Bab III Metodologi
-
Upload
aghnia-qinthari -
Category
Documents
-
view
27 -
download
1
description
Transcript of Bab III Metodologi
-
BAB III
METODOLOGI
Metodologi penelitian tugas akhir Studi Pemilihan Alternatif Teknologi TPA
Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA Legok Nangka) digambarkan pada diagram
alir Gambar 3.1.
3.1 Pengumpulan Data Awal
Data awal yang dikumpulkan berupa inventarisasi data sekunder yang dikumpulkan
dari instansi pemerintah. Jenis data yang dikumpulkan yaitu data kependudukan, data
ekonomi kecamatan dan data kondisi eksisting pengelolaan sampah di wilayah
pelayanan TPA Legok Nangka. Adapun sumber data awal diperoleh dari instansi
Pengumpulan Data Awal
Penentuan TPS Lokasi Penelitian
Pengambilan Sampel Sampah di
TPS
Penentuan Karakteristik Fisik
(Densitas, Komposisi, Kadar Air,
Kadar Abu, Nilai Kalor dan
Kadar Volatil Sampah)
Penentuan Karakteristik Kimia
(Kadar Karbon, Hidrogen,
Oksigen, Nitrogen, Sulfur, dan
Fosfat)
Analisis Data Timbulan Sampah
Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah dengan
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Gambar 3.1 Metodologi
-
pemerintah yang terkait di bidang pengelolaan sampah dengan rincian dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1 Sumber Data Awal
Jenis Data Sumber Data
Data Kependudukan dan Data
Ekonomi Kecamatan
- Badan Pusat Statistik Kota
Bandung
- Badan Pusat Statistik Kota
Cimahi
- Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bandung Barat
- Badan Pusat Statistik Kabupaten
Bandung
- Badan Pusat Statistik Kabupaten
Garut
- Badan Pusat Statistik Kabupaten
Sumedang
Data Kondisi Eksiting Pengelolaan
Sampah
- PD Kebersihan Kota Bandung
- Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Cimahi
- Dinas Cipta Karya dan Tata
Ruang Kabupaten Bandung
Barat
- Dinas Perumahan, Penataan
Ruang, dan Kebersihan
Kabupaten Bandung
- Dinas Lingkungan Hidup,
Kebersihan, dan Pertamanan
Kabupaten Garut
- Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Sumedang
- Badan Pengelolaan Sampah
Regional Provinsi Jawa Barat
-
3.2 Penentuan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian untuk mengukur timbulan, komposisi, dan karakteristik sampah
dilakukan di TPS yang berada di wilayah pelayanan TPA Regional Legok Nangka.
TPS ditentukan berdasarkan tingkat perekonomian kecamatan dimana lokasi TPS
tersebut berada. Indikator ekonomi yang digunakan adalah nilai Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita. PDRB per kapita merupakan gambaran rata-rata
pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk sebagai hasil dari proses produksi
seluruh kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang dimaksud antara lain kegiatan
pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan jasa (BPS Kota Bandung, 2013).
Namun, penggunaan PDRB per kapita sebagai indikator perekonomian memiliki
kelemahan, yaitu tidak diperhatikannya tingkat ketimpangan atau distribusi
pendapatannya. Hal tersebut disebabkan karena PDRB per kapita tidak
memperhitungkan apakah pemilik faktor-faktor produksi yang menjadi penentu nilai
PDRB tersebut berada di luar wilayah yang dihitung nilai PDRB-nya atau tidak. Ada
kemungkinan PDRB suatu wilayah nilainya besar, namun ternyata faktor-faktor
produksi yang membentuk PDRB wilayah tersebut berasal dari daerah lain (BPS
Kota Bandung, 2013). Selain PDRB, indikator lain yang digunakan adalah jumlah
keluarga pra sejahtera per kecamatan di wilayah studi. Keluarga pra sejahtera adalah
keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti
sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Menurut Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (2011), kategori yang termasuk dalam keluarga pra
sejahtera apabila tidak mampu memenuhi salah satu dari enam kebutuhan dasar
berikut:
1. Anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
2. Anggota keluarga memiliki pakaian tidak hanya satu pasang untuk melakukan
kegiatan yang berbeda.
3. Rumah yang ditempat keluarga mempunyai atap, lantai, dan dinding yang
baik.
4. Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan.
-
5. Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi.
6. Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
Menurut Sunarti (2013), terdapat hubungan negatif antara jumlah keluarga pra
sejahtera terhadap sumbangan besarnya PDRB baik migas maupun non migas. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah keluarga pra sejahtera di suatu wilayah
maka semikin rendah PDRB di wilayah tersebut, begitu pun sebaliknya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga berpengaruh pada
perekonomian di suatu wilayah.
Menurut Gay dan Diehl (1992), penelitian deskriptif dibutuhkan sampel 10% dari
populasi, sehingga jumlah kecamatan yang diambil sebagai lokasi penelitian adalah
tiga sampai empat di setiap wilayah penelitian. Lokasi penelitian terpilih
diklasifikasikan menurut tingkat perekonomian yakni ekonomi rendah, menengah,
dan tinggi. Indikator tingkat perekonomian yakni PDRB per kapita dan jumlah
keluarga pra sejahtera tiap kecamatan diperoleh dari Badan Pusat Statistik seperti
yang ditampilkan pada Lampiran. Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan tingkat
ekonomi, didapatkan lokasi penelitian terpilih seperti pada Tabel 3.2. Lokasi
penelitian terpilih adalah kecamatan yang dilayani oleh TPS.
Tabel 3.2 Lokasi Penelitian Terpilih
Kota/Kabupaten Kecamatan Jumlah
Penduduk
Tingkat
Ekonomi
Kota Bandung
Bandung Wetan 31,124 Tinggi
Gedebage 37,082 Menengah
Rancasari 76,895 Rendah
Kota Cimahi
Cimahi Tengah 163,961 Tinggi
Cimahi Utara 158,633 Menengah
Cimahi Selatan 378,792 Rendah
Kabupaten
Bandung Barat
Padalarang 167,126 Tinggi
Lembang 185,158 Menengah
Cililin 85,865 Rendah
Kabupaten
Bandung
Pameungpeuk 73,508 Tinggi
Bojongsoang 4,218 Menengah
Baleendah 156,707 Rendah
-
Kota/Kabupaten Kecamatan Jumlah
Penduduk
Tingkat
Ekonomi
Kabupaten Garut
Garut Kota 129,585 Menengah
Tarogong Kaler 90,080 Tinggi
Tarogong Kidul 117,986 Menengah
Karangpawitan 123,234 Menengah
Kabupaten
Sumedang
Sumedang Utara 92,548 Tinggi
Sumedang Selatan 75,138 Menengah
Darmaraja 36,918 Rendah
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
3.3 Pengukuran dan Pengambilan Sampel Timbulan Sampah
Pelaksanaan sampling timbulan sampah dilakukan di minimal tiga TPS di tiap
kabupaten atau kota. Pengukuran timbulan sampah dilakukan selama delapan hari
berturut-turut di setiap TPS (SNI 19-3694, 1994). Metode pengukuran yang
dilakukan adalah metode load-count analysis, yakni mengukur jumlah (berat dan/atau
volume) sampah yang diangkut oleh armada pengangkut, misalnya gerobak. Untuk
mengetahui satuan timbulan sampah per-ekivalensi penduduk, sumber sampah perlu
diketahui jumlah penduduk yang dilayani (Damanhuri dan Padmi, 2010). Langkah-
langkah dalam melakukan sampling timbulan sampah pada penelitian ini adalah:
1) Berat sampling box kosong diukur terlebih dahulu.
2) Kondisi lingkungan pada saat melakukan sampling dicatat.
3) Sampah diambil dari salah satu gerobak secara acak lalu dibagi menjadi empat
(metode kuadran), ambil seperempatnya, apabila jumlahnya masih terlalu
besar dibagi lagi menjadi empat hingga jumlahnya cukup untuk dimasukkan
ke sampling box.
4) Sampah yang sudah dibagi dengan metode kuadran dimasukkan ke dalam
sampling box berukuran 25 cm x 25 cm x 65 cm.
5) Sampling box dijatuhkan dari ketinggian 20-30 cm sebanyak tiga kali untuk
mendapatkan densitas yang standar.
6) Berat dan volume sampah diukur sehingga didapatkan densitas.
-
7) Untuk mengetahui komposisi sampah, sampel yang telah diukur berat dan
volumenya dikategorikan menjadi sepuluh jenis yakni: organik, plastik,
kertas, logam, kaca, kain, kayu, karet, kulit, dan untuk yang sulit
teridentifikasi masuk dalam kategori lain-lain.
8) Kesepuluh jenis sampah yang telah teridentifikasi diukur beratnya.
9) Sampel sampah yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam kantong plastik
lalu dibawa ke laboratorium untuk uji karakteristik.
10) Untuk mendapatkan timbulan sampah perkapita, perlu diketahui sumber
sampah yang dikumpulkan di gerobak. Hal ini diketahui berdasarkan
wawancara petugas pengumpul sampah.
3.4 Penentuan Karakteristik Fisik dan Kimia
Penentuan karakteristik fisik dan kimia dilakukan di Laboratorium Limbah Padat dan
B3 Institut Teknologi Bandung. Uji karakteristik dilakukan untuk mendapatkan data
pendukung dalam menentukan teknologi pengolahan yang tepat. Karakteristik fisik
yang diuji adalah kadar air, kadar abu, nilai kalor dan kadar volatil sampah,
sedangkan karakteristik kimia yang diuji antara lain kadar karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, sulfur, dan fosfat. Metode yang digunakan dalam menentukan karakteristik
fisik dan kimia sampah ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Metode dalam Uji Karakteristik Sampah
No. Parameter Metode
1. Kadar Air ASTM D 2216-98
2. Kadar Abu Gravimetri SNI 01-2891-1991 butir 6 titik 1
3. Nilai Kalor SKSNIM-36-1991-03
4. Kadar Volatil Gravimetri SKSNI M-36-1991-03
5. C-Organik ASTM D 5369-93
6. Hidrogen
7. Oksigen
8. Nitrogen Total Khjeldal ASTM D 5198-09
9. Sulfur
10. Fosfat ASTM D 5830-14
-
3.5 Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah dengan Analytical
Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode pengambilan
keputusan yang digunakan oleh para pengambil kebijakan. Teknik pengambilan
keputusan ini bersifat multikriteria yang disusun dalam suatu susunan hierarki, lalu
dari setiap kriteria tersebut dibandingkan secara berpasangan (pairwise comparison)
dan diberi nilai numerik berdasarkan pertimbangan subjektif tentang pentingnya
masing-masing elemen. Elemen yang memiliki prioritas paling tinggi memberikan
pengaruh pada pengambilan keputusan. Langkah-langkah pemilihan alternatif
teknologi pengolahan sampah dengan AHP terdapat pada Gambar 3.2. Pada
penelitian ini analisis menggunakan alat bantu yaitu program Expert Choice 11.
Gambar 3.2 Langkah Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah dengan
AHP
Pemilihan alternatif teknologi pengolahan TPA Kawasan Regional Legok Nangka
dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dimulai dengan
menentukan kriteria yang akan digunakan sebagai parameter penilaian. Menurut
Penentuan kriteria
untuk mencapai
tujuan
Penentuan sub
kriteria dari kriteria
yang telah
ditentukan
Penentuan alternatif
teknologi
Penyusunan hierarki
AHP
Pembuatan matriks
perbandingan
berpasangan
Pembobotan untuk
membandingkan
setiap elemen
Penetapan prioritas
pada masing-masing
hierarki Uji konsistensi
Penarikan
kesimpulan
-
Armuwaraharja (2003), ada empat aspek yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah yaitu aspek sosial, ekonomi,
lingkungan, dan teknis. Masing-masing aspek memiliki kriteria penilaian yang harus
dipertimbangkan antara lain:
1. Aspek Sosial
Aspek sosial merupakan hal yang berhubungan dengan masyarakat sehingga
menjadi hal penting dalam pemilihan teknologi pengolahan sampah. Penjabaran
kriteria aspek sosial adalah sebagai berikut:
- Penerimaan masyarakat
Keberadaan instalasi pengolahan sampah seringkali menimbulkan persepsi
negatif di masyarakat seperti potensi pencemaran di lingkungan sekitar.
Keberterimaan masyarakat terhadap teknologi pengolahan sampah terpilih
diharapkan mencegah timbulnya konflik sehingga penerapan teknologi bersifat
berkelanjutan.
- Penyerapan tenaga kerja
Kegiatan operasional dan pemeliharaan fasilitas persampahan dapat membuka
lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar sehingga menggerakan roda
ekonomi di lokasi TPA.
- Penguatan peran serta masyarakat
Penerapan teknologi pengolahan sampah diharapkan dapat meningkatkan peran
serta masyarakat dalam mengelola sampah. Contoh yang paling sederhana
adalah melakukan kegiatan pemilahan sampah di sumber dan memanfaatkan
kembali sampah yang bernilai ekonomi sehingga beban pengelolaan di TPA
menjadi berkurang.
2. Aspek Ekonomi
Kelayakan suatu unit pengolahan sampah dari segi ekonomi dapat dinilai dari sub
kriteria berikut:
- Biaya investasi
-
Biaya investasi adalah dana yang dibutuhkan untuk membangun instalasi
pengolahan sampah. Besar kecilnya biaya yang dibutuhkan berpengaruh
terhadap keputusan pemilihan teknologi pengolahan sampah.
- Biaya operasional dan pemeliharaan
Untuk kelancaran kegiatan pengolahan sampah dibutuhkan dana. Dana tersebut
berpengaruh terhadap besarnya tipping fee yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah untuk membiayai jasa pengelolaan persampahan.
3. Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan patut dijadikan penilaian dalam menentukan teknologi
pengolahan sampah. Hal ini dikarenakan aspek tersebut berkaitan dengan masalah
pengelolaan lingkungan di lokasi instalasi pengolahan sampah berada. Sub kriteria
dalam penilaian aspek lingkungan sebagai berikut:
- Pencemaran tanah dan air
Salah satu potensi pencemaran tanah dan air oleh sampah ialah lindi. Timbunan
sampah yang terkena air hujan berpotensi menyebabkan tersebarnya lindi pada
lingkungan sekitarnya. Karakteristik lindi yang mengandung zat berbahaya dan
sulit terdegradasi menjadi pertimbangan dalam penilaian aspek lingkungan.
- Pencemaran udara
Permasalahan sampah selain lindi adalah bau tidak sedap dan emisi gas yang
dikeluarkan saat membakar sampah. Bau tidak sedap yang ditimbulkan oleh
timbunan sampah menyebabkan ketidaknyamanan di lingkungan sekitarnya.
Sampah yang dibakar tanpa ada penanganan khusus terlebih dahulu berpotensi
menimbulkan emisi gas berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan.
4. Aspek Teknis
Aspek teknis dalam menentukan teknologi pengolahan bertujuan untuk menjamin
teknologi tersebut dapat diimplementasikan serta perangkat kelembagaan yang ada
dapat melaksanakannya. Sub kriteria untuk aspek teknis antara lain:
- Kemampuan reduksi sampah
-
Tujuan utama pengolahan sampah adalah untuk mengurangi timbulan di lahan
akhir pembuangan sehingga umur operasionalnya lebih panjang. Maka dari itu
efektifitas suatu pengolahan untuk mereduksi timbulan sampah menjadi
pertimbangan penting dalam pemilihan teknologi.
- Kemudahan operasional dan perawatan
Untuk mendukung keberjalanan kegiatan, instalasi pengolahan hendaknya dapat
dioperasikan secara mudah oleh petugas lapangan. Kemudahan operasional suatu
instalasi mampu menekan biaya operasional khususnya upah petugas lapangan
karena menggunakan tenaga kerja lokal setempat.
Langkah selanjutnya adalah menyusun kriteria dan sub kriteria yang telah ditentukan
menjadi hierarki yang terstruktur seperti pada Gambar 3.3. Struktur pada tingkat
pertama berisi tujuan dari penelitian yaitu untuk memilih alternatif teknologi
pengolahan sampah. Kriteria-kriteria yang berpengaruh terhadap pemilihan alternatif
teknologi berada pada struktur tingkat kedua, sedangkan pada tingkat ketiga berisi
sub kriteria sub kriteria yang berhubungan dengan masing-masing alternatif
teknologi untuk penelitian ini seperti anaerobic digester, refused derived fuel,
sanitary landfill, dan gasifikasi.
Setelah struktur hierarki terbentuk, dilanjutkan oleh pembuatan matriks perbandingan
berpasangan untuk memudahkan langkah selanjutnya yaitu penyusunan kuisioner.
Kuisioner terdiri dari tiga bagian, yaitu:
- Bagian pertama untuk menentukan prioritas antara dua faktor pada hierarki
tingkat pertama yang memuat kriteria.
- Bagian kedua untuk menentukan prioritas antara dua faktor pada hierarki
tingkat kedua yaitu sub kriteria.
- Bagian ketiga untuk menentukan prioritas antara dua faktor pada bagian
alternatif teknologi pengolahan sampah.
-
Kuisioner dibagikan kepada responden yang berpengaruh terhadap pengambilan
keputusan di bidang persampahan. Untuk pembobotan, skala yang digunakan adalah
1 sampai 9 dengan penjelasan seperti pada Tabel 3.4.
Gambar 3.3 Hierarki Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah
Setelah pembobotan dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan sintesis atau
perhitungan untuk memperoleh prioritas dari elemen-elemen yang dibandingkan.
Nilai yang dianalisis adalah rata-rata dari kuisioner responden. Langkah terakhir
adalah menghitung nilai konsistensi matriks yang bersangkutan. Tingkat
inkonsistensi yang masih dapat diterima hingga 10%.
Hal yang diutamakan dalam metode AHP adalah kualitas data dari responden bukan
tergantung dari kuantitasnya (Saaty, 1993) sehingga penilaian AHP memerlukan
pakar sebagai responden dalam pemilihan alternatif. Pakar yang dimaksud adalah
orang-orang kompeten yang benear-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan
kebijakan atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Jumlah
Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah
Aspek Sosial Aspek Ekonomi Aspek Lingkungan Aspek Teknis
1. Penerimaan
masyarakat
2. Penyerapan
tenaga kerja
3. Penguatan peran
serta masyarakat
1. Biaya investasi
2. Biaya
operasional dan
pemeliharaan
1. Pencemaran
tanah dan air
2. Pencemaran
udara
1. Kemampuan
reduksi
sampah
2. Kemudahan
operasional
dan perawatan
1. Anaerobic Digester
2. Refused Derived Fuel
3. Sanitary Landfill
4. Gasifikasi
-
responden dalam metode AHP tidak memiliki rumusan tertentu, namun ada batas
minimum yaitu dua orang responden (Saaty, 1993). Responden untuk penelitian ini
dibagi menjadi empat, yaitu:
1) Pemerintah
Pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam kebijakan pengelolaan
sampah berpartisipasi dalam memiliki informasi terkait dan pembuat
kebijakan memiliki porsi dalam penilaian. Kelompok pemerintah yang
dijadikan responden antara lain PD Kebersihan Kota Bandung, Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Cimahi, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang
Kabupaten Bandung Barat, Dinas Perumahan, Penataan Ruang, dan
Kebersihan Kabupaten Bandung, Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan
Pertamanan Kabupaten Garut, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Sumedang, dan Badan Pengelolaan Sampah Regional Provinsi Jawa Barat.
2) Masyarakat
Kelompok masyarakat yang dipilih sebagai responden adalah yang
berkompeten dan terjun langsung di kegiatan persampahan. Responden yang
dipilih memiliki pengaruh dalam pengelolaan persampahan di wilayah
Metropolitan Bandung Raya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
3) Tenaga Ahli
Tenaga ahli yang dipilih sebagai responden dikategorikan sebagai pihak yang
mengerti masalah persampahan sekaligus teknologi yang akan
diimplementasikan. Kelompok tenaga ahli diwakili oleh peneliti di bidang
persampahan.
-
Tabel 3.4 Skala Pembobotan AHP
Sumber: Saaty (1993)
Tingkat
Kepentingan
(i)
Definisi Keterangan
1 Sama pentingnya Kedua elemen mempunyai pengaruh yang
sama.
3 Sedikit lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat memihak
satu elemen dibandingkan dengan
pasangannya.
5 Lebih penting
Satu elemen sangat disukai secara praktis
dominasinya sangat nyata, dibandingkan
dengan elemen pasangannya.
7 Sangat penting
Satu elemen terbukti sangat disukai dan secara
praktis dominasinya sangat nyata
dibandingkan dengan elemen pasangannya.
9 Mutlak lebih penting
Satu elemen mutlak lebih disukai
dibandingkan dengan pasangannya, pada
tingkat keyakinan tertinggi.
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai tengah
diantara dua pendapat
yang berdampingan
Nilai-nilai ini diperlukan suatu kompromi
1/i Jika elemen i memiliki salah satu angka diatas dibandingkan dengan
elemen j maka j berkebalikan bila dibandingkan dengan i