BAB III Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan · PDF fileSumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002...
Transcript of BAB III Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan · PDF fileSumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002...
BAB III
Kebudayaan Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong Kota Sumedang
3.1 Kesejarahan Kota Sumedang
Kabupaten Sumedang dahulu mempunyai nama kerajaan Sumedang Larang
merupakan salah satu kerajaan Sunda kuno yang cukup besar di propinsi Jawa
Barat, Indonesia, bahkan mempunyai wilayah kekuasan yang melebihi wilayah
kota Sumedang sekarang. Gambar di bawah merupakan luasan peta kota
Sumedang zaman sekarang.
GA
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Sumedang 2002 Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002
Menurut Mashuri (2002) sumedang larang mempuyai arti sebagai berikut:
• Su adalah Bagus
• Medang adalah Luas
• Larang adalah Jarang Bandingannya
62
Jadi Sumedang Larang mempunyai arti Tanah luas dan bagus yang jarang
bandinganana, sehingga pada waktu itu kerajaan Sumedanglarang memiliki
otonomi luas untuk menetukan nasibnya sendiri. Kerajaan Sumedang larang
sendiri berasal dari kerajaan sunda-Padjadjaran yang didirikan oleh Prabu Geusan
Ulun Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh
dipindahkan ke Padjadjaran, Bogor. Prabu Geusan Ulun Adji Putih sendiri
memproklamirkan kekuasaannya pada tahun 1528 dengan batasan wilayah Jawa
Barat, namun Banten, Jayakarta dan Cirebon bukan merupakan willayahnya.
Nama Sumedang pun mengalami beberapa kali perubahan ini terjadi karena
seiring bergantinya kepemimpinan di Sumedang, urutan kepemimpinan di
Sumedang, sebagai berikut :
1. Kerajaan Tembong Agung
Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, dipimpin oleh Prabu Guru
Adji Putih yang merupakan saudara dari Prabu Sri Baduga Maharaja, yaitu Raja
Siliwangi I yang berasal dari keturunan raja-raja Galuh dengan pusat
pemerintahaannya di Leuwi Hideung, Darmaja pada tahun 1479 Masehi
2. Himbar Buana
Kerajaan ini berada pada tahun 1479-1492 yang mempunyai arti menerangi alam,
dipimpin oleh Prabu Tadjimalela dengan gelar Tuntang Buana atau Resu
Cakrabuana yang merupakan putra dari Prabu Guru Adji Putih. Kerajaan ini
kemudian berganti nama pada masa kerajaan Himbar Buana dengan nama
menjadi Sumedang Larang.
3. Sumedang Larang
Mempunya arti sebagai berikut, Sumedang berasal dari Insun Medal/ Insun
Medangan yang berarti aku dilahirkan, dan larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingnya. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang wanita yang bernama Nyi Mas
Ratu Inten Dewata cicit dari Sunan Guling merupakan keturunan raja-raja
Sumedang kuno, dengan bergelar Ratu Pucuk Ulum. Ratu Pucuk ulum menikahi
63
Pangeran Santri (1505-1579) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang, mereka
memerintah Sumedang Larang bersama-sama sambil menyebarkan ajaran-ajaran
Islamdiwilayah kekuasaannya pada pertengahan abad 16.
Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan)
dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang Ulama keturunan Arab Hadramaut
yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru
daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini
melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya.
4. Sumedang Larang dengan Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun atau Prabu Angkawijaya dinobatkan sebagai Bupati
Sumedang I (1580-1608 M) menggantikan kekuasaan Ayahnya, Pangeran Santri.
Yang letaknya di bagian Barat kota, dengan wilayah kekuasaannya meliputi
Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang
pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan, wafat
pada tahun 1608
5. Sumedang Larang dengan Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata
Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I yang dikenal
dengan Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinan ayahnya. Namun,
pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M
Sumedang Larang dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah
Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' dirubah menjadi 'kabupaten'
olehnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai
wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda yang
sedang mengalami konflik dengan Mataram.
Kemudian Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta
pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan
pemerintahan sementara Sumedang Larang diserahkan kepada adiknya, Dipati
64
Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu dan
karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang dipergikan ke
Madura atas titah Sultan Agung, tetapi kekuatan pasukan Banten dapat
mengalahkan pasukan Rangga Gede dan tidak mampu menahan serangan pasukan
Banten. Rangga Gede mendapatkan kekalahan dan melarikan diri. Kekalahan ini
membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan
pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur
diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk
menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada
akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak
dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari
pertanggung jawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas
informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Pemberian ampunan dari Sultan Agung membuat Dipati Rangga Gede
mendapatkan kekuasaannya kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan
wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga
bagian, yaitu
• Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung
Wirangunangun
• Kedua, Kabupaten Parakanmuncang yang dimpimpin oleh
Tanubaya
• Ketiga, Kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiradegdaha/ R. Wirawangsa atau dikenal dengan "Dalem
Sawidak" karena mempunyai anak yang sangat banyak.
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten sebagai sisa peninggalan
konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu.
Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-
raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat
secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan
65
alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan
pemerintah daerah setempat.
3.2 Letak Geografis Sumedang
Kabupaten Sumedang adalah kabupaten yang berada di sebelah Timur Propinsi
Jawa Barat, berada pada 60°40' - 70°83' Lintang Selatan dan 107°44' Bujur Timur,
berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang di sebelah
Utara, disebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, dan di sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kota Bandung. Jarak dari Ibukota
Propinsi ± 45 km dan berada di antara jalur dua jalan tujuan wisata yakni
Bandung dan Cirebon. Luas wilayah Kabupaten Sumedang mencapai 15.220 Ha,
dengan jumlah penduduk sekitar 928.353 jiwa yang tersebar di 26 wilayah
kecamatan. Kabupaten Sumedang dikenal sebagai daerah agraris dimana sebagian
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Di bidang agama, masyarakat
Kabupaten Sumedang merupakan masyarakat religius yang mempunyai sikap
toleransi beragama yang cukup tinggi.
3.3 Kebudayaan Kota Sumedang
3.3.1 Kehidupan dan Perkembangan Masyarakat
Kota Sumedang merupakan kota yang memiliki kebudayaan cukup tinggi dengan
budaya atau kepercayaan spritual yang masih melekat dikehidupan
masyarakatnya. Melihat perkembangannya kota Sumedang masih
mempertahankan budaya yang diwariskan oleh leluhurnya, walaupun sudah
masuk budaya modern di kota Sumedang.
Dalam beberapa hal, sosial budaya masyarakat kota Sumedang mengalami
perubahan dikarenakan masuknya budaya modern dan peraturan dari pemerintah
pusat, seperti sistem pemerintahan.
Untuk di daerah pedesaan masyarakatnya masih bertani untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, namun untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan
66
mereka lebih memilih kerja di pabrik-pabrik dan ada beberapa masyarakat yang
memilih sebagai profesi pengrajin dan berkesenian untuk mempertahankan
ketradisiannya.
3.3.2 Kepercayaan dan Adat Istiadat Kabupaten Sumedang
Kota Sumedang merupakan mayoritas beragama Islam yang sangat taat, ini
terbukti dengan para pemimpinnya yang memimpin dan menjalankan
pemerintahannya namun tidak meninggalkan ke-Islamannya.
Masyarakat Sumedang juga masih mempertahankan bahkan masih
mempercayainya mengenai beberapa kepercayaan yang mereka percayai dan
kepercayaan ini tidak sampai dilanggar dari aturan-aturannya. Kepercayaan
mereka beraneka ragam, bahkan ada kepercayaan yang berkaitan dengan agama
Hindu, seperti jika ada selamatan yang melahirkan dan meninggal yang tidak
biasa dilakukan oleh agama Islam.
Beberapa adat istiadat yang masih dianut masyarakat Sumedang seperti yang
berkaitan dengan leluhur masih cukup dipertahannkan, biasanya yang
berhubungan dengan mitos dan mistis, contohnya barang-barang pusaka yang
harus di disimpan dan dikeramati, seperti keris, pakaian bahkan rumah
tradisionalnya. Begitupun dengan hari-hari keagamaan di Sumedang sangat terasa
religiusnya.
Sebagai kota yang mayoritas beragama Muslim, masyarakat Sumedang selalu
menjalankan perintah agamanya dengan taat, seperti hari Rayagung.
67
Foto 3.1 Perayaan Rayagung di kota Sumedang Sumber: SCTV, 2002
Foto diatas memperlihatkan persiapan para sesepuh adat dan masyarakat
Sumedang yang akan melakukan perayaan Rayagung, persiapan ini
mempergunakan busur dan anak panah, yang akan digunakan dalam prosesi
panahan kasumedangan sebagai bagian dari perayaan Rayagung Akbar.
Kegiatan dilakukan dalam penanggalan Islam untuk mengungkapkan rasa syukur
kepada Tuhan sang penguasa hidup dan ini juga untuk menghormati para leluhur
mereka yang selalu diawali dengan doa
Perayaan ini dipimpin oleh sesepuh adat untuk mengucapkan rasa syukur dan
terimakasih pada Tuhan yang telah memberikan kehidupan atas limpahan rezeki
yang telah diberikan selama setahun ini. Perayaan ini diikuti oleh seluruh umat
muslimin di kota Sumedang yang berdatangan dari segala penjuru kota
Sumedang.
Para sesepuh adat mempersiapkan pula empat keris pusaka perlambangan 4 unsur
yang ada di dalam tubuh manusia, yaitu yaitu air, udara, tanah, dan api, yang
dilambangkan dengan bendera putih, kuning, hitam dan merah, digelar bersama
seluruh pusaka, yang dipercaya berasal dari masa kerajaan Sumedang Larang.
68
Foto 3.2 Keris Pusaka Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Pada acara prosesi panahan tradisional Sumedang Larang, kepada tiga anak
sesepuh kampung, sebagai lambang mewariskan tradisi kepada generasi penerus.
Memanah dalam pemahaman masyarakat Sumedang Larang, adalah membidik
dengan hati. Dimana yang akan mereka bidik dalam panahan tradisional ini,
adalah angkara murka, yang dilambangkan oleh patung tokoh hitam dalam mitos
pewayangan, Dasamuka. Memanah Dasamuka, bermakna menghancurkan segala
angkara murka yang ada di dalam setiap diri manusia.
Prosesi Rayagungan akbar masih berlanjut. Jentreng Tarawangsa, sebuah seni tari
kuno sarat simbol, yang diiringi alat musik kecapi berdawai 7, serta rebab 2 senar,
digelar malam harinya. Tarian ini merupakan sebuah ungkapan terima kasih atas
kemakmuran yang telah mereka rasakan selama ini.
Setelah pementasan berjalan lebih dari satu jam, barulah muncul inti dari jentreng
tarawangsa. Beberapa penari, mulai kesurupan. Inilah saat yang mereka yakini, di
mana roh leluhur memasuki raga mereka, dan membimbing menari. Mereka
69
percaya, pada saat itu, bukan lagi mereka yang menari, melainkan para leluhur.
Hal serupa bisa terjadi pada penonton, yang diajak menari.
Puncak acara rayagungan akbar adalah ngagogo. Dalam acara ini, masyarakat
adat Sumedang Larang berkumpul di sebuah kolam, sama-sama menangkap ikan
dengan tangan kosong, setelah sebelumnya dilakukan ritual yang diiringi
senandung pujian.
Selain menangkap ikan, aksi saling siram air kolam, serta melumuri badan dengan
lumpur pun menjadi bagian dari ngagogo. Tidak seorang pun boleh marah,
termasuk pupuhu, bila tubuh mereka disiram air, atau dilumuri lumpur. Ikan yang
didapat, nantinya akan dinikmati bersama-sama.
Foto 3.3 Acara Puncak Rayagung Ngagogo Sumber: SCTV, 2002
Walaupun Rayagungan akbar sarat dengan kegembiraan, masyarakat adat
Sumedang Larang tidak lupa merenung, mendengarkan wejangan sang pupuhu.
Wejangan mengenai berbagai peristiwa yang menghadang di masa depan ini,
dipercaya merupakan bisikan leluhur mereka.
Begitulah masyarakat adat Sumedang Larang. Memegang teguh ajaran Islam.
Menjunjung tinggi adat istiadat peninggalan leluhur. Mereka percaya, leluhur
adalah mediator bagi doa mereka kepada Tuhan. Kuatnya keinginan mereka untuk
70
mengembalikan lagi tali paranti, atau adat istiadat setempat di tengah serbuan
budaya asing, menjadikan mereka sebuah komunitas yang berkarakter kuat.
3.3.3 Kesenian sebagai Budaya Masyarakat Sumedang
Upacara kesenian yang dilakukan masyarakat Sumedang merupakan upacara
kesenian yang dilandasi kepercayaan warisan dari leluhur. Upacara tersebut antara
lain pada waktu menanam padi hingga padi dibawa kelumbung, upacara ini
disebut upacara Dewi Sri. Kemudian padi disimpan di Goah untuk didoakan oleh
sesepuh adat kampung.
Upacara kesenian lain adalah pencak silat yang merupakan upacara bela diri tari-
tarian dengan menggunakan alat-alat musik tradisional, yang biasanya para penari
kerasukan para roh leluhur mereka.
3.3.4 Rumah Tradisional merupakan bagian dari Kebudayaan Masyarakat
Sumedang
Rumah tradisional di kota Sumedang di bagi berdasarkan dua golongan status
yaitu bangsawan dan rakyat biasa. Namun untuk kepercayaan akan ruang kedua
rumah ini mempunyai kesamaan kepercayaan dalam menempatkan ruang sebagai
kepercayaan.
Hanya perbedaan secara bentuk dan struktur untuk membedakan mana rumah
bangsawan dan mana rumah rakyat biasa. Pada dasarnya rumah merupakan
kebutuhan wujud jasmani dan rohani untuk manusia yang akan menempatkannya
nanti.
Penulisan Tesis ini lebih menganalisa kepada kajian bentuk rumah tradisional
Sunda-Sumedang dan kepercayaan akan lingkup luar dari rumah tradisional
tersebut
71
Bentuk dari rumah tradisional Sunda lebih mencerminkan akan kesederhanaan
masyarakatnya, namun mereka mempunyai kepercayaan adat istiadat dan
keagamaan yang sangat kuat dan taat.
Didalam rumah tradisional mereka mengelompokan ruang-ruang untuk lelaki,
wanita dan penghubung (netral). Begitupun untuk tempat-tempat suci, seperti
tempat penyimpanan beras atau padi yaitu Goah
3.4 Kebudayaan Kecamatan Rancakalong
Desa yang paling menarik dikunjungi di Sumedang adalah Desa yang menjadi
ikon akan kebudayan di Sumedang ini mempunyai banyak seni pertunjukan
tradisional dan masyarakat Rancakalong masih mempertahannkannya, desa
Sukahayu Kecamatan Rancakalong terletak di 18 km ke sebelah barat Sumedang.
Gambar 3.2 Peta Desa Rancakalong Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2002
72
Foto 3.4 Rumah Kecamatan Rancakalong Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Foto di atas memperlihatkan rumah tradisional Di Rancakalong sudah tidak lagi
asli hampir semuanya telah dirubah baik dari struktur atap maupun dinding, tetapi
mereka tidak merubah kesakralan di dalamnya, begitupun dengan arah
menghadap rumah yang masih menghadap ke arah sakral (profan). Di
Rancakalong setiap musim panen, kita bisa melihat tarian Rengkong (Upacara
Adat Ngalaksa yang diiringi dengan Seni tradisional Ngalaksa yang diadakan
setiap bulan juni. Upacara Adat Ngalaksa adalah sejenis upacara membawa. padi
ke lumbung, rengkong adalah sebuah yoke untuk membawa beras yang berlubang.
Di dalam tanan rengkong, yoke dibawa oleh orang-orang sambil berjalan menari
ke lumbung padi. Saat mereka berjalan lubang didalam yoke menghasilkan bunyi
musik yang memiliki ritme yang sama dengan orang yang berjalan mengikuti
bagian upacara tersebut. Masyarakat rancakalong menggelar Upacara Adat
Ngalaksa ini selama satu minggu tanpa henti dengan diiringi seni tradisional.
73
• Upacara Seni Tradisional Ngalaksa di Rancakalong
Upacara dan kepercayaan ini dipercayai sejak abad 17 yang bertahan sampai saat
ini. Pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa tahun ini sudah disepakati tetua,
pemangku, pembina maupun warga adat untuk memulai rangkaian ritual adat
yang diawali ritual menumbuk padi yang akan dijadikan adonan makanan yang
dilaksanakan pada hari Minggu, mereka juga mempunyai kepercayaan bahwa hari
Senin tidak boleh melakukan melakukan kegiatan yang ada hubungannya dengan
alam.
Ngalaksa merupakan upacara adat yang dilakukan warga adat Rancakalong yang
kini sudah menjadi kecamatan dengan lima rurukan yang kini menjadi desa,
benar-benar menjaga warisan leluhur yang diperkirakan sudah dilakoni sejak
Abad ke-17.
Upacara yang tak hanya diwarnai pementasan kesenian jentreng tarawangsa, tapi
juga dengan ritual yang penuh makna sebagai penghormatan pada Tuhan YME,
alam dan sesama manusia, yang semuanya berpusat kepada dewi segala dewi,
yaitu Dewi Sri yang di kalangan masyarakat Sunda dikenal dengan sebutan Sang
Hiang Sri atau Nyi Poha Aci.Upacara Ngalaksa biasanya dikaitkan dengan jadwal
bersawah yang dimaksudkan untuk menghormati para leluhur yang telah berhasil
mempertahankan bibit padi dan rasa syukur atas keselamatan dan rezeki yang
dilimpahkan kepada para petani.
Upacara Ngalaksa diawali dua minggu sebelumnya dengan dilakukan bewara.
Tetua adat memberitahu seluruh tokoh adat mengenai waktu pelaksanaan upacara
adat Ngalaksa, setelah bewara disebar langkah selanjutnya dilakukan Ngayu.
Dalam bahasa Sunda ngahayu-hayu atau mengajak warga untuk bersama
menyiapkan keperluan upacara.
Kesanggupan warga untuk melaksanakan upacara ditindaklanjuti melakukan
Mera. Suatu bagian dari rangkaian kegiatan berupa membagi-bagi tugas dan
bahan yang harus dibawa masing-masing warga rurukan.
74
Setelah semua selesai baru ritual Ngalaksa diadakan. Dimulai dari Meuseul Bakal,
yaitu prosesi menumbuk padi diiringi rajah atau doa-doa yang dilakukan dari pagi
hari hingga baru akan berakhir menjelang tengah hari. Setelah Meuseul Bakal,
dilakukan ritual Ngibakan atau Digeulisan. Ritual ini adalah mencuci beras
dengan menggunakan air combrang atau kembang laja.
Usai ritual Ngibakan atau Ngageulis, beras yang sudah dicuci dimasukan
keruangan Pangineuban. Yaitu ruangan yang berada di bangunan panjang disebut
bale-bale.
Selama tiga hari tiga malam, warga adat melakukan tarian yang diiringi Jentreng
Tarawangsa. Didahului oleh penari pria yang biasanya seorang ketua adat sebagai
penari pembuka. Jentreng Tarawangsa berlangsung semalam suntuk. Sebuah
pagelaran yang hanya diiringi alat musik sederhana, biola purba dua dawai dan
jentreng atau kecapi dengan tujuh dawai.
Alunan musiknya terasa lamban dan monoton, namun itulah yang membuat
pendengar hanyut terbawa alunan musik. Konon, bila salah seorang penari
mengalami trance, pertanda Dewi Sri menerima penghormatan mereka.
Beras yang disimpan selama tiga hari tiga malam, memasuki hari keempat
diambil dan kembali ditumbuk dalam prosesi nipung. Ritual selanjutnya tepung
beras diberi bumbu berupa air combrang, kelapa, gula merah dan apu (kapur)
sebagai bahan pengawet. Untuk seterusnya dibungkus daun congkok dan
kemudian dibagikan kepada seluruh warga adat. (Sumber : Sesepuh Desa Rancakalong,
Ki Ikarmita sesepuh adat)
• Upacara Seni Tarawangsa
Ada beberapa kepercayaan bahwa Seni Tarawangsa berasal dari Mataram kira-
kira abad XV. Karena pada waktu itu Sumedang di bawah pemerintahan kerajaan
Mataram, kemudian para sesepuh Desa Rancakalong mengajukan permohonan
kepada Raja Mataram untuk diberikan alat-alat kesenian yang dapat digunakan
sehabis panen.
75
Foto 3.5 Upacara Seni Tarawangsa Sumber Yayasan Trimulya,2001
Kemudian Raja memberikan dua buah alat kesenian, yaitu Tarawangsa berkawat
dua dan sebuah kecapi yang berkawat tujuh. Seni Tarawangsa disebut juga Seni
Jentreng yang menginduk pada suara kecapi. (Sumber Yayasan Trimulya, 2001)
• Upacara Bubur Suro
Sebelum melakukan upacara ”Manci” semua masyarakat berkumpul termasuk
para sesepuh adat, kemudian sesepuh adat melakukan ritual guna meminta izin
dimulainya pelaksanaan upacara adat Bubur Suro, para masyarakat
mengumpulkan seluruh umbi-umbian dan buah-buahan
Setelah prosesi "Manci" oleh panitia semua barang dipilah-pilah. Bahan yang
akan dijadikan bubur di kupas yang melibatkan hampir seluruh warga Desa. Sisa
bahan lainnya di rebus untuk dijadikan bintana atau buah ayunan, buah dan umbi
yang nantinya digantung dengan tali terbuat dari janur kuning dirangkai
mengelilingi Balanongan tempat tungku untuk membuat bubur dibuat.
Foto 3.6 Upacara Bubur Suro (Sumber Yayasan Trimulya, 2001)
76
Sementara sebagian buah dan umbi lainnya dimasak dan dibuat sayur untuk
dimakan siang dan malam menjelang acara Bubur Suro. "Makanan yang dimasak
nantinya dibagikan ke warga yang membantu dan mengikuti prosesi pagelaran
seni buhun Tarawangsa malam hingga dini hari nanti.
3.5 Kebudayaan Masyarakat Sunda Desa Sukahayu Kecamatan
Rancakalong Kabupaten Sumedang.
Desa sukahayu
Gambar 3.3 Peta Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Desa Sukahayu terletak sekitar 10 KM dari kecamatan Rancakalong dan sekitar
28 KM dari kota Sumedang. Mata pencaharian masyarakatnya petani dan ladang,
masyarakat desa Sukahayu merupakan masyarakat peladang yang bercocok
tanaman pada kontur yang tinggi, namun dengan masuknya budaya moderen
pekerjaan bercocok tanaman mulai tidak dilakukan oleh penerus (generasi muda),
para generasi muda lebih memilih ke kota besar untuk mencari pekerjaannya.
Desa Sukahayu mempunyai tanah yang subur dan dialiri oleh kali cisaramo,
beberapa masyarakat desa Sukahayu masih memegang upacara-upacara tradisi
walaupun masyarakat desa Sukahyu beragama Islam yang taat. Beberapa
kepercayaan yang masih dilaksanakan setiap tahunnya, yaitu :
77
• Upacara panen padi (pare), upacara ini dilaksanakan untuk
mengucapkan rasa terimakasih kepada Dewi Sri.
• Upacara Sunat pada anak-anak.
Kedua upacara di atas masih dilaksanakan secara turun-menurun hingga sekarang.
3.6 Tipologi Tapak Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong
Pemukiman penduduk Desa Sukahayu Kecamatan Rancakalong menunjukan pola
menyebar dengan mengikuti kontur tanah yang rata dari ketinggian tanah tertentu,
antara rumah satu dengan yang lainnya berjauhan dan tidak memiliki halaman
depan. Sawah dan ladang masyarakat desa Sukahayu terletak agak jauh dari
rumah-rumah mereka dan menyebar mengikuti kontur tanah.
Foto 3.7 Pemukiman Desa Sukahayu
Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Masyarakat desa Sukahayu merupakan masyarakat peladang yang menanam dan
mengembangkan padi serta menanam tanaman lain yaitu, pisang, kayu alba dan
sayur-sayuran. Fenomena ini dapat menjelaskan bahwa masyarakat desa
Sukahayu merupakan masyarakat pola tiga dengan menanam beberapa macam
tanaman dan tidak tergantung dengan alam, melainkan memproduksi untuk hidup
dari hasil alam.
78
Foto 3.8 Salah Satu Sudut Tempat Masyarakat Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Kebutuhan air bersih penduduk diperoleh dari mata air yang terdapat di bawah
pemukiman, sumber mata air ini berupa sumuran dan mengeluarkan air yang
sangat jernih. Kemudian masyarakat membangun tempat mandi bersama (umum)
di dekat mata air tersebut. Di samping tempat mandi umum terdapat mushola alit
(kecil), untuk mencapai tempat bersama harus turun ke lebak sekitar 2 KM dari
pemukiman Penduduk. Selain itu rumah-rumah desa Sukahayu pada umumnya
telah dilengkapi kamar mandi atau jamban maka kebutuhan air dialirkan ke
rumah-rumah penduduk melalui selang-selang plastik atau bambu yang
ditampung oleh bak-bak mandi dan drum. Tetapi untuk rumah tradisional yang
sudah tidak asli, mereka membuat kamar mandi dengan dinding bata merah.
Foto 3.9 Tampak Samping Kiri Tempat Mandi Umum dan Mushola Alit Desa Sukahayu
Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
79
Foto 3.10 Tampak Samping Kanan Tempat Mandi Umum dan Mushola Alit Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Foto 3.11 Arah Ke Tempat Mandi Umum dan Mushola Alit Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
80
Gambar 3.4 Potongan Tapak Mandi Umum dan Mushola Alit Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Foto 3.12 Jamban Masyarakat Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
81
Foto 3.13 Kamar Mandi Rumah Tradisional yang Sudah Moderen di Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Di desa Sukahayu terdapat pemakaman umum yang bersatu dengan makam
karuhun, letak pemakaman bersebelahan dengan balai adat (kantor kelurahan) dan
mempunyai akses masuk lebih tinggi dari sirkulasi jalan penduduk. Letak
pemakaman sekitar 3 KM dari tempat pemukiman dengan letak site di bawah
pemukiman penduduk.
Gambar 3.5 Site Plan Area Pemakaman Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
82
Gambar 3.6 Potongan Melintang Site Plan Area Pemakaman Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Foto 3.14 Pemakaman Karuhun Desa Sukahayu Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
83
Foto 3.15 Arah Jalan Pemakaman Desa Sukahayu
Sumber : Dokumen Pribadi.,2006
Beberapa masyarakat desa Sukahayu masih mempercayai adanya goib dari
karuhun mereka, dihari-hari tertentu mereka membuat sesajen dan
menyuguhkannya di makam-makam para leluhur mereka, beberapa masyarakat
desa Sukahayu merupakan masyarakat peladang yang peramu, karena merekapun
beragam Islam yang sangat taat pada aturan-aturan agamanya.
Di desa Sukahayu masih percaya akan tabu di hari tertentu, seperti berikut ini :
• Teu meunang nuar kai poe rebo ( tidak boleh memotong kayu pada hari
rabu)
• Teu meunang meuli atawa nyokot beas ti na poe senen ( tidak boleh beli
beras dan menggambil beras pada hari senin) kadang sebagian masyarakat
setempat percaya bahwa hari senin merupakan hari kelahiran Dewi
Sri/nyai
• Pantang bulan jeung pantang poe ( larangan di bulan tertentu atau di hari
tertentu ) biasanya pantangan ini digunakan untuk membangun rumah
84
karena pada pembangunan rumah harus dilihat hari baiknya. Di desa
Rancakalong pembangunan rumah biasanya dapat dilakukan satu tahunnya
tiga kali itupun harus ada ijin dari kuwu
• Kudu nyebut punten manawi ngalangkungan kuburan ( harus permisi jika
melewati kuburan )
• Teu meunang ngalangkahan tumpeng manawi keur aya upacara ( tidak
boleh melangkahi nasi tumpeng jika ada upacara ) nasi tumpeng biasanya
di sediakan juga jika ada acara selametan rumah baru.
• Teu meunang najong duwegan ( tidak boleh menendang duwegan )
masyarakat tardisi percaya bahwa duwegan ( kelapa ) di pakai untuk
keperluan sesajen kepada leluhur ( karuhun )
• Teu meunang nincak hawu ( tidak boleh menginjak hawu) hawu adalah
tempat perapian.
• Teu meunang nincak awi jang anu di beuleum ( tidak boleh menginjak
kayu bakar yang untuk memasak )
• Teu meunang ngomong sompral ( tidak boleh berbicara sembarangan )
• Teu meunang ngaheot peuting ( tidakboleh bersiul malam hari )
masyarakat percaya jika bersiul dimalem hari akan di datangi oleh nenek-
nenek atau aden-aden
• Teu meunang nyiduh, kahampangan atawa kabeuratan ditempat keramat
( tidak boleh meludah, kencing atau buang air besar di tempat keramat /
tempat yang dianggap suci )
• Teu meunang ngadambel bumi ku tembok, suhunan ku genteng namung
keudah ku kiray atanapi ku injuk ( tidak boleh membangun rumah oleh
dinding tembok atau atap oleh genteng tetapi harus sam injuk ).Tabu ini
sudah mulai tidak dilaksanakan ini dapat terlihat dengan rumah-rumah
hasil foto di lapangan oleh penulis tahun 2005 dan 2006. sebetulnya tabu
disini dipercaya bahwa genting terbuat dari tanah jika suatu rumah
dibangun oleh atap genteng atau dinding tembok berarti tempatnya
melebihi batas kepala manusia sama artinya manusia berada didalam tanah
kubur.
85
• Lalaki teu meunang ka goah ( lelaki tidak boleh ke tempat penyimpanan
padi / goah )
Mengenai srata sosial di desa Sukahayu, mereka masih mempercayai bahwa orang
yang mempunyai keturunan langsung dari karuhun baru bisa diangkat jadi
sesepuh adat (Kuwu). Kuwu di desa Sukahayu dianggap orang paling pintar yang
memiliki kemampuan dan pengetahuan yang nyata maupun spiritual.
Peran Kuwu sangat jelas dalam acara-acara adat atau kegiatan-kegiatan yang
diadakan di desa Sukahayu, misalnya acara perkawinan, sunatan sampai acara
pengangkatan kepala desa Sukahayu. Namun selain Kuwu, ada lapisan sosial lain
yang dianggap mempunyai peran, yaitu para ulama dan orang kaya (tuan tanah) di
desa Sukahayu. Kaum ulama dianggap orang yang paling pintar mengenai
keagamaan dan orang kaya dianggap orang yang bisa memberikan pekerjaan
duniawi.
3.7 Rumah Tradisional Desa Sukahayu
Desa Sukahayu memiliki rumah tradisional dan rumah tradisional yang sudah
mengalami perubahan secara arsitektural. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan rumah-rumah di desa Sukahyu tidak memiliki serata sosial, sangat
berbeda dengan rumah-rumah di Kota Sumedang yang masih kental dengan
perbedaan serata sosial.
86