Bab III HASIL PENELITIAN -...

23
17 Bab III HASIL PENELITIAN A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1 Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran, Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun, akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang. Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan. Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar 56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak 177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar 3.119 orang/km2. 2 Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan meningkatkan keharmonisan yang sudah ada . 3 Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di Indonesia. 1 http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga 2 Ibid 3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9

Transcript of Bab III HASIL PENELITIAN -...

17

Bab III

HASIL PENELITIAN

A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA

Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota kecil ini

berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas ditetapkan sebagai hari

jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa reformasi, Salatiga

berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan dikeluarkannya

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Salatiga

berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus Kota meski

dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1

Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi pemekaran,

Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan Salatiga. Namun,

akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten Semarang.

Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22 kelurahan.

Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo, Kecamatan

Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan luas sebesar

56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota terkecil di

Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga sebanyak

177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota Salatiga sebesar

3.119 orang/km2. 2

Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat heterogen

dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam. Dengan kondisi

masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah Kota Salatiga

berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan meningkatkan

keharmonisan yang sudah ada . 3 Sehingga dalam perjalanan waktu, Salatiga

mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di Indonesia.

1 http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga

2 Ibid

3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9

18

Sebagai kota “persinggahan”, Salatiga menjadi tempat, ruang, wadah

“interaksi”, pertemuan, perjumpaan antar pribadi/komunitas yang berasal dari

berbagai latar belakang. Seperti pendapat Titaley dan Hidayat di bab

sebelumnya bahwa kondisi yang seperti ini bisa memunculkan berbagai peluang

dan tantangan. Salah satu kebutuhan mendasar dan sekaligus menjadi

tantangan “persoalan kemanusiaan” yang muncul dan tak terhindarkan adalah

persoalan perkawinan. Lebih khusus lagi yaitu persoalan perkawinan bagi

pasangan beda agama.

Dalam kenyataannya, sampai saat ini perkawinan dan pencatatan

perkawinan bagi pasangan yang berbeda keyakinan / agama masih mengalami

kendala. Kendala ini disebabkan karena sikap Pemerintah Kota di berbagai

tempat di Indonesia (baca: diwakili oleh lembaga-lembaga pencatatan sipil,

dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak sama. Di Kota

Salatiga, Dinasdukcapilnya bersedia mencatatkan. Sedangkan diluar kota

Salatiga, dinasdukcapilnya tidak bersedia mencatatkan. “Dualisme sikap” yang

ditunjukkan beberapa lembaga pencatatan sipil jelas menunjukkan adanya

persoalan dalam pemahaman, “interpretasi” dan kebijakan tentang perkawinan

pasangan beda agama dan pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan

beda agama.

Pemerintah Kota Salatiga, secara khusus Kepala Dinas Kependudukan

Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun 2000-2014 tidak menolak

pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Sekalipun di luar

Pemerintah Kota salatiga hal ini masih menjadi polemik, dan terkesan terjadi

penolakan

Dalam bab ini kita akan mencoba melihat aturan-aturan perundangan

yang berlaku yaitu Undang -undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dan Apa

alasan-alasan/pertimbangan yang dipakai oleh Kepala Dinas dan Kependudukan

Pencatatan Sipil sebagai pejabat pemerintah ini bersedia melaksanakan

pencatatan perkawinan pasangan beda agama.

B. KEHIDUPAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM/NEGARA

19

Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur

atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata

lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi

pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Beberapa fakta dan perspektif tentang perkawinan di Indonesia,

khususnya bagi pasangan beda agama. Sebelum dikeluarkan UU No 23 Tahun

2006, Pencatatan administrasi kependudukan termasuk di dalamnya pencatatan

perkawinan di Indonesia menggunakan dasar hukum masa kolonial Belanda

yaitu Staatblad.Dalam staatblad 1896 No. 158 dikenal adanya perkawinan

campuran yang mana dikenal 3 jenis perkawinan campuran yaitu :5

1. Perkawinan campuran antar tempat : misalnya perkawinan orang

2. Perkawinan campuran antar agama: misalnya golongan eropa dengan

golongan timur asia atau golongan bumi putera.

3. Perkawinan campuran antar golongan

Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia yang sekarang ini diatur

melalui Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang

ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya dan

dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang

Perkawinan (UUP) merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur soal

perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan dan segala yang

berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum adat bagi

warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia asli yang

beragama Islam, Ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tentang Perkawinan

Indonesia Kristen bagi warga Indonesia yang beragama Kristen di Jawa,

Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bagi warga

Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan Peraturan Perkawinan Campuran bagi

perkawinan campuran. Dengan demikian salah satu tujuan dari UUP adalah

unifikasi atau penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya sangat

4 Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 203

5 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan-Perkawinan Campuran (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),2-3

20

beragam.6 Secara tekstual UU 1 th 1974 yang diterbitkan dan mengatur secara

khusus tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan “campuran”

dalam arti beda agama. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap sebagai sebuah

“celah hukum” sehingga dalam bahasa hukum , celah hukum ini bisa

mengakibatkan “penyelundupan hukum”. Dengan berlakunya UU 1 th 1974 ini

ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya dalam staatblad 1896 No. 158

dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh

telah diatur dalam UU 1/1974 ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Perlu sekali kita memahami dan memperhatikan terlebih dahulu

tentang substansi dari UU Perkawinan No 1 th 1974 .

1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 th 1974

Undang-undang No. 1 th 1974, Pasal 1, menyatakan bahwa,

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”7

Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa:

a. Perkawinan tidak hanya berdimensi lahiriah, tetapi juga mempunyai

dimensi batiniah atau rohaniah.

b. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami-istri. Dari sini dapat dijelaskan dua hal sebagai

berikut:

1.) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan seorang pria dan seorang

wanita. Hal ini menunjukkan bahwa menurut UU Perkawinan

dianut asas perkawinan monogami.

2.) Perkawinan jangan dipandang hanya untuk memenuhi kebutuhan

biologis, karena dimungkinkan adanya perkawinan in extrimis,

yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka di mana salah

satu atau keduanya sudah tua dan “dalam waktu singkat” akan

meninggal dunia).

6 Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama : Tinjauan Keagamaan, Hukum , dan HAM . Disajikan

dalam Focus Group Discution Perkawinan Beda Agama yang dihelat Yayasan Percik, Salatiga, 24 Juni 2014. 16 7 Drs. Sudarsono, S.H., M.Si , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal 9)

21

Dari pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui tentang

tujuan perkawinan, yaitu : “membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan untuk

memeroleh anak atau pun keturunan.

2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Agar perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita

sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UU

Perkawinan, di mana syarat tersebut dibedakan menjadi dua kelompok,

yaitu:8

a. Syarat Formil

Syarat ini sebenarnya mengatur bagaimana tata cara orang yang akan

melangsungkan perkawinan, yaitu berupa formalitas yang harus dipenuhi

oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat ini telah diaturf

dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:

b. Syarat Materiil

Syarat meteriil perkawinan telah ditetapkan dalam UU Nomor 1, di

mana syarat ini harus ada pada orang yang akan melangsungkan

perkawinan serta harus adanya ijin dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Syarat materiil ini selanjutnya dibedakan menjadi dua, yaitu:

1.) Syarat Materiil Absolute:

Yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang

bersangkutan dan jika salah satu syarat tidak ada maka

perkawinan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan ada halangan

perkawinan mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a.) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah

pihak, di mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU

Perkawinan. Itu berarti bahwa perkawinan tidak boleh

8 M.Haryanto, “Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan”, dalam rumpun tulisan Materi Pembekalan

Persiapan Pasangan Suami Istri (Salatiga: Klasis Salatiga, 2009)

22

dilakukan kalau atas dasar paksaan, penipuan ataupun

kekhilafan.

b.) Dalam Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan, batas usia

melangsungkan perkawinan, untuk laki-laki harus sudah

berumur 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Sebelum usia

tersebut hanya dapat melangsungkan perkawinan jika ada

dispensasi. Pembatasan ini dimaksudkan agar tujuan

perkawinan tercapai dan mencegah perkawinan dibawah umur

(perkawinan dini) agar tidak terjadi peningkatan angka

kelahiran.

c.) Menurut Pasal 6 ayat (2-6) Apabila yang akan melangsungkan

perkawinan belum mencapai usia 21 tahun maka harus ada ijin

dari kedua orang tuanya. Kalau salah satu orang tuanya telah

meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka

ijin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau

dapat menyatakan kehendaknya. Kalau keduanya telah

meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, maka ijin

dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau

keluarga dalam garis lurus ke atas yang masih hidup dan

mampu menyatakan kehendaknya. Demikian juga Pengadilan

Negeri dapat pula memberikan ijin ini.

d.) Menurut Pasal 11 UU Perkawinan dan diatur lebih lanjut dalam

Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, seorang wanita yang putus

perkawinannya sebelum melangsungkan pernikahan lagi

berlaku masa tunggu, yang dibedakan menjadi tiga kelompok,

yaitu:

(1) Bila perkawinan putus karena kematian, janda mempunyai

waktu tunggu selama 130 hari.

(2) Bila putus karena perceraian, janda masih datang bulan

ditetapkan waktu tunggu 3 x suci, minimal 90 hari,

23

sedangkan bila janda sudah tidak datang bulan, waktu

tunggu adalah 90 hari.

(3) Bila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil,

waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

(4) Menurut Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih

dalam ikatan perkawinan dengan orang lain tidak dapat

melangsungkan perkawinan lagi, kecuali yang ditentukan

dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan. Pada azasnya

perkawinan di Indonesia adalah monogami, tetapi tidak

menutup kemungkinan poligami apabila dipenuhi syarat

menurut UU. Untuk melaksanakan poligami maka suami

harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri

dengan alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 4 UU

Perkawinan, yaitu:

-Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

-Isteri mendapat cacat badan yang tidak dapat

disembuhkan.

-Isteri tidak dapat memberikan keturunan.

Selain salah satu alasan tersebut, maka harus dipenuhi pula

syarat-syarat sebagaimana tersebut pada Pasal 5 UU

Perkawinan dan Pasal 40 s/d Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975.

Dengan adanya PP No. 10 tahun 1983, maka poligami untuk

pegawai negari lebih dibatasi lagi.

2.) Syarat materiil relative

Syarat ini ada pada pihak yang akan dikawini yang diatur

dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu tidak adanya

larangan mereka untuk melangsungkan perkawinan.

3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

24

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pencatatan perkawinan

merupakan suatu keharusan. Kalau orang akan melangsungkan

perkawinan sebenarnya ada 4 tahapan penting yang harus dilalui, yaitu:9

a. Pemberitahuan

Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Pasal 3 PP No. 9 tahun

1975, yaitu orang yang akan melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan hal ini kepada Kantor Pencatatan Perkawinan, baik

secara lisan atau tertulis. Pemberitahuan ini dilakukan 10 hari kerja

sebelum pelaksanaan perkawinan oleh salah satu atau kedua

mempelai, atau oleh orang tua atau wali, dapat pula oleh orang lain

dengan surat kuasa. Dapat pula kurang dari 10 hari kerja sebelum

pelaksanaan perkawinan asal ada dispensasi dari camat atas nama

Bupati/ Walikota dengan menjelaskan alasan-alasannya.

b. Penelitian dan pemeriksaan

Diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 tahun 1975. Pemeriksaan dan

penelitian menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Identitas calon mempelai apakah usianya telah mencapai usia

untuk melangsungkan perkawinan.

2. Status, apakah calaon mempelai gadis/janda, duda/jejaka,

beristeri atau belum, pegawai negari atau bukan. Hal ini terkait

dengan waktu tunggu bilai mempelainya janda atau syarat-

syarat berpoligami apabila suami telah beristeri.

3. Agama, hal ini terkait dengan instansi yang mencatat

perkawinan juga tentang “wali” bila mempelai beragama

Islam.

c. Pengumuman

Menurut Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, atas hasil penelitian

tersebut harus diumumkan agar masyarakat mengetahui dan

dalam waktu tertentu dapat mengajukan keberatan apabila

terhadap mempelai tadi ada halangan untuk melangsungkan

9 Ibid, 39

25

perkawinan, dan apabila dalam tenggang waktu tertentu tidak ada

yang mengajukan keberatan maka perkawinan dapat

dilangsungkan.

d. Pencatatan Perkawinan

Setelah perkawinan sah dilaksanakan menurut hukum Agama

dan Kepercayaan masing-masing, maka selanjutnya dicatatkan

yaitu:

a. Di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam

b. Di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang Non Islam.

Pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan dari

ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut

perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan

bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut jelas,

bagi suami isteri maupun orang lain dan masyarakat sehingga jika

diperlukan sewaktu-waktu pencatatan tersebut menjadi alat bukti

tertulis yang otentik.10

4. Akibat Adanya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974

Setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan

perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya, yaitu:11

a. Kedudukan

Dalam kehidupan suami-isteri, suami mempunyai kedudukan

sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga,

oleh karena itu segala sesuatu yang menyangkut masalah keluarga

harus dibicarakan dan diputus bersama oleh suami-isteri.

b. Hak dan Kewajian

Berdasarkan UU Perkawinan antara suami-isteri diwajibkan untuk

saling mencintai, saling menghormati dan memberikan bantuan

10

Tinjauan Yuridis tentang Perkawinan,... 41 11

Ibid

26

lahir maupun batin, sebagai kepala keluarga suami berkewajiban

melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai

dengan kemampuannya demikian pula sebaliknya isteri

berkewajiban mengatur rumah tangganya sedemikian rupa.

c. Harta Benda

Terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan UU

Perkawinan menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta

bersama dan pengurusannya dilaksanakan berdua sehingga kalau

akan menggunakan harta bersama harus dengan persetujuan kedua

belah pihak. Harta bawaan masing-masing pihak dan harta yang

diperoleh sebagai hadiah atau warisan ada di bawah pengawasan

masing-masing pihak, kecuali ditentukan lain.

5. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM/NEGARA

Perkawinan beda agama menurut pendapat O.S. Eoh yang di kutip

dari pendapat Abdurrahman adalah perkawinan yang dilakukan oleh orang-

orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan

yang lainnya. 12 Apakah perkawinan beda agama memiliki pengertian yang

sama dengan perkawinan campuran ? Seperti yang tertulis dalam pasal 57

UU No 1 / 1974 bahwa Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam

Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia

tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarga-negaraan

dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 13

Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848 keagamaan dipergunakan

sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan

struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh

penguasa – agama Nasrani – dijadikan pegangan. Agama dipakai untuk

melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah dengan

seorang bukan Kristen. Karena tidak sesuai dengan keadaan zaman, pendirian

12

O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). 13

Seri Hukum Dan Perundangan , Hukum Perkawinan Indonesia UU RI No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media, 2013 ), 22

27

ini dilepaskan dengan diterimanya Pasal 15 OV dari 1848 yang dalam

perjalanannya dicabut dan digantikan dengan S. 1898-158. 14

Jadi pemahaman perkawinan beda agama dengan perkawinan

campuran jelaslah dua hal yang berbeda yang sangat dipengaruhi dengan

konteksnya masing-masing. Yang menjadi titik berat untuk perkawinan beda

agama adalah perbedaan keyakinan/agama. Dua orang yang berbeda

keyakinan/agama tetap mempertahankan keyakinan/agama yang dianutnya.

Sedangkan perkawinan campuran adalah perbedaan kewarganegaraan. Dua

orang yang berbeda kewarganegaraan terikat dengan hukum perkawinan

atau ketentuan perundang-undangan negara masing-masing.

Dalam UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur

persoalan tentang perkawinan beda / antar agama, dan secara tegas tidak

melarang pelaksanaan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 berbunyi: (1)

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut pasal ini, secara implisit yang

dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan atau

tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan mengenai larangan

perkawinan dalam butir f menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua

orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.15 Ini berarti, Undang-undang perkawinan

menyerahkan pelaksanaan perkawinan beda agama kepada ajaran/hukum

agama masing-masing untuk memperbolehkan atau melarang perkawinan

tersebut, khususnya bagi pasangan yang berbeda agama.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 UU

Perkawinan butir f menyebabkan adanya ketidak pastian hukum bagi

pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia. Akhirnya,

masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan beda

14

Ibid, Sudargo Gautama, 6-7 15

Ibid, Seri Hukum Dan Perundangan, 10

28

keyakinan/ agama justru menghindari pasal ini, dengan cara penyelundupan

hukum, yaitu dengan cara meni kah di luar negeri atau pernikahan secara

adat.

Pasal 35 huruf a UU Adminduk sebenarnya sudah memberi ruang

kepada pasangan yang berbeda agama. Dalam undang-undang Adminduk

tersebut telah diatur bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana terdapat

dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga untuk perkawinan yang ditetapkan

oleh pengadilan, yaitu perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda

agama.

Berdasarkan penjelasan diatas, Undang-undang Perkawinan yang

menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia tidak membahas tentang

perkawinan beda agama. Justru merujuk ke UU Adminduk, perkawinan beda

agama telah diakui di Indonesia. Hal ini nampak dari diaturnya mengenai

pencatatan perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh pengadilan. Ini

berarti, perkawinan beda agama dapat dilakukan di Indonesia dan

perkawinan tersebut sah.

6. DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA

Pencatatan Perkawinan bagi pasangan beda agama telah

dilaksanakan sejak tahun 2000- 2014 di Salatiga. Ini berarti pencatatan

perkawinan bagi pasangan beda agama telah mendapat “ruang” dalam

kehidupan “public”. Tentunya kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota

Salatiga dalam hal ini Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil tidak

berangkat dari “ruang kosong”. Ada beberapa pertimbangan, alasan-alasan

yang mendasari kebijakan tersebut. Akan tetapi sebelum membahasnya

lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang tugas pokok

Pemerintah Kota dalam hal ini Kepala Dinasdukcapil. Kemudian bagaimana

prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga merupakan bagian dari

Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dan bidang kependudukan dan

29

pencatatan sipil di Salatiga merupakan urusan wajib pemerintah

sebagaimana yang tertulis dalam pasal 3 , Bab II Urusan Pemerintah

Daerah.16

Pasal 3

(1) Urusan Pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (3) hurus a, meliputi:

A. Pendidikan

B. Kesehatan

C. Lingkungan Hidup;

D. Pekerjaan Umum;

E. Penataan ruang;

F. Perencanaan Pembangunan;

G. Perumahan

H. Kepemudaan dan olah raga;

I. Penanaman Modal

J. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;

K. Kependudukan dan catatan sipil

L. Ketanagakerjaan

M. Ketahanan pangan

N. ...

Bidang kependudukan dan catatan sipil yang merupakan urusan wajib

pemerintahan seperti yang diatur dalam pasal 4 Bab II Urusan Pemerintahan

daerah berpedoman pada standard pelayanan minimal bidang-bidang

urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan berpedoman

pada norma, standard, prosedur dan kristeria yang ditetapkan oleh Menteri /

Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen. 17

16

Himpunan Lembaran Daerah Kota Salatiga 2008. Dihimpun oleh Bagian Hukum Kota Salatiga. Jl.Letjen Sukowati Salatiga 2008 17

Ibid, 119

30

a. Struktur Organisasi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Salatiga18

b. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan

18

Rencana Stategis Satuan kerja Perangkat daerah (Renstra – SKPD) Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Tahun 2011-2016 Pemerintah Kota Salatiga

Kepala Dinas

Kelompok Jabatan

Fungsional

Sekretariat

Sub.Bagian

Perencana

an,

Evaluasi

dan

pelapora

Sub

bagian

Keuangan

Sub

bagian

Umum

dan kepega

waian

Bid.Pendaft

aran

Penduduk

Bid.Pengelolaan

Data dan informasi

Kependudukan

Seksi

Pendataan

Penduduk

Seksi Program

dan jaringan

Komunikasi Data

Seksi

Perpindahan

dan

Perkembanga

n Penduduk

Seksi Informasi

Administrasi

Kependudukan

UPTD

Bidang Pencatatan

Sipil

Seksi Pelayanan

Seksi

Dokumentasi

dan Informasi

31

Susunan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Salatiga terdiri dari:19

1.) Kepala Dinas

2.) Sekretariat

3.) Bidang-Bidang terdiri dari:

a.) Bidang Pendaftaran Penduduk

b.) Bidang Adminsitrasi Kependudukan

c.) Bidang Pencatatan Sipil

4.) Kelompok Jabatan Fungsional

C. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Dinas20

Tugas Pokok membantu Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah

Daerah di bidang Kependudukan Dan Pencatatan Sipil.

1.) Perumusan kebijakan di bidang Kependudukan dan Pencatatan sipil.

2.) Penetapan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan Pencatatan

Sipil sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Walikota.

3.) Pengkoordinasian dan penaggungjawab pelaksanaan kegiatan Dinas

berdasarkan kebijakan Walikota.

4.) Perumusan pedoman dan petunjuk teknis di bidang kependudukan

dan catatan sipil.

5.) Penerbitan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan

pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi

penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku

D. Uraian Tugas Kepala Dinas21

1.) Merumuskan kebijakan di bidang kependudukan dan catatan sipil

berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk di laksanakan

19

Ibid, 6 20

Ibid 21

Ibid

32

2.) Menetapkan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan

Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang di tetapkan oleh

Walikota untuk di laksanakan;

3.) Menerbitkan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan dan

pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang mutasi

penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai salah satu

bentuk pelayanan masyarakat

4.) Memeriksa dan menandatangani surat-surat kependudukan dan

catatan sipil serta akta catatan sipil untuk kelancaran tugas.

E. Prosedur Pencatan Perkawinan Di Dinas Kependudukan Dan

Pencatatan Sipil Kota Salatiga

Pasal 4 Bab II jika dikaitkan dengan bidang kependudukan dan

catatan sipil, menegaskan bahwa Bidang Kependudukan dan catatan sipil

dalam hal ini Dinas Kependudukan dan catatan sipil Salatiga, dalam

menjalankan tugas-tugasnya , secara khusus dalam hal melaksanakan

pencatatan perkawinan harus berpedoman pada norma, standard ,

prosedur yang ditetapkan.

Dibawah ini akan dijelaskan prosedur pencatatan perkawinan

(khusus: beda agama) yang berlangsung di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kota Salatiga .

Prosedur permohonan Pencatatan Perkawinan (Baca: Khususnya

Pasangan Beda Agama) di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil

Salatiga adalah sebagai berikut:

33

1. Pendaftaran Pemohon melalui loket:22

PEMOHONMENGAMBIL FORMULIR

DAN MENGISI

MENYERAHKAN FORMULIR DAN BERKAS

PERSYARATAN KE PETUGAS DI LOKET

PETUGAS MENELITI BERKAS PERSYARATAN *

PETUGAS MENCATAT DALAM BUKU REGISTER

PENGETIKAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN

PENANDATANGANAN KUTIPAN AKTA DAN

BUKU REGISTER OLEH KEPALA DINAS

PENYERAHAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN KEPADA PEMOHON

2. Pendaftaran Pemohon melalui Pemuka Agama / Pemuka Penghayat

Kepercayaan yang ditunjuk oleh Dinas Kependudukan Dan

Pencatatan Sipil.23

PEMOHON

Bertemu dengan salah satu pemuka agama yang

ditunjuk oleh Dinasdukcapil untuk menanyakan

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi

Pemohon menyerahkan berkas persyaratan

kepada Pemuka Agama*

Pemohon menyerahkan berkas persyaratan

kepada Pemuka Agama*dinasdukcapil

Petugas Disdukcapil meneliti berkas-berkas

yang diberikan oleh pemuka agama

Petugas Dinasdukcapil mencatatkan dalam

register

Penandatanganan di register dilaksanakan oleh pemuka agama yang ditunjuk oleh Dinasdukcapil pada hari

pelaksanaan pemberkatan/peneguhan perkawinan si pemohon

Setelah dilakukan penandatanganan di register

, Pemuka Agama menyerahkan kembali

register tersebut kepada petugas Dinasdukcapil agar

dapat diterbitkan akta perkawinan

1 2

3

45

6

7 8

22

Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23

Adapun dasar hukum penugasan kepada pemuka agama dalam mencatatkan perkawinan ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 436/541/2015 tentang Pengesahan pemuka Agama Dan Pemuka Penghayat Kepercayaan Yang menerbitkan Surat Keterangan Terjadinya Peristiwa Perkawinan Dalam Wilayah Kota Salatiga.

34

Catatan: * 1). Surat pemberkatan nikah dari Lembaga Agama yang melayani.

2) Berkas persyaratan harus disertai surat pernyataan dari salah satu

pemohon yang telah bersedia diberkati pernikahannya atau

bersedia menundukkan diri sesuai dengan hukum agama

pasangannya.

7. DASAR – DASAR HUKUM, KEBIJAKAN DAN ALASAN-ALASAN DARI KEPALA

DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA TERKAIT

PROSES PENCATATAN PERKAWINAN KHUSUSNYA BAGI PASANGAN BEDA

AGAMA

Hasil penelitian dan wawancara penulis dengan Kepala Dinasdukcapil

Salatiga periode 2000-2014 ditemukan beberapa alasan/pertimbangan dan

aturan/norma/kaidah hukum pasal yang dijadikan dasar dalam mengambil

sebuah kebijakan untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda agama.24

a. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 : “ Perkawinan

adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai

suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”

b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku

c. Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006 pasal

35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui prosedur

penetapan pengadilan.

d. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang

sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib

dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya 24

Berdasarkan wawancara dengan bapak “D” pada bulan November 2015.

35

perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal

perkawinan”.

e. Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pentatan Sipil

ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan adalah

Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka

agama/pendeta.

f. UUD 1945 pasal 28 a: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pasal 28 b: Setiap

orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah.

g. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

h. Kepemimpinan yang melayani, yang selalu mengedepankan pelayanan

kepada masyarakat.

Alasan-alasan kepala dinas yang mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1)

Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan

yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada

instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam

puluh) hari sejak tanggal perkawinan”, memiliki pemahaman bahwa dengan

ketentuan tersebut maka perkawinan yang telah dilaksanakan menurut

hukum agamanya masing-masing wajib harus dicatatkan di Kantor catatan

sipil. Apabila pencatatan tersebut tidak dilakukan walaupun orang tersebut

telah melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya, berarti

orang tersebut telah melanggar azas legalitas, sehingga akibatnya ialah

bahwa akibat-akibat dari telah dilangsungkannya perkawinan tidak diakui sah

secara hukum, (misalnya apabila lahir anak, maka anak yang bersangkutan

tidak diakui sebagai anak yang lahir akibat perkawinan, ia hanya mempunyai

hak sebagai anak ibu dengan konsekuensi yang bermacam-macam).

36

Oleh karenanya, sebagai warga negara yang baik, tentu harus

menghormati hukum agamanya sekaligus wajib menghormati hukum negara

yang berlaku dimana ia menjadi warga negaranya. Jadi berdasarkan Pasal 34

ayat (1) ini memberikan penegasan bahwa perkawinan yang sah menurut

agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat nikah secara absah

dan prosedural dapat dicatatkan.

Dasar pemahaman kepala dinas tentang Pasal 34 ayat (1) diatas juga

semakin diperkuat dengan dasar hukum lain yaitu Pasal 67 ayat (2) Peraturan

Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ditetapkan, bahwa salah satu

persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah terjadinya

perkawinan dari pemuka agama/pendeta. Jadi Dinas kependudukan dan

pencatatan sipil bertugas hanya mencatat dengan dasar bukti pemberkatan

perkawinan / surat nikah secara agama. Dinas kependudukan dan pencataan

sipil tidak memiliki kapasitas untuk menolak/melarang perkawinan

khususnya bagi pasangan yang berbeda keyakinan.

Kenyataan yang ada, sampai dengan saat ini masih muncul

interpretasi yang berbeda dari para ahli hukum, para Pemimpin Daerah, para

pimpinan Kepala Dinas Dan Kependudukan dari masing-masing daerah

(secara khusus Disdukcapil Salatiga) terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang 1 Tahun 1974. Seperti dalam pemberitaan di Kompas beberapa

pemuka agama mengklaim bahwa perkawinan pasangan yang berbeda

agama ini tidak sesuai dengan hukum agama. (Baca

http://nasional.Kompas.com/reas/2014/09/05/). Beberapa ahli hukum juga

mengklaim bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.25 Dengan kata lain perkawinan beda agama itu

merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974. Akan tetapi sekalipun

25

Sudarsono , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineksa Cipta, 2010), 10

37

banyak multi tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974

para Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil khususnya di Kota

Salatiga tetap mengambil sebuah kebijakan yang tetap berdasarkan hukum

dan Undang-undang yang berlaku, seperti yang tertuang di Pasal 34 ayat (1)

Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan,

Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Penca tatan Sipil.

Berkaitan dengan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan

no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya

melalui prosedur penetapan pengadilan. Para kepala Dinas berpendapat

bahwa Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006

pasal 35a ini dikenakan bagi mereka yang masing-masing mempertahankan

agama dan tidak bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak lain.

Maka solusi untuk kasus seperti ini harus ada ijin dari Pengadilan setempat

dan harus ada pernyataan dari pemimpin agama masing-masing bahwa

mereka tidak sanggup melangsungkan perkawinan bagi calon pengantin.

Pengadilan atas pertimbangannya akan menerima atau menolak permintaan

mempelai, dan apabila menerima permohonan mempelai, Pengadilan

setempat akan memerintahkan kepada Pejabat Kantor Catatan Sipil setempat

atas nama Negara melangsungkan pernikahan pihak yang berkepentingan.

Seorang Kepala Dinas (baca: Pemimpin) harus memiliki prioritas

utama dalam kepemimpinannya.26 Memiliki “spirit” melayani, yang selalu

mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa seorang

pemimpin harus sungguh-sungguh melayani kepentingan masyarakat. Selalu

memperjumpakan keutamaan dan kebahagiaan dalam hidup bersama (baca:

konteks pelayanan masyarakat). Apa keutamaan dan kebahagiaan seorang

pemimpin (baca:pelayan) dalam kepemimpinannya? Ketika dirinya sebagai

pemimpin dapat me-representasikan- kehadiran negara dalam kehidupan

26

Berdasarkan wawancara dengan ibu “A” pada bulan Desember 2015

38

warga negaranya27, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya yang

berkaitan dengan perkawinan. Ketika agama sudah mengesahkan sebuah

perkawinan dengan sebuah bukti berupa surat keterangan telah terjadinya

perkawinan dari pemuka agama/pendeta maka sebagai seorang pemimpin

(baca: Kepala Dinas dan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil) harus

menghormati hukum agama yang mengesahkan itu dengan cara

mencatatkan peristiwa perkawinan itu. Ketika semua ini terjadi maka

terwujudlah sebuah keutamaan dan kebaikan dalam sebuah komunitas

masyarakat yang dipimpinnya.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Kewenangan dan kebijakan khusus

(baca: Otonomi kehendak) dari Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan

Sipil yang terkait dengan pencatatan perkawinan, khususnya bagi pasangan

beda agama bukan sekedar sebuah tindakan yang muncul dari emosi,

keinginan, atau pilihan. Para pemimpin Dinasdukcapil bertindak secara moral

dan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan dan

kebijakan khusus yang diambil bukan karena sekedar ”kecenderungan” atau

ikut-ikutan tetapi tindakan yang dilakukan bertolak dari suatu “rasa

kewajiban” . Sebuah kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan apapun

kecenderungan subyektif yang muncul. Dan semua yang dikerjakan selalu

disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti nilai, norma, etika dan

hukum yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa bernegara.

27

Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan sekaligus pelaksanaan pasal 28 b bahwa Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

39