BAB III PENGATURAN UPAH MENURUT HUKUM ISLAM...
Transcript of BAB III PENGATURAN UPAH MENURUT HUKUM ISLAM...
BAB III
PENGATURAN UPAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 13
TAHUN 2003
A. Upah menurut Hukum Islam
1. Besar Upah yang Harus Diterima oleh Pekerja
Dalam Islam, besaran upah ditetapkan oleh kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja. Kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan
jumlah upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut.
Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.39
Tingkat upah minimum dalam Islam harus cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar pekerja yaitu pangan, sandang, dan papan. Sadeq (1989)
menjelaskan bahwa ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan
upah, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah kebutuhan
dasar, beban kerja dan kondisi pekerjaan. Faktor sekunder adalah memperlakukan
pekerja sebagai saudara.
40
Pada dewasa ini yang menonjol adalah faktor primer, sedangkan faktor
sekunder tidak dijumpai. Hal ini menjadikan pengusaha dan pekerja berada pada
39 Hadi Muttaqin Hasyim, Penggajian dalam Islam, (http://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/06/16/penggajian-dalam-islam/, diakses 15 Agustus 2010).
40 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op. cit. hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
dua pihak yang saling berlawanan, sehingga timbulah hubungan konflik di antara
keduanya.
Perhitungan besaran upah menurut Islam, yaitu sebagai berikut:41
a. Prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran upah.
b. Manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi
internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan
kebutuhan pangan, sandang dan papan.
c. Manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi besaran gaji
yang sebanding dengan besaran nishab zakat.
d. Manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji baik
di saat perusahaan menghasilkan laba maupun kerugian, dan
mengkomunikasikannya kepada buruh/ pekerja.
Islam sangat menginginkan upah pekerja diberikan secara adil. Karena
itulah Islam menetapkan pilihan untuk membatalkan akad (perjanjian) apabila
jelas bahwa seorang pekerja ditipu dalam hal upahnya. Demikianlah hal-hal yang
dihargai agar pekerja tidak sampai mengalami perlakuan zalim atau tindakan
sewenang-wenang dalam bentuk apapun. Layak berhubungan dengan besaran
upah yang diterima oleh pekerja. Kelayakan upah yang diterima oleh pekerja
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), dan
papan (tempat tinggal).42
41 Ibid, hlm. 83. 42 Ibid, hlm. 37
Universitas Sumatera Utara
Manajemen perusahaan perlu melakukan konsep upah minimum dengan
konsep “nishab zakat” sebagai upah minimum. Artinya, jika nishab zakat
disesuaikan dengan harga 85 gram emas dalam setahun, maka dalam sebulan
batas upah minimum adalah 85/12 = 7,083 gram emas. Jika harga rata-rata satu
gram emas sebesar Rp 198.000,00 maka upah minimum untuk satu bulan adalah
7,083 x Rp 198.000,00 = Rp 1.408.100,00. Dengan asumsi kondisi harga emas
stabil.43
Islam juga menetapkan konsep upah tertinggi dalam membayar para
pekerja. Artinya, pekerja tidak boleh meminta bayaran atas pekerjaannya di luar
batas kemampuan perusahaan untuk membayarnya.
Dalam Islam, upah yang telah ditetapkan sebelumnya di dalam akad
dapat direvisi oleh manajemen perusahaan, baik pada saat mengalami laba
ataupun rugi. Namun, revisi tersebut haruslah terlebih dahulu dibicarakan dengan
pekerja.
44
Jika terjadi maka hal ini juga melanggar konsep keadilan dalam
pengupahan atau penggajian. Jangan sampai karena mengharapkan bayaran yang
tinggi akhirnya menzhalimi perusahaan. Meminta bayaran yang tinggi kepada
perusahaan yang tidak mampu membayaranya juga merupakan suatu kezaliman.
45
Qardhawi menyatakan, “tidak boleh juga bagi pekerja untuk menuntut
upah di atas haknya dan di atas kemampuan pengguna jasanya (perusahaan)
43 Ibid, hlm. 79. 44 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op. cit. hlm. 81. 45 Ibid, hlm. 82.
Universitas Sumatera Utara
melalui tekanan dengan cara aksi mogok kerja, rekayasa organisasi buruh, atau
cara-cara lainnya”.46
46 Ibid, hlm. loc. cit.
Konsep ini menekankan hal yang sangat penting pada kondisi sekarang
ini. Pengusaha diminta untuk mencukupi kebutuhan karyawannya, tetapi di pihak
lain, pekerja diminta untuk tidak meminta bayaran yang tinggi hingga pengusaha
tidak mampu membayarnya.
Dalam hal ini, Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk melindungi hak-
hak para pengusaha dan pekerja. Apabila pengusaha menyadari sepenuhnya
tentang kewajiban mereka kepada para pekerja maka kemungkinan besar mereka
akan membayar pekerja mereka dengan upah yang cukup untuk menutupi
kebutuhan pokok. Hal ini terjadi jika mereka betul-betul beriman dan mengharap
ridha Allah swt dalam pengabdiannya kepada kemanusiaan.
Perbedaan mengenai besarnya upah juga ada diatur dalam Islam. Berikut
firman Allah swt mengenai perbedaan upah pekerja.
“Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa
yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan
balasan perbuatan mereka, dan mereka tidak dirugikan.” (Al-
Ahqaf: 19).
“…Dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan
apa yang telah kamu kerjakan.” (Yaasin: 54).
Universitas Sumatera Utara
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya.” (An-Najm: 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas
menurut berat pekerjaannya. Maududi menjelaskan bahwa kebijakan upah
diperbolehkan untuk pekerjaan yang berbeda47
2. Kewajiban Membayar Upah
. Islam menghargai keahlian dan
pengalaman.
Pengusaha berkewajiban membayar upah kepada buruh yang telah
selesai melaksanakan pekerjaannya. Entah itu secara harian, mingguan, bulanan,
ataupun lainnya. Islam menganjurkan untuk mempercepat pembayaran upah,
jangan ditunda-tunda. Rasulullah bersabda:
“Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).48
Dalam Islam, keterlambatan pembayaran upah secara sewenang-wenang
kepada pekerja dilarang, kecuali keterlambatan tersebut ada diatur dalam akad
(perjanjian). Begitu juga dengan penangguhan pembayaran upah oleh pengusaha,
Memperlambat pembayaran upah dapat menyebabkan penderitaan besar
bagi para pekerja.
47 Ibid, hlm. 35 48 Ibid. hal. 33
Universitas Sumatera Utara
harus terlebih dahulu diatur dalam akad. Jika tidak diatur maka pengusaha wajib
membayar upah pekerja setelah menyelesaikan pekerjaannya.49
Sebenarnya menurut Islam, majikan tidak boleh mengingkari waktu
pembayaran upah yang telah disepakati. Jika ditunda, hal itu menjadi hutang
majikan kepada pekerja sebesar jumlah upah yang ditunda tersebut. Setelah
pekerja melunasi pekerjaan dengan persyaratan pekerjaan itu, majikan haruslah
menepati janjinya.
50
Surat di atas merupakan jaminan bahwa upah kerjanya akan dibayar
sesuai dengan akad yang telah disepakati bersama. Tidak saja upah pekerja itu
harus dibayar secara adil, tetapi pelaksanaan pembayarannya juga tidak boleh
ditunda, harus sesuai dengan kelaziman pembayaran upah yang berlaku atau
sesuai dengan akad yang ada.
Firman Allah swt:
“Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi
hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi.” (Asy-
Syu’ara: 183).
51
49 Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian Dalam Islam”,
Islam pun juga mengatur mengenai upah kerja lembur. Nabi Muhammad
saw bersabda:
http://www.muttaqinhasyim. wordpress.com, 15 Agustus 2010.
50 Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian Dalam Islam”, http://www.muttaqinhasyim. wordpress.com, 15 Agustus 2010.,
51 Direktorat Jenderal Agama RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, Departemen Agama RI, 2002, hlm. 180.
Universitas Sumatera Utara
“Janganlah kamu membebani mereka (para pekerja) di luar
batas kemampuan mereka, maka jika harus demikian maka
bantulah mereka.” (HR. Muslim).52
Islam menyatakan bahwa pembayaran upah dapat dilakukan di tempat
kerja atau di tempat lain yang dekat dengannya. Para pekerja tidak boleh dipersulit
dan tidak boleh diharuskan pergi ke tempat yang jauh dari tempat kerjanya.
Dari hadist ini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw memerintahkan
bagi pengusaha yang menyuruh para pekerjanya untuk bekerja melebihi waktu
yang seharusnya agar diberikan upah tambahan atau upah lembur.
53
3. Pembayaran Upah bagi Pekerja yang Tidak Bekerja
Menurut Ahmat Tabakoglu, dalam Islam pekerja harus tetap
mendapatkan upah meskipun pekerja tidak bekerja yang disebabkan oleh
kesalahan perusahaan. Misalnya tidak ada bahan baku, tidak ada listrik, dan lain-
lain.54
B. Upah Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
1. Besar Upah yang Harus Diterima oleh Pekerja
52 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op.cit. hlm. 93. 53 Baqir Sharief Qorashi, op. cit. 251. 54 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op.cit. hlm. 88.
Universitas Sumatera Utara
Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan
hidup pekerja/ buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan
minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari
tua.
Upah merupakan sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan diri si
pekerja maupun keluarganya serta cerminan kepuasan kerja. Sementara bagi
pengusaha melihat upah sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga harus
dioptimalkan penggunaannya dalam meningkatkan produktivitas dan etos kerja.
Pihak-pihak yang dapat menentukan upah adalah sebagai berikut:55
a. Buruh/ pekerja dan pengusaha, keduanya bersepakat dalam menentukan upah.
b. Serikat buruh. Ini dikarenakan mereka berkompeten dalam menentukan upah
buruh/ pekerja bersama pengusaha, dengan syarat kaum buruh/ pekerja
memberikan kewenangan kepada mereka untuk melakukannya.
c. Negara, namun disyaratkan dalam intervensinya Negara tidak menghilangkan
hak-hak buruh/ pekerja maupun hak-hak pengusaha. Apabila upah telah
ditentukan, maka buruh memiliki kemerdekaan penuh untuk menerima atau
menolak tanpa adanya unsur paksaan.
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara
pengusaha dan pekerja atau serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila
55 Baqier Sharief Qorashi, op. cit. hlm. 250.
Universitas Sumatera Utara
pengaturan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib
membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.56
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap
karena kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat
kemampuan dunia usaha.
Upah minimum menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Sedikit
berbeda dengan ajaran Islam yang memiliki prinsip adil dan layak dalam
menentukan besaran upah.
57
1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/ kota;
Upah minimum dapat terdiri dari:
2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/
kota.
Di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak ada diatur mengenai konsep upah tertinggi, hanya ada
diatur mengenai upah pekerja yang tidak boleh lebih rendah dari upah minimum.
Namun, ada diatur mengenai perbedaan besaran upah. Pada Pasal 92 ayat
(1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa:
56 Pasal 91 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
57 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
“Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan
kompetensi”.
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman
penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja serta untuk
mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang
bersangkutan. Lebih lanjut mengenai pengaturan tentang struktur dan skala upah
dapat dilihat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.
2. Kewajiban Membayar Upah
Dalam Pasal 95 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan juga mengatur bahwa pengusaha yang terlambat membayar upah
pekerja yang diakibatkan oleh kesengajaan atau kelalaian pengusaha, dikenakan
denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja. Dan yang mengatur
pengenaan denda tersebut adalah pemerintah (Pasal 95 ayat (3) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pedoman pengenaan denda diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yaitu:
1. Mulai hari keempat samapi hari kedelapan terhitung dimana seharusnya upah
dibayar, upah tersebut ditambah 5% (lima persen) untuk tiap hari
keterlambatan;
Universitas Sumatera Utara
2. Setelah lewat hari kedelapan, maka menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari
keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk satu bulan dan
tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya
diterima buruh;
3. Jika melebihi satu bulan dan upah masih belum dibayar, maka selain denda
pengusaha juga wajib membayar bunga yang ditetapkan oleh bunga bank untuk
kredit perusahaan yang bersangkutan.
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan
bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan
penangguhan. Pasal 90 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan
penangguhan.”
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak
mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan
melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Bila
penangguhan tersebut berakhir, maka perusahaan yang bersangkutan wajib
melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, tetapi tidak wajib
membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu
diberikan penangguhan.
Mengenai tata cara penangguhan pelaksanaan upah minimum diatur
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-
Universitas Sumatera Utara
231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum,
yaitu:
1. Permohonan penangguhan diajukan oleh pengusaha kepada gubernur melalui
instansi yang membidangi ketenagakerjaan provinsi, paling lambat 10
(sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.
2. Permohonan penangguhan didasarkan atas kesepakatan tertulis antara
pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh yang
tercatat.
3. Permohonan penangguhan harus disertai dengan:
a. Naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/
serikat buruh atau pekerja/ buruh perusahaan yang bersangkutan;
b. Laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/
laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
c. Salinan akta pendirian perusahaan;
d. Data upah menurut jabatan pekerja/ buruh;
e. Jumlah pekerja/ buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/ buruh yang
dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;
f. Perkembangan produksi dan pemasaran produksi dan pemasaran selama 2
(dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran untuk 2 (dua)
tahun yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
4. Laporan keuangan untuk perusahaan berbadan hukum harus sudah diaudit
oleh akuntan publik.
5. Berdasarkan permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum oleh
pengusaha, apabila diperlukan gubernur dapat meminta akuntan publik untuk
memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.
6. Berdasarkan permohonan tersebut, gubernur menetapkan penolakan atau
persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran
dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan provinsi.
7. Persetujuan penangguhan ditetapkan oleh gubernur untuk jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) bulan.
8. Penangguhan diberikan dalam bentuk:
a. Membayar upah minimum sesuai dengan upah minimum yang lama; atau
b. Membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum yang lama,
tetapi lebih rendah dari upah minimum baru; atau
c. Menaikkan upah minimum secara bertahap.
9. Setelah berakhirnya izin penangguhan, pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan upah minimum yang baru.
10. Penolakan atau persetujuan atas permohonan penangguhan yang diajukan
oleh pengusaha diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
sejak diterimanya permohonan penangguhan secara lengkap oleh gubernur.
Universitas Sumatera Utara
Dalam jangka waktu berakhhir dan belum ada keputusan dari gubernur, maka
terhadap permohonan penangguhan yang telah memnuhi persyaratan
dianggap telah disetujui.
11. Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian,
pengusaha tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja/
buruh.
12. Apabila permohonan ditolak gubernur, pengusaha wajib membayar upah
kepada pekerja minimal sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung
mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.
Selain itu, pengusaha juga berkewajiban membayar upah lembur kepada
pekerja. yang telah bekerja melebihi ketentuan waktu kerja yang telah disepakati
atas permintaan pengusaha.
Upah kerja lembur adalah salah satu dari kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja yang tercantum dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk pengaturan lebih
lanjut, upah kerja lembur diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur.
Di dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur disebutkan bahwa, waktu kerja lembur adalah:
“waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
Universitas Sumatera Utara
(satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.”
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi waktu kerja,
wajib membayar upah lembur (Pasal 4 ayat (1) Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur).
Upah yang merupakan hak pekerja harus dibayar di tempat yang telah
ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, jika tidak diatur maka
pembayaran upah dilakukan di tempat pekerja biasa bekerja atau di kantor
perusahaan.58
3. Pembayaran Upah bagi Pekerja yang Tidak Bekerja
Pada keadaan tertentu, pengusaha tetap berkewajiban membayar upah
pekerja meskipun pekerja tidak melakukan pekerjaannya. Hal ini berlaku bagi:59
a. Pekerja/ buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit adalah sebagai berikut.
1. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari upah;
58 Pasal 16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
59 Hardijan Rusli, op.cit. hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
2. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari
upah;
3. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari upah;
4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
b. Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan (dengan ketentuan harus
memberitahukan kepada pengusaha);
c. Pekerja/ buruh tidak masuk kerja karena pekerja/ buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang
tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
Upah yang dibayarkan adalah sebagai berikut.
1. Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
3. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
4. Membaptiskan anaknya, dibayar selama 2 (dua) hari;
5. Isteri melahirkan atau keguguran, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
6. Suami/ isteri, orang tua/ mertua atau anak atau menantu meninggal dunia,
dibayar selama 2 (dua) hari;
Universitas Sumatera Utara
7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia dibayar selama 1
(satu) hari.
d. Pekerja/ buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang
menjalankan kewajiban terhadap Negara;
e. Pekerja/ buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. Pekerja/ buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. Pekerja/ buruh melaksanakan hak istirahat (tidak termasuk pada hari libur
resmi);
h. Pekerja/ buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. Pekerja/ buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Kewajiban pembayaran upah bagi pekerja yang tidak melakukan
pekerjaannya seperti yang tersebut di atas diatur dalam Pasal 93 ayat (2), (3), dan
(4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam hal pengusaha tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak
bekerja bukan karena kesalahannya atau karena 9 (sembilan) hal tersebut di atas
maka dapat dikenakan sanksi atas pelanggaran tidak membayar upah pekerja
tersebut, berupa sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
Universitas Sumatera Utara
lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).60
60 Pasal 186 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KONSEP PEKERJA PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
A. Konsekuensi Pekerja Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung
jawab atas suami dan anak yang dipimpinnya. Perempuan adalah perempuan karir
dalam rumah tangganya yang mengatur dan mengelola segala urusan rumah
tangga.61
Jika nafkah diwajibkan kepada laki-laki, maka ini tidak menghalangi
seorang perempuan untuk bekerja menghasilkan uang, dengan syarat dia tidak
berbuat zalim kepada suami dan anaknya. Seorang pekerja perempuan harus dapat
menyesuaikan antara kerja dan kewajiban rumah tangganya. Kerja tidak boleh
mengalahkan kewajibannya melaksanakan urusan rumah, kebutuhan-kebutuhan
keluarga, merawat suami dan anaknya.
Dalam Islam, suami bertanggung jawab atas nafkah istrinya. Menafkahi
merupakan bagian dari kewajiban seorang suami dan salah satu hak istri atas
suami. Wajib bagi suami untuk menafkahi istrinya dengan memberinya makanan,
minuman, dan pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya yang dapat
mencukupi kehidupannya dengan kebiasaan manusia di sekitarnya tanpa
melampaui batas atau kurang dari sewajarnya.
61 Asyraf Muhammad Dawabah, op. cit. hlm. 105.
Universitas Sumatera Utara
Alasan kenapa perempuan bekerja sudah pernah diterangkan dalam bab
sebelumnya. Namun bagaimana konsekuensinya dalam kehidupan rumah tangga
jika perempuan bekerja?
Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa
konsekuensi sekaligus berbagai implikasi sosial, antara lain meningkatnya
kanakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-
nilai ikatan perkawinan/ keluarga dan lain-lain. Hal-hal ini lebih sering
diasosiasikan sebagai akibat dari semakin banyaknya ibu rumah tangga bekerja di
luar rumah, terutama di perkotaan. Permasalahan akan menjadi semakin rumit,
bila ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang relatif
lama (baik di kota lain atau di luar negeri). Dengan kata lain ibu rumah tangga
harus tinggal di kota lain dan berpisah dengan keluarganya dalam kurun waktu
lama. Yang berarti itensitas pertemuan dengan keluarga menjadi jauh berkurang
dan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keharmonisan
dalam keluarga.62
B. Pekerja Perempuan Menurut Hukum Islam
1. Hak-hak Pekerja Perempuan
62 Ratna P. Tjaja, “Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial”, http://docs.google.com/
konsekuensipekerja Perempuandalamkehidupanrumahtangga, 2 September 2010.
Universitas Sumatera Utara
Islam menetapkan hak-hak yang menjamin kehidupan yang baik dan
mulia bagi pekerja perempuan. Berikut hak-hak pekerja perempuan menurut
Islam.63
1. Perjanjian kerja yang jelas secara lisan maupun tulisan, transparan, dan
berkeadilan tentang jenis pekerjaan, ketentuan upah dan jaminan-jaminan
sosial lainnya;
2. Persamaan martabat pekerjaan terhadap pekerja perempuan, tidak
merendahkan martabat pekerja perempuan;
3. Pekerja perempuan tidak diperbolehkan bekerja yang tidak sesuai dan diluar
batas kemampuan. Harus diberikan pekerjaan yang layak dan cocok bagi
pekerja perempuan;
4. Biaya pengobatan yang layak apabila terjadi kecelakaan kerja;
5. Mempunyai waktu bekerja dan waktu luang untuk diri sendiri serta keluarga
(hak untuk istirahat dan cuti);
6. Upah yang layak dan tepat waktu dalam pembayaran;
7. Berhak dalam berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapatnya.
Serikat buruh bertujuan membantu pekerja perempuan dalam mencari
keadilan dan mensosialisasi pekerjaan sesuai kesepakatan bersama;
63 Fadlyrahman, “Buruh dalam Islam”, http://fadlyrahman.wordpress.com/2009/11/09/buruh-dalam-islam/, Minggu, 15 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
Hak untuk istirahat bagi pekerja perempuan memang sangat diperlukan.
Hal ini dikarenakan ada waktu-waktu tertentu dimana Ia mempunyai tuntutan
reproduksi yang tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Kita tidak boleh memaksa
mereka untuk tidak punya anak, tidak menyusui, tidak haid dan semisalnya,
karena semua itu fitrah mereka. Kita juga tidak boleh menolak buruh perempuan
karena alasan-alasan tidak produktif, karena produktivitas perempuan tidak
semata-mata diukur dan sisi jam kerja. Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat
32:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 32)
Selain itu, Islam juga mengatur hak untuk mendapatkan kesempatan
ibadah, sebab ibadah merupakan hak manusia yang paling mendasar. Tidak boleh
pihak manapun atas nama apapun mengurangi atau menghapuskan hak ibadah
orang lain. Karena Islam dengan ajaran-ajarannya sangat menjunjung tinggi hak
beragama dan berkeyakinan.64
2. Perlindungan bagi Pekerja Perempuan
64 Aida Milasari, “Hak-hak Pekerja”, http://www.rahima.or.id/index.php:opini-edisi-28-hak-hak-pekerja/15 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam melarang
perempuan untuk bekerja pada pekerjaan yang dasarnya haram, pekerjaan yang
halal tapi dituntut untuk melanggar aturan Islam (seperti tidak dibolehkan
memakai jilbab), dan jenis pekerjaan yang sifatnya pribadi.
Selain itu dilarang pula bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan–
pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian,
pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut
jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan.
Pelarangan perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan di atas
adalah dimaksudkan untuk melindungi perempuan dari pekerjaan yang hanya
akan merugikan dirinya sendiri.
Islam juga melarang perempuan bekerja pada malam hari untuk
melindunginya dari fitnah. Hal ini dikecualikan untuk pekerjaan yang
mengandung nilai manfaat secara sosial dan bersifat darurat, seperti dokter,
perawat, bidan dan sebagainya, terjamin keamanannya baik secara fisik ataupun
mental, tidak merusak aqidah maupun akhlak.65
C. Pekerja Perempuan menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
65 Taufik, “Wanita Bekerja dalam Pandangan Islam”, http://www.dakwahkampusmalang.com/index.php/Jadwa/wanita-bekerja-dalam-pandangan-islam.html, 29 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
1. Hak-hak Pekerja Perempuan
Hak-hak pekerja perempuan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut.
1. Hak untuk mendapatkan makanan dan minuman bergizi serta keamanan
selama di tempat kerja dan angkutan antarjemput bagi pekerja perempuan
yang bekerja pada malam hari (Pasal 76 ayat (3) dan (4) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);
2. Hak untuk mendapatkan waktu istirahat dan cuti (Pasal 79 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);
3. Hak untuk beribadah (Pasal 80 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan)
4. Hak untuk tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa haid karena
merasakan sakit dengan memberitahukan kepada pengusaha (Pasal 81 ayat
(1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);
5. Berhak memeperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum dan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, dan
memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan bagi pekerja
perempuan yang mengalami keguguran atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan);
Universitas Sumatera Utara
6. Berhak diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya yang masih
menyusu jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83 Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Ketentuan hukum lain yang mengatur mengenai hak-hak pekerja
perempuan dapat kita jumpai dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa:
“Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan
pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas
upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”
Kemudian ayat (4) dari Pasal 38 tersebut menyatakan:
“Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan
pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya
berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat
menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.”
Pasal 49 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyebutkan:
Ayat (1): wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2): wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita.
2. Perlindungan bagi Pekerja Perempuan
Perlindungan terhadap pekerja wanita dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 76, yaitu sebagai
berikut.66
1. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan yang berumur kurang
dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00.
Tanggung jawab atas pelanggaran ini dibebankan kepada pengusaha dengan
sanksi berupa pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama
12 (dua belas) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) (Pasal 187 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan).
Pada Pasal 3 Konvensi ILO mengenai Kerja Malam bagi Perempuan
yang Bekerja di Sektor Industri disebutkan bahwa:
“Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan
pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun,
atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha di mana
66 Hardijan Rusli, op.cit. hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
hanya anggota-anggota dari keluarga yang sama yang di
pekerjakan.”
Cukup jelas bahwa maksud dari pasal di atas adalah untuk melarang
pekerja perempuan yang bekerja di sektor industri bekerja pada waktu malam.
Namun hal ini tidak berlaku dalam hal force major, yaitu ketika di dalam usaha
terjadi interupsi pekerjaan yang mungkin terduga sebelumnya dan yang tidak
bersifat pengulangan dan dalam hal di mana pekerjaan berhubungan dengan bahan
mentah atau bahan-bahan yang harus dikerjakan yang cepat rusak apabila kerja
malam dimaksud memang perlu untuk menjaga agar bahan-bahan tersebut tidak
terbuang.67
a. Pertambangan, pengerukan dan pekerjaan-pekerjaan lain untuk
mengambil mineral dari bumi;
Usaha industri dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi ILO mengenai Kerja
Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri ini meliputi:
b. Usaha-usaha di mana barang-barang diolah, diubah, dibersihkan,
diperbaiki, dihias, diselesaikan, disiapkan untuk dijual, dipreteli atau
dihancurkan, atau di man bahan-bahan dikerjakan, termasuk usaha-usaha
yang berkaitan dengan pembangunan kapal atau pembangkitan,
transformasi atau transmisi tenaga listrik atau tenaga penggerak lainnya;
67 Pasal 4 Konvensi ILO mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri
Universitas Sumatera Utara
c. Usaha-usaha yang berkaitan dengan pekerjaan pembangunan atau
rancang-bangun, termasuk pekerjaan konstruksi, perbaikan,
pemeliharaan, perombakan dan pembongkaran.
2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun
dirinya bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Ketentuan ini berarti bahwa pengusaha boleh mempekerjakan wanita yang
sedang tidak hamil antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00 dengan kewajiban:
a. Memberikan makanan dan minuman bergizi;
b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja;
c. Menyediakan pengangkutan antar-jemput bagi pekerja perempuan yang
berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul
05.00.
Menurut Pasal 3 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 tentang Revisi
Terhadap Konvensi tentang Perlindungan Maternitas:
“Tiap-tiap Anggota setelah berkonsultasi dengan organisasi yang mewakili buruh dan pengusaha harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa perempuan mengandung atau sedang menyusui tidak diwajibkan melakukan pekerjaan yang oleh pejabat yang berwenang dinilai membahayakan kesehatan si ibu atau anaknya, atau telah dibuktikan bahwa hal itu membahayakan kesehatan si ibu atau anaknya.”
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan, kajian dan analisis yang dilakukan pada Bab I
sampai dengan Bab IV, penulis merumuskan beberapa kesimpulan berdasarkan
pertanyaan dalam perumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengenai perbandingan upah dalam ajaran Islam dan Undang-undang No.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki banyak persamaan.
Persamaan itu meliputi:
a. Defenisi upah berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
b. Bentuk upah pun sama menurut pandangan Islam dan Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
c. Dan mengenai upah harus diatur dalam perjanjian kerja (dalam Islam
disebut akad) baik berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
d. Menurut ajaran Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, pengusaha wajib untuk membayar upah
pekerja di tempat-tempat yang telah ditentukan sebelumnya dan tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh terlambat. Dan upah tetap dibayarkan kepada pekerja yang tidak
melaksanakan pekerjaannya yang dikarenakan alasan-alasan tertentu;
2. Mengenai persamaan pekerja perempuan dalam Islam dan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003, meliputi:
a. Mengenai prinsip non-diskriminasi dalam bekerja;
b. Mengenai hak-hak pekerja perempuan dan perlindungan bagi mereka.
Perbedaan pekerja perempuan menurut Islam dan Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meliputi:
a. Alasan-alasan perempuan boleh bekerja;
b. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang untuk perempuan;
B. Saran
1. Menerapkan aturan-aturan hukum yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun ajaran Islam
mengenai upah dan pekerja dengan baik dan jujur baik oleh pihak
pengusaha maupun pihak pekerja. Hal ini bertujuan untuk memberikan
manfaat pada pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti jika menerapkan
prinsip adil dan layak dalam menetapkan upah pekerja, maka selain pekerja
akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, semangat mereka untuk
Universitas Sumatera Utara
bekerja pun pasti bertambah dan pihak pengusaha diuntungkan dengan
proses produksi yang berjalan dengan baik.
2. Memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian upah dan
perlindungan bagi pekerja perempuan. Agar peraturan-peraturan yang telah
ada dapat berjalan dengan baik dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Universitas Sumatera Utara