BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB...
Transcript of BAB III KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB...
36
BAB III
KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB
1. Pendahuluan
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) ialah sebuah lembaga gerejawi yang
memiliki area pelayanan cukup luas di Indonesia. Dengan cakupan pelayanan yang cukup luas
inilah menandakan bahwa GPIB tidak hanya hadir sebagai sebuah lembaga yang melanjutkan
misi-Nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-Nya
sebagai wujud tanggung jawab untuk melihat setiap permasalahan yang terjadi dalam rantai
kehidupan sosial di dalam jemaat maupun masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada terjadinya perubahan sosial di masyarakat.
Mulai dari cara berpikir, berperilaku hingga kebiasaan sehari-hari menjadikan masyarakat sangat
mudah bersentuhan dengan praktek-praktek ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi. Oleh
sebabnya, GPIB turut bertanggung jawab dalam membina warga jemaat dan masyarakat untuk
memahami lebih dalam tentang bentuk-bentuk masalah sosial seperti halnya korupsi.
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pemahaman GPIB tentang korupsi serta
sikap GPIB terhadap korupsi itu sendiri berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama
penelitian yang dilakukan di sinode GPIB.
2. Profil Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB)
2.1 Sejarah Gereja Prostestan di Indonesia Bagian Barat
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat GPIB) merupakan salah satu gereja yang
sifatnya heterogen. GPIB merangkul warga jemaatnya dari berbagai latar belakang etnis dan
37
budaya dalam cakupan wilayah Indonesia Bagian Barat. Inilah yang menjadikan keunikan bagi
GPIB semenjak masih ada di bawah payung GPI (Gereja Prostestan Indonesia). Untuk
memahami Latar belakang historis terbentuknya GPIB maka perlu juga untuk memahami sejarah
lahirnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) sebab, latar belakang historis GPIB sebenarnya
merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia. GPI dalam masa VOC
disebut sebagai ‘Gereja Gereformeed’. Namun ketika pada tahun 1835 namanya diubah menjadi
“De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie” atau De Indische Kerk.1
Sebelum tahun 1948, dalam naungan GPI telah terbentuk organisasi-organisasi Gereja
yang berdiri sendiri. Masing-masing dengan sinodenya serta tata gerejanya sendiri. Organisasi-
organisasi Gereja itu ialah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku
(GPM), dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).2 Sehubungan dengan adanya perkembangan
baru tubuh GPI, maka pada tahun 1948 Gereja terdesak untuk berpikir tentang status jemaat-
jemaat yang ada dalam tubuh GPI, tapi yang tidak termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga
Gereja yang telah berdiri sendiri itu.3 Seperti ujung Pandang (Makasar), Sopeng; di pulau Jawa
seperti Jakarta, Tanjung Priok, Tugu, Jatinegara, Bogor, Depok, Cimahi, Bandung, Cilacap,
Semarang, Surabya, Malang, Jember; di Kalimantan seperti Banjarmasin, Pontianak; di Bangka;
di Sumatera seperti Palembang dan Medan, mereka tidak bersedia meleburkan diri dalam salah
satu Gereja daerah.4
Dalam Sidang Sinode Am ke-III yang dilaksanakan di Bogor tanggal 30 Mei-10 Juni
1948 tentang jemaat-jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga Gereja yang berdiri
1 G.P.H. Locher, Tata Gereja-Gereja Prostestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),3-4. 2 SW. Lontoh dan H. Jonathans, STh, Bahtera Guna Dharma GPIB, (Jakarta: MS XII GPIB, 1981),179. 3 Ibid.,180. 4 Ibid.
38
sendiri, berakhir dengan satu keputusan, yaitu: segera dalam tahun 1948 juga, jemaat-jemaat
tersebut diorganisir dalam satu organisasi gereja yang baru. Untuk itu Sinode Am ke-III GPI
menetapkan:5
1. Memberi hak pada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk mensahkan
dan melembagakan gereja baru itu sebagai satu gereja yang berdiri sendiri.
2. Membentuk komisi untuk menyiapkan Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja.
3. Tata Gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh proto sinode secepat
mungkin dalam tahun 1948.
Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada tanggal 25-31 Oktober
1948 di Jakarta mempunyai acara pokok: Membahas Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja
yang telah disiapkan oleh komisi Tata Gereja dan Peraturan Gereja, yang dibentuk oleh sinode
Am ke-III GPI di Bogor maka, lahirlah satu Gereja yang berdiri sendiri, lengkap dengan
Sinodenya dan Tata Gereja serta Peraturan-peraturan Gereja yang disebut “Gereja Prostestan di
Indonesia Bagian Barat’ (GPIB) tepat tanggal 31 Oktober 1948.6
3. Visi dan Misi GPIB
3.1.Visi
Menjadi satu permulaan bagi GPIB sejak tanggal 31 Oktober 1948 sebagai sebuah Gereja
yang bersedia melakukan Pekabaran Injil bagi seluruh umat tanpa terkecuali di wilayah
5 Ibid.,181. 6 Ibid.
39
Indonesia Bagian Barat. Dengan mengemban Visi “GPIB menjadi gereja yang mewujudkan
damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”7
3.2 Misi
Adapun yang menjadi misi GPIB adalah sebagai berikut:8
a) Menjadi Gereja yang terus menerus diperbaharui dengan bertolak dari Firman Allah,
yang terwujud dalam perilaku kehidupan warga gereja, baik dalam persekutuan, maupun
dalam hidup bermasyarakat.
b) Menjadi gereja yang hadir sebagai contoh kehidupan, yang terwujud melalui inisiatif dan
partisipasi dalam kesetiakawanan sosial serta kerukunan dalam masyarakat, dengan
berbasis pada perilaku kehidupan keluarga yang kuat dan sejahtera.
c) Menjadi Gereja yang membangun keutuhan ciptaan yang terwujud melalui perhatian
terhadap lingkungan hidup, semangat keesaan dan semangat persatuan dan kesatuan
warga Gereja sebagai warga masyarakat.
4. Cara Penatalayanan Gereja
Untuk menumbuhkan dan mengembangkan persekutuan, pelayanan dan kesaksian di
tengah masyarakat, GPIB menata kehidupannya dengan bersumber dari Firman Allah. Penataan
itu dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan Imamat Am dalam ketaatan
kepada Yesus Kristus yang menghendaki segala sesuatu rapih tersusun dan diikat menjadi satu
7 Visi Misi GPIB dalam www.gpib.org diunduh pada 16 januari 2015. 8 Ibid.
40
oleh pelayanan semua bagian dan perangkat, baik warga, wilayah, kepemimpinan dan tata aturan
dengan sistem Presbiterial Sinodal.9
Cara penatalayanan dengan Sistem Presbiterial Sinodal selalu menekankan:10
· Penetapan kebijakan oleh para Presbiter atas dasar permusyawaratan melalui Persidangan
Sinode GPIB, yang pelaksanaannya dijabarkan dalam Sidang Majelis Sinode (tingkat
sinodal) dan Sidang Majelis Jemaat (tingkat jemaat)
· Hubungan yang dinamis antara Majelis Sinode dan Majelis Jemaat maupun di antaranya
· Pelaksanaan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya gereja serta bersama dan
bertanggung jawab di seluruh jajaran GPIB
Bertolak dari pemahaman ini, maka penyelenggaraan pelayanan secara Presbiterial
Sinodal hendaknya menjadi tanggung jawab bersama para Presbiter atas kehidupan lembaga
GPIB berdasarkan karunia dan talenta yang dipercayakan Tuhan padanya.11
5. Pemahaman GPIB Tentang Korupsi
Selaras dengan pengakuannya GPIB adalah bentuk nyata dari Gereja Kristen Yang Esa,
Kudus, Am dan Rasuli. Kehadirannya di Indonesia untuk mengemban tugas mewujudkan tanda-
tanda Kerajaan Allah yaitu kasih, keadilan, kebenaran dan keutuhan ciptaan. GPIB terpanggil
untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan ikut
membangun nilai-nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis (“civil
9 Tata Gereja GPIB Buku IIII, (Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2010),17. 10 Presbiterial Sinodal dalam www.gpib.org, diunduh pada 17 Januari 2015. 11 Ibid.
41
society”) dengan melaksanakan fungsi kenabian di tengah-tengah simpul kekuasaan yang ada.12
Dalam rangka itu, GPIB memperjuangkan masalah-masalah kemanusiaan, keadilan dan
lingkungan hidup serta masalah-masalah yang berhubungan dengan dampak negatif dari
globalisasi dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.13 Beranjak dari pemahaman di
atas tersebut, GPIB sebagai sebuah lembaga hadir secara penuh dalam memperhatikan dan turut
bertanggung jawab terhadap masalah kehidupan sosial warga jemaat maupun masyarakat.
Menyadari bahwa GPIB merupakan bagian integral dari Bangsa dan Negara Indonesia.
Gereja merasa perlu untuk merumuskan Pemahaman Iman yang berisikan tujuh pokok sebagai
dasar teologis Gereja melayani di Indonesia. Salah satu dari ketujuh pokok Pemahaman Iman
GPIB sebagai wujud kesadaran akan ‘bagian integral’ Gereja dari Bangsa Indonesia ialah adanya
rumusan tentang ‘Negara dan Bangsa’ (pokok kelima). Pokok kelima (Negara dan Bangsa)
berisikan VII alinea. Kesemuanya berbicara tentang keterlibatan Gereja dalam mewujudkan
kesejahteraan tidak hanya bagi Gereja sendiri tetapi juga bagi bangsa dan negara. Namun tiap-
tiap alinea dalam Pokok Kelima tersebut diuraikan dengan penjelasannya masing-masing.
Keseluruhan dari penjelasan tiap-tiap alinea Pokok Kelima tersebut tidak secara spesifik
membahas tentang korupsi dan bagaimana gereja bereaksi terhadap masalah korupsi. Namun ada
beberapa alinea yang secara implisit menguraikan keterlibatan Gereja terhadap persoalan sosial
seperti meniadakan kekacauan, kejahatan, juga ketidakadilan sosial sebab, masalah negara dan
bangsa juga merupakan masalah Gereja. Hal-hal ini dibahas dalam alinea pertama dan alinea
keempat:14
12 Tata Gereja GPIB Buku III,…,17. 13 Ibid. 14 Untuk penjelasan alinea I & IV tentang ‘Negara dan Bangsa’, lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a (2010),
212-215.
42
Alinea pertama; Bahwa Allah, sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah bangsa-bangsa guna mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan meniadakan kekacauan dan kejahatan. Dengan demikian sebagai hamba Allah, setiap pemerintah wajib mempertanggung jawabkan kuasa tersebut kepada Allah. Alinea keempat; Roh Kudus yang adalah Roh keberanian akan menolong orang percaya untuk lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Seperti yang telah disaksikan oleh para Rasul; oleh karena itu Gereja terpanggil memperdengarkan suara kenabian terhadap masalah negara, bangsa dan masyarakat.
Kedua alinea inilah yang mendasari dan menjadi titik berangkat GPIB untuk memahami
dan bersikap dengan tegas dalam meniadakan korupsi yang adalah bentuk ketidakadilan sosial
dan tidak dapat dibenarkan.15 Sekali lagi, oleh karena Pemahaman Iman GPIB merupakan dasar
teologis yang dirumuskan oleh Gereja untuk melayani di Indonesia sesuai konteksnya maka,
korupsi juga secara teologis dipandang sebagai sebuah tindakan ketidakadilan sosial yang tidak
berkenan dihadapan Tuhan sebab, sejatinya hal tersebut tidak mendatangkan kesejahteraan bagi
seluruh ciptaan-Nya berdasarkan Visi GPIB. Lewat argumentasi-argumentasi ini, muncul
penegasan akan ketidakberpihakkan GPIB terhadap tindakan korupsi itu sendiri. GPIB tetap
menunjukkan konsistensinya terhadap apa yang telah diputuskan secara bersama dalam
persidangan sinode.
Tidak hanya berdasarkan Pemahaman GPIB yang secara implisit dalam alinea petama
dan keempat Pokok Kelima ‘Negara dan Bangsa’ menegaskan bahwa korupsi ialah tindakan
tidak benar. Kajian pemahaman tentang korupsi oleh GPIB juga didasarkan pada kebenaran
Firman Allah yang tertuang dalam Hukum Musa atau Hukum Taurat salah satunya ialah hukum
ke-8 “Jangan Mencuri” (Kel 20:15). Hakikatnya Pemahaman Iman GPIB didasarkan oleh
Kebenaran Firman Tuhan. Perintah “Jangan Mencuri” secara eksplisit disuarakan dalam Hukum
Taurat menjadi acuan bagi GPIB untuk menyatakan dengan tegas bahwa tindakan korupsi
15 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E.Ch. Wuwungan, (Mantan Ketua Sinode GPIB) pada 26 November
2014.
43
merupakan bentuk pelanggaran terhadap Firman Allah.16 Gereja menganggap bahwa siapapun
yang hendak melakukan tindakan pencurian berarti ia sedang mempraktekkan tindakan korupsi
yang sifatnya menyeleweng dari sebuah sistem regulasi yang sudah ditetapkan.17
Pemahaman universal tentang korupsi sebagai aksi pencurian dipahami sangat mendalam
oleh GPIB. Bagi GPIB mencuri dan korupsi keduanya merupakan tindakan yang salah. Akan
tetapi Hukum Taurat ke-8 tersebut tidak semata-mata dipahami secara harafiah “mencuri” saja
namun, ada konsep yang lebih berarti dibalik pemahaman secara harafiah tersebut. Oleh GPIB
tindakan korupsi dilakukan dengan gaya yang lebih licik dibandingkan dengan tindakan
mencuri.18 Dengan sederhana, korupsi dan mencuri merupakan dua tindakan yang berbeda
bentuk namun, sama-sama melakukan aksi “penyelewengan”.
Mencuri dipahami sebagai sebuah insiden yang kelihatan. Insiden kelihatan dalam situasi
ini ialah orang yang dicuri (korban curian) benar-benar menyadari bahwa sesuatu yang dimiliki
telah diambil dan hilang. Sedangkan, korupsi dipahami berbeda di mana si korban tidak merasa
bahkan tidak sadar bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya. Mengapa
demikian? Karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku (koruptor) terlihat baik padahal
sebetulnya yang dilakukan ialah buruk. Kaihatu menandaskan bahwa inti diskusi teologi tentang
korupsi yang menyatakan tindakan tersebut ialah salah dipahami oleh GPIB bukan hanya
sebagai sebuah aksi pencurian tetapi lebih dari itu tidak setuju terhadap tindakan yang seolah-
olah baik tetapi dalam kenyataanya tidak baik (merusak, merugikan orang lain, menyimpang dari
16 Ibid. 17 Hasil wawancara dengan Pdt. J. Marlene. Joseph (Sekertaris I Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25
November 2014. 18 Hasil wawancara dengan Pdt. S.Th. Kaihatu (Mantan Ketua Sinode GPIB Periode 2005-2010) pada 6
Desember 2014.
44
aturan ).19 Dengan bahasa yang sederhana, ada sesuatu yang hilang akibat aksi pencurian
maupun korupsi ialah benar. Namun filosofi di belakang kedua aksi ini berbeda. Kaihatu
memberi contoh dengan menguraikan perbedaan antara maling dan koruptor. Ketika maling
berusaha mencuri barang seseorang, dengan situasi si pemilik tidak melihat aksi tersebut maka,
si pemilik barang itulah yang tidak berhati-hati sehingga barang yang dimiliki bisa dicuri.
Berbeda dengan koruptor, si pemilik barang (institusi pemerintah dan swasta) sekalipun melihat,
ia tidak menyadari bahwa koruptor telah merampas hak miliknya. Dengan bahasa yang
sederhana, untuk mencuri maling membutuhkan situasi dimana orang lain tidak melihat tetapi
korupsi, koruptor membutuhkan situasi dimana orang lain memujinya seakan-akan ia sedang
berbuat baik.
Pemahaman yang lain juga diuraikan oleh Ririhena, selain Hukum Taurat ke-8, Hukum
Taurat ke-10 “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya
laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang
dipunyai sesamamu”20 juga mendasari pemahaman Gereja untuk menyatakan bahwa tindakan
korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan baik secara hukum negara
maupun juga berdasarkan nilai-nilai agama. Kalimat terakhir dalam hukum ke-10 “atau apapun
yang dipunyai sesamamu” dipahami oleh GPIB sebagai suatu perintah yang sifatnya melarang
umat Tuhan untuk tidak menginginkan, mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya.21
Menginginkan dan mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak oleh Joseph tidak berhenti
pada tafsiran yang menyatakan bahwa hal tersebut hanya menyangkut persoalan uang atau
barang yang berharga saja. Akan tetapi menginginkan dan mengambil kedudukan dalam satu
19 Ibid. 20 Hasil wawancara dengan Pdt. Rudy. I. Ririhena.(Ketua III Sinode GPIB Periode 2010-2015), pada 27
November 2014. 21 Ibid.
45
instansi atas dasar hubungan kekerabatan yang diistilahkan dengan nepotisme. 22 Joseph kembali
mempertegas bahwa nepotisme merupakan bentuk tindakan korupsi yang juga dimuat maknanya
dalam Hukum Taurat ke-10. Katanya, ketika mendengar istilah korupsi jangan dulu kita
membentuk cara berpikir bahwa korupsi ialah persoalan mencuri uang. Tidak hanya itu, tandas
Joseph. Sebab tidak selamanya korupsi ialah persoalan uang tetapi, atas alasan kekeluargaan
kebanyakkan orang menyalahgunakan kedudukannya untuk melakukan nepotisme yang adalah
korupsi tersebut.
Lahirnya Hukum Musa atau Hukum Taurat dalam hal ini kedua Hukum (ke-8 dan ke-10)
mempunyai alasan tersendiri tandas Wuwungan. Baginya ketika sebuah aturan dikeluarkan itu
berarti sebelumnya ada praktek-praktek ketidakadilan yang dilakukan sehingga aturan tersebut
diadakan. Hukum Taurat yang mengandung sepuluh Firman tersebut dibuat karena umat Tuhan
terlebih para penguasa Bangsa Israel saat itu sedang mempraktekkan tindakan yang tidak
menyenangkan hati Tuhan.23 Praktek-praktek ketidakadilan tersebut sudah ada ketika zaman
Musa hal ini dapat dilihat dalam Keluaran 18:21 saat itu Yitro mertua Musa menasihatinya untuk
mencari orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang
benci kepada pengejaran suap untuk menjadi pemimpin. Pengejaran suap yang dikatakan
Yitro, bagi Wuwungan merupakan satu gambaran bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan sosial
seperti korupsi sudah merajalela saat itu.24 Oleh sebabnya Hukum Taurat dikumandangkan bagi
seluruh umat Tuhan. Contoh lain, dalam Keluaran 23:8 “ Suap Janganlah kau terima, sebab suap
membuat mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang
benar”. Praktek ketidakadilan saat itu dianggap sebagai hal yang keji sebab hanya dengan uang
22 Hasil wawancara dengan Pdt. J.Marlene. Joseph. pada 25 November 2014. 23 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch.Wuwungan, pada 26 November 2014. 24 Ibid.
46
suap dapat membutakan mata orang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan hati-hati, dan
mengusik keputusan, walaupun ia orang yang adil.25 Selain contoh-contoh di atas tersebut,
contoh lain yang memperlihatkan praktek korupsi dalam cerita Alkitab ialah ketika Yakub
merampas hak kesulungan dari kakaknya Esau. Cerita Esau dan Yakub dalam Kejadian 27
menjadi bukti bahwa jauh sebelum korupsi dipraktekkan dalam dunia masa kini.26 Kehidupan
masa lampau sudah terkontaminasi dengan praktek-praktek tersebut. Yakub bersikap tidak adil
dengan cara melakukan penipuan terhadap ayahnya Ishak hanya untuk merampas hak
kesulungan kakaknya. Tindakan yakub mencerminkan praktek korupsi dalam bentuk pencurian.
Ia telah merampas hak milik orang lain serta secara tidak langsung telah melahirkan
ketidakadilan dalam kehidupan keluarganya sendiri.27
Lewat argumentasi-argumentasi ini, dapat disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan
tindakan korupsi. Tidak hanya soal pencurian, suap-menyuap dan sogok-menyogok uang namun,
korupsi dalam bentuk apapun seperti nepotisme, korupsi waktu, sama sekali dianggap tidak
benar oleh GPIB. Lahirnya pemahaman GPIB ini tidak dibuat-buat atas dasar pemahaman
pribadi. Akan tetapi berangkat dari dasar teologis Hukum Taurat “Jangan mencuri & Jangan
Mengingini” gereja membangun sebuah pola berpikir yang baik sebagai alasan secara teologis
untuk tidak membenarkan tindakan korupsi dalam bentuk apapun.
Hukum Taurat (ke-8 dan ke-10) tersebut tidak hanya berlaku pada masa Musa saja. Akan
tetapi kesepuluh Firman tersebut berlaku hingga sekarang. Sebab tindakan korupsi tidak berhenti
di masa lampau justru tindakan tersebut semakin menjadi-jadi dan mendapat perhatian publik.
Pitoy menguraikan bahwa secara sosiologis hingga sekarang ini di zaman post-modern manusia
25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid.
47
tidak bisa terhindar dari masyarakat koruptif tetapi menghindari diri dari masyarakat korupsi bisa
dilakukan oleh setiap orang.28 Gereja pun demikian. Akan tetapi Gereja wajib memberdayakan
manusia serta membina warga jemaat dan masyarakat untuk mendatangkan kesejahteraan bagi
seluruh ciptaan-Nya serta kuat spiritual agar bisa menghindari diri dari masyarakat yang
koruptif.
6. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Berdasarkan informasi yang diperoleh, beberapa diantara mengemukakan bahwa korupsi
tidak serta merta hadir dalam tatanan kehidupan sosial sebuah bangsa dan negara, bahkan juga di
Gereja. Ada beberapa faktor mengapa korupsi bisa terjadi bahkan seolah terpelihara hingga saat
ini. Korupsi dapat dikatakan bersifat turun-temurun dari masa lalu. Ketika dikatakan korupsi
bersifat turun temurun, Joseph menguraikan bahwa hal menyangkut korupsi dapat dikatakan
sebagai budaya yang diwarisi dari masa lalu oleh masyarakat hingga kini. Budaya semacam apa
yang dimaksudkan oleh Joseph ialah budaya menguasai seutuhnya apa yang telah ada dalam
genggaman sang penguasa.29 Penguasalah yang menguasai, mengendalikan birokrasi dalam
sebuah pemerintahan sehingga memberikan peluang besar untuk terciptanya ketidakadilan sosial
dalam bentuk korupsi. Itu berarti faktor pertama yang dimaksudkan Joseph dalam uraiannya
ialah faktor budaya.
Di sisi lain bagi Joseph ialah faktor alamiah manusia. Setiap manusia terbelenggu oleh
sifat kemanusiaannya yang cenderung disalahgunakan sehingga mendatangkan dosa bagi diri
sendiri maupun juga bagi orang lain. Sifat kemanusian yang bergejolak dari dalam diri manusia
28 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy. (Sekertaris Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25
November 2014. 29 Hasil wawancara dengan Pdt. J. Marlene. Joseph. pada 25 November 2014.
48
tersebut dapat diistilahkan sebagai “behaviour”.30 Faktor behavior merupakan salah satu
penyebab mengapa korupsi bisa terjadi. Rasa ketidakpuasan dalam diri manusia yang mendorong
untuk melakukan hal-hal yang tidak benar seperti halnya korupsi. Semakin tinggi pendapatan
semakin besar kebutuhan manusia, dan semakin besar kebutuhan semakin tinggi pula
ketidakpuasan manusia akibat keserakahan.31 Ditambahkan oleh wuwungan, sebagaimana
dengan uraian di atas, hal yang sama juga tertuang dalam Pemahaman Iman GPIB tentang
‘Manusia’ terkhusus dijelaskan dalam alinea ke VI;32
Bahwa karena keinginannya manusia menyalah-gunakan kuasa dan tanggungjawab-nya, sehingga ia jatuh dalam dosa menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah, sesama dan alam.
Manusia membiarkan dirinya takluk di bawah keinginan daging sehingga memberontak
dan tidak mengakui kedaulatan Allah. Inilah yang menyebabkan rusaknya hubungan manusia
dengan Allah juga dengan sesama. Keserakahan manusia disebabkan karena manusia tidak dapat
mengendalikan keinginan daging dan hawa nafsu, hingga kesadaran akal budi dan hati nurani
tidak berfungsi secara baik dalam mengambil keputusan.33 Sebab itu, baik akal budi maupun hati
nurani manusia telah dibelenggu oleh kuasa dosa.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi ialah “sistem yang bocor”. Faktor sistem yang
bocor dimaksudkan oleh Ririhena ialah berjalannya sebuah sistem dalam organisasi atau instansi
tertentu yang tidak baik. Misalnya saja di Gereja, sistem perbendaharaan yang dikelola oleh
30 Ibid. 31 Ibid. 32 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 191. 33 Ibid,193.
49
BPPJ dan BPPG benar-benar harus diperhatikan sehingga tidak mengakibatkan kebocoran yang
bisa merugikan Gereja.34
Didasarkan atas hasil wawancara terhadap beberapa orang tersebut di atas maka, dapat
disimpulkan bahwa faktor-faktor yang disebutkan dapat mewakili GPIB untuk menyatakan
bahwa ketiga faktor itulah menjadi penyebab tindakan korupsi masih dilanggengkan hingga saat
ini. Dalam bentuk apapun, dan oleh karena faktor apapun GPIB memahami bahwa korupsi ialah
tindakan yang tidak perlu dibenarkan secara teologis bahkan juga sosiologis bahwasanya
tindakan tersebut tidaklah memanusiakan manusia. Segala kenyataan yang terjadi memantapkan
GPIB untuk lebih intens dalam melakukan pembinaan bagi warga jemaat dan masyarakat dalam
rangka memberikan pemahaman terkait dengan persoalan korupsi agar supaya, jemaat dan
masyarakat lebih berhati-berhati terhadap gejolak korupsi yang sulit dihindari serta
memperhatikan sistem yang berlaku di dalam Gereja guna menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh ciptaan-Nya berdasarkan diskusi teologis yang dilakukan dalam sidang sinode setiap
lima tahunnya.
7. Sikap GPIB Terhadap Persoalan Korupsi
Ketika GPIB memahami dan menyadari bahwa tindakan korupsi ialah hal yang tidak
dapat dibenarkan secara teologis bahkan sosiologis maka, berangkat dari pemahaman itulah
GPIB menyikapi tindakan-tindakan korupsi dengan menempuh beberapa langkah seperti
membuat aturan yang tertuang dalam dokumen-dokumen GPIB tentang Pemahaman Iman, Tata
34 Hasil wawancara dengan Pdt. Ruddy. I. Ririhena pada 27 November 2014.
50
Gereja GPIB tentang Perbendaharaan GPIB, melakukan pembinaan bagi warga jemaat melalui
khotbah mingguan, kunjungan pastoral, seminar, pelayanan Kategorial dalam jemaat35.
Sikap-sikap ini ialah tindakan nyata GPIB, menyadari akan tanggung jawab sosialnya
terhadap persoalan negara dan bangsa yang juga menjadi persoalan Gereja. Sebab, bagi GPIB
persoalan korupsi tidak hanya menjadi tanggungan pemerintah Indonesia semata melainkan
Gereja turut terlibat dalam menyikapi persoalan dimaksud.
Gereja sebagai Pemerintah tertinggi warga jemaat berkewajiban untuk mendatangkan
kesejahteraan secara penuh bukan hanya bagi warga gereja namun bagi warga masyarakat,
negara dan bangsa. Mendatangkan kesejahteraan merupakan kalimat yang dimaknai sebagai
bentuk sikap dari GPIB terhadap persoalan korupsi. Bentu-bentuk sikap tersebut diwujud
nyatakan oleh GPIB melalui kebijakan dalam dokumen-dokumen GPIB antara lain Pemahaman
Iman GPIB, Perbendaharaan GPIB, serta pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat.
7.1 Pemahaman Iman GPIB
Sekali lagi ditegaskan bahwa, keseluruhan dari Pemahaman Iman GPIB yang memuat
ketujuh pokok tersebut dengan penjelasan tiap-tiap alineanya telah sarat makna akan keterlibatan
GPIB terhadap setiap persoalan sosial yang terjadi di Indonesia sesuai dengan konteksnya. Mulai
dari pokok pertama tentang Keselamatan sampai pokok ketujuh tentang Firman Allah telah
diuraikan secara implisit tentang bagaimana GPIB harus menempatkan diri dalam melihat,
menyikapi masalah-masalah gereja juga bangsa dan negara. Dari keseluruhan isi ketujuh pokok
Pemahaman Iman GPIB tersebut, pokok kedua tentang ‘Gereja’ terkhusus dalam alinea keempat
35Hasi wawancara dengan Pdt. S.Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014.
51
dianggap sebagai dasar teologis GPIB dalam menyikapi persoalan ketidakadilan sosial dalam hal
ini korupsi di Indonesia. Bunyi dari alinea keempat tersebut ialah;36
Bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja 1) dan Gereja sebagai tubuh-Nya 2) yang rapih tersusun 3) dan segala sesuatu di dalamnya harus diselenggarakan secara tertib dan teratur 4)
Point keempat dari uraian alinea di atas oleh Wuwungan merupakan dasar GPIB bersikap
terhadap setiap persoalan sosial. Gereja harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.37
Penjelasan point keempat ini didasarkan pada Firman Tuhan dalam II Timotius 1:7 dan I
Korintus 14:40. Kedua Kitab ini menyuarakan hal yang sama bahwa GPIB harus
menyelenggarakan gereja-Nya dengan tertib dan teratur. Terkait dengan persolan korupsi maka,
tindakan korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak tertib dan teratur. Sehingga, perlu bagi
GPIB untuk menyikapi persoalan korupsi berdasarkan Pemahaman Iman GPIB yang diuraikan
dalam point keempat, alinea keempat, pokok kedua tentang ‘Gereja’.
Pitoy menambahkan, ketika ada seseorang yang melakukan tindakan korupsi itu berarti
dia tidak membantu GPIB dalam menyelenggarakan Gereja secara terib dan teratur. Secara tidak
langsung pula, seseorang telah melanggar ketetapan dalam Kebenaran Firman Tuhan yang
diyakini oleh GPIB sebagai Pemahaman Iman GPIB dengan keberadaannya di Indonesia. 38
7.2 Membuat Tata Gereja tentang Perbendaharaan GPIB.
GPIB tidak memiliki sebuah aturan dalam Tata Gereja tentang korupsi secara eksplisit
yang mengatur tentang korupsi. Akan tetapi peraturan no 6 tentang Perbendaharaan GPIB dibuat
36 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 147. 37 Hasil wawancara dengan Pdt. Wuwungan pada 26 November 2014. 38 Hasil wawancara dengan Pdt. Adrian. Pitoy. pada 25 November 2014.
52
oleh GPIB sebagai wujud tindakan dalam mengatur dan mengantisipasi segala kemungkinan
bentuk ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi yang dapat terjadi dalam Gereja.39 Peraturan
Perbendaharaan GPIB mengandung 14 pasal yang secara keseluruhan mengatur keberlangsungan
sistem Perbendaharaan di GPIB.
Terkait dengan korupsi yang dipahami sebagai tindakan penyelewengan dan tindakan
mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak milik maka, GPIB menetapkan pasal no 4 dalam
peraturan Perbendaharaan GPIB yang mengatur tentang Tata Laksana Pengelolaan seluruh harta
milik GPIB berupa harta bergerak dan tidak bergerak.40 Sekali lagi ditegaskan oleh Pitoy, Gereja
tidak bisa mengindari diri dari sifat koruptif masyarakat, akan tetapi, menghindari diri dari
korupsi dapat dilakukan. Oleh sebabnya, Gereja membutuhkan satu aturan yang menjadi
pengontrol bagi sistem kerja GPIB. Dibuatlah pasal no 4 dalam aturan no 6 Tata Gereja sebagai
wujud sikap yang positif dan tegas untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan dapat terjadi. Siapapun dan dalam kondisi apapun ketika ditemukan melakukan
tindakan penyelewengan, penggelapan dan mengambil harta bergerak dan tidak bergerak milik
Gereja, ditegaskan oleh Pitoy bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindakan korupsi.41
Menyadari panggilan Gereja sebagai sebuah institusi. Gereja membutuhkan transparansi
dalam pengelolahan Perbendaharaann GPIB. Pasal no 6 yang mengatur tentang Sumber
Penerimaan GPIB ditetapkan sebagai aturan yang baku dalam Tata Gereja Buku III menjadi
bukti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kas GPIB diatur sedemikian rupa dalam pasal
no 6 agar bisa dipertanggung jawabkan dengan baik. Kaihatu bercerita tentang kasus yang
sekarang ini terjadi di GPIB yang juga telah terdengar oleh publik berkaitan dengan penggantian
39 Ibid. 40 Lih. Dalam Tata Gereja Buku III, tentang aturan no 6 ‘Perbendaharaan GPIB, (2010), 41 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.
53
tanah di wilayah belakang Gereja Imanuel oleh Dinas Perhubungan TNI Angkatan Darat. Kami
tidak peduli berapa pun yang tentara berikan namun, yang menjadi perhatian kami ialah berapa
jumlah yang tentara berikan tersebut bagi sinode GPIB tidak boleh dihilangkan satu sen pun
tandas Kaihatu dengan tegas.42 Bukan menjadi urusan kami berapa jumlah yang harus diberikan
oleh tentara. Tetapi, ketika jumlah uang tersebut sudah sampai ke lingkungan Gereja hal tersebut
telah menjadi tanggung jawab kami sebab, sudah terhitung sebagai Sumber Penerimaan Gereja
yang diatur dalam pasal no 6, peraturan Perbendaharaan GPIB. Oleh sebabnya, jika tindakan
menghilangkan terjadi ketika jumlah uang tersebut telah ada dalam lingkungan Gereja bagi
Kaihatu hal tersebut dikatakan sebagai korupsi.43
Jika benar seseorang didapatkan melakukan tindakan korupsi terhadap harta milik Gereja
baik yang bergerak maupun tidak bergerak akan ditindak lanjuti berdasarkan pasal no 11,
peraturan Perbendaharaan GPIB yang berisikan “sanksi”.44 Pasal no 11 dibuat oleh GPIB
dengan tujuan untuk menindaklanjuti apabila kedapatan dalam lingkungan Gereja
dipraktekkannya tindakan korupsi atas harta milik Gereja bergerak dan tidak bergerak.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa persoalan korupsi turut
disikapi oleh GPIB dalam dokumen-dokumen Gereja diantaranya dalam Pemahaman Iman GPIB
dan Tata Gereja Buku III. Kesemuanya mencerminkan sikap kepedulian Gereja terhadap praktek
ketidakadilan sosial yang sampai sekarang ini masih menjadi ancaman bagi negara dan bangsa
terlebih bagi Gereja. Sikap-sikap teknis secara sistematis tersebut dibuat menjadi satu aturan
yang baku oleh GPIB dengan tujuan menjalankan Gereja sebagai panggilan institusional secara
tertib dan teratur sesuai dengan Kehendak Tuhan.
42 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 43 Ibid. 44 Lih. Dalam Tata Gereja GPIB Buku III tentang Perbendaharaan GPIB, (2010),
54
7.3 Pembinaan Warga Jemaat
Tindakan yang ditempuh oleh GPIB terhadap korupsi tidak hanya tertuang dalam
dokumen-dokumen Gereja saja. Pitoy menguraikan, GPIB tegas dalam melakukan pembinaan
terhadap warga jemaat melalui khotbah-khotbah mingguan bahkan juga di ibadah-ibadah
kategorial lainnya..45 Untuk maksud dan tujuan pelaksanaan tugas pekabaran Injil, Gereja,
berdasarkan tugas pengajaran mempersiapkan warganya melalui pembinaan warga Gereja.46
Pembinaan Warga Gereja ditujukan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi
pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efs. 4:12).
Selain melalui khotbah di ibadah minggu dan di ibadah-ibadah kategorial, kunjungan
pastoral pun menjadi langkah aktif oleh GPIB dalam membina warga jemaat dan masyarakat.
Kunjungan ini sifatnya pribadi antara pendeta (konselor) dengan konseli. Agar terciptanya
suasana yang bebas, aktif dalam melakukan pastoralia. Kaihatu menandaskan, beberapa kali
beliau melakukan kunjungan pastoral serta mengadakan ibadah dengan mengundang jemaatnya
yang berstatus sebagai anggota DPR/DPRD bahkan pejabat dan pengusaha yang memiliki
kedudukan penting dalam sebuah organisasi. Hal ini dilakukan kepada mereka, sebab bagi
Kaihatu orang-orang seperti merekalah yang rentan bersinggungan dengan korupsi.47
Tidak hanya itu GPIB juga mengadakan seminar yang berkaitan dengan isu-isu sosial
sekarang ini. Hingga kini seminar tentang korupsi belum dilakukan oleh GPIB akan tetapi,
seminar-seminar yang telah dilakukan sebelumnya oleh Gereja mengarahkan warga jemaat dan
masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati Tuhan seperti halnya
memupuk ketidakadilan sosial dalam kehidupan bangsa dan negara.48 Kaihatu juga
45 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014. 46 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (Jakarta: MS GPIB, 2010), 99. 47 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 48 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.
55
menambahkan, sejak masa sekolah minggu anak-anak sudah diajarkan dan dibina untuk
menghindari hal-hal yang buruk seperti mencuri. Mungkin untuk pemahaman bahasa “korupsi”
secara mendalam belum begitu dipahami oleh anak-anak akan tetapi esensi dari keduanya ialah
sama. Ini dibuktikan dengan materi-materi pengajaran dan pembinaan GPIB.49
GPIB menyadari tanggung jawabnya secara teologis dan sosiologis sehingga
dibuatnyalah pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat. Menjadi Gereja yang hidup dan
dapat berjalan sesuai dengan Visi GPIB tidak hanya dilihat dari berapa banyak jumlah aturan
yang dibuat untuk mengatur dan menata Gereja sebagai sebuah lembaga saja. Akan tetapi warga
jemaat dan masyarakat membutuhkan pembinaan baik secara moral, spiritual sebagai pendidikan
yang berharga demi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya.
8. GPIB dalam Pergumulan Terhadap Korupsi
Dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap korupsi tidak bisa disangkal
bahwa GPIB menyimpan sebuah harapan untuk masa depan Gereja yang lebih matang.
Terkhusus dalam menghadapi setiap perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi yang bisa saja beberapa puluh tahun kedepan akan dijadikan sebagai
‘tuhan’ bagi manusia. Mengingat akan hal itu, GPIB terus bergumul dengan keberadaannya di
Indonesia yang diperhadapkan dengan berbagai masalah-masalah sosial yang kompleks seperti
korupsi.
Dalam alinea ketujuh pokok kedua tentang “Gereja” Pemahaman Iman GPIB:50
Bahwa kendatipun Gereja terpanggil menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah 1) tetapi Gereja bukanlah Pemerintahan Allah itu sendiri.
49 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th.Kaihatu pada 6 Desember 2014. 50 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…, 152.
56
Oleh Ririhena, satu hal yang perlu dipahami bahwa Gereja hadir di dunia sebagai Garam
dan Terang guna melanjutkan misi-Nya. Otoritas tertinggi diberikan oleh-Nya kepada Gereja
sebagai sebuah lembaga yang ada di dunia bekerja dan melayani sekuat tenaga untuk
menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah. Gereja memegang otorits tertinggi di dunia,
tidak berarti bahwa Gereja ialah Pemerintahan Allah itu sendiri, tegas Ririhena.51
Sekalipun Gereja tidak sama persis dengan Pemerintahan Allah akan tetapi Gereja adalah
tanda dari kehadiran Pemerintahan Allah di atas bumi. Melalui dan di dalam Gereja Allah
memperkenalkan kepada dunia suatu tatanan masyarakat baru berdasarkan pada nilai-nilai
Kerajaan Allah, yakni: kebenaran, damai sejahtera dan sukacita (Roma.14:17). Apabila korupsi
masih menjadi momok yang menakutkan bagi Gereja bagaimana warga jemaat dan masyarakat
bisa merasakan damai sejahtera dan sukacita. Orang yang hidupnya masih dibelenggu dengan
praktek-praktek ketidakadilan sosial sesungguhnya tidak merasakan sukacita dan damai.52 Dan
ketika orang belum merasakan sukacita dan damai sejahtera, secara tidak langsung belum
sepenuhnya tercipta Pemerintahan Allah yang ditugaskan bagi Pemerintahan Gereja. Hal ini
berarti Gereja memiliki tanggung jawab sosial yang besar, pergumulan yang cukup berat dalam
menciptakan damai sejahtera dan sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Gereja harus sadar penuh
bahwa, untuk menghilangkan sampai ke akar korupsi merupakan hal yang rumit bagi Gereja.
Namun Gereja dapat meminimalisir korupsi dengan membentuk pribadi-pribadi warga jemaat
dan masyarakat akan kesadaran praktek ketidakadilan sosial tersebut. 53
Tanda Pemerintahan Allah juga bagi Wuwungan ialah menjadi Garam dan Terang.
Sebab itu merupakan misi-Nya. Terang yang sejati adalah Allah dan firman-Nya yang telah
menyatakan Diri dalam Yesus Kristus. Gereja bukan Garam dan Terang. Tetapi Gereja diutus
51 Hasil wawancara dengan Pdt. Ruddy. I. Ririhena pada 27 November 2014. 52 Ibid. 53 Ibid.
57
oleh Kristus Yesus untuk menjadi garam dan terang di dalam dunia (Matius 5:13-16). 54 Hal ini
menjadi acuan kedepan bagi GPIB dalam menggumuli persoalan sosial seperti korupsi dengan
lebih baik
9. Kesimpulan
GPIB menyadari bahwa mereka ialah bagian integral dari Bangsa Indonesia. Hal ini pun
diungkapkan secara tersirat dalam Pemahman Iman GPIB sebagai payung Teologi untuk
mengeja-wantahkan Gereja Misioner. Lewat Pemahaman Iman juga Gereja bukan hanya memuji
dan melayani Tuhan atau sekedar memperjelas jati diri mereka, melainkan juga menjelaskan bagi
dunia siapa mereka, apa yang mereka percayai dan akui. Maka Pemahaman Iman juga memiliki
signifikansi teologis dan eklesiologis, tetapi juga social politik.55
Persoalan sosial seperti korupsi menjadi tanggung jawab Gereja dan bukan hanya
pemerintah. Sejak berdirinya GPIB memaknai visinya untuk mewujudkan damai dan sejahtera
bagi seluruh ciptaan-Nya melalui dokumen-dokumen Gereja yang telah disahkan bahkan melalui
pembinaan warga jemaat dan masyarakat. Semuanya dilakukan sebagai kerangka gerakan
misionaris yang diemban oleh Gereja untuk menciptakan Pemerintahan Allah di atas bumi.
Berangkat dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap persoalan korupsi
maka disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan korupsi dalam bentuk dan alasan apapun.
Sebab secara teologis korupsi merupakan tindakan ketidakadilan sosial yang tidak
mencerminkan Pemerintahan Allah di atas bumi serta tidak menciptakan damai sejahtera dan
sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Dilain pihak secara sosiologis korupsi merupakan tindakan
yang merusak tatanan kehidupan sosial bangsa dan negara, merugikan secara ekonomi
54 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch. Wuwungan pada 26 November 20114. 55 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…,7.
58
Perbendaharaan sebuah instansi negeri dan swasta serta membutakan mata hati manusia yang
berdampak pada rusaknya moral warga jemaat dan masyarakat. Bagi GPIB korupsi ialah
tindakan yang tidak memanusiakan manusia. Sehingga siapapun yang melakukannya, akan
disikapi oleh GPIB berdasarkan Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja GPIB dan pembinaan
warga jemaat dan masyarakat melalui khotbah mingguan, pelayanan pastoral, kegiatan seminar
bahkan khotbah-khotbah dalam ibadah kategorial.