BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15912/3/T1... ·...

18
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Sejarah Pembentukan Badan Kehormatan Latar belakang pembentukan BK di Indonesia menurut Selamet Effendi merupakan efek dari gagasan reformasi etik, rezim etik, kode etik dan kode perilaku pada sejumlah parlemen di dunia. 1 Selamet effendi juga menambahkan bahwa BK itu selalu terkait dengan etika, dimana satu-satunya alat kelengkapan dewan, yang didalam keputusannya tidak mempertimbangkan politik praktis. Karena rezim yang ditegakkan BK adalah rezim etik, dimana etika menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan parlemen, kehidupan berpolitik dan kehidupan bernegara. 2 Pendirian BK didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar yuridis. 3 Pembentukkan BK sebagai alat kelengkapan tetap didasarkan pada akar filosofis, yaitu melihat etika politik sebagai dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis kita dapat melihat pendekatan kelembagaan (khususnya BK) dalam lingkup tata hukum nasional. Adapun pertimbangan filosofis pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, sebagaimana telah diubah untuk pertama kali dengan UU No 42 tahun 2014. 1 www.suarakarya.on-line/sejarah-pembentukan-bk Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul 19:17 2 Ibid 3 www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul 21:30

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/15912/3/T1... ·...

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. HASIL PENELITIAN

1. Sejarah Pembentukan Badan Kehormatan

Latar belakang pembentukan BK di Indonesia menurut Selamet Effendi merupakan

efek dari gagasan reformasi etik, rezim etik, kode etik dan kode perilaku pada sejumlah

parlemen di dunia.1 Selamet effendi juga menambahkan bahwa BK itu selalu terkait dengan

etika, dimana satu-satunya alat kelengkapan dewan, yang didalam keputusannya tidak

mempertimbangkan politik praktis. Karena rezim yang ditegakkan BK adalah rezim etik,

dimana etika menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan parlemen, kehidupan

berpolitik dan kehidupan bernegara.2

Pendirian BK didasarkan pada dua hal, yaitu dasar filosofis dan dasar yuridis.3

Pembentukkan BK sebagai alat kelengkapan tetap didasarkan pada akar filosofis, yaitu

melihat etika politik sebagai dasar konseptual. Etika Politik merupakan ilmu yang

fundamental untuk melihat gejala-gejala politik dari sisi moralitas. Sedangkan dasar yuridis

kita dapat melihat pendekatan kelembagaan (khususnya BK) dalam lingkup tata hukum

nasional. Adapun pertimbangan filosofis pertama yang menjadi dasar pembentukan BK dapat

kita simak terlebih dahulu dalam bagian “Mengingat” huruf a UU No. 17 Tahun 2014 tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, sebagaimana telah diubah untuk

pertama kali dengan UU No 42 tahun 2014.

1www.suarakarya.on-line/sejarah-pembentukan-bk Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul 19:17

2 Ibid

3www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. Dikunjungi pada tangggal 24 September 2017, pukul

21:30

“...bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perumusyawaratan/perwakilan perlu

diwujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan

lembaga perwakilan daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta

dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah

sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara...”

Bila dilihat dari Undang-Undang tersebut, maka pembentukan BK nampak didasari

suatu pemikiran tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dipetik dari nilai-nilai Pancasila

(baik sebagai norma dasar maupun ideologi terbuka). Antara “kedaulatan rakyat” dan

“hikmat kebijaksanaan” menjadi dasar fundamental agar suatu institusi yang dibentuk dalam

lembaga perwakilan rakyat seperti BK itu, dapat benar-benar menyerap dan memperjuangkan

aspirasi rakyat.4Istilah “hikmat kebijaksanaan” memposisikan anggota BK DPR serta BK lain

di DPD dan DPRD agar menggunakan “hati nurani” sebagai fenomena moral. “Hikmat

kebijaksanaan” merupakan upaya rasio agar segala keputusan manusia dapat diterima oleh

sesamanya.Begitupun dengan “hati nurani” dan “kesadaran” itu merupakantema penting

dalam etika. Dalam hal ini, “hati nurani “ cenderung mempunyai aspek transenden yang

melampaui diri kita, dan meletakkan kita sebagai „pendengar‟ dari suara-suara transendennya.

Keberadaan BK mendorong penggunaan “hikmat kebijaksanaan” untuk menciptakan

suatushame culture dan guilt culture.5

Artinya, anggota parlemen mempunyai rasa malu dan rasa bersalah bila perilakunya

melanggar ketentuan dalam Kode Etik dan Tata Tertib.Pasca reformasi tuntutan untuk rasa

malu dan rasa bersalah itu muncul dalam kesadaran pribadi anggota parlemen tanpa adanya

suatu sanksi/hukuman dari BK maupun institusi peradilan. Dasar pembentukan BK

mempunyai nuansa filosofis yang amat mendasar.Pembentukan BK meletakkan tanggung

jawab dan kewajiban moral tentang pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui hikmat

kebijaksanaan dalam kinerjanya sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang

4www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. dikunjungi pada tanggal 24 September 2017, pukul

21:43 5 Ibid

berfungsi untuk menegakkan martabat manusiawi anggota parlemen. Selain itu pembentukan

BK meletakkan hubungan yang erat antara moral dan agama, serta moraldan politik, apabila

melihat dari sumpah/janji anggota parlemen. Sebagai pendasarannya adalah moralitas sebagai

ciri khas manusia, dimana BK menilai seluruh perbuatan yang dilakukan anggota parlemen

dalam cara pandang moralitas.

Sedangkan menurut dasar yuridis, Jimly Ashiddiqie, dalam Konstitusi dan

Konstitusionalisme Indonesia, 6 menyatakan bahwa salah satu ciri penting dari good

governance adalah prinsip the rule of law yang harus digandengkan pula sekaligus dengan

the living ethics. Keduanya berjalan seiring dan sejalan secara fungsional dalam upaya

membangun peri kehidupan yang menerapkan prinsip good governance, baik dalam lapisan

pemerintahan dan kenegaraan (supra-struktur) maupun dalam lapisan kemasyarakatan

(infrastruktur). Ide pokok tentangthe rule of law dan the living ethics adalah di samping

membangun sistem hukum dan menegakkan hukum, juga harus membangun dan

menegakkan sistem etika dalam kehidupan keorganisasian warga masyarakat dan warga

negara.Dengan demikian, tidak semua persoalan harus ditangani oleh dan secara hukum.

Yang menarik dari pemikiran Jimly Ashiddiqie adalah sebelum segala sesuatu bersangkutan

dengan hukum, sistem etika sudah lebih dulu menanganinya, sehingga diharapkan beban

sistem hukum tidak terlalu berat. Jika etika tegak dan berfungsi baik maka mudah diharapkan

bahwa hukum juga dapat ditegakkan semestinya.

Kehadiran BK sebagai lembaga penegak etik adalah salah satu jawaban dari living

ethics. AdanyaBK di parlemen belumlah cukup kuat pelaksanaan etika terapannya, bila tidak

didukung oleh lembaga etik di pemerintahan dan alat negara lainnya. Maraknya pembentukan

lembaga etik di seluruh lembaga negara amat berarti sebagai elemen pendukung etika terapan

6Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstutusionalisme Indonesia, edisi revisi.Jakarta, Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 367-377

di bidang politik. Dengan demikian, konsideran pembentukan BK baik antara konsideran

filosofis dan yuridis masih memerlukan penyempurnaan dalam hal pelaksanaan, refleksi

konseptual, dan uji validitas terhadap berbagai aturan hukum positif.7 Tak terkecuali, Kode

Etik DPRD pun membutuhkan kritik agar terdapat acuan moralitas yang berjalan sesuai

perkembangan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang lebih matang.

2. Kedudukan Badan Kehormatan dalam menunjang fungsi DPRD

Di Indonesia DPRD adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang

merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPRD terdiri dari:

1. DPRD Provinsi, berada di setiap provinsi di Indonesia.

2. DPRD Kabupaten/Kota berada di setiap kabupaten/kota di Indonesia.

DPRD merupakan wakil-wakil dari rakyat di wilayah atau di daerah setempat. Dewan inilah

yang menjadi jembatan sebagai penghubung komunikasi antara rakyat dengan pemerintah

daerah. Dalam rangka untuk menunjang trifungsi DPRD, yaitu fungsi lengislasi, fungsi

anggaran dan fungsi pengawasan maka DPRD dilengkapi dengan alat kelengkapan dewan,

yang salah satunya adalah Badan Kehormatan.8 BK merupakan salah satu alat kelengkapan

DPRD yang keberadaannya penting untuk menegakan kode etik Anggota Dewan.

Pengaturan mengenai BK DPRD ini terdapat dalam pasal 375 UU No 17 Tahun 2014

sebagaimana telah diubah dalam UU No 42 Tahun 2014 jo pasal 56 PP No. 16 Tahun 2010

tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. BK di desain

7www.bkwordpress.com/konsideranpembentukan-bk. Dikunjungi pada 24 September 2017, pukul 21.43

8 Pasal 375 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU

No 42 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap. BK sebagai penjaga idealisme anggota dewan

sangat diperlukan karena anggota dewan merupakan penilai dari kinerja eksekutif. Mengingat

ketiga fungsi tersebut merupakan inti dari politik perwakilan, maka dalam hal berperilaku

maupun untuk menghasilkan sebuah keputusan yang baik anggota DPRD haruslah

berpedoman pada tata tertib dan kode etik. Adanya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2010

semakin memperkuat kedudukan BK. Pada pasal 56 Peraturan Pemerintah tersebut

menyatakan bahwa BK merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk

oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD.

Pada Pasal 56 ayat (3) dijabarkan lebih lanjut bahwa anggota BK sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:

a. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh empat)

orang berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 75

(tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang berjumlah 7 (tujuh)

orang;

b. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga puluh

empat) orang berjumlah3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota yang

beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh) orang

berjumlah 5 (lima) orang.

Kedudukan dan susunan BK: 9

1. badan Kehormatan dibentuk oleh DPRD dan merupakan alat kelengkapan DPRD

yang bersifat tetap.

2. pembentukan Badan Kehormatan ditetapkan dengan keputusan DPRD.

3. anggota Badan Kehormatan dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:

a. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh

empat) orang berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD provinsi yang

9 Pasal 56 PP No 16 Tahun 2010

beranggotakan 75 (tujuh puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang

berjumlah 7 (tujuh) orang;

b. untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga

puluh empat) orang berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD kabupaten/kota

yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) orang sampai dengan 50 (lima puluh)

orang berjumlah 5 (lima) orang.

4. pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil

ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan.

5. anggota Badan Kehormatan dipilih dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD

berdasarkan usul dari masing-masing fraksi.

6. untuk memilih anggota Badan Kehormatan, masing-masing fraksi berhak

mengusulkan 1 (satu) orang calon anggota Badan Kehormatan.

7. dalam hal di DPRD hanya terdapat 2 (dua) fraksi, fraksi yang memiliki jumlah kursi

lebih banyak berhak mengusulkan 2 (dua) orang calon anggota Badan Kehormatan.

8. masa tugas anggota Badan Kehormatan paling lama 2½ (dua setengah) tahun.

9. anggota DPRD pengganti antarwaktu menduduki tempat anggota Badan Kehormatan

yang digantikan.

10. badan Kehormatan dibantu oleh sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh

sekretariat DPRD.

Fungsi BK dalam penegakan kode etik sangatlah penting guna menjaga etika dan

moral Anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Badan Kehormatan bertugas untuk

melaksanakan pengawasan dan control terhadap DPRD. Pengawasan dan kontrol dalam hal

ini adalah pengawasandan kontrol internal terhadap DPRD.Anggota DPRD merupakan para

wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Tentang etika, pada dasarnya merupakan

tentang etis dan tidaknya suatu tindakan tertentu terkait dengan fungsi, tugas, wewenang, dan

tanggung jawab serta kedudukan seseorang sebagai anggota DPRD. Dalam profesinya

sebagai anggota DPRD, maka disini perlu adanya kode etik profesi untuk memberikan

batasan guna menjaga profesionalitas anggota DPRD agar tidak terjadi penyimpangan.10

3. Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPRD

10

Murhani Suriansyah, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah. Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2008, hlm. 69.

Hal yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan BK DPRD ditegaskan dalam PP

Nomor 16 Tahun 2010 khususnya pada Pasal 57 yang menentukan tugas BK. Munculnya

ketentuan baru mengenai BK yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah maka ketentuan tentang tugas dan kewenangan Badan Kehormatan

mengalami perubahan yang kemudian diatur dalam dalam peraturan DPRD kabupaten/kota

tentang tata tertib. Berdasarkan Pasal 57 PP No 16 tahun 2010 menyatakan bahwa BK

mempunyai tugas:

a. memantau dan mengevaluasi disiplin dan/atau kepatuhan terhadap moral, kode

etik, dan/atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat,

kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD;

b. meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggotaDPRD terhadap

peraturan tata tertib dan/atau kode etik DPRD;

c. melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan pimpinan

DPRD, anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan

d. melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi,

dan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada rapat paripurna

DPRD.

Pengaturan tentang kewenangan BK selanjutnya diatur dalam PP Nomor 16 Tahun

2010 pada Pasal 58 dengan rumusan yang sama dengan ketentuan pada Pasal 48 UU Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk melaksanakan tugasnya, BK

berwenang:

a. memanggil anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran kode etik

dan/atau peraturan tata tertib DPRD untuk memberikan klarifikasi atau

pembelaan atas pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan;

b. meminta keterangan pengadu, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait,

termasuk untuk meminta dokumen atau bukti lain; dan

c. menjatuhkan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti melanggar kode etik

dan/atau peraturan tata tertib DPRD.

Demikian pula untuk proses pengaduan juga telah diatur dalam pasal 60 PP No 16

Tahun 2010. Adapun mekanisme pengaduan/ pelaporan pelanggaran berdasarkan ketentuan

tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Pengaduan disampaikan secara tertulis kepada pimpinanDPRD disertai identitas

pengadu yang jelas dengan tembusan kepada Badan Kehormatan.

(2) Pimpinan DPRD wajib menyampaikan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) kepada Badan Kehormatan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak

tanggal pengaduan diterima.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pimpinan DPRD

tidak menyampaikan pengaduankepada Badan Kehormatan, Badan Kehormatan

menindaklanjuti pengaduan tersebut.

(4) Dalam hal pengaduan tidak disertai dengan identitas pengadu yang jelas, pimpinan

DPRD tidak meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

Badan Kehormatan.

Setelah menerima pengaduan, BK melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.

Tentang mekanisme penelitian dan pemeriksaan pengaduan/ pelaporan berdasarkan Pasal

61ayat (2) adalah sebagai berikut:

a. penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi dilakukan dengan cara meminta keterangan

dan penjelasan kepada pengadu, saksi, teradu, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait,

dan/atau memverifikasi dokumen atau bukti lain yang terkait.

b. hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi Badan Kehormatan dituangkan dalam

berita acara penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.

c. pimpinan DPRD dan/atau Badan Kehormatan menjamin kerahasiaan hasil

penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.

Dalam menjalankan kewenanangannya, BK menggunakan Pedoman Peraturan Tata

Tertib DPRD dan Kode Etik DPRD. Adapun muatan Peraturan Tata Tertib menurut pasal 186

ayat (3) UU No 23 Tahun 2014 sekurang kurangnya menyangkut:

a) pengucapan sumpah/janji;

b) penetapan pimpinan;

c) pemberhentian dan penggantian pimpinan;

d) jenis dan penyelenggaraan rapat;

e) pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;

f) pembentukan, susunan, serta tugas dan wewenang alat kelengkapan;

g) penggantian antarwaktu anggota;

h) pembuatan pengambilan keputusan;

i) pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah

kabupaten/kota;

j) penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;

k) pengaturan protokoler; dan

l) pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.

1. Perkembangan Pengaturan Hukum Badan Kehormatan

Pada tanggal 31 Juli 2003, pemerintah mengeluarkan Undang Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Sususan dan Kedudukan). Dalam Undang-

Undang ini terdapat suatu yang baru dengan memunculkan keberadaan BK yang diatur pada

pasal 98 Undang-Undang ini. Pada Pasal 98 ayat (4) BK dicantumkan sebagai salah satu alat

kelengkapan DPRD Provinsi dan kabupaten/ kota, selain pimpinan, panitia musyawarah,

komisi, panitia anggaran dan alat kelengkapan lain yang diperlukan. Sejak saat itulah BK

mulai disebut keberadaannya di Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 tersebut, DPRD memiliki alat kelengkapan yang baru yakni BK.

Undang-Undang Susunan dan Kedudukan ini mengatur keberadaan BK DPRD dalam

Pasal 98 ayat 4 huruf (g). Namun tentang penjelasan dan gambaran rinci tentang BK DPRD

tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang ini menyatakan

pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan tata Tertib. Pada tanggal 28

Agustus 2004, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD

Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Peraturan Pemerintah tersebut memuat pengaturan

tentang Badan Kehormatan dengan lebih terperinci tentang pembentukan, susunan, tugas, dan

wewenang dari Badan Kehormatan.

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan

Tata Tertib DPRD menjawab perintah Pasal 98 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003. Pada Pasal 43 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa BK merupakan salah

satu alat kelengkapan DPRD. Tentang kedudukan BK ini dipertegas lagi dalam Pasal 50 ayat

(1) yang menyatakan bahwa BK merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan

dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD.

Pada Pasal 50 ayat (5) dijabarkan lebih lanjut bahwa anggota BK sebagaimana

dimaksud pada Pasal 98 ayat (2), ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD berdasarkan usul

dari masing-masing fraksi untuk unsur DPRD dan unsur luar DPRD dipilih setelah dilakukan

penelitian dan uji kemampuan oleh suatu panitia. Tugas dari BK diatur pada Pasal 51, yang

salah satu bunyi ayat pasal tersebut menyatakan BK mempunyai tugas menyampaikan hasil

pemeriksaan kepada pimpinan DPRD dan merekomendasikan untuk pemberhentian anggota

DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan. Pada tanggal 15 Oktober 2004,

Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani pengesahan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 46 menyebutkan pengaturan mengenai

BK DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota sebagai bagian alat kelengkapan DPRD dan

pada pasal 47 diatur lebih khusus lagi mengenai BK tersebut yang notabennya telah diatur

belum berapa lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004.

Terdapat hal yang mengejutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini,

dimana pada Pasal 47 ayat (2) menyebutkan bahwa Anggota BK DPRD dipilih dari dan oleh

anggota DPRD. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah membawa dampak pada pengaturan tentang BK DPRD yang telah diatur di Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru

ini, ternyata dalam pengaturan tentang BK dalam hal keanggotaannnya semuanya berasal dari

kalangan anggota DPRD saja, tidak ada yang berasal dari luar DPRD. Dalam pasal 47 dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat 4 (empat)

ayat yang mengatur tentang susunan dan kedudukan Badan Kehormatan. Pasal 47 ayat (2)

menyatakan bahwa anggota BK DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan

oleh anggota DPRD dengan ketentuan:

a) Untuk DPRD Kabupaten/ Kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga

puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan

35 (tiga puluh lima) sampai dengan 45 (empat puluh lima) berjumlah 5 (lima)

orang.

b) Untuk DPRD Propinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh

empat) berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 75

(tujuh puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) berjumlah 7 (tujuh) orang.

Kemudian seiring berjalannya waktu, PP No 25 Tahun 2004 telah diubah dan

disempurnakan untuk pertama kalinya dengan PP No 53 tahun 2005. Hingga kini PP Nomor

53 Tahun 2005 telah dicabut dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010

tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur

lebih lanjut tentang BK DPRD berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

juga telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah. Rumusan ketentuan tentang BK DPRD yang diatur dalam PP Nomor 16

Tahun 2010 tersebut diadopsi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Dalam kedua peraturan tersebut telah meniadakan anggota BK yang berasal dari unsur luar

DPRD.

Hal ini memberi implikasi bahwa Anggota BK dipilih dari dan oleh anggota

DPRD saja. Sehingga anggota BK hanya berasal dari kalangan anggota DPRD.

Perkembangan pengaturan hukum mengenai BK dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1 Perbandingan Pengaturan BK DPRD dalam Undang-Undang:

No Penjelasan UU No 22 tahun 2003 UU No 32 Tahun 2004 UU No 23 Tahun 2014

1 Jumlah dan

Komposisi

Pasal 98 ayat (4).

Diatur dalam peraturan tata

tertib MPR, DPR, DPD dan

DPRD Kab/Kota.

Pasal 47 ayat (2) .

Terdiri dari 3 orang untuk

DPRD Kab/Kota yang

beranggotakan sampai dengan

34. Terdiri dari 5 orang untuk

anggota DPRD yang

beranggotakan 35-45.

Pasal 163 ayat (3).

Diatur lebih lanjut dalam

peraturan DPRD Kab/Kota

tentang Tata Tertib.

2 Pengangkatan Pasal 98 ayat (4)

Diatur dalam peraturan tata

tertib MPR, DPR, DPD dan

DPRD Kab/Kota.

Pasal 47 ayat (1)

Ditetapkan dengan keputusan

DPRD.

Pasal 163 ayat (3).

Diatur lebih lanjut dalam

peraturan DPRD Kab/Kota

tentang Tata Tertib.

3 Pemilihan

pimpinan

Pasal 98 ayat (4)

Diatur dalam peraturan tata

tertib MPR, DPR, DPD dan

DPRD Kab/Kota.

Pasal 47 ayat (3)

Pimpinan BK terdiri atas

seorang Ketua dan seorang

Wakil Ketua yang dipilih dari

dan oleh anggota Badan

Kehormatan.

Pasal 163 ayat (3).

Diatur lebih lanjut dalam

peraturan DPRD Kab/Kota

tentang Tata Tertib.

4 Pemberian sanksi Pasal 98 ayat (4)

Diatur dalam peraturan tata

tertib MPR, DPR, DPD dan

DPRD Kab/Kota.

Pasal 49 ayat (2) huruf f:

Diatur dalam peraturan

mengenai kode etik masing2

DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 190.

Jenis sanksi berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;

dan/atau

diberhentikan dari

pimpinan pada

alat kelengkapan.

Sumber : Diolah dari UU No 22 Tahun 2003, UU 32 Tahun 2004 dan UU No 32 Tahun 2014.

Berdasarkan tabel 3.1 perbandingan pengaturan BK DPRD diatas, menunjukan bahwa

dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2003 salah satu alat kelengkapan DPRD

Kabupaten/Kota adalah BK. Namun dalam UU tersebut belum diatur secara jelas ketentuan

mengenai BK. Dalam pasal 98 ayat (5) hanya menyebutkan bahwa pembentukan, susunan,

tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) (3) dan ayat

(4) diatur dalam peraturan Tata Tertib MPR, DPR, DPD dan DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota. Sedangkan dalam Undang Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah ketentuan mengenai BK sendiri diatur dalam pasal 46. Dalam UU ini mengatur lebih

jelas mengenai anggota BK, pemilihan anggota BK, tugas serta kedudukan anggota BK.

Sedangkan dalam Undang Undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang pemerintahan

daerah sebagai pengganti UU sebelumnya ketentuan menegenai BK diatur dalam pasal 163,

yang menunjukan bahwa salah satu alat kelengkapan DPRD adalah BK. Namun setelah UU

sebelumnya direvisi dengan UU No 23 tahun 2014, kembali UU ini tidak mengatur secara

rinci mengenai tugas, wewenang dan kedudukan BK. Hal ini karena dalam pasal 163 ayat (3)

menyebutkan bahwa Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta tugas dan

wewenang alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD

kabupaten/kota tentang tata tertib.

Tabel 3.2 Perbandingan Pengaturan BK DPRD dalam Peraturan Pemerintah:

No Penjelasan PP No 25 Tahun 2004 PP No 53 Tahun 2005 PP No 16 Tahun 2010

1 Jumlah dan

komposisi

Pasal 50 ayat (2).

sekurang-kurangnya

Pasal 50 ayat (2).

Terdiri dari 3 orang untuk DPRD

Pasal 56 ayat (3).

Terdiri dari 3 orang

tiga orang, terdiri atas

seorang anggota

DPRD dan dua orang

dari luar DPRD.

Sebanyak-banyaknya

tujuh orang, terdiri

atas tiga orang anggota

DPRD dan empat

orang dari luar

DPRD.

Kab/Kota yang beranggotakan

sampai dengan 34. Terdiri dari 5

orang untuk anggota DPRD yang

beranggotakan 35-45.

untuk DPRD Kab/Kota

yang beranggotakan

sampai dengan 34.

Terdiri dari 5 orang

untuk anggota DPRD

yang beranggotakan 35-

45.

2 Pengangkatan

anggota

Pasal 50 ayat (1).

dibentuk oleh DPRD

dalam Rapat Paripurna

DPRD.

Pasal 50 ayat (4).

Ditetapkan dalam rapat paripurna

DPRD berdasarkan usul dari

masing-masing fraksi.

Pasal 56 ayat (5).

Dipilih dan ditetapkan

dalam rapat paripurna

DPRD berdasarkan usul

dari masing-masing

fraksi.

3 Pemilihan

pimpinan

Pasal 50 ayat (3).

Terdiri atas seorang

Ketua dan Wakil

Ketua yang dipilih dari

dan oleh anggota

Badan Kehormatan.

Pasal 50 ayat (3).

Terdiri atas seorang Ketua dan

Wakil Ketua yang dipilih dari dan

oleh anggota Badan Kehormatan.

Pasal 56 ayat (4).

Terdiri atas seorang

Ketua dan Wakil Ketua

yang dipilih dari dan

oleh anggota Badan

Kehormatan.

4 Tata beracara

pengaduan

Tidak diatur Pasal 51B.

Dilakukan secara tertulis, diajukan

kepada pimpinan DPRD disertai

identitas pengadu yang jelas.

Pasal 60.

Dilakukan secara

tertulis, diajukan kepada

pimpinan DPRD disertai

identitas pengadu yang

jelas.

5 Jenis sanksi Tidak diatur Pasal 51C.

Teguran lisan/ teguran tertulis

sampai diberhentikan sebagai

anggota sesuai ketentuan

perundang-undangan.

Pasal 59 ayat (2).

Teguran lisan

Teguran tertulis

Pemberhentian sebagai

alat kelengkapan DPRD

atau;

Pemberhentian sebagai

anggota DPRD sesuai

peraturan perundang-

undangan.

Sumber : Diolah dari PP No 25 Tahun 2004, PP No 52 Tahun 2005, dan PP No 16 Tahun 2010.

Berdasarkan tabel 3.2 perbandingan pengaturan BK DPRD diatas, menunjukan bahwa

pada jumlah dan komposisi serta pengangkatan anggota BK terdapat perubahan. Yaitu pada

pasal 50 ayat (2) dan pada pasal 50 ayat (4). Dalam PP N0 25 tahun 2004 menerangkan

bahwa anggota BK dipilih Sekurang kurangnya 3 orang, terdiri atas 1 anggota DPRD dan 2

orang dari luar DPRD; dan Sebanyak-banyaknya 7 orang, terdiri atas 3 orang anggota DPRD

dan 4 orang dari luar DPRD. Namun setelah PP tersebut diubah dengan PP No 53 tahun

2005, maka aturan pada pasal tersebut berubah menjadi :

“Anggota BK dipilih Untuk DPRD Provinsi beranggotakan sampai dengan 74, teridiri atas

5 orang.Untuk DPRD yang beranggotakan 75-100, terdiri atas 7 orang.Dan untuk DPRD

Kab/Kota beranggota sampai dengan 34, terdiri dari 3 orang.Untuk DPRD yang

beranggotakan 35-45, terdiri dari 5 orang.”

Hal ini dapat terlihat bahwa dulunya anggota BK dapat dipilih dari luar DPRD,

namun ketentuan pada pasal 50 ayat (2) menghapuskan ketentuan sebelumnya.Ternyata

ketentuan mengenai pemilihan anggota BK tersebut berlaku sampai sekarang pada PP yang

telah diubah, yaitu PP No 16 tahun 2010. Hal ini memberi implikasi bahwa kini anggota

BK DPRD hanya berasal dari anggota DPRD saja.

B. ANALISIS

1. Eksistensi Badan Kehormatan dalam Menunjang Fungsi DPRD

Peran serta kedudukan BK dalam penegakan kode etik sangatlah penting guna

menjaga etika dan moral anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Dalam hal ini implementasi

fungsi DPRD diartikan dengan bagaimana fungsi tersebut dalam berjalan dengan baik

melalui ketentuan-ketentuan kode etik DPRD. BK bertugas untuk melaksanakan pengawasan

dan kontrol terhadap DPRD. Pengawasan dan kontrol dalam hal ini adalah pengawasan dan

kontrol internal terhadap DPRD. Anggota DPRD merupakan para wakil rakyat yang dipilih

melalui pemilihan umum. Tentang etika, pada dasarnya merupakan tentang etis dan tidaknya

suatu tindakan tertentu terkait dengan fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab serta

kedudukan seseorang sebagai anggota DPRD. Dalam profesinya sebagai anggota DPRD

maka disini perlu adanya kode etik profesi untuk memberikan batasan guna menjaga

profesionalitas anggota DPRD agar tidak terjadi penyimpangan.11

Dalam hal ini eksistensi BK dapat tercermin dari berfungsi atau tidaknya lembaga

DPRD tersebut. Maka dalam hal ini keberadaan BK menjadi sangat penting untuk dapat

menunjang tri fungsi DPRD tersebut, melalui instrument/ ketentuan-ketentuan mengenai

kode etik. Kode etik profesi tersebut terwujud dalam tata tertib dan kode etik DPRD. Kode

Etik DPRD merupakan keberlanjutan dari Tata Tertib DPRD. Pembentukan BK di parlemen

pada dasarnya sudah tepat, namun pelaksanaannya masih belum cukup kuat untuk benar-

benar menegakan Kode Etik yang ada. Mengingat bahwa DPRD merupakan lembaga

perwakilan rakyat di daerah yang tugasnya adalah melaksanakan hak dan kewajibannya

berdasarkan aspirasi rakyat, maka perilaku anggota DPRD haruslah mencerminkan seorang

wakil rakyat. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan terhadap sikap dan perilaku anggota

DPRD agar senantiasa dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Sikap dan

perilaku yang harus ditaati anggota dewan ini sendiri sudah diatur didalam UU ( Lihat Bab 2,

hlm. 24). Anggota DPRD sendiri juga sudah memiliki aturan mengenai tata kerja anggotanya

11

Murhani, Suriansyah, Aspek Hukum Pengawasan Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama,

2008), hlm. 69

yang dimuat dalam sebuah aturan, yang paling tidak harus memuat beberapa ketentuan.

(Lihat Bab 2, hlm. 25).

Adanya PP No 16 Tahun 2010 diharapan dapat memberi penguatan bagi eksistensi

BK. PP tersebut seharusnya menjadi payung hukum BK yang memberikan penguatan bagi

eksistensi BK sebagai lembaga pengawal tegaknya etika yang memiliki posisi sentral dan

strategis. Akan tetapi pada kenyataannya BK masih mengalami banyak problematika terkait

independensi lembaga tersebut. Dalam hal ini sebagai sebuah lembaga pengawas kode etik

BK seharusnya bersifat independen. Hal ini sangat diperlukan guna menghasilkan putusan

yang objektif dalam rangka untuk dapat menunjang fungsi utama DPRD sebagai representasi

rakyat di daerah.

2. Perkembangan Pengaturan Hukum Badan Kehormatan

Pengaturan mengenai BK petama kalinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Kemunculan BK

ini untuk pertama kalinya diatur dalam pasal 98 ayat (4) Undang-Undang tersebut. Kemudian

untuk menjawab perintah pasal 98 tersebut lahirlah PP Nomor 25 Tahun 2004 tentang

Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota.

Kemudian seiring berjalannya waktu, PP No 25 Tahun 2004 telah diubah dan

disempurnakan untuk pertama kalinya dengan PP No 53 tahun 2005. Hingga kini PP Nomor

53 Tahun 2005 telah dicabut dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010

tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur

lebih lanjut tentang BK DPRD berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

juga telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah. Rumusan ketentuan tentang BK DPRD yang diatur dalam PP Nomor 16

Tahun 2010 tersebut diadopsi dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Dalam kedua peraturan tersebut telah meniadakan anggota BK yang berasal dari unsur luar

DPRD. Hal ini memberi implikasi bahwa Anggota BK dipilih dari dan oleh anggota DPRD

saja. Sehingga anggota BK hanya berasal dari kalangan anggota DPRD.