BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD...

39
49 BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara Bachtiar Abdul Fatah (Pemohon) mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi didasarkan dengan alasan penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung RI atas dirinya yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi bioeremediasi PT. Chevron. Penetapan Tersangka tersebut, berdasarkan Surat Panggilan Tersangka Nomor: SPT-1840/F.2/FD.1/09/2012. Menurut pemohon penetapan tersangka terhadap pemohon secara jelas dan nyata tidak sah karena pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, sedangkan perhitungan kerugian negara belum dilakukan. Berdasarkan hal tersebut telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan. Dimana di dalam opening statement Pemohon menyatakan sebagai berikut: Meskipun kata-kata due process of law tidak ditemukan dalam Magna Carta, namun piagam ini yang umumnya dipandang sebagai cikal bakal Due Process of Law. Sebagaimana kita pahami dari catatan sejarah bahwa due process of law ini diadopsi sebagai perjanjian pribadi antara Raja John dan para baron yang melakukan pemberontakan pada tahun 1215. Keadaan inilah yang menimbulkan pengertian bahwa Magna Carta adalah simbol dari perjuangan melawan kekuasaan sewenang-wenang, yang pada awalnya diperjuangkan oleh raja-raja kecil, dan merupakan simbol kekal perlawanan yang sukses dalam melawan kekuatan kerajaan. Dengan mengutip pendapat Simon Schama dalam bukunya A History of Britain, Andrew Young dalam tulisannya “The Forgotten Spirit of the Magna Carta” menyatakan bahwa Magna Carta, "bukan akta kelahiran kebebasan" dalam tradisi retoris dari Deklarasi Kemerdekaan. Namun, itu "adalah sertifikat

Transcript of BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD...

Page 1: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

49

BAB III

Hasil Penelitian dan Analisis

A. Hasil Penelitian

1. Duduk Perkara

Bachtiar Abdul Fatah (Pemohon) mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi didasarkan dengan alasan penetapan tersangka oleh Kejaksaan

Agung RI atas dirinya yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi

bioeremediasi PT. Chevron. Penetapan Tersangka tersebut, berdasarkan Surat

Panggilan Tersangka Nomor: SPT-1840/F.2/FD.1/09/2012. Menurut pemohon

penetapan tersangka terhadap pemohon secara jelas dan nyata tidak sah karena

pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, sedangkan

perhitungan kerugian negara belum dilakukan. Berdasarkan hal tersebut telah

menyebabkan hak konstitusional Pemohon atas “pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional atas due

process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat

(3) UUD 1945 telah dirugikan. Dimana di dalam opening statement Pemohon

menyatakan sebagai berikut:

Meskipun kata-kata due process of law tidak ditemukan dalam Magna

Carta, namun piagam ini yang umumnya dipandang sebagai cikal bakal Due

Process of Law. Sebagaimana kita pahami dari catatan sejarah bahwa due

process of law ini diadopsi sebagai perjanjian pribadi antara Raja John dan para

baron yang melakukan pemberontakan pada tahun 1215. Keadaan inilah yang

menimbulkan pengertian bahwa Magna Carta adalah simbol dari perjuangan

melawan kekuasaan sewenang-wenang, yang pada awalnya diperjuangkan

oleh raja-raja kecil, dan merupakan simbol kekal perlawanan yang sukses

dalam melawan kekuatan kerajaan.

Dengan mengutip pendapat Simon Schama dalam bukunya A History of

Britain, Andrew Young dalam tulisannya “The Forgotten Spirit of the Magna

Carta” menyatakan bahwa Magna Carta, "bukan akta kelahiran kebebasan"

dalam tradisi retoris dari Deklarasi Kemerdekaan. Namun, itu "adalah sertifikat

Page 2: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

50

kematian despotisme". Ini, untuk pertama kalinya, Raja Inggris ditempatkan di

bawah aturan hukum. Misalnya, menghilangkan kekuasaan raja untuk

menangkap rakyatnya sewenang-wenang, sekarang, Raja harus mengakui

habeas corpus, harus mengakui hak manusia untuk untuk mendapatkan proses

hukum dalam masalah penahanan.

Magna Carta sebagai perjanjian bukan hanya memberikan perlindungan

kepada bangsawan, tetapi kepada semua orang, dimana dinyatakan bahwa

semua orang tidak dapat dipenjarakan atau diasingkan, direbut kebebasannya

tidak dengan proses hukum atau atas nama hukum, kecuali dengan proses

hukum yang dilakukan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku.

Berdasarkan proses peradilan biasa dengan diberikan kepadanya hak untuk

membela diri dan menyampaikan bukti sesuai dengan prosedur hukum.

Dengan demikian maka Magna Carta adalah kesepakatan yang luar biasa

dalam membatasi kekuasaan penguasa termasuk negara dalam satu proses

hukum, sebab negara bukanlah hukum, meskipun negara dapat membuat dan

menciptakan hukum.

Tentu bagi kita, bukan persoalan melawan kekuasaan yang sewenang-

wenang itu yang perlu disampaikan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang

mulia. Yang perlu disampaikan bahwa proses hukum itu harus dilakukan sesuai

dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur itu adalah cara yang benar

dalam satu proses. Sehingga kalau dibicarakan perlindungan hukum dalam satu

proses hukum atau yang dikenal secara luas sebagai Hukum Acara, maka

perlindungan itu tidak bermakna sebagai pedoman atau cara yang sah untuk

melindungi pelaku kejahatan untuk menghindar dari tangan hukum.

Secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka,

terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh

hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan

penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan

perlakuan antara yang kaya dan yang miskin. Inilah yang dianut oleh Hukum

Acara Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegaiatan mengumpulkan bukti

yang akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan

tersangka. Sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan acak,

karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang

kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan

cara yang baik dan benar.

Sebagaimana dipahami hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur

dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses

penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan motode yang baku

untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses

hukum berlangsung. Pada hakikatnya hukum acara pidana adalah aturan

hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh

aparatur penegak hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Secara

khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan

hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai

penyelidikan, penyidikan, proses peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau

eksekusi. Karena senyatanya hukum acara itu menerapkan standar proses

hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan keadilan itu sendiri.

Page 3: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

51

Dalam negara yang menganut demokrasi, hukum tidak digunakan untuk

memberangus keadilan yang seharusnya ditegakkan dan dipelihara, atau untuk

membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya dijunjung tinggi.

Hukum tidak boleh digunakan untuk melakukan kekejian, sehingga

perampasan seperti menjadi hak, serta penegakan kebenaran diangap sebagai

kejahatan. Hukum acara pidana justru lahir sebagai bentuk pengejawantahan

Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi

manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga

ketentuan- ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus

sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan

terhadap hak asasi manusia, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan

bahwa pembatasan tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Dengan kata lain, Hukum Acara itu bukan untuk memanjakan orang yang

diduga bersalah, tetapi adalah untuk melindungi orang tidak bersalah dari

ancaman hukuman, sebab perlindungan terhadap orang diduga bersalah atau

terdakwa yang menjalani proses hukum pada hakikatnya sebagai kebajikan

pendekatan dalam proses hukum, karena lebih baik membebaskan seribu orang

bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah dan menderita

secara tidak adil. Perlindungan yang diberikan oleh hukum acara pidana ini

termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak

masuk di akal dan menjurus pada unfair prejudice atau penyitaan terhadap

barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan

penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang

memihak (unlawful legal evidence); Dalam suatu proses hukum, aparat

penegak hukum diberi kewenangan untuk menegakkan hukum kepada siapa

saja yang disangka melanggar hukum. Tidak ada perbedaan apakah pelanggar

hukumnya pejabat negara atau warga negara biasa. Meskipun demikian, negara

hanya dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan

suatu tindak pidana berdasarkan batas- batas atau bukti-bukti yang telah

ditentukan oleh Undang-Undang.

Namun pada sisi lain, ada kewajiban dari negara, terutama Pemerintah

untuk memberikan perlindungan kepada warganegaranya. Perlindungan yang

harus diberikan ini harus dilakukan dengan memegang teguh keadilan, karena

melindungi orang bersalah sekalipun adalah lebih penting daripada

memberikan basa-basi prosedural. Sebagimana dikatakan oleh Gustav

Radbruch, bahwa jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk

melindungi kepentingan rakyat, maka undang-undang seperti ini adalah cacat

secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada

perinsipnya untuk menegakkan keadilan.

Issue tanggung jawab negara terutama Pemerintah untuk melindungi

warga negaranya, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28I ayat (4) tidak dapat

dialihkan kepada hakim sebagai pelaksana Undang-Undang. Akan menjadi

sangat naif, jika negara dan pemerintah gagal dalam melaksanakan tanggung

jawab mereka untuk melindungi warga nagaranya, kemudian tanggung jawab

itu dialihkan kepada hakim untuk memberi perlindungan. Pergeseran tanggung

jawab negara dan pemerintah tersebut, jika itu terjadi, pada akhirnya berfungsi

untuk melemahkan kebebasan yang diberikan oleh UUD, sebab pergerseran

Page 4: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

52

tanggung jawab tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dari

masing-masing hakim, yang akan berujung pada tidak adanya kepastian

hukum. Pelimpahan tanggung jawab melindungi warga negara dari

kesewenang-wenangan dalam proses hukum akan sangat berbahaya, bila

dilimpahkan sepenuhnya kepada hakim tanpa ada patokan dan atau tolok ukur

yang diatur secara ketat oleh hukum acara. Pada hakikatnya hukum acara,

termasuk hukum acara pidana, secara spesifik adalah sebagai sarana

memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dan hal tersebut

bukanlah merupakan kebajikan dari penyidik, penuntut umum, atau hakim

dalam proses hukum.

Oleh karena hukum acara itu bukan sebagai kebajikan, maka pelaksanaan

dan kontrol terhadap hukum acara pidana itu harus dilakukan secara ketat dan

pasti, sebab perlindungan terhadap hak seorang tersangka atau terdakwa

bukanlah merupakan kebijakan yang diberikan oleh penyidik, penuntut umum

atau hakim, tetapi adalah hak dasar yang diberikan oleh UUD. Ketika hak-hak

dasar yang diberikan oleh UUD dasar tersebut dapat diberikan interpretasi

sesuai dengan kepentingan penafsir yaitu penyidik, penuntut umum atau

hakim, maka pada saat yang sama ada kewajiban dari Mahkamah untuk

meluruskan aturan hukum yang dapat diberi interpretasi tersebut, dengan

memberikan tafsir yang konstitusional. Ketika Mahkamah membiarkan adanya

tafsir sesuai kebutuhan pemberi tafsir dan penilaiannya diserahkan kepada

hakim yang beragam opininya, maka pada saat yang sama sebenarnya telah

terjadi pelanggaran hak asasi manusia melalui pembiaran.

Dari apa yang dikemukan di atas, maka pada hakikatnya permohonan

pengujian sejumlah pasal KUHAP yang dilakukan oleh Pemohon, karena

pasal- pasal yang diuji telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, jika

tidak diberi tafsir yang jelas atau batasan yang pasti akan menjadi sarana

pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas nama penegakan hukum yang

akan terjadi terus menerus. Undang-Undang Dasar sangat menjunjung tinggi

hak asasi manusia, karena manusia sangat berharga dan melebihi segalanya.

Dalam pada itu hukum itu untuk mengatur manusia agar hak-haknya

terlindungi, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi, karena hukum itu bukan

untuk merendahkan harkat dan martabat manusia.1

2. Pokok Permohonan

a. Bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal

28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan kesewenang-wenangan

yang bertentangan dengan prinsip due process of law serta

pelanggaran terhadap hak atas kepastian hukum yang adil.

b. Bahwa Pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diinterpretasikan dan diberi

makna bahwa seseorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai

tersangka sebelum adanya penyidikan. Menurut Pemohon penyidikan

bukan merupakan proses pidana yang mengharuskan lahirnya

1 Duduk perkara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 2-6.

Page 5: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

53

tersangka pada proses akhir. Penyidikan secara tegas memberikan

syarat bahwa penetapan tersangka merupakan tahapan lanjutan yang

syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil

mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.

c. Bahwa Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1)

KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat

(5) UUD 1945 karena terdapat makna multitafsir sehingga dalam

penegakannya menimbulkan ketidakpastian hukum.

d. Frasa 'bukti permulaan' Pasal 1 angka 14 KUHAP tidak hanya sebatas

dalam Pasal 184 KUHAP tetapi juga meliputi barang bukti dalam

pembuktian universal atau physical evidence/real evidence.

e. Frasa 'bukti permulaan yang cukup' Pasal 17 KUHAP menimbulkan

perdebatan terkait dua alat bukti, yaitu secara kualitatif atau

kuantitatif. Secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada

dalam Pasal 184 KUHAP. Secara kuantitatif, dua orang saksi sudah

dihitung sebagai dua alat bukti.

f. Frasa 'bukti yang cukup ' Pasal 21 KUHAP mengenai harus ada dua

alat bukti secara kualitatif, kecuali perihal keterangan saksi. Artinya,

'bukti yang cukup' juga merujuk pada minimum dua alat bukti atas

kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,

merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak

pidana.

g. Pasal 1 angka 14 juncto Pasal 17 juncto Pasal 21 ayat (1) KUHAP

harus diberi makna dan dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat

sepanjang frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan

'bukti yang cukup' harus dimaknai sebagai minimum dua alat bukti

secara kualitatif, kecuali dalam hal keterangan saksi.

h. Pasal 77 huruf a KUHAP melanggar Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945 karena konsep praperadilan yang terbatas pada

memberikan penilaian terhadap sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,

jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi

Tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi

manusia.

i. Bahwa Pasal 156 ayat (2) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dapat diinterpretasikan tanpa

batasan yang jelas oleh hakim yang memeriksa perkara setelah

memberikan putusan sela.

j. Pasal 156 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan asas legalitas dan

asas peradilan yang cepat. Perlawanan atas penolakan terhadap

keberatan terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh ditafsirkan

harus dilakukan secara bersama-sama dengan banding. Saat berkas

perkara dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi, maka persidangan

harus dihentikan dan hakim wajib mengabulkan perlawanan yang

Page 6: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

54

dilakukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya.2

3. Pertimbangan Mahkamah

“KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di

Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai

pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Namun

demikian, masih terdapat beberapa frasa yang memerlukan penjelasan agar

terprnuhi asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam hukum

pidana agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik

maupun penyidik, khususnya frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang

cukup”, dan “bukti yang cukup”, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1

angka 14, angka 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Ketentuan dalam KUHAP

tidak memberikan penjelasan mengenai Batasan jumlah dari frasa “bukti

permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. berbeda

dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas Batasan jumlah alat bukti, yaitu

minimal dua alat bukti, seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 ayat (2) yang

menyatakan, “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ditemukan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.…dst.” Satu-satunya pasal yang

menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang

menyatakan, “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti….dst.”

Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut menurut

Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa

dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti

permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus

ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184

KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap

tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa

kehadirannya (in absentia). Artinya, terhadap tindak pidana yang penetapan

tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak

diperlukan pemeriksaan calon tersangka.

Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan

pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di

atas, adalah untuk tujuan tranparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar

sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan

keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah

ditemukan oleh penyidik. Sehingga dapat dihindari adanya tindakan sewenang-

wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu

2 Pokok Permohonan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal.

69-70.

Page 7: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

55

dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan

seseorang menjadi tersangka.3

Mengenai penetapan tersangka, Mahkamah mempertimbangkan sebagai

berikut :

a. Sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraph [3.14]

bahwa Pasal 1 angka 3 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah

negara hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai

salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses

peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua

pihak terutama bagi Lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan

hak asasi manusia tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang

seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam

proses peradilan, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana

dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, negara

terutama Pemerintah, berkewajiban memberikan perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [Vide: Pasal 28I

ayat (4) UUD 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses

peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak

tersangka/terdakwa sebagai perlindungan terhadap kemungkinan

pelanggaran hak asasi manusia;

b. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakan demi terciptanya

tujuan dan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan

pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 alinea keempat, yaitu membentuk suatu pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Rakyat Indonesia harus merasa aman dari berbagai ancaman dan bahaya

yang dating, rasa aman yang diberikan oleh negara kepada rakyat tidak

hanya ditujukan bagi mereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka

yang melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman

terhadap diri mereka

c. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau

terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat,

martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dalam rangka

melindungi tersangka atau terdakwa, KUHAP memberikan mekanisme

kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang penyidik atau

penuntut umum melalui pranata peradilan.

d. Berkenaan dengan kebebasan seseorang dari tindakan penyidik,

International Covenant on Civil and Political Rights yang telah

3 Lihat, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014.

Page 8: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

56

diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Menyatakan

dalam Article 9:

1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall

be subjected to arbitrary arrest of detentiton. No one shall be

deprived of his liberty except on such grounds and in accordance

with such procedure as are established by law

2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of

the reasons for his arrest and shall be prompty informed of any

charges against him

3. Anyone arrested of detained on a criminal charge shall be brought

promptly before a judge or other officer authorized by the law to

exercise judicial power and shall be entitled to trial within a

reasonable time or to release it shall not be the general rule that

persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may

be subject to guarantees to appear for trial at any other stage of the

judicial proceedings, and should occasion arise for execution of the

judgement.

4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be

entitled to take proceedings before a court, in order that court may

decide without delay on the lawfulnessof his detention and order his

release if the detention is not lawful.

5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall

have an enforceable right to compensation”.

e. bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, pertanyaan yang harus dijawab

oleh Mahkamah adalah apakah selain yang ditetapkan dalam Pasal 77

huruf a KUHAP seperti penetapan tersangka dapat dijadikan objek

praperaridan?

f. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP menentukan bahwa

praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang

berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan atas permintaas yang berkepentingan demi tegaknya

hukum dan keadilan dan;

3. Permintaas ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

g. KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan

penetapan tersangka oleh penyidik karena kuhap tidak mengenal

mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak

menerapkan prinsip pengecualiaan (exclusionary) atas alat bukti yang

diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat….”

h. Bahwa hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk

pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan

hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia,

Page 9: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

57

sehingga pada zamannya aturan tentang praperadilan dianggap sebagai

bagian dari mahakarya KUHAP. Namun demikian, pada perjalanannya

ternyata Lembaga praperadilan tidak dapat berfungsi secara maksimal

karena tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-

ajudikasi. Fungsi pengawasan yang diperankan oleh pranata praperadilan

hanya bersifat post facto sehingga tidak sampai pada penyidikan dan

pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif,

sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal ini justru

menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat

formal sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat

keberadaan pranata praperadilan.

i. Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan

tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan

masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional

dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan

penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah

mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu

bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan

oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada

seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang

tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa

tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk

menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka

tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan

kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin

kompleks maka hukum perlu lebih sempurna (Shidarta, 2013). Dengan

kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak

hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

j. Bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakan dan

dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan

perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam

pemeriksaan penyidikan dan penuntutan (Vide: pertimbangan hukum

Mahkamah dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei

2012, juncto putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XI/2013,

bertanggal 20 Februari 2014), serta dengan memperhatikan nilai-nilai

hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, maka

setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-

hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan

perlindungan kepada pranata praperadilan, meskipun hal tersebut

dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77

huruf a KUHAP. Padahal penetapan tersangka adalah bagian dari proses

penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-

wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi

seseorang. Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP salah satunya mengatur

tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Sementara itu,

penyidikan itu sendiri mencara serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Page 10: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

58

k. Betul bahwa apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan

benar maka tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun

permasalahannya adalah bagaimana ketika tidak dialkukan secara ideal

dan benar, dimana seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka

memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum bahwa ada yang salah

dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Padahal oleh UUD

1945 setiap orang dijamin haknya untuk mendapatkan pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuakn

yang sama dihadapan hukum. Oleh karena penetapan tersangka adalah

bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak

asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik

merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ihktiar

hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi

seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan

besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,

padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata

lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.

Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian

diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak

menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat

dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku

secara ideal dan benar. Dimasukannya keabsahan penetapan tersangka

sebagai objek praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang

dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang

mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan

hukum.4

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut Mahkamah, dalil

pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang diadili oleh

pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.

4. Amar Putusan

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti

yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal

17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang

cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang

4 Lihat, Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-

XII/2014.

Page 11: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

59

termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana;

1.2 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti

yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal

17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,

“bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah

minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

1.3 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk

penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

1.4 Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,

penggeledahan, dan penyitaan;

2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3.Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya. 5

5 Amar Putusan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Page 12: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

60

B. Analisis

Kondisi saat ini dalam penegakan hukum pidana sering terjadi adanya

tindakan sewenang-wenang dari penyidik dimana bertindak tidak secara ideal

dan benar. Dengan melihat bahwa banyaknya fakta di dalam penegakan hukum

yang terjadi saat ini yang dimana seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka

terlebih dahulu barulah kemudian dicarikan alat bukti guna membuat terang

tindak pidana, hal ini merupakan tindakan sewenang-wenang yang dimana dapat

mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Sebagai akibat dari

prosedur dan aturan dalam penegakan hukum yang diterapkan tidak secara ideal

dan benar. Seharusnya dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum harus

bertindak secara profesional dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian serta

menegakan hukum sesuai dengan prosedur dan aturan yang sudah diatur di

dalam KUHAP dan sejalan dengan prinsip yang dianut dalam sistem penegakan

hukum di Indonesia yaitu due process of law yang seharusnya digunakan sebagai

perwujudan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.

Dari Pertimbangan hakim dan Putusan yang tersebut diatas ada beberapa

hal yang penulis dapati dari apa yang dipertimbangankan oleh hakim Mahkamah

Konstitusi dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, yakni:

1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

hukum. Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu

perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana

menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi

lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, negara terutama Pemerintah,

berkewajiban memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

Page 13: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

61

terhadap HAM dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah

hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan, khususnya bagi

tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara

seimbang.

Secara Etimologis, istilah negara berasal dari bahasa Inggris (state),

Belanda (staat), Italia (e’tat), Arab (daulah). Kata staat berasal dari kata Latin,

status atau statum yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri, membuat berdiri,

menempatkan diri.6

Padanan kata ini menunjukkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antara

negara di satu pihak dan hukum di pihak lain. Tujuan negara adalah untuk

memelihara ketertiban hukum (rechtsorde). Oleh karena itu, negara

membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan ditegakkan

melalui otoritas negara.7

Konsep negara hukum secara garis besar berkembang dalam dua sistem

hukum, yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah rechtsstaat dan sistem

Anglo-saxon dengan istilah Rule of law. Konsep negara hukum Eropa

Kontinental (rechtsstaat) di pelopori Frederich Julius Stahl, yang diilhami oleh

pemikiran Immanuel Kant. Menurut stahl, unsur-unsur negara hukum adalah

sebagai berikut:

a. perlindungan hak-hak asasi manusia

b. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu

c. pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan

d. peradilan administrasi dalam perselisihan.8

Adapun konsep negara hukum pada wilayah Anglosakxon (rule of law)

yang dipelopori oleh A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya

kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti

bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalua melanggar hukum;

6 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung : Refika Aditama,

2011),hal. 23 7 Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum (Bandung : Alumni , 1973),hal. 20 8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi, Cet.8, Jakarta: Rajawali Press, 2013,

hal. 3.

Page 14: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

62

b. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the

law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan

c. terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh

undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.9

Dari kedua sistem hukum tersebut sama-sama mengakui perlindungan dan

menjamin hak-hak asasi manusia, karena tidak terlepas dari falsafah dan sosio

politik yang melatar belakanginya, terutama falsafah individualisme, yang

bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh kehendak

bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa. Kedua

sistem hukum ini memiliki perbedaan yang mendasar pada pembangunan sistem

peradilan pidananya.

Sistem peradilan pidana Anglosaxon dan Eropa Kontinental memunculkan

metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda, yaitu sistem Accusatoir

dan sistem Inquisitoir. Sistem accusatoir yaitu sistem dimana tersangka

dijadikan sebagai subjek yang berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap

dari proses peradilan dan juga berhak mengajukan sanggahan. Sistem accusatoir

menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu

keadaan di mana masing-masing pihak pada sistem peradilan yang berperkara

dalam posisi yang bertentangan dengan memberikan kesempatan yang sama

kepada tertuduh dan penuntut umum untuk mengajukan argumentasi disertai

bukti penunjangnya.10

Sedangkan sistem inquisitoir adalah sistem dimana tersangka dijadikan

sebagai objek, satu-satunya tujuan pemeriksaan pada sistem ini adalah untuk

memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka karena di dalam praktiknya,

sering kali tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau

kesalahannya. Petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka

melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh pengakuan, serta selama

pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh atau tersangka tidak dihadapkan ke

muka sidang pengadilan secara terbuka, karena dalam kenyataannya,

pemeriksaan terhadap tertuduh atau tersangka dilaksanakan secara tertutup

bahkan dilakukan secara rahasia. Selama penyelesaian perkara berlangsung,

tertuduh atau tersangka tidak berhak didampingi oleh pembela.11

9 Ibid. 10 Ibid., hal. 43-44. 11 Ibid., hal. 40.

Page 15: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

63

Due process model lebih cenderung mengarah pada adversary system (atau

yang lebih dikenal dengan accusatorial system) yang menganggap tersangka

atau pelaku tindak pidana bukan sebagai objek melaikan sebagai subjek, yaitu

manusia yang mempunyai harkat dan martabat, dan kedudukan yang sama

dihadapan hukum. Proses merupakan suatu arena rangkaian bagaimana dapat

melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan mengadili serta

mempersalahkan pelaku kejahatan sesuai dengan norma-norma atau aturan-

aturan yang berlaku. Melalui asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence) yang dianut oleh due process model, seseorang baru dapat dinyatakan

bersalah oleh suatu otoritas yang sah melalui peradilan.

Due Process Model sendiri merupakan model sistem peradilan pidana yang

menekankan seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus yang sedang

diselesaikan harus diperoleh melalui prosedur formal yang telah ditetapkan oleh

undang-undang. Dalam model ini, setiap prosedur adalah penting dan tidak

boleh diabaikan. Setiap prosedur harus dilakukan melalui suatu tahapan

pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan,

penyitaan dan peradilan. Dengan cara ini, diharapkan seseorang tersangka yang

nyata-nyata tidak bersalah dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan

melakukan kejahatan.12

Presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) merupakan tulang

punggung dari due process model. Konsep ini didasarkan pada “the concept of

primacy of the individual and complementary concept og limitation on official

power atau individu berpotensi menjadi sasaran penggunaan kekerasan dari

negara. Sistem Peradilan Pidana model ini harus diarahkan guna mengontrol dan

mencegah penguasa dari exploitasi dan efisiensi yang maksimal. Dengan kata

lain, titik perhatian dari model ini adalah melindungi individu yang bersangkutan

dalam proses pidana dari kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dari negara.13

Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah mengutamakan formal

ajudicative dan adversary fact finding, hal ini berarti dalam setiap kasus,

tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa

serta tersangka juga memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan

pembelaannya; menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh

mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan; proses peradilan harus

dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum,

12 Ibid., hal. 78. 13 Ibid.

Page 16: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

64

karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk

menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.14

Penulis setuju dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa

Indonesia adalah negara hukum dengan asas due process of law sebagai salah

satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana

menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi

lembaga penegak hukum dengan penjelasan yang telah penulis kemukakan

diatas. Maksud dari penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam

pertimbangannya menurut penulis agar para penegak hukum harus bertindak

sesuai dengan prosedural formal dalam sistem peradilan pidana yang telah

ditetapkan oleh undang-undang. Ketika undang-undang tersebut lewat tindakan

aparat penegak hukum mencederai hak konstitusional warga negara dalam

proses penegakan hukum disinilah celah dimana warga negara dapat

mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, dengan adanya

pengajuan judicial review terlihat jelas bahwa peran negara amat penting dalam

memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara serta penghormatan

terhadap hak asasi manusia. Hal ini menurut penulis juga merupakan faktor

yuridis-filosofis dalam putusan ini karena unsur utama negara hukum yang

diadopsi dalam UUD 1945 meletakan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki

hak asasi, yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk negara, untuk

menghormatinya. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan

perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan serta penghormatan terhadap

Hak Asasi Manusia (HAM). Pada dasarnya memasukan penetapan tersangka

14 Ibid., hal. 79.

Page 17: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

65

sebagai objek praperadilan dengan penegasan asas due process of law sebagai

perwujudan hak asasi manusia adalah tepat karena konsep due process of law

didasarkan pada individu berpotensi menjadi sasaran penyalahgunaan kekuasaan

dari negara khususnya penegak hukum, oleh sebab itu setiap prosedur adalah

penting dan tidak boleh diabaikan, karena titik perhatian dari due process of law

adalah untuk melindungi individu yang bersangkutan dalam proses pidana dari

kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan dari negara.

2. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya dan

terealisasinya tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

termaktub dengan jelas dalam alinea ke empat UUD 1945 yakni melindungi

segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

3. Sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur (accusatoir), yaitu

tersangka atau terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai

harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimata hukum.

Indonesia sendiri dalam pemberlakuan KUHAP pada tahun 1981 sudah

menegaskan dan kembali lagi ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa

sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur, yaitu tersangka atau

terdakwa diposisikan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat, martabat,

dan kedudukan yang sama dimata hukum.

Page 18: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

66

Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik

peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan

perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP

memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau

terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum.

Dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan kembali

menegaskan bahwa sistem yang dianut dalam KUHAP adalah akusatur karena

sudah seharusnya tersangka atau pelaku tindak pidana tidak dianggap sebagai

objek melainkan sebagai subjek manusia yang mempunyai harkat dan martabat,

dan kedudukan yang sama dihadapan hukum yaitu berhak mengetahui dan

mengikuti setiap tahap proses peradilan, dan juga berhak mengajukan sanggahan

atau berargumentasi (mengajukan pembelaan bagi dirinya sendiri). Terlepas dari

kesalahan dan tindak pidana yang dilakukannya, proses pidananya harus berjalan

sesuai dengan prosedural yang berlaku yang diatur di dalam undang-undang.

Dari sini dapat dilihat Mahkamah Konstitusi sangat konsisten dalam

melaksanakan fungsinya untuk mewujudkan perlindungan dan pemajuan hak

asasi manusia.

4. KUHAP tidak memiliki check and balances system atas tindakan penetapan

tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian

atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian

(exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika

Serikat.

Perluasan objek praperadilan dengan penetapan tersangka sebagai objek

praperadilan juga merupakan penyeimbang dalam hal adanya benturan antara

Page 19: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

67

hak-hak individu dengan kekuasan negara, dalam hal ini lembaga penegak

hukum, untuk dapat menilai bahwa apakah benar-benar seseorang yang

ditetapkan sebagai tersangka pada prosesnya sudah dilakukan secara ideal dan

benar sesuai dengan proses dan tahapan yang telah diatur di dalam undang-

undang. Namun apabila tidak dilakukan secara ideal dan benar serta tidak sesuai

dengan proses dan tahapan yang telah diatur di dalam undang-undang yaitu

proses penyidikan untuk mencari serta mengumpulkan bukti (minimal 2 (dua)

alat bukti yang termuat di dalam Pasal 184 KUHAP), yaitu: “keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”, berdasarkan amanat

putusan MK No.21/PUU-XII/2014, membuat terang tindak pidana yang terjadi,

menemukan tersangkanya, dapat diajukan kepada lembaga praperadilan, sebagai

lembaga yang berhak menilai dan juga sebagai penyeimbang hak untuk dapat

mewujudkan check and balances antara hak-hak individu dengan kekuasaan

negara, khusunya lembaga penegak hukum.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Dimana

mengamanatkan penetapan tersangka dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana

yang dipersyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP. Pemeriksaan permohonan

praperadilan penetapan tersangka tidak hanya mempersyaratkan kecukupan 2

(dua) alat bukti, akan tetapi juga mempersyaratkan sah tidaknya alat bukti

tersebut terkait dengan cara memperolehnya dan relevannya dengan perkara

yang sedang di proses. Dalam konteks demikian menurut penulis hal ini dapat

mendorong berlakunya tiga parameter pembuktian yang dapat menjadi standar

untuk menguji keabsahan penetapan tersangka, yaitu:

Page 20: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

68

a. Bewijs minimum, ialah jumlah alat bukti minimum sehingga seseorang

layak ditetapkan sebagai tersangka. Wajib adanya, penyidik harus

memiliki 2 (dua) alat bukti sebelum melakukan penetapan tersangka.

b. Bewijsvoering, ialah suatu keadaan hal mana mempersyaratkan bahwa

dari 2 (dua) alat bukti tersebut diperoleh oleh penyidik secara sah. Bukan

alat bukti yang diperoleh dengan cara tidak sah (unlawfull legal

evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara illegal atau bukti yang

ternodai (tainted evidence), bukan alat bukti yang diperoleh secara

melawan hukum (exclusionary rules).

c. Bewijskracht, ialah kuat atau relevannya alat bukti sehingga ada

hubungannya dengan dugaan tindak pidana terhadap perkara yang

sedang di proses.

5. Hakikat keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk

pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang

terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada

zamannya aturan praperadilan dianggap sebagai bagian dari mahakarya

KUHAP. Namun, pada perjalanannya ternyata lembaga praperadilan tidak dapat

berfungsi secara maksimal karena tidak mampu menjawab permasalahan yang

ada dalam proses pra-ajudikasi. Fungsi pengawasan lembaga praperadilan hanya

bersifat post facto sehingga tidak sampai pada hasil penyidikan dan

pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif,

sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Hal ini justru

menyebabkan praperadilan terjebak hanya pada hal-hal yang bersifat formal

Page 21: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

69

sebatas masalah administrasi sehingga jauh dari hakikat keberadaan pranata

praperadilan.

Diputuskannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat di dalam Pasal 184 KUHAP

melalui putusan Mahkamah Konstitusi, dimana juga memeriksa pokok perkara

yang terkait keabsahan alat bukti (hasil penyidikan), disini terlihat jelas pasca

putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, tidak murni lagi hanya

memeriksa persoalan formil (administrasi) saja, tetapi juga sudah masuk pada

wilayah materi perkara.

Penulis mengatakan demikian, karena tidak mungkin pemeriksaan

praperadilan dengan alasan sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak masuk

materi perkara, sementara yang menyebabkan seseorang menjadi tersangka

adalah adanya 2 (dua) alat bukti. Dilihat dari sisi keadilan, ini merupakan suatu

keputusan yang adil, karena sebagai negara hukum hal yang paling utama adalah

melindungi kepentingan individu (unsur subjektif) yang dilihat dari proses

penyidikannya apakah sudah dilakukan sesuai dengan prosedurnya, seringkali

penyidik langsung menetapkan seseorang menjadi tersangka terlebih dahulu

tanpa melewati proses penyidikan yang benar yaitu mencari dan mengumpulkan

bukti (sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP)

sesuai dengan amanat Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, guna membuat terang

tindak pidananya, untuk menemukan tersangka atau pelakunya. Dengan

dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan fungsi lembaga

praperadilan juga akan menilai unsur subjektif (individu) terhadap penetapan

tersangka oleh penegak hukum, bukan hanya soal formal (administrasi) yang

Page 22: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

70

mengedepankan unsur objektif. Dengan begitu dalam menghadapi proses

peradilan pidana individu-individu dapat terhindarkan dari tindakan

kesewenang-wenangan dari negara, khususnya penegak hukum dalam

melaksanakan penegakan hukum.

6. Pada saat KUHAP di berlakukan Pada Tahun 1981 penetapan tersangka

belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat

Indonesia. sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai

perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan

tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian

label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas,

sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status

tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum

untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut.

Untuk itu prinsip kehati-hatian haruslah di pegang teguh oleh penegak hukum.

Terhadap hal ini penulis melihat ini merupakan faktor sosiologis dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan melihat dinamika yang terjadi di tengah

masyarakat dengan terjadi polemik mengenai penetapan tersangka yang

memang belum diakomodir dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penegakan hukum selalu berkaitan dengan

kehidupan dalam masyarakat, karena penegakan hukum tidak lain merupakan

pengontrolan terhadap tingkah laku manusia yang dianggap menyimpang atau

berlawanan dengan prinsip-prinsip atau ide yang sebelumnya disepakati atau

disetujui oleh masyarakat pendukungnya. Termasuk didalamnya ada

kesepakatan agar prosedur penegakan hukum menjamin hak-hak dan kewajiban

Page 23: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

71

kepada masyarakatnya yang telah dituangkan dalam undang-undang.

Pengontrolan terhadap tingkah laku masyarakat harus diimbangi dengan

tersedianya lembaga untuk menguji legalitas serta kemurnian seseorang

ditetapkan sebagai tersangka yaitu lembaga praperadilan dengan penetapan

tersangka sebagai salah satu objeknya untuk menjawab problematika dalam

kehidupan masyarakat yang terjadi di dalam penegakan hukum di Indonesia.

Penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma

peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat

lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus

menegakan keadilan dan penegakan hukum yang bermanfaat. Berkaitan dengan

perluasan objek penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem

peradilan pidana terpadu yang terdiri dari lembaga-lembaga penegak hukum,

yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai suatu sistem harus adanya koordinasi yang tercipta satu sama lain secara

efisien dan efektif, dengan begitu akan tercipta saling pengertian satu sama lain,

saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang

berbeda. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban yang

diberikan oleh undang-undang akan menimbulkan hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap pelaksana undang-undang, sehingga menimbulkan

perpecahan (disintegrasi) karena hukum dianggap tidak berfungsi.

Apabila hukum tidak lagi berfungsi bukan tidak mungkin kesatuan

masyarakat akan terganggu oleh karena masyarakat meragukan hukum sekaligus

meragukan lembaga maupun penegak hukum karena melakukan tugas dan

wewenangnya tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur di dalam undang-

Page 24: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

72

undang. Untuk itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar

dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar, menggunakan

wewenangnya sesuai dengan prosedural yang sudah diatur di dalam undang-

undang. Agar sistem peradilan pidana terpadu dapat terlaksana dengan baik

sesuai dengan prinsip negara hukum dengan asas due process of law sebagai

perwujudan perlindungan hak asasi manusia dan juga merupakan salah satu

syarat atau ciri negara hukum adalah adanya perlindungan dan pemajuan hak

asasi manusia.

7. Tujuan yang hendak ditegakan dan dilindungi dalam proses praperadilan

adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai

tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan dengan

memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan perlindungan

hak asasi manusia yang termaktub dalam Bab XA UUD 1945, dikarenakan

adanya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang

termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.

Mahkamah Konstitusi diberikan fungsi utama utama untuk melakukan

pengujian konstitusionalitas undang-undang, dengan dua tugas pokok. Dua tugas

pokok yang Mahkamah Konstitusi harus jalankan dalam Pengujian

Konstitusionalitas, yaitu:

Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan

perimbangan peran antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan

yudikatif.

Page 25: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

73

Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan

kekuasaan oleh lembaga-lembaga negara sehingga merugikan hak-hak

fundamental individu-individu tersebut yang dijamin oleh konstitusi.

Mahmakah Konstitusi sebagai lembaga yang mempunyai tugas untuk

melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) didasarkan atas ide-

ide negara hukum sebagai perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dalam

rangka melindungi setiap individu warga negara terhadap penyalahgunaan

kekuasaan oleh lembaga negara, khususnya lembaga penegak hukum, sehingga

merugikan hak-hak fundamental individu-individu yang dijamin oleh konstitusi.

Khususnya dalam hal penyelesaian proses pidana, dengan bunyi pasal-pasal

dalam KUHAP ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, yakni, para

penegak hukum bertindak sewenang-wenang, tidak mengikuti prosedural yang

sudah diatur di dalam undang-undang, prinsip kehati-hatian sering tidak

digunakan oleh para penegak hukum dalam proses penyelesaian peradilan

pidana. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh lembaga penegak hukum dalam

melakukan proses penegakan hukum.

8. Apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka

tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun, permasalahannya adalah

bagaimana ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar. Oleh karena penetapan

tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan

terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik

merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ihktiar hukum

pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari

tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi

Page 26: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

74

ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya

ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan

yang dapat memeriksa dan memutusnya. Dimasukkannya keabsahan penetapan

tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap

seeorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang

mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum.

Kondisi saat ini dalam penegakan hukum pidana sering terjadi tindakan

sewenang-wenang dari penyidik dimana bertindak tidak secara ideal dan benar.

Oleh sebab itu, semua usaha polisi atau jaksa untuk dapat menghukum seseorang

atau terdakwa hanya dapat dilakukan melalui proses pengadilan. Didalam

pelaksanaannya, selalu timbul hambatan yang dapat menggagalkan seluruh

proses bahkan menyampingkan tujuan pidana itu sendiri. Dengan melihat

banyaknya fakta di dalam penegakan hukum yang terjadi dimana seseorang telah

ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukan proses

penyidikan menemukan alat bukti, dan sebelum terang tindak pidananya.

Terkait dengan hal ini penulis melihat dalam putusan

Nomor:97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel dalam perkara permohonan praperadilan

yang diajukan oleh Setya Novanto, beramat di Jalan Wijaya XII No. 19,

RT.003/RW.003, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK

(Termohon), Setya Novanto (Pemohon) tidak setuju dengan penetapan tersangka

atas dirinya sehingga mengajukan permohonan praperadilan dengan alasan, pada

tanggal 17 Juli 2017 dikeluarkan SPRINDIK dengan No. Sprin.Dik-

56/01/07/2017 yang diikuti dengan diterbitkannya Surat Pemberitahuan

Page 27: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

75

Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berisi tentang penetapan Pemohon sebagai

tersangka. Pemohon baru menerima SPDP tersebut dari Termohon, pada tanggal

18 Juli 2017 pukul 19.00 WIB, itu berarti penetapan Pemohon sebagai tersangka

oleh Termohon dilakukan sebelum Termohon melakukan proses penyidikan,

yaitu tanpa terlebih dahulu memeriksa saksi-saksi dan alat bukti lainya

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Dengan kata lain Termohon

menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa melalui proses penyidikan.

Didalam SPDP tersebut, disebutkan Pemohon diduga melakukan tindak pidana

berdasarkan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 UU TIPIKOR jo. Pasal 55 ayat

(1) KUHP.

Terkait tuduhan Termohon terhadap Pemohon bersama-sama melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR, jelas

merupakan tuduhan yang tidak berdasar hukum. Alasan Termohon menetapkan

status Pemohon sebagai tersangka adalah karena Pemohon dianggap melakukan

tindak pidana korupsi bersama- sama dengan Terdakwa Irman dan Sugiharto

dalam perkara E-KTP yang teregister dengan No.

41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST. Namun faktanya dalam Putusan No.

41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST tersebut, nama Pemohon tidak disebut dan

bahkan tidak masuk dalam pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa

perkara tersebut sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana.

Sehingga sangat mengada-ada dan tidak berdasar apabila Pemohon dituduh

bersama-sama dengan Andi Agustinus alias Andi Naronggong, Irman dan

Sugiharto melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) subsidair Pasal 3 UU TIPIKOR jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu

Page 28: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

76

jelas penetapan PEMOHON sebagai tersangka yang disebutkan dalam SPDP

tersebut di atas yang dikeluarkan oleh Termohon terhadap diri Pemohon hanya

berdasarkan asumsi dan meminjam alat bukti perkara orang lain in casu adalah

Perkara No. 41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST, atas nama Terdakwa Irman

dan Sugiharto, sehingga cacat hukum, karena secara yuridis alat bukti dalam

perkara orang lain tidak boleh dipergunakan untuk membuktikan perkara yang

lain lagi.

Penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang dilakukan berdasarkan

temuan dalam proses penuntutan perkara orang lain (perkara No.

41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Irman dan

Sugiharto), bahkan dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka, Termohon

tidak membedakan mana yang merupakan barang bukti dan mana yang termasuk

alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, hal

tersebut jelas keliru dalam menerapkan alat bukti, karena di samping keterangan

para saksi yang saling bertentangan/ tidak sinkron antara satu dengan yang lain,

alat bukti tersebut hanya berlaku untuk pembuktian dalam Perkara No.

41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST dan secara yuridis tidak dapat

dipergunakan untuk perkara Pemohon yang bukan tersangka/terdakwa dalam

perkara tersebut, apalagi keterangan para saksi tersebut pun tidak didukung

dengan alat bukti yang lain, sehingga tidak dapat ditentukan keterangan yang

mana yang benar.

Ketentuan Pasal 1 angka (2) KUHAP tersebut, makna dari penyidikan

adalah dalam rangka terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk

membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi. Dari bukti-bukti tersebut

Page 29: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

77

kemudian baru ditetapkan tersangkanya. Akan tetapi faktanya, terhadap

Pemohon telah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka tanpa terlebih

dahulu dilakukan tindakan-tindakan penyidikan, yakni mencari serta

mengumpulkan bukti-bukti untuk membuat terang peristiwa pidana, atau

perbuatan apa yang dilakukan oleh Pemohon, serta bukti-bukti apa saja yang

terkait dengan Pemohon. Dalam hal ini Pemohon sama sekali tidak pernah

diperiksa dan dimintai keterangan sebagai saksi dalam proses penyelidikan dan

penyidikan terhadap Pemohon, melainkan langsung ditetapkan sebagai

tersangka. Dengan demikian tidak jelas bukti permulaan yang mana yang

dijadikan dasar oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka.

Oleh karena itu ada kekeliruan dalam proses penetapan tersangka yang

dilakukan oleh Termohon yang seharusnya penetapan tersangka dilakukan

setelah proses penyidikan, namun dalam kasus ini Termohon telah salah dan

keliru dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka terlebih dahulu dan

setelah itu baru dilakukan penyidikan.

Hal ini sejalan dengan apa yang dipertimbangkan oleh Hakim Mahkamah

Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014,

“apabila Pasal 1 angka 2 KUHAP dilakukan secara ideal dan benar maka tidak

diperlukan pranata praperadilan. Namun, permasalahannya adalah bagaimana

ketika tidak dilakukan secara ideal dan benar… Dimana seseorang yang sudah

ditetapkan menjadi tersangka memperjuangkan haknya dengan ikhtiar hukum

bahwa ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka… Hal

tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-

wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang

ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada

kekeliruan….”15

Memperhatikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas penulis

setuju dengan pernyataan tersebut, hal ini terbukti dalam proses penyelesaian

15 Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014.

Page 30: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

78

suatu perkara pidana, seperti apa yang sudah diuraikan diatas dalam Putusan

Nomor:97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Dimana dapat dilihat Mahkamah

Konstitusi sudah dapat memprediksi hal ini sebelumnya, yaitu ketika hal ini

(penerapan Pasal 1 angka 2 KUHAP) tidak dilakukan secara ideal dan benar,

akan menimbulkan hal-hal semacam ini, yakni menetapkan seseorang sebagai

tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukan proses penyidikan. Suatu proses

dalam sistem peradilan pidana untuk menemukan dan menentukan seseorang

dapat dinyatakan dan ditetapkan sebagai tersangka harus di lalui dengan proses

penyidikan akan tetapi kenyataannya hal ini tidak dilakukan yaitu seseorang

ditetapkan sebagai tersangka tanpa melalui proses penyidikan. Hal ini jelas

sangat salah serta menyalahi aturan serta prosedur yang berlaku, seharusnya

berdasarkan pengertian penyidikan ada proses atau serangkaian tindakan yang

dilakukan terlebih dahulu sebelum menemukan tersangka, yaitu pertama,

mencari dan mengumpulkan bukti, kedua, membuat terang tindak pidana yang

terjadi, ketiga, menemukan pelakunya (tersangkanya).

Akan tetapi dalam kasus yang penulis uraikan, penetapan tersangka

dilakukan terlebih dahulu, disusul dengan mencari dan menemukan bukti, baru

kemudian membuat tindak pidananya terang. Hal ini menyalahi aturan dan

merupakan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik dan penuntut umum, hal

ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai akibat dari

prosedur atau rangkaian tindakan penyidikan yang menyalahi aturan seperti

yang sudah diatur dalam KUHAP dan tidak sejalan dengan prinsip yang yang

dianut dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu due process of law yang

Page 31: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

79

seharusnya digunakan sebagai perwujudan perlindungan hak asasi manusia

dalam proses peradilan pidana terutama terhadap para penegak hukum.

Sebaliknya ketika prosedur dan tindakan dan prosedur yang dilakukan oleh

penyidik sesuai dengan pengertian dari penyidikan yaitu menemukan bukti

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana guna menemukan tersangkanya,

jika hal ini dilakukan sudah barang tentu permohonan-permohonan tentang

praperadilan dengan alasan penetapan tersangka seharusnya ditolak, karena

penyidikan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ideal dan benar.

Dengan demikian perluasan objek praperadilan dengan penetapan tersangka

sebagai objek praperadilan merupakan penyeimbang dalam hal adanya benturan

antara hak-hak individu dengan kekuasaan negara, dalam hal ini lembaga

penegak hukum, untuk dapat menilai bahwa apakah benar-benar seseorang yang

ditetapkan sebagai tersangka pada prosesnya sudah dilakukan secara ideal dan

benar. Namun apabila tidak dilakukan secara ideal dan benar, dapat diajukan

kepada lembaga praperadilan, sebagai lembaga yang berhak menilai dan juga

sebagai penyeimbang hak (Audi et alteram partem) untuk dapat mewujudkan

check and balances antara hak-hak individu dengan kekuasaan negara khusunya

lembaga penegak hukum.

Didalam Mahkamah Konstitusi memutus penetapan tersangka sebagai

objek praperadilan, menurut penulis diperhadapkan pada pertentangan antara

keadilan dan kepastian hukum terhadap kasus yang diajukan kepadanya. Dengan

berdasarkan Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP (Sebelum adanya Putusan MK

No. 21/PUU-XII/2014) praperadilan adalah merupakan wewenang Pengadilan

Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang:

Page 32: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

80

a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka;

b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Penetapan tersangka pada saat pemberlakuan KUHAP pada tahun 1981

belum dimasukan sebagai objek praperadilan, akan tetapi setelah adanya Putusan

MK No. 21/PUU-XII/2014, barulah objek praperadilan diperluas dengan

dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, hakim

Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran atau interpretasi hakim (judicial

interpretation) yang melalui penafsirannya dalam putusan terhadap kasus

tersebut hakim Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah menciptakan norma

hukum baru dengan memasukan penetapan tersangka sebagai objek

praperadilan. Penulis berpendapat penetapan tersangka sebagai objek

praperadilan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi diperhadapkan pada

pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum, dikarenakan hakim

Mahkamah Konstitusi telah menciptakan norma hukum baru melalui

penafsirannya, yang hasil dari putusan tersebut memiliki kekuatan mengikat

secara hukum. Asas putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan hukum tetap

dan bersifat final sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) berikut

penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah

Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan

tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan

Page 33: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

81

Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula

kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.

Dengan demikian setelah adanya putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 norma

yang terdapat dalam Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP juga ikut berubah yaitu

dengan adanya perluasan atau penambahan objek praperadilan dengan

memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperdilan, hal ini tentu

menimbulkan ketidakpastian hukum dimana sesuatu norma yang harus ditaati

dan pasti apabila norma tersebut dituangkan dalam bunyi pasal-pasal yang daitur

dalam undang-undang. Akan tetapi, ternyata bukan kepastian hukum yang diacu

oleh Mahkamah Konstitusi tetapi keadilan yang menjadi acuan Mahkamah

Konstitusi memutus perkara ini.

Ketidakpastian hukum yang dimaksudkan penulis adalah dengan

dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dengan minimal

2 (dua) alat bukti sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi, yang

dimana juga memeriksa pokok perkara yang terkait keabsahan alat bukti (hasil

penyidikan), disini terlihat jelas pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.

21/PUU-XII/2014, tidak murni lagi hanya memeriksa persoalan formil

(administrasi) saja, tetapi juga sudah masuk pada wilayah materi perkara.

Penulis mengatakan demikian, karena tidak mungkin pemeriksaan praperadilan

dengan alasan penetapan tersangka tidak masuk materi perkara, sementara yang

menyebabkan seseorang menjadi tersangka adalah adanya 2 (dua) alat bukti.

Ketidakpastian hukum juga menurut penulis adalah apabila dimaknai ketika

seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yang prosesnya dilakukan

secara ideal dan benar sesuai dengan prosedur penyidikan (mencari dan

Page 34: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

82

mengumpulkan bukti, membuat terang tindak pidana yang terjadi, menemukan

tersangkanya) jikalau diajukan sebagai objek praperadilan seharusnya di tolak,

dikarenakan hal ini merupakan alasan-alasan yang dilakukan oleh orang-orang

yang ingin meloloskan diri dari jeratan hukum dengan objek praperadilan

penetapan tersangka sebagai senjatanya. Berbeda hal nya jikalau penetapan

tersangka dimaknai merupakan suatu proses yang dilakukan tidak secara ideal

dan benar sesuai dengan prosedur penyidikan (tersangka terlebih dahulu, bukti,

kemudian terang tindak pidana) inilah yang seharusnya bisa dijadikan sebagai

objek praperadilan. Dengan demikian kepastian hukum dalam penetapan

tersangka sebagai objek praperadilan dapat tercapai apabila dimaknai dalam

konteks seperti ini.

Akan tetapi disisi lain Penulis melihat kepastian hukum yang di capai adalah

karena penetapan tersangka yang dimasukan sebagai objek praperadilan dapat

menjawab problem yuridis yang timbul akibat dari ketidakjelasan bunyi pasal

dalam KUHAP, dengan adanya penegasan dari Mahkamah Konstitusi dalam

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti

permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.

Karena jikalau tidak adanya kejelasan terhadap frasa yang tersebut diatas, hukum

akan menjadi tidak pasti dan cenderung hal ini juga membingungkan penyidik

dan bahkan sangat mungkin dengan kebingungan yang ada dapat menimbulkan

tindakan sewenang-wenang. Dengan adanya penegasan terhadap hal ini bukan

tidak mungkin dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi

Page 35: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

83

di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk

pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi

tersangka.

KUHAP sendiri tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan

bukti yang cukup. Penjelasan resminya baru bisa didapatkan setelah adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, yang menafsirkan bahwa

frasa “bukti yang cukup” adalah minimal 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam

Pasal 184 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Untuk itu, akibat tidak ditemukannya 2 (dua) alat bukti, bukan hanya tidak

ditemukan tersangkanya, melainkan juga ada kewajiban hukum dari penyidik

untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

Penetapan tersangka yang didasarkan atas 2 (dua) alat bukti, harus didahului

juga dengan pemeriksaan calon tersangka, hal ini berdasarkan pertimbangan

hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Tujuannya

adalah, agar tidak terjadi persangkaan yang tidak wajar (adfire prejudice).

Sangkaan penyidik yang hanya bermodal laporan pelapor, sifatnya sangat

subjektif, maka untuk mengobjektifkannya penyidik wajib memeriksa terlapor

(calon tersangka) terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka, hal ini

dimaksudkan agar penyidik dalam memeriksa suatu laporan dugaan tindak

pidana didasarkan informasi yang lengkap dan berimbang. Sehingga dalam

mengambil keputusan penyidik tidak berada dalam keraguan dan kebimbangan,

apakah menetapkan tersangka dan melanjutkan proses hukumnya, atau

mengambil keputusan untuk menghentikan perkara tersebut (SP3).

Page 36: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

84

Dimasukannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dipandang

sebagai suatu keputusan yang adil yang di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi

karena sebagai negara hukum hal yang paling utama adalah melindungi

kepentingan individu dari tidakan kesewenang-wenangan dari negara, dengan

demikian hal tersebut dapat melindungi hak-hak individu dalam menghadapi

proses peradilan pidana, juga dapat mewujudkan perlindungan dan pemajuan

hak asasi manusia, lebih menekankan kepada para penegak hukum bahwa dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam penegakan hukum harus

dijunjung tinggi asas due process of law, pentingnya prinsip kehati-hatian lebih

ditingkatkan agar dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar,

lebih menyadari bahwa tersangka harus diposisikan sebagai subjek manusia

yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dimata hukum.

Penulis melihat Mahkamah Konstitusi memutuskan lebih berdasarkan pada

keadilan dengan alasan dimana penyelenggaraan sistem peradilan pidana dalam

penegakan hukum di Indonesia belum berjalan sesuai dengan apa yang dicita-

citakan, penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum seringkali

tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur, seperti yang sudah penulis uraikan

diatas. Pemohon dalam kasus ini merasa dirugikan oleh karena prosedur atau

tindakan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam menangani perkara yang

menjeratnya adalah salah dalam penerapannya, karena tidak dilakukan secara

prosedur yang ideal dan benar.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice

System) menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “… the collective

Page 37: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

85

institution through which an accused offender passes until the accusations have

been disposed of or the assessed punishment conculed…”.

Penegakan hukum pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma

peraturan perundangan yang menjadi wilayah hukum pidana prosedural, dapat

lebih didekatkan pada prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus

menegakan keadilan dan penegakan hukum yang bermanfaat. Berkaitan dengan

perluasan objek penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem

peradilan pidana terpadu yang terdiri dari lembaga-lembaga penegak hukum,

yakni, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Sebagai suatu sistem harus adanya koordinasi yang tercipta satu sama lain secara

efisien dan efektif, dengan begitu akan tercipta saling pengertian satu sama lain,

saling menghargai dan bersikap kooperatif, sekalipun dengan bidang tugas yang

berbeda.

Akan tetapi apabila dalam sistem peradilan pidana terpadu sebagai suatu

sistem apabila terdapat kelemahan pada satu organ dalam sistem tersebut dalam

hal ini kepolisian (penyidik), dalam menjalankan tugas dan kewenangannya

tidak sesuai dengan prosedur dan tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam

undang-undang, dengan menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan tidak

didahului dengan prosedur-prosedur yang sudah diatur akan berdampak pada

organ-organ sistem peradilan pidana lainnya. Hal ini akan menimbulkan

kerugian yang berdampak terhadap hak-hak individu dan juga perlindungan dan

pemajuan terhadap hak asasi manusia tidak dapat terlaksana dengan baik. Untuk

itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar dalam penegakan

hukum dapat berjalan secara ideal dan benar.

Page 38: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

86

Penegakan hukum selalu berkaitan dengan kehidupan dalam masyarakat,

karena penegakan hukum tidak lain merupakan pengontrolan terhadap tingkah

laku manusia yang dianggap menyimpang atau berlawanan dengan prinsip-

prinsip atau ide yang sebelumnya disepakati atau disetujui oleh masyarakat

pendukungnya. Termasuk didalamnya ada kesepakatan agar prosedur penegakan

hukum menjamin hak-hak dan kewajiban kepada masyarakatnya yang telah

dituangkan dalam undang-undang. Untuk itu hal tersebut tidak boleh dilanggar

secara sewenang-wenang oleh penegak hukum dalam melakukan penegakan

hukum, terhadap suatu perkara yang dihadapi. Jika terjadi pelanggaran terhadap

hak-hak dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang akan menimbulkan

hilangnya kepercayaan masyarakat undang-undang, sehingga menimbulkan

perpecahan (disintegrasi) karena hukum dianggap tidak berfungsi.

Apabila hukum tidak lagi berfungsi bukan tidak mungkin kesatuan

masyarakat akan terganggu oleh karena masyarakat meragukan hukum sekaligus

meragukan lembaga maupun penegak hukum karena melakukan tugas dan

wewenangnya tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur di dalam undang-

undang. Karena seringkali melakukan penyalahgunaan wewenang oleh para

penegak hukum. Kesatuan masyarakat yang terganggu karena hukum tidak

berfungsi dengan baik, akan berakibat juga pada penegakan hukum yang

merupakan suatu sistem terpadu akan menjadi sectoral atau pragmentaris

(departmental-oriented), akibatnya tujuan sistem peradilan pidana terpadu tidak

akan tercapai. Untuk itu pentingnya prinsip kehati-hatian lebih ditingkatkan agar

dalam penegakan hukum dapat berjalan secara ideal dan benar. Menggunakan

wewenangnya sesuai prosedural yang sudah diatur di dalam undang-undang.

Page 39: BAB III Hasil Penelitian dan Analisis A. Hasil Penelitian · 2020. 3. 9. · Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara

87

Agar sistem peradilan pidana terpadu dapat terlaksana dengan baik sesuai

dengan prinsip negara hukum dengan asas due process of law sebagai

perwujudan perlindungan hak asasi manusia dan juga merupakan salah satu

syarat atau ciri negara hukum adalah adanya perlindungan dan pemajuan hak

asasi manusia.