BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis...

29
Bab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 23 BAB III ENDAPAN BATUBARA 3.1 DASAR TEORI BATUBARA 3.1.1 Pengertian Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf, 1984; op.cit. Anggayana, 2002). Pembentukan batubara diawali dengan proses peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang dapat berupa pepohonan, ganggang, lumut, bunga, serta sisa tumbuhan lainnnya dan terakumulasi pada lingkungan reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika maupun kimia yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupnya (overburden), temperatur, tekanan dan waktu (Gambar 3.1). Gambar 3.1. Proses terbentuknya batubara, dari pengendapan sisa tumbuhan, penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification) (Anggayana, 2002). Skema pembentukan batubara diperlihatkan pada Gambar 3.2, pembentukan batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, sebab proses yang berlangsung selain melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu geologi dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Dalam suatu cebakan yang sama, sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang Penggambutan P & T >> Pembatubaraan

Transcript of BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis...

Page 1: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 23

BAB III

ENDAPAN BATUBARA

3.1 DASAR TEORI BATUBARA

3.1.1 Pengertian Batubara

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa

tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf,

1984; op.cit. Anggayana, 2002). Pembentukan batubara diawali dengan proses

peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang dapat berupa pepohonan,

ganggang, lumut, bunga, serta sisa tumbuhan lainnnya dan terakumulasi pada lingkungan

reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika

maupun kimia yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupnya

(overburden), temperatur, tekanan dan waktu (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Proses terbentuknya batubara, dari pengendapan sisa tumbuhan, penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification) (Anggayana, 2002).

Skema pembentukan batubara diperlihatkan pada Gambar 3.2, pembentukan

batubara ini sangat menentukan kualitas batubara, sebab proses yang berlangsung selain

melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan pada waktu

geologi dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan. Dalam suatu cebakan yang sama,

sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena tumbuhan asalnya yang

Penggambutan P & T >> Pembatubaraan

Page 2: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 24

mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi kimia yang mempengaruhi kualitas suatu

batubara.

Gambar 3.2. Skema Pembentukan Batubara (Anggayana, 2002).

Kondisi lingkungan pengendapan dan proses geologi yang berlangsung juga

mempengaruhi proses pembentukan batubara. Oleh karena itu, karakteristik batubara

berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).

3.1.2 Proses Pembentukan Batubara

Dalam proses pembentukan batubara, terdapat dua proses utama yang berperan,

yaitu proses penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification).

1. Penggambutan ( Peatification)

Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan

hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara

(di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% berat dan kandungan

karbon lebih kecil dari 60% dalam kondisi kering (Wolf, 1984; op.cit. Anggayana, 2002).

Proses penggambutan ini merupakan tahap paling awal dari proses pembentukan

batubara, yang meliputi proses mikrobial dan perubahan kimia (biokimia). Faktor yang

sangat penting dalam proses ini adalah keberadaan air dan mikroorganisme (bakteri).

Page 3: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 25

Tumbuhan tersusun dari berbagai unsur, yaitu C, H, O dan N. Setelah tumbuhan mati

maka terjadi proses degradasi biokimia, kemudian tumbuhan akan mengalami

pembusukan, bakteri akan menguraikan unsur-unsur tersebut, memotong ikatan kimia

sehingga menjadi humus. Dalam keadaan melimpahnya oksigen dan jumlah bakteri yang

banyak, terjadi proses biokimia dan semua unsur tumbuhan akan terubah yang berakibat

lepasnya H, O, N dalam bentuk air (H2O) dan NH3, sebagian unsur C dalam bentuk gas

CO2, CO dan metana (CH4). Namun jika tumbuhan tertutup air (terendam) dengan cepat

maka akan terhindar dari proses pembusukan, perubahan unsur pada tumbuhan tidak

sempurna seluruhnya, sisa tumbuhan akan bertumpuk dan bereaksi menghasilkan gambut

(peat).

2. Pembatubaraan (Coalification)

Pada tahap selanjutnya, proses penggambutan akan diikuti oleh proses

pembatubaraan. Meliputi proses geologi dan perubahan kimia (geochemical coalification),

pada tahap ini bakteri tidak ikut berperan lagi.

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut (peat) menjadi lignit (brown

coal), sub-bituminous, bituminous, dan anthracite. Proses pembatubaraan ini terutama

dikontrol oleh temperatur, tekanan dan waktu. Selama proses perubahan dari gambut

menjadi lignit, terjadi proses kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Hal ini

ditunjukkan oleh penurunan kandungan airnya yang cepat. Kenaikan temperatur dan

penurunan porositas ini diakibatkan oleh kompaksi yang dihubungkan dengan peningkatan

tekanan overburden (pembebanan sedimen di atasnya) dalam kurun waktu tertentu. Seiring

peningkatan temperatur dan tekanan dalam kurun waktu geologi, yang diantaranya

disebabkan oleh adanya gradien geotermal dan tekanan overburden, lignit (brown coal)

akan berubah menjadi batubara sub-bituminous dan bituminous. Selama proses

pembatubaraan ini persentase karbon (C) meningkat karena unsur H, O dan N di dalamnya

akan terlepas menjadi gas O2, H2, dan N2. Proses akhir pembatubaraan adalah terbentuknya

batubara anthracite yang dicirikan oleh penurunan unsur H secara cepat. Faktor

peningkatan temperatur memegang peranan yang sangat penting pada tahapan ini.

Page 4: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 26

3.1.3 Fasies Batubara

Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan

melalui komposisi maseral, kandungan mineral, komposisi kimia dan tekstur batubara

tersebut. Faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara:

1. Tipe Pengendapan

Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonous dan allotochtonous. Batubara

autochtonous berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk

gambut di tempat yang mana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses

transportasi yang berarti. Batubara allotochtonous terendapkan secara detrital yang

mana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat

lain, batubara allotochtonous akan lebih banyak mengandung mineral matter dan

material detritus karena penambahan material-material lain selama proses transportasi.

2. Rumpun tumbuhan pembentuk

Berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuk dikenal empat macam tipe rawa yaitu:

• Daerah air terbuka dengan tumbuhan air

• Rawa ilalang terbuka

• Rawa hutan

• Rawa lumut

Rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) berdasarkan jenis tumbuhan

pembentuk, yaitu:

a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman

merambat yang miskin kandungan makanan / nutrisi.

b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon

lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi antara

daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang terkadang kering.

Page 5: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 27

c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman

merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut.

d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi oleh

tumbuhan berkayu.

3. Lingkungan Pengendapan

Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan pengendapan

dan geologi daerah tersebut. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas

batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Beberapa tipe

lingkungan pengendapan batubara adalah sebagai berikut:

• Lingkungan Telmatis/Terestrial

Lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut yang

tidak terganggu dan tumbuh insitu (forest peat, reed peat dan high moor moss

peat).

• Lingkungan Limnik

Lingkungan ini terendapkan di bawah air rawa danau. Batubara yang terendapkan

pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan karena pada forest swamp

biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed swamp).

• Lingkungan Marine

Batubara yang terendapkan pada lingkungan ini mempunyai ciri khas kaya abu, S

dan N yang mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari

mangrove (bakau) dan kaya S.

• Lingkungan Ca-rich

Lingkungan ini menghasilkan batubara yang kaya akan Ca dan mempunyai ciri

yang sama pada endapan payau. Batubara Ca-rich selalu terjadi pada lingkungan

bawah air dengan kondisi oksigen terbatas. Lingkungan pengendapan ini juga

banyak mengandung fosil. Batubara Ca-rich banyak mengasilkan bitumen.

Page 6: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 28

4. Persediaan Bahan Makanan

Rawa eutrophic, mesotrophic dan oligotrophic dibedakan dari banyak sedikitnya bahan

makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eutrophic (kaya nutrisi) karena

menerima air dari air tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. High moor

bersifat oligotrophic (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan.

Gambut pada high moor secara umum mengandung sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan

dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutropik

banyak speciesnya. Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa

sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak

banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 – 4) dan kandungan

mineralnya sangat rendah.

3.1.4 Lingkungan Pengendapan Batubara pada Daerah Delta

Delta merupakan lingkungan pengendapan batubara yang sering ditemukan.

Berdasarkan morfologinya lingkungan delta dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : delta plain,

delta front, dan prodelta. Delta plain sendiri dapat dibagi menjadi upper delta plain dan

lower delta plain.

Horne (1978) memberikan kriteria cara untuk mengenali lingkungan pengendapan

antara lain barier, back-barier, lower delta plain, transitional lower delta plain dan upper

delta plain-fluvial. Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan

pengendapan batubara di daerah delta menurut Horne (1978) (Gambar 3.3) yaitu:

1. Lingkungan back barrier, dengan ciri lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya

memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan

melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan

dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi. Urutan stratigrafi pada

lingkungan back barier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu

gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis

batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah

laut akan ditemukan batupasir kuarsa, sedangkan ke arah daratan terdapat batupasir

greywacke dari lingkungan fluvial-deltaik (Gambar 3.4a).

Page 7: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 29

2. Lingkungan lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya tipis, kandungan

sulfur bervariasi yang cenderung tinggi, pola sebaran umumnya sepanjang channel

atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting karena

endapan creavase play, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan

tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara.

Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengkasar ke atas yang

tebal, pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark

(Gambar 3.4b).

3. Lingkungan transitional lower delta plain, dengan ciri lapisan batubaranya tebal,

kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan

batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan

jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan

wash out oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada

bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona

ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing.

4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, dengan ciri lapisan batubaranya tebal,

kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-

shaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan dengan

channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar

kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong

channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai hadirnya splitting

akibar channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen. Urutan

stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus (Gambar 3.4c) dan

untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dan

batulanau.

Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back barier dan lower

delta plain cenderung tipis batubaranya, sebaliknya lingkungan transitional lower delta

plain dan upper delta plain-fluvial, lapisan batubaranya relatif tebal.

Page 8: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 30

Gambar 3.3. Model Lingkungan Pengendapan Batubara di daerah Delta (Horne, 1978).

Gambar 3.4. Model Lingkungan Pengendapan Batubara.

(3.4a) Back barier, (3.4b) Lower Delta Plain. (3.4c) Upper Delta Plain (Horne, 1978).

3.1.5 Material Organik Penyusun Batubara

Maseral pada batubara sama halnya mineral pada batuan, maseral merupakan bahan-

bahan organik pembentuk batubara. Maseral merupakan bagian terkecil dari batubara yang

bisa teramati dengan mikroskop. Maseral dikelompokkan berdasarkan tumbuhan atau

bagian tumbuhan penyusunnya menjadi tiga grup maseral, yaitu vitrinit, liptinit dan

inertinit. Tabel 3.1 menunjukkan pengelompokan maseral batubara yang mengacu pada

C A B

Page 9: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 31

Australian Standards : AS 2856 (1986), kelebihan klasifikasi ini adalah sederhana dan

berlaku untuk semua peringkat batubara.

Tabel 3.1 Klasifikasi Maseral Organik Batubara Berdasarkan Australia Standards (1986).

a. Grup Vitrinit

Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang berasal dari selulosa

dan lignin dinding sel tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti

batang, akar, daun dan akar. Vitrinit merupakan bahan utama penyusun batubara di

Indonesia. Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang

lebih terang daripada kelompok liptinit, namun lebih gelap dari kelompok inertinit,

berwarna mulai dari abu-abu tua hingga abu-abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop

tergantung dari tingkat pembatubaraannya, semakin tinggi tingkat pembatubaraan

warnanya akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung unsur hidrogen dan zat

terbang yang persentasenya berada diantara inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis

Page 10: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 32

1,3-1,8 dan kandungan oksigen yang tinggi serta kandungan volatile matter sekitar

35,75%.

b. Grup Liptinit (exinit)

Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari

sisa tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang (algae),

kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan

asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite

(kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah

maseral liptinit lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu /

serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinit

lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae).

Di bawah mikroskop, kelompok liptinit menunjukkan warna kuning muda hingga

kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok terlihat

berwarna abu-abu sampai gelap. Liptinit mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan

hidrogen yang paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedang kandungan volatile

matter sekitar 66%.

c. Grup Inertinit

Inertinit disusun dari materi yang sama dengan vitrinit dan liptinit tetapi dengan proses

dasar yang berbeda. Kelompok inertinit diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar

dan sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses

decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung

unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi

diantara dua kelompok lainnya.

Pemanasan pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat

khas inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense, kandungan

hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran dan penghancuran

oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Sebagian besar inertinit sudah

pada bagian awal proses pembatubaraan. Inertinit mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan

Page 11: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 33

kandungan karbon yang paling tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volatile

matter sekitar 22,9%.

Maseral inertinit merupakan komponen yang teroksidasi disebabkan berkurangnya

kelembaban gambut. Kandungan inertinit yang relatif rendah dapat menunjukkan batubara

berasal dari lingkungan pengendapan yang basah dan tingkat oksidasi yang rendah, pada

saat pengendapannya kelembaban gambut selalu terjaga dengan baik atau dengan kata lain

gambut selalu tergenangi oleh air yang menghalangi proses pembusukan dan oksidasi

(Stach dkk., 1982; op.cit. Anggayana, 2007).

3.1.6 Penentuan Lingkungan Pengendapan Batubara Berdasarkan Maseral

Peranan maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan batubara dapat

didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain: sifat atribut dan sifat skalar. Suatu

lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat-sifat

tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapannya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi lingkungan pengendapan batubara adalah iklim, kondisi permukaan air

salinitas, tumbuhan asal, paleogeografi, dan proses tektonik. Setiap kali terjadi perubahan

kondisi lingkungan akan terendapkan batubara yang berbeda karakteristiknya.

Penentuan lingkungan pengendapan batubara dengan metode analisis komposisi

maseral didasarkan pada konsep bahwa komposisi maseral di dalam suatu lapisan batubara

erat kaitannya dengan jenis tumbuhan asal dan kondisi lingkungan pengendapan pada saat

pembentukan batubara, atau dengan kata lain adanya perubahan lingkungan pengendapan

akan menyebabkan perbedaan tipe maseral batubara, sehingga analisis komposisi maseral

dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan batubara (Daranin, 1995).

Dalam menentukan lingkungan pengendapan berdasarkan maseral batubara,

terdapat suatu sifat atribut dan sifat skalar dari maseral batubara.

Sifat atribut adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral

tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu

lingkungan tertentu (Diessel, 1992). Batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon

relatif kaya akan maseral desmocolinite, batubara pada lingkungan upper delta plain dan

fluvial (wet forest swamp) kaya akan vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung,

Page 12: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 34

sedangkan batubara dari lingkungan air tawar pada umumnya lebih banyak mengandung

maseral telinit, resinit dan inertinit.

Sifat skalar dari suatu maseral bukan berdasarkan fakor kehadiran maseral atau

material tertentu dari batubara, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap

maseral dalam batubara.

Dalam penelitian ini penulis mencoba menentukan lingkungan pengendapan

batubara melalui analisis komposisi maseral batubara berdasarkan model lingkungan

pengendapan batubara Diessel (1986), yang telah diaplikasikan di beberapa lapangan

batubara, serta telah dipakai oleh beberapa peneliti untuk menentukan lingkungan

pengendapan batubara salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Sener dan Senguler

(2002).

Penentuan lingkungan pengendapan batubara berdasarkan model lingkungan

pengendapan batubara Diessel (1986) menggunakan dua parameter yaitu TPI (Tissue

Preservation Index) dan GI (Gelification Index).

TPI (Tissue Preservation Index) menyatakan perbandingan antara struktur jaringan

pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan

(terdekomposisi). TPI juga dapat mengindikasikan derajat humifikasi yang terjadi pada

lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat

menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang

kecil. Diessel (1986) memperkenalkan parameter TPI adalah sebagai berikut:

Pengerusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tumbuhan yang

mengandung banyak selulosa (tumbuhan perdu), sedangkan tumbuhan yang banyak

mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Harga TPI yang tinggi

mengindikasikan tingginya persentanse kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (ditunjukkan

dengan banyaknya telovitrinite), sedangkan harga nilai TPI < 1 menandakan maseral

tumbuhan perdu lebih banyak.

Page 13: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 35

GI (Gelification Index) menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk

karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi serta

berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut. Harga GI akan

berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI

menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar. Diessel (1986) memperkenalkan

parameter GI adalah sebagai berikut:

Kombinasi nilai TPI dan GI dipergunakan untuk analisis penentuan lingkungan

pengendapan batubara serta memperkirakan derajat dekomposisi. Nilai TPI dan GI yang

tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya

kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan

dekomposisi aerobik yang terbatas. Untuk interpretasi lingkungan pengendapan batubara,

nilai TPI dan GI diplot dalam Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Diagram TPI - GI Batubara Diessel (Diessel, 1986).

Page 14: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 36

3.1.7 Tipe Lingkungan Pengendapan Batubara

Berdasarkan lingkungan sedimenternya, tempat terakumulasinya rawa gambut atau

lingkungan pengendapan batubara dibagi menjadi 4 bagian (Diessel, 1992), yaitu:

a) Braid Plain

Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, umumnya

terendapkan sedimen berukuran kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini

merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral

terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 meter.

Kandungan abu, sulfur total dan vitrinit umumnya rendah, sementara pada daerah

tropis kandungan vitrinit umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya

kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinit

(khususnya semifusinite) yang besar menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index)

relatif tinggi yang sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi oleh

bahan kayu. Sementara itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan warna batubara

yang kusam dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami

kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi,

kemungkinan dapat berasal dari material yang dibawa ketika banjir musiman dan

keluarnya air tanah ke permukaan.

b) Alluvial Valley dan Upper Delta Plain

Kedua lingkungan ini agak sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan

sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan. Lingkungan ini

merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya

melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara

umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimennya terutama terdiri atas

perselingan batupasir dan batulanau / batulempung.

Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa, dataran dan

cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung

selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan

Page 15: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 37

batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh

maseral telovitrinite dan secara kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah

dibanding batubara pada lingkungan lainnya.

c) Lower Delta Plain

Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang air

laut terhadap sedimentasi, batas antara keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air

pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau,

batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus.

Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut

sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan

naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi

pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh air laut akan meningkatkan kandungan

pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.

Batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi

ketebalan relatif tipis. Batubaranya memiliki kandungan inertinit yang rendah dengan nilai

GI yang tinggi. Kandungan vitrinit terutama didominasi oleh detrovitrinite, sehingga nilai

TPI relatif rendah. Hal ini menunjukkan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan

lunak (soft-tissued plant) dan biodegradasi pada kondisi pH yang relatif tinggi.

d) Barrier Beach

Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen

dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai rasio tinggi maka akan

terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di

sepanjang pantai.

Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah

terhadap muka air sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut akan

terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan

material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan

ini sangar dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut.

Page 16: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 38

3.1.8 Kualitas Batubara

1. Analisis Proksimat

Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara, analisis ini

terdiri atas empat parameter utama, yaitu kandungan lengas (moisture), kadar abu

(ash), zat terbang (volatile matter) dan karbon tertambat (fixed carbon).

• Kandungan Lengas (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat dalam batubara,

dapat dibedakan menjadi:

- Lengas Bebas (Free Moisture atau FM), kandungan air pada permukaan

batubara yang berasal dari air hujan atau air semprotan, dapat menguap pada

kondisi laboratorium (sekitar 400 C).

- Lengas Bawaan (Inherent Moisture atau IM), kandungan air dalam kapiler pada

mineral-mineral penyusun batubara, dapat hilang dengan pemanasan 1050-

1100C.

- Lengas Total (Total Moisture atau TM), yaitu istilah untuk menyebutkan

kandungan keseluruhan lengas pada batubara (lengas bebas dan bawaan).

• Kandungan Abu (ash), yaitu residu bahan inorganik yang tertinggal atau tidak

terbakar sewaktu batubara dibakar.

• Zat terbang (Volatile Matter), yaitu komponen dalam batubara yang dapat lepas

atau menguap pada temperatur tertentu (950±250C) selain moisture, meliputi

Volatile Mineral Matter dan Volatile Organic Matter.

• Karbon tertambat (Fixed Carbon), yaitu jumlah karbon yang ada dalam batubara

setelah kandungan air, abu dan zat terbang dihilangkan (FC = 100% -

{IM+VM+ Ash}).

2. Analisis Ultimat

Analisis ultimat berfungsi untuk menganalisis jumlah kandungan unsur-unsur dalam

batubara seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), sulfur (S) dan nitrogen (O).

Page 17: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 39

Analisis ini menghasilkan parameter kualitas batubara berupa jumlah kandungan

(persentase) unsur-unsur tersebut. Jumlah kandungan unsur C, H dan O penting untuk

menilai kesesuaian pemakaian batubara, sedangkan jumlah kandungan unsur N dan S

penting untuk menilai potensi batubara menimbulkan polusi.

Selain kedua analisis utama di atas, ada pengujian nilai kalori (Calorific Value),

yaitu jumlah panas yang dilepaskan oleh batubara saat batubara tersebut dibakar.

Dalam penyajian data kualitas batubara, terdapat beberapa istilah basis data sebagai

dasar analisis pengujian yang harus dicantumkan setiap menuliskan nilai parameter

kualitas, antara lain:

1. As received (ar), merupakan kondisi alami batubara, yang berarti sampel yang

dianalisis sesuai keadaan pada waktu diterima di laboratorium.

2. Air dried basis (adb), merupakan kondisi batubara yang telah dikeringkan sehingga

sesuai dengan kondisi laboratorium, sampel batubara masih mengandung Inherent

Moisture.

3. Dry base (db), merupakan kondisi batubara kering, sampel batubara telah bebas dari

kandungan air / lengas.

4. Dry ash free (daf), merupakan kondisi batubara yang telah diproses di laboratorium

sehingga sampel batubara sudah bebas lengas dan kandungan abu.

5. Dry mineral matter free (dmmf), merupakan kondisi batubara yang sudah bebas dari

total moisture dan mineral matter.

3.1.9 Peringkat dan Klasifikasi Batubara

Untuk penggolongan batubara ada beberapa klasifikasi batubara, namun yang umum

digunakan baik oleh perusahaan tambang maupun untuk kepentingan yang bersifat

komersil adalah klasifikasi yang dikeluarkan oleh ASTM (American Standard for Testing

Materials) (Tabel 3.2). Parameter-parameter yang dipergunakan sebagai dasar klasifikasi

ini adalah:

Page 18: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 40

- Jumlah karbon tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter) untuk

batubara dengan rank tinggi (FC ≥ 69%).

- Nilai kalori (calorific value) untuk batubara dengan rank rendah ( FC ≤ 69%).

- Parameter tambahan berupa sifat coking (karakter penggumpalan).

Tabel 3.2 Klasifikasi Batubara menurut ASTM (1981).

Klasifikasi batubara ASTM menggunakan basis data dry mineral matter free

(dmmf), sedangkan hasil analisis batubara di laboratorium biasanya menggunakan basis

data air dried basis (adb), sehingga untuk pengklasifikasian batubara menurut ASTM

harus terlebih dahulu mengubah basis adb menjadi basis dmmf. Rumus untuk mengubah

basis data adb ke basis data dmmf, dikenal dengan Parr Formulas, seperti dibawah ini:

FC (dmmf) =

VM (dmmf) = 100 – FC(dmmf)

CV (dmmf) =

FC = % karbon padat (adb)

M = % kadar air total (adb)

A = % kadar abu (adb)

S = % kadar sulfur (adb)

Btu = British thermal unit per pound (Btu/lb)

= 1,8185*CV (adb)

Page 19: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 41

3.2 ENDAPAN BATUBARA DAERAH PENELITIAN

3.2.1 Penyebaran Lapisan Batubara

Berdasarkan hasil observasi singkapan pada daerah penelitian, endapan batubara

berada pada Satuan Batulempung. Lapisan-lapisan batubara merupakan sisipan dalam

Satuan Batulempung yang merupakan anggota dari Formasi Balikpapan berumur Miosen

Tengah - Miosen Akhir (15 juta – 5 juta tahun yang lalu).

Jenis batuan utama tanah penutup (overburden) adalah siltstone, mudstone, dan

sandstone. Mudstone yang sebagian carbonaceous, biasanya berbatasan langsung dengan

lapisan batubara. Sandstone tidak ditemukan dalam keadaan menerus secara lateral,

melainkan berbentuk lensa dalam berbagai ukuran.

Urut–urutan lapisan siltstone dan interbanded mudstone, siltstone, atau sandstone

merupakan bentuk perlapisan yang biasa dijumpai, sedangkan sandstone serta mudstone

dalam keadaan yang lebih massive mempunyai perkembangan perlapisan yang buruk.

Siltstone ditemukan sebagai sisipan tipis dalam lapisan batulempung. Batubara ditemukan

sebagai sisipan pada satuan batulempung, dengan ciri umum batubara berwarna hitam,

gores hitam, kilap bright – dull, terdapat cleat yang terisi lempung dan mineral pirit.

Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian sangat mempengaruhi

penyebaran endapan batubara dan kualitas batubara itu sendiri. Endapan batubara di

daerah penelitian telah mengalami deformasi tektonik berupa perlipatan dan pensesaran.

Akibat dari proses perlipatan menyebabkan lapisan batubara memiliki kemiringan yang

landai hingga terjal, bahkan bagian yang terlipat sangat kuat memiliki kemiringan lapisan

yang tegak. Pensesaran yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik menjadikan penyebaran

lapisan batubara sukar untuk dikorelasikan.

Berdasarkan data yang berasal dari data singkapan batubara (Lampiran B) dan data

pemboran inti yang berjumlah 15 titik bor yang tersebar di daerah penelitian Pit J

(Lampiran A), diketahui di daerah penelitian terdapat lima seam batubara utama, yaitu

Seam JR, Seam BE, Seam E2, Seam ML, dan Seam L1. Adapun arah umum dari

perlapisan batubara di daerah penelitian antara N 1200 E sampai dengan N 1750 E, dengan

kemiringan lapisannya berkisar 10-200 dengan arah kemiringan ke arah baratdaya.

Page 20: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 42

Penyebaran lapisan batubara di Pit J memanjang ke arah baratlaut-tenggara (NW-SE).

Penyebaran lapisan batubara di lapangan, lapisan-lapisannya menerus secara lateral,

lapisannya tebal, pada beberapa lokasi terdapat parting lapisan batubara, serta adanya

gejala splitting, dengan kemiringan lapisan batubara landai hingga terjal.

Dari data pemboran inti batubara diketahui lapisan batubara mengalami penebalan

dan penipisan lapisan, di beberapa titik bor lapisan batubara mengalami parting berupa

lempung (mudstone). Urutan stratigrafi seam batubara di daerah penelitian, dari yang tua

ke muda adalah sebagai berikut : JR, BE, E2, ML, dan L1. Gambar 3.6 menunjukkan

susunan batuan (secara vertikal) berdasarkan data litologi bor inti, sedangkan Gambar 3.7

merupakan gambaran penampang batubara dari data pemboran (Lampiran F).

Berdasarkan data pemboran inti, lapisan batubara paling bawah adalah Seam JR,

dengan ketebalan lapisan batubara JR adalah 0,72 – 4,68 meter. Di atas lapisan batubara

JR terdapat batubara Seam BE dengan tebal lapisan interburden ±30 meter, yang dominan

disusun oleh batulempung. Di beberapa titik bor, lapisan batubara BE ini dijumpai parting

dengan ketebalan 8 - 32 cm berupa mudstone. Lapisan batubara BE ini memiliki ketebalan

antara 0,60 – 6,84 meter.

Di atas lapisan batubara BE terdapat batubara Seam E2 dengan ketebalan lapisan

interburden ±20 meter, yang tersusun oleh batulempung. Ketebalan Seam E2 antara 0,23 –

4,00 meter. Lapisan batubara di atasnya adalah batubara Seam ML dengan lapisan

interburden berupa batulempung sisipan batupasir yang tebalnya ±25 meter. Ketebalan

batubara seam ML antara 1,57 - 4,00 meter.

Lapisan batubara paling atas adalah Seam L1 dengan lapisan interburden berupa

batulempung yang tebalnya ±25 meter. Ketebalan lapisan batubara L1 adalah 0,56 – 1,36

meter.

Page 21: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 43

Gambar 3.6 Stratigrafi Batubara Pit J, Daerah Pinang, Kutai Timur.

Page 22: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 44

Gambar 3.7 Penampang Data Pemboran di Daerah Penelitian.

Page 23: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 45

3.2.2 Karakteristik Batubara di Pit J

Karakteristik batubara di daerah penelitian berdasarkan kondisi fisik, penyebaran.

karakteristik dan ketebalannya adalah sebagai berikut:

� Seam JR

Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-11, J-31, J-32, J-61 dan J-71, dengan jurus

perlapisannya N 1090 – 1400 E, dengan kemiringan lapisan 13 - 190 ke arah baratdaya.

Seam JR ini memiliki penyebaran lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data

singkapan di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 2,45 – 2,56 meter (Gambar 3.8),

sedangkan berdasarkan data pemboran inti ketebalan seam JR adalah antara 0,72 – 4,68

meter.

Ciri umum batubara pada seam ini adalah hitam, agak kusam, kekerasan hard, banyak

cleat yang terisi lempung dan pirit. Lapisan roof dan floor berupa batulempung, abu-abu,

non-karbonatan, getas.

Gambar 3.8 Singkapan Batubara Seam JR.

Page 24: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 46

� Seam BE

Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-12, J-21 dan J-33, adapun jurus perlapisannya N

1110 – 1250 E, dengan kemiringan lapisan 190 ke arah baratdaya. Seam BE mempunyai

penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di

lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 0,8 – 1,9 meter (Gambar 3.9), sedangkan

berdasarkan data pemboran inti ketebalan lapisan batubara BE adalah antara 0,60 – 6,84

meter.

Ciri umum batubara pada seam ini adalah warna hitam, mengkilap, terdapat cleat yang

terisi lempung dan kekar-kekar, gores hitam, lapisan batubara terdapat parting berupa

lempung. Lapisan alasnya (floor) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, berlapis,

lunak, sedangkan lapisan atapnya (roof) berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan.

Gambar 3.9 Singkapan Batubara Seam BE.

Page 25: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 47

� Seam E2

Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-51, adapun jurus perlapisannya N 1600 E,

dengan kemiringan lapisan 100 ke arah baratdaya. Seam E2 mempunyai penyebaran yang

relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan di lapangan, ketebalan

batubara ini adalah 1,00 meter (Gambar 3.10), sedangkan berdasarkan data pemboran tebal

lapisan E2 adalah 0,23 – 4,00 meter.

Ciri litologi batubara Seam E2, hitam, agak kusam, banyak cleat, gores hitam. Lapisan

roof batubara seam ini berupa batulempung dengan sisipan batupasir, sedangkan lapisan

floor berupa batulempung, abu-abu, non-karbonatan, getas.

Gambar 3.10 Singkapan Batubara Seam E2.

Page 26: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 48

� Seam ML

Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-13 dan J-22, adapun jurus perlapisannya antara

N 1200 E – N 1400 E, dengan kemiringan lapisan 150-190 ke arah baratdaya. Seam ML

mempunyai penyebaran yang relatif memanjang baratlaut-tenggara. Berdasarkan data

singkapan di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 1,96 - 2,0 meter (Gambar 3.11),

sedangkan berdasarkan data pemboran tebal lapisan ML adalah 1,57 - 4,00 meter.

Ciri umum batubara pada seam ini adalah, hitam, mengkilap, kekerasan hard, gores hitam,

ada cleat. Lapisan atap (roof) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, keras,

sedangkan lapisan alas (floor) berupa batulempung sisipan lensa batupasir.

Gambar 3.11 Singkapan Batubara Seam ML.

Page 27: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 49

� Seam L1

Lapisan batubara ini tersingkap di lokasi J-14, J-23 dan J-41, adapun jurus perlapisannya

antara N 1100 E – N 1600 E, dengan kemiringan lapisan 130-150 ke arah baratdaya. Seam

L1 ini memiliki penyebaran lapisan relatif baratlaut-tenggara. Berdasarkan data singkapan

di lapangan ketebalan seam batubara ini adalah 0,59 – 0,94 meter (Gambar 3.12),

sedangkan berdasarkan data pemboran tebal lapisan L1 adalah 0,56 – 1,36 meter.

Ciri umum batubara pada seam ini adalah, hitam, mengkilap, banyak retakan-retakan,

gores hitam, lapisan lantainya (floor) berupa batulempung abu-abu, non-karbonatan, getas.

Gambar 3.12 Singkapan Batubara Seam L1.

Page 28: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 50

3.2.3 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Pit J

Secara umum karakteristik batubara di daerah penelitian lapisan batubaranya

mengalami penebalan dan penipisan lapisan Di beberapa lokasi lapisan batubara

mengalami parting dan setempat lapisan batubara mengalami gejala splitting. Sebaran

lapisan batubara menerus secara lateral, tetapi di beberapa lokasi kemenerusan secara

lateral terpotong channel. Kandungan sulfur batubara bervariasi dari yang high sulfur

hingga low sulfur. Berdasarkan ciri-ciri umum lapisan batubara di daerah penelitian, dapat

mengindikasikan terjadi perubahan lingkungan pengendapan selama batubara diendapkan,

lingkungan pengendapan juga dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yang menyebabkan

variasi kandungan sulfur. Litologi batuan di daerah penelitian didominasi oleh

batulempung, batulanau, batulempung perselingan batupasir, serta sisipan batubara.

Berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara dari Horne (1978), yang

membagi lingkungan pengendapan batubara berdasarkan karakteristik endapan

batubaranya, maka dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan batubara di daerah

penelitian berada pada kisaran lingkungan lower – upper delta plain (Gambar 3.13).

Gambar 3.13 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Batubara di Daerah Penelitian. (Horne, 1978)

Page 29: BAB III ENDAPAN BATUBARA - Perpustakaan Digital · PDF fileBab III Endapan Batubara Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J, Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten

Bab III Endapan Batubara

Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,

Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 51

Gejala parting pada batubara di daerah penelitian dapat terjadi karena pada saat

pengendapan batubara yang kemudian terjadi limpahan banjir pada sungai atau terjadi

pasang naik air laut yang mengakibatkan material-material sedimen klastik halus masuk ke

dalam overbank swamp sehingga akumulasi material organik tergantikan untuk sesaat oleh

akumulasi material klastik pada daerah tersebut, namun ketika suplai material detritus

berhenti, maka vegetasi kembali tumbuh dan pembentukan gambut terjadi kembali yang

akhirnya terbentuk gejala parting (terdapatnya lapisan tipis bahan sedimen klastik halus

diantara lapisan batubara).

Kandungan abu (ash) dalam batubara di daerah penelitian dapat berasal dari

material-material detrital yang dibawa sungai dan masuk ke dalam rawa atau berasal dari

tumbuhan itu sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan batubara.

Kandungan abu sangat tinggi juga bisa disebabkan dari abu yang terbentuk setelah

batubara diendapkan, yaitu berasal dari lapisan batuan penutup dan mengisi cleat pada

batubara.

Untuk kadar sulfur batubara di daerah penelitian dapat berasal dari air laut yang

masuk pada saat terjadi marine transgression, atau dapat berasal dari lapisan pengapit

batubara yang diendapkan di lingkungan laut. Kandungan sulfur batubara juga dipengaruhi

oleh lingkungan pengendapan batubara. Kandungan sulfur dalam batubara, dapat terbentuk

bersamaan dengan lapisan batubara diendapkan yang disebut sulfur syngenetik atau sulfur

yang terbentuk setelah lapisan batubara diendapkan yang disebut sulfur epigenetik.

Di daerah penelitian terdapat lapisan batubara yang tebal dan tipis, proses penebalan

dan penipisan lapisan batubara ini dipengaruhi oleh dua proses, yaitu proses yang bekerja

selama pengendapan dan proses setelah pengendapan. Proses yang bekerja selama

pengendapan adalah penurunan cekungan, jika penurunan cekungan cepat maka batubara

yang dihasilkan tebal, demikian pula sebaliknya. Sedangkan proses yang bekerja setelah

pengendapan adalah proses erosional oleh channel yang menyebabkan penipisan pada

lapisan batubaranya. Selain itu, bisa pula diakibatkan oleh perbedaan laju pertumbuhan

akumulasi gambut, jika laju pertumbuhan akumulasi gambut lebih cepat maka batubara

yang dihasilkan lebih tebal demikian pula sebaliknya. Perbedaan laju pertumbuhan gambut

ini disebabkan pengaruh lingkungan di dalam rawanya.