BAB II LANDASAN TEORI TENTANG...

12
8 BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN “Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu menentukan dirinya. “ (Jean-Paul Sartre) A. MANUSIA DAN KESADARAN DIRI Sebagian besar dari kita mengandaikan begitu saja bahwa kita mengetahui hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui mereka. Tetapi, apa itu mengetahui dan bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang kita ketahui itu benar ? 1 Inilah ke- khasan dari manusia , ia (baca: Manusia) mengetahui bahwa ia mengetahui. 2 Dan kekhasan manusia sebagai makhluk yang mengetahui selalu disertai dengan kemampuan refleksif mengenai tindakan berpikir. 3 Jadi, dalam sebuah upaya mengetahui (sebagai tindakan berpikir) sesuatu dalam dirinya, manusia perlu melakukan refleksi-diri. Seperti adanya sebuah kesadaran bahwa dirinya tidak hidup sendirian. Ada realitas lain diluar dirinya yang perlu mendapat perhatian. Ada realitas ilahi dan insani yang selalu hadir dan bersinggungan dalam kenyataan diri. Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia itu tidak terpisah. 4 Kesadaran inilah yang pada akhirnya dapat memberikan sentuhan makna, nilai dan arti dalam kehidupan manusia. B. KESADARAN DIRI SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, memunculkan sebuah tanggung jawab untuk membangun hubungan / relasi dengan yang lain. Inilah yang dinamakan kesadaran sosial. Kesadaran sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sehingga ia memerlukan yang lain dalam menjalani dan menikmati hidupnya. 1 Linda Smith dan William Raeper , Ide-Ide : Filsafat Dan Agama Dulu dan Sekarang (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), 15 2 M.Sastrapratedja, Filsafat Manusia (Jakarta:Pusat Kajian Filsafat Dan Pancasila, 2010), 15 3 Ibid, 16 4 Ibid, 26

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI TENTANG...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

8

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

“Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu

menentukan dirinya. “ (Jean-Paul Sartre)

A. MANUSIA DAN KESADARAN DIRI

Sebagian besar dari kita mengandaikan begitu saja bahwa kita mengetahui

hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui mereka. Tetapi, apa itu mengetahui dan

bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang kita ketahui itu benar ? 1 Inilah ke-

khasan dari manusia , ia (baca: Manusia) mengetahui bahwa ia mengetahui.2 Dan

kekhasan manusia sebagai makhluk yang mengetahui selalu disertai dengan

kemampuan refleksif mengenai tindakan berpikir. 3 Jadi, dalam sebuah upaya

mengetahui (sebagai tindakan berpikir) sesuatu dalam dirinya, manusia perlu

melakukan refleksi-diri. Seperti adanya sebuah kesadaran bahwa dirinya tidak hidup

sendirian. Ada realitas lain diluar dirinya yang perlu mendapat perhatian. Ada

realitas ilahi dan insani yang selalu hadir dan bersinggungan dalam kenyataan diri.

Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia itu tidak

terpisah.4 Kesadaran inilah yang pada akhirnya dapat memberikan sentuhan makna,

nilai dan arti dalam kehidupan manusia.

B. KESADARAN DIRI SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup

sendirian, memunculkan sebuah tanggung jawab untuk membangun hubungan /

relasi dengan yang lain. Inilah yang dinamakan kesadaran sosial. Kesadaran sebagai

makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sehingga ia

memerlukan yang lain dalam menjalani dan menikmati hidupnya.

1 Linda Smith dan William Raeper , Ide-Ide : Filsafat Dan Agama Dulu dan Sekarang (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2000), 15 2 M.Sastrapratedja, Filsafat Manusia (Jakarta:Pusat Kajian Filsafat Dan Pancasila, 2010), 15

3 Ibid, 16

4 Ibid, 26

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

9

Dalam pandangan sosiologi , kesadaran hidup bersama merupakan sebuah

kemestian. Dan kemestian ini menyebabkan manusia dalam menjalankan keseharian

tidak hanya secara personal (pribadi) saja, ia membutuhkan the other (yang lain).

Secara pesonal manusia adalah individu yang memiliki banyak kepentingan dan ia

cenderung mengejar kepentingannya sendiri . Seperti Marx pernah mengatakan

dalam teorinya tentang manusia bahwa manusia pada hakikatnya mengejar

kepentingannya sendiri.5 Dan tanpa disadari kepentingan diri berjumpa dan

bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang berbeda diluar dirinya. Menurut

Durkheim , perbedaan – perbedaan yang ada ini adalah bagian hidup sadar para

individu yang dimiliki berkenaan dengan kehidupan bersama mereka. 6

C. KESADARAN DIRI DALAM PERJUMPAAN DENGAN KEHIDUPAN BERSAMA

Seperti pendapat Titaley dan Hidayat yang saya kutip di bab sebelumnya

bahwa perjumpaan diri dengan yang lain (baca: kehidupan bersama) merupakan

kenyataan yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya dalam perjumpaan dan interaksi

antara satu dengan yang lain, dengan segala perbedaan-perbedaan yang ada harus

diberi ruang yang sama. Dan di dalam ruang yang sama ini, masing-masing memiliki

hak yang sama, hak untuk menjalani kehidupan dan mempertahankan

kehidupannya.

Demikian pula kaitannya dengan hak seseorang untuk menjalani hidup

bersama (baca: perkawinan) dengan sesamanya. Apapun latar belakangnya,

perjumpaan diri dengan yang lain dalam membangun kebersamaan yang lebih intim,

utuh , menyeluruh dan paling lengkap ini tetap diberi ruang yang sama.

D. KEHIDUPAN BERSAMA DALAM BINGKAI PERKAWINAN

Berangkat dari pemahaman diatas, eksistensi (keberadaan) manusia

ditengah-tengah manusia yang lain adalah sebuah realitas diri dan merupakan

perwujudan hakekat kemanusiaannya, dimana satu dengan yang lain saling terikat

5 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial ( Yogyakarta: Kanisius, 1994), 143

6 Ibid, 180

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

10

dan terkait. Keterikatan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain itu berada

dalam sebuah bingkai yang dinamakan perkawinan.

Sutarno melihat bahwa kehidupan bersama dalam sebuah perkawinan itu

merupakan bentuk ikatan dan wadah kebersamaan antar manusia yang mempunyai

makna mendalam, paling lengkap dan paling tuntas. Kalau kebersamaan manusia

dengan sesamanya diluar perkawinan itu sifatnya terbatas dan hanya menyangkut

hal-hal atau kepentingan-kepentingan tertentu saja maka di dalam perkawinan,

kebersamaan laki – laki dan perempuan itu sifatnya total.7

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah perkawinan dimaknai sebagai

peristiwa maupun hasil dari suatu peristiwa. Peristiwa dimana dua orang mengikat

janji untuk hidup bersama. Dalam perspektif sosiologis, perkawinan yang

merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan dalam suatu hubungan suami isteri ini diberikan kekuatan sanksi sosial. 8

Mengapa mereka diberikan sanksi sosial ? karena kedua orang (baca: yang telah

menikah) telah menjadi bagian dari masyarakat dan penyatuan hubungan mereka

dalam sebuah perkawinan telah disetujui secara sosial.

Sebagai lembaga Sosial, perkawinan adalah bagian integral dari masyarakat.

Dan di dalam masyarakat tentunya memiliki berbagai aturan. Salah satunya aturan-

aturan yang mengatur tentang perkawinan yang semuanya memiliki tujuan supaya

perkawinan yang merupakan bagian dari masyarakat itu dapat berperan , ber-

kontribusi aktif dalam menciptakan suasana nyaman, kondusif dalam sebuah

kebersamaan hidup secara sosial.

E. Teori Struktural Fungsional

Perkawinan sebagai sebuah realitas sosial tentunya selalu terintegrasi dengan

kehidupan masyarakatnya. Dalam Teori strukrural fungsional Parsons, dijelaskan

bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan

nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang memiliki kemampuan mengatasi

perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu

7 Sutarno , Makalah Perkawinan “ Pandangan Kekristenan Tentang Pernikahan” 2005, 1

8 Indriyani, Sri Sutanti, Sosiologi Suatu Kajian Hidup Bermasyarakat (Sukoharjo: Ghalia Indonesia, 2007), 44

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

11

sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan

demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu

sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan. Agar sebuah sistem

dapat bertahan, Parsons kemudian mengembangkan apa yang disebut imperatif-

imperatif fungsional, yang dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan

(survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi yaitu:9

1. Adaptation: fungsi yang amat penting disini dimana sistem harus dapat

beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat,

dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat

menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannya.

2. Goal Attainment: pencapaian tujuan sangat penting., dimana sistem

harus bisa mendefiniskan dan mencapai tujuan.

3. Integration : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga

antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya (termasuk

aktor-aktornya), selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGIL) .

4. Latency: laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara

pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-

pola individu dan cultural.

F. Perkawinan Dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional

Parsons secara khusus tidak menyoroti tentang perkawinan. Akan tetapi perlu

dipahami bahwa perkawinan merupakan sebuah realitas sosial. Dan realitas sosial

(baca: masyarakat) merupakan suatu sistem sosial.

Seperti yang dijelaskan dibagian sebelumnya, bahwa supaya sebuah sistem

sosial dapat bertahan, Parsons selain melihat sistem sosial masyarakat sebagai

kesatuan beberapa tindakan manusia, ia juga mengembangkan apa yang disebut

imperatif-imperatif fungsional, yang dikenal sebagai skema AGIL. Dalam teori AGIL

ini, Parson berusaha menggali situasi dan kondisi dari masyarakat agar tetap stabil

dan berfungi. Skema AGIL: Adaptation, Goal Attainment, Integration, Laten Patten

9 George Ritzer - Douglas J. Goodman , Teori Sosiologi Modern; edisi ke -6 ( Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2005)

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

12

Maintanance mewakili empat (4) fungsi dasar yang harus dicapai oleh semua sitem

sosial atau organisasi sosial supaya tetap bertahan.

Dalam teori Talcott Parson, urutannya dimulai dengan munculnya

ketegangan, konflik yang merupakan kondisi ketidak sesuaian antara keadaan suatu

sistem sekarang ini dengan situasi / keadaan yang diharapkan. Dan situasi seperti ini

berpotensi menimbulkan kekacauan.

Untuk mengatasi situasi yang berpotensi menimbulkan kekacauan, maka

ketegangan / konflik merangsang perlunya sebuah penyesuaian (adaptation).

Bagaimana sebuah sistem yang ada dapat mengatasi situasi yang sedang

berlangsung. Sistem yang ada harus mampu beradaptasi / menyesuaikan diri

dengan lingkungan yang ada. Sistem yang ada harus mampu mendefinisikan dan

mencapai tujuan utamanya. Dan supaya tujuannya dapat tercapai maka sistem yang

ada ini harus mampu mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi

komponennya. Selain mengatur , sistem yang ada harus memperlengkapi dan

memperbaiki diri baik motivasi-motivasi pribadi/individual maupun pola kultural

yang sudah ada.

Dalam konteks perkawinan di Indonesia, khususnya perkawinan beda agama

di Indonesia masih berada dalam ketegangan-ketegangan. Sistem yang ada belum

begitu mampu mengatasi kebutuhan masyarakatnya. Yaitu kebutuhan pencatatan

perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama. Padahal kenyataannya, kehidupan

masyarakat di Indonesia sangat heterogen dan bersifat pluralistik. Dengan

kenyataan seperti ini, maka seharusnya sistem sosial yang ada mampu mengatur

setiap komponen dan elemen yang ada dalam sistem tersebut untuk mampu

mencapai tujuannya. Salah satu tujuan hidup bersama dalam negara demokrasi ini

adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yaitu:

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Berdasarkan pasal

ini seharusnya sistem sosial yang ada mampu mengatasi dan mengatur kebutuhan

masyarakatnya seperti kebutuhan atas penerimaan / pengakuan, kebutuhan akan

adanya jaminan perlindungan, kebutuhan akan adanya kepastian hukum yang adil

dan juga kebutuhan akan perlakuan yang sama. Tidak ada lagi perlakuan yang

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

13

berbeda. Baik itu dikarenankan perbedaan latar belakang suku, agama maupun

sosial. Kaitannya dengan pergumulan mengenai perkawinan bagi pasangan beda

agama. Kenyataan adanya ketegangan-ketegangan di negeri ini tentunya bukan

untuk dihindari tetapi justru dihadapi, dicarikan solusi, di temukan jawaban apakah

mereka yang berbeda agama ini dapat melaksanakan perkawinannya dihadapan

Pencatat Perkawinan pada Catatan Sipil.

Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah persoalan permohonan dari

empat alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) bersama seorang

mahasiswa FHUI, pada tahun 2014 yang mengangkat sebuah realitas sosial yaitu

fenomena perkawinan beda agama. Sehingga mereka mengajukan hak uji materi

(judicial review) terhadap UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut

mereka UU No 1/1974 dinilai tidak memberikan perlindungan bagi warga yang ingin

menikah, tetapi berbeda agama.10 Permohonan dari empat alumni Fakultas Hukum

UI di atas merupakan sebuah potret diri bahwa perkawinan bagi pasangan beda

agama di Indonesia masih belum mendapat ruang. Atau dengan kata lain masih

mengalami kesulitan untuk dilaksanakan dan dicatatkan. Sehingga yang terjadi

adalah beberapa atau banyak pasangan berbeda agama ini lantas menikah di luar

negeri agar perkawinan mereka dinyatakan sah secara agama. Dan setelah disahkan

secara agama, mereka pulang ketanah air untuk mencatatkan perkawinannya di

Dinas Kependudukan dan Pencataan Sipil Setempat.

Ketegangan-ketegangan diatas sudah diupayakan dengan dikeluarkannya

sebuah undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, tetap saja

pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama masih mengalami

kendala dengan persoalan hukum agamanya masing-masing dan persoalan

administratif di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Setempat.

Dari sudut pandang Parsons, berdasarkan teori struktural fungsional maka

ketegangan-ketegangan dalam masyarakat tersebut merangsang penyesuaian

(adaptation), baik bagi para aktor yang ada didalamnya beserta sistem nilai, norma

hukum yang berlaku dalam masyarakat . Tahapan penyesuaian tersebut juga terus

diupayakan sampai pada tahapan integration. Dimana didalamnya ada sebuah

10

Aturan Yang Tetap Hangat, Setelah 30 Tahun Lebih (Kompas, Jumat, 26 Juni 2015), 46

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

14

konsensus atau mufakat diantara para pemimpin dan anggota masyarakat (baca:

para aktor seperti Walikota Salatiga, Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan

Sipil Salatiga dan Pengadilan Kota Salatiga). Sedangkan Nilai, Norma Hukum yang

diberlakukan khususnya dalam konteks perkawinan khususnya pasangan beda

agama adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Undang-

Undang No 23 tahun 2006 Pasal 35a. Ditambah dengan peraturan perundangan

yang lain seperti Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 dan Pasal

67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 yang diperjumpakan dengan

situasi/kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua langkah ini pada

akhirnya bermuara pada tahapan “Goal Attainment”, tahapan pencapaian tujuan.

Tujuan yang dicapai adalah terlaksananya pencatatan perkawinan bagi pasangan

yang berbeda agama.

Dalam tahapan Latency, Parson menegaskan bahwa sistem yang ada (baca:

sistim pelayanan di Pemerintahan Kota, Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil,

Pengadilan) pada akhirnya harus mampu memelihara dan memperbaiki motivasi

pola-pola individu dan pola cultural.

Gambar 1.Teori Struktural Fungsional Parsons

LATENCY INTEGRATION

ADAPTATION GOAL ATTAINMENT

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

15

Gambar 2. Teori Aksi dan Hukum (Modifikasi dari Teori Struktural Fungsional)

Jadi dapat disimpulkan sementara bahwa manusia sebagai makhluk sosial

tidak bisa lepas dari realitas sosial yang mengelilinginya. Manusia selalu memiliki

kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan lingkungannya. Sehingga selalu

terjadi interaksi diantara dirinya dengan lingkungannya. Dimana interaksi sosial yang

terjadi selalu diawali dengan sebuah komunikasi dan kontrak sosial.11 Dan di dalam

interaksi tersebut tentunya terjalin sebuah hubungan sosial yang dinamis antara

perorangan maupun antara kelompok. 12 Dalam hubungan sosial tersebut akan

terjadi perjumpaan antar nilai, norma dan aturan dari masing-masing perorangan

atau kelompok.

Berkaitan dengan persoalan perkawinan , dalam kenyatannya nilai –nilai,

Norma-norma atau aturan hukum yang berlaku tidak sepenuhnya mampu

menjawab kebutuhan sosial masyarakatnya. Sehingga individu (baca: aktor ) yang

ada dalam sistem tersebut tentunya berusaha untuk mengatur dan mengatasinya

dengan berbagai alternatif untuk menghubungkan dan menyesuaikan satu bagian

dengan bagian lainnya. Apapun bentuknya dan produk-produk hukum apa saja yang

11

Susanto , Astrid S , Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. (Bandung : Bina Cipta, 1979) 12

M.Bambang Pranowo, Steriotip etnik, asimilasi, integrasi social. (Malang: Pustaka Grafika, 1988), 112

Aktor

Situasi,

kondisi

Nilai,

Norma,

Hukum

1.Cara 1

2.Cara 2

3. Cara 3

Tujuan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

16

digunakan sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi interaksi sosial yang sedang

terjadi dan melahirkan cara-cara yang efektif dan efisien demi mencapai tujuan

bersama yang diinginkan.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

17

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

18

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10512/2/T2_752013015_BAB II... · Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia

19