BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD...
Transcript of BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD...
49
BAB III
Hasil Penelitian dan Analisis
A. Hasil Penelitian
1. Duduk Perkara
Bachtiar Abdul Fatah (Pemohon) mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi didasarkan dengan alasan penetapan tersangka oleh Kejaksaan
Agung RI atas dirinya yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi
bioeremediasi PT. Chevron. Penetapan Tersangka tersebut, berdasarkan Surat
Panggilan Tersangka Nomor: SPT-1840/F.2/FD.1/09/2012. Menurut pemohon
penetapan tersangka terhadap pemohon secara jelas dan nyata tidak sah karena
pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, sedangkan
perhitungan kerugian negara belum dilakukan. Berdasarkan hal tersebut telah
menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due
process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 telah dirugikan. Dimana di dalam opening statement Pemohon
menyatakan sebagai berikut:
Meskipun kata-kata due process of law tidak ditemukan dalam Magna
Carta, namun piagam ini yang umumnya dipandang sebagai cikal bakal Due
Process of Law. Sebagaimana kita pahami dari catatan sejarah bahwa due
process of law ini diadopsi sebagai perjanjian pribadi antara Raja John dan para
baron yang melakukan pemberontakan pada tahun 1215. Keadaan inilah yang
menimbulkan pengertian bahwa Magna Carta adalah simbol dari perjuangan
melawan kekuasaan sewenang-wenang, yang pada awalnya diperjuangkan
oleh raja-raja kecil, dan merupakan simbol kekal perlawanan yang sukses
dalam melawan kekuatan kerajaan.
Dengan mengutip pendapat Simon Schama dalam bukunya A History of
Britain, Andrew Young dalam tulisannya “The Forgotten Spirit of the Magna
Carta” menyatakan bahwa Magna Carta, "bukan akta kelahiran kebebasan"
dalam tradisi retoris dari Deklarasi Kemerdekaan. Namun, itu "adalah sertifikat
50
kematian despotisme". Ini, untuk pertama kalinya, Raja Inggris ditempatkan di
bawah aturan hukum. Misalnya, menghilangkan kekuasaan raja untuk
menangkap rakyatnya sewenang-wenang, sekarang, Raja harus mengakui
habeas corpus, harus mengakui hak manusia untuk untuk mendapatkan proses
hukum dalam masalah penahanan.
Magna Carta sebagai perjanjian bukan hanya memberikan perlindungan
kepada bangsawan, tetapi kepada semua orang, dimana dinyatakan bahwa
semua orang tidak dapat dipenjarakan atau diasingkan, direbut kebebasannya
tidak dengan proses hukum atau atas nama hukum, kecuali dengan proses
hukum yang dilakukan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Berdasarkan proses peradilan biasa dengan diberikan kepadanya hak untuk
membela diri dan menyampaikan bukti sesuai dengan prosedur hukum.
Dengan demikian maka Magna Carta adalah kesepakatan yang luar biasa
dalam membatasi kekuasaan penguasa termasuk negara dalam satu proses
hukum, sebab negara bukanlah hukum, meskipun negara dapat membuat dan
menciptakan hukum.
Tentu bagi kita, bukan persoalan melawan kekuasaan yang sewenang-
wenang itu yang perlu disampaikan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang
mulia. Yang perlu disampaikan bahwa proses hukum itu harus dilakukan sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur itu adalah cara yang benar
dalam satu proses. Sehingga kalau dibicarakan perlindungan hukum dalam satu
proses hukum atau yang dikenal secara luas sebagai Hukum Acara, maka
perlindungan itu tidak bermakna sebagai pedoman atau cara yang sah untuk
melindungi pelaku kejahatan untuk menghindar dari tangan hukum.
Secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka,
terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh
hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan
penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan
perlakuan antara yang kaya dan yang miskin. Inilah yang dianut oleh Hukum
Acara Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegaiatan mengumpulkan bukti
yang akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan
tersangka. Sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan acak,
karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang
kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan
cara yang baik dan benar.
Sebagaimana dipahami hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur
dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses
penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan motode yang baku
untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses
hukum berlangsung. Pada hakikatnya hukum acara pidana adalah aturan
hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh
aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Secara
khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan
hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai
penyelidikan, penyidikan, proses peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau
eksekusi. Karena senyatanya hukum acara itu menerapkan standar proses
hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan keadilan itu sendiri.
51
Dalam negara yang menganut demokrasi, hukum tidak digunakan untuk
memberangus keadilan yang seharusnya ditegakkan dan dipelihara, atau untuk
membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya dijunjung tinggi.
Hukum tidak boleh digunakan untuk melakukan kekejian, sehingga
perampasan seperti menjadi hak, serta penegakan kebenaran diangap sebagai
kejahatan. Hukum acara pidana justru lahir sebagai bentuk pengejawantahan
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga
ketentuan- ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus
sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan
terhadap hak asasi manusia, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan
bahwa pembatasan tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Dengan kata lain, Hukum Acara itu bukan untuk memanjakan orang yang
diduga bersalah, tetapi adalah untuk melindungi orang tidak bersalah dari
ancaman hukuman, sebab perlindungan terhadap orang diduga bersalah atau
terdakwa yang menjalani proses hukum pada hakikatnya sebagai kebajikan
pendekatan dalam proses hukum, karena lebih baik membebaskan seribu orang
bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah dan menderita
secara tidak adil. Perlindungan yang diberikan oleh hukum acara pidana ini
termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak
masuk di akal dan menjurus pada unfair prejudice atau penyitaan terhadap
barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan
penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang
memihak (unlawful legal evidence); Dalam suatu proses hukum, aparat
penegak hukum diberi kewenangan untuk menegakkan hukum kepada siapa
saja yang disangka melanggar hukum. Tidak ada perbedaan apakah pelanggar
hukumnya pejabat negara atau warga negara biasa. Meskipun demikian, negara
hanya dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan
suatu tindak pidana berdasarkan batas- batas atau bukti-bukti yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang.
Namun pada sisi lain, ada kewajiban dari negara, terutama Pemerintah
untuk memberikan perlindungan kepada warganegaranya. Perlindungan yang
harus diberikan ini harus dilakukan dengan memegang teguh keadilan, karena
melindungi orang bersalah sekalipun adalah lebih penting daripada
memberikan basa-basi prosedural. Sebagimana dikatakan oleh Gustav
Radbruch, bahwa jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk
melindungi kepentingan rakyat, maka undang-undang seperti ini adalah cacat
secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada
perinsipnya untuk menegakkan keadilan.
Issue tanggung jawab negara terutama Pemerintah untuk melindungi
warga negaranya, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (4) tidak dapat
dialihkan kepada hakim sebagai pelaksana Undang-Undang. Akan menjadi
sangat naif, jika negara dan pemerintah gagal dalam melaksanakan tanggung
jawab mereka untuk melindungi warga nagaranya, kemudian tanggung jawab
itu dialihkan kepada hakim untuk memberi perlindungan. Pergeseran tanggung
jawab negara dan pemerintah tersebut, jika itu terjadi, pada akhirnya berfungsi
untuk melemahkan kebebasan yang diberikan oleh UUD, sebab pergerseran
52
tanggung jawab tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dari
masing-masing hakim, yang akan berujung pada tidak adanya kepastian
hukum. Pelimpahan tanggung jawab melindungi warga negara dari
kesewenang-wenangan dalam proses hukum akan sangat berbahaya, bila
dilimpahkan sepenuhnya kepada hakim tanpa ada patokan dan atau tolok ukur
yang diatur secara ketat oleh hukum acara. Pada hakikatnya hukum acara,
termasuk hukum acara pidana, secara spesifik adalah sebagai sarana
memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dan hal tersebut
bukanlah merupakan kebajikan dari penyidik, penuntut umum, atau hakim
dalam proses hukum.
Oleh karena hukum acara itu bukan sebagai kebajikan, maka pelaksanaan
dan kontrol terhadap hukum acara pidana itu harus dilakukan secara ketat dan
pasti, sebab perlindungan terhadap hak seorang tersangka atau terdakwa
bukanlah merupakan kebijakan yang diberikan oleh penyidik, penuntut umum
atau hakim, tetapi adalah hak dasar yang diberikan oleh UUD. Ketika hak-hak
dasar yang diberikan oleh UUD dasar tersebut dapat diberikan interpretasi
sesuai dengan kepentingan penafsir yaitu penyidik, penuntut umum atau
hakim, maka pada saat yang sama ada kewajiban dari Mahkamah untuk
meluruskan aturan hukum yang dapat diberi interpretasi tersebut, dengan
memberikan tafsir yang konstitusional. Ketika Mahkamah membiarkan adanya
tafsir sesuai kebutuhan pemberi tafsir dan penilaiannya diserahkan kepada
hakim yang beragam opininya, maka pada saat yang sama sebenarnya telah
terjadi pelanggaran hak asasi manusia melalui pembiaran.
Dari apa yang dikemukan di atas, maka pada hakikatnya permohonan
pengujian sejumlah pasal KUHAP yang dilakukan oleh Pemohon, karena
pasal- pasal yang diuji telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, jika
tidak diberi tafsir yang jelas atau batasan yang pasti akan menjadi sarana
pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas nama penegakan hukum yang
akan terjadi terus menerus. Undang-Undang Dasar sangat menjunjung tinggi
hak asasi manusia, karena manusia sangat berharga dan melebihi segalanya.
Dalam pada itu hukum itu untuk mengatur manusia agar hak-haknya
terlindungi, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi, karena hukum itu bukan
untuk merendahkan harkat dan martabat manusia.1
2. Pokok Permohonan
a. Bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan
yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta
pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil.
b. Bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diinterpretasikan dan diberi
makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai
tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut Pemohon penyidikan
bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya
1 Duduk perkara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 2-6.
53
tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan
syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang
syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil
mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.
c. Bahwa Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1)
KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat
(5) UUD 1945 karena terdapat makna multitafsir sehingga dalam
penegakannya menimbulkan ketidakpastian hukum.
d. Frasa 'bukti permulaan' Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya sebatas
dalam Pasal 184 KUHAP tetapi juga meliputi barang bukti dalam
pembuktian universal atau physical evidence/real evidence.
e. Frasa 'bukti permulaan yang cukup' Pasal 17 KUHAP menimbulkan
perdebatan terkait dua alat bukti, yaitu secara kualitatif atau
kuantitatif. Secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada
dalam Pasal 184 KUHAP. Secara kuantitatif, dua orang saksi sudah
dihitung sebagai dua alat bukti.
f. Frasa 'bukti yang cukup ' Pasal 21 KUHAP mengenai harus ada dua
alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi. Artinya,
'bukti yang cukup' juga merujuk pada minimum dua alat bukti atas
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak
pidana.
g. Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) KUHAP
harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat
sepanjang frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan
'bukti yang cukup' harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti
secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi.
h. Pasal 77 huruf a KUHAP melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 karena konsep praperadilan yang terbatas pada
memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi
Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
i. Bahwa Pasal 156 ayat (2) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat diinterpretasikan tanpa
batasan yang jelas oleh hakim yang memeriksa perkara setelah
memberikan putusan sela.
j. Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan asas legalitas dan
asas peradilan yang cepat. Perlawanan atas penolakan terhadap
keberatan terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh ditafsirkan
harus dilakukan secara bersama-sama dengan banding. Saat berkas
perkara dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, maka persidangan
harus dihentikan dan hakim wajib mengabulkan perlawanan yang
54
dilakukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya.2
3. Pertimbangan Mahkamah
“KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di
Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai
pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun
demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar
terprnuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum
pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik
maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup”, dan “bukti yang cukup”, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1
angka 14, angka 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP
tidak memberikan penjelasan mengenai Batasan jumlah dari frasa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. berbeda
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas Batasan jumlah alat bukti, yaitu
minimal dua alat bukti, seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 ayat (2) yang
menyatakan, “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.…dst.” Satu-satunya pasal yang
menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan, “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti….dst.”
Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut menurut
Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa
dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus
ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap
tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa
kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan
tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak
diperlukan pemeriksaan calon tersangka.
Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan
pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di
atas, adalah untuk tujuan tranparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar
sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan
keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah
ditemukan oleh penyidik. Sehingga dapat dihindari adanya tindakan sewenang-
wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu
2 Pokok Permohonan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal.
69-70.
55
dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan
seseorang menjadi tersangka.3
Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai
berikut :
a. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraph [3.14]
bahwa Pasal 1 angka 3 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai
salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses
peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua
pihak terutama bagi Lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan
hak asasi manusia tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang
seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam
proses peradilan, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana
dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara
terutama Pemerintah, berkewajiban memberikan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [Vide: Pasal 28I
ayat (4) UUD 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses
peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak
tersangka/terdakwa sebagai perlindungan terhadap kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia;
b. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakan demi terciptanya
tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan
pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 alinea keempat, yaitu membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Rakyat Indonesia harus merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya
yang dating, rasa aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak
hanya ditujukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka
yang melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman
terhadap diri mereka
c. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau
terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat,
martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dalam rangka
melindungi tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan mekanisme
kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau
penuntut umum melalui pranata peradilan.
d. Berkenaan dengan kebebasan seseorang dari tindakan penyidik,
International Covenant on Civil and Political Rights yang telah
3 Lihat, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014.
56
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Menyatakan
dalam Article 9:
1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall
be subjected to arbitrary arrest of detentiton. No one shall be
deprived of his liberty except on such grounds and in accordance
with such procedure as are established by law
2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of
the reasons for his arrest and shall be prompty informed of any
charges against him
3. Anyone arrested of detained on a criminal charge shall be brought
promptly before a judge or other officer authorized by the law to
exercise judicial power and shall be entitled to trial within a
reasonable time or to release it shall not be the general rule that
persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may
be subject to guarantees to appear for trial at any other stage of the
judicial proceedings, and should occasion arise for execution of the
judgement.
4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be
entitled to take proceedings before a court, in order that court may
decide without delay on the lawfulnessof his detention and order his
release if the detention is not lawful.
5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall
have an enforceable right to compensation”.
e. bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, pertanyaan yang harus dijawab
oleh Mahkamah adalah apakah selain yang ditetapkan dalam Pasal 77
huruf a KUHAP seperti penetapan tersangka dapat dijadikan objek
praperaridan?
f. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP menentukan bahwa
praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang
berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaas yang berkepentingan demi tegaknya
hukum dan keadilan dan;
3. Permintaas ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
g. KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan
penetapan tersangka oleh penyidik karena kuhap tidak mengenal
mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak
menerapkan prinsip pengecualiaan (exclusionary) atas alat bukti yang
diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat….”
h. Bahwa hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk
pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan
hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia,
57
sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai
bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, pada perjalanannya
ternyata Lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal
karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-
ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan oleh pranata praperadilan
hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan
pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif,
sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal ini justru
menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat
formal sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat
keberadaan pranata praperadilan.
i. Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan
tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional
dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan
penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah
mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu
bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan
oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada
seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang
tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa
tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk
menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka
tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan
kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin
kompleks maka hukum perlu lebih sempurna (Shidarta, 2013). Dengan
kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak
hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
j. Bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakan dan
dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan
perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam
pemeriksaan penyidikan dan penuntutan (Vide: pertimbangan hukum
Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei
2012, juncto putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XI/2013,
bertanggal 20 Februari 2014), serta dengan memperhatikan nilai-nilai
hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka
setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-
hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan
perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal tersebut
dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77
huruf a KUHAP. Padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-
wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi
seseorang. Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur
tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Sementara itu,
penyidikan itu sendiri mencara serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
58
k. Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan
benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun
permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dialkukan secara ideal
dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka
memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah
dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD
1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuakn
yang sama dihadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah
bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak
asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik
merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ihktiar
hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi
seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan
besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,
padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata
lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.
Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian
diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak
menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat
dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku
secara ideal dan benar. Dimasukannya keabsahan penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang
dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan
hukum.4
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah, dalil
pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh
pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.
4. Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal
17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang
4 Lihat, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014.
59
termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana;
1.2 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal
17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah
minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya. 5
5 Amar Putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
60
B. Analisis
Kondisi saat ini dalam penegakan hukum pidana sering terjadi adanya
tindakan sewenang-wenang dari penyidik dimana bertindak tidak secara ideal
dan benar. Dengan melihat bahwa banyaknya fakta di dalam penegakan hukum
yang terjadi saat ini yang dimana seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka
terlebih dahulu barulah kemudian dicarikan alat bukti guna membuat terang
tindak pidana, hal ini merupakan tindakan sewenang-wenang yang dimana dapat
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sebagai akibat dari
prosedur dan aturan dalam penegakan hukum yang diterapkan tidak secara ideal
dan benar. Seharusnya dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum harus
bertindak secara profesional dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian serta
menegakan hukum sesuai dengan prosedur dan aturan yang sudah diatur di
dalam KUHAP dan sejalan dengan prinsip yang dianut dalam sistem penegakan
hukum di Indonesia yaitu due process of law yang seharusnya digunakan sebagai
perwujudan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.
Dari Pertimbangan hakim dan Putusan yang tersebut diatas ada beberapa
hal yang penulis dapati dari apa yang dipertimbangankan oleh hakim Mahkamah
Konstitusi dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, yakni:
1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu
perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi
lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah,
berkewajiban memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
61
terhadap HAM dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah
hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan, khususnya bagi
tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara
seimbang.
Secara Etimologis, istilah negara berasal dari bahasa Inggris (state),
Belanda (staat), Italia (e’tat), Arab (daulah). Kata staat berasal dari kata Latin,
status atau statum yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri, membuat berdiri,
menempatkan diri.6
Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara
negara di satu pihak dan hukum di pihak lain. Tujuan negara adalah untuk
memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara
membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan
melalui otoritas negara.7
Konsep negara hukum secara garis besar berkembang dalam dua sistem
hukum, yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah rechtsstaat dan sistem
Anglo-saxon dengan istilah Rule of law. Konsep negara hukum Eropa
Kontinental (rechtsstaat) di pelopori Frederich Julius Stahl, yang diilhami oleh
pemikiran Immanuel Kant. Menurut stahl, unsur-unsur negara hukum adalah
sebagai berikut:
a. perlindungan hak-hak asasi manusia
b. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
c. pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. peradilan administrasi dalam perselisihan.8
Adapun konsep negara hukum pada wilayah Anglosakxon (rule of law)
yang dipelopori oleh A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalua melanggar hukum;
6 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung : Refika Aditama,
2011),hal. 23 7 Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum (Bandung : Alumni , 1973),hal. 20 8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi, Cet.8, Jakarta: Rajawali Press, 2013,
hal. 3.
62
b. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the
law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan
c. terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.9
Dari kedua sistem hukum tersebut sama-sama mengakui perlindungan dan
menjamin hak-hak asasi manusia, karena tidak terlepas dari falsafah dan sosio
politik yang melatar belakanginya, terutama falsafah individualisme, yang
bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh kehendak
bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa. Kedua
sistem hukum ini memiliki perbedaan yang mendasar pada pembangunan sistem
peradilan pidananya.
Sistem peradilan pidana Anglosaxon dan Eropa Kontinental memunculkan
metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda, yaitu sistem Accusatoir
dan sistem Inquisitoir. Sistem accusatoir yaitu sistem dimana tersangka
dijadikan sebagai subjek yang berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap
dari proses peradilan dan juga berhak mengajukan sanggahan. Sistem accusatoir
menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu
keadaan di mana masing-masing pihak pada sistem peradilan yang berperkara
dalam posisi yang bertentangan dengan memberikan kesempatan yang sama
kepada tertuduh dan penuntut umum untuk mengajukan argumentasi disertai
bukti penunjangnya.10
Sedangkan sistem inquisitoir adalah sistem dimana tersangka dijadikan
sebagai objek, satu-satunya tujuan pemeriksaan pada sistem ini adalah untuk
memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka karena di dalam praktiknya,
sering kali tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau
kesalahannya. Petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka
melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh pengakuan, serta selama
pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh atau tersangka tidak dihadapkan ke
muka sidang pengadilan secara terbuka, karena dalam kenyataannya,
pemeriksaan terhadap tertuduh atau tersangka dilaksanakan secara tertutup
bahkan dilakukan secara rahasia. Selama penyelesaian perkara berlangsung,
tertuduh atau tersangka tidak berhak didampingi oleh pembela.11
9 Ibid. 10 Ibid., hal. 43-44. 11 Ibid., hal. 40.
63
Due process model lebih cenderung mengarah pada adversary system (atau
yang lebih dikenal dengan accusatorial system) yang menganggap tersangka
atau pelaku tindak pidana bukan sebagai objek melaikan sebagai subjek, yaitu
manusia yang mempunyai harkat dan martabat, dan kedudukan yang sama
dihadapan hukum. Proses merupakan suatu arena rangkaian bagaimana dapat
melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan mengadili serta
mempersalahkan pelaku kejahatan sesuai dengan norma-norma atau aturan-
aturan yang berlaku. Melalui asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence) yang dianut oleh due process model, seseorang baru dapat dinyatakan
bersalah oleh suatu otoritas yang sah melalui peradilan.
Due Process Model sendiri merupakan model sistem peradilan pidana yang
menekankan seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus yang sedang
diselesaikan harus diperoleh melalui prosedur formal yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Dalam model ini, setiap prosedur adalah penting dan tidak
boleh diabaikan. Setiap prosedur harus dilakukan melalui suatu tahapan
pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan,
penyitaan dan peradilan. Dengan cara ini, diharapkan seseorang tersangka yang
nyata-nyata tidak bersalah dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan
melakukan kejahatan.12
Presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) merupakan tulang
punggung dari due process model. Konsep ini didasarkan pada “the concept of
primacy of the individual and complementary concept og limitation on official
power atau individu berpotensi menjadi sasaran penggunaan kekerasan dari
negara. Sistem Peradilan Pidana model ini harus diarahkan guna mengontrol dan
mencegah penguasa dari exploitasi dan efisiensi yang maksimal. Dengan kata
lain, titik perhatian dari model ini adalah melindungi individu yang bersangkutan
dalam proses pidana dari kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dari negara.13
Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan formal
ajudicative dan adversary fact finding, hal ini berarti dalam setiap kasus,
tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa
serta tersangka juga memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan
pembelaannya; menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh
mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan; proses peradilan harus
dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum,
12 Ibid., hal. 78. 13 Ibid.
64
karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk
menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.14
Penulis setuju dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa
Indonesia adalah negara hukum dengan asas due process of law sebagai salah
satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi
lembaga penegak hukum dengan penjelasan yang telah penulis kemukakan
diatas. Maksud dari penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangannya menurut penulis agar para penegak hukum harus bertindak
sesuai dengan prosedural formal dalam sistem peradilan pidana yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Ketika undang-undang tersebut lewat tindakan
aparat penegak hukum mencederai hak konstitusional warga negara dalam
proses penegakan hukum disinilah celah dimana warga negara dapat
mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, dengan adanya
pengajuan judicial review terlihat jelas bahwa peran negara amat penting dalam
memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara serta penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Hal ini menurut penulis juga merupakan faktor
yuridis-filosofis dalam putusan ini karena unsur utama negara hukum yang
diadopsi dalam UUD 1945 meletakan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki
hak asasi, yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk negara, untuk
menghormatinya. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan
perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan serta penghormatan terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM). Pada dasarnya memasukan penetapan tersangka
14 Ibid., hal. 79.
65
sebagai objek praperadilan dengan penegasan asas due process of law sebagai
perwujudan hak asasi manusia adalah tepat karena konsep due process of law
didasarkan pada individu berpotensi menjadi sasaran penyalahgunaan kekuasaan
dari negara khususnya penegak hukum, oleh sebab itu setiap prosedur adalah
penting dan tidak boleh diabaikan, karena titik perhatian dari due process of law
adalah untuk melindungi individu yang bersangkutan dalam proses pidana dari
kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan dari negara.
2. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya dan
terealisasinya tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
termaktub dengan jelas dalam alinea ke empat UUD 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur (accusatoir), yaitu
tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai
harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimata hukum.
Indonesia sendiri dalam pemberlakuan KUHAP pada tahun 1981 sudah
menegaskan dan kembali lagi ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa
sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau
terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat,
dan kedudukan yang sama dimata hukum.
66
Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik
peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau
terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum.
Dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan kembali
menegaskan bahwa sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur karena
sudah seharusnya tersangka atau pelaku tindak pidana tidak dianggap sebagai
objek melainkan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat dan martabat,
dan kedudukan yang sama dihadapan hukum yaitu berhak mengetahui dan
mengikuti setiap tahap proses peradilan, dan juga berhak mengajukan sanggahan
atau berargumentasi (mengajukan pembelaan bagi dirinya sendiri). Terlepas dari
kesalahan dan tindak pidana yang dilakukannya, proses pidananya harus berjalan
sesuai dengan prosedural yang berlaku yang diatur di dalam undang-undang.
Dari sini dapat dilihat Mahkamah Konstitusi sangat konsisten dalam
melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan perlindungan dan pemajuan hak
asasi manusia.
4. KUHAP tidak memiliki check and balances system atas tindakan penetapan
tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian
atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian
(exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika
Serikat.
Perluasan objek praperadilan dengan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan juga merupakan penyeimbang dalam hal adanya benturan antara
67
hak-hak individu dengan kekuasan negara, dalam hal ini lembaga penegak
hukum, untuk dapat menilai bahwa apakah benar-benar seseorang yang
ditetapkan sebagai tersangka pada prosesnya sudah dilakukan secara ideal dan
benar sesuai dengan proses dan tahapan yang telah diatur di dalam undang-
undang. Namun apabila tidak dilakukan secara ideal dan benar serta tidak sesuai
dengan proses dan tahapan yang telah diatur di dalam undang-undang yaitu
proses penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti (minimal 2 (dua)
alat bukti yang termuat di dalam Pasal 184 KUHAP), yaitu: “keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”, berdasarkan amanat
putusan MK No.21/PUU-XII/2014, membuat terang tindak pidana yang terjadi,
menemukan tersangkanya, dapat diajukan kepada lembaga praperadilan, sebagai
lembaga yang berhak menilai dan juga sebagai penyeimbang hak untuk dapat
mewujudkan check and balances antara hak-hak individu dengan kekuasaan
negara, khusunya lembaga penegak hukum.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Dimana
mengamanatkan penetapan tersangka dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana
yang dipersyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP. Pemeriksaan permohonan
praperadilan penetapan tersangka tidak hanya mempersyaratkan kecukupan 2
(dua) alat bukti, akan tetapi juga mempersyaratkan sah tidaknya alat bukti
tersebut terkait dengan cara memperolehnya dan relevannya dengan perkara
yang sedang di proses. Dalam konteks demikian menurut penulis hal ini dapat
mendorong berlakunya tiga parameter pembuktian yang dapat menjadi standar
untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, yaitu:
68
a. Bewijs minimum, ialah jumlah alat bukti minimum sehingga seseorang
layak ditetapkan sebagai tersangka. Wajib adanya, penyidik harus
memiliki 2 (dua) alat bukti sebelum melakukan penetapan tersangka.
b. Bewijsvoering, ialah suatu keadaan hal mana mempersyaratkan bahwa
dari 2 (dua) alat bukti tersebut diperoleh oleh penyidik secara sah. Bukan
alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah (unlawfull legal
evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara illegal atau bukti yang
ternodai (tainted evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara
melawan hukum (exclusionary rules).
c. Bewijskracht, ialah kuat atau relevannya alat bukti sehingga ada
hubungannya dengan dugaan tindak pidana terhadap perkara yang
sedang di proses.
5. Hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk
pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang
terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada
zamannya aturan praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya
KUHAP. Namun, pada perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat
berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang
ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan lembaga praperadilan hanya
bersifat post facto sehingga tidak sampai pada hasil penyidikan dan
pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif,
sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal ini justru
menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal
69
sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata
praperadilan.
Diputuskannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat di dalam Pasal 184 KUHAP
melalui putusan Mahkamah Konstitusi, dimana juga memeriksa pokok perkara
yang terkait keabsahan alat bukti (hasil penyidikan), disini terlihat jelas pasca
putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, tidak murni lagi hanya
memeriksa persoalan formil (administrasi) saja, tetapi juga sudah masuk pada
wilayah materi perkara.
Penulis mengatakan demikian, karena tidak mungkin pemeriksaan
praperadilan dengan alasan sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak masuk
materi perkara, sementara yang menyebabkan seseorang menjadi tersangka
adalah adanya 2 (dua) alat bukti. Dilihat dari sisi keadilan, ini merupakan suatu
keputusan yang adil, karena sebagai negara hukum hal yang paling utama adalah
melindungi kepentingan individu (unsur subjektif) yang dilihat dari proses
penyidikannya apakah sudah dilakukan sesuai dengan prosedurnya, seringkali
penyidik langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka terlebih dahulu
tanpa melewati proses penyidikan yang benar yaitu mencari dan mengumpulkan
bukti (sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP)
sesuai dengan amanat Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, guna membuat terang
tindak pidananya, untuk menemukan tersangka atau pelakunya. Dengan
dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan fungsi lembaga
praperadilan juga akan menilai unsur subjektif (individu) terhadap penetapan
tersangka oleh penegak hukum, bukan hanya soal formal (administrasi) yang
70
mengedepankan unsur objektif. Dengan begitu dalam menghadapi proses
peradilan pidana individu-individu dapat terhindarkan dari tindakan
kesewenang-wenangan dari negara, khususnya penegak hukum dalam
melaksanakan penegakan hukum.
6. Pada saat KUHAP di berlakukan Pada Tahun 1981 penetapan tersangka
belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai
perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan
tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian
label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas,
sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status
tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum
untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut.
Untuk itu prinsip kehati-hatian haruslah di pegang teguh oleh penegak hukum.
Terhadap hal ini penulis melihat ini merupakan faktor sosiologis dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan melihat dinamika yang terjadi di tengah
masyarakat dengan terjadi polemik mengenai penetapan tersangka yang
memang belum diakomodir dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penegakan hukum selalu berkaitan dengan
kehidupan dalam masyarakat, karena penegakan hukum tidak lain merupakan
pengontrolan terhadap tingkah laku manusia yang dianggap menyimpang atau
berlawanan dengan prinsip-prinsip atau ide yang sebelumnya disepakati atau
disetujui oleh masyarakat pendukungnya. Termasuk didalamnya ada
kesepakatan agar prosedur penegakan hukum menjamin hak-hak dan kewajiban
71
kepada masyarakatnya yang telah dituangkan dalam undang-undang.
Pengontrolan terhadap tingkah laku masyarakat harus diimbangi dengan
tersedianya lembaga untuk menguji legalitas serta kemurnian seseorang
ditetapkan sebagai tersangka yaitu lembaga praperadilan dengan penetapan
tersangka sebagai salah satu objeknya untuk menjawab problematika dalam
kehidupan masyarakat yang terjadi di dalam penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma
peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat
lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus
menegakan keadilan dan penegakan hukum yang bermanfaat. Berkaitan dengan
perluasan objek penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem
peradilan pidana terpadu yang terdiri dari lembaga-lembaga penegak hukum,
yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Sebagai suatu sistem harus adanya koordinasi yang tercipta satu sama lain secara
efisien dan efektif, dengan begitu akan tercipta saling pengertian satu sama lain,
saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang
berbeda. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban yang
diberikan oleh undang-undang akan menimbulkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap pelaksana undang-undang, sehingga menimbulkan
perpecahan (disintegrasi) karena hukum dianggap tidak berfungsi.
Apabila hukum tidak lagi berfungsi bukan tidak mungkin kesatuan
masyarakat akan terganggu oleh karena masyarakat meragukan hukum sekaligus
meragukan lembaga maupun penegak hukum karena melakukan tugas dan
wewenangnya tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur di dalam undang-
72
undang. Untuk itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar
dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar, menggunakan
wewenangnya sesuai dengan prosedural yang sudah diatur di dalam undang-
undang. Agar sistem peradilan pidana terpadu dapat terlaksana dengan baik
sesuai dengan prinsip negara hukum dengan asas due process of law sebagai
perwujudan perlindungan hak asasi manusia dan juga merupakan salah satu
syarat atau ciri negara hukum adalah adanya perlindungan dan pemajuan hak
asasi manusia.
7. Tujuan yang hendak ditegakan dan dilindungi dalam proses praperadilan
adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan dengan
memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan
hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, dikarenakan
adanya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
Mahkamah Konstitusi diberikan fungsi utama utama untuk melakukan
pengujian konstitusionalitas undang-undang, dengan dua tugas pokok. Dua tugas
pokok yang Mahkamah Konstitusi harus jalankan dalam Pengujian
Konstitusionalitas, yaitu:
Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan
perimbangan peran antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
73
Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara sehingga merugikan hak-hak
fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh konstitusi.
Mahmakah Konstitusi sebagai lembaga yang mempunyai tugas untuk
melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) didasarkan atas ide-
ide negara hukum sebagai perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dalam
rangka melindungi setiap individu warga negara terhadap penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga negara, khususnya lembaga penegak hukum, sehingga
merugikan hak-hak fundamental individu-individu yang dijamin oleh konstitusi.
Khususnya dalam hal penyelesaian proses pidana, dengan bunyi pasal-pasal
dalam KUHAP ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, yakni, para
penegak hukum bertindak sewenang-wenang, tidak mengikuti prosedural yang
sudah diatur di dalam undang-undang, prinsip kehati-hatian sering tidak
digunakan oleh para penegak hukum dalam proses penyelesaian peradilan
pidana. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh lembaga penegak hukum dalam
melakukan proses penegakan hukum.
8. Apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka
tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun, permasalahannya adalah
bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar. Oleh karena penetapan
tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan
terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik
merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ihktiar hukum
pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari
tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi
74
ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya
ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan
yang dapat memeriksa dan memutusnya. Dimasukkannya keabsahan penetapan
tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap
seeorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang
mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Kondisi saat ini dalam penegakan hukum pidana sering terjadi tindakan
sewenang-wenang dari penyidik dimana bertindak tidak secara ideal dan benar.
Oleh sebab itu, semua usaha polisi atau jaksa untuk dapat menghukum seseorang
atau terdakwa hanya dapat dilakukan melalui proses pengadilan. Didalam
pelaksanaannya, selalu timbul hambatan yang dapat menggagalkan seluruh
proses bahkan menyampingkan tujuan pidana itu sendiri. Dengan melihat
banyaknya fakta di dalam penegakan hukum yang terjadi dimana seseorang telah
ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukan proses
penyidikan menemukan alat bukti, dan sebelum terang tindak pidananya.
Terkait dengan hal ini penulis melihat dalam putusan
Nomor:97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel dalam perkara permohonan praperadilan
yang diajukan oleh Setya Novanto, beramat di Jalan Wijaya XII No. 19,
RT.003/RW.003, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK
(Termohon), Setya Novanto (Pemohon) tidak setuju dengan penetapan tersangka
atas dirinya sehingga mengajukan permohonan praperadilan dengan alasan, pada
tanggal 17 Juli 2017 dikeluarkan SPRINDIK dengan No. Sprin.Dik-
56/01/07/2017 yang diikuti dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan
75
Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berisi tentang penetapan Pemohon sebagai
tersangka. Pemohon baru menerima SPDP tersebut dari Termohon, pada tanggal
18 Juli 2017 pukul 19.00 WIB, itu berarti penetapan Pemohon sebagai tersangka
oleh Termohon dilakukan sebelum Termohon melakukan proses penyidikan,
yaitu tanpa terlebih dahulu memeriksa saksi-saksi dan alat bukti lainya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Dengan kata lain Termohon
menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa melalui proses penyidikan.
Didalam SPDP tersebut, disebutkan Pemohon diduga melakukan tindak pidana
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 UU TIPIKOR jo. Pasal 55 ayat
(1) KUHP.
Terkait tuduhan Termohon terhadap Pemohon bersama-sama melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR, jelas
merupakan tuduhan yang tidak berdasar hukum. Alasan Termohon menetapkan
status Pemohon sebagai tersangka adalah karena Pemohon dianggap melakukan
tindak pidana korupsi bersama- sama dengan Terdakwa Irman dan Sugiharto
dalam perkara E-KTP yang teregister dengan No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST. Namun faktanya dalam Putusan No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST tersebut, nama Pemohon tidak disebut dan
bahkan tidak masuk dalam pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa
perkara tersebut sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana.
Sehingga sangat mengada-ada dan tidak berdasar apabila Pemohon dituduh
bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Naronggong, Irman dan
Sugiharto melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) subsidair Pasal 3 UU TIPIKOR jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu
76
jelas penetapan PEMOHON sebagai tersangka yang disebutkan dalam SPDP
tersebut di atas yang dikeluarkan oleh Termohon terhadap diri Pemohon hanya
berdasarkan asumsi dan meminjam alat bukti perkara orang lain in casu adalah
Perkara No. 41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST, atas nama Terdakwa Irman
dan Sugiharto, sehingga cacat hukum, karena secara yuridis alat bukti dalam
perkara orang lain tidak boleh dipergunakan untuk membuktikan perkara yang
lain lagi.
Penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang dilakukan berdasarkan
temuan dalam proses penuntutan perkara orang lain (perkara No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Irman dan
Sugiharto), bahkan dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka, Termohon
tidak membedakan mana yang merupakan barang bukti dan mana yang termasuk
alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, hal
tersebut jelas keliru dalam menerapkan alat bukti, karena di samping keterangan
para saksi yang saling bertentangan/ tidak sinkron antara satu dengan yang lain,
alat bukti tersebut hanya berlaku untuk pembuktian dalam Perkara No.
41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST dan secara yuridis tidak dapat
dipergunakan untuk perkara Pemohon yang bukan tersangka/terdakwa dalam
perkara tersebut, apalagi keterangan para saksi tersebut pun tidak didukung
dengan alat bukti yang lain, sehingga tidak dapat ditentukan keterangan yang
mana yang benar.
Ketentuan Pasal 1 angka (2) KUHAP tersebut, makna dari penyidikan
adalah dalam rangka terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk
membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi. Dari bukti-bukti tersebut
77
kemudian baru ditetapkan tersangkanya. Akan tetapi faktanya, terhadap
Pemohon telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka tanpa terlebih
dahulu dilakukan tindakan-tindakan penyidikan, yakni mencari serta
mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang peristiwa pidana, atau
perbuatan apa yang dilakukan oleh Pemohon, serta bukti-bukti apa saja yang
terkait dengan Pemohon. Dalam hal ini Pemohon sama sekali tidak pernah
diperiksa dan dimintai keterangan sebagai saksi dalam proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap Pemohon, melainkan langsung ditetapkan sebagai
tersangka. Dengan demikian tidak jelas bukti permulaan yang mana yang
dijadikan dasar oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka.
Oleh karena itu ada kekeliruan dalam proses penetapan tersangka yang
dilakukan oleh Termohon yang seharusnya penetapan tersangka dilakukan
setelah proses penyidikan, namun dalam kasus ini Termohon telah salah dan
keliru dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka terlebih dahulu dan
setelah itu baru dilakukan penyidikan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dipertimbangkan oleh Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014,
“apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak
diperlukan pranata praperadilan. Namun, permasalahannya adalah bagaimana
ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar… Dimana seseorang yang sudah
ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum
bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka… Hal
tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-
wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang
ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada
kekeliruan….”15
Memperhatikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas penulis
setuju dengan pernyataan tersebut, hal ini terbukti dalam proses penyelesaian
15 Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014.
78
suatu perkara pidana, seperti apa yang sudah diuraikan diatas dalam Putusan
Nomor:97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Dimana dapat dilihat Mahkamah
Konstitusi sudah dapat memprediksi hal ini sebelumnya, yaitu ketika hal ini
(penerapan Pasal 1 angka 2 KUHAP) tidak dilakukan secara ideal dan benar,
akan menimbulkan hal-hal semacam ini, yakni menetapkan seseorang sebagai
tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukan proses penyidikan. Suatu proses
dalam sistem peradilan pidana untuk menemukan dan menentukan seseorang
dapat dinyatakan dan ditetapkan sebagai tersangka harus di lalui dengan proses
penyidikan akan tetapi kenyataannya hal ini tidak dilakukan yaitu seseorang
ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses penyidikan. Hal ini jelas
sangat salah serta menyalahi aturan serta prosedur yang berlaku, seharusnya
berdasarkan pengertian penyidikan ada proses atau serangkaian tindakan yang
dilakukan terlebih dahulu sebelum menemukan tersangka, yaitu pertama,
mencari dan mengumpulkan bukti, kedua, membuat terang tindak pidana yang
terjadi, ketiga, menemukan pelakunya (tersangkanya).
Akan tetapi dalam kasus yang penulis uraikan, penetapan tersangka
dilakukan terlebih dahulu, disusul dengan mencari dan menemukan bukti, baru
kemudian membuat tindak pidananya terang. Hal ini menyalahi aturan dan
merupakan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dan penuntut umum, hal
ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai akibat dari
prosedur atau rangkaian tindakan penyidikan yang menyalahi aturan seperti
yang sudah diatur dalam KUHAP dan tidak sejalan dengan prinsip yang yang
dianut dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu due process of law yang
79
seharusnya digunakan sebagai perwujudan perlindungan hak asasi manusia
dalam proses peradilan pidana terutama terhadap para penegak hukum.
Sebaliknya ketika prosedur dan tindakan dan prosedur yang dilakukan oleh
penyidik sesuai dengan pengertian dari penyidikan yaitu menemukan bukti
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana guna menemukan tersangkanya,
jika hal ini dilakukan sudah barang tentu permohonan-permohonan tentang
praperadilan dengan alasan penetapan tersangka seharusnya ditolak, karena
penyidikan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ideal dan benar.
Dengan demikian perluasan objek praperadilan dengan penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan merupakan penyeimbang dalam hal adanya benturan
antara hak-hak individu dengan kekuasaan negara, dalam hal ini lembaga
penegak hukum, untuk dapat menilai bahwa apakah benar-benar seseorang yang
ditetapkan sebagai tersangka pada prosesnya sudah dilakukan secara ideal dan
benar. Namun apabila tidak dilakukan secara ideal dan benar, dapat diajukan
kepada lembaga praperadilan, sebagai lembaga yang berhak menilai dan juga
sebagai penyeimbang hak (Audi et alteram partem) untuk dapat mewujudkan
check and balances antara hak-hak individu dengan kekuasaan negara khusunya
lembaga penegak hukum.
Didalam Mahkamah Konstitusi memutus penetapan tersangka sebagai
objek praperadilan, menurut penulis diperhadapkan pada pertentangan antara
keadilan dan kepastian hukum terhadap kasus yang diajukan kepadanya. Dengan
berdasarkan Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP (Sebelum adanya Putusan MK
No. 21/PUU-XII/2014) praperadilan adalah merupakan wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:
80
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Penetapan tersangka pada saat pemberlakuan KUHAP pada tahun 1981
belum dimasukan sebagai objek praperadilan, akan tetapi setelah adanya Putusan
MK No. 21/PUU-XII/2014, barulah objek praperadilan diperluas dengan
dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, hakim
Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran atau interpretasi hakim (judicial
interpretation) yang melalui penafsirannya dalam putusan terhadap kasus
tersebut hakim Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah menciptakan norma
hukum baru dengan memasukan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan. Penulis berpendapat penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi diperhadapkan pada
pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, dikarenakan hakim
Mahkamah Konstitusi telah menciptakan norma hukum baru melalui
penafsirannya, yang hasil dari putusan tersebut memiliki kekuatan mengikat
secara hukum. Asas putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan hukum tetap
dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) berikut
penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah
Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan
tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan
81
Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Dengan demikian setelah adanya putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 norma
yang terdapat dalam Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP juga ikut berubah yaitu
dengan adanya perluasan atau penambahan objek praperadilan dengan
memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperdilan, hal ini tentu
menimbulkan ketidakpastian hukum dimana sesuatu norma yang harus ditaati
dan pasti apabila norma tersebut dituangkan dalam bunyi pasal-pasal yang daitur
dalam undang-undang. Akan tetapi, ternyata bukan kepastian hukum yang diacu
oleh Mahkamah Konstitusi tetapi keadilan yang menjadi acuan Mahkamah
Konstitusi memutus perkara ini.
Ketidakpastian hukum yang dimaksudkan penulis adalah dengan
dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan minimal
2 (dua) alat bukti sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi, yang
dimana juga memeriksa pokok perkara yang terkait keabsahan alat bukti (hasil
penyidikan), disini terlihat jelas pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.
21/PUU-XII/2014, tidak murni lagi hanya memeriksa persoalan formil
(administrasi) saja, tetapi juga sudah masuk pada wilayah materi perkara.
Penulis mengatakan demikian, karena tidak mungkin pemeriksaan praperadilan
dengan alasan penetapan tersangka tidak masuk materi perkara, sementara yang
menyebabkan seseorang menjadi tersangka adalah adanya 2 (dua) alat bukti.
Ketidakpastian hukum juga menurut penulis adalah apabila dimaknai ketika
seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang prosesnya dilakukan
secara ideal dan benar sesuai dengan prosedur penyidikan (mencari dan
82
mengumpulkan bukti, membuat terang tindak pidana yang terjadi, menemukan
tersangkanya) jikalau diajukan sebagai objek praperadilan seharusnya di tolak,
dikarenakan hal ini merupakan alasan-alasan yang dilakukan oleh orang-orang
yang ingin meloloskan diri dari jeratan hukum dengan objek praperadilan
penetapan tersangka sebagai senjatanya. Berbeda hal nya jikalau penetapan
tersangka dimaknai merupakan suatu proses yang dilakukan tidak secara ideal
dan benar sesuai dengan prosedur penyidikan (tersangka terlebih dahulu, bukti,
kemudian terang tindak pidana) inilah yang seharusnya bisa dijadikan sebagai
objek praperadilan. Dengan demikian kepastian hukum dalam penetapan
tersangka sebagai objek praperadilan dapat tercapai apabila dimaknai dalam
konteks seperti ini.
Akan tetapi disisi lain Penulis melihat kepastian hukum yang di capai adalah
karena penetapan tersangka yang dimasukan sebagai objek praperadilan dapat
menjawab problem yuridis yang timbul akibat dari ketidakjelasan bunyi pasal
dalam KUHAP, dengan adanya penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti
permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Karena jikalau tidak adanya kejelasan terhadap frasa yang tersebut diatas, hukum
akan menjadi tidak pasti dan cenderung hal ini juga membingungkan penyidik
dan bahkan sangat mungkin dengan kebingungan yang ada dapat menimbulkan
tindakan sewenang-wenang. Dengan adanya penegasan terhadap hal ini bukan
tidak mungkin dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi
83
di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk
pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi
tersangka.
KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan
bukti yang cukup. Penjelasan resminya baru bisa didapatkan setelah adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang menafsirkan bahwa
frasa “bukti yang cukup” adalah minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Untuk itu, akibat tidak ditemukannya 2 (dua) alat bukti, bukan hanya tidak
ditemukan tersangkanya, melainkan juga ada kewajiban hukum dari penyidik
untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Penetapan tersangka yang didasarkan atas 2 (dua) alat bukti, harus didahului
juga dengan pemeriksaan calon tersangka, hal ini berdasarkan pertimbangan
hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Tujuannya
adalah, agar tidak terjadi persangkaan yang tidak wajar (adfire prejudice).
Sangkaan penyidik yang hanya bermodal laporan pelapor, sifatnya sangat
subjektif, maka untuk mengobjektifkannya penyidik wajib memeriksa terlapor
(calon tersangka) terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka, hal ini
dimaksudkan agar penyidik dalam memeriksa suatu laporan dugaan tindak
pidana didasarkan informasi yang lengkap dan berimbang. Sehingga dalam
mengambil keputusan penyidik tidak berada dalam keraguan dan kebimbangan,
apakah menetapkan tersangka dan melanjutkan proses hukumnya, atau
mengambil keputusan untuk menghentikan perkara tersebut (SP3).
84
Dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dipandang
sebagai suatu keputusan yang adil yang di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi
karena sebagai negara hukum hal yang paling utama adalah melindungi
kepentingan individu dari tidakan kesewenang-wenangan dari negara, dengan
demikian hal tersebut dapat melindungi hak-hak individu dalam menghadapi
proses peradilan pidana, juga dapat mewujudkan perlindungan dan pemajuan
hak asasi manusia, lebih menekankan kepada para penegak hukum bahwa dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam penegakan hukum harus
dijunjung tinggi asas due process of law, pentingnya prinsip kehati-hatian lebih
ditingkatkan agar dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar,
lebih menyadari bahwa tersangka harus diposisikan sebagai subjek manusia
yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimata hukum.
Penulis melihat Mahkamah Konstitusi memutuskan lebih berdasarkan pada
keadilan dengan alasan dimana penyelenggaraan sistem peradilan pidana dalam
penegakan hukum di Indonesia belum berjalan sesuai dengan apa yang dicita-
citakan, penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum seringkali
tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur, seperti yang sudah penulis uraikan
diatas. Pemohon dalam kasus ini merasa dirugikan oleh karena prosedur atau
tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam menangani perkara yang
menjeratnya adalah salah dalam penerapannya, karena tidak dilakukan secara
prosedur yang ideal dan benar.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice
System) menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “… the collective
85
institution through which an accused offender passes until the accusations have
been disposed of or the assessed punishment conculed…”.
Penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma
peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat
lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus
menegakan keadilan dan penegakan hukum yang bermanfaat. Berkaitan dengan
perluasan objek penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem
peradilan pidana terpadu yang terdiri dari lembaga-lembaga penegak hukum,
yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Sebagai suatu sistem harus adanya koordinasi yang tercipta satu sama lain secara
efisien dan efektif, dengan begitu akan tercipta saling pengertian satu sama lain,
saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang
berbeda.
Akan tetapi apabila dalam sistem peradilan pidana terpadu sebagai suatu
sistem apabila terdapat kelemahan pada satu organ dalam sistem tersebut dalam
hal ini kepolisian (penyidik), dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
tidak sesuai dengan prosedur dan tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam
undang-undang, dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan tidak
didahului dengan prosedur-prosedur yang sudah diatur akan berdampak pada
organ-organ sistem peradilan pidana lainnya. Hal ini akan menimbulkan
kerugian yang berdampak terhadap hak-hak individu dan juga perlindungan dan
pemajuan terhadap hak asasi manusia tidak dapat terlaksana dengan baik. Untuk
itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar dalam penegakan
hukum dapat berjalan secara ideal dan benar.
86
Penegakan hukum selalu berkaitan dengan kehidupan dalam masyarakat,
karena penegakan hukum tidak lain merupakan pengontrolan terhadap tingkah
laku manusia yang dianggap menyimpang atau berlawanan dengan prinsip-
prinsip atau ide yang sebelumnya disepakati atau disetujui oleh masyarakat
pendukungnya. Termasuk didalamnya ada kesepakatan agar prosedur penegakan
hukum menjamin hak-hak dan kewajiban kepada masyarakatnya yang telah
dituangkan dalam undang-undang. Untuk itu hal tersebut tidak boleh dilanggar
secara sewenang-wenang oleh penegak hukum dalam melakukan penegakan
hukum, terhadap suatu perkara yang dihadapi. Jika terjadi pelanggaran terhadap
hak-hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang akan menimbulkan
hilangnya kepercayaan masyarakat undang-undang, sehingga menimbulkan
perpecahan (disintegrasi) karena hukum dianggap tidak berfungsi.
Apabila hukum tidak lagi berfungsi bukan tidak mungkin kesatuan
masyarakat akan terganggu oleh karena masyarakat meragukan hukum sekaligus
meragukan lembaga maupun penegak hukum karena melakukan tugas dan
wewenangnya tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur di dalam undang-
undang. Karena seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang oleh para
penegak hukum. Kesatuan masyarakat yang terganggu karena hukum tidak
berfungsi dengan baik, akan berakibat juga pada penegakan hukum yang
merupakan suatu sistem terpadu akan menjadi sectoral atau pragmentaris
(departmental-oriented), akibatnya tujuan sistem peradilan pidana terpadu tidak
akan tercapai. Untuk itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar
dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar. Menggunakan
wewenangnya sesuai prosedural yang sudah diatur di dalam undang-undang.
87
Agar sistem peradilan pidana terpadu dapat terlaksana dengan baik sesuai
dengan prinsip negara hukum dengan asas due process of law sebagai
perwujudan perlindungan hak asasi manusia dan juga merupakan salah satu
syarat atau ciri negara hukum adalah adanya perlindungan dan pemajuan hak
asasi manusia.