BAB III METODE KERJA - repository.uph.edurepository.uph.edu/1791/6/Chapter 3.pdf3.1 Bahan dan Alat...
Transcript of BAB III METODE KERJA - repository.uph.edurepository.uph.edu/1791/6/Chapter 3.pdf3.1 Bahan dan Alat...
17
BAB III
METODE KERJA
3.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan selama penelitian adalah daun karuk (Balittro),
Jeruk nipis (Pasar modern, BSD), Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa (ATCC IPB), madu (Sari Bunga Alam), Nutrient Agar (Merck), Blood
Agar Base (Oxoid), darah domba defibrinasi (Departemen Mikrobiologi UI),
etanol food grade, Dragendorff dan Mayer LP, HCL 2N, NaOH (Merck), Na2SO4
anhidrat (Merck), DMSO (Merck), H2SO4 (Merck), garam fisiologis (Merck)
kloroform, acetic anhydride, asam borat (Merck), Folin-Ciocalteau (Merck),
Na2CO3(Merck), FeCl3(Merck), asam gallat, aluminium klorida, potassium asetat,
quersetin, glutaraldehida 2%, alkohol, air minum (Aqua), dan air destilasi.
Alat yang digunakan selama penelitian adalah beaker glass, tabung reaksi,
water bath (Memmert), batang pengaduk, saringan, cawan petri (Gosseline),
spektrofotometer (Tuner SP-83), Scanning Electron Microscope (SEM),
mikroskop, termometer, pipet tetes, pipet volumetrik (pyrex), labu takar (pyrex),
Erlenmeyer (pyrex), penjepit kayu, ose, kaca preparat, kuvet, mikro pipet, tip,
gelas ukur (pyrex), laminar air flow, jangka sorong, dry blender (Panasonic
MXJ1G WSR), ayakan 35 mesh, autoklaf, heater (Barn Stead SP 46920-33),
bunsen, korek api, vortex (Thermo Scientific M37610-33), inkubator, timbangan
meja, oven (Memmert UM 400), rotary vapour, Neraca analitik (Mettler Tuledo),
buchner, rak tabung rekasi, pH meter (Metrohm), colony counter, tabung reaksi
(pyrex), tabung ulir (pyrex), dan bulp pump.
18
3.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dua
tahap. Pada penelitian tahap I untuk menentukan lama maserasi daun karuk yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan P. aeruginosa penyebab
ISPA. Penelitian tahap II dengan melanjutkan penelitian pada tahap sebelumnya,
yaitu dikombinasikan dengan penambahan rasio sari jeruk nipis dan madu pada
dosis ekstrak daun karuk sehingga mendapatkan aktivitas antibakteri yang tepat
dalam menghambat bakteri S. aureus dan P. aeruginosa penyebab ISPA.
Penelitian tahap II dilakukan untuk membuat minuman fungsional ekstrak daun
karuk dari rasio sari jeruk nipis : madu dengan dosis ekstrak daun karuk.
3.2.1 Penelitian Tahap I
Tahap pertama dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
lama maserasi daun karuk yang dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan P.
aeruginosa. Parameter uji yang diamati adalah uji antimikroba, Minimum
Inhibitory Consentration (MIC) dan Minimum Bactercidal Consentration (MBC),
kadar air, rendemen, dan uji fitokimia.
3.2.1.1 Perlakuan dan Rancangan Percobaan Tahap I
Pada percobaan tahap pertama dipilih satu faktor dalam ekstrak daun karuk.
Faktor yang digunakan adalah lama maserasi, dengan empat level yang
digunakan. Daun karuk bubuk sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalam 300 ml
etanol (food grade) dengan perbandingan 1:20. Lama maserasi yang digunakan 1
hari (A1), 3 hari (A2), dan 5 hari (A3), 7 hari (A4). Rancangan percobaan dilakukan
19
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan tiga kali
pengulangan dan duplo. Rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Rancanan percobaan tahap I
Lama Maserasi (A) Ulangan
1 hari (A1) (A1)1
(A1)2
(A1)3
3 hari(A2) (A2)1
(A2)2
(A2)3
5 hari (A3) (A3)1
(A3)2
(A3)3
7 hari (A4) (A4)1
(A4)2 (A4)3
Uji statistik dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package
for the Social Science (SPSS) 20. Model statistik rancangan percobaan sebagai
berikut:
Y ij = µ + Ai + єij
dimana,
Yij = variabel respon hasil pengamatan pada sampel
µ = nilai tengah populasi
Ai = lama maserasi yang digunakan
εij = pengaruh eror yang mempengaruhi Yij
Hipotesis yang digunakan selama penelitian:
H0 = tidak ada pengaruh signifikan lama maserasi terhadap uji aktivitas
antibakteri
H1 = terdapat pengaruh signifikan lama maserasi terhadap uji aktivitas antibakteri.
20
3.2.1.2 Prosedur Penelitian Tahap I
Pada penelitian tahap pertama dibagi menjadi dua, yaitu proses pengeringan
daun karuk dan proses ekstraksi daun karuk, uji toksisitas dan penentuan MIC dan
MBC.
A. Pengeringan Daun Karuk (Ugusman, et al., 2012; Satwase 2013 )
Proses pembuatannya dimulai dari tahap pencucian, pengecilan ukuran,
dan pengeringan. Proses pertama pembuatan diawali dengan sortasi pada daun
karuk. Sortasi dilakukan untuk membuang benda asing yang terikut dan
membuang daun karuk yang sudah rusak. Daun karuk yang telah disortasi
kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir agar daun karuk bersih dari
kotoran yang menempel pada daun. Setelah selesai dicuci, daun karuk ditiriskan
dan dikeringkan.
Tahap selanjutnya ialah pengecilan ukuran daun karuk. Daun karuk
dipotong dengan ukuran ± 2 cm, kemudian dimasukkan ke dalam oven untuk
dikeringkan dengan menggunakan suhu 70oC dalam waktu 5 jam. Setelah proses
pengeringan selesai, dilakukan proses maserasi. Proses pembuatan daun karuk
kering dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Daun karuk segar
↓
Dicuci dan dipotong menjadi ukuran kecil (± 2 cm)
↓
Ditiriskan
↓
Dikeringkan (5 jam, suhu 70oC)
↓
Daun karuk kering
Gambar 3.1 Diagram alir proses pengeringan daun karuk.
Sumber: Ugusman, et al (2012); Satwase (2013)
21
B. Ekstraksi Daun Karuk (Chanudom, et al., 2014)
Daun karuk yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan dry
blander, kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 35 mesh.
Dengan perbandingan 1:20, sebanyak 15 gram daun karuk bubuk dimasukkan ke
dalam 300 ml etanol (food grade).
Daun karuk kering
↓
Di dry blender
↓
Diayak (35 mesh)
↓
Daun karuk bubuk (15 gram)
↓
Diekstrak dengan Etanol (1:20) food grade
↓ Maserasi (1, 3, 5, dan 7 hari)
↓
Penyaringan –Vakum buchner
↓
Filtrat
↓
Evaporasi-rotary evaporator (suhu 50oC)
↓
Ekstrak Daun Karuk
Gambar 3.2 Diagram alir proses ekstraksi daun karuk.
Sumber: Chanudom, et al (2014).
C. Uji Aktivitas Antibakteri (Parhusip dan Sitanggang, 2011)
Penyegaran kultur dilakukan dengan cara mengambil 1 ose dari kultur
stok, dimasukkan ke dalam 10 ml Nutrient Broth (NB), kemudian diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC. Kultur dari tabung penyegar akan diambil 1 ml
dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 ml NB dan diinkubasi hingga fase
eksponensial yaitu diinkubasi selama 8 jam.
Pengujian antibakteri menggunakan metode difusi sumur, dengan
mengukur daya hambat masing-masing bakteri. Sebanyak 107 CFU/ml bakteri
yang akan diuji (S. aureus dan P. aeruginosa) 0.2% suspensi bakteri dimasukkan
ke dalam Nutrient Agar (NA) untuk P. aeruginosa dan Blood Agar Base (BAB)
22
untuk S. aureus kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan tunggu hingga
memadat. Agar yang telah memadat dibuat lubang-lubang atau sumur dengan
diameter ± 6mm. Setiap lubang yang telah dibuat dimasukkan sampel sebanyak
60 μL dengan berbagai konsentrasi (100-500 mg/ml (b/v)). Cawan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 24 jam.
Bakteri akan tumbuh hanya pada area plate dimana memiliki konsentrasi
antibiotik yang terlalu rendah dan dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Pada
tahap akhir inkubasi, dapat dilakukan pengukuran diameter hambat pertumbuhan
bakteri (dalam millimeter) pada zona bening yang berada disekitar lubang.
Pengukuran diameter hambat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong
(Lee, 2009).
D. Pengujian Toksisitas terhadap Ekstrak (Juniarti et al., 2009)
Metode BSLT digunakan untuk melakukan pengujian toksisitas. Uji
toksisitas dilakukan pada sampel ekstrak yang terpilih pada tahap I. Larva udang
sebanyak 10-12 ekor disiapkan di dalam 100 μl air laut pada setiap perlakuannya.
Terdapat lima perlakuan yang dibuat untuk berdasarkan perbedaan konsentrasi
dari ekstrak. Konsentrasi yang digunakan adalah 10, 100, 200, 500, dan 1000
ppm. Sebanyak dua tetes DMSO dimasukkan ke dalam larva yang telah berisi
ekstrak dan diinkubasi selama 24 jam.
Proses pengujian selanjutnya dilakukan dengan menghitung larva yang
hidup dan yang mati pada setiap konsentrasi yang akan digunakan untuk
menghitung persentase mortalitas. Perhitungan persentase mortalitas dilakukan
23
dengan cara akumulasi dari larva mati dengan total dari larva mati dan hidup
sebagai pembagi, kemudian dikali 100%.
E. Penentuan Minimum Inhibitor Consentration (MIC) dan Minimum
Bacterial Consentration (MBC) (Bloomfield, 1991)
Sebanyak 5 buah sumur dibuat pada media padat, kemudian ekstrak daun
karuk sebanyak 60μL dimasukkan ke dalam masing-masing sumur berdiameter 6
mm. Ekstrak daun karuk dengan konsentrasi 100 mg/ml, 200 mg/ml, 300 mg/ml,
400 mg/ml, dan 500 mg/ml dimasukkan ke dalam sumur yang telah dibuat.
Setelah semua sumur terisi, media akan diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37oC. Hasil pengukuran ditunjukkan dengan adanya zona penghambatan bakteri
setelah inkubasi 24 jam.
MBC diperlukan untuk mengetahui konsentrasi minimal dalam
menghambat pertumbuhan mikroba. Penentuan MIC dan MBC menggunakan
kurva In Mo (Dosis ekstrak daun karuk). Pada kurva sumbu X menunjukan In Mo
dan sumbu Y menunjukan zona penghambatan yang dikuadratkan (Z2). Pada
kurva akan terbentuk titik potong sumbu X disebut juga Mt. Mt akan dihitung
dengan ln-1 sehingga mendapat perhitungan untuk nilai MBC. Nilai MIC dapat
diperoleh dengan perkalian MBC dengan 0.25.
3.2.1.3 Parameter Penelitian Tahap I
Parameter uji yang dilakukan pada tahap I terdiri dari uji aktivitas bakteri
(Suliantari, et al., 2008), penentuan MIC dan MBC (Bloomfield, 1991) terhadap
bakteri S. aureus dan P. aeruginosa, kadar air, rendemen, uji fitokimia dan uji
toksisitas.
24
3.2.2 Penelitian Tahap II
Penelitian tahap kedua bertujuan untuk menambahkan rasio sari jeruk
nipis : madu pada dosis ekstrak daun karuk dalam pembuatan minuman
fungsional dari ekstrak daun karuk sehingga lebih efektif dalam menghambat
bakteri penyebab ISPA. Penambahan rasio sari jeruk nipis dan madu ke dalam
dosis ekstrak MBC yang terpilih pada tahap I.
3.2.2.1 Perlakukan dan Rancangan Percobaan Penelitian Tahap II
Pada penelitian tahap II ini memiliki dua faktor rasio sari jeruk nipis dan
madu (B) dan dosis ekstrak berdasarkan nilai MBC (C). Empat level rasio sari
jeruk nipis : madu yang digunakan adalah B1 (1:1), B2 (1:2), B3 (1:3), dan B4
(1:4). Dosis ekstrak yang digunakan sebanyak empat level, yaitu:
C1 = 1 MBC (41 mg/ml)
C2 = 2 MBC (82 mg/ml)
C3 = 3 MBC (123 mg/ml)
C4 = 4 MBC (164 mg/ml)
Penambahan rasio sari jeruk nipis : madu dilakukan untuk melihat
aktivitas antibakteri daun karuk. Rancangan percobaan dilakukan dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor dengan tiga kali pengulangan.
Rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
25
Tabel 3.2 Rancangan percobaan tahap II
Rasio sari jeruk nipis :
madu (B)
Dosis ekstrak (C)
1 MBC (C1) 2 MBC (C2) 3 MBC (C3) 4 MBC (C4)
1:1 (B1) (B1C1)1 (B1C2)1 (B1C3)1 (B1C4)1
(B1C1)2 (B1C2)2 (B1C3)2 (B1C4)2
(B1C1)3 (B1C2)3 (B1C3)3 (B1C4)3
1:2 (B2) (B2C1)1 (B2C2)1 (B2C3)1 (B2C4)1
(B2C1)2 (B2C2)2 (B2C3)2 (B2C4)2
(B2C1)3 (B2C2)2 (B2C3)3 (B2C4)3
1:3 (B3) (B3C1)1 (B3C2)1 (B3C3)1 (B3C4)1
(B3C1)2 (B3C2)2 (B3C3)2 (B3C4)2
(B3C1)3 (B3C2)3 (B3C3)3 (B3C4)3
1:4 (B4) (B4C1)1 (B4C2)1 (B4C3)1 (B4C4)1
(B4C1)2 (B4C2)2 (B4C3)2 (B4C4)2 (B4C1)3 (B4C2)3 (B4C3)3 (B4C4)3
Uji statistik dilakukan dengan menggunakan program Statistical Package
for the Social Science (SPSS) 20. Model statistik rancangan percobaan sebagai
berikut:
Y ijk = µ + Bi + Cj + (BC)ij + єijk
dimana,
B = faktor rasio sari jeruk nipis : madu (pada perbandingan 1:1, 1:2, 1:3 dan
1:4)
C = faktor dosis ekstrak (1 MBC, 2 MBC, 3 MBC, dan 4 MBC)
I = banyaknya faktor rasio sari jeruk nipis : madu dalam percobaan yaitu 4
j = banyaknya faktor dosis ekstrak dalam percobaan yaitu 4
k = pengulangan yang dilakukan selama percobaan yaitu 3
Keterangan:
Yijk = variabel respon hasil pengamatan pada sampel
µ = nilai tengah populasi
Ai = pengaruh rasio sari jeruk nipis : madu ke i
Bj = pengaruh dosis ekstrak ke j
26
(AB)ij = pengaruh interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu dengan Dosis
ekstrak
εijk = pengaruh eror yang mempengaruhi Yijk
Hipotesis yang digunakan selama penelitian:
H0 = tidak ada pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap aktivitas
antimikroba .
H0 = tidak ada pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap aktivitas antimikroba.
H0 = tidak ada pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap aktivitas antimikroba.
H0 = tidak ada pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap uji
organoleptik .
H0 = tidak ada pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap uji organoleptik.
H0 = tidak ada pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap uji
organoleptik .
H0 = tidak ada pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap total
fenolik produk .
H0 = tidak ada pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap total fenolik produk
H0 = tidak ada pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap total fenolik.
H0 = tidak ada pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap total
flavonoid produk.
H0 = tidak ada pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap total flavonoid produk
27
H0 = tidak ada pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap total flavonoid.
H1 = terdapat pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap aktivitas
antimikroba.
H1 = terdapat pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap aktivitas antimikroba.
H1 = terdapat pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap aktivitas antimikroba.
H1 = terdapat pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap uji
organoleptik.
H1 = terdapat pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap uji organoleptik.
H1 = terdapat pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap uji
organoleptik.
H1 = terdapat pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap total fenolik produk
H1 = terdapat pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap total fenolik.
H1 = terdapat pengaruh signifikan rasio sari jeruk nipis : madu terhadap total
flavonoid produk.
H1 = terdapat pengaruh signifikan dosis ekstrak terhadap total flavonoid produk
H1 = terdapat pengaruh signifikan interaksi antara rasio sari jeruk nipis : madu
dengan dosis ekstrak terhadap total flavonoid.
28
3.2.2.2 Prosedur Penelitian Tahap II
Pada tahap penelitian ke II dibagi menjadi dua yaitu proses pengambilan
sari jeruk nipis dan prosedur pembuatan minuman fungsional dengan penambahan
rasio sari jeruk nipis : madu ke dalam dosis ekstrak daun karuk.
A. Sari Jeruk Nipis
Jeruk nipis yang segar dicuci dan dibersihkan, kemudian dipotong menjadi
dua bagian. Diperas untuk dipisahkan sari dan kulit jeruk, kemudian disaring.
Dari hasil penyaringan, dibuat konsentrasi sari jeruk seperti yang telah ditetapkan.
Prosedur pengambilan sari jeruk dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Jeruk nipis segar
↓
Dicuci pada air yang mengalir
↓
Dipotong menjadi dua bagian dan diambil sarinya
↓
Disaring dengan menggunakan penyaring teh
↓
Sari jeruk nipis siap digunakan untuk analisis selanjutnya
Gambar 3.3 Prosedur pengambilan sari jeruk nipis
B. Pembuatan Produk
Pembuatan produk minuman fungsional dari daun karuk dilakukan
berdasarkan penelitian Wiranti, et al (2008) dan Hastuti (2012) dengan
modifikasi. Pembuatan produk minuman fungsional berdasarkan level yang telah
ditetapkan. Pembuatan 100 ml minuman fungsional dari ekstrak daun karuk
menggunakan 50 ml larutan ekstrak daun karuk dengan masing-masing dosis
esktrak yang digunakan yaitu 1 MBC, 2 MBC, 3 MBC, dan 4 MBC, kemudian
dilakukan pengadukan. Pemanasan dilakukan pada suhu 70oC selama 1 jam
dengan menggunakan water bath. Sebanyak 50 ml campuran sari jeruk nipis dan
29
madu ditambahhkan sesuai dengan masing-masing rasio yang digunakan 1:1, 1:2,
1:3, dan 1:4, kemudian dilakukan pengadukan dan menghasilkan minuman
fungsional dari ekstrak daun karuk sebanyak 100 ml. Proses pembuatan minuman
fungsional dari ekstrak daun karuk dapat dilihat pada Gambar 3.4
50 ml larutan ekstrak daun karuk (1MBC, 2 MBC, 3 MBC, dan 4 MBC)
↓
Pengadukan
↓
Pemanasan dengan waterbath (suhu 70oC; 1 jam)
↓
Penambahan 50 ml campuran sari jeruk nipis : madu (1:1, 1:2, 1:3, dan 1:4)
↓
Pengadukan
↓ Minuman dari ekstrak daun karuk (100 ml)
Gambar 3.4 Prosedur Pembuatan Minuman Fungsional
Sumber : Fransisca (2013), Hastuti (2012), dan Wiranti, et al (2008) dengan modifikasi
3.2.2.3 Parameter Penelitian Tahap II
Parameter uji yang dilakukan pada tahap II terdiri dari uji aktivitas bakteri
(Suliantari, et al., 2008), uji total fenolik, uji total flavonoid, uji proksimat, dan uji
organoleptik scoring (warna, aroma, rasa pahit, rasa asam, dan aftertaste) uji
organoleptik hedonik (warna, aroma, rasa pahit, rasa asam, aftertaste, dan
penerimaan keseluruhan) dan Scanning Electron Microscope (SEM).
3.2.3 Prosedur Analisis Parameter
3.2.3.1 Uji Proksimat
Analisis proksimat dilakukan pada produk terbaik yang dihasilkan dari
tahap penelitian II. Uji proksimat dilakukan pada uji kadar air, uji kadar abu, uji
protein, uji lemak, dan uji karbohidrat.
30
A. Kadar Air (AOAC, 2005)
Metode pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan
kosong ditimbang beratnya kemudian dimasukkan sampel sebanyak 2 gram untuk
dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 6 jam. Setelah 6 jam maka
cawan dikeluarkan dari oven dan ditimbang kembali hingga mendapatkan berat
tetap. Kadar air dihitung dengan membandingkan berat sampel sebelum
dikeringkan dengan berat yang hilang setelah dikeringkan dikali 100%.
Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
berat sampel awal – berat sampel setelah dioven
Kadar air (%) = x 100%
Berat sampel awal
B. Kadar Abu (AOAC, 2005)
Metode dry ashing dilakukan untuk pengujian kadar abu. Sampel
sebanyak 2 gram diletakkan ke dalam cawan pengabuan yang telah konstan.
Cawan tersebut akan diabukan dengan menggunakan burner terlebih dahulu.
Pengabuan dihentikan jika asap berwarna putih telah dihasilkan pada burner.
Proses pengabuan dilanjutkan dengan memasukkan sampel ke dalam tanur pada
suhu 500-600oC hingga sampel berwarna putih. Cawan pengabuan yang telah
selesai ditanur, dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang
berat konstan. Kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar abu (%berat basah) = wb-wa x 100%
wc-wa
Keterangan :
Wa = Berat cawan kosong (g)
Wb = Berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)
Wc = Berat cawan dan sampel sebelum pengabuan (g)
31
C. Uji Kadar Protein (AOAC, 2005)
Metode kjeldahl digunakan untuk pengujian protein. Sampel sebanyak 2
gram dimasukkan ke dalam tabung kjeldhal 100 ml, kemudian ditambahkan 5 mg
selenium, 7 gram K2SO4, 10 ml H2SO4 96% dan 10 ml H2O2 35%. Destruksi
sampel dilakukan pada suhu 420oC dengan menggunakan burner sampai larutan
berubah warna menjadi bening. Proses destilasi akan dilakukan setelah sampel
mengalami proses destruksi.
Aquades sebanyak 50 ml dan 50 ml NaOH35% ditambahkan pada saat
proses destilasi. Penambahan NaOH akan berlangsung selama proses destilasi
berlangsung. Hasil dari destilasi akan ditampung ke dalam Erlenmeyer dengan
ditambahkan 25 ml asam borat 4% dan mix indicator sebanyak 2-4 tetes. Titrasi
dilakukan dengan menggunakan HCl 0,2 N hingga warna berubah menjadi warna
merah muda. HCl yang telah digunakan dicatat untuk titrasi. Pembuatan blanko
dilakukan seperti proses diatas, tetapi tanpa penambahan sampel.
Cara perhitungan kadar protein:
% kadar nitrogen =(b-a) x N HCl x 14 x 100%
c
Kadar protein (%) = % kadar nitrogen x faktor konversi protein
Keterangan :
a = volume HCl 0,2 N yang digunakan untuk blanko (ml)
b = volume HCl 0,2 N yang digunakan untuk sampel (ml)
c = berat sampel (mg)
Ar Nitrogen = 14
Faktor konversi = 6,25
32
D. Uji Kadar Lemak (BSN, 1992)
Metode hidrolisis (Weibull) digunakan untuk pengujian kadar lemak.
Sampel yang akan diuji sebanyak 1 L dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
kemudian ditambahkan 30 ml HCl 25%, akuades 20 ml, dan batu didih ke dalam
Erlenmeyer. Erlenmeyer yang telah berisi campuran tersebut dipanaskan selama
15 menit. Setelah selesai, saring larutan tersebut dalam keadaan panas dan dicuci
dengan menggunakan air panas sehingga tidak terjadi reaksi dengan asam lagi.
Kertas saring yang digunakan untuk menyaring dimasukkan ke dalam oven pada
suhu 100oC-105oC. Kertas saring tersebut kemudian dibungkus dengan
menggunakan kertas saring lainnya dan diekstrak dengan menggunakan heksana
selama 3 jam pada suhu 80oC. Larutan heksana kemudian dievaporasi dengan
menggunakan rotary vapor pada suhu 100oC-105oC. Labu lemak ditimbang
hingga mencapai berat yang konstan.
Cara perhitungan kadar lemak:
Kadar lemak = berat lemak terekstrak (g) x 100%
Berat awal sampel (g)
E. Uji Kadar Karbohidrat (AOAC, 2005)
Metode by difference digunakan untuk pengujian karbohidrat. Metode by
difference merupakan metode perhitungan karbohidrat dengan cara mengurangi
persen total dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak.
Cara perhitungan kadar karbohidrat :
Kadar karbohidrat (%) = 100 – (%kadar air + %abu + %lemak + %protein)
33
3.2.3.2 Rendemen (AOAC, 2005)
Perhitungan rendemen dilakukan dengan menimbang hasil minuman
fungsional ekstrak daun karuk dengan berat daun karuk yang masih segar
kemudian dinyatakan dalam persen. Perhitungan dilakukan dengan rumus sebagai
berikut :
Rendemen (%) = berat setelah di ekstrak x 100%
berat sampel sebelum diekstrak
3.2.3.3 Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan pengujian secara kualitatif untuk mengetahui
adanya hasil metabolit sekunder pada tanaman. Pengujian fitokimia dilakukan
pada golongan alkaloid, saponin, flavonoid, tannin, total fenolik dan total
flavonoid.
A. Uji Alkaloid (Padmasari, et al., 2012)
Sampel sebanyak 180 mg ditambahkan dengan 1 mL HCL 2N dan 9 ml
akuades. Campuran tersebut dipanaskan selama 2 menit diatas penangas air,
kemudian didinginkan dan disaring. Tambahkan 2 tetes Dragendorff dan Mayer
LP pada masing-masing filtrat. Pada Mayer LP akan terbentuk endapan putih atau
kuning yang larut dengan metanol menunjukan hasil positif pada alkaloid. Pada
Dragendorff akan terbentuk endapan berwarna coklat hingga hitam, menunjukan
hasil yang positif pada alkaloid.
B. Uji Saponin (Yusuf, et al., 2013)
Sampel sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan dengan 10 ml air destilasi. Campuran tersebut dikocok selama 30
34
detik. Campuran tersebut didiamkan selama 30 menit. Terbentuknya buih
menandakan hasil yang positif pada saponin.
C. Uji Tanin (Baud, et al., 2014)
Sampel sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 2 tetes FeCl3 10%, kemudian terjadi perubahan warna menjadi hijau
keabuan menandakan adanya hasil positif terhadap tanin.
D. Uji Flavonoid (Hossain, et al., 2013)
Sampel sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan dengan beberapa tetes larutan NaOH, kemudian terjadi perubahan
warna menjadi kuning. Warna kuning akan pudar saat ditambahkan dengan
larutan asam, menunjukan hasil positif terhadap flavonoid.
E. Uji Steroid (Mandal dan Bose, 2011)
Sampel ekstrak sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan sedikit kloroform. Campuran tersebut kemudian diteteskan dengan
menggunakan asetat anhidrat sebanyak 3-4 tetes dan ditambahkan 3 tetes asam
sulfat pekat. Perubahan warna dari ungu ke biru menunjukan hasil tersebut positif
terhadap steroid.
F. Uji Triterpenoid (Mandal dan Bose, 2011)
Sebanyak 5 ml ekstrak dilarutkan ke dalam kloroform 2 mL dan
ditambahkan dengan 3 ml H2SO4 pekat untuk membentuk lapisan. Campuran
35
tersebut akan terbentuk batasan keduanya yang berwarna coklat kemerahan
nenunjukan hasil positif terhadap triterpenoid.
G. Total Fenolik (Ugusman, et al., 2012)
Kandungan total fenolik ditentukan dengan menggunakan metode Folin-
Ciocalteau. Sejumlah 0,3 mL sampel ditambahkan dengan menggunakan larutan
Folin-Ciocalteau 1,5 mL. Campuran lalu ditambahkan dengan 1,2 mL (7,5%)
Na2CO3. Campuran didiamkan selama satu jam dalam ruang gelap dan penentuan
fenolik dilihat dengan menggunakan kolorimetri pada 750 nm.
Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan asam gallat pada
konsentrasi 10-100 ppm. Kandungan total fenolik dinyatakan dengan mg ekivalen
asam galat/L (mg GAE/L sampel).
H. Total Flavonoid (Ugusman, et al., 2012)
Metode spektrofotometri aluminium klorida digunakan untuk menentukan
kandungan total flavonoid. Sampel sejumlah 1 mL ditambahkan dengan 1 ml
aluminium klorida. Campuran yang telah ditambahkan disimpan disuhu ruang
selama 30 menit kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometri pada
panjang gelombang 415nm.
Kurva standar dibuat dengan menggunakan larutan quersetin dengan
konsentrasi 5 sampai 50 ppm. Total flavonoid dinyatakan dengan mg quersetin/L
(mg QE/L sampel).
36
3.2.3.4 Uji Organoleptik
Dalam penelitian ini, dilakukan uji organoleptik, yaitu uji hedonik dan uji
scoring. Uji skoring digunakan untuk menilai warna, aroma, rasa pahit, rasa asam,
dan after taste ekstrak daun karuk yang telah ditambahkan dengan rasio sari jeruk
nipis : madu. Uji hedonik dilakukan untuk melihat tingkat kesukaan panelis
terhadap produk minuman fungsional ekstrak daun karuk.
A. Uji Hedonik
Uji hedonik dilakukan pada 70 orang panelis. Uji ini menggunakan
penilaian dengan metode scoring. Penliaian diberikan dari angka 1 (sangat tidak
disukai) sampai 7 (sangat disukai).
B. Uji Scoring
Uji scoring dilakukan pada 70 orang panelis. Parameter yang dinilai
adalah warna, aroma, rasa pahit, rasa asam, dan after taste. Uji scoring dilakukan
dengan memberi penilaian dari angka 1 (sangat tidak berwarna coklat/ sangat
tidak beraroma daun/ sangat tidak terasa pahit/ sangat tidak terasa asam/ sangat
tidak terasa after taste) sampai 7 (sangat berwarna coklat/ sangat beraroma daun/
sangat terasa pahit/ sangat terasa asam/ sangat terasa after taste).
3.2.3.5 Uji Warna Produk Minuman Fungsional (Hutching, 1999)
Pengujian warna produk ekstrak dilakukan dengan menggunakan
Chromameter Minolta CR-310. Kali brasi dilakukan terlebih dahulu dengan
menggunakan pelat standar warna putih (L=97,51 ; a=5,35 ; b=-3,37). Sampel
37
akan dikonversikan ke dalam sistem Hunter yaitu L untuk menyatakan tingkat
kecerahan dari hitam (0) hingga putih (100), a menyatakan warna kromatik
campuran merah-hijau dengan nilai 0-100, warna merah bernilai 0 sampai -80
untuk warna hijau, dan b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning
dengan nilai 0-70. Warna kuning bernilai 0 sampai -80 untuk warna biru. Nilai
oHue dapat dihitung dengan menggunakan nilai a dan b sehingga dapat
mengetahui kisaran warna sampel.
Cara perhitungan nilai oHue
Hue = tan-1 (b*/a*)
3.2.3.6 Prosedur Scanning Electron Microscope (SEM) (Bozzola dan Russel,
1999)
Analisis SEM dilakukan untuk melihat rusaknya dinding sel bakteri akibat
perlakukan yang diberikan. Prosedur uji SEM diawali dengan penyegaran kultur
bakteri dilakukan dengan cara, kultur bakteri dimasukkan ke dalam 9 mL NB dan
diinkubasi selama 8 jam pada suhu 37oC sampai bakteri mencapai fase
eksponensial. Penambahan 1 mL produk ke dalam kultur tersebut kemudian
homogenisasikan dengan menggunakan vorteks. Inkubasi kembali campuran
tersebut selama 16-24 jam pada suhu 37oC.
Sel bakteri dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan cara sentrifugasi
selama 10 menit pada kecepatan 1550 rpm. Adanya endapan yang terbentuk
ditambahkan dengan 2% glutaraldehida. Sentrigugasi kembali suspensi bakteri
tersebut, dengan penambahan caccodylate buffer pada endapan yang terbentuk.
Endapan tersebut didiamkan selama 10 menit dan dilakukan pengulangan dua
kali. Sentrifugasi kembali campuran tersebut selama 10 menit, kemudian fase
38
bagian atas dibuang. Tambahkan osmium tetra oksida 1% kemudian didiamkan
selama satu jam dan disentrifugasi kembali. Fase bawah yang terbentuk diambil
dan ditambahkan dengan alkohol 50%, didiamkan selama 10 menit dan dilakukan
pengulangan sebanyak dua kali.
Penambahan alkohol 70%, alkohol 80%, dan alkohol 95% secara
berurutan ke dalam endapan selama 10 menit. Alkohol absolut ditambahkan dan
didiamkan selama 10 menit, kemudian dilakukan pengulangan sebanyak dua kali.
Pengulangan sudah selesai dilakukan, campuran kembali disentrifugasi kemudian
fase atas dibuang. T-butanol ditambahkan dan didiamkan selama 10 menit,
pengulangan dilakukan sebanyak dua kali. Endapan yang terbentu ditambahkan
dengan butanol dan pengolesan suspense dilakukan untuk membuat cover slip dan
kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze drier pada suhu 4oC.
pengamatan dilakukan dengan menggunakan SEM setelah sampel kering.