggunakan gelar tersebut. Orang-orang sekitar juga memanggil saya
mama Rambu. Suami saya juga bapa Umbu. Apalagi orang-orang dari
kampung, pasti juga panggil Rambu Kecil karena mama saya Rambu
besar jadi saya dipanggil Rambu Kecil.
. 3 46!
-
,
2. Kasus kedua
Nara sumber yang kedua berinisial ME. ME, berasal dari golongan bawah.
Beliau berada disalah satu daerah dekat kota. Sejak 20 tahun yang lalu, beliau
memilik profesi sebagai pengembala hewan. Awalnya beliau hanya memiliki 1
ekor kerbau, dan 2 ekor kambing. Salah satu orang Sumba Barat Daya dari
kota memintanya mengurus hewan peliharaan mereka. 4 ekor saspi, 3 jantan 1
betina. 3 ekor kuda. Selanjutnya orang China, bahkan beberapa orang dari kota
meminta bantuannya untuk memelihara hewan mereka. Dengan pertimbangan
di kota, peraturannya ketat. Selain itu pula karena kurangnya tempat untuk
memelihara hewan-hewan tersebut di kawasan tempat tinggal para
pemiliknya. Mereka memiliki perjanjian setiap hewan tersebut beranak, 2-3
ekor anak hewan diberikan kepada ME, apabila hewan yang lahir 7 ekor lebih.
Dengan jangka waktu 20 tahun kita bisa bayangkan berapa jumlah hewannya.
Bahkan mampu membeli 1 bemo (kendaraan umum yang mengangkut
penumpang). Ketika diadakan wawancara beliau mengatakan,29
saya memang berasal dari golongan bawah. Sebenarnya saya
juga tidak terlalu tahu tentang tuan atau bangsawan yang harus
dilayani oleh saya. Karena bapak dan mama saya dahulu sudah
tidak tinggal di kampung asal. Mereka berkebun, tanam ubi,
pelihara ayam, babi sendiri. Saat bapa meninggal saya yang
ambil alih ini hewan dan tanah. Orang kampung sekitar sering
datang pinjam uang, pinjam hewan untuk mereka gunakan.
Untuk menikah atau kematian. Saya juga sering diundang.
Kalau undang orang Sumba itukan pasti minta bawah hewan.
. 3 4&!6!
-
,
Nona bisa lihat sendiri juga banyak juga orang di rumah saya.
Banyak orang yang ikut saya juga. Mereka yang dari kampung
kadang panggil saya Umbu bos.
3. Kasus ketiga
Seorang bapak berinisial AP. AP memiliki kedudukan yang strategis di
pemerintahan Sumba Timur. Beliau dari golongan kabihu. Saat wawancara
beliau mengatakan:
Sekarang ini kita hidup di jaman yang sudah maju. Mau
mendapatkan ini, mau mendapatkan itu, harus punya uang.
Dahulu, tidak semua dibatasi, mau ini mau itu semua
ditentukan oleh bangsawan. Sekarang saya sudah sekolah,
sudah menikah, sudah bisa membiayai keluarga, punya anak,
punya cucu, untuk apa lagi gelar-gelar tersebut. Orang
sekarang, bebas mau buat apa saja. Mungkin karena saya orang
yang moderat sehingga saya tidak memusingkan hal-hal gelar
dulu-dulu. Karena saya juga layak mendapatkan penghargaan
yang pantas. Saya berjuang sendiri, cari kerja sendiri, jadi kalau
saya tidak begitu saya dianggap sebelah mata dan saya tidak
dihargai. Karna itu kalau bukan saya yang merubah nasib saya,
anak-anak saya dan keturuanan saya siapa lagi yang mau bantu
ubah kita punya nasib? 30
!. 3 4&6&-6!
-
,,
4. Kasus keempat
Beberapa penginjil, pendeta atau pemuka agama di Sumba Timur itu berasal
dari golongan bawah. Saat bertugas atau melayani daerah pedesaan atau
perkampungan mereka begitu dihargai oleh semua orang dari berbagai
kalangan. Mereka juga banyak didengar dan tempat pelarian warga
masyarakat ketika mendapat masalah. Saat diadakan wawancara ada bebarapa
hasil menarik dari kasus ini. Hal ini penulis hanya mengangkat satu nama, dari
Bapak Umbu Makambombu dari kampung Rindi. Beliau mengatakan,31
Saya pikir mereka itu bisa dikatakan juga maramba.
Walaupun kita tau banyak mereka dari golongan bawah. Tetapi
mereka yang lebih tahu tentang Alkitab dan agama. Mereka
bisa disamakan dengan ratu (pemimpin ibadat terhadap
marapu). Karena dahulu yang mengurusi tata ibadah, hubungan
dengan tuhan itu mereka. Sekarang kita sudah Kristen, saya
pikir mereka juga bisa disamakan dengan gelar itu. Masyarakat
juga hormat terhadap bekerjaan mereka.
Beberapa bangsawan yang diwawancarai, mengakui adanya realita tersebut.
Salah satunya Bapak Umbu Manggana,32
beliau mengatakan sekarang memang realitanya seperti itu. Tetapi
tetap saja orang akan membicarakan mereka. Orang akan mengusuk
nama, asalnya, dan asal kampungnya. Dalam urusan adat pun, tetap
bangsawan yang memiliki peran. Apalagi dalam kampung besar. Kalau
. 3 4&6!
. 3 4&6!
-
,-
mau dibilang seperti cap pada hewan yang kita bisa tau status dan gelar
culturalnya. Walaupun pada akhirnya beliau mengatakan, mungkin
kalau diamati berapa tahun kedepan gelar ini akan hilang.
Bapak Yohanys A. Praing33 mengatakan, banyak yang menerima ketika
masyarakat dalam golongan tertentu dianggap dari strata sosial tertentu bangsawan
karena memiliki ekonomi yang bagus, kedudukan tertentu dalam politik dan
sebagainya, tetapi tetap saja ada yang mencibir.
Adapula bangsawan yang mengatakan,34
kita harus terima sudah kenyataan zaman. Biarpun dulu, leluhur dan
nenek saya yang memerintah. Sekarang siapa yang memerintah kita,
entah atasan kita yang bukan bangsawan, mau bilang apa lagi. Kerja
kita disitu sudah.
Hasil wawancara memperlihatkan bahwa sekarang ada pergeseran status sosial
tentang gelar kebangsawanan tersebut, khususnya ketika orang membawa konsep
kebangsawanan dari ranah kultural ke ranah politik dan social-kemasyarakatan. Itulah
mengapa Bapak Chris Praing, mengatakan ada tiga (3) Umbu dalam kehidupan
bermasyarakat di Sumba Timur saat ini. Pertama, Umbu Kultural adalah umbu yang
memang asli karena darah leluhurnya, kedua Umbu Politik adalah sebutan umbu
karena pencapaiannya dalam perpolitikan di Sumba Timur, dan ketiga Umbu Ekonomi
adalah sebutan umbu karena memiliki kekayaan yang banyak.35
. 3 4&6!
,. 3 4&6!
-. 3 4&;)$&6!
-
,
C. Faktor Faktor Yang Menyebabkan Pergeseran Gelar Kebangsawanan
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran status gelar
kebangsawanan ini, yang didapatkan oleh penulis saat meneliti di lapangan, yakni:
1. Pemerintah
Pemerintah mengambil alih kekuasaan daerah Sumba Timur, dengan
sendirinya mempengaruhi kekuasaan para bangsawan. Bagaimana tidak, untuk
berkuasa dan memimpin daerah Sumba Timur, harus dilihat dalam
kecakapannya menguasai ilmu pemerintahan dengan sistem pemerintahan
yang terstruktur dari pemerintah pusat.
Key Informan mengatakan, pemerintah Negara Indonesia menyiapkan sarana
prasarana lewat pembangunan lembaga-lembaga pemerintahan di mana-mana,
dan untuk terlibat dan masuk di dalamnya bukan karena kita punya golongan
darah khusus yang diprioritaskan, tetapi karena kita memiliki kemampuan
intelektual yang mampu menguasai dunia perpolitikan dalam pemerintah
dengan ketentuan yang diberikan oleh pemerintah setempat.
2. Fungsional Struktur
Key Informan, bapak Umbu Manggana, Pdt Elias Rawambani dan
berbagai nara sumber lainnya mengatakan, di Sumba Timur saat ini para
hamba, banyak yang lari dari tuannya.
Hal ini karena banyaknya bangsawan yang over, yang meligitimasikan
kekuasaannya lewat gelarnya dengan menindas hamba entah psikis dan
jasmaninya.
-
,
3. Pendidikan
Dalam penelitian banyak nara sumber yang meletakkan faktor
pendidikan sebagai penyebab perubahan. Bapak Yohanys Agung Praing,
mengatakan pendidikan mengubah mindset seseorang menjadi pragmatis.36
Umbu Makambombu, juga memberikan penekanan terhadap faktor ini.
Beliau mengatakan kebanyak orang sekarang, ketika memiliki pendidikan
yang tinggi dan mendapat kedudukan yang layak dalam pemerintahan, dosen,
pendeta dan sebagainya dengan sendirinya penghargaan dan pandangan orang
akan berbeda terhadap pencapaian tersebut. Itulah mengapa ketika ada
pendeta, dosen, pejabat menghadiri suatu upacara adat kematian, pernikahan,
mereka disuguhkan peralatan yang sama dengan maramba. Penghargaan
terhadap mereka akan keberadaan mereka. 37
Bapak Chris Praing, juga berbicara tentang faktor ini, menurutnya,
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, memang itu sebuah
realita. Tantangannya bagi golongan yang darahnya dianggap
bagus bangsawan yang kita yakni bahwa itu yang ditakdirkan
untuk mendapatkan perlakuan khusus, yah harus sekolah yang
tinggi, masyarakat bisa menduduki tempat-tempat yang tinggi
dengan persyaratan-persayatan formal yang ditentukan.
Bagaimana caranya kasih sekolah tinggi, kasih keterampilan
yang cukup. Justru sekarang orang sekolah semakin pintar,
orang semakin mengetahui apa yang sebenarnya. Kan orang
sekolah ini supaya ia punya logika berpikir, punya pemahaman
. 3 4&
-
,
yang sistematis, kritis, dengan begini yah semangat jaman
sudah berubah dan peryaratan formal yang lebih mendominasi.
Ini saya kira mempegaruhi perubahan ini.
4. Ekonomi
Nampak dalam perkataan Bapak Chris Praing, yang kelihatan sangat
menekankan faktor ini. Beliau mengatakan, ketika seseorang memiliki
kekayaan yang banyak, entah hewan, mobil dan asset lainnya, dengan
sendirinya banyak yang mengkuiti mereka. Sekarang istilahnya tidak ada
orang kaya yang mengikuti orang miskin, yang ada orang miskin yang
mengikuti orang kaya, dan di Sumba itu sekarang sedang berlaku. Dengan
demikian ketika seseorang memiliki pencapaian ekonomi dengan sendirinya
banyak orang mengikutinya. 38
Key Informan juga mengatakan,
ekonomi mengubah pola pikir masyarakat. Yang diangap
mampu yang berkuasa. Orang yang punya ekonomi bagus yah
dihargai layaknya pembesar pada jaman sebelumnya. Tidak
layak juga kalau kita memberikan contoh yang bagus karena ini
sangat sensitif.39
. 3 4&6!
-
,
5. Globalisasi
Bapak Yohanys A. Praing mengatakan, orang Sumba dengan bebasnya
menerawang wilayah kehidupan dunia luar dan menilai ini yang baik, ini yang
tidak relevan lagi. Dengan memiliki barang-barang canggih atau dunia
persaingan saat ini dilihat dari siapa yang mampu memiliki barang-barang
tersebut. 40
6. Agama.
Bapak Pdt Elias Rawambani mengatakan, perubahan ini juga terjadi
karena masuknya agama Kristen, Katolik, dan Islam dari luar. Masuknya
agama-agama ini tentunya membawa perubahan dalam masyarakat yang
memiliki nilai-nilai magic dalam budaya menjadi kepercayaan yang diakui
dalam agama-agama yang akui di Indonesia. Budaya setempat sering diartikan
kafir dan tidak benar. Ini menjadi tolak ukur masyarakat Sumba Timur tentang
budayanya.
,!. 3 4&6!
-
-!
Gambar 2.
Gambar-Gambar saat Wawancara
- Bersama Bupati Sumba Timur: - Bersama kabihu Praing Lambanapu: Bapak Gidion Mbilijora Bapak Yohanys Agung Praing
- PNS dari golongan ata - SEKDA Sumba Timur
Bapak Katanga Pandaawang Bapak Umbu Hamakonda
-
-
Gambar 3.
Gambar-Gambar Saat Wawancara
- Dari Praing Rindi Umalulu - Bersama Bapak Chris Praing Bapak Umbu Makambombu
- Raja Pau, Menjabat Anggota DPRD - Bapak Pdt Elias Rawambani Bapak Oemboe Ngikoe