BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...Terhadap kasus yang diuraikan di atas maka pada tanggal 31...

25
47 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Gambaran Tentang Kasus Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga No.08/PID.B/AN/2010/PN.SAL Kasus yang terjadi adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Salatiga. Sebagai terdakwa dalam kasus ini adalah Nur Rohman bin Sugiyono, yang masih berumur 14 tahun 2 bulan, anak putus sekolah dan belum pernah menikah, sedangkan yang menjadi korban bernama Nugroho Widianto. Selama proses penyidikan sampai putusan hakim, terdakwa tidak ditahan, terdakwa didampingi Ristiani Gani Mendofa, SH selaku Penasihat Hukum. Secara singkat, kasus pencurian ini terjadi pada hari Selasa tanggal 15 Juni 2010 sekitar pukul 04.20 WIB. Saat itu terdakwa bangun tidur dan keluar rumah berjalan kaki menuju rumah korban dengan maksud untuk mencuri satu set PS2. Sesampainya di rumah korban, terdakwa memanjat batu bata yang ada di sekitar jendela dan membuka jendela dengan cara menarik paksa. Setelah jendela terbuka, terdakwa masuk kedalam ruangan tempat persewaan PS2 tersebut, kemudian terdakwa mengambil PS2 yang berada di rak yang selanjutnya terdakwa membungkus PS2 dengan plastik warna hitam yang sudah terdakwa persiapkan dari rumah. Setelah berhasil mengambil PS2, terdakwa selanjutnya keluar dari rumah korban dan membawa pulang PS2 tersebut dan disimpan di dalam kamar terdakwa. Atas

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...Terhadap kasus yang diuraikan di atas maka pada tanggal 31...

  • 47

    BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. Gambaran Tentang Kasus Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri

    Salatiga No.08/PID.B/AN/2010/PN.SAL

    Kasus yang terjadi adalah kasus pencurian yang dilakukan oleh

    seorang anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Salatiga. Sebagai

    terdakwa dalam kasus ini adalah Nur Rohman bin Sugiyono, yang masih

    berumur 14 tahun 2 bulan, anak putus sekolah dan belum pernah menikah,

    sedangkan yang menjadi korban bernama Nugroho Widianto. Selama proses

    penyidikan sampai putusan hakim, terdakwa tidak ditahan, terdakwa

    didampingi Ristiani Gani Mendofa, SH selaku Penasihat Hukum.

    Secara singkat, kasus pencurian ini terjadi pada hari Selasa tanggal

    15 Juni 2010 sekitar pukul 04.20 WIB. Saat itu terdakwa bangun tidur dan

    keluar rumah berjalan kaki menuju rumah korban dengan maksud untuk

    mencuri satu set PS2. Sesampainya di rumah korban, terdakwa memanjat

    batu bata yang ada di sekitar jendela dan membuka jendela dengan cara

    menarik paksa. Setelah jendela terbuka, terdakwa masuk kedalam ruangan

    tempat persewaan PS2 tersebut, kemudian terdakwa mengambil PS2 yang

    berada di rak yang selanjutnya terdakwa membungkus PS2 dengan plastik

    warna hitam yang sudah terdakwa persiapkan dari rumah. Setelah berhasil

    mengambil PS2, terdakwa selanjutnya keluar dari rumah korban dan

    membawa pulang PS2 tersebut dan disimpan di dalam kamar terdakwa. Atas

  • 48

    perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan korban mengalami kerugian

    yang ditafsir sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).

    Terhadap kasus yang diuraikan di atas maka pada tanggal 31

    Agustus 2010 oleh Wuryanti, SH sebagai Hakim memutus pidana penjara

    selama 1 (satu) bulan dan memutus terdakwa bersalah melakukan tindak

    pidana “Pencurian Dalam Keadaan Memberatkan”. Putusan hakim tersebut

    tertuang dalam putusan No.08/Pid.B/AN/2010/PN.SAL. Adapun dalam

    memutus perkara tersebut pertimbangan-pertimbangan hakim adalah

    sebagai berikut :

    1. Menimbang, bahwa terhadap permohonan Penasihat Hukum Terdakwa

    tersebut, Penuntut Umum secara lisan dipersidangan menyatakan tetap

    pada tuntutannya, demikian pula Penasihat Hukum Terdakwa tetap pada

    Permohonannya semula;

    2. Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa dengan dakwaan tunggal

    oleh Penuntut Umum tertanggal 20 Agustus 2010;

    3. Menimbang, bahwa terhadap dakwaan Penuntut Umum tersebut,

    Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan telah mengerti dan tidak

    mengajukan eksepsi;

    4. Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum di

    Persidangan telah diajukan barang bukti berupa:

    a. 1 (satu) buah Play Station 2;

    b. 2 (dua) buah kabel Play Station 2;

    c. 2 (dua) buah stik Plat Station 2.

  • 49

    5. Menimbang, bahwa selain barang bukti tersebut di atas Penuntut Umum

    telah mengajukan saksi-saksi yang didengar keterangannya di

    persidangan di bawah sumpah;

    6. Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan Terdakwa;

    7. Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan berupa

    pengajuan barang bukti, keterangan saksi-saksi, dan keterangan

    terdakwa, akan dipertimbangkan apakah terhadap Terdakwa dapat secara

    sah dan meyakinkan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana

    sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum;

    8. Menimbang, bahwa Terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu

    melanggar pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUH Pidana sebagai berikut:

    a. unsur “Barang siapa”;

    b. unsur “mengambil sesuatu”

    c. unsur “yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain”

    d. unsur “yang dilakukan di waktu malam hari dalam sebuah rumah atau

    pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang

    yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang

    berhak”

    e. unsur “yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk

    sampai pada barang yang diambil dilakukan dengan merusak,

    memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,

    perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

  • 50

    9. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah

    orang atau subyek hukum, yang sehat akal dan jasmaninya dan mampu

    bertanggung jawab dari perbuatan yang dilakukannya;

    10. Menimbang, bahwa dengan demikian maka hakim berpendapat bahwa

    unsur “barang siapa” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;

    11. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “mengambil” adalah

    bermaksud untuk menguasai barang yang sebelumnya belum ada

    ditangannya dan barang tersebut telah berpindah tempat;

    12. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “sesuatu barang” adalah

    segala sesuatu yang berujud ataupun tidak berujud, baik yang

    mempunyai harga ekonomi maupun tidak;

    13. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan bahwa pada hari

    selasa tanggal 15 Juni 2010 sekitar jam 04.30 WIB Terdakwa ke rumah

    saksi Nugroho dan membongkar jendela belakang lalu Terdakwa masuk

    dengan memakai alat bantu bata untuk naik;

    14. Menimbang, bahwa kemudian Terdakwa melompat masuk rumah dan

    mengambil 2 (dua) buah Play Station 2, 2 (dua) buah kabel Play Station

    2, dan 2 (dua) buah stik Play Station2 kemudian Terdakwa

    memasukkan dalam tas plastik dan Terdakwa pulang ke rumah

    melewati jendela lagi;

    15. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil stik di dalam almari karena

    Terdakwa tahu letak stik yang bagus di dalam almari dan almari

    tersebut tidak dikunci;

  • 51

    16. Menimbang, bahwa pada hari Selasa tanggal 15 Juni 2010 sekitar jam

    19.30 WIB saksi Nugroho pulang ke rumah;

    17. Menimbang, bahwa kemudian saksi Nugroho melapor ke ketua RT

    kemudian saksi Nugroho bersama istrinya saksi Kiswanti, saksi

    Sidijono, saksi Solehan ke rumah Terdakwa dan ternyata ada PS 2, dua

    stik, dua kabel yang mana nomor seri PS2 tersebut sama dengan milik

    saksi Nugroho, namun saat itu Terdakwa tidak mengaku;

    18. Menimbang, bahwa akibat perbuatan Terdakwa, saksi Nugroho

    menderita kerugian sekitar Rp.1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu

    rupiah);

    19. Menimbang, bahwa 1(satu) buah Play Station2, 2(dua) buah kabel Play

    Station 2, dan 2 (dua) buah stik Play Station 2 merupakan benda

    berujud yang memiliki nilai ekonomis;

    20. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas hakim

    berpendapat bahwa barang milik saksi Nugroho telah berpindah tempat

    dari rumah saksi Nugroho dan barang tersebut memiliki nilai ekonomis;

    21. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Unsur “Mengambil sesuatu

    barang” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;

    22. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi dan Terdakwa

    sendiri bahwa 1 (satu) buah Play Station2, 2 (dua) buah kabel Play

    Station2, 2 (dua) buah stik Play Station 2 yang diambil Terdakwa

    adalah milik korban Nurgoho Widianto;

  • 52

    23. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat bahwa

    Unsur “Yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain” telah

    terpenuhi secara sah dan meyakinkan;

    24. Menimbang, bahwa yang dimaksud melawan hak adalah terdakwa tidak

    berhak, tidak ada ijin dari yang berwenang dan tidak dibenarkan

    menurut Undang-Undang;

    25. Menimbang, bahwa dengan demikian maka Hakim berpendapat bahwa

    Unsur “dengan maksud akan memiliki barang dengan melawan hukum”

    telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;

    26. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil barang milik saksi Nugroho

    Widianto pada jam 04.30WIB yaitu pada malam hari dimana matahari

    belum terbit;

    27. Menimbang, bahwa denga demikian Unsur “yang dilakukan di waktu

    malam hari dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada

    rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui

    atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

    28. Menimbang, bahwa Terdakwa mengambil barang tersebut dengan cara

    membongkar jendela belakang lalu Terdakwa masuk dengan memakai

    alat bantu bata untuk naik;

    29. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di atas tersebut Hakim

    berpendapat bahwa Terdakwa telah mengambil barang milik saksi

    Nugroho Widianto dengan cara membongkar jendela dan memanjat

    dengan bantuan bata, dengan demikian maka unsur “yang untuk masuk

  • 53

    ketempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang

    diambil dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau

    dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan

    palsu” telah terpenuhi secara sah dan meyakinkan;

    30. Menimbang, bahwa karena unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 363

    ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP telah terbukti, maka Hakim berpendapat

    bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didakwakan kepada

    Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan oleh karenanya

    harus dipidana;

    31. Menimbang, bahwa berdasarkab Penelitian Kemasyarakatan dan

    Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Kantor Wilayah Jawa

    Tengah Balai Permasyarakatan (BAPAS) Semarang terhadap

    Terdakwa, tertanggal 9 Juli 2010 memberikan kesimpulan sebagai

    berikut:

    a. klien (Nur Rohman bin Sugiyono) berusia 14 tahun 2 bulan,

    tersangka pencurian PS2 di rumah/ rental PS milik Nugroho

    Widianto (Psl 363 KUHP). Klien tidak ditahan tetapi menjalani

    wajib lapor di Polsek Tingkir setiap hari senin dan kamis;

    b. klien anak putus sekolah, ekonomi orang tuanya tergolong miskin

    dan berpendidikan rendah sehingga berpengaruh terhadap

    pengawasan klien;

    c. motif klien mencuri PS2 karena ingin memiliki dan dipergunakan

    untuk bermain sendiri;

  • 54

    d. klien baru pertama kali berurusan dengan aparat penegak hukum,

    telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi;

    e. orang tua klien dan pamong setempat berharap masalah klien cepat

    selesai serta klien mau belajar dari kasus ini. Proses hukum yang

    sedang dijalani klien diharapkan bisa membuat klien jera dan tidak

    mengulangi perbuatannya lagi. Mereka juga berharap klien diberi

    keringanan hukuman;

    f. dari kesimpulan di atas kami selaku Pembimbing Kemasyarakatan

    memberikan saran klien dipidana bersyarat dalam Bimbingan Bapas

    Klas I Semarang dan instansi terkait.

    32. Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang

    menuntut Terdakwa selama 2 (dua) bulan, Hakim berpendapat tuntutan

    tersebut terlalu berat karena tidak sesuai dengan perbuatannya,

    mengingat Terdakwa masih anak-anak dan Terdakwa telah menyesali

    perbuatannya;

    33. Menimbang, bahwa disamping itu maksud dan tujuan pemidanaan saat

    ini adalah bukan upaya balas dendam atas perbuatan Terdakwa

    melainkan sebagai upaya pembinaan agar Terdakwa menyadari

    kekeliruannya dan memeperbaiki dirinya menjadi lebih baik

    dikemudian hari;

    34. Menimbang, bahwa terhadap diri Terdakwa terdapat kemampuan

    bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak terdapat alasan pemaaf

    ataupun pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum atas

  • 55

    perbuatannya, oleh karenanya sudah sewajarnya apabila kepada

    Terdakwa dijatuhi pemidanaan yang sesuai dan setimpal dengan

    kesalahannya;

    35. Menimbang, bahwa ada alasan yang sah untuk memerintahkan setelah

    putusan ini dijatuhkan, Terdakwa untuk ditahan;

    36. Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan dalam perkara ini

    merupakan barang milik saksi Nugroho yang keberadaannya di tangan

    Terdakwa tanpa seijin pemikiknya, maka barang bukti tersebut haruslah

    dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Nugroho Widianto;

    37. Menimbang, bahwa dikarenakan Terdakwa terbukti bersalah, maka

    kepadanya dibebankan pula untuk membayar biaya perkara;

    38. Menimbang, bahwa sebelum putusan ini dijatuhkan, maka perlu

    dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang

    meringankan Terdakwa.

    Ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan dalam menegakkan

    hukum yaitu: yuridis (kepastian hukum), filosofis (keadilan) dan sosiologis

    (kemanfaatan). Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu

    perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang

    memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), filosofis

    (keadilan) dan sosiologis (kemanfaatan)1. Ketiga unsur di atas harus

    mendapat perhatian secara proposional dan seimbang.

    1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1991:134

  • 56

    B. ANALISIS

    1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana

    terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL

    berdasarkan Tinjauan Yuridis

    Yuridis (kepastian hukum) menekankan agar hukum atau

    peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi

    hukum/ peraturannya. Faktor yuridis didasarkan atas fakta-fakta

    hukum yang terungkap di persidangan. Fakta-fakta hukum diperoleh

    selama proses persidangan yang didasarkan pada kesesuaian dari

    keterangan saksi, keterangan terdakwa mapun barang bukti yang

    merupakan satu rangkaian. Fakta hukum ini oleh hakim menjadi dasar

    pertimbangan yang berhubungan dengan apakah perbuatan seorang

    anak telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan

    kepadanya. Unsur-unsur ini akan menunjukkan jenis pidana yang telah

    dilakukan si anak. Selain itu faktor yuridis ini juga berkaitan dengan

    berat ringannya pidana yang dijatuhkan serta lamanya ancaman pidana.

    Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur

    Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah

    menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.

    Berdasarkan landasan yuridis, menurut penulis penjatuhan pidana

    terhadap terdakwa kurang tepat. Pidana penjara yang diberikan oleh

    hakim terhadap terdakwa menunjukkan bahwa hakim dalam

    memutuskan perkara lebih mengacu pada Pasal 22 UU No3 Th 1997

  • 57

    tentang Peradilan Anak. Penjatuhan penjara ini menunjukkan bahwa

    pidana hanya dipandang sebagai usaha untuk menanggulangi kejahatan,

    bahkan terkadang pemidanaan dipandang sebagai pembalasan. Hal ini

    terlihat dari dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

    penjara lebih mengarah pada hal-hal yang memberatkan setiap perkara

    anak nakal yakni bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak cukup

    meresahkan masyarakat. Padahal semestinya hakim perlu juga

    mempertimbangkan secara bijak hal-hal yang dapat meringankan

    terdakwa seperti dalam kasus ini adalah bahwa terdakwa bersikap sopan

    dan mengakui terus terang perbuatannya sehingga melancarkan

    jalannya persidangan, terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya,

    dan terdakwa masih muda usianya sehingga diharapkan bisa

    memperbaiki perilakunya kelak di kemudian hari.

    Sesungguhnya dalam pembangunan hukum pidana positif

    Indonesia, selain sanksi Pidana memang telah diakui keberadaan sanksi

    Tindakan, walaupun dalam KUHP menganut Single Track System yang

    hanya mengatur tentang satu jenis saja yaitu sanksi Pidana (Pasal 10

    KUHP). Pengancaman sanksi Tindakan dalam UU No.3 Tahun 1997

    menunjukkan bahwa ada sarana lain selain pidana sebagai sarana dalam

    penanggulangan kejahatan. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada

    perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang

    bersangkutan menjadi jera); maka fokus sanksi tindakan terarah pada

    upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Jika sanski pidana

  • 58

    bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia

    merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan

    penderitaan terhadap pelaku, sanski pidana juga merupakan bentuk

    pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi

    tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut

    teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang

    tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni

    melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan

    kepentingan masyarakat itu.

    Sehubungan dengan pemahaman tersebut di atas, berdasar pada

    UU No3 Th 1997 tentang Peradilan Anak, akan lebih baik jika hakim

    dalam memutuskan perkara pencurian yang dilakukan terdakwa lebih

    mengacu kepada Pasal 24 ayat (1) yakni dengan memberikan tindakan

    berupa: (a) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,

    (b) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

    pembinaan dan latihan kerja atau, (c) menyerahkan kepada Departemen

    Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang

    pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

    Hakim juga semestinya dalam memutuskan perkara pencurian

    yang dilakukan terdakwa perlu memperhatikan Pasal 45 KUHP yaitu

    bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa

    yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu

    perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang

  • 59

    bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau

    pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apa pun; atau

    memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah

    tanpa pidana apa pun.

    Mengingat anak yang bersinggungan dengan hukum, tidak

    hanya sebagai pelaku tetapi juga korban (victimogen) atas perbuatan

    yang dilakukan, maka hakim dalam memutus perkara anak harus

    memahami dengan benar kedudukan anak tersebut, sehingga putusan

    yang dijatuhkan semata-mata demi untuk kepentingan anak (the best

    interest of child).

    Penjatuhan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana

    haruslah diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, oleh karena itu

    perlu diperhatikan pendekatan khusus dalam menangani anak. Disini

    hakim sebaiknya tidak terburu-buru memandang anak yang melakukan

    tindak pidana tersebut sebagai seorang penjahat, hakim juga sebaiknya

    memikirkan bentuk hukuman yang sifatnya mendorong perbaikan

    dalam diri anak dan dapat mewujudkan kesejahteraan anak. Putusan

    hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas hukum, apalagi

    sekedar memelihara ketertiban, menanggulangi kejahatan, atau bahkan

    sebagai bentuk pembalasan. Dengan demikian putusan pidana penjara

    terhadap terdakwa dalam kasus pencurian sebagaimana tertuang pada

    Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL menurut penulis kurang tepat.

  • 60

    Oleh karena itu ada baiknya pendekatan yang digunakan oleh

    hakim dalam memutuskan perkara pencurian yang dilakukan oleh anak

    bisa mengacu pada pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagai

    berikut:2

    a. Anak yang melakukan tindak pidana/kejahatan (juvenile offender)

    jangan dipandang sebagai seorang penjahat (criminal), tetapi harus

    dilihat sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih

    sayang.

    b. Pendekatan yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan

    pendekatan persuasif-edukatif dan pendekatan kejiwaan (psikologis)

    yang berarti menghukum, yang bersifat degradasi mental dan

    penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses

    stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan,

    kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.

    Hukum memang pada dasarnya bersifat normatif dan setiap

    aturannya dibuat untuk mengatur masyarakat dan hukum harus

    dijalankan sebagaimana mestinya keberlakuan hukum tersebut. Tetapi

    selain mengedepankan pertimbangan normatif, seharusnya hukum juga

    mempertimbangkan faktor bahwa terdakwa adalah anak dibawah umur.

    Karena biar bagaimanapun juga anak yang melakukan tindak pidana

    tetaplah seorang anak yang dalam melakukan sesuatu mereka lebih

    mengedepankan perasaan daripada logika. Dan hal ini membuat

    2 Muladi dan Barda Nawawi, Teori‐Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1984 : 2

  • 61

    mereka terkadang tidak mengerti akibat apa yang akan mereka dapatkan

    dari perbuatan yang telah mereka lakukan. Sehingga, hukum

    seharusnya bisa berlaku lebih fleksibel agar tidak terkesan kaku dan

    menjadi alat penguasa untuk memenuhi kepentingannya.

    Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan.

    Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum atau dengan kata

    lain terlalu ketat mentaati hukum akibatnya akan kaku dan akan

    menimbulkan rasa ketidakadilan. Dengan demikian meskipun sanksi

    pidana penjara terhadap anak dapat saja dipilih oleh hakim dalam

    mengambil keputusan, namun alangkah baiknya seorang hakim juga

    harus melihat kemanfaatan penahanan tersebut dari sisi filosofis (nilai-

    nilai keadilan) dan dari sisi sosiologis (kemasyarakatan) baik untuk si

    anak selaku terdakwa maupun untuk masyarakat, hal ini karena

    terdakwa juga mempunyai hak atas keadilan.

    2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana

    terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL

    berdasarkan Tinjauan Filosofis

    Suatu kaidah hukum dapat dikatakan berlaku secara filosofis

    apabila kaidah itu sesuai atau tidak bertentangan dengan cita-cita

    hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam falsafah

    hidup masyarakat itu. Dalam hal falsafah hidup masyarakat Indonesia,

    yang dijadikan ukuran tentunya adalah falsafah Pancasila yang dalam

  • 62

    studi hukum dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam

    konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di

    Indonesia.3 Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum

    mencerminkan suatu keadilan yang diinginkan oleh masyarakat

    indonesia.

    Nilai dasar keadilan juga harus ada dalam sebuah putusan hakim

    bersamaan dengan adanya kepastian hukum karena orang-orang yang

    berperkara di pengadilan datang untuk mencari sebuah keadilan tidak

    hanya kemenangan dalam siding semata. Hakim sebagai pembuat

    keputusan tidak dapat hanya langsung mengambil dari Undang-Undang

    (hakim menjadi corong Undang-Undang) tapi hakim harus

    menggunakan perasaan dan hati nuraninya di dalam memutuskan

    sebuah perkara karena dengan adanya keadilan berbarengan dengan

    kepastian hukum maka hukum di Indonesia dapat ditegakkan dengan

    seadil-adilnya.

    Hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan,

    sehingga dalam penegakkan hukum hendaknya memberikan rasa

    keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya rasa keadilan itu

    sendiri bersifat subyektif dan individualistis.

    Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur

    Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah

    menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.

    3 Jimly Assiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia : Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana

    dalam Tradisi Hukum Fiqh dan relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan Hukum KUHP Nasional,

    Bandung:Angkasa, 1995 : 12

  • 63

    Berdasarkan landasan filosofis, menurut penulis penjatuhan pidana

    terhadap terdakwa kurang tepat. Unsur keadilan bagi terdakwa

    sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari Hakim dalam

    menjatuhkan putusannya tersebut. Setidaknya keadilan legal (legal

    justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social

    justice) tidak diperoleh terdakwa dalam kasus ini.

    Keadilan legal (legal justice) merujuk pada keadilan yang sesuai

    dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat dari peraturan perundang-

    undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang

    mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Akan

    tetapi adil tidaknya suatu peraturan perundang-undangan atau putusan

    hakim sangat pula ditentukan oleh representasi keadilan moral (moral

    justice) dan keadilan sosial (social justice), sebagai dua sudut pandang

    yang lain melihat keadilan itu sendiri. Dalam kasus anak nakal seperti

    dalam kasus yang diamati dalam penelitian ini, tampaknya kurang adil

    jika atas perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi pidana penjara,

    disaat masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang juga secara legal

    tercantum dalam peraturan perundan-undangan dalam hal ini khususnya

    Pasal 10 KUHP dan Pasal 24 ayat (1) UU No3 Th 1997 tentang

    Peradilan Anak.

    Keadilan moral (moral justice) tidak lain dari keadilan yang

    berdasarkan moralitas yang berbicara tentang baik dan buruk. Moralitas

    dapat dilihat dari berbagai sumber seperti kriminologi maupun

  • 64

    psikologi. Dari sisi kriminologi, seseorang yang tidak tunduk pada

    hukum (termasuk dalam terdakwa dalam kasus pencurian) bukan hanya

    karena ia tidak mengetahui peraturan perundang-undangan, tetapi juga

    karena faktor-faktor yang mempengaruhi dirinya. Salah satu

    argumentasi adalah bahwa seseorang bisa melanggar hukum karena

    lingkungan pergaulan mendorongnya untuk melakukan kejahatan.

    Dalam kasus anak nakal seperti dalam kasus yang diamati dalam

    penelitian ini, seringkali motif kejahatan yang dilakukan lebih

    disebabkan oleh faktor di luar diri anak, seperti pengaruh lingkungan

    pergaulan, keluarga, sekolah, hingga tuntutan gaya hidup di lingkungan

    pertemanan. Dengan demikian tampaknya kurang adil jika atas

    perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi pidana penjara, disaat

    masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang dapat lebih mendidik

    moral anak tersebut. Dari sisi psikologis, hakim semestinya perlu

    memiliki pemahaman terhadap psikologis anak, tidak saja pada saat

    anak melakukan suatu tindak pidana namun hakim juga harus

    memahami anak nakal dari suatu perspektif psikologi anak setelah

    dipidana. Persepsi hakim dalam memahami psikologis anak setelah

    anak tersebut dijatuhi pidana sangat perlu untuk diperhatikan. Perhatian

    ini berhubungan dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan terhadap

    anak setelah anak tersebut dipidana dari segi kejiwaan/ psikis. Jika

    hakim tidak memperhatikan perkembangan jiwa anak setelah

    menjalani pidana maka dikhawatirkan perkembangan jiwa anak tidak

  • 65

    semakin baik melainkan semakin buruk. Dengan demikian tampaknya

    kurang adil jika atas perbuatannya, terdakwa harus menerima sanksi

    pidana penjara, disaat masih ada pilihan bentuk sanksi tindakan yang

    tidak memberikan dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak

    tersebut.

    Terkait dengan keadilan sosial (social justice), hakim

    seharusnya menyadari bahwa ia tidak hidup di singgasana melainkan

    hidup bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya yang bersifat

    heterogen. Oleh karenanya sudah sepatutnya hakim wajib menggali

    nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dengan demikian hakim

    dalam menegakkan hukum positif dapat mewujudkan keadilan sosial,

    sehingga putusan hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi

    memberikan keadilan bagi kepentingan anak tersebut, juga kepada

    lingkungan sosialnya termasuk orang tua, wali atau orang tua asuhnya

    serta masyarakat sekitarnya. Putusan yang adil itu tentunya akan dapat

    mempengaruhi tumbuh kembang dari anak selaku terdakwa demi masa

    depan perkembangan intelektual, sosial dan emosionalnya. Dengan

    kata lain, putusan hakim yang memenuhi unsur keadilan sosial maka

    akan menjamin perlindungan hak anak tanpa mengesampingkan

    kepastian hukum, sehingga supremasi hukum tetap ditegakkan terhadap

    anak sehingga kelak ia bisa berguna bagi bangsa dan negara guna

    meraih tujuan bernegara yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat

    Indonesia. Dengan demikian dalam kasus pencurian yang dikaji dalam

  • 66

    penelitian ini, tampaknya kurang adil jika atas perbuatannya, terdakwa

    harus menerima sanksi pidana penjara, disaat masih ada pilihan bentuk

    sanksi tindakan yang dapat saja lebih mencerminkan unsur keadilan

    sosial.

    Penjatuhan pidana penjara yang kurang selektif atau

    mengabaikan asas ultimum remedium bertentangan dengan ketentuan

    ketentuan dalam The Riyadh Guidelines yang menyatakan bahwa

    pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan

    bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan

    perlindungan. Selain itu diperlukan pemahaman yang baik dari hakim

    akan filosofi pemidanaan anak. Jika filosofi pemidanaan anak

    dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi penjatuhan pidana

    penjara terhadap anak nakal dapat dieliminasi.

    Pada akhirnya, terkait dengan dasar filosofis ini alangkah

    baiknya jika hakim perlu mengingat bahwa penafsiran terhadap kaedah

    hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya

    keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan

    masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap

    adil oleh masyarakat dalam setiap kasus pidana di depan hakim. Ini

    biasanya terkait dengan situasi konkrit dan kondisi sosial setempat.

    Masyarakat tidak akan menilai menurut prinsip-prinsip abstrak sebagai

    dirumuskan hukum, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkrit

    terasa adil. Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim mempunyai

  • 67

    kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkrit dalam

    kasus yang dihadapi.

    Dapat saja putusan hakim sesuai dengan norma-norma hukum,

    tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan masyarakat.

    Dalam kondisi dan situasi demikian maka hakim hendaklah

    membebaskan diri pengaruh tekanan baik yang datang dari pemerintah,

    maupun pejabat pembuat undang – undang serta pada rasa keadilan

    yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa yang dirasakan adil menurut

    perasaan keadilan hakim itu sendiri.

    3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Proses Penjatuhan Pidana

    terhadap Anak pada Perkara No.08/PID.A/AN/2010/PN.SAL

    berdasarkan Tinjauan Sosiologis

    Nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi

    masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum

    harus memberi manfaat, hukum dibuat adalah untuk manusia, maka

    dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan

    keresahan dalam masyarakat.4

    Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar

    kemanfaatan dalam putusan hakim karena putusan hakim selain

    memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan juga harus bermanfaat

    bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada siapapun sehingga dapat

    4 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1991

  • 68

    dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan suatu perkara

    dalam materi yang sama (yurisprudensi).

    Dasar sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial

    mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana. Dasar

    pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap anak nakal ini,

    diperoleh dari laporan kemasyarakatan yang didapat dari BAPAS.

    Laporan kemasyarakatan ini berisikan mengenai data individi anak,

    keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial serta kesimpulan dari

    pembimbing kemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Pengadilan

    Anak, pembacaan laporan kemasyarakatan ini telah diatur dalam Pasal

    56 UU No3 Th 1997, sehingga laporan kemasyarakatan ini menjadi

    pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi. Faktor sosiologis ini

    menjadi juga menjadi dasar pertimbangan hakim akan pengaruh bentuk

    sanksi yang dijatuhkan di masa yang akan datang terhadap anak nakal,

    sehingga bentuk sanksi yang diambil akan dipertimbangankan matang-

    matang.

    Dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Nur

    Rohman bin Sugiyono, sebagaimana diketahui bahwa hakim telah

    menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu) bulan.

    Berdasarkan landasan sosiologis, menurut penulis penjatuhan pidana

    terhadap terdakwa kurang tepat. Hal ini terlihat dimana hakim bisa

    dikatakan kurang mempertimbangkan dengan baik hasil penelitian

    kemasyarakatan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

  • 69

    Kantor Wilayah Jawa Tengah Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

    Semarang terhadap terdakwa dalam mengambil keputusannya.

    Beberapa poin dalam hasil penelitian BAPAS Semarang yang dapat

    saja tidak dipertimbangan secara baik oleh hakim diantaranya: (a) klien

    tidak ditahan tetapi menjalani wajib lapor di Polsek Tingkir setiap hari

    Senin dan Kamis, (b) klien baru pertama kali berurusan dengan aparat

    penegak hukum, telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak

    mengulangi lagi, (c) motif klien mencuri PS2 karena ingin memiliki dan

    dipergunakan untuk bermain saja, (d) Orang tua berharap agar klien

    diberi keringanan hukuman.

    Dalam kenyataannya, anak pidana yang ditempatkan di lembaga

    pemasyarakatan dapat menimbulkan resiko yang besar bagi anak.

    Mengingat bahwa kondisi di Lembaga Pemasyarakatan, baik sarana

    dan prasarananya sangat kurang. Lembaga Pemasyarakatan menjadi

    tempat berkumpulnya para narapidana yang melakukan berbagai

    macam kejahatan. Dengan demikian, akan sangat berbahaya bagi anak

    nakal yang dikumpulkan menjadi satu di tempat seperti itu.

    Seharusnya, pemberian pidana penjara merupakan upaya

    terakhir atau ultimum remedium dan berorientasi pada kesejahteraan

    anak. Pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu pendek dapat

    memberikan dampak yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak

    yang harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Setidaknya

  • 70

    ada dua dampak buruk yang harus ditanggung anak sebagai dampak

    dari putusan pidana penjara yang diberikan oleh hakim, yaitu:

    1. Dehumanisasi

    Yaitu proses pengasingan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap

    mantan narapidana (anak). Dehumanisasi hakikatnya merupakan

    penolakan terhadap kehadiran seorang mantan narapidana baik secara

    psikis maupun secara sosiologis. Dengan demikian, dehumanisasi akan

    menempatkan mereka dalam keterasingan terhadap lingkungannya.

    2. Stigmatisasi

    Stigmatisasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat

    kepada mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya

    pidana perampasan kemerdekaan. Dalam konteks masyarakat,

    stigmatisasi tidak dapat dihindarkan, mengingat kultur masyarakat yang

    tidak begitu bersahabat dengan mantan narapidana. Stigmatisasi oleh

    masyarakat justru seringkali menjadi social punishment yang jauh lebih

    berat ketimbang pidana yang diberikan oleh lembaga pengadilan, sebab

    stigmatisasi biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama,

    bahkan seumur hidupnya.

    Melihat dampak negatif di atas, maka hakim yang diminta oleh

    UU Pengadilan Anak yang diyakini lebih memahami segala hal ikhwal

    anak, seharusnya tidak begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di

    dalam aturan positif Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir.

    Terkait kasus anak nakal, hakim sebaiknya harus lebih bijak melihat

  • 71

    bahwa putusan yang diberikan semata-mata memperhatikan

    kepentingan yang terbaik bagi anak sebagai asas yang mendasar yang

    berlau universal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal

    tersebut mengingat dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan

    yang dapat menghambat perkembangan fisik, psikis, dan sosial anak.