BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB...

23
36 BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1. Pendahuluan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) ialah sebuah lembaga gerejawi yang memiliki area pelayanan cukup luas di Indonesia. Dengan cakupan pelayanan yang cukup luas inilah menandakan bahwa GPIB tidak hanya hadir sebagai sebuah lembaga yang melanjutkan misi-Nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-Nya sebagai wujud tanggung jawab untuk melihat setiap permasalahan yang terjadi dalam rantai kehidupan sosial di dalam jemaat maupun masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Mulai dari cara berpikir, berperilaku hingga kebiasaan sehari-hari menjadikan masyarakat sangat mudah bersentuhan dengan praktek-praktek ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi. Oleh sebabnya, GPIB turut bertanggung jawab dalam membina warga jemaat dan masyarakat untuk memahami lebih dalam tentang bentuk-bentuk masalah sosial seperti halnya korupsi. Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pemahaman GPIB tentang korupsi serta sikap GPIB terhadap korupsi itu sendiri berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama penelitian yang dilakukan di sinode GPIB. 2. Profil Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) 2.1 Sejarah Gereja Prostestan di Indonesia Bagian Barat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat GPIB) merupakan salah satu gereja yang sifatnya heterogen. GPIB merangkul warga jemaatnya dari berbagai latar belakang etnis dan

Transcript of BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB...

Page 1: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

36

BAB III

KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB

1. Pendahuluan

Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) ialah sebuah lembaga gerejawi yang

memiliki area pelayanan cukup luas di Indonesia. Dengan cakupan pelayanan yang cukup luas

inilah menandakan bahwa GPIB tidak hanya hadir sebagai sebuah lembaga yang melanjutkan

misi-Nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-Nya

sebagai wujud tanggung jawab untuk melihat setiap permasalahan yang terjadi dalam rantai

kehidupan sosial di dalam jemaat maupun masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada terjadinya perubahan sosial di masyarakat.

Mulai dari cara berpikir, berperilaku hingga kebiasaan sehari-hari menjadikan masyarakat sangat

mudah bersentuhan dengan praktek-praktek ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi. Oleh

sebabnya, GPIB turut bertanggung jawab dalam membina warga jemaat dan masyarakat untuk

memahami lebih dalam tentang bentuk-bentuk masalah sosial seperti halnya korupsi.

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pemahaman GPIB tentang korupsi serta

sikap GPIB terhadap korupsi itu sendiri berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama

penelitian yang dilakukan di sinode GPIB.

2. Profil Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB)

2.1 Sejarah Gereja Prostestan di Indonesia Bagian Barat

Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat GPIB) merupakan salah satu gereja yang

sifatnya heterogen. GPIB merangkul warga jemaatnya dari berbagai latar belakang etnis dan

Page 2: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

37

budaya dalam cakupan wilayah Indonesia Bagian Barat. Inilah yang menjadikan keunikan bagi

GPIB semenjak masih ada di bawah payung GPI (Gereja Prostestan Indonesia). Untuk

memahami Latar belakang historis terbentuknya GPIB maka perlu juga untuk memahami sejarah

lahirnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) sebab, latar belakang historis GPIB sebenarnya

merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia. GPI dalam masa VOC

disebut sebagai ‘Gereja Gereformeed’. Namun ketika pada tahun 1835 namanya diubah menjadi

“De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie” atau De Indische Kerk.1

Sebelum tahun 1948, dalam naungan GPI telah terbentuk organisasi-organisasi Gereja

yang berdiri sendiri. Masing-masing dengan sinodenya serta tata gerejanya sendiri. Organisasi-

organisasi Gereja itu ialah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku

(GPM), dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).2 Sehubungan dengan adanya perkembangan

baru tubuh GPI, maka pada tahun 1948 Gereja terdesak untuk berpikir tentang status jemaat-

jemaat yang ada dalam tubuh GPI, tapi yang tidak termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga

Gereja yang telah berdiri sendiri itu.3 Seperti ujung Pandang (Makasar), Sopeng; di pulau Jawa

seperti Jakarta, Tanjung Priok, Tugu, Jatinegara, Bogor, Depok, Cimahi, Bandung, Cilacap,

Semarang, Surabya, Malang, Jember; di Kalimantan seperti Banjarmasin, Pontianak; di Bangka;

di Sumatera seperti Palembang dan Medan, mereka tidak bersedia meleburkan diri dalam salah

satu Gereja daerah.4

Dalam Sidang Sinode Am ke-III yang dilaksanakan di Bogor tanggal 30 Mei-10 Juni

1948 tentang jemaat-jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga Gereja yang berdiri

1 G.P.H. Locher, Tata Gereja-Gereja Prostestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),3-4. 2 SW. Lontoh dan H. Jonathans, STh, Bahtera Guna Dharma GPIB, (Jakarta: MS XII GPIB, 1981),179. 3 Ibid.,180. 4 Ibid.

Page 3: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

38

sendiri, berakhir dengan satu keputusan, yaitu: segera dalam tahun 1948 juga, jemaat-jemaat

tersebut diorganisir dalam satu organisasi gereja yang baru. Untuk itu Sinode Am ke-III GPI

menetapkan:5

1. Memberi hak pada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk mensahkan

dan melembagakan gereja baru itu sebagai satu gereja yang berdiri sendiri.

2. Membentuk komisi untuk menyiapkan Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja.

3. Tata Gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh proto sinode secepat

mungkin dalam tahun 1948.

Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada tanggal 25-31 Oktober

1948 di Jakarta mempunyai acara pokok: Membahas Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja

yang telah disiapkan oleh komisi Tata Gereja dan Peraturan Gereja, yang dibentuk oleh sinode

Am ke-III GPI di Bogor maka, lahirlah satu Gereja yang berdiri sendiri, lengkap dengan

Sinodenya dan Tata Gereja serta Peraturan-peraturan Gereja yang disebut “Gereja Prostestan di

Indonesia Bagian Barat’ (GPIB) tepat tanggal 31 Oktober 1948.6

3. Visi dan Misi GPIB

3.1.Visi

Menjadi satu permulaan bagi GPIB sejak tanggal 31 Oktober 1948 sebagai sebuah Gereja

yang bersedia melakukan Pekabaran Injil bagi seluruh umat tanpa terkecuali di wilayah

5 Ibid.,181. 6 Ibid.

Page 4: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

39

Indonesia Bagian Barat. Dengan mengemban Visi “GPIB menjadi gereja yang mewujudkan

damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”7

3.2 Misi

Adapun yang menjadi misi GPIB adalah sebagai berikut:8

a) Menjadi Gereja yang terus menerus diperbaharui dengan bertolak dari Firman Allah,

yang terwujud dalam perilaku kehidupan warga gereja, baik dalam persekutuan, maupun

dalam hidup bermasyarakat.

b) Menjadi gereja yang hadir sebagai contoh kehidupan, yang terwujud melalui inisiatif dan

partisipasi dalam kesetiakawanan sosial serta kerukunan dalam masyarakat, dengan

berbasis pada perilaku kehidupan keluarga yang kuat dan sejahtera.

c) Menjadi Gereja yang membangun keutuhan ciptaan yang terwujud melalui perhatian

terhadap lingkungan hidup, semangat keesaan dan semangat persatuan dan kesatuan

warga Gereja sebagai warga masyarakat.

4. Cara Penatalayanan Gereja

Untuk menumbuhkan dan mengembangkan persekutuan, pelayanan dan kesaksian di

tengah masyarakat, GPIB menata kehidupannya dengan bersumber dari Firman Allah. Penataan

itu dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan Imamat Am dalam ketaatan

kepada Yesus Kristus yang menghendaki segala sesuatu rapih tersusun dan diikat menjadi satu

7 Visi Misi GPIB dalam www.gpib.org diunduh pada 16 januari 2015. 8 Ibid.

Page 5: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

40

oleh pelayanan semua bagian dan perangkat, baik warga, wilayah, kepemimpinan dan tata aturan

dengan sistem Presbiterial Sinodal.9

Cara penatalayanan dengan Sistem Presbiterial Sinodal selalu menekankan:10

· Penetapan kebijakan oleh para Presbiter atas dasar permusyawaratan melalui Persidangan

Sinode GPIB, yang pelaksanaannya dijabarkan dalam Sidang Majelis Sinode (tingkat

sinodal) dan Sidang Majelis Jemaat (tingkat jemaat)

· Hubungan yang dinamis antara Majelis Sinode dan Majelis Jemaat maupun di antaranya

· Pelaksanaan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya gereja serta bersama dan

bertanggung jawab di seluruh jajaran GPIB

Bertolak dari pemahaman ini, maka penyelenggaraan pelayanan secara Presbiterial

Sinodal hendaknya menjadi tanggung jawab bersama para Presbiter atas kehidupan lembaga

GPIB berdasarkan karunia dan talenta yang dipercayakan Tuhan padanya.11

5. Pemahaman GPIB Tentang Korupsi

Selaras dengan pengakuannya GPIB adalah bentuk nyata dari Gereja Kristen Yang Esa,

Kudus, Am dan Rasuli. Kehadirannya di Indonesia untuk mengemban tugas mewujudkan tanda-

tanda Kerajaan Allah yaitu kasih, keadilan, kebenaran dan keutuhan ciptaan. GPIB terpanggil

untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan ikut

membangun nilai-nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis (“civil

9 Tata Gereja GPIB Buku IIII, (Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2010),17. 10 Presbiterial Sinodal dalam www.gpib.org, diunduh pada 17 Januari 2015. 11 Ibid.

Page 6: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

41

society”) dengan melaksanakan fungsi kenabian di tengah-tengah simpul kekuasaan yang ada.12

Dalam rangka itu, GPIB memperjuangkan masalah-masalah kemanusiaan, keadilan dan

lingkungan hidup serta masalah-masalah yang berhubungan dengan dampak negatif dari

globalisasi dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.13 Beranjak dari pemahaman di

atas tersebut, GPIB sebagai sebuah lembaga hadir secara penuh dalam memperhatikan dan turut

bertanggung jawab terhadap masalah kehidupan sosial warga jemaat maupun masyarakat.

Menyadari bahwa GPIB merupakan bagian integral dari Bangsa dan Negara Indonesia.

Gereja merasa perlu untuk merumuskan Pemahaman Iman yang berisikan tujuh pokok sebagai

dasar teologis Gereja melayani di Indonesia. Salah satu dari ketujuh pokok Pemahaman Iman

GPIB sebagai wujud kesadaran akan ‘bagian integral’ Gereja dari Bangsa Indonesia ialah adanya

rumusan tentang ‘Negara dan Bangsa’ (pokok kelima). Pokok kelima (Negara dan Bangsa)

berisikan VII alinea. Kesemuanya berbicara tentang keterlibatan Gereja dalam mewujudkan

kesejahteraan tidak hanya bagi Gereja sendiri tetapi juga bagi bangsa dan negara. Namun tiap-

tiap alinea dalam Pokok Kelima tersebut diuraikan dengan penjelasannya masing-masing.

Keseluruhan dari penjelasan tiap-tiap alinea Pokok Kelima tersebut tidak secara spesifik

membahas tentang korupsi dan bagaimana gereja bereaksi terhadap masalah korupsi. Namun ada

beberapa alinea yang secara implisit menguraikan keterlibatan Gereja terhadap persoalan sosial

seperti meniadakan kekacauan, kejahatan, juga ketidakadilan sosial sebab, masalah negara dan

bangsa juga merupakan masalah Gereja. Hal-hal ini dibahas dalam alinea pertama dan alinea

keempat:14

12 Tata Gereja GPIB Buku III,…,17. 13 Ibid. 14 Untuk penjelasan alinea I & IV tentang ‘Negara dan Bangsa’, lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a (2010),

212-215.

Page 7: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

42

Alinea pertama; Bahwa Allah, sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah bangsa-bangsa guna mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan meniadakan kekacauan dan kejahatan. Dengan demikian sebagai hamba Allah, setiap pemerintah wajib mempertanggung jawabkan kuasa tersebut kepada Allah. Alinea keempat; Roh Kudus yang adalah Roh keberanian akan menolong orang percaya untuk lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Seperti yang telah disaksikan oleh para Rasul; oleh karena itu Gereja terpanggil memperdengarkan suara kenabian terhadap masalah negara, bangsa dan masyarakat.

Kedua alinea inilah yang mendasari dan menjadi titik berangkat GPIB untuk memahami

dan bersikap dengan tegas dalam meniadakan korupsi yang adalah bentuk ketidakadilan sosial

dan tidak dapat dibenarkan.15 Sekali lagi, oleh karena Pemahaman Iman GPIB merupakan dasar

teologis yang dirumuskan oleh Gereja untuk melayani di Indonesia sesuai konteksnya maka,

korupsi juga secara teologis dipandang sebagai sebuah tindakan ketidakadilan sosial yang tidak

berkenan dihadapan Tuhan sebab, sejatinya hal tersebut tidak mendatangkan kesejahteraan bagi

seluruh ciptaan-Nya berdasarkan Visi GPIB. Lewat argumentasi-argumentasi ini, muncul

penegasan akan ketidakberpihakkan GPIB terhadap tindakan korupsi itu sendiri. GPIB tetap

menunjukkan konsistensinya terhadap apa yang telah diputuskan secara bersama dalam

persidangan sinode.

Tidak hanya berdasarkan Pemahaman GPIB yang secara implisit dalam alinea petama

dan keempat Pokok Kelima ‘Negara dan Bangsa’ menegaskan bahwa korupsi ialah tindakan

tidak benar. Kajian pemahaman tentang korupsi oleh GPIB juga didasarkan pada kebenaran

Firman Allah yang tertuang dalam Hukum Musa atau Hukum Taurat salah satunya ialah hukum

ke-8 “Jangan Mencuri” (Kel 20:15). Hakikatnya Pemahaman Iman GPIB didasarkan oleh

Kebenaran Firman Tuhan. Perintah “Jangan Mencuri” secara eksplisit disuarakan dalam Hukum

Taurat menjadi acuan bagi GPIB untuk menyatakan dengan tegas bahwa tindakan korupsi

15 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E.Ch. Wuwungan, (Mantan Ketua Sinode GPIB) pada 26 November

2014.

Page 8: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

43

merupakan bentuk pelanggaran terhadap Firman Allah.16 Gereja menganggap bahwa siapapun

yang hendak melakukan tindakan pencurian berarti ia sedang mempraktekkan tindakan korupsi

yang sifatnya menyeleweng dari sebuah sistem regulasi yang sudah ditetapkan.17

Pemahaman universal tentang korupsi sebagai aksi pencurian dipahami sangat mendalam

oleh GPIB. Bagi GPIB mencuri dan korupsi keduanya merupakan tindakan yang salah. Akan

tetapi Hukum Taurat ke-8 tersebut tidak semata-mata dipahami secara harafiah “mencuri” saja

namun, ada konsep yang lebih berarti dibalik pemahaman secara harafiah tersebut. Oleh GPIB

tindakan korupsi dilakukan dengan gaya yang lebih licik dibandingkan dengan tindakan

mencuri.18 Dengan sederhana, korupsi dan mencuri merupakan dua tindakan yang berbeda

bentuk namun, sama-sama melakukan aksi “penyelewengan”.

Mencuri dipahami sebagai sebuah insiden yang kelihatan. Insiden kelihatan dalam situasi

ini ialah orang yang dicuri (korban curian) benar-benar menyadari bahwa sesuatu yang dimiliki

telah diambil dan hilang. Sedangkan, korupsi dipahami berbeda di mana si korban tidak merasa

bahkan tidak sadar bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya. Mengapa

demikian? Karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku (koruptor) terlihat baik padahal

sebetulnya yang dilakukan ialah buruk. Kaihatu menandaskan bahwa inti diskusi teologi tentang

korupsi yang menyatakan tindakan tersebut ialah salah dipahami oleh GPIB bukan hanya

sebagai sebuah aksi pencurian tetapi lebih dari itu tidak setuju terhadap tindakan yang seolah-

olah baik tetapi dalam kenyataanya tidak baik (merusak, merugikan orang lain, menyimpang dari

16 Ibid. 17 Hasil wawancara dengan Pdt. J. Marlene. Joseph (Sekertaris I Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25

November 2014. 18 Hasil wawancara dengan Pdt. S.Th. Kaihatu (Mantan Ketua Sinode GPIB Periode 2005-2010) pada 6

Desember 2014.

Page 9: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

44

aturan ).19 Dengan bahasa yang sederhana, ada sesuatu yang hilang akibat aksi pencurian

maupun korupsi ialah benar. Namun filosofi di belakang kedua aksi ini berbeda. Kaihatu

memberi contoh dengan menguraikan perbedaan antara maling dan koruptor. Ketika maling

berusaha mencuri barang seseorang, dengan situasi si pemilik tidak melihat aksi tersebut maka,

si pemilik barang itulah yang tidak berhati-hati sehingga barang yang dimiliki bisa dicuri.

Berbeda dengan koruptor, si pemilik barang (institusi pemerintah dan swasta) sekalipun melihat,

ia tidak menyadari bahwa koruptor telah merampas hak miliknya. Dengan bahasa yang

sederhana, untuk mencuri maling membutuhkan situasi dimana orang lain tidak melihat tetapi

korupsi, koruptor membutuhkan situasi dimana orang lain memujinya seakan-akan ia sedang

berbuat baik.

Pemahaman yang lain juga diuraikan oleh Ririhena, selain Hukum Taurat ke-8, Hukum

Taurat ke-10 “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya

laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang

dipunyai sesamamu”20 juga mendasari pemahaman Gereja untuk menyatakan bahwa tindakan

korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan baik secara hukum negara

maupun juga berdasarkan nilai-nilai agama. Kalimat terakhir dalam hukum ke-10 “atau apapun

yang dipunyai sesamamu” dipahami oleh GPIB sebagai suatu perintah yang sifatnya melarang

umat Tuhan untuk tidak menginginkan, mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya.21

Menginginkan dan mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak oleh Joseph tidak berhenti

pada tafsiran yang menyatakan bahwa hal tersebut hanya menyangkut persoalan uang atau

barang yang berharga saja. Akan tetapi menginginkan dan mengambil kedudukan dalam satu

19 Ibid. 20 Hasil wawancara dengan Pdt. Rudy. I. Ririhena.(Ketua III Sinode GPIB Periode 2010-2015), pada 27

November 2014. 21 Ibid.

Page 10: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

45

instansi atas dasar hubungan kekerabatan yang diistilahkan dengan nepotisme. 22 Joseph kembali

mempertegas bahwa nepotisme merupakan bentuk tindakan korupsi yang juga dimuat maknanya

dalam Hukum Taurat ke-10. Katanya, ketika mendengar istilah korupsi jangan dulu kita

membentuk cara berpikir bahwa korupsi ialah persoalan mencuri uang. Tidak hanya itu, tandas

Joseph. Sebab tidak selamanya korupsi ialah persoalan uang tetapi, atas alasan kekeluargaan

kebanyakkan orang menyalahgunakan kedudukannya untuk melakukan nepotisme yang adalah

korupsi tersebut.

Lahirnya Hukum Musa atau Hukum Taurat dalam hal ini kedua Hukum (ke-8 dan ke-10)

mempunyai alasan tersendiri tandas Wuwungan. Baginya ketika sebuah aturan dikeluarkan itu

berarti sebelumnya ada praktek-praktek ketidakadilan yang dilakukan sehingga aturan tersebut

diadakan. Hukum Taurat yang mengandung sepuluh Firman tersebut dibuat karena umat Tuhan

terlebih para penguasa Bangsa Israel saat itu sedang mempraktekkan tindakan yang tidak

menyenangkan hati Tuhan.23 Praktek-praktek ketidakadilan tersebut sudah ada ketika zaman

Musa hal ini dapat dilihat dalam Keluaran 18:21 saat itu Yitro mertua Musa menasihatinya untuk

mencari orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang

benci kepada pengejaran suap untuk menjadi pemimpin. Pengejaran suap yang dikatakan

Yitro, bagi Wuwungan merupakan satu gambaran bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan sosial

seperti korupsi sudah merajalela saat itu.24 Oleh sebabnya Hukum Taurat dikumandangkan bagi

seluruh umat Tuhan. Contoh lain, dalam Keluaran 23:8 “ Suap Janganlah kau terima, sebab suap

membuat mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang

benar”. Praktek ketidakadilan saat itu dianggap sebagai hal yang keji sebab hanya dengan uang

22 Hasil wawancara dengan Pdt. J.Marlene. Joseph. pada 25 November 2014. 23 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch.Wuwungan, pada 26 November 2014. 24 Ibid.

Page 11: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

46

suap dapat membutakan mata orang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan hati-hati, dan

mengusik keputusan, walaupun ia orang yang adil.25 Selain contoh-contoh di atas tersebut,

contoh lain yang memperlihatkan praktek korupsi dalam cerita Alkitab ialah ketika Yakub

merampas hak kesulungan dari kakaknya Esau. Cerita Esau dan Yakub dalam Kejadian 27

menjadi bukti bahwa jauh sebelum korupsi dipraktekkan dalam dunia masa kini.26 Kehidupan

masa lampau sudah terkontaminasi dengan praktek-praktek tersebut. Yakub bersikap tidak adil

dengan cara melakukan penipuan terhadap ayahnya Ishak hanya untuk merampas hak

kesulungan kakaknya. Tindakan yakub mencerminkan praktek korupsi dalam bentuk pencurian.

Ia telah merampas hak milik orang lain serta secara tidak langsung telah melahirkan

ketidakadilan dalam kehidupan keluarganya sendiri.27

Lewat argumentasi-argumentasi ini, dapat disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan

tindakan korupsi. Tidak hanya soal pencurian, suap-menyuap dan sogok-menyogok uang namun,

korupsi dalam bentuk apapun seperti nepotisme, korupsi waktu, sama sekali dianggap tidak

benar oleh GPIB. Lahirnya pemahaman GPIB ini tidak dibuat-buat atas dasar pemahaman

pribadi. Akan tetapi berangkat dari dasar teologis Hukum Taurat “Jangan mencuri & Jangan

Mengingini” gereja membangun sebuah pola berpikir yang baik sebagai alasan secara teologis

untuk tidak membenarkan tindakan korupsi dalam bentuk apapun.

Hukum Taurat (ke-8 dan ke-10) tersebut tidak hanya berlaku pada masa Musa saja. Akan

tetapi kesepuluh Firman tersebut berlaku hingga sekarang. Sebab tindakan korupsi tidak berhenti

di masa lampau justru tindakan tersebut semakin menjadi-jadi dan mendapat perhatian publik.

Pitoy menguraikan bahwa secara sosiologis hingga sekarang ini di zaman post-modern manusia

25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid.

Page 12: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

47

tidak bisa terhindar dari masyarakat koruptif tetapi menghindari diri dari masyarakat korupsi bisa

dilakukan oleh setiap orang.28 Gereja pun demikian. Akan tetapi Gereja wajib memberdayakan

manusia serta membina warga jemaat dan masyarakat untuk mendatangkan kesejahteraan bagi

seluruh ciptaan-Nya serta kuat spiritual agar bisa menghindari diri dari masyarakat yang

koruptif.

6. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Berdasarkan informasi yang diperoleh, beberapa diantara mengemukakan bahwa korupsi

tidak serta merta hadir dalam tatanan kehidupan sosial sebuah bangsa dan negara, bahkan juga di

Gereja. Ada beberapa faktor mengapa korupsi bisa terjadi bahkan seolah terpelihara hingga saat

ini. Korupsi dapat dikatakan bersifat turun-temurun dari masa lalu. Ketika dikatakan korupsi

bersifat turun temurun, Joseph menguraikan bahwa hal menyangkut korupsi dapat dikatakan

sebagai budaya yang diwarisi dari masa lalu oleh masyarakat hingga kini. Budaya semacam apa

yang dimaksudkan oleh Joseph ialah budaya menguasai seutuhnya apa yang telah ada dalam

genggaman sang penguasa.29 Penguasalah yang menguasai, mengendalikan birokrasi dalam

sebuah pemerintahan sehingga memberikan peluang besar untuk terciptanya ketidakadilan sosial

dalam bentuk korupsi. Itu berarti faktor pertama yang dimaksudkan Joseph dalam uraiannya

ialah faktor budaya.

Di sisi lain bagi Joseph ialah faktor alamiah manusia. Setiap manusia terbelenggu oleh

sifat kemanusiaannya yang cenderung disalahgunakan sehingga mendatangkan dosa bagi diri

sendiri maupun juga bagi orang lain. Sifat kemanusian yang bergejolak dari dalam diri manusia

28 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy. (Sekertaris Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25

November 2014. 29 Hasil wawancara dengan Pdt. J. Marlene. Joseph. pada 25 November 2014.

Page 13: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

48

tersebut dapat diistilahkan sebagai “behaviour”.30 Faktor behavior merupakan salah satu

penyebab mengapa korupsi bisa terjadi. Rasa ketidakpuasan dalam diri manusia yang mendorong

untuk melakukan hal-hal yang tidak benar seperti halnya korupsi. Semakin tinggi pendapatan

semakin besar kebutuhan manusia, dan semakin besar kebutuhan semakin tinggi pula

ketidakpuasan manusia akibat keserakahan.31 Ditambahkan oleh wuwungan, sebagaimana

dengan uraian di atas, hal yang sama juga tertuang dalam Pemahaman Iman GPIB tentang

‘Manusia’ terkhusus dijelaskan dalam alinea ke VI;32

Bahwa karena keinginannya manusia menyalah-gunakan kuasa dan tanggungjawab-nya, sehingga ia jatuh dalam dosa menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah, sesama dan alam.

Manusia membiarkan dirinya takluk di bawah keinginan daging sehingga memberontak

dan tidak mengakui kedaulatan Allah. Inilah yang menyebabkan rusaknya hubungan manusia

dengan Allah juga dengan sesama. Keserakahan manusia disebabkan karena manusia tidak dapat

mengendalikan keinginan daging dan hawa nafsu, hingga kesadaran akal budi dan hati nurani

tidak berfungsi secara baik dalam mengambil keputusan.33 Sebab itu, baik akal budi maupun hati

nurani manusia telah dibelenggu oleh kuasa dosa.

Faktor lain yang juga turut mempengaruhi ialah “sistem yang bocor”. Faktor sistem yang

bocor dimaksudkan oleh Ririhena ialah berjalannya sebuah sistem dalam organisasi atau instansi

tertentu yang tidak baik. Misalnya saja di Gereja, sistem perbendaharaan yang dikelola oleh

30 Ibid. 31 Ibid. 32 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 191. 33 Ibid,193.

Page 14: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

49

BPPJ dan BPPG benar-benar harus diperhatikan sehingga tidak mengakibatkan kebocoran yang

bisa merugikan Gereja.34

Didasarkan atas hasil wawancara terhadap beberapa orang tersebut di atas maka, dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor yang disebutkan dapat mewakili GPIB untuk menyatakan

bahwa ketiga faktor itulah menjadi penyebab tindakan korupsi masih dilanggengkan hingga saat

ini. Dalam bentuk apapun, dan oleh karena faktor apapun GPIB memahami bahwa korupsi ialah

tindakan yang tidak perlu dibenarkan secara teologis bahkan juga sosiologis bahwasanya

tindakan tersebut tidaklah memanusiakan manusia. Segala kenyataan yang terjadi memantapkan

GPIB untuk lebih intens dalam melakukan pembinaan bagi warga jemaat dan masyarakat dalam

rangka memberikan pemahaman terkait dengan persoalan korupsi agar supaya, jemaat dan

masyarakat lebih berhati-berhati terhadap gejolak korupsi yang sulit dihindari serta

memperhatikan sistem yang berlaku di dalam Gereja guna menciptakan kesejahteraan bagi

seluruh ciptaan-Nya berdasarkan diskusi teologis yang dilakukan dalam sidang sinode setiap

lima tahunnya.

7. Sikap GPIB Terhadap Persoalan Korupsi

Ketika GPIB memahami dan menyadari bahwa tindakan korupsi ialah hal yang tidak

dapat dibenarkan secara teologis bahkan sosiologis maka, berangkat dari pemahaman itulah

GPIB menyikapi tindakan-tindakan korupsi dengan menempuh beberapa langkah seperti

membuat aturan yang tertuang dalam dokumen-dokumen GPIB tentang Pemahaman Iman, Tata

34 Hasil wawancara dengan Pdt. Ruddy. I. Ririhena pada 27 November 2014.

Page 15: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

50

Gereja GPIB tentang Perbendaharaan GPIB, melakukan pembinaan bagi warga jemaat melalui

khotbah mingguan, kunjungan pastoral, seminar, pelayanan Kategorial dalam jemaat35.

Sikap-sikap ini ialah tindakan nyata GPIB, menyadari akan tanggung jawab sosialnya

terhadap persoalan negara dan bangsa yang juga menjadi persoalan Gereja. Sebab, bagi GPIB

persoalan korupsi tidak hanya menjadi tanggungan pemerintah Indonesia semata melainkan

Gereja turut terlibat dalam menyikapi persoalan dimaksud.

Gereja sebagai Pemerintah tertinggi warga jemaat berkewajiban untuk mendatangkan

kesejahteraan secara penuh bukan hanya bagi warga gereja namun bagi warga masyarakat,

negara dan bangsa. Mendatangkan kesejahteraan merupakan kalimat yang dimaknai sebagai

bentuk sikap dari GPIB terhadap persoalan korupsi. Bentu-bentuk sikap tersebut diwujud

nyatakan oleh GPIB melalui kebijakan dalam dokumen-dokumen GPIB antara lain Pemahaman

Iman GPIB, Perbendaharaan GPIB, serta pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat.

7.1 Pemahaman Iman GPIB

Sekali lagi ditegaskan bahwa, keseluruhan dari Pemahaman Iman GPIB yang memuat

ketujuh pokok tersebut dengan penjelasan tiap-tiap alineanya telah sarat makna akan keterlibatan

GPIB terhadap setiap persoalan sosial yang terjadi di Indonesia sesuai dengan konteksnya. Mulai

dari pokok pertama tentang Keselamatan sampai pokok ketujuh tentang Firman Allah telah

diuraikan secara implisit tentang bagaimana GPIB harus menempatkan diri dalam melihat,

menyikapi masalah-masalah gereja juga bangsa dan negara. Dari keseluruhan isi ketujuh pokok

Pemahaman Iman GPIB tersebut, pokok kedua tentang ‘Gereja’ terkhusus dalam alinea keempat

35Hasi wawancara dengan Pdt. S.Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014.

Page 16: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

51

dianggap sebagai dasar teologis GPIB dalam menyikapi persoalan ketidakadilan sosial dalam hal

ini korupsi di Indonesia. Bunyi dari alinea keempat tersebut ialah;36

Bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja 1) dan Gereja sebagai tubuh-Nya 2) yang rapih tersusun 3) dan segala sesuatu di dalamnya harus diselenggarakan secara tertib dan teratur 4)

Point keempat dari uraian alinea di atas oleh Wuwungan merupakan dasar GPIB bersikap

terhadap setiap persoalan sosial. Gereja harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.37

Penjelasan point keempat ini didasarkan pada Firman Tuhan dalam II Timotius 1:7 dan I

Korintus 14:40. Kedua Kitab ini menyuarakan hal yang sama bahwa GPIB harus

menyelenggarakan gereja-Nya dengan tertib dan teratur. Terkait dengan persolan korupsi maka,

tindakan korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak tertib dan teratur. Sehingga, perlu bagi

GPIB untuk menyikapi persoalan korupsi berdasarkan Pemahaman Iman GPIB yang diuraikan

dalam point keempat, alinea keempat, pokok kedua tentang ‘Gereja’.

Pitoy menambahkan, ketika ada seseorang yang melakukan tindakan korupsi itu berarti

dia tidak membantu GPIB dalam menyelenggarakan Gereja secara terib dan teratur. Secara tidak

langsung pula, seseorang telah melanggar ketetapan dalam Kebenaran Firman Tuhan yang

diyakini oleh GPIB sebagai Pemahaman Iman GPIB dengan keberadaannya di Indonesia. 38

7.2 Membuat Tata Gereja tentang Perbendaharaan GPIB.

GPIB tidak memiliki sebuah aturan dalam Tata Gereja tentang korupsi secara eksplisit

yang mengatur tentang korupsi. Akan tetapi peraturan no 6 tentang Perbendaharaan GPIB dibuat

36 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 147. 37 Hasil wawancara dengan Pdt. Wuwungan pada 26 November 2014. 38 Hasil wawancara dengan Pdt. Adrian. Pitoy. pada 25 November 2014.

Page 17: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

52

oleh GPIB sebagai wujud tindakan dalam mengatur dan mengantisipasi segala kemungkinan

bentuk ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi yang dapat terjadi dalam Gereja.39 Peraturan

Perbendaharaan GPIB mengandung 14 pasal yang secara keseluruhan mengatur keberlangsungan

sistem Perbendaharaan di GPIB.

Terkait dengan korupsi yang dipahami sebagai tindakan penyelewengan dan tindakan

mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak milik maka, GPIB menetapkan pasal no 4 dalam

peraturan Perbendaharaan GPIB yang mengatur tentang Tata Laksana Pengelolaan seluruh harta

milik GPIB berupa harta bergerak dan tidak bergerak.40 Sekali lagi ditegaskan oleh Pitoy, Gereja

tidak bisa mengindari diri dari sifat koruptif masyarakat, akan tetapi, menghindari diri dari

korupsi dapat dilakukan. Oleh sebabnya, Gereja membutuhkan satu aturan yang menjadi

pengontrol bagi sistem kerja GPIB. Dibuatlah pasal no 4 dalam aturan no 6 Tata Gereja sebagai

wujud sikap yang positif dan tegas untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak

diinginkan dapat terjadi. Siapapun dan dalam kondisi apapun ketika ditemukan melakukan

tindakan penyelewengan, penggelapan dan mengambil harta bergerak dan tidak bergerak milik

Gereja, ditegaskan oleh Pitoy bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindakan korupsi.41

Menyadari panggilan Gereja sebagai sebuah institusi. Gereja membutuhkan transparansi

dalam pengelolahan Perbendaharaann GPIB. Pasal no 6 yang mengatur tentang Sumber

Penerimaan GPIB ditetapkan sebagai aturan yang baku dalam Tata Gereja Buku III menjadi

bukti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kas GPIB diatur sedemikian rupa dalam pasal

no 6 agar bisa dipertanggung jawabkan dengan baik. Kaihatu bercerita tentang kasus yang

sekarang ini terjadi di GPIB yang juga telah terdengar oleh publik berkaitan dengan penggantian

39 Ibid. 40 Lih. Dalam Tata Gereja Buku III, tentang aturan no 6 ‘Perbendaharaan GPIB, (2010), 41 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.

Page 18: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

53

tanah di wilayah belakang Gereja Imanuel oleh Dinas Perhubungan TNI Angkatan Darat. Kami

tidak peduli berapa pun yang tentara berikan namun, yang menjadi perhatian kami ialah berapa

jumlah yang tentara berikan tersebut bagi sinode GPIB tidak boleh dihilangkan satu sen pun

tandas Kaihatu dengan tegas.42 Bukan menjadi urusan kami berapa jumlah yang harus diberikan

oleh tentara. Tetapi, ketika jumlah uang tersebut sudah sampai ke lingkungan Gereja hal tersebut

telah menjadi tanggung jawab kami sebab, sudah terhitung sebagai Sumber Penerimaan Gereja

yang diatur dalam pasal no 6, peraturan Perbendaharaan GPIB. Oleh sebabnya, jika tindakan

menghilangkan terjadi ketika jumlah uang tersebut telah ada dalam lingkungan Gereja bagi

Kaihatu hal tersebut dikatakan sebagai korupsi.43

Jika benar seseorang didapatkan melakukan tindakan korupsi terhadap harta milik Gereja

baik yang bergerak maupun tidak bergerak akan ditindak lanjuti berdasarkan pasal no 11,

peraturan Perbendaharaan GPIB yang berisikan “sanksi”.44 Pasal no 11 dibuat oleh GPIB

dengan tujuan untuk menindaklanjuti apabila kedapatan dalam lingkungan Gereja

dipraktekkannya tindakan korupsi atas harta milik Gereja bergerak dan tidak bergerak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa persoalan korupsi turut

disikapi oleh GPIB dalam dokumen-dokumen Gereja diantaranya dalam Pemahaman Iman GPIB

dan Tata Gereja Buku III. Kesemuanya mencerminkan sikap kepedulian Gereja terhadap praktek

ketidakadilan sosial yang sampai sekarang ini masih menjadi ancaman bagi negara dan bangsa

terlebih bagi Gereja. Sikap-sikap teknis secara sistematis tersebut dibuat menjadi satu aturan

yang baku oleh GPIB dengan tujuan menjalankan Gereja sebagai panggilan institusional secara

tertib dan teratur sesuai dengan Kehendak Tuhan.

42 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 43 Ibid. 44 Lih. Dalam Tata Gereja GPIB Buku III tentang Perbendaharaan GPIB, (2010),

Page 19: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

54

7.3 Pembinaan Warga Jemaat

Tindakan yang ditempuh oleh GPIB terhadap korupsi tidak hanya tertuang dalam

dokumen-dokumen Gereja saja. Pitoy menguraikan, GPIB tegas dalam melakukan pembinaan

terhadap warga jemaat melalui khotbah-khotbah mingguan bahkan juga di ibadah-ibadah

kategorial lainnya..45 Untuk maksud dan tujuan pelaksanaan tugas pekabaran Injil, Gereja,

berdasarkan tugas pengajaran mempersiapkan warganya melalui pembinaan warga Gereja.46

Pembinaan Warga Gereja ditujukan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi

pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efs. 4:12).

Selain melalui khotbah di ibadah minggu dan di ibadah-ibadah kategorial, kunjungan

pastoral pun menjadi langkah aktif oleh GPIB dalam membina warga jemaat dan masyarakat.

Kunjungan ini sifatnya pribadi antara pendeta (konselor) dengan konseli. Agar terciptanya

suasana yang bebas, aktif dalam melakukan pastoralia. Kaihatu menandaskan, beberapa kali

beliau melakukan kunjungan pastoral serta mengadakan ibadah dengan mengundang jemaatnya

yang berstatus sebagai anggota DPR/DPRD bahkan pejabat dan pengusaha yang memiliki

kedudukan penting dalam sebuah organisasi. Hal ini dilakukan kepada mereka, sebab bagi

Kaihatu orang-orang seperti merekalah yang rentan bersinggungan dengan korupsi.47

Tidak hanya itu GPIB juga mengadakan seminar yang berkaitan dengan isu-isu sosial

sekarang ini. Hingga kini seminar tentang korupsi belum dilakukan oleh GPIB akan tetapi,

seminar-seminar yang telah dilakukan sebelumnya oleh Gereja mengarahkan warga jemaat dan

masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati Tuhan seperti halnya

memupuk ketidakadilan sosial dalam kehidupan bangsa dan negara.48 Kaihatu juga

45 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014. 46 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (Jakarta: MS GPIB, 2010), 99. 47 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 48 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.

Page 20: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

55

menambahkan, sejak masa sekolah minggu anak-anak sudah diajarkan dan dibina untuk

menghindari hal-hal yang buruk seperti mencuri. Mungkin untuk pemahaman bahasa “korupsi”

secara mendalam belum begitu dipahami oleh anak-anak akan tetapi esensi dari keduanya ialah

sama. Ini dibuktikan dengan materi-materi pengajaran dan pembinaan GPIB.49

GPIB menyadari tanggung jawabnya secara teologis dan sosiologis sehingga

dibuatnyalah pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat. Menjadi Gereja yang hidup dan

dapat berjalan sesuai dengan Visi GPIB tidak hanya dilihat dari berapa banyak jumlah aturan

yang dibuat untuk mengatur dan menata Gereja sebagai sebuah lembaga saja. Akan tetapi warga

jemaat dan masyarakat membutuhkan pembinaan baik secara moral, spiritual sebagai pendidikan

yang berharga demi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya.

8. GPIB dalam Pergumulan Terhadap Korupsi

Dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap korupsi tidak bisa disangkal

bahwa GPIB menyimpan sebuah harapan untuk masa depan Gereja yang lebih matang.

Terkhusus dalam menghadapi setiap perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi yang bisa saja beberapa puluh tahun kedepan akan dijadikan sebagai

‘tuhan’ bagi manusia. Mengingat akan hal itu, GPIB terus bergumul dengan keberadaannya di

Indonesia yang diperhadapkan dengan berbagai masalah-masalah sosial yang kompleks seperti

korupsi.

Dalam alinea ketujuh pokok kedua tentang “Gereja” Pemahaman Iman GPIB:50

Bahwa kendatipun Gereja terpanggil menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah 1) tetapi Gereja bukanlah Pemerintahan Allah itu sendiri.

49 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th.Kaihatu pada 6 Desember 2014. 50 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…, 152.

Page 21: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

56

Oleh Ririhena, satu hal yang perlu dipahami bahwa Gereja hadir di dunia sebagai Garam

dan Terang guna melanjutkan misi-Nya. Otoritas tertinggi diberikan oleh-Nya kepada Gereja

sebagai sebuah lembaga yang ada di dunia bekerja dan melayani sekuat tenaga untuk

menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah. Gereja memegang otorits tertinggi di dunia,

tidak berarti bahwa Gereja ialah Pemerintahan Allah itu sendiri, tegas Ririhena.51

Sekalipun Gereja tidak sama persis dengan Pemerintahan Allah akan tetapi Gereja adalah

tanda dari kehadiran Pemerintahan Allah di atas bumi. Melalui dan di dalam Gereja Allah

memperkenalkan kepada dunia suatu tatanan masyarakat baru berdasarkan pada nilai-nilai

Kerajaan Allah, yakni: kebenaran, damai sejahtera dan sukacita (Roma.14:17). Apabila korupsi

masih menjadi momok yang menakutkan bagi Gereja bagaimana warga jemaat dan masyarakat

bisa merasakan damai sejahtera dan sukacita. Orang yang hidupnya masih dibelenggu dengan

praktek-praktek ketidakadilan sosial sesungguhnya tidak merasakan sukacita dan damai.52 Dan

ketika orang belum merasakan sukacita dan damai sejahtera, secara tidak langsung belum

sepenuhnya tercipta Pemerintahan Allah yang ditugaskan bagi Pemerintahan Gereja. Hal ini

berarti Gereja memiliki tanggung jawab sosial yang besar, pergumulan yang cukup berat dalam

menciptakan damai sejahtera dan sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Gereja harus sadar penuh

bahwa, untuk menghilangkan sampai ke akar korupsi merupakan hal yang rumit bagi Gereja.

Namun Gereja dapat meminimalisir korupsi dengan membentuk pribadi-pribadi warga jemaat

dan masyarakat akan kesadaran praktek ketidakadilan sosial tersebut. 53

Tanda Pemerintahan Allah juga bagi Wuwungan ialah menjadi Garam dan Terang.

Sebab itu merupakan misi-Nya. Terang yang sejati adalah Allah dan firman-Nya yang telah

menyatakan Diri dalam Yesus Kristus. Gereja bukan Garam dan Terang. Tetapi Gereja diutus

51 Hasil wawancara dengan Pdt. Ruddy. I. Ririhena pada 27 November 2014. 52 Ibid. 53 Ibid.

Page 22: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

57

oleh Kristus Yesus untuk menjadi garam dan terang di dalam dunia (Matius 5:13-16). 54 Hal ini

menjadi acuan kedepan bagi GPIB dalam menggumuli persoalan sosial seperti korupsi dengan

lebih baik

9. Kesimpulan

GPIB menyadari bahwa mereka ialah bagian integral dari Bangsa Indonesia. Hal ini pun

diungkapkan secara tersirat dalam Pemahman Iman GPIB sebagai payung Teologi untuk

mengeja-wantahkan Gereja Misioner. Lewat Pemahaman Iman juga Gereja bukan hanya memuji

dan melayani Tuhan atau sekedar memperjelas jati diri mereka, melainkan juga menjelaskan bagi

dunia siapa mereka, apa yang mereka percayai dan akui. Maka Pemahaman Iman juga memiliki

signifikansi teologis dan eklesiologis, tetapi juga social politik.55

Persoalan sosial seperti korupsi menjadi tanggung jawab Gereja dan bukan hanya

pemerintah. Sejak berdirinya GPIB memaknai visinya untuk mewujudkan damai dan sejahtera

bagi seluruh ciptaan-Nya melalui dokumen-dokumen Gereja yang telah disahkan bahkan melalui

pembinaan warga jemaat dan masyarakat. Semuanya dilakukan sebagai kerangka gerakan

misionaris yang diemban oleh Gereja untuk menciptakan Pemerintahan Allah di atas bumi.

Berangkat dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap persoalan korupsi

maka disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan korupsi dalam bentuk dan alasan apapun.

Sebab secara teologis korupsi merupakan tindakan ketidakadilan sosial yang tidak

mencerminkan Pemerintahan Allah di atas bumi serta tidak menciptakan damai sejahtera dan

sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Dilain pihak secara sosiologis korupsi merupakan tindakan

yang merusak tatanan kehidupan sosial bangsa dan negara, merugikan secara ekonomi

54 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch. Wuwungan pada 26 November 20114. 55 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…,7.

Page 23: BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB 1.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12401/3/T2_752013031_BAB... · Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada

58

Perbendaharaan sebuah instansi negeri dan swasta serta membutakan mata hati manusia yang

berdampak pada rusaknya moral warga jemaat dan masyarakat. Bagi GPIB korupsi ialah

tindakan yang tidak memanusiakan manusia. Sehingga siapapun yang melakukannya, akan

disikapi oleh GPIB berdasarkan Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja GPIB dan pembinaan

warga jemaat dan masyarakat melalui khotbah mingguan, pelayanan pastoral, kegiatan seminar

bahkan khotbah-khotbah dalam ibadah kategorial.