BAB III mahmunah -...

24
42 BAB III PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG HOMOSEKS DALAM TAFSIR AL-MISBAH A. Biografi Quraish Shihab 1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Quraish Shihab H.M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama. Quraish Shihab adalah guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Quraish Shihab percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. 1 Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang. la kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Al-Ijazasyri'i li Al-Quran al-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A. Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar 1 Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 110-111.

Transcript of BAB III mahmunah -...

42

BAB III

PENAFSIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG HOMOSEKS

DALAM TAFSIR AL-MISBAH

A. Biografi Quraish Shihab

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Quraish Shihab

H.M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang,

Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah

keluarga keturunan Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama. Quraish

Shihab adalah guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang.

Sebagai seorang yang berpikiran maju, Quraish Shihab percaya bahwa

pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya

yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya,

yaitu Jami'atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di

Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang

gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam.1

Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung

Pandang. la kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang

sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun

1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk

melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah

itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan

mengambil Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga

menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di

jurusan dan universitas yang sama hingga berhasil mempertahankan

tesisnya yang berjudul Al-Ijazasyri'i li Al-Quran al-Karim pada tahun

1969 dengan gelar M.A. Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar

1Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 110-111.

43

M.A. tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam

kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke

berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam

bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi

pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia

terpilih sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia

juga terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta

wilayah Timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah.

Di tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan kegiatan

ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah

dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang "Penerapan Kerukunan

Hidup Beragama di Timur Indonesia" (1975), dan "Masalah Wakaf di

Sulawesi Selatan" (1978).

Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk

meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin

Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua

tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul

"Nazm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah" dan berhasil

dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.2

Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab

untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung

Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif

mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur'an di Program Sl, S2 dan S3

sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai

dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta

selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya

menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan

di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar

Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara

2Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 363 – 364.

44

Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan

di Kairo.

Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan

suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti

dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah

masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki

sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-

Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa

organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan

Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan.

Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu

Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah

sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic

Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian

Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.3

Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga

dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar

belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal

serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan

dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan

pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang

bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia

lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan

Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta

di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan

Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV

mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.4

33Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, op.cit, hlm. 111. 4Abuddin Nata, op.cit, hlm. 364 – 365.

45

2. Karya-karyanya

Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut,

H.M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik.

Buku-buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemologi

Al-Qur'an hingga menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam

konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis yang

telah dihasilkannya antara lain: disertasinya: Durar li al-Biga'i (1982),

Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur'an:Tafsir Maudlu'i atas Berbagai

Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994), Mu'jizat Al-

Qur'an Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah (hingga

tahun 2004) sudah mencapai 14 jilid.

Selain itu ia juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan

dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah dia mengasuh

rubrik "Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik

"Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya

sendiri, yaitu "M. Quraish Shihab Menjawab".

B. Penafsiran Quraish Shihab tentang Homoseks dalam Tafsir al-Misbah

1. Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Surat al-Baqarah ayat 223

Dalam surat al-Baqarah ayat 223 Allah SWT berfirman:

قوا اللهاتو وا ألنفسكممقدو مى شئتأن ثكمروا حفأت ث لكمرح كمآؤنسمننيؤر المشبو القوهكم موا أنلماع223: البقرة (و(

Artinya: Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 223)

46

Menurut Quraish Shihab ayat di atas, yang menegaskan bahwa istri

adalah tempat bercocok tanam, bukan saja mengisyaratkan bahwa anak

yang lahir adalah buah dan benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi

sebagai ladang yang menerima benih. Kalau demikian, jangan salahkan

ladang bila yang tumbuh apel, padahal anda menginginkan mangga,

karena benih yang anda tanam adalah benih apel bukan benih mangga.

anda, hai suami, jangan salahkan istri jika dia melahirkan anak

perempuan, sedang anda menginginkan anak lelaki, karena dua kromosom

yang merupakan faktor kelamin yang terdapat pada wanita sebagai

pasangan homolog adalah (XX), dan pada lelaki sebagai pasangan yang

tidak homolog adalah (XY). Jika X pada jantan/lelaki bertemu dengan X

yang ada pada wanita, maka anak yang lahir perempuan, sedang jika X

bertemu dengan Y maka anak yang lahir lelaki. Bukankah wanita hanya

ladang yang menerima, sedang suami adalah petani yang menabur?

Hai petani, tidak baik menanam benih di tanah yang gersang.

Pandai-pandailah memilih tanah garapan. Pandai-pandailah memilih

pasangan. Tanah yang subur harus diatur masa dan musim tanamnya.

Jangan menanam benih setiap saat, jangan paksa ia berproduksi setiap

saat. Hai suami, pilih waktu yang tepat, atur masa kehamilan, jangan

setiap tahun anda panen, karena ini merusak ladang.

Hai petani, bersihkan ladangmu dari segala hama, usir burung

yang bermaksud membinasakannya, jangan tinggalkan ladangmu. Pupuk

ia dengan pupuk yang sesuai. Kalau benih telah berbuah, perhatikan

sampai tiba saat panennya, agar buah berkualitas dan dapat tahan selama

mungkin. Demikian pula menurut Quraish Shihab suami yang menjadi

petani, perhatikan istrimu, jangan tinggalkan ia sendirian, hindarkan

darinya segala gangguan, beri ia segala yang sesuai guna menyiapkan

pertumbuhan dan perkembangan janin yang akan dikandungnya. Bila tiba

saatnya ia mengandung, maka beri perhatian lebih besar, kemudian setelah

melahirkan, pelihara anakmu hingga dewasa agar dapat bermanfaat untuk

orang tuanya, keluarga, bahkan kemanusiaan. Itu kesan-kesan yang

47

dikandung oleh penamaan istri sebagai ladang tempat bercocok tanam,

demikian tafsir Quraish Shihab

Karena istri adalah ladang tempat bercocok tanam, maka menurut

Quraish Shihab datangilah, garaplah tanah tempat bercocok tanam kamu.

Inilah perintah yang ditunjuk.oleh ayat. Datangi ia kapan dan dari mana

saja asal sasarannya ke arah sana, bukan arah yang lain. Arah yang lain

berfungsi mengeluarkan najis dan kotoran, bukan untuk menerima yang

suci dan bersih. Sperma adalah sesuatu yang suci dan menumpahkannya

pun harus suci, karena itu lakukan ia dengan tujuan memelihara diri dari

terjerumus kepada dosa. Berdoalah ketika melakukannya. Ciptakanlah

suasana kerohanian agar benih yang diharapkan berbuah itu, lahir, tumbuh

dan berkembang, disertai oleh nilai-nilai suci.5

Menurut Quraish Shihab kedepankanlah hubungan seks dengan

tujuan kemaslahatan untuk diri kamu di dunia dan akhirat, bukan semata-

mata untuk melampiaskan nafsu, serta bertakwalah kepada Allah dalam

hubungan suami istri, bahkan dalam segala hal. Jangan menduga Allah

tidak mengetahui keadaan kamu serta segala sesuatu yang kamu

rahasiakan.

Ketahuilah, bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Jika demikian,

jangan sembunyikan sesuatu terhadap pasangan yang seharusnya ia

ketahui, jangan membohonginya. Di sisi lain, jangan membongkar rahasia

rumah tangga yang seharusnya dirahasiakan. Kalaupun ada cekcok

selesaikan ke dalam, dan jangan selesaikan melalui orang lain, kecuali

kalau terpaksa. Allah kelak akan menyelesaikannya, karena kelak kamu

semua akan menemui-Nya. Demikian kesan al-Harrali, seorang ulama,

dan pengamal tashawwuf (w. 637 H.) yang banyak dikutip pendapatnya

oleh al-Biqa'i. Berilah kabar gembira orang-orang yang beriman yang

imannya mengantar mereka mematuhi tuntunan-tuntunan ini.6

5M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an,

Lentera Hati, Volume 1, Jakarta, 2005, hlm. 480-481. 6Ibid., hlm. 481 – 482.

48

2. Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Surat al-A'raaf Ayat 80 – 81 dan

84

ولوطا إذ قال لقومه أتأتون الفاحشة ما سبقكم بها من أحد من المني80{الع {أتلت كمإن مل أنتاء بسون النن دة موهال شجون الر

)81-80: األعراف (قوم مسرفونArtinya: Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya).

(Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia) sebelummu? "sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas". (QS. Al-A'raaf: 80-81).

Menurut Quraish Shihab, setelah selesai kisah Nabi Shaleh as. dan

kaumnya, kini diuraikan kisah Rasul yang lain. Yakni kisah Nabi Luth as.,

Anda boleh bertanya mengapa bukan kisah Nabi Ibrahim as. yang

kedudukannya jauh lebih tinggi dari Nabi Luth as. Di sisi lain bukankah

beliau semasa dengan Nab Luth as. Agaknya hal tersebut disebabkan

karena surah ini bermaksud memaparkan kisah umat nabi-nabi yang

durhaka dan dijatuhi sanksi oleh Allah swt. Umat Nabi Ibrahim as. tidak

dijatuhi hukuman oleh Allah, karena beliau tidak memohon jatuhnya

sanksi terhadap mereka tetapi beliau meninggalkan mereka berhijrah ke

tempat lain.

Ayat di atas menyatakan: Dan Kami juga mengutus Nabi Luth.

Ingatlah ketika dia berkata kepada kaumnya yang ketika itu melakukan

kedurhakaan besar: Apakah kamu mengerjakan fahisyah yakni melakukan

pekerjaan yang sangat buruk yaitu anal seks yang tidak satupun

mendahului kamu mengerjakanya di alam raya, yakni di kalangan

mahkluk hidup di dunia ini. Sesungguhnga kamu telah mendatangi lelaki

untuk melampiaskan syahwat (nafsu) kamu melalui mereka sesama jenis

kamu, bukan terhadap wanita yang secara naluriah seharusnya kepada

merekalah kamu menyalurkan naluri seksual. Hal itu kamu lakukan

49

terhadap lelaki bukan disebabkan karena wanita tidak ada atau tidak

mencukupi kamu, tetapi itu kamu lakukan karena kamu durhaka bahkan

kamu adalah kaum yang melampaui batas sehingga melakukan

pelampiasan syahwat bukan pada tempatnya.7

Menurut Quraish Shihab ayat ini tidak menyebut Nabi Luth as.

sebagai saudara mereka sebagaimana halnya Nabi Hud, Shaleh dan

Syu'aib as. Ketika menguraikan kisah ketiga nabi yang disebut terakhir, al-

Qur'an menyatakan bahwa: dan kepada 'Ad saudara mereka Hud.

Demikian juga dan kepada Tsamud saudara mereka Shaleh dan kepada

Madyan saudara mereka Syu'aib. Ketiadaan penyebutan kata saudara buat

Nabi Luth as. untuk mengisyaratkan bahwa beliau bukanlah dari suku

masyarakat yang beliau diutus menghadapinya. Nabi Luth as. bersama

Nabi Ibrahim as. adalah pendatang di kota itu setelah berhijrah dari Harran

(Carrahae). Beliau berasal dari daerah Kan'an, satu daerah yang terletak di

bagian barat Palestina dan Suriah sekarang. Itu pula salah satu sebab

mengapa ayat yang berbicara tentang pengutusan Nabi Luth as. tidak

menyatakan bahwa beliau saudara mereka. Bahwa Nabi Luth as. diutus

kepada kaumnya karena seseorang yang bertempat lama pada satu tempat

dapat dinilai sebagai salah seorang anggota kaum masyarakat itu.

Ayat di atas tidak menyebut nama kaum Luth itu, sebagaimana

ayat-ayat yang menyebut nama kaum Nabi Hud, Shaleh, dan Syu'aib

seperti 'Ad, Tsamud, dan Madyan. Hal tersebut sebagai pengajaran kepada

umat Islam agar merahasiakan nama pelaku kejahatan, dalam hal-hal

tertentu di mana penyebutan nama tidak diperlukan, apalagi jika kejahatan

yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat buruk atau dapat

merangsang orang lain melakukannya. Tidak satu ayat pun yang menyebut

nama kaum Luth, berbeda dengan nabi-nabi yang lain. Memang, Nabi

Nuh as. pun tidak disebut nama kaumnya, karena ketika itu, umat manusia

belum berpencar baik tempat tinggalnva maupun suku-suku bangsanya.

7M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, op.cit., hlm.159-160.

50

Menurut Quraish Shihab, Nabi Luth as. dalam ayat ini sedikit

berbeda dengan nabi-nabi yang disebut sebelumnya. Beliau tidak berpesan

tentang tauhid atau penyembahan Tuhan Yang Maha Esa. Beliau tidak

berkata sebagaimana nabi-nabi sebelumnya: Wahai kaumku sembahlah

Allah tidak ada bagi kamu satu Tuhanpun selain-Nya. Ini bukan berarti

bahwa beliau tidak mengajak mereka kepada tauhid, tetapi ada sesuatu

yang sangat buruk yang hendak beliau luruskan bersama pelurusan aqidah

mereka yaitu kebiasaan buruk mereka dalam bidang seks. Di sisi lain perlu

diingat bahwa penekanan tentang keburukan tersebut tidaklah jauh dari

persoalan aqidah, ketuhanan dan tauhid. Karena keduanya adalah fitrah.

Syirik adalah pelanggaran terhadap fitrah, anal seks pun merupakan

pelanggaran fitrah. Allah Yang Maha Esa itu telah menciptakan manusia

bahkan makhluk memiliki kecenderungan kepada lawan jenisnya, dalam

rangka memelihara kelanjutan jenisnya. Kenikmatan yang diperoleh dari

hubungan tersebut bersumber dari lubuk hati masing-masing pasangan

bukan hanya kenikmatan jasmani, tetapi kenikmatan rohani dan gabungan

kenikmatan dari dua sisi itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan

bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan

kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang

melakukan anal seks hanya mengharapkan kenikmatan jasmani yang

menjijikkan sambil melepaskan tanggung jawabnya. Ini belum lagi

dampak negatif terhadap kesehatan jasmani dan rohani yang

diakibatkannya.8

Menurut Quraish Shihab hubungan seks yang merupakan fitrah

manusia hanya dibenarkan terhadap lawan jenis. Pria mencintai dan birahi

terhadap wanita demikian pula sebaliknya. Selanjutnya fitrah wanita

adalah monogami, karena itu, poliandri (menikah/berhubungan seks pada

saat sama dengan banyak lelaki) merupakan pelanggaran fitrah wanita,

berbeda dengan lelaki yang bersifat poligami, sehingga buat mereka

8Ibid., hlm. 160 – 161.

51

poligami dalam batas dan syarat-syarat tertentu tidak dilarang agama.

Kalau wanita melakukan poliandri atau lelaki melakukan hubungan seks

dengan wanita yang berhubungan seks dengan lelaki lain, atau terjadi

homoseksual baik antara lelaki dengan lelaki maupun wanita dengan

wanita, maka itu bertentangan dengan fitrah manusia. Setiap pelanggaran

terhadap fitrah mengakibatkan apa yang diistilahkan dengan uqubatul

fithrah (sanksi fitrah). Dalam konteks pelanggaran terhadap fitrah seksual,

sanksinya antara lain apa yang dikenal dewasa ini dengan penyakit Aids.

Penyakit ini pertama kali ditemukan di New York Amerika Serikat pada

1979 pada seorang yang ternyata melakukan hubungan seksual secara

tidak normal. Kemudian ditemukan pada orang-orang lain dengan

kebiasaan seksual serupa. Penyebab utama Aids adalah hubungan yang

tidak normal itu, dan inilah antara lain yang disebut fahisyah di dalam al-

Qur'an. Dalam satu riwayat yang oleh sementara ulama dinyatakan

sebagai hadits Nabi Muhammad saw. dinyatakan bahwa: "Tidak

merajalela fahisyah dalam satu masyarakat sampai mereka terang-

terangan melakukannya kecuali tersebar pula wabah dan penyakit di

antara mereka yang belum pernah dikenal oleh generasi terdahulu."

Pelampauan batas yang menjadi penutup ayat ini mengisyaratkan

bahwa kelakuan kaum Nabi Luth as. itu melampaui batas fitrah

kemanusiaan, sekaligus menyia-nyiakan potensi mereka yang seharusnya

ditempatkan pada tempatnya yang wajar, guna kelanjutan jenis manusia.9

رمنيجة الماقبكان ع فكي طرا فانظرهم مليا عنطرأماألعراف (و :84(

Artinya: Dan Kami hujani atas mereka hujan (batu), maka lihatlah

bagaimana kesudahan para pendurhaka. (QS. al-A'raf: 84).

Setelah menjelaskan keselamatan Nabi Luth as. dan pengikut-

pengikut beliau dan mengisyaratkan jatuhnya siksa bagi yang

9Ibid., hlm. 161 – 162.

52

membangkang, ayat ini menurut Quraish Shihab menjelaskan jenis

siksaan yang menimpa mereka dengan menyatakan: Dan Kami hujani,

yakni kami turunkan dari langit sehingga mengenai bagian atas mereka,

bukan di samping mereka hujan batu yang akhirnya membinasakan

mereka maka lihatlah bagaimana kesudahan para pendurhaka termasuk

mereka itu.

Firman-Nya: (عليهم) 'alaihim/atas mereka mengisyaratkan bahwa

siksa tersebut tidak dapat mereka elakkan, karena ia datang dari arah atas.

Biasanya yang berada di atas mengontrol dan menguasai secara penuh

yang berada di bawah.

Sementara ulama memahami dari penggunaan bentuk

nakirah/indefinite terhadap kata (مطرا) matharan/hu]an sebagai isyarat

bahwa hujan dimaksud adalah sesuatu yang luar biasa dan ajaib. Hujan

tersebut dijelaskan oleh QS. Hud: 82-83: "Maka tatkala datang azab Kami,

Kami jadikan (negeri kaum Luth itu) yang di atas ke bawah (Kami

balikkan), dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah

yang terbakar, yang diberi tanda oleh Tuhanmu; dan siksaan itu tiadalah

jauh dari orang-orang yang zalim.10

3. Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Surat Hûd Ayat 77 – 83

ولما جاءت رسلنا لوطا سيء بهم وضاق بهم ذرعا وقال هـذا صيبع مو77: هود (ي(

Artinya; Dan tatkala datang utusan-utusan Kami kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit kemampuannya karena mereka, dan dia berkata, "Ini adalah hari yang amat sulit. (QS. Hud: 77).

Demikian kisah malaikat dengan Nabi Ibrahim as. Kini diuraikan

kisah para malaikat itu dengan kaum Nabi Luth as. Yakni setelah

10Ibid., hlm. 166.

53

selesainya para malaikat dengan Nabi Ibrahim as, mereka

meninggalkannya untuk melaksanakan tugas menjatuhkan siksa Allah

kepada mereka. Dan tatkala datang utusan-utusan Kami, yakni para

malaikat itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit

kemampuannya karena kedatangan mereka, dan dia berkata, "Ini adalah

hari yang amat sulit."

Kata (ذرعا) zar'an terambil dari kata (ذراع) zira', yakni lengan, di

mana terdapat telapak tangan dan jari-jari yang digunakan untuk

mengambil atau menolak sesuatu. Lengan dijadikan tolok ukur panjang.

Semakin panjang lengan, semakin panjang jangkauannya dan semakin

mampu seseorang meraih atau menolak sesuatu. Bahasa Arab

menggunakan istilah sempitnya lengan untuk melukiskan dadanya lagi

upaya yang dapat dilakukan untuk meraih apa yang dimaksud. Persis

seperti seseorang yang bermaksud mengambil sesuatu di tempat yang jauh

tetapi karena lengannya pendek, maka ia tidak dapat menjangkau sesuatu

itu.

Nabi Luth as. merasa susah dengan kedatangan para malaikat,

karena para malaikat itu datang dalam bentuk manusia dan dengan

penampilan yang sangat tampan menarik. Beliau sangat khawatir jangan

sampai kaumnya melihat mereka kemudian memaksa untuk melakukan

homoseksual dengan pars pendatang itu.

Ucapan Nabi Luth as., "Ini adalah hari yang amat sulit" agaknya

merupakan bisikan hati beliau. Kata (عصيب) 'asîb digunakan dalam arti

sesuatu yang tidak disukai lag amat sulit.

Ayat ini menggambarkan satu proses terjadinya sesuatu. Pertama

adalah pengetahuan tentang sesuatu yang kemudian melahirkan tanggapan

dalam konteks ayat di atas adalah ketidaksenangan upaya, tetapi bila

upaya itu gagal atau yang bersangkutan tak mampu melakukannya, maka

54

ia akan melahirkan rasa kesal lalu menyatakannya sebagai suatu saat yang

sangat sulit. Demikian lebih kurang Ibn 'Asyur. 11

وجاءه قومه يهرعون إليه ومن قبل كانوا يعملون السيئات قال يا قوم هـؤالء بناتي هن أطهر لكم فاتقوا الله وال تخزون في

شيدل رجر منكم سفي أليي78: هود (ض( Artinya; Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas

menemuinya. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Dia berkata, "Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kamu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkanku terhadap tamu-tamuku. Tidak adakah di antara kamu seorang lelaki yang berakal?. (QS. Hud: 78).

Sungguh benar dugaan Nabi Luth as. Ternyata kedatangan

malaikat yang berbentuk manusia itu diketahui oleh kaumnya konon

melalui istri Nabi Luth as. yang memberi isyarat kepada mereka dan

karena itu datanglah kepadanya, yakni kepada Nabi Luth as. kaumnya

dengan bergegas-gegas menemuinya terdorong oleh keinginan yang tidak

dapat terbendung atau kekhawatiran jangan sampai didahului yang lain

atau tamu-tamu itu sempat pulang dan memang sejak dahulu mereka

selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji, yakni melakukan

homoseksual. Mereka telah terbiasa dengan perbuatan itu dan perbuatan-

perbuatan buruk lain sehingga tanpa malu mereka melakukan dan

membicarakannya secara terbuka.

Dia, yakni Nabi Luth as. berkata dengan penuh harap bagaikan

bermohon belas kasih, "Hai kaumku yang mempunyai jalinan darah

denganku, inilah putri-putri kandung-ku atau putri-putri negeri ini yang

juga kuanggap sebagai putri-putriku, kawinilah mereka. Mereka lebih

suci, yakni suci bagi kamu: maka bertakwalah kepada Allah, yakni hindari

11M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. 6, hlm. 308-309.

55

sebab-sebab yang mengundang siksa-Nya di dunia dan di akhirat, dan

janganlah kamu mencemarkan namaku terhadap tamu-tamuku ini. Tidak

adakah di antara kamu seorang lelaki, yakni manusia yang sempurna

kemanusiaannya yang berakal sehingga dapat membantu aku menasihati

dan mencegah kamu melakukan pencemaran dan hal yang tidak wajar?

Firman-Nya: (هـؤالء بناتي) ha'ula'i bantai / inilah putri-putriku ada

ulama yang memahaminya dalam arti putri kandung beliau. Dan, menurut

penganut paham ini, walaupun putrinya hanya dua atau tiga orang, sedang

yang datang menemui beliau banyak pria, tetapi yang beliau maksudkan

adalah mengawinkan kedua atau ketiga putrinya itu dengan dua atau tiga

tokoh masyarakatnya yang diharapkan dapat mempengaruhi dan

mencegah yang lain Pendapat yang lebih baik adalah memamahinya

dalam arti putri-putri kaumku, yakni wanita yang tinggal di pemukiman

mereka. Memang, Nabi atau pemimpin suatu masyarakat adalah bapak

anggota masyarakat itu, dan masyarakat umum apalagi yang muda adalah

putra-putri bangsa.

Al-Biqa'i menegaskan bahwa ucapan Nabi Luth as. inilah putri-

putriku. mereka lebih suci bukanlah dalam pengertian hakiki, tetapi

peringatan kepada kaumnya bahwa mereka tidak dapat menyentuh tamu-

tamu itu, kecuali jika mereka menyentuh terlebih dahulu secara paksa

putri-putri beliau, karena pencemaran nama akibat melakukannya terhadap

putri dan tamu sama buruknya, bahkan boleh jadi terhadap tamu lebih

buruk. Ini, tulis al-Biqa'i, serupa dengan seseorang yang dipukul

bermohon kepada orang yang memukul agar menghentikan pukulannya

dan bila ia tidak berhenti bahkan memukul lebih keras lagi, maka ketika

itu si pemohon merangkul yang dipukul agar terhindar dari pukulan. Dan

inilah yang dimaksud oleh firman-Nya pada ayat lain yang melukiskan hal

serupa, yaitu:

56

فاعلني ماتي إن كنتنالء بؤ71: احلجر (قال ه( Artinya: Luth berkata, "Inilah putri-putriku jika kamu hendak

menjadi pelaku-pelaku. (QS. al-Hijr: 71).

Menurut Quraish Shihab, pendapat ini baik. Sayang la dihadang

oleh lanjutan ayat yang menyatakan mereka lebih suci, yang walaupun

dipahami dalam arti mereka suci, bukan perbandingan, karena tidak ada

sedikit kesucian pun dalam hubungan seks yang sering mereka lakukan

itu, tetap saja tidak sejalan dengan pemahaman pakar tafsir asal lembah al-

Biqa'i di Lebanon itu, karena ulama tersebut mempersamakan dalam

kekejian antara perlakuan yang diinginkan kaum Nabi Luth as. dan

tawaran beliau kepada mereka.12

Kata (فييض) dhayfi / tamu-tamuku menggunakan bentuk

mashdar/kata jadian. Karena itu, ia dapat berarti tunggal dapat juga berarti

jamak. Yang dimaksud di sini adalah jamak, karena ayat-ayat yang lalu

menggunakan bentuk jamak untuk menunjuk kedatangan para malaikat

yang merupakan utusan-utusan Allah. Penekanan beliau dengan menyebut

kata "tamu" sambil menunjuk bahwa para tamu itu adalah orang-orang

yang berkunjung kepadanya, mengisyaratkan bahwa mereka adalah tamu-

tamu yang harus dihormati, karena demikianlah seharusnya pelayanan

terhadap yang bertamu dan bahwa beliau yang paling bertanggung jawab

karena mereka berkunjung untuk menemui beliau. Ucapan Nabi Luth as.

ini bertujuan membangkitkan dorongan ke dalam hati kaumnya kiranya

tatakrama menghormati tamu dapat mereka tampilkan.

Kata (رشيد) rasyid terambil dari akar kata yang terdiri dari

rangkaian huruf-huruf ra', syin dan dal. Makna dasarnya adalah ketepatan

dan ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rusyd yang bagi

manusia adalah kesempurnaan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu

12Ibid, hlm., 309 – 311.

57

bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah pemberi

petunjuk/bimbingan yang tepat.

ريدا نم لمعلت كإنو قح من اتكنا في با لنم تلمع قالوا لقد: هود (م قوة أو آوي إلى ركن شديدقال لو أن لي بك} 79{

80-79( Artinya: Mereka menjawab, "Sesungguhnya pasti engkau telah tabu

bahwa kami tidak mempunyai hak terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya engkau tentu mengetahui apa yang kami kehendaki." Dia berkata, "Seandainya aku mempunyai kekuatan atau kalau aku dapat berlindung kepada kelompok yang kuat. (QS. Hud: 79-80).

Ternyata tidak ada seorang pun di antara mereka yang datang

menemui Nabi Luth as. itu yang memiliki akal dan jiwa yang sehat.

Himbauan beliau tidak disambut kaumnya. Bahkan secara tegas dan tanpa

malu mereka menjawab, "Sesungguhnya pasti engkau telah tahu bahwa

kami tidak mempunyai hak, yakni keinginan dan birahi sedikit pun

terhadap putri-putrimu, yakni wanita-wanita yang engkau tawarkan itu,

karena mereka adalah wanita dan sesungguhnya engkau tentu mengetahui

apa yang sebenarnya kami kehendaki." Yakni kami hendak melakukan

homoseks dengan tamu-tamu itu. Dia, yakni Luth as. berkata dengan

penuh haru dan harap, "Seandainya aku Mempunyai kekuatan pada diriku

untuk mencegah kamu sekalian mencapai keinginan kamu yang sangat

bejat itu atau kalau aku dapat berlindung kepada kelompok manusia

seperti keluarga atau grup yang kuat, tentu aku tidak akan segan-segan

melakukan hal tersebut demi menghalangi kamu melakukan perbuatan

keji itu."

Para ulama berbeda pendapat tentang makna kami tidak

mempunyai hak terhadap putri-putrimu. Ada yang memahami dalam arti

hajat dan kebutuhan, dengan alasan bahwa seseorang yang tidak

mempunyai hajat dan kebutuhan kepada sesuatu maka dia tidak

58

mempunyai hak. Ada juga yang memahaminya dalam arti kami tidak

berhak karena kami tidak menikahi mereka. Dan siapa yang tidak

menikahi seorang wanita, maka dia tidak berhak atasnya.

Thabathaaba'i mengingatkan bahwa kaum Nabi Luth as. itu tidak

sekadar berkata, "Kami tidak mempunyai hak," tetapi mereka menekankan

sebelumnya bahwa engkau telah tabu. Ini menunjukkan bahwa mereka

mengingatkan Nabi Luth as. tentang kebiasaan yang berlaku dalam

masyarakat mereka untuk tidak melecehkan wanita apalagi dengan cara

paksa, atau mengingatkan tentang kebiasaan tidak melakukan hubungan

seks dengan wanita serta mengetahui pula bahwa masyarakat

membenarkan homoseksual. Dengan ketiadaan hak, yang mereka maksud

adalah hak berdasar kebiasaan masyarakat.13

Memang kebobrokan moral dalam bidang homoseksual yang

terjadi pada masyarakat kaum Nabi Luth as. sudah demikian merajalela,

sehingga menjadi kebiasaan umum. la bukan lagi sesuatu yang dilakukan

secara sembunyi-sembunyi karena malu melakukannya, tetapi terang-

terangan. Boleh jadi karena bangga, atau paling tidak karena dinilai

normal. Dalam konteks inilah mereka mencela Nabi Luth as. yang

mencegah perbuatan amoral itu dengan menamainya sebagai orang-orang

yang sok suci (QS. al-A'raf [7]: 82). Ini karena mereka menganggap

bahwa homoseksual adalah sesuatu yang normal, sehingga mereka tidak

segan-segan membicarakannya dan melakukan aneka kemunkaran di

tempat umum. Dalam konteks ini, Nabi Luth as. mengecam mereka

dengan menyatakan:

جون الرأتلت كمأئننكرالم اديكمون في نأتتبيل وون السقطعتال و )29: العنكبوت(

Artinya: Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemunkaran di tempat-tempat pertemuan kamu? (QS. al-'Ankabut: 29).

13Ibid., hlm. 311 – 312.

59

Sikap mereka itu persis seperti sikap dan pandangan sementara

orang, bahkan beberapa negara, di dunia Barat dewasa ini yang telah

membenarkan secara hukum hubungan seks pria dengan pria, dan

menganggapnya sesuatu yang normal serta bagian dari Hak Asasi

Manusia.

Ketika menafsirkan QS. al-A'raf (7]: 82, penulis antara lain

mengemukakan bahwa mereka menilai Nabi Luth as. dan keluarganya

telah melampaui batas dalam kesucian, antara lain dengan kecaman beliau

terhadap apa yang dianggap normal oleh mereka. Memang, seseorang

yang telah terbiasa dengan keburukan dan menganggapnya normal

seringkali menilai kebaikan sebagai sesuatu yang buruk. Bukan saja

karena jiwa mereka telah terbiasa dengan keburukan sehingga enggan

mendekati kebaikan dan menilainya buruk, tetapi juga karena sesuatu

yang telah terbiasa dilakukan pada akhirnya dianggap normal bahkan baik.

Dari sini, dan dari tinjauan sosiologis, al-Jahizh berkata, "Apabila sesuatu

yang makruf tidak lagi sering dilakukan, maka ia dapat menjadi munkar.

Sebaliknya, apabila sesuatu yang munkar sudah sering dilakukan maka ia

dapat menjadi 'makruf. Dari sini terlihat perlunya melakukan amar makruf

dan nahi munkar secara terus-menerus dan tanpa bosan, karena bila

diabaikan akan terjadi apa yang dilukiskan di atas.

Ucapan Nabi Luth as. ingin berlindung kepada kelompok tersebut

dapat dimengerti bukan saja-karena yang beriman di antara kaumnya

sangat sedikit, bahkan istrinya pun enggan beriman, tetapi juga karena

Nabi Luth as. bukan berasal dari daerah tempatnya berdakwah itu. Beliau

tadinya bermukim di Irak bersama Nabi Ibrahim as., lalu berhijrah ke

Syam dan di sana Allah mengutusnya ke daerah Sodom, yaitu satu

wilayah di Horns, Syria. Di sisi lain, ucapan beliau itu dapat menjadi dasar

tentang boleh meminta bantuan siapa pun yang tidak mengikat dalam

rangka mencegah kemunkaran. Memang, sesuai firman-Nya:

60

اتلوصو عبيو امعوص تمدض لهعم ببهضعب اسالله الن فعلا دلوو إن الله هرنصن يم ن اللهرنصليالله كثريا و ما اسفيه ذكري اجدسمو

زيزع 40: احلج (لقوي( Artinya: Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian

manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa" (QS. al-Haji [22]: 40).

نبقطع م لكر بأهفأس كصلوا إليلن ي كبل رسا را لوط إنقالوا يالليل وال يلتفت منكم أحد إال امرأتك إنه مصيبها ما أصابهم إن

)81: دهو (موعدهم الصبح أليس الصبح بقريب

Artinya: Mereka berkata, "Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan sampai kepadamu. Sebab itu, berangkatlah dengan keluargamu di beberapa bagian malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang menoleh kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa apa yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat mereka ialah di waktu subuh itu sudah dekat? (QS. Hud: 81).

Habis sudah upaya Nabi Luth as. Agaknya kecemasan beliau

menyangkut tamu-tamunya telah mencapai titik terakhir. Ketika itulah

beliau ditenangkan oleh para malaikat yang datang sebagai tamu-tamu itu.

Mereka berkata, "Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan

Tuhanmu. Sekali-kali sekarang dan akan datang mereka tidak akan sampai

kepadamu, yakni mereka tidak akan dapat mengganggumu, karena mereka

segera akan binasa.

61

Sebab itu, berangkatlah di waktu malam dengan membawa serta

keluargamu dan pengikut-pengikutmu di beberapa bagian akhir malam

dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang menoleh atau

tertinggal, kecuali istrimu maka jangan ikutkan dia, atau tetapi istrimu dia

ditinggal atau menoleh. Sesungguhnya dia akan ditimpa apa yang

menimpa mereka, yakni siksa yang akan menimpa kaummu yang durhaka

itu. Sesungguhnya saat mereka, yakni waktu jatuhnya siksa itu atas

mereka ialah di waktu subuh. Jangan merasa waktu itu masih lama

sehingga meminta lebih dipercepat lagi, atau bersegeralah meninggalkan

tempat mi, bukankah subuh itu sudah dekat?"14

Ayat ini dan ayat sebelumnya tidak menjelaskan apa yang terjadi

setelah diskusi antara Nabi Luth as. dan kaumnya itu. Tetapi rupanya para

tamu yang merupakan malaikat itu meninggalkan rumah Nabi Luth as.,

lalu dari kejauhan serta di tengah suara bising mereka berseru dengan

berkata, "Hai Luth, kami adalah utusan-utusan Tuhanmu." Bahwa mereka

dari kejauhan menyampaikan hal tersebut, dipahami dari penggunaan kata

ya / hai yang biasanya digunakan untuk memanggil siapa dari kejauhan.

Demikian al-Biqa'i. Pada ayat lain dijelaskan bahwa:

ين ضع وهداور لقدومهنيا أعنس37: القمر (فه فطم( Artinya: Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya tamunya ,

lalu Kami butakan mata mereka (QS. al-Qamar: 37).

Dan sesungguhnya mereka, yakni yang datang ke rumah Nabi Luth

itu telah membujuknya agar menyerahkan tamunya kepada mereka, tetapi

dia berkeras enggan menyerahkannya, lalu Kami butakan mata mereka,

sehingga para tamu itu keluar rumah tanpa dapat dilihat oleh yang

membujuk itu" (QS. al-Qamar [54]: 37). Bahwa mata mereka dibutakan,

disinggung juga dalam Perjanjian Lama, Kejadian XTX: 11.

14Ibid., hlm. 313 - 315.

62

Thahir Ibn 'Asyur berkomentar bahwa para malaikat memulai

penyampaiannya kepada Nabi Luth as. dengan menyebut identitas mereka

sebagai utusan-utusan Tuhan untuk menenangkan beliau. Karena dengan

mengetahuinya, Nabi Luth as. akan yakin bahwa mereka tidak turun

kecuali untuk menampakkan kebenaran sesuai dengan firman-Nya:

نظرينوا إذا ما كانمو الئكة إال باحلقل المزنا ن8: احلجر (م( Artinya: Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar

(untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh" (QS. al-Hijr [15]: 8).

Di sisi lain, para malaikat itu mengemukakan penjelasan mereka

dengan kata yang mengandung makna kepastian, yakni sekali-kali mereka

tidak akan sampai kepadamu. Ini untuk menghilangkan kecemasan Nabi

Luth as. Selanjutnya, Ibn 'Asyur menulis bahwa para malaikat itu tidak

berkata (لن ينالوك) mereka tidak akan menyentuhmu/menyakiti atau

membunuhmu, karena begitu Nabi Luth as. mengetahui bahwa mereka

adalah malaikat, maka pada saat itu pula beliau yakin bahwa orang kafir

itu tidak akan mampu menyakiti apalagi membunuhnya. Tetapi beliau

khawatir jangan sampai mereka marah dan menuduhnya

menyembunyikan mereka. Nah kekhawatiran ini pun disingkirkan dengan

ucapan seperti bunyi ayat ini.

Demikian lebih kurang Ibn 'Asyur.

لها وأمطرنا عليها حجارة من فلما جاء أمرنا جعلنا عاليها سافمسومة عند ربك وما هي من الظالمني } 82{سجيل منضود

)82-83: هود (ببعيدArtinya: Maka tatkala datang ketentuan Kami, Kami jadikan yang di

atasnya ke bawahnya dan Kami hujani mereka dengan sijjil dengan bertubi-tubi. Diberi tanda dari sisi Tuhanmu, dan siksaan itu dia tiadalah jauh dari orang-orang zalim. (Hud: 82-83).

63

Setelah Nabi Luth as bersama pengikut-pengikutnya meninggalkan

kota Sodom tempat pemukiman mereka, ketika itu subuh telah tiba pula.

Maka tatkala datang ketentuan Kami, yakni ketetapan Allah untuk

menjatuhkan siksa-Nya, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yaag di

atasnya ke bawahnya, yakni Kami hancurkan sehingga menjadi jungkir

balik dan Kami hujani mereka dengan batu sijjil, yakni batu bercampur

tanah, atau tanah bercampur air lalu membeku dan mengeras menjadi

batu, yang menimpa mereka dengan bertubi-tubi. Batu-batu itu diberi

tanda dari sisi Tuhanmu, serta dipersiapkan secara khusus untuk menjadi

sarana penyiksaan dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang zalim

yang mantap kezalimannya, baik yang hidup pada masa itu maupun yang

serupa dengan mereka di masa datang.15

Firman-Nya: (جعلنا عاليها سافلها) Kami jadikan yang di atasnya ke

bawahnya di samping memberi gambaran tentang kehancuran total, juga

mengesankan persamaan sanksi itu dengan kedurhakaan mereka.

Bukankah mereka juga memutarbalikkan fitrah. Seharusnya pelampiasan

syahwat dilakukan dengan lawan seks, tetapi mereka membahknya

menjadi homoseks. Seharusnya la dilakukan dengan penuh kesucian,

tetapi mereka menjungkirbalikkan dengan melakukannya penuh kekotoran

dan kekejian. Seharusnya ia tidak dibicarakan secara terbuka, tidak

dilakukan di tempat umum, tetapi mereka menjungkirbalikkannya dengan

membicarakan di tempat-tempat terbuka dan melakukannya di tempat

umum. Demikian sanksi sesuai dengan kesalahan.

Kata (سجيل) sijjil, menurut al-Biqa'i mengandung makna

ketinggian. Atas dasar itu, ulama mi memahami batu-batu tersebut

dilemparkan dari tempat yang tinggi. Dan dengan demikian, ayat ini

mengisyaratkan juga kata yang menunjukkan kehadiran siksa dari tempat

tinggi. Kata (علي ) di atas dan kata (أمطرنا) amtharna' kami hujani serta

kata (سجيل) sijjil itu. Dan karena itu pula, tulisnya, ayat tersebut dilanjtkan

15Ibid., hlm. 315 – 316.

64

bahwa kendati batu-batu itu demikian jauh sumbernya, namun ia tidak

jauh atau sulit menjangkau orang-orang zalim. Thabathaba'i, ulama yang

berasal dari Persia, Iran, mendukung pendapat yang menyatakan bahwa

kata tersebut berasal dari bahasa Persia yang mengandung makna batu dan

tanah yang basah.

Kata (منضود) mandhud pada mulanya berarti bertumpuk; yang

dimaksud di sini adalah berturut-turut, bertubi-tubi, tanpa selang waktu.

Ada juga yang memahami. penggalan terakhir ayat ini dalam arti dan ia

itu, yakni negeri-negeri tempat jatuhnya batu-batu sijjil itu tiadalah jauh

dan orang-orang zalim, yakni kaum musyrikin Mekah, karena mereka

seringkali melaluinya dalam perjalanan mereka menuju Syam. Dalam QS.

ash-Shaffat [37]: 137-138, dinyatakan bahwa:

بحنيصهم مليون عرملت كمإنقلون} 137{وعل أفلا تبالليو )137-138: الصافات(

Artinya; Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar melalui (peninggalan-peninggalan) mereka di waktu pagi dan malam, apakah kamu tidak berakal/mengambil pelajaran? (QS. ash-Shaffat [37]: 137-138).

Boleh jadi apa yang menimpa kaum Luth itu demikian juga

peristiwa-peristiwa lain merupakan gempa bumi atau letusan gunung

merapi yang ditetapkan Allah bertepatan dengan kedurhakaan para

pembangkang. Persesuaian waktu itu adalah untuk menyelaraskan antara

Ilmu-Nya yang qadim dengan setiap kasus seperti kasus Nabi Luth as. ini.

Boleh jadi juga ia adalah pengaturan khusus dari Allah swt dalam rangka

membinasakan kaum Luth. Demikian lebih kurang komentar Sayyid

Quthub mengakhiri kelompok ayat-ayat ini.

Begitulah kesudahan kaum Luth yang melakukan pelanggaran

fitrah, dan memang setiap pelanggaran fitrah pasti mengundang siksa.

Hubungan seks yang merupakan fitrah manusia hanya dibenarkan

terhadap lawan jenis. Pria mencintai dan birahi terhadap wanita. Demikian

pula sebaliknya. Selanjutnya fitrah wanita adalah monogam. Karena itu

65

poliandri (menikah/berhubungan seks pada saat sama dengan banyak

lelaki) merupakan pelanggaran fitrah wanita. Berbeda dengan lelaki yang

pada umumnya bersifat poligami, sehingga buat mereka, poligami dalam

batas dan syarat-syarat tertentu tidak dilarang agama. Kalau wanita

melakukan poliandri atau lelaki melakukan hubungan seks dengan wanita

yang berhubungan seks dengan lelaki lain, atau terjadi homoseksual, baik

antara lelaki dengan lelaki maupun wanita dengan wanita, maka itu

bertentangan dengan fitrah manusia. Setiap pelanggaran terhadap fitrah

mengakibatkan apa yang diistilahkan dengan 'uqubatul fithrah' (sanksi

fitrah). Dalam konteks pelanggaran terhadap fitrah seksual, sanksinya

antara lain apa yang dikenal dewasa ini dengan penyakit AIDS. Penyakit

mi pertama kali ditemukan di New York, Amerika Serikat, pada tahun

1979, pada seseorang yang ternyata melakukan hubungan seksual secara

tidak normal. Kemudian ditemukan pada orang-orang lain dengan

kebiasaan seksual serupa. Penyebab utamanya adalah hubungan yang

tidak normal itu, dan inilah antara lain yang disebut fahisyah di dalam al-

Qur'an. Dalam satu riwayat yang oleh sementara ulama dinyatakan

sebagai hadits Nabi Muhammad saw. dinyatakan: "Tidak merajalela

fahisyah dalam satu masyarakat sampai mereka terang-terangan

melakukannya, kecuali tersebar pola wabah dan penyakit di antara mereka

yang belum pernah dikenal oleh generasi terdahulu.16

16Ibid., hlm. 316 – 318.