BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Kronologi Pengujian … · 2020. 3. 5. · 35 BAB . III....

27
35 BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Kronologi Pengujian Pasal 122 huruf l UU MD3 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tujuh putusan untuk tujuh permohonanterkait Pasal 122 huruf l UU MD3. Namun dari ketujuh permohonan, hasilnya enam diantaranya Putusan tidak diterima dan satuPutusan diterima sebagian.Keenam Putusan menyebutkan bahwaPara pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing maka dari itu dinyatakan tidak diterima. Dalil yang diajukan para pemohon diantaranya Pasal 122 huruf l UU MD3: - Sifat Anti-Demokrasi dan menyalahi atau bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, prinsip dasar Hak Asasi Manusia, serta fungsi DPR secara konstitusional. - Berpotensi mengekang daya kritis rakyat, daya kritis mahasiswa - Bertentangan dengan hak jawab pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pers. - Berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya - Pasal karet karena tidak adanya kejelasan parameter apa saja yang disebut tindakan merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR - Berpotensi melanggar hak atas kebebasan berbendapat bagi warga negara Indonesia.

Transcript of BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Kronologi Pengujian … · 2020. 3. 5. · 35 BAB . III....

  • 35

    BAB III

    PEMBAHASAN DAN ANALISIS

    A. Kronologi Pengujian Pasal 122 huruf l UU MD3

    Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tujuh putusan untuk tujuh

    permohonanterkait Pasal 122 huruf l UU MD3. Namun dari ketujuh permohonan,

    hasilnya enam diantaranya Putusan tidak diterima dan satuPutusan diterima

    sebagian.Keenam Putusan menyebutkan bahwaPara pemohon tidak memiliki

    kedudukan hukum atau legal standing maka dari itu dinyatakan tidak diterima.

    Dalil yang diajukan para pemohon diantaranya Pasal 122 huruf l UU MD3:

    - Sifat Anti-Demokrasi dan menyalahi atau bertentangan dengan prinsip

    kepastian hukum, prinsip dasar Hak Asasi Manusia, serta fungsi DPR

    secara konstitusional.

    - Berpotensi mengekang daya kritis rakyat, daya kritis mahasiswa

    - Bertentangan dengan hak jawab pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pers.

    - Berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya

    - Pasal karet karena tidak adanya kejelasan parameter apa saja yang disebut

    tindakan merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR

    - Berpotensi melanggar hak atas kebebasan berbendapat bagi warga negara

    Indonesia.

  • 36

    Apabila dibandingkan dengan keseluruhan dalil tersebut diatas yang tidak

    diterima terhadap dalil pemohon yang diterima sebagian permohonannya maka

    ada perbedaan. Pada putusan yang diterima yaitu Putusan Nomor 16/PUU-

    XVI/2018 yang diajukan oleh Forum Kajian Umum dan Konstitusi dan Kawan

    Kawan, yang mendalilkan bahwa lahirnya Pasal 122 huruf l UU MD3 karena

    Mahkamah Kehormatan Dewan telah melampaui batas memegang kewenangan

    untuk melindungi DPR dan Anggota DPR. Kemudian Pasal 122 huruf l UU MD3

    dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan

    hukum mengikat.

    Pada penjabaran beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi diatas bahwa Pasal

    122 huruf l UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 dinyatakan “Inkonstitusional”

    menurut Mahkamah Konstitusi. Inkonstitusionalitas Pasal 122 huruf l UU MD3

    adalah sebagai berikut:

    a. Bahwa terkait dengan institusi MKD yang diberi tugas untuk

    “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang

    perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum” pada huruf e)

    Rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 frasa

    “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain ...” dapat ditafsirkan

    bahwa MKD melakukan langkah hukum terhadap pihak eksternal yang

    dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, sehingga

    seolah-olah mengambil alih kewenangan penegak hukum. terbukti pada

    sebagian risalahnya dilampirkan oleh DPR kepada Mahkamah tidak

    ditemukan adanya keterangan yang secara eksplisit menyatakan bahwa

  • 37

    frasa “mengambil langkah hukum” tersebut adalah mengarah kepada

    fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh penegak hukum.

    b. Bahwa melalui Pasal 122 huruf l UU MD3, kepada MKD diserahi tugas

    untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap

    orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai

    merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Konstruksi perumusan

    norma apabila suatu perbuatan hendak diatur sebagai perbuatan yang

    dilarang dan terhadapnya dapat dikenakan sanksi hukum, maka norma

    hukum yang mengatur perbuatan tersebut harus memenuhi syarat

    kejelasan rumusan atau sesuai dengan prinsip lex stricta dan lex certa. e)

    Bahwa dengan menelaah secara seksama rumusan Pasal 122 huruf l UU

    MD3, khususnya frasa “merendahkan kehormatan DPR dan anggota

    DPR”, hal itu dirumuskan dengan norma yang sangat umum, tidak jelas

    dan multitafsir. Frasa “merendahkan kehormatan” sangat fleksibel untuk

    dimaknai dalam bentuk apapun.

    c. Pasal 122 UU MD3 menempatkan orang perorangan atau badan hukum

    sebagai pihak yang dianggap juga dapat ikut merendahkan kehormatan

    dan martabat DPR. Padahal, sesuai Pasal 125 UU MD3, perorangan dan

    badan hukum adalah subjek hukum yang ikut membantu MKD dalam

    menjaga kehormatan DPR melalui pengaduan yang disampaikan kepada

    MKD. Terjadi pergeseran peran MKD melalui perubahan Pasal 122

    huruf l UU MD3 justru menimbulkan ketidaksinkronan antarnorma UU

  • 38

    MD3, khusus materi muatan terkait MKD sehingga bertentangan dengan

    UUD 1945.1

    Alasan-alasan Kontra terhadap ada Pasal 122 I menurut Sulardi karena :

    a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur soal

    penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 207 dalam undang-undang itu

    menyatakan bahwa siapa pun yang menghina kekuasaan atau suatu

    majelis umum dapat dihukum selama-lamanya 1,5 tahun kurungan.

    b. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-I/2006

    menyatakan bahwa penghinaan terhadap pemerintah, termasuk DPR,

    hanya dapat diterapkan berdasarkan pengaduan dari penguasa. Demikian

    juga penghinaan terhadap pegawainya menjadi delik aduan berdasarkan

    Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015.

    c. Revisi UU MD3 tidak bisa dikategorikan sebagai ketentuan spesialis atas

    peraturan generalis yang termuat dalam KUHP. Apabila tetap disahkan

    maka menimbulkan kekacauan dalam ketatanegaraan di Indonesia.

    d. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "merendahkan"

    bersinonim dengan "menghina". Masalahnya, apabila kata

    "merendahkan" itu diperluas, artinya bisa bermacam macam. Sebab,

    1 Badan Keahlian DPR RI Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Info Juducial Review

    Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 Perihal Pengujian Undang-Undang

    Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

    Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan Atas Undang-

    Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

    Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945tertanggal 28 Juni 2018.

  • 39

    menghina itu juga berarti memburukkan nama baik orang dan

    menyinggung perasaan orang, seperti memaki-maki..2

    Bahwa yang dimaksud oleh Ahli Hukum Tata Negara Sulardi dalam RKUHP

    juga ada Pasal yang mengintrepretasikan tentang Pasal Penghinaan yaitu

    Penghinaan Presiden dan Wapres.Pasal 265 RKUHP secara lengkap berbunyi

    “Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden,

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

    paling banyak Kategori IV.” Denda yang dimaksud sebagai Kategori IV adalah

    sebagaimana termaktub dalam ketentuan RKUHP dengan nilai paling banyak dari

    denda yang diusulkan pemerintah yaitu Rp300 juta. Sedangkan Pasal 266 RKUHP

    menyebutkan “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau

    menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau

    memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi

    penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan

    diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling

    lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

    Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP secara substansi sama dengan Pasal 134,

    Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang juga mengatur mengenai delik pidana

    penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Untuk lebih jelasnya Pasal 134, pasal

    136 bis, dan Pasal 137 KUHP berbunyi sebagai berikut:

    “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden

    diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana

    denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” Pasal 134. 2Sulardi, DPR yang Merendahkan Kehormatannya Sendiri, Dosen Hukum Tata Negara

    Universitas Muhammadiyah Malang diakses melalui Tempo.co edisi Senin, 19 Februari 2018.

  • 40

    “Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134

    mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 315, jika hal itu

    dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di

    muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan,

    namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga,

    bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa

    tersinggung” Pasal 136 bis.

    “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjuk-kan, atau menempelkan di

    muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap

    Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan

    diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana

    penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling

    banyak empat ribu lima ratus rupiah” Pasal 137 Ayat (1).

    “Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan

    pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya

    pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semcam itu juga, maka

    terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebt” Pasal 137

    Ayat (2).

    Pada 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 134,

    Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP telah diajukan uji materi (judicial review)

    bertentangan dengan Pasal 28 f UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan

    warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi melalui Putusan MK No.

    013-022/ PUU-IV/2006 dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137

    KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai

    kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut

    karena pemberlakuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berakibat

    mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan

    informasi, serta prinsip kepastian hukum. 3

    3Putusan MK No. 013-022/ PUU-IV/2006.

  • 41

    Pencatuman pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres dalam RKUHP

    menimbulkan Pro karena Presiden juga lekat dengan kepentingan negara dan

    kekuasaan negara sehingga perlu norma hukum yang mengatur tentang martabat

    dan kehormatannya agar tetap terjaga dengan baik. Pembuatan pasal tersebut

    Wicipto Setiadi, Kepala BPHN dan anggota Tim Perumus RKUHP tidak

    mengarah pada sesuatu yang disebut sebagai perilaku anti demokrasi.Oleh karena

    itu menurut Wicipto, semua orang diperkenankan untuk mengkritik Presiden dan

    Wapres asal tidak disertai dengan penghinaan.4

    Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, yang

    berpendapat bahwa Pasal 265 RKUHP tidak perlu dicabut dan harus tetap

    dipertahankan karena Pemerintah telah melaksanakan amanat putusan MK karena

    telah mengubah delik pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang

    semula formil menjadi materiil. 5

    Sementara pihak Kontra adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch

    (IPW) Neta S Pane, berpendapat bahwa pencantuman pasal penghinaan kepada

    Presiden dalam RKUHP dianggap telah melanggar konstitusi dan legalitasnya

    dipertanyakan karena MK telah mencabut pasal serupa dalam KUHP. Selain Neta

    S Pane, beberapa anggota DPR-RI juga tidak sependapat jika pasal penghinaan

    kepada Presiden dan Wapres dimasukkan dalam RKUHP, di antaranya Eva

    Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari FPDIP yang menilai pasal penghinaan

    4Dian Cahyaningrum, “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil presiden dalam

    Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”, Info Singkat hukum Vol. V, No.

    08/II/P3DI/April/2013 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat

    Jenderal DPR RI 5Ibid.,Dian Cahyaningrum

  • 42

    kepada Presiden akan menghidupkan politisi “penjilat” selain juga dapat

    menurunkan kualitas demokrasi.6

    Redaksi pasal yang demikian, dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan

    UUD NRI 1945 yang menjunjung semangat negara demokratis. Pembukaan UUD

    NRI 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Indonesia

    adalah melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

    memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

    melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

    dan keadilan sosial.

    Konstitusi menghormati, melindungi, dan menjamin setiap orang yang

    bermaksud menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku

    penghinaan.Bukan merupakan hal yang bijaksana ketika harus memperhadapkan

    secara diametral bahwa pengaturan pasal – pasal mengenai penghinaan terhadap

    Presiden atau Wakil Presiden dianggap sebagai upaya menghamabat kebebasan

    untuk mengemukakan pendapat. Ketika ada hak kebebasan berpendapat, termasuk

    di dalamnya kebebasan untuk mengkritik Presiden atau Wakil Presiden, maka

    disitu juga akan muncul batasan terhadap hak kebebasan berpendapat. Batasan ini

    dapat berupa batasan yang bersifat eksternal seperti paksaan.Paksaan untuk tetap

    menghormati pemerintah walaupun dalam upaya mengkritisi kebijakan atau

    perilaku Presiden atau Wakil Presiden.Atas dasar pemerintah harus menjaga dan

    membatasi pelaksaan hak untuk berpendapat dalam hal ini mengkrritik Presiden

    atau Wakil Presiden, maka pemerintah mengeluarkan atau mengakomodasi pasal-

    6Ibid.,Dian Cahyaningrum

  • 43

    pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (pasal 134

    KUHP, pasal 136Bis dan pasal 137 KUHP) sebagai landasan hukum dalam

    mengatur batasan kritikan terhadap pemerintah.

    Menurut Oemar Seno Adji, salah satu persyaratan yang harus diperhatikan

    apabila dalam hukum pidana akan mengatur mengenai pembatasan terhadap

    kebebasan pers, dalam hal ini kebebasan untuk berpendapat termasuk di dalamnya

    kebebasan untuk mengkritik pemerintahan, yaitu harus ada pembatasan yang

    bersifat limitatif, untuk hal – hal tertentu akibat dari abuse of liberty, seperti

    perbuatan :

    1. Penghinaan (baik penghinaan biasa atau ringan atau penghinaan formil dan material).

    2. Hasutan. 3. Blasphemy (pernyataan yang ditujukan terhadap agama). 4. Pornografi. 5. Berita bohong. 6. Keamanan nasional dan ketertiban umum (“national security” dan “public

    order”).

    7. Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (“impede the fair administration of justice”).

    7

    Bahwa pengaturan mengenai pembatasan hak asasi manusia, dalam hal ini

    hak untuk berpendapat adalah dimungkinkan.8

    7 Pujiyono.Kumpulan Tulisan Hukum Pidana – Kriminalisasi Atas Kebebasan Pers dalam

    Perspektif Hukum Pidana,CV Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 143 8 Penegasan demikian disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and

    Political Rights 1966 :

    The exercise of rights provided in paragraph 2 of this article carries with itspecial duties and

    responsibilities. It may therefore be subject to certain restriction. Butthese shall only be such asa

    are provided by law an necessary :

    a. respect of the rights or reputation of other

    b. for the protection of nationalsecurit or of public order

    Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights 1966juga diakomodasi oleh

    Undang – Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28J ayat (1)dan (2) UUD 1945. Pasal ini

    berbunyi:

    Pasal 28J

  • 44

    Benar bahwa terdapat potensi atau kemungkinan terjadinya pelanggaran

    terhadap hak-hak konstitusional, khususnya yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal

    28 e Ayat (2) dan (3) UUD 1945, yakni dalam hal terdapat keadaan di mana

    seseorang yang menyampaikan kritik terhadap Presiden, oleh penyidik atau

    penuntut umum dinilai sebagai penghinaan terhadap Presiden. Namun, andaikata

    pun keadaan demikian terjadi, hal itu bukanlah merupakan persoalan

    konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Suatu norma

    yang konstitusional tatkala diterapkan di dalam praktik oleh aparat penegak

    hukum memang terdapat kemungkinan melanggar hak-hak konstitusional

    seseorang, antara lain karena keliru dalam menafsirkannya. Namun, kekeliruan

    dalam penafsiran dan penerapan norma sama sekali berbeda dengan

    inkonstitusionalitas norma.

    Selain dari pihak Institusi Kehakiman dan Pers juga ada Civil Society lain

    yang menyatakan ketidaksetujuannya yaitu dari kalangan Akademisi. Akademisi

    tersebut adalah Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya yang menyatakan

    sikap :

    1. Menolak dengan tegas segala Bentuk Pelemahan penyampaian Aspirasi di

    muka publik serta kritik terhadap Pejabat Negara, baik Eksekutif, Legislatif,

    1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

    tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

    2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tundukkepada pembatasan yang

    ditetapkan dengan undang-undang denganmaksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta

    penghormatanatas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yangadil sesuai

    dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanandan ketertiban umum dalam suatu

    masyarakat demokaratis

    Pasal 28J ayat (1) dan (2) ini menyatakan bahwa hak asasi manusai dapatdibatasi oelh negara

    melalui undang – undang dengan maksud semaa – mata untukmenjamin pengakuan, penghormatan

    dan pelaksanaan hak asasi manusia dalamkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  • 45

    ataupun Yudikatif yang berpotensi mencederai pasal 28 e UUD NRI tahun

    1945.

    2. Menolak segala bentuk pelemahan terhadap penegakan hukum yang tidak

    memandang status apapun baik jabatan, suku, jenis kelamin dan sebagainya.

    3. Mendesak DPR segera melakukan Klarifikasi terkait Urgensi pembahasan

    serta pengesahan UU MD3.

    4. Menolak disahkannya UU tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2014

    tentang MD3 tertanggal 12 Februari 2018 dan Menuntut DPR dan Presiden

    mencabut UU tersebut.

    5. Menuntut DPR untuk melakukan segala proses pembuatan undang-undang

    dengan bijak serta memperhatikan kebutuhan masyarakat Indonesia.

    6. Mendukung Mahkamah Konstitusi untuk mempermudah proses Judicial

    Review terkait gugatan yang dilakukan atas UU MD3.

    7. Mendesak Presiden untuk mengeluarkan PERPPU terkait MD3 guna

    menggantikan UU MD3 untuk Sementara waktu apabila UU ini tetap

    berjalan. 9

    Berdasarkan uraian diatas maka penulis menganalisis bahwa yang menjadi

    sumber Kontra adalah :

    1. Perbedaan Intrepretasi makna kata merendahkan.

    9 Muhammad Nur Fauzan, 2018, Pernyataan Sikap : Menolak UU MD3, Kabinet Adhiyaksa

    Jagadhita

  • 46

    Pertama harus diketahui terlebih dahulu apakah kata merendahkan dan

    mengkritik memiliki arti kata yang sama. Merendahkan yang mempunyai

    kata dasar rendah (me-rendah-kan) adalah menjadikan rendah, membawa

    hingga menjadi rendah, menurunkan, memandang rendah (hina) orang lain.

    Sedangkan Mengkritik adalah mengemukakan kritikan dan atau mengecam10

    .

    Menurut penulis, mengkritik dan merendahkan itu berbeda, walaupun

    didalam pengertian mengkritik juga terdapat kata mengecam.

    2. Kewenangan MKD yang bersifat tertutup.

    Hal ini dibuktikan dengan artikel yang Kontra dengan Pasal 122 huruf l

    berbunyi: “bahwa ini memperlihatkan satu sikap ketertutupan, sehingga

    seakan-akan anggota DPR ini kebal dan tidak bisa memilikimitra yaitu para

    pemilihnya yang perlu memberikan masukan dan memberikan kritik”11yang

    dikemukakan oleh Henny Supolo Kepada SINDOnews pada Kamis, 22

    Februari 2018. Singkat kata Ketua Yayasan Cahaya Guru tersebut

    memberikan suatu ujaran jika DPR telah memutuskan hubungannya dengan

    “mereka” yang disebutkan sebagai pemilihnya atau masyarakat Indonesia.

    3. Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara.

    Pasal 122 huruf l UU MD3 menentang asas kebebasan berpendapat yang

    terdapat pada pasal 28 huruf e ayat (3) yang berbunyi : “setiap orang berhak

    atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”12.

    10

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/ dalam jaringan,

    https://kbbi.web.id/kritik.html diakses pada 6 September 2018. 11

    Rico Afrido Simanjuntak, Pasal 122 UU MD3 Perlihatkan Sikap Tertutup DPR pada Rakyat,

    edisi Kamis 22 Februari 2018 https://nasional.sindonews.com diakses pada 6 September 2018 12

    Pasal 28 huruf e ayat (3) UUD NRI 1945.

    https://kbbi.web.id/kritik.htmlhttps://nasional.sindonews.com/

  • 47

    Dalam pasal tersebut masyarakat Indonesia yang terkonsep demokrasi berarti

    bebas untuk mengeluarkan suatu pendapat apapun tanpa harus terhalangi oleh

    adanya Pasal 122 huruf l UUMD3 tersebut.

    Penulis menyatakan Pro terhadap Pemberlakuan Pasal 122 Huruf l dengan

    menguji menggunakan tiga aspek yaitu :

    1. Aspek Negara Hukum dan Demokrasi.

    2. Aspek Hak Asasi Manusia yang digaris besarkan pada pembatasan Hak atas

    rakyat (Derogable Rights).

    3. Aspek memenuhi kewajiban rakyat menghormati Aparatur negara.

    Berdasarkan buku yang disusun oleh Susilo Soeharto, Teori pemisahan

    kekuasaan ini juga dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya “L’espirit de

    loi” (jiwa perundang-undangan), oleh Immanuel kant teori ini disebut sebagai

    doktrin Trias Politica.13

    Teori ini terinspirasi dari pemikiran John Locke yang

    dituangkan dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” yang

    memisahkan kekuasaan negara. Secara garis besar ajaran Montesquieu ini

    membagi kekuasaan kedalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri

    sendiri, bahwa satu kekuasaan mempunyai satu fungsi lepas dari kekuasaan lain

    yakni:

    1. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang-Undang.

    2. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang-Undang.

    13

    Susilo Suharto. Op Cit., hlm. 41.

  • 48

    3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi pengadilan.

    Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif dalam

    kekuasaan eksekutif, Montesquiue memandang pengadilan itu sebagai kekuasaan

    yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan ia dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai

    seorang hakim telah mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif adalah berlainan

    daripada kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan

    hubungan luar negeri yang oleh Jhon Locke disebut “federatif” dimasukkan ke

    dalam kekuasaan eksekutif.Pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu

    merupakan pemisahan kekuasaan secara keras seperti halnya dengan monarki

    terbatas.

    Penegakan kedaulatan rakyat menjadi aspek fundamental dalam konstitusi

    sesuai Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD)

    1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

    UUD. Prinsip ini merupakan hal yang mendasari demokrasi konstitusional

    (constitutional democracy).14

    Jimly Asshiddiqqie menyatakan bahwa supremasi pemerintahan adalah

    supremasi yang didelegasikan dan berpegang pada kepercayaan dari

    Rakyat.Kembali lagi ke Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

    Negara Indonesia adalah Negara Hukum.dihubungkan dengan Pasal 1 ayat (2) dan

    Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka kedua Pasal tersebut menyatakan bahwa

    14

    Jimly Asshiddiqqie. Komentar. Loc Cit., hlm.. 10 – 11.

  • 49

    demokrasi adalah wujud kedaulatan rakyat tidak bisa dilandasi kekuatan politik

    saja. 15

    Asas demokrasi dikaitkan asas negara hukum (nomokrasi). Oleh Jimly

    Asshiddiqqie disebut negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat) atau

    dengan istilah lain yaitu contitutional democracy. Ciri khas negara hukum

    demokrasi adalah pelaksanaan prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip

    kedaulatan rakyat secara bersamaan.16

    Menurut Jimly, Demokrasi atau dengan kata lain kedaulatan rakyat bentuknya

    dapat berupa hak atas kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya yang dijamin

    konsitusi.17

    Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum

    dalam rangka mewujudkan Sistem konstitusional.18

    Kedaulatan rakyat merupakan

    inti dari Demokrasi menurut pandangan Rozak.19

    Demokrasi Pancasila yang asli dari Indonesia adalahgagasanBung Karno. Hal

    tersebut dapat dibuktikan melalui Pembukaan UUD NRI 1945 dan Batang Tubuh

    UUD NRI 1945 pada bab perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.20

    Negara Indonesia memiliki sistem peraturan perundang-undangan yang

    hierarkis dan tertulis.21

    Oleh karena itu Negara Indonesia dikatakan sebagai

    Negara Hukum.22

    Indonesia sebagai Negara Hukum terbukti dalam Pasal 1 Ayat

    15

    Jimly Asshiddiqqie. Hukum. Loc Cit., hlm.. 339. 16

    Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 57. 17

    Ibid., hlm. 59 18

    Ibid., hlm. 76. 19

    Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak. Loc Cit., hlm. 131. 20

    Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 124 21

    Maria Farida Indrati. Loc Cit., Yogyakarta hlm. 69. 22

    Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 128.

  • 50

    (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

    berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”

    Demokrasi erat kaitannya dengan Teori Negara Hukum.Teori Negara Hukum

    menyebutkan bahwa suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila

    memiliki peraturan perundang-undangan tertulis.Berkaitan dengan hal tersebut,

    Jimly memberikan pernyataan sebagai berikut:

    “Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjamin

    kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Negara hukum

    yang dikembangkan adalah democratische rechstaat atau negara hukum yang

    demokratis.”23

    UU MD3 disahkan sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17

    Tahun 2014 tentang MD3 pada tanggal 5 Agustus 2014. UU ini terdiri atas 428

    pasal dan 10 Bab. UU MD3 ini didasarkan pada empat pertimbangan utama antara

    lain:

    Pertama, bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan

    yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

    perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,

    dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai

    demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai

    dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Kedua, bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga

    perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah perlu menata Majelis

    23

    Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi, Ibid., hlm. 132

  • 51

    Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

    dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Ketiga bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

    Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

    dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan

    perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti.

    Keempat bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana perlu membentuk

    Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan

    Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.24

    Adapun UU yang dijadikan rujukan dalam UU MD3 ini diantaranya: Pasal 2,

    Pasal 3, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3),

    Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 22B, Pasal 22C,

    Pasal 22D, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3), Pasal

    23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat (2) dan ayat

    (3), dan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25

    B. Pembahasan Pasal 122 huruf l

    24

    DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang

    MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

    danDewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diakses melalui

    www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf, pada 3 Oktober 2018. 25

    DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang

    MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

    danDewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diakses melalui

    www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf, pada 3 Oktober 2018.

  • 52

    Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa UU MD3 ini

    merupakan implementasi dari pasal-pasal yang terdapat di dalam UU NRI Tahun

    1945. Menurut penulis, kedudukan DPR berbeda dengan lembaga peradilan.DPR

    mewakili kepentingan rakyat dan memiliki ruang lingkup Politik.Sehingga berhak

    untuk melaksanakan kebijakan politiknya.Setiap kebijakan politik dapat

    dilaksanakan asal tidak bertentangan dengan lembaga kekuasaan lainnya.Tidak

    ada penjelasan dalam UU MD3 untuk mewajibkan perkara penghinaan untuk

    dilaporkan ke pihak kepolisian.Disini penulis berpendapat bahwa bisa saja

    implementasi Pasal 122 Huruf I merupakan pasal yang dapat digunakan sebagai

    upaya preventif sebelum memasuki wilayah kekuasaan kehakiman.

    Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah tiga komponen yang tidak

    dapat dipisahkan dan saling terkait. Menurut Kenneth Janda, sebagaimana yang

    dikutip oleh Tjipta Lesmana mendefinisikan demokrasi secara sederhana sebagai

    ”authority in, or rule by, the people”, yang biasa disebut kekuasaan ditangan

    rakyat, atau kekuasaanoleh rakyat26

    Berdasarkan pernyataan di atas jelas bahwa

    dalam negara demokrasi hak asasi manusia dijamin oleh negara. Pada dasarnya

    secara universal hak asasi manusia dapat diartikan sebagai ”Those rights which

    are inherent in our nature and withoutwhich can not live as human being” artinya

    hak – hak yang melekat secara alamiah kepada manusia dan tanpa itu manusia

    tidak dapat hidup sebagai insan manusia.27

    26

    Tjipta Lesmana, Pencemaaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika,

    Erwin-Rika Press, Jakarta, 2005, hal 185 27

    Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Citra

    Aditya Bakti, Bandung, hal 43

  • 53

    Hak Asasi Manusia tersebut perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya

    orang tidak terpaksa memilih pemberontakan sebagai upaya terakhir guna

    menentang penindasan. Hukum menjadi dasar pelaksanaan dan perlindungan

    terhadap Hak Asasi Manusia28

    Pada dasarnya perlindungan hak asasi manusia ini telah tertuang di dalam

    UUD 1945 Universal Declaration of Human Rights mengkelompokkan hak – hak

    asasi manusia ke dalam dua kelompok yaitu hak – hak asasi sipil dan politik serta

    hak – hak asasi sosial dan ekonomi budaya.. Salah satu hak asasi sipil dan politik

    adalah hak untuk berpendapat, mencari menerima dan menyampaikan informasi.29

    Negara hukum demokratis berciri khas adanya pengakuan serta jaminan

    terhadap persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law). Sebagaimana

    dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara

    bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

    menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Maksud

    Pasal tersebut adalah semua orang diperlakukan sama di depan hukum. secara

    tersurat bahwa konsep Equality before the Law telah diakui oleh konstitusi

    Indonesia.

    Persamaan di hadapan hukum itu merupakan hak asasi manusia yang

    termaktub di konstitusi. Oleh sebab itu maka tiap-tiap warga negara seharusnya

    diperlakukan sama satu sama lain secara adil guna memperoleh hak.

    28

    Hijrah Adhyanti Mirzana, Kebijakan Kriminalisasi Pers dalam Undang – Undang Pers dan

    KUHP, Jurnal Law Reform Vol 2 / No 2 September 2006, Program Madister Ilmu Hukum

    UNDIP, Semarang, 2006, hal 61 29

    Ibid., hlm. 61

  • 54

    Negara Indonesia memiliki dua pengertian berbeda antara hak konstitusional

    dengan hak asasi manusia. perbedaan ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie

    bahwa Hak Konstitusional tercantum dalam Konstitusional (artinya merujuk pada

    Undang-Undang Dasar NRI 1945) berbeda dengan Hak Asasi Manusia yang

    merujuk pada Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar

    NRI 1945. Sebagai konklusi, Jimly berpendapat bahwa legal right tidak termasuk

    dalam hak konstitusional.30

    Dari narasi diatas dapat diperoleh gambaran bahwa secara teori Mahkamah

    Konstitusi mengandalkan satu sumber hak konstitusional yaitu Undang-Undang

    Dasar NRI 1945. Namun dalam Praktik, Mahkamah Konstitusi pernah membuat

    keputusan tentang hak konstitusional yang tidak tercantum secara implisit dalam

    Undang-Undang Dasar NRI 1945 yaitu hak konstitusional untuk memperoleh

    bantuan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-

    II/2004.31

    Penulis berpendapat bahwa hak konstitusional mencangkup hak asasi

    manusia.Hak konstitusional terbukti sinkron dengan Hak Asasi

    Manusia.sebagaimana disebutkan oleh rumusan Pasal 7 ASEAN Human Rights

    Declaration (AHRD) 2012 itu adalah:

    “All human rights are universal, indivisible, interdependent and interrelated.

    All human rights and fundamental freedoms in this Declaration must be treated in

    a fair and equal manner, on the same footing and with the same emphasis. At the

    same time, the realization of human rights must be considered in the regional and

    national context bearing in mind different political, economic, legal, social,

    cultural, historical and religious backgrounds.”

    30

    Jimly Asshiddiqie. Loc Cit., hlm. 509 – 534 31

    Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun

    2003 tentang Advokat, hlm. 29.

  • 55

    Artinya secara ringkas ialah Hak Asasi Manusia adalah hal yang fundamental

    dalam sebuah peraturan.Pelaksanaan dari Hak Asasi Manusia tersebut

    menyesuaikan dengan latar belakang suatu wilayah meliputi konteks perbedaan

    politik, ekonomi, hukum, sosial, sejarah dan agama. Kemudian dilakukan

    pembatasan pearturan meliputi keamanan nasional, kepentingan publik, keamanan

    publik, norma sosial, dan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat

    sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 AHRD yaitu:

    “The human rights and fundamental freedoms of every person shall be

    exercised with due regard to the human rights and fundamental freedoms of

    others. The exercise of human rights and fundamental freedoms shall be subject

    only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of

    securing due recognition for the human rights and fundamental freedoms of

    others, and to meet the just requirements of national security, public order, public

    health, public safety, public morality, as well as the general welfare of the peoples

    in a democratic society.”

    Berdasarkan pembatasan yang diberikan oleh Pasal 7 AHRD dan Pasal 8

    AHRD mengenai Kebebasan Berpendapat maka dapat dibatasi dengan kondisi

    Politik Lokal suatu negara. Misalnya Kebebasan Berpendapat mengenai Lembaga

    Negara DPR maka hal tersebut telah diatur Pasal 122 huruf I UU MD3. Terkait

    Hak Politik, DPR berhak mengajukan usul RUU sesuai fungsi legislasi yaitu

    berkaitan dengan wewenang DPR dalam membentuk UU.

    Sementara itu, perihal hak fundamental menurut ketentuan pada pasal 37 TAP

    MPR XVII/1998 dinyatakan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

    kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,

    hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut

    atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

  • 56

    dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable). Ketentuan hak fundamental,

    seperti disebutkan di TAP MPR di atas, juga menjadi semangat konstitusi baik

    melalui Pembukaan maupun pasal-pasal di dalamnya, menyatakan bahwa hak

    asasi terutama hak fundamental merupakan hal yang senafas dengan ide pendirian

    negara Indonesia.32

    Hak asasi manusia tidak dapat diterapkan pada seluruh organisasi karena Hak

    Asasi Manusia harus menyesuaikan dengan Hak Organisasi.Menurut penulis, Hak

    Asasi Manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hak organisasi atau dalam hal

    ini lebih dikenal dengan wewenang organisasi.

    Terkait dengan kewenangan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya,

    perubahan undang-undang ini juga memuat ketentuan pemberian sanksi dan bagi

    pihak-pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi DPR dan pemanggilan paksa

    bagi pihak-pihak yang tidak bersedia menghadiri panggilan DPR sesuai dengan

    ketentuan Pasal 73 UU MD3.Terkait dengan pengambilan langkah hukum dapat

    ditafsirkan bahwa MKD melakukan langkah hukum terhadap pihak eksternal yang

    dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, sehingga seolah-olah

    mengambil alih kewenangan penegak hukum. terbukti pada sebagian risalahnya

    dilampirkan oleh DPR kepada Mahkamah tidak ditemukan adanya keterangan

    yang secara eksplisit menyatakan bahwa frasa “mengambil langkah hukum”

    32

    Bandingkan pula dengan pengertian Hak fundamental dari Pasal 4 ayat 2 Kovenan Hak Sipil dan

    Politik dan Pasal 4 UU no 39/1999.

    Rusdi Marpaung, “Hak-Hak Konstitusional dan Fundamental Aktor Keamanan”, dalam Mufti

    Makaarim A., Wendy A. Prajuli, Fitri Bintang Timur, M. Haris Azhar, Almanak Hak Asasi

    Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, Edisi 1 – Institute for Defence Security and Peace

    Studies, Jakarta Selatan, Indonesia, Website: www.idsps.org hlm. 108

    http://www.idsps.org/

  • 57

    tersebut adalah mengarah kepada fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh

    penegak hukum.

    Kewenangan paksa yang dimiliki DPR untuk menghadirkan dan memaksa

    seseorang memberikan keterangan tersebut dikenal dengan istilah hak subpoena,

    yang menjadi persoalan, sanksi sandera tersebut mengundang pertanyaan apakah

    tepat dimiliki oleh sebuah lembaga politik dan apakah kewenangan paksa DPR

    tersebut tidak berlebihan mengingat fungsi-fungsi DPR bukan dalam kerangka

    proses penegakan hukum (pro justicia).

    Tidak ada definisi resmi istilah subpoena dalam berbagai peraturan

    perundang-undangan. Menurut Denny JA, istilah subpoena awalnya merujuk

    kepada hak yang dimiliki pengadilan. Demi mengungkapkan kebenaran,

    menghukum pembuat kriminal dan menegakkan keadilan, pengadilan diberikan

    hak subpoena, hak pemaksa.Seorang saksi yang menolak memberikan keterangan

    dapat dikirimkan ke penjara.33

    Selain lembaga penegak hukum dan DPR, Komisi

    Nasional Hak Asasi Manusiajuga mempunyai hak subpoena sebagaimana

    ditegaskan dalam Pasal 95 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “apabila

    seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan

    keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk

    pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan.

    33

    Denny JA, 2006, Opini di Republika: Partai politik pun Berguguran, LKIS, Yogyakarta hlm.

    199.

  • 58

    Namun yang menjadi catatan, meski Komnas HAM diberikan wewenang

    untuk meminta bantuan pengadilan agar menghadirkan dan memaksa seseorang

    memberikan keterangan, tetapi tidak ada sanksi sandera yang diatur dalam UU

    No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan

    HAM. Namun demikian sanksi pidananya diatur dalam Pasal 224 Kitab Undang-

    undang Hukum Pidana, yaitu: “barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru

    bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban

    berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara

    pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.

    Poin pentingnya adalah pemberian sanksi pidana tersebut terkait dengan

    proses penyelidikan (pro justicia). Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000

    tentang Pengadilan HAM menyatakan: “penyelidikan terhadap pelanggaran HAM

    yang berat dilakukan oleh Komnas HAM.” Ini berbeda dengan hak subpoena yang

    dimiliki DPR yang dilakukan bukan dalam ranah pro justicia.DPR sudah

    memiliki wewenang pro justicia terkait dengan penyelidikan yang dikenal sebagai

    hak angket. Pasal 77 ayat (3) UU MD3 mendefinisikan: “Hak angket adalah hak

    DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau

    kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan

    berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang

    diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.34

    34

    Zamrony, “Hak Subpoena sebagai Instrumen Pendukung Pelaksanaan Fungsi Dewan

    perwakilan Rakyat”, Asisten Staf Khusus Presiden RI Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan

    KKN, Asisten SatgasPemberantasan Mafia Hukum. Kantor Staf Khusus Presiden, JakartaPusat,

    Jurnal KEADILAN PROGRESIF Volume 16 1 Nomor 1 September 2010 hlm. 16-17

  • 59

    Kedudukan DPR sebagai Lembaga Negara yang harus dilindungi

    martabatnya. Hal ini merujuk pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

    Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:

    “Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan

    Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

    Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pasal 1 Ayat (1).

    Memperhatikanfrasa-frasa diatas maka dapat diartikan bahwa DPR lahir dari

    mandate rakyat dimana landasan hukumnya terdapat pada Konstitusi UUD NRI

    1945 Pasal 19 hingga Pasal 21 guna melaksanakan mandat rakyat, DPR

    membentuk MKD yang memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi

    martabat DPR sebagai wakil rakyat.

    Posisi atau sekaligus kedudukan MKD sebagai salah satu alat kelengkapan

    DPR.Sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU MD3, MKD merupakan salah satu

    alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan dibentuk untuk tujuan menjaga

    serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga

    perwakilan. Secara universal, misalnya The Global Organization of

    Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menyatakan kode etik lembaga

    perwakilan atau lembaga legislatif adalah dokumen formal yang mengatur

    perilaku legislator dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai perilaku yang

    dapat diterima dan apa yang tidak.35

    Apabila dikaitkan dengan Pasal 119 UU

    35

    a legislative code of conduct is a formal document which regulates the behavior of legislators by

    establishing what is to be considered to be an acceptable behavior and what is not. In other words,

    it is intended to promote a political culture which places considerable emphasis on the propriety,

    correctness, transparency, honesty of parliamentarians’ behavior. However, the code of conduct is

    not intended to create this behavior by itself). Selanjutnya ditegaskan, pada tingkat yang paling

    dasar, rezim etika dan perilaku harus memastikan bahwa anggota parlemen memahami dan

  • 60

    MD3, keberadaan alat kelengkapan DPR yang bernama MKD adalah merupakan

    lembaga untuk menegakkan standar perilaku/etik bagi anggota DPR. Secara

    doktriner dan sistematis, penyusunan norma dalam Pasal 122 UU 17/2014, mulai

    dari tujuan sampai dengan pembentukan institusi penegak etik dinilai telah

    memenuhi satu kesatuan pengaturan. Bahwa runtuh atau rusaknya martabat dan

    kehormatan suatu institusi sangat mungkin disebabkan oleh faktor internal

    maupun eksternal.

    Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor

    2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan

    Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) maka dapat diartikan bahwa DPR

    lahir dari mandat rakyat dimana landasan hukumnya terdapat pada Konstitusi

    UUD NRI 1945 Pasal 19 hingga Pasal 21 guna melaksanakan mandat rakyat,

    DPR membentuk MKD yang memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi

    martabat DPR sebagai wakil rakyat. Sebagaimana Peraturan Dewan Perwakilan

    Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara

    Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1

    Ayat (3) dan Pasal 2 Ayat (1) bahwa:

    “Mahkamah Kehormatan Dewan, selanjutnya disingkat MKD adalah alat

    kelengkapan DPR yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam undang-

    undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

    Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

    Rakyat Daerah, dan peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib”

    Pasal 1 Ayat (3).

    “MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang

    bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan

    mematuhi aturan dasar parlemen (the most basic level an ethics and conduct regime should ensure

    that MPs understand and adhere to the basic rules of parliament) (http://gopacnetwork.org).

  • 61

    keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat” Pasal 2 Ayat

    (1).

    Adanya pasal tersebut menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat disebut

    lembaga negara yang mengedepankan prinsip “Anti Kritik”.Kekecewaan dari

    masyarakat terjadi karena revisi atau pembaharuan dari UUMD3 yang baru

    menerbitkan bunyi pasal tersebut.Dilain pihak ada Pihak yang Pro berasal dari

    Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan kemudian memberikan pendapat terhadap

    Pasal 122 huruf l UUMD3. Sufmi Dasco Ahmad memberikan pendapat “Jika

    kritikannya membangun untuk DPR tidak masalah dan kritik yang disampaikan

    memiliki basis akademik sehingga dianggap sebagai proses demokrasi”.36

    Paparan tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Pasal 122 huruf l

    itu hanya tambahan jika dilihat pada Pasal 119 Nomor 17 Tahun 2014 tentang

    MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara tegas menyebutkan bahwa tugas Mahkamah

    Kehormatan Dewan selanjutnya disebut MKD memiliki tugas menjaga

    kehormatan dan marwah lembaga DPR sehingga tanpa Pasal 122 huruf l apabila

    ada yang pantas diproses hukum maka hukuman tersebut tetap berjalan. DPR juga

    memiliki Hak Personal untuk melaporkan pihak yang merendahkan martabatnya.

    Namun, secara kelembagaan DPR sudah diwakilkan oleh MKD untuk melaporkan

    kepada pihak yang berwajib. DPR juga akan terbuka, mendengarkan, dan

    menerima kritikan yang disampaikan secara konstruktif dan Pasal 122 huruf l UU

    MD3 tersebut juga bukan merupakan tindakan mengkriminalitas pihak-pihak yang

    ingin mengkritik anggota DPR.

    36

    Siaran Langsung Antara News TVhttps://m.youtube.com diakses tanggal 13 Februari 2018,

    pukul 22:53 WIB.

    https://m.youtube.com/