BAB III DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ......formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya...

23
40 BAB III DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ORANG SAKIT YANG MENGANDUNG KLASULA BAKU TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai dua hal pokok yakni klausula dalam formulir orang sakit oleh maskapai penerbangan dan pemberian klausula dalam formulir orang sakit kepada penyandang disabilitas merupakan tindakan diskiriminasi, yang terbagi menjadi 4 hal yaitu penyandang disabilitas vs. orang sakit, pemberian klausula dalam formulir orang sakit menciderai hak penyandang disabilitas, kewajiban maskapai penerbangan untuk menyediakan formulir khusus penyandang disabilitas, tanggungjawab negara dalam pemberian perlindungan hukum. A. Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit oleh Maskapai Penerbangan Terkait dengan isu penulisan ini mengenai penyandang disabilitas, terdapat Putusan Mahkamah Agung peninjauan kembali mengenai kontrak baku dengan Nomor Perkara: 439 PK/Pdt/2017. Kasus ini melibatkan pihak yang bernama Ridwan Sumantri berkedudukan sebagai Penggugat, Lion Mentari Airlines (Lion Air), berkedudukan sebagai Tergugat I, PT (Persero) Angkasa Pura II

Transcript of BAB III DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ......formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya...

  • 40

    BAB III

    DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ORANG

    SAKIT YANG MENGANDUNG KLASULA BAKU TERHADAP

    PENYANDANG DISABILITAS

    Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai dua hal pokok yakni

    klausula dalam formulir orang sakit oleh maskapai penerbangan dan pemberian

    klausula dalam formulir orang sakit kepada penyandang disabilitas merupakan

    tindakan diskiriminasi, yang terbagi menjadi 4 hal yaitu penyandang disabilitas

    vs. orang sakit, pemberian klausula dalam formulir orang sakit menciderai hak

    penyandang disabilitas, kewajiban maskapai penerbangan untuk menyediakan

    formulir khusus penyandang disabilitas, tanggungjawab negara dalam pemberian

    perlindungan hukum.

    A. Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit oleh Maskapai

    Penerbangan

    Terkait dengan isu penulisan ini mengenai penyandang disabilitas, terdapat

    Putusan Mahkamah Agung peninjauan kembali mengenai kontrak baku dengan

    Nomor Perkara: 439 PK/Pdt/2017. Kasus ini melibatkan pihak yang bernama

    Ridwan Sumantri berkedudukan sebagai Penggugat, Lion Mentari Airlines (Lion

    Air), berkedudukan sebagai Tergugat I, PT (Persero) Angkasa Pura II

  • 41

    berkedudukan sebagai Tergugat II dan Kementrian Perhubungan Republik

    Indonesia berkedudukan sebagai Tergugat III.1

    Fokus isu penelitian ini pada kasus di atas dimulai dari pemberian lembar

    formulir yang harus ditandatangani oleh Ridwan. Formulir tersebut berisi

    persetujuan pihak yang menandatangani tentang penghilangan tanggungjawab

    Lion Air dari kemungkinan hal-hal yang terjadi pada diri pihak yang

    menandatangani selama penerbangan berlangsung dan tertulis hanya

    diperuntukkan bagi orang sakit. Adapun bunyi dari formulir yang dimaksud

    adalah "tanda tangan penumpang yang sakit atau orang yang dikuasakan

    menandatangani surat keterangan ini untuk kepentingan si sakit. (jika si sakit

    belum dewasa, surat keterangan ini harus ditanda tangani oleh orang tua atau

    walinya)".

    Ridwan berupaya menjelaskan kepada pramugari tersebut bahwa formulir

    itu sebenarnya diperuntukkan bagi orang yang sakit dan menjelaskan bahwa

    Ridwan bukanlah orang sakit. Kecacatan yang dialami Ridwan tidaklah bisa

    disamakan dengan seseorang yang mengalami sakit penyakit.

    Namun petugas pramugari pesawat Lion Air tersebut tetap bersikeras bahwa

    ia hanya menjalankan tugas sesuai prosedur ditempatnya bekerja dan formulir itu

    harus ditandatangani oleh Ridwan, dan menyatakan pesawat tidak akan

    diterbangkan bila Ridwan belum menandatanganinya.

    Buruknya pelayanan yang mengharuskan Ridwan untuk menandatangani

    formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya yang disodorkan petugas

    pramugari kembali dialami Ridwan ketika pada saat melakukan penerbangan dari

    1 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 439 PK/Pdt/2017.

  • 42

    Denpasar menuju Jakarta, naik pesawat Lion Air tertanggal 14 April dengan

    nomor penerbangan JT.15, jam keberangkatan dari Denpasar 16.40.

    Klausula mengenai adanya persamaan antara orang sakit dan penyandang

    disabilitas yang terdapat pada formulir pernyataan pengangkutan penumpang yang

    nyatanya tidak hanya tersedia di maskapai Lion Air. Namun juga maskapai

    lainnya Trigana Air dan lain sebagainya.

    Baik maskapai Lion Air maupun maskapai lain seperti Trigana Air memiliki

    bentuk dan bunyi yang sama pada klasula pernyataan penangkutan penumpang

    yaitu pada poin ke-5 menyebutkan bahwa "tanda tangan penumpang yang sakit

    atau orang yang dikuasakan menandatangani surat keterangan ini untuk

    kepentingan si sakit. (jika si sakit belum dewasa, surat keterangan ini harus

    ditanda tangani oleh orang tua atau walinya)".2

    B. Pemberian Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit

    kepada Penyandang Disabilitas merupakan Tindakan

    Diskiriminasi

    1. Penyandang Disabilitas vs. Orang Sakit

    Sub bab ini akan menjelaskan mengenai pembedaan konsep penyandang

    disabilitas dan orang sakit sebagai pemahaman awal terhadap dasar argumentasi

    yang akan dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Berikut beberapa pembahasan

    dan pengertian mengenai orang sakit dengan merujuk pada peraturan yang ada di

    Indonesia dan ilmu kedokteran.

    2 Lampiran

  • 43

    Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor

    PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi

    Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, pengertian orang sakit adalah

    penumpang yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan fasilitas tambahan

    antara lain oxygen mask, kursi roda dan/atau stretcher, yang dalam hal ini dibatasi

    tidak berlaku untuk penumpang dengan penyakit menular sesuai dengan ketentuan

    yang berlaku3.

    Serta Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

    Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa

    Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus menjelaskan yang

    dimaksud dengan sakit adalah berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh

    karena menderita sesuatu4.

    Selanjutnya berdasarkan pada ilmu kesehatan Mulyono Notosiswoyo,

    Sudibyo Supardi dan Winarsih sebagai Badan Penelitian dan Pengembangan

    Kesehatan (Litbangkes) Departemen Kesehatan5 serta menurut dr. Sintarini

    Utomo6 menyatakan yang pada intinya sakit adalah menyatakan bahwa sakit

    adalah kondisi yang terjadi pada seseorang baik secara fisik maupun secara psikis

    yang mana pikiran dan secara sosial yang dalam perkembangannya berkurang

    atau terganggu dengan apa yang dirasakan bukan hanya proses terjadinya penyakit

    3 Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Pm 185

    Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga

    Berjadwal Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1823). 4 Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98

    Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi

    Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor

    1385). 5 Mulyono Notosiswoyo, dkk, Pengobatan Sendiri Terhadap Sakit Demam, Batuk, Pilek

    dan pusing dengan Obat Kimia Dan Tradisonal Di Pedesaan, Media Litbangkes Vol. VIII No.

    02/199811, h., 12. 6 Wawancara dengan Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas Kristen

    Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.

  • 44

    yang menimbulkan dampak seperti tidak mau makan, kerja terasa malas, tenaga

    tidak kuat, badan terasa ngilu dan lemas, perasaan tidak enak, pening-pening,

    muka pucat atau kurang gairah.

    Faktor yang dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan sakit menurut dr.

    Sintarini Utomo jika dilihat dari kacamata dokter adalah dilihat dari adanya gejala

    yang timbul baik dialami maupun rasakan pada seseorang yang sakit dengan kata

    lain disebut pasien, setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik untuk melihat apakah

    benar dengan apa yang dikeluhkan pasien. Jika hasil pemeriksaan menghasilkan

    sakit maka memerlukan pemeriksan penunjang seperti cek laboratorium, rontgen,

    USG. Kemudian dari hasil pemeriksaan dokter akan menyimpulkan bahwa pasien

    atau seseorang tersebut sakit atau tidak. dr. Sintarini Utomo penyakit menjelaskan

    bahwa sakit dibedakan menjadi 4 tipe yaitu penyakit menular, penyakit yang tidak

    menular, penyakit kronis dan penyakit akut7.

    Penyakit menular adalah penyakit yang mana penularannya dapat melalui

    udara, air liur, darah, hubungan sex, lendir, sentuhan dan lain sebagainya sehingga

    dapat menular ke orang lain. Contoh dari penyakit menular seperti flu, batuk,

    bersin dan lain sebagainya. Penyakit yang tidak menular adalah penyakit yang

    dialami oleh seseorang namun tidak dapat menular, contoh dari penyakit ini

    adalah darah tinggi, kurang darah, leukimia dan lain sebagainya . Penyakit kronis

    adalah penyakit yang dirasakan oleh pasien dalam kurun waktu yang lama bisa

    berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sedangkan penyakit akut adalah penyakit

    yang dirasakan pasien secara mendadak dan dalam kurun waktu yang singkat8.

    7 Wawancara dengan Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas Kristen

    Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018. 8 Ibid.

  • 45

    Selanjutnya berdasarkan ilmu kesehatan dr. Ferial H. yang merupakan saksi

    ahli dalam perkara dengan nomor 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst.9 dan dr. Sintarini

    Utomo10

    menjelaskan perbedaan orang cacat dengan orang sakit yang pada intinya

    adalah bahwa perbedaan antara orang sakit dan penyandang disabilitas yaitu

    meliputi jika orang sakit mengalami penyimpangan dari struktur atau fungsi

    normal pada bagian organ atau sistem yang ditandai dengan sekelompok gejala

    dan tanda yang khas yang akan menimbulkan gejala sakitnya baik secara subjektif

    yakni yang hanya dapat dirasakan oleh orang sakit tersebut seperti merasa pusing,

    mual dan lain sebagainya. Maupun objektif yakni dapat dilihat oleh dokter dengan

    melewati pemeriksaan kemudian terlihat hal-hal yang menunjang keluhan dari

    orang sakit, sehingga dokter akan memberikan pengobatan ditahap selanjutnya.

    Sementara yang dikatakan penyandang disabilitas ialah suatu keadaan yang mana

    sudah memiliki kekurangan secara fisik terlihat namun orang tersebut tidak

    mengeluh sakit11

    .

    Sedangkan yang dimaksud penyandang disabilitas yaitu jika ada organ di

    dalam yang tidak berfungsi misalnya lumpuh, maka itu bukan sakit tetapi

    kecacatan karena penyakitnya sudah lewat, yang ada hanyalah residunya.

    Contohnya kalau salah satu panca indra tidak berfungsi misal tuna rungu itu

    termasuk kacacatan bukan sakit. Orang sakit harus melalui pemeriksaan medis,

    orang sakit boleh naik pesawat kecuali sakit tertentu yang mengganggu, tertentu

    seperti flu burung tetapi orang cacat boleh naik pesawat, jadi ada aspek proteksi

    9 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, h.,29.

    10 Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas

    Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018. 11

    Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas

    Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.

  • 46

    dan juga menurut Undang-undang. Namun penyandang disabilitas dapat juga

    mengeluh karena sakit yang dirasakan12

    .

    Setelah melihat penjelasan mengenai orang sakit diatas maka konsep dari

    orang sakit itu sendiri adalah suatu keadaan yang mana orang sakit tersebut

    merasa tidak nyaman dengan kondisi yang diderita serta menimbulkan dampak

    pada kesehatan dan pola aktivitas sehari-hari seperti mudah lesu, tidak mau makan

    dan lain sebagainya. Sedangkan konsep dari penyandang disabilitas yang terdapat

    pada Bab II subbab a adalah suatu keterbatasan yang dialami oleh seseorang baik

    secara fisik maupun mental yang berakibat pada terhambatnya dalam melakukan

    segala aktivitas sosial bermasyarakat. Yang mana kondisi tersebut berbeda dengan

    kondisi orang normal pada umumnya atau yang tidak mengalami disabilitas.

    Perbedaan konsep antara penyandangan disabilitas dan orang sakit diperkuat

    dengan kasus Sonia Chacón Navas vs Eurest Colectividades SA yaitu bermula

    pada saat Ms Chacón Navas dipekerjakan oleh Eurest, khusus untuk menangani

    katering. Pada 14 Oktober 2003 dia dinyatakan tidak layak untuk bekerja atas

    dasar penyakit yang ia derita dan menurut layanan kesehatan masyarakat yang

    merawatnya, dia tidak dalam posisi untuk kembali bekerja dalam jangka pendek.

    Pada 28 Mei 2004, Eurest memberikan pemberitahuan tertulis kepada Chacon

    Navas tentang pemecatannya, tanpa menyebutkan alasan apa pun. Pada 29 Juni

    2004, Chacon Navas membawa tindakan untuk melawan Eurest, untuk

    mempertahankan bahwa pemecatannya batal karena perlakuan yang tidak setara

    dan diskriminasi yang menjadi subjeknya, yang berasal dari fakta bahwa ia telah

    12

    Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas

    Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.

  • 47

    cuti dari pekerjaannya untuk delapan bulan.13

    Adapun dalam putusan Hakim

    berpendapat bahwa:

    Should it be concluded that disability and sickness are two separate

    concepts and that Community law does not apply directly to sickness, the

    referring court suggests that it should be held that sickness constitutes an

    identifying attribute that is not specifically cited which should be added to

    the ones in relation to which Directive 2000/78 prohibits discrimination14

    . "....The two concepts cannot therefore simply be treated as being the

    same".15

    Pada pernyataan di atas intinya menjelaskan bahwa bahwa disabilitas dan

    penyakit adalah dua konsep yang terpisah sehingga penerapan hukum terhadap

    kedua hal tersebut harus berbeda pula. Putusan pengadilan tersebut semakin

    menegaskan bahwa orang sakit dan penyandang disabilitas tidak dapat

    diperlakukan sama.

    Setelah dilihat pengertian penyandang disabilitas dan orang sakit diatas

    penulis beranggapan bahwa kedudukan penyandang disabilitas dan orang sakit

    adalah dua individu yang memiliki karakteristik berbeda. Sementara yang

    dikatakan penyandang disabilitas ialah suatu keadaan yang mana sudah memiliki

    kekurangan secara fisik terlihat namun orang tersebut tidak mengeluh sakit. Hal

    ini berarti penyandang disabilitas bukanlah suatu penyakit jika tidak mengeluh

    sakit, namun penyandang disabilitas juga bisa mengalami sakit.16

    Sehingga penumpang penyandang disabilitas dan orang sakit memiliki hal

    berbeda dalam penanganannya dimana orang sakit sebelum melakukan

    penerbangan akan dilakukan pemeriksaan (dikarantina) terlebih dahulu oleh

    13

    The Court Of Justice Of The European Union, Judgment Of 11 Juli 2006, Case C-

    13/05, diunduh https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:62005CJ0013

    &from=PT, 11 Juli 2006, dikunjungi pada pada 11 Desember 2018 pukul 11.30.

    15

    Ibid. 16

    Ibid.

  • 48

    dokter yang menangani di bandara untuk memastikan apakah penumpang tersebut

    layak untuk dilakukan penerbangan sementara penumpang dengan penyandang

    disabilitas sebelum melakukan penerbangan penumpang sudah harus

    memberitahukan kepada staf bandara maupun maskapai penerbangan bahwa

    penumpang merupakan penumpang disabilitas sehingga memerlukan fasilitas

    khusus seperti kursi roda sesuai kebutuhan yang diperlukan serta mendapatkan

    pendampingan dari pihak maskapai dan bandara sampai ke tempat tujuan dengan

    selamat, aman dan nyaman.

    Dengan demikian, kondisi sakit merupakan sakit adalah suatu kondisi yang

    terjadi pada seseorang baik secara fisik maupun secara psikis yang mana pikiran

    dan secara sosial serta perkembangannya berkurang atau terganggu dengan apa

    yang dirasakan bukan hanya proses terjadinya penyakit, jika orang sakit maka

    akan menimbulkan gejala sakitnya baik secara subjektif yakni yang hanya dapat

    dirasakan oleh orang sakit tersebut seperti merasa pusing, mual dan lain

    sebagainya17

    .

    2. Pemberian Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit

    Menciderai Hak Penyandang Disabilitas

    Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi secara khusus terdapat pada

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam

    Pasal 1 angka (3) yang menegaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembedaan,

    pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang

    bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,

    17

    Sintarini Utomo, Op.Cit.

  • 49

    penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.18

    Adapun pengertian

    lain terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang

    Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas mendefinisikan

    diskriminasi sebagai:

    “setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas

    yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan,

    penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya

    terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam

    bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini

    mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian

    akomodasi yang beralasan"19

    .

    Pemberian klausula baku dalam formulir orang sakit kepada penyandang

    disabilitas merupakan suatu tindakan diskriminasi, yang berupa pembatasan.

    Pembatasan yang dimaksud berupa adanya perbuatan yang membatasi antara

    orang normal dengan orang sakit, yang berupa pemberian formulir orang sakit.

    Namun dengan adanya pembatasan tersebut Penyandang disabilitas justru

    disamakan dengan orang sakit, seperti yang dijelaskan pada subbab diatas bahwa

    orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan hal yang berbeda. Hal ini

    mengakibatkan pada ketiadaan pengakuan mengenai penyandang disabilitas.

    Selain itu pemberian formulir orang sakit kepada penyandang disabilitas

    juga merupakan pelanggaran dari hak penyandang disabilitas sendiri yaitu Pasal 7

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yaitu hak

    untuk hak bebas dari stigma yang meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan,

    18

    Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang

    Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 19

    Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On

    The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5251).

  • 50

    dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya20

    . Hal ini berarti masih adanya

    pemahaman bahwa status orang sakit dan penyandang disabilitas adalah sama

    padahal pada kenyataannya orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan

    dua hal yang berbeda.

    Seperti yang terjadi kasus di atas yang mana Ridwan Sumantri

    berkedudukan yang merupakan penyandang disabilitas saat menaiki maskapai

    Lion Air. Ridwan dipaksa untuk harus menandatangani formulir pernyataan

    pengangkutan penumpang untuk penumpang dengan status sakit. Seperti

    penjelasan sebelumnya, bahwa orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan

    individu yang berbeda dalam hal pengertian dan pelayanan.

    Pada penyandang disabilitasnya berlaku asas non-diskriminasi dan

    perlakuan khusus. Yang mana pada asas non-diskriminasi menurut Sieghart pada

    intinya adalah bahwa tidak mengharuskan semua orang untuk diperlakukan sama

    terhadap semua keadaan, namun kesetaraan perlakuan diperlukan untuk

    menghormati hak dan kebebasan21

    . Pada kasus diatas hak yang dilanggar berupa

    hak untuk bebas dari stigma terkait pelabelan negatif mengenai kondisi

    disabilitasnya. Ini termasuk melanggar perlakuan khusus penyandang disabilitas

    yang berupa hak untuk bebas dari stigma..

    Ada 27 prinsip kesetaraan didasarkan pada konsep hukum yang telah

    berkembang dalam yurisprudensi PBB, Regional, dan Nasional. Meskipun banyak

    istilah yang digunakan dalam Deklarasi ini cukup mapan, konsepsi yang

    20

    Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871). 21

    Paul Sieghart, Op.Cit. dikutip dari Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi

    Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maju Mandar, Bandung, 2015, h., 170-

    171.

  • 51

    dihasilkan dari kesetaraan secara keseluruhan membuka ruang baru untuk

    pengembangan standar dalam sistem hak asasi manusia Internasional.22

    Sebagaimana didefinisikan oleh Deklarasi, hak atas persamaan memiliki unsur-

    unsurnya kenikmatan yang sama dari semua hak asasi manusia, serta

    perlindungan dan manfaat hukum yang sama.23

    Yang paling penting, itu mencakup partisipasi yang setara di semua bidang

    kehidupan di mana hak asasi manusia berlaku. Kesetaraan bukan hanya hak untuk

    bebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi juga hak atas kesetaraan substantif

    dalam praktiknya. Di bawah pendekatan ini, tindakan positif (afirmatif)

    merupakan elemen penting dari hak atas kesetaraan.24

    Selain melanggar hak penyandang disabilitas yaitu hak untuk bebas dari

    stigma hal ini juga melanggar asas bagi penyandang disabilitas khususnya pada

    Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

    22

    Petrova, D., “The Declaration of Principles on Equality: A Contribution to

    International Human Rights,” in Declaration of Principles on Equality, Equal Rights Trust,

    London, 2008, p. 31, dikutip dari NYU Global Institute for Advanced Study, Article 7: The

    Equality and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the Report of the Global Citizenship

    Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h., 14, https://www.

    openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf, dikunjungi pada 22

    November 2018 pukul 13.35. 23

    Principle 1 of the Declaration defines the right to equality: “The right to equality is

    the right of all human beings to be equal in dignity, to be treated with respect and consideration

    and to participate on an equal basis with others in any area of economic, social, political, cultural

    or civil life. All human beings are equal before the law and have the right to equal protection and

    benefit of the law” (Declaration of Principles on Equality, Equal Rights Trust, London, 2008,

    Principle 1, p. 5.), dikutip dari NYU Global Institute for Advanced Study, Article 7: The Equality

    and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the Report of the Global Citizenship

    Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h., 15 https://www.

    openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf, dikunjungi pada 22

    November 2018 pukul 13.35. 24

    Principle 3 of the Declaration states: “To be effective, the right to equality requires

    positive action. Positive action, which includes a range of legislative, administrative and policy

    measures to overcome past disadvantage and to accelerate progress towards equality of particular

    groups, is a necessary element within the right to equality.” (Declaration of Principles on Equality,

    Equal Rights Trust, London, 2008, Principle 3, p. 5.), dikutip dari NYU Global Institute for

    Advanced Study, Article 7: The Equality and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the

    Report of the Global Citizenship Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h.,

    15, https://www.openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf.,

    dikunjungi pada 22 November 2018 pukul 13.35.

  • 52

    Disabilitas yaitu asas penghormatan terhadap martabat adalah pengakuan terhadap

    harga diri Penyandang Disabilitas yang harus dilindungi, dihormati, dan

    ditegakkan. Dengan memberikan formulir orang sakit kepada penyandang

    disabilitas tentu menciderai status penyandang disabilitas sendiri karena

    penyandang disabilitas dianggap seperti orang sakit serta tidak dianggap sebagai

    penyandang disabilitas. Bahwa seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya

    mengenai Penyandang Disabilitas vs. Orang Sakit maka Penulis dalam hal ini

    berpendapat bahwa kedudukan antara orang sakit dan penyandang disabilitas

    merupakan hal yang berbeda.

    3. Kewajiban Maskapai Penerbangan untuk Menyediakan

    Formulir Khusus Penyandang Disabilitas

    Pasal 7 huruf (a) dan (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen mengenai kewajiban pelaku usaha dalam hal ini adalah

    maskapai penerbangan yaitu berbunyi, (a) "beritikad baik dalam melakukan

    kegiatan usahanya; serta huruf (c) memperlakukan atau melayani konsumen

    secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif."25

    Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen belum secara signifikan mengatur mengenai perlindungan bagi

    penyandang disabilitas, namun pada Pasal 2 terdapat asas mengenai keadilan yang

    berbunyi, "asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

    25

    Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).

  • 53

    pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara

    adil." 26

    Yang mana hak konsumen yaitu Pasal 4 angka (1) dan angka (7) Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu pada angka

    (1) berbunyi, "hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

    mengkonsumsi barang dan/atau jasa", serta angka (7) berbunyi,"hak untuk

    diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif".27

    Bentuk penerapan dari kewajiban pelaku usaha yang dalam hal ini adalah

    maskapai penerbangan sebagaimana huruf (c) yaitu memperlakukan atau

    melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,"28

    yaitu

    dengan pemberian formulir sesuai dengan karakter dari para penumpang.

    Secara umum di Indonesia pengaturan mengenai perjanjian terdapat pada

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya pada Pasal 1313 mengatakan

    bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih

    mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.29

    Sementara itu kontrak baku atau klausula baku adalah kontrak yang dibuat

    secara sepihak dalam format tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang

    mempunyai kedudukan dan posisi tawar-menawar yang lebih kuat, yang

    didalamnya memuat klausula-klausula (pasal-pasal) yang tidak dapat dan tidak

    mungkin dirundingkan atau diubah oleh pihak lainnya yang mempunyai

    26

    Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 3821). 27

    Pasal 4 angka (a) dan angka (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 28

    Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 29

    Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • 54

    kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih lemah selain menyetujui (take

    it) atau menolaknya (leave it), yang bertujuan menghemat biaya, waktu dan tenaga

    serta mempermudah praktik hukum perancangan dan pelaksanaan kontraknya.30

    Kontrak baku digunakan tidak terkecuali dalam bidang penerbangan.

    Dalam hal ini badan usaha angkutan penerbangan memiliki kewajiban untuk

    mengangkut penumpang sebagaimana tertera dalam Pasal 140 Undang-Undang

    No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang berbunyi: "badan usaha angkutan

    udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah

    disepakatinya perjanjian pengangkutan31

    ."

    Dikaitkan dengan penelitian ini, kewajiban bagi maskapai penerbangan

    untuk membuat formulir pernyataan pengangkutan khusus bagi penyandang

    disabilitas menjadi penting. Sehingga tidak menimbulkan diskriminasi bagi

    penyandang disabilitas.

    Sebagaimana disebutkan pada Bab II subbab b bahwa diskriminasi adalah

    setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas

    dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau

    peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang

    Disabilitas32

    . Jika menyamakan penyandang disabilitas dan orang sakit maka

    pihak maskapai sebagai pelaku usaha dan penyedia formulir pengangkutan

    30

    Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif

    Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,

    Bandung, 2016, h., 219. 31

    Pasal 140 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara

    Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956). 32

    Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 5871).

  • 55

    merupakan bentuk pelanggaran diskriminasi yaitu memperlakukan atau melayani

    konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,"33

    Hal ini sebagai penerapan dari asas pada Pasal 2 huruf (c) Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu asas adil dan merata yaitu

    penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan

    merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang

    terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta

    tingkat ekonomi34

    .

    4. Tanggungjawab Negara dalam Pemberian Perlindungan

    Hukum

    Pemberian perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia merupakan

    kewajiban Negara terhadap masyarakatnya. Pada Undang-Undang Nomor 39

    tahun 1999 tentang HAM Pasal 2 dinyatakan bahwa Indonesia mengakui dan

    menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak

    yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus

    dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat manusia,

    kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Oleh karena itu,

    eksistensi HAM telah mendapat pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia.

    Pengingkaran terhadap HAM tentunya akan berimplikasi pada pelanggaran

    33

    Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 34

    Pasal 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4956)

  • 56

    hukum. Hal ini dikarenakan HAM adalah hak hukum yang pemenuhannya

    menjadi tanggung jawab negara.35

    Kewajiban Negara berkaitan dengan HAM yaitu untuk menghormati (to

    respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak warga negara.

    Menurut Asbjorn Eide pada intinya mengatakan bahwa kewajiban negara untuk

    menghormati (to respect) merupakan kewajiban untuk menghormati

    mengharuskan negara untuk tidak melakukan apa pun yang melanggar integritas

    individu atau melanggar kebebasannya, termasuk kebebasan untuk menggunakan

    sumber daya material yang tersedia bagi individu tersebut dengan cara yang

    menurutnya paling baik untuk memenuhi kebutuhan dasar36

    .

    Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban untuk melindungi (to protect),

    Asbjorn Eide berpendapat pada intinya merupakan kewajiban untuk melindungi

    mensyaratkan dari negara tindakan yang diperlukan untuk mencegah individu atau

    kelompok lain dari pelanggaran integritas, kebebasan atau tindakan, atau hak asasi

    manusia lainnya dari individu-termasuk pencegahan pelanggaran sumber daya

    materialnya.37

    Sedangkan kewajiban negara yang ketiga yaitu memenuhi (to fulfill)

    menurut Asbjorn Eide yang pada intinya merupakan kewajiban untuk memenuhi

    mensyaratkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

    memastikan setiap orang dalam jurisdiksinya untuk memperoleh kepuasan atas

    kebutuhan tersebut, diakui dalam instrumen hak asasi manusia, yang tidak dapat

    dijamin dengan upaya pribadi. 38

    35

    Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 40. 36

    Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., h. 130. 37

    Ibid. 38

    Ibid., h. 131.

  • 57

    Di Indonesia dalam penerapan kewajiban negara terhadap HAM yaitu untuk

    menghormati (to respect) serta untuk melindungi (to protect) secara kelembagaan

    ada 2 institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional

    Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan HAM39

    .

    Komnas HAM didirikan berdasarkan Keppres No.50 Tahun 1993 tentang

    Komnas HAM, dengan tujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang

    kondusif bagi pelaksanaan HAM serta meningkatkan perlindungan HAM. Untuk

    mewujudkan tujuan tersebut Komnas HAM melakukan sejumlah kegiatan yang

    pada intinya meliputi 3 hal, yaitu penyebarluasan wawasan HAM kepada

    masyarakat Indonesia dan internasional; pengkajian berbagai instrumen HAM

    PBB dalam rangka aksesi/ratifikasi; pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan

    HAM40

    .

    Pada tahun 1999, keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-

    undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan

    keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan serta tugas dan

    wewenang Komnas HAM. Disamping kewenangan tersebut, menurut Undang-

    Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan

    penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan

    dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

    Asasi Manusia41

    .

    Lembaga Komnas HAM telah bekerja sama baik secara Nasional maupun

    Internasional. Adapun bentuk kerjasama secara Internasional Komnas HAM yakni

    39

    Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 41. 40

    Ibid. 41

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Tentang Komnas HAM,

    https://www.komnasham.go.id/index.php/about/1/tentang-komnas-ham.html, dikunjungi pada

    tanggal 5 November 2018 pukul 10.14.

  • 58

    MoU Komnas HAM dengan The Office Of The United Nations High

    Commissioner For Refugees (UNHCR) yang ditandatangani di Jakarta pada

    tanggal 28 Juli 2015. Kerja sama ini bertujuan dengan mempertimbangkan

    perbedaan dan sifat yang saling melengkapi mandat dan tanggungjawab masing-

    masing institusi, sepakat untuk memastikan kerja sama yang erat dan upaya untuk

    saling mendukung dalam bidang-bidang yang menjadi tanggungjawab masing-

    masing.

    Kerjasama Komnas HAM secara Internasional yaitu MoU Komnas HAM

    dengan Foundation for International Human Rights Reporting Standards

    (FIHRRST) yang ditandatangi pada tanggal 31 Juli 2015. Kerja sama ini

    dimaksudkan untuk mempromosikan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

    Selain kerjasama secara Internasional Komnas HAM memiliki kerjasama

    dalam lingkup Nasional yang diantaranya perjanjian kerjasama Kepolisian Resort

    Metro Jakarta Utara dengan Komnas HAM tentang pelaksanaan kerjasama

    pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang

    ditandatangani pada tanggal 2 November 2015 di Jakarta Utara.

    Kemudian perjanjian kerjasama Kepolisian Daerah Jawa Tengah dengan

    Komnas HAM tentang pelaksanaan pemajuan hak asasi manusia ditandatangani

    pada tanggal 21 Agustus 2017. Selanjutnya MoU Komnas HAM dengan

    Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat tentang kerjasama pemajuan,

    perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia ditandatangani pada

    tanggal 17 April 2018. Serta perjanjian kerjasama Komnas HAM dan PT Kompas

    Media Nusantara tentang survei kesiapan partai politik dan perangkat pemilu

  • 59

    dalam penghapusan diskriminasi ras dan etnis ditandatangani pada tanggal 11 Juli

    2018.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

    Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki

    pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini

    Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi

    Manusia dan unsur masyarakat42

    .

    Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat Undang-Undang Nomor 39

    Tahun 1999 tentang HAM untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Selanjutnya

    dibuat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

    Manusia sebagai dasar hukum pengadilan HAM. Pelanggaran berat yang

    dimaksud hanya meliputi "genocide" dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

    against humanity).43

    Selain 2 lembaga diatas, Indonesia memiliki pengaturan yang mengatur

    mengenai HAM. Diantaranya diatur pada Pasal 28 huruf (A) sampai dengan Pasal

    28 huruf (J) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-

    Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011

    tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

    (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), Undang-Undang Nomor

    25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan lain sebagainya.

    Di tingkat Internasional, masalah penegakkan hukum HAM tidak lepas dari

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB). PBB memiliki peran

    42

    Ibid. 43

    Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 42.

  • 60

    sentral maupun konstribusi yang sangat penting bagi perlindungan dan

    penghormatan terhadap HAM di dunia44

    . Menurut Thomas Buergrnthal,45

    hal

    tersebut secara historis terlihat dari upaya-upaya yang telah dilakukan PBB

    berkaitan dengan perkembangan hukum HAM internasional modern seperti:

    dalam pembentukan norma (the normative foundation), pada tahap pertama ini

    proses dimulai dengan berlakunya piagam PBB dan berlanjut hingga disahkannya

    "Universal Declaration Of Human Rights" tahun 1948 dan 2 konvenan ICCPR

    (International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International

    Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) tahun 1966; tahap kedua

    pembentukan kelembagaan (institution building).

    Kemudian pada kewajiban negara yang ketiga yaitu untuk memenuhi (to

    fulfill). Dalam pemenuhan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia

    khususnya untuk penyandang disabilitas pada tempat umum maupun dalam

    transportasi publik yaitu dengan menyiapkan aksesibilitas yang siap dan layak

    digunakan. Bentuk-bentuk dari aksesibilitas yang digunakan diatur dalam

    Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun 2017

    tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi

    Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus yaitu pada Pasal 3 mengenai aksesibilitas

    bagi pengguna jasa berkebutuhan khusus pada sarana transportasi paling sedikit

    meliputi:46

    a) alat bantu untuk naik turun dari dan ke sarana transportasi;

    44 Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 45.

    45 Thomas Buergrnthal, International Human Rights In A Historical Perspective, dalam

    Janusz Symonides, (ed.), Human Rights: Concept and Standards, Burlington, USA: Ashgate

    Publishing Company and UNESCO, 2000, h., 10-16 dikutip dari Andreay Sujatmoko, Hukum

    HAM dan Hukum Humaniter, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, h.,45. 46

    Pasal 3, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun

    2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna

    Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1385).

  • 61

    b) pintu yang aman dan mudah diakses;

    c) informasi audio/visual tentang perjalanan yang mudah di akses;

    d) tanda/petunjuk khusus pada area pelayanan di sarana transportasi yang

    mudah di akses;

    e) tempat duduk prioritas dan toilet yang mudah diakses; dan

    f) penyediaan fasilitas bantu yang mudah di akses, aman dan nyaman.

    Pada subbab ini penulis menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia telah

    maksimal dalam melakukan dan memenuhi tanggungjawab dalam pemenuhan

    HAM untuk warga negara. Baik kewajiban untuk menghormati (to respect),

    melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak warga negara. Baik dalam

    bentuk sarana maupun prasarana telah dibangun oleh Pemerintah untuk memenuhi

    dan menunjang kewajiban HAM warga negara.

    Pengaturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatur dalam

    pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai negara terkait HAM antara lain yaitu

    Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J mengenai Hak Asasi Manusia di Undang-

    Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun

    1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang

    Pengadilan HAM, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,

    Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-

    Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak

    Penyandang Disabilitas, Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas

    HAM, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun

    2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik

    bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus dan lain sebagainya.

  • 62

    Negara sebagai pemegang kewajiban terhadap pemenuhan HAM memiliki

    tanggungjawab dalam terselenggaranya HAM sebagaimana terdapat dalam Pasal

    28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama

    Pasal 28I ayat (2) yaitu, "hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat

    diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

    perlakuan yang bersifat diskriminatif itu," dalam hal ini terkait perlakuan

    diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

    Negara berkewajiban untuk memastikan penyandang disabilitas untuk dapat

    menikmati haknya yaitu terbebas dari tindak diskriminasi. Negara dapat

    mengeluarkan regulasi formulir khusus penyandang disabilitas dalam transportasi

    umum khususnya penerbangan serta melakukan pengawasan terhadap maskapai

    penerbangan dalam memperlakukan penumpang disabilitas.