BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN...sastra kakawin ”Negara Kertagama” karya Mpu Prapanca. 4...
Transcript of BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN...sastra kakawin ”Negara Kertagama” karya Mpu Prapanca. 4...
42
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengenal konteks sosio-historis dan
geografis, entah itu sejarah masyarakatnya atau keadaan wilayahnya. Dengan kerangka
pemikiran, bahwa segala sesuatu apapun bentuknya mempunyai akar kultural dalam
konteks tertentu. Deskripsi wilayah ini penting, karena menjadi dasar untuk memahami
dengan baik tentang dinamika kesejahteraan sosial masyarakat pasca otonomi daerah di
Kabupaten Talaud, secara khusus dalam sorotan permasalahan di seputar peranan
pemerintah di Kecamatan Lirung sebagai tempat berlangsungnya penelitian.
A. Asal-Usul dan Sejarah Penduduk Talaud
Kepulauan Talaud merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi
Utara, yang menempati bagian terluar kawasan1 Indonesia Timur. Kabupaten ini
memiliki status otonomi daerah yang diperoleh dari hasil pemekaran Daerah
Tingkat II Kabupaten Sangihe-Talaud pada tahun 2002.2 Selain status otonom yang
dimiliki, kabupaten ini juga khas sebagai daerah yang memiliki batas wilayah
dengan Kota Davao del Sur dan Laut Mindanao di Filipina pada bagian Utara.
Sementara untuk bagian Selatan dibatasi oleh Laut Maluku. Samudera Pasifik dan
Laut Maluku menjadi batas wilayah di bagian Timur, dan bagian Barat berbatasan
dengan wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kabupaten ini mempunyai luas
wilayah laut sebesar 37.800,00 km² atau mencakup 95,24 persen dari 39.051,02
1 Kawasan diartikan sebagai batasan ruang yang terdiri dari beberapa daerah yang secara administratif
otonom namun dalam rangka strategi pembangunan dirangkum dalam satu platform karena kesamaan ciri
kewilayahan serta kepentingan pembangunan. 2 UU No. 22 Tahun 1999 (pada masa kepemimpinan Presiden Megawati direvisi menjadi UU No. 34
Tahun 2004) merupakan landasan yuridis pembentukan Kabupaten Talaud yang resmi menjadi daerah
otonom berdasarkan UU No.8 Tahun 2002.
43
km² luas seluruh wilayahnya.3 Dengan data empirik ini, maka tepatlah bila dalam
mendiskusikan Kabupaten Talaud tidak bisa mengabaikan aspek kelautan sebagai
karakteristik dari “kabupaten kepulauan.” Kondisi ini menimbulkan kecenderungan
penduduk melakukan pekerjaan di laut, walaupun bukan profesi utama. Potensi laut
untuk memenuhi kebutuhan hidup melalui penangkapan ikan, udang, dan kerang
serta satwa laut yang lain. Transportasi melalui laut ke Kabupaten Talaud dapat
ditempuh sekitar 14-18 jam dengan menggunakan kapal laut dari Manado atau
Bitung.
Mengenai nama Talaud, ada sejumlah versi yang berhubungan dengan asal-
usul Talaud. Secara etimologis, ada dua kata asal nama Talaud yang berasal dari
kata Tau dan Laude, mempunyai arti pelaut atau navigator. Kata Talaud disebut-
sebut diturunkan dari kata malaude yang berarti ‘tak jauh dari laut’. Meskipun
diyakini nama Talaud sudah lama dipakai, namun kata ini muncul secara tertulis
pertama dalam catatan ekspedisi Loyasa (1537), yaitu kata talao. Dulu nama lain
Talaud yang disebut-sebut adalah talloda, taroda atau talauda. Nama ini diberikan
oleh Muhammad Yamin, dengan menghubungkan kata uda ini dengan naskah
sastra kakawin ”Negara Kertagama” karya Mpu Prapanca.4 Tetapi nama ini di
kemudian hari berubah. Karena menurut beberapa tulisan lain tentang cakupan
wilayah geografis kekuasaan Majapahit tidak ditemukan bahwa kepulauan Talaud
termasuk di dalamnya. Menurut Sollewijn Gelpke dan Christian Pelras
sebagaimana dikutip oleh Kawuryan,5 bahwa penafsiran uda makadraya semacam
3 BPS Talaud, Talaud dalam Angka (Manado: BPS, 2009), 4. 4 Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, Kawasan Sangihe-Talaud Sitaro, Daerah
Perbatasan Keterbatasan Pembatasan (Jogjakarta: FUSPAD, 2008), 32. 5 Megandaru W, Kawuryan, Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton Majapahit (Jakarta:
Panji Pustaka, 2006), 20.
6 Raymond R. Tingginehe, dkk., Sastra Lisan Talaud (Manado: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra,
1987), 7.
44
itu sudah saatnya untuk diakhiri. Karena, penemuan terbaru sekalipun tidak dapat
dengan mudahnya untuk mengklaim bahwa Talaud sebagai bagian dari wilayah
kekuasaan Majapahit.
Versi lain namaTalaud dikenal dengan sebutan Porodisa. Sebutan Porodisa
sering dikaitkan sebagai kata serapan dari bahasa Spanyol (paraiso) dan bahasa
Inggris (paradise) yang artinya sorga. Tetapi menurut Raymond Tingginehe6
Porodisa bukan kata serapan asing melainkan asli berasal dari kata bahasa Talaud
yang berarti hancurkan. Kata itu adalah komando saat perlawanan melawan bajak
laut dari Mindanao. Selanjutnya ditambahkan pula bahwa kata itu berhubungan
dengan nama seorang raja di Talaud. Penentuan versi cerita mana yang benar,
tidaklah menjadi soal. Sebab, yang pokok adalah ‘stigma’ tentang Talaud sebagai
“the land of Paradise” tetap ada. Predikat ini diberikan tidak hanya karena
keasrian panorama alam dan pesona keindahan wisata laut, melainkan lebih kepada
kepribadian dan martabat masyarakat Talaud. Fakta historis mengungkapkan
bahwa sejak dulu kala penduduk Talaud memiliki perilaku sopan-santun dan
berbudi pekerti luhur serta bersikap terbuka dan memiliki kehangatan dalam
menerima kehadiran orang lain. Pada masa sekarang, hal tersebut sudah mulai
luntur, namun sikap ini dijadikan sebagai warisan leluhur yang harus tetap
dilestarikan. Sebutan Porodisa kemungkinan menginspirasikan sebuah paradise
(surga) oleh keindahan dan keasrian panorama alam, serta sikap bersahabat dan
keramah-tamahan masyarakat. Perpaduan antara pesona alam dengan gugusan
pulau-pulau indah yang pantainya berpasir putih dan beningnya air laut, ditambah
pula dengan hamparan perkebunan kelapa yang luas mulai dari garis pantai hingga
45
ke perbukitan, merupakan suatu alasan yang tepat bila kepulauan Talaud disebut
‘tanah berkat’.7
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1974 oleh ahli purbakala
asal Inggris bernama Peter Belwood dan I Made Sutayasa (berasal dari Bali-
Indonesia) dan bukti peninggalan sejarah yang tercatat di Pusat Arkeologi
Nasional, Kepulauan Talaud sudah didiami manusia dan mempunyai peradaban
yang cukup tinggi sejak tahun 6000 BC. Asal-usul penduduk Sangihe-Talaud
diduga merupakan gelombang awal manusia yang datang dari daratan Mindanao-
Filipina. Karena demikianlah rute perjalanan manusia awal Asia dari Cina Selatan
ke Indonesia. Lantas menyebar ke Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. Menurut
cerita rakyat dahulu kala, baik Ternate maupun Minadanao (Filipina) disebut
sebagai tanah asalnya. Bahkan ada cerita-cerita yang menunjukkan hubungan
kekeluargaan dengan bidadari langit yang datang ke dunia untuk mandi, dan
seorang dari mereka ditahan untuk menjadi pengantin wanita yang pertama. Sejauh
mana orang Polinesia yang datang pada zaman purba dari benua Asia mengembara
melalui kepulauan Hindia menuju arah timur dan lautan teduh, juga berpengaruh
pada percampuran ini, tidak dapat dipastikan. Yang pasti, bahwa pulau-pulau ini
sudah terkenal sejak ditemukan oleh Ferdinand de Magelhaes dalam pelayaran
pada tahun 1521, dan telah berhubungan dengan dunia barat. Setelah itu kaum
pendatang memasuki Kepulauan Sangihe-Talaud dari arah utara dan selatan.
Informasi lain8 menyebutkan bahwa para pendatang berasal dari Kota Batu
Filipina dan ada pula dari daratan Cina, juga pulau Manado Tua serta Ternate.
Kebenaran asal-usul ini memang sulit dilacak. Namun, penanda yang terkandung
dalam cerita-cerita rakyat cukup membantu jika didekati secara hermeneutis.
7 Observasi dan wawancara dengan tokoh adat Talaud, pada bulan April 2011, pukul 11.00-13.00 WITA.
8 Ibid.
46
Sebagai contohnya, dalam legenda sepasang kekasih yang bertutur asal-usul
kerajaaan pertama di Sangihe-Talaud, yaitu kerajaan Tampungang Lawo, terdapat
mitos yang dibangun untuk menegaskan relasi masyarakat Filipina dan Sangihe-
Talaud.9 Dalam proses historis selanjutnya, kawin-mawin dengan pendatang tidak
terelakkan. Ukuran postur tubuh yang beraneka ragam mengindikasikan kebenaran
terjadinya pembauran etnis. Brillman merumuskannya dengan cermat:
“kepelbagaian yang besar dalam perawakan tubuh, bentuk tengkorak, roman muka
dan warna kulit menunjukkan adanya percampuran yang kuat”. 10
Brillman
sebenarnya tidak hanya membuktikan adanya pembauran etnis. Tapi, juga memberi
informasi yang signifikan dan relevan dengan pembentukan struktur masyarakat
Talaud perdana.
B. Struktur Masyarakat dan Sistem Kekerabatan
Masyarakat Talaud pada dasarnya memiliki dua struktur masyarakat,
yaitu struktur masyarakat pada masa awal pembentukan kerajaan di Talaud dan
struktur masyarakat yang ada sampai sekarang ini. Struktur masyarakat di
masa kerajaan, sesungguhnya bercikal-bakal dari keluarga batih sebagai format
awal pembentukan masyarakat di Talaud. Sebagai masyarakat yang bertipe
keluarga batih, maka orang tua merupakan timaddu (ketua/pemimpin),
sedangkan anak-anak merupakan anggota keluarga batih atau keluarga inti.
Posisi sosial seseorang dalam keluarga tersirat dari sapaan untuk
memanggilnya. Ibu dipanggil inanga, sedangkan bapak adalah yamanga.
Nenek dan kakek, masing-masing disapa sebagai yupung wawinne dan yupung
esakka. Perempuan yang belum menikah disebut maruala sedangkan laki-laki
9 Wilayah pulau-pulau Talaud hingga permulaan abad ke-20 merupakan cakupan dari kerajaan di
pulau Sangihe.
10
D. Brillman, Kabar Baik di Bibir Pasifik (Jakarta: Pustaka Harapan, 2005), 25-26.
47
adalah umbassanna. Ada pula sapaan yang dikenakan secara umum terhadap
perempuan, yakni wolla dan untuk laki-laki adalah maing. Sapaan untuk
perempuan dari kaum bangsawan adalah woi dan untuk laki-laki adalah rattu.
Sistem keluarga batih ini memberi tempat, penghargaan, penghormatan khusus
kepada yang lebih tua atau yang dipercayakan untuk menjadi pemimpin.
Sedangkan anggota keluarga pada tingkatan lebih rendah dituntut untuk
mendengar dan menerima wejangan serta arahan dari orang tua. Pada fase
selanjutnya, masyarakat bergerak ke sistem ruanganna (rumpun keluarga)
yang terdiri dari beberapa marga atau puak yang berasal dari satu leluhur
(nenek moyang). Keluarga-keluarga yang memiliki pertalian darah membentuk
komunitas tersendiri dengan pimpinan seorang timaddu ruanganna (ketua
rumpun). Singkatnya, dari sinilah asal mula pertumbuhan kehidupan bersama
yang ditata dalam satu wanua (kampung). Pada sistem pewilayahan kampung
ini terdapat tetua kampung yang disebut ratumbanua dan inanguwanua.11
Kedua tokoh pemimpin ini dipilih dari kalangan timaddu ruanganna, yang
sebelumnya menjabat sebagai pemimpin dari salah satu rumpun yang ada.
Kedua tokoh ini bertanggung jawab atas kehidupan sosial-budaya dari warga
kampung.
Selain ketiga tokoh yang memegang pucuk pimpinan formal tradisonal
di kampung, masih ada lagi seorang tokoh yang disebut ratuntampa (raja
negeri). Raja negeri ini kuasanya melebihi dari ketiga tokoh yang ada, bahkan
sekalipun apitalau (kepala kampung) yang secara resmi bertindak sebagai
aparat pemerintah tertinggi di kampung. Dengan demikian mulai dari
11
Kedua tokoh adat ini sampai sekarang masih berperan di bidang sosial-budaya untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, walaupun kapasitasnya sebagai pemimpin telah direduksi
oleh sistem administrasi pemerintahan yang berlaku saat ini.
48
ratuntampa, ratumbanua, inanguwanua, dan timaddu ruanganna adalah
pimpinan formal tradisional, sedangkan apitalau menjadi pemimpin formal di
kampung. Sistem ini bertahan lama sebelum munculnya ekspansi kesultanan
Mindanao dari Filipina.
Kehadiran kesultanan Mindanao yang telah menaklukan kerajaan
Sangihe-Talaud, berdampak pada sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Walaupun demikian, peran-peran yang sudah ada tetap difungsikan dalam
lingkup wilayahnya masing-masing. Stratifikasi sosial dalam masyarakat pun
muncul, ketika mulai dikenal strata keluarga raja, bangsawan, rakyat dan
hamba. Dalam silsilah keturunan, keluarga raja dan kerabatnya yang tergolong
sebagai bangsawan disebut papuna, kemudian di bawahnya golongan rakyat
biasa atau rakyat jelata yang disebut ampania dan lapisan paling bawah adalah
golongan budak atau jongos yang disebut alanga. Fakta mengungkapkan
bahwa struktur masyarakat di Talaud tidak bisa dilepaskan dari garis keturunan
atau ikatan genealogis. Prasyarat untuk memperoleh gelar-gelar adat pun,
masih diukur dari garis keturunan. Karena itu, sampai sekarang masyarakat
menganggap penting untuk melestarikannya agar nilai-nilai kultural dan
keseimbangan sosial yang diwariskan tetap langgeng. Meskipun struktur
masyarakat seperti dulu yang berdasarkan kelas tidak lagi terlalu menonjol,
kecuali dalam tatanan adat-istiadat lokal.
Prinsip hidup persaudaraan adalah unsur yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat Talaud. Setiap orang yang dapat membuktikan asal-
usulnya dengan baik akan diterima menjadi keluarga, walaupun tidak pernah
bertemu sebelumnya. Selain memiliki keterikatan yang erat melalui hubungan
persaudaraan, hal lain yang merupakan keterikatan bagi orang Talaud, yaitu
49
adanya prinsip kesatuan hidup yang berakar pada “tanah dan darah”. Tanah
tidak sebatas pengertian kepemilikan atas sebidang tanah atau lahan pertanian,
akan tetapi juga menunjuk pada pengertian kampung halaman. Keterikatan
orang Talaud dengan kampung halamannya juga dihubungkan dengan tempat
di mana tembuninya ditanam. Pengetahuan yang merekam kearifan-kearifan
lokal di masa lalu menjelaskan bagaimana hubungan antara seorang bayi yang
kemudian menjadi manusia dewasa dengan wabal12
(plasenta) yang dianggap
sebagai ‘saudara tua atau kakak’. Sedangkan darah di sini mengacu pada ikatan
darah atau keturunan.
Selama pengamatan dan sejauh pengalaman penulis menjadi bagian
dari masyarakat di Talaud, diketahui bahwa penentuan garis keturunan
merupakan dasar bangunan kekerabatan masyarakat yang berkiblat pada pola
bilateral. Artinya, meskipun seseorang telah menyandang nama keluarga atau
fam (marga) ayah, tetapi pihak ibu dan keluarganya pun memiliki hak yang
sama seperti yang dimiliki oleh pihak ayah dan keluarganya. Tetapi dalam
realitas penentuan keturunan berdasarkan garis ayah (laki-laki) yang disebut
patrilineal sangat mendominasi. Di samping kedua konsep garis keturunan
tersebut, masih ada lagi penentuan keturunan menurut garis ibu (perempuan)
yang disebut matrilineal.13
Yang terakhir ini sangat jarang terjadi di
masyarakat kecuali dalam pertimbangan khusus. Kekerabatan dan garis
keturunan ini menentukan hak dan kewajiban setiap anggotanya, dan juga
menentukan pola hubungan sosial. Pada umumnya sistem kekerabatan yang
berlaku di masyarakat Talaud adalah patrilineal. Tapi, setelah menikah seorang
12 Wabali sebutan dalam bahasa Talaud untuk ari-ari atau tembuni.
13 Lihat uraian Roger M. Keesing tentang garis keturunan dalam Antropologi Budaya 1 (terj.)
(Jakarta: Erlangga, 1999), 239.
50
laki-laki akan mengikuti istrinya atau tinggal dengan mertuanya.14
Hal ini
nyata dari status keanggotaan sebuah rumpun keluarga. Seseorang boleh
bergabung dan menjadi anggota rumpun keluarga dari pihak perempuan,
bahkan terkadang ada yang bergabung dan menjadi anggota dari rumpun
keluarga istrinya. Kondisi ini terjadi berdasarkan prinsip kekeluargaan atau
kekerabatan di Talaud tidak hanya didasarkan atas ikatan perkawinan seorang
laki-laki dan seorang perempuan saja seperti model berkeluarga yang
menganut prinsip keluarga batih (conjugal family) melainkan didasarkan juga
pada pertalian darah atau keturunan dari sejumlah kerabat. Karena itu,
masyarakat di Talaud umumnya menganut prinsip keluarga luas (extended
family). Dalam hal perkawinan, masyarakat Talaud memiliki sistem norma dan
tata cara yang tidak jauh berbeda dengan suku-suku lainnya di Indonesia.
Perkawinan bagi masyarakat Talaud merupakan perlakuan yang suci,
sehingga diusahakan dalam pelaksanaan tata caranya, semua berjalan dengan
baik menurut norma yang berlaku di masyarakat. Norma yang berlaku
melarang perempuan dan laki-laki yang akan kawin berasal dari keturunan
yang sama. Perempuan dan laki-laki yang menjadi calon pengantin bukan
berasal dari keturunan yang semarga. Peraturan ini menjadi pagar pembatas
bagi perempuan dan laki-laki dalam memilih pasangan hidup, agar tidak
sampai terjadi incest, 15
yang berdampak pada pengenaan sanksi moral bagi
yang melakukan pelanggaran hukum adat.
C. Sistem Kepercayaan
14
Kondisi ini disebut dengan Matrilokal, dimana pihak suami menetap di sekitar daerah kediaman
kerabat istri. 15
Incest adalah perkawinan antara saudara sekandung atau terjadinya perkawinan sumbang.
51
Masyarakat di Talaud memiliki pandangan tentang kosmologi. Kosmos
ini semestinya diperlakukan secara harmonis selagi manusia hidup.
Pengrusakan atas tatanan kosmos atau alam semesta akan mengundang
bencana. Sebaliknya keharmonisan relasi dengan kosmos akan berdampak
pada kesejahteraan manusia. Karena itu, demi menjaga supaya keharmonisan
relasi kosmos dan manusia itu terjaga dengan baik, maka pada waktu-waktu
tertentu diadakan ritus-ritus di tempat yang khusus pula. Mencermati praktek
ritual yang dilakukan, dapat dipahami bahwa awal mula sistem kepercayaan
masyarakat di Talaud ialah ‘animisme’16
yang mempercayai adanya roh-roh
seperti rimu’udde,17
dan ‘panunggu’.18
Tetapi, sikap orang Talaud bukan
merupakan ‘kemusyirikkan’ terhadap Sang Ilahi, karena bagi orang Talaud
hanya Mawu Ruata yang patut disembah. Terlepas dari adanya kepercayaan
asli ‘animisme’, orang Talaud sudah memiliki kepercayaan tentang pokok-
pokok ajaran Iman Kristen, misalnya tentang Allah Bapa dalam pemahaman
Trinitas, orang Talaud menyebut Allah Bapa sebagai Mawu Ruata. Mawu
Ruata ini diyakini mempunyai otoritas tertinggi, sebab Dia adalah Sang
Pencipta yang menjadikan alam semesta, dan memiliki kewenangan serta
kekuasaan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, hanya kepadaNya selalu
masyarakat memohon pertolongan agar dilindungi dari berbagai bahaya dan
malapetaka, seperti penyakit dan gangguan ‘rimu’udde’
16
Terminologi animisme di sini tidak dalam pengertian yang lazim sebagai kepercayaan terhadap roh-
roh dan cenderung dihubungkan dengan penyembahan berhala. Terminologi animisme di sini mengacu
pada penjelasan E. B. Tylor bahwa animisme adalah derivasi kata Latin ‘anima’ yang artinya roh. 17
Rimu’udde bagi masyarakat Talaud dipahami sebagai arwah orang mati, yang diyakini dapat
membawa berbagai pengaruh bagi orang yang masih hidup.
18 Panunggu dalam bahasa lokal diartikan penjaga atau penunggu.
52
Dalam perkembangan selanjutnya, secara legal-formal agama Kristen
masuk di Talaud pada tahun 1859 tepatnya pada tanggal 1 Oktober,19
melalui 3
orang zending, yakni: Gunther, Richter, Tauffman. Awalnya, penduduk
pribumi menunjukan sikap yang tak bersahabat, dikarenakan para zending ini
diidentikkan dengan pemerintah kolonial Belanda yang menjajah bangsa
Indonesia, termasuk masyarakat yang ada di Talaud. Kondisi sulit ini disiasati
oleh para zending dengan bekerja sebagai tukang sepatu agar mereka dapat
mendekati dan meyakinkan masyarakat bahwa mereka bukan penjajah
walaupun sama-sama berasal dari bangsa kulit putih. Dari karya ‘para tukang’
inilah sejarah mencatat bahwa sejak masuknya Injil di kepulauan Talaud
sampai terbentuknya Sinode Gereja Masehi Injili di Talaud (GERMITA), tidak
bisa dilepaskan dari peranan para pekabar Injil yang berstatus ‘zending
tukang’.
Masyarakat di Talaud secara formal menganut agama-agama besar di
Indonesia, yaitu Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik). Secara kuantitas,
mayoritas orang Talaud menganut agama Kristen, dimana perbandingannya
dilihat dari jumlah desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Talaud. Gambaran
kehidupan keagamaan dalam masyarakat Talaud ini, bukanlah dimaksudkan
untuk menyatakan bahwa hanya agama-agama itu sebagai sistem kepercayaan.
Sebab secara sosiologis, agama memiliki bentuk sistem kepercayaan,
walaupun adanya sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat belum
tentu disebut agama. Apalagi bila dipahami dalam konteks bernegara di
Indonesia yang mempunyai kecenderungan pengajaran doktrinal agama resmi
secara politis cukup kuat.
19 Tanggal 1 Oktober ini diperingati sebagai peristiwa Injil masuk di pulau-pulau Talaud.
53
Masyarakat Talaud dalam kehidupan sehari-hari memiliki juga
kepercayaan terhadap isyarat-isyarat simbolis, seperti percaya bahwa bunyi
binatang tertentu mempunyai makna ‘teologis’. Misalnya: bunyi cecak
ditafsirkan sebagai peringatan bagi ‘niat hati’ seseorang yang akan melakukan
perjalanan atau pekerjaan. Selain isyarat-isyarat simbolis, masyarakat juga
percaya adanya tempat-tempat khusus yang dianggap keramat, karena
ditempati oleh ‘panunggu’. Kepercayaan akan adanya ‘panunggu’ suatu
tempat, membuat masyarakat tidak sembarangan dalam mengeksploitasi hutan
dan isinya, termasuk dalam hal ini adalah penebangan liar pohon-pohon di
hutan. Cara ini secara langsung merupakan salah satu upaya dalam pelestarian
lingkungan hidup dengan menjaga keharmonisan ekosistem hutan. Sehingga,
keseimbangan kosmos-manusia terpelihara dengan baik.
D. Sejarah Pembentukkan Kabupaten Talaud
Terbentuknya Kabupaten Talaud merupakan klimaks dari rangkaian
panjang proses perjuangan selama setengah abad dari para anak bangsa di
bumi Porodisa. Proses inipun merupakan kelanjutan dari perjuangan generasi-
generasi sebelumnya, demi mempertahankan dan menegakkan kedaulatan
wilayah terhadap hegemoni pemerintah kolonial Belanda dan para penjajah
lainnya. Perjuangan warga Talaud menuntut hak otonomi dan lepas berdiri
sendiri dari Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki sejarah dan proses
pembentukan yang panjang. Pada jaman Pemerintah Kolonial Belanda,
Kepulauan Talaud adalah Landstreek van Menado20
atau bagian dari
Karesidenan Manado. Kontak awal dengan pemerintahan kolonial berawal dari
kehadiran VOC yang mengikat daerah ini lewat kontrak yang ditandatangani
20
Artinya sekedar perpanjangan daratan Manado, sebab merupakan wilayah Residen Manado dalam
gubernemen Maluku.
54
oleh para raja di Sangihe dengan Gubernur Robertus Padtbrugge21
tahun 1667.
Gubernur VOC22
ini menggunakan pengaruh dari para raja di Sangihe untuk
menguasai kepulauan Talaud dengan menggunakan hubungan-hubungan
tradisonal dan perniagaan maupun ikatan kekeluargaan.
Sejak tahun 1825 Kepulauan Sangihe-Talaud merupakan bagian dari
Karesidenan Manado, setelah dikembalikannya kekuasaan dari Inggris ke
Hindia Belanda. Hal ini berlangsung sampai tahun 1882, dimana kehadiran
penguasa kolonial di kepulauan ini melalui seorang controleur (pengawas)
yang berkedudukan di Tahuna. Pada tahun 1888, tepatnya tanggal 18
Nopember ditempatkan seorang posthouder bernama J. E. Leidemeijer di
Lirung. Setahun kemudian terjadi peralihan para pemimpin lokal atau
penguasa lokal yang berbasis pada adat dan digelar raja negeri atau dalam
bahasa setempat disebut ratuntampa, ditiadakan gelarnya dan diganti dengan
presiden jogugu, dan wilayahnya diberi nama wilayah kejoguguan. Pada
tanggal 15 September 1889 berdasarkan Surat Pengangkatan atau besluit
Residen Manado Nomor 1760a, ditetapkan bahwa Talaud dibagi dalam
beberapa wilayah kejoguguan, yaitu: Lirung, Beo, Rainis, Kabaruan, Moronge,
Salibabu, dan Nanusa.
Pada tahun 1899, Residen Menado E. J. Jellesma memperkuat kembali
kontrak yang menyatakan bahwa wilayah kejoguguan Talaud menjadi bagian
dari wilayah Kerajaan Sangihe. Setelah sistem pemerintahan bentukan kolonial
ini berjalan selama satu dasawarsa, maka pada tahun 1909 wilayah kejoguguan
yang ada di Talaud menghendaki status yang sama dengan kedudukan Pulau
21
Robertus Padtbrugge adalah Gubernur VOC di Maluku pada masa pemerintahan kolonial Belanda. 22
VOC adalah korporasi perdagangan yang dibangun oleh Belanda untuk menandingi bangsa
Portugis dan Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah.
55
Sangihe, yakni sebagai onderafdeling. Permintaan ini disetujui oleh Residen
Manado Ph. J. van Merle melalui besluit gubernemen tertanggal 13 April 1911
Nomor 11. Bersamaan dengan besluit tersebut ditunjuk seorang controleur
untuk menempati posnya di Lirung. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal
18 Februari 1915 Gubernur Jenderal mengeluarkan besluit governement nomor
18 yang intinya menetapkan Talaud sebagai Kerajaan Kepulauan Talaud.
Meskipun, penyelenggaraan pemerintahan masih berada dalam pengawasan
Raad van Jogugus (Dewan Jogugu-Jogugu) di bawah pimpinan Controleur
Belanda. Pemerintahan Raad van Jogugus ini berakhir tahun 1921, dengan
diangkatnya J.S. Tamawiwij menjadi Raja Kepulauan Talaud.
Pemerintahan Raja Tamawiwij ini berlangsung selama satu dasawarsa,
karena pada tahun 1931, Raja J.S. Tamawiwij meninggal dunia, dan digantikan
oleh saudaranya M.S. Tamawiwij. Raja M.S. Tamawiwij ini pun memerintah
hanya terbilang sewindu, karena pada tanggal 4 Juni 1938, ia diberhentikan
dengan hormat sebagai raja di Talaud dan digantikan oleh Bestuur Assistant
P.H. Koagouw. Setelah kedatangan balatentara Jepang, P.H. Koagouw
kemudian dinobatkan sebagai Shu-choo atau kepala dari wilayah setingkat
provinsi. Pada tahun 1944 Jepang menunjuk Th. P. Binilang sebagai Shu-coo
baru menggantikan P.H. Koagouw yang hanya memerintah selama enam
tahun.
Pada jaman pemerintahan Republik Indonesia, Th. P. Binilang diangkat
menjadi Kepala Swapraja Pulau-Pulau Talaud hingga masa pensiun dan
digantikan oleh P. Maanema. Status sebagai daerah swapraja ini berlangsung
sampai pada tahun 1956. Tapi setahun sebelum status swapraja ini dihapuskan,
Pemerintah RI mengangkat pejabat dengan sebutan Kepala Pemerintahan
56
Negeri (KPN) yang berkedudukan di Beo. Kebijakan pemerintah untuk
menghapus status Swapraja dan diangkatnya pejabat KPN yang berasal dari
luar Talaud ini menuai protes warga. Aksi warga yang memprotes kebijakan
pemerintah ini dikenal dengan ‘Peristiwa Moronge 26 Juli 1956’. Protes dari
warga ini ditanggapi oleh pemerintah dengan merestrukturisasi status wilayah
diganti menjadi wilayah kecamatan. Kepulauan Talaud pada masa itu terbagi
atas 2 (dua) kecamatan, yaitu: Kecamatan Talaud Utara dengan ibukota di Beo
dan Kecamatan Talaud Selatan dengan ibukota di Lirung. Setelah berjalan lima
tahun sistem pewilayahan kecamatan ini, pada tahun 1961 Kepulauan Talaud
mendapat predikat baru sebagai kawedanan. Sebagai Kepala Kawedanan pada
waktu itu dipercayakan kepada P. Maanema. Setahun kemudian ia pensiun,
dan Th. Binilang menjadi penggantinya. Predikat kawedanan usianya sangat
singkat, hanya setahun pula, lalu terjadi perubahan sistem pewilayahan pada
tahun 1962.
Pada tahun 1964, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Provinsi Sulawesi Utara tertanggal 30 Oktober 1964 Nomor 264
perihal Pembentukan Wilayah Kecamatan di Daerah Tingkat II Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Talaud; wilayah kecamatan dimekarkan menjadi enam
wilayah ditambah dengan satu wilayah perwakilan kecamatan. Pada tingkatan
di atas kecamatan, status Kepala Kawedanan pada tahun 1971 berubah lagi
menjadi Pembantu/Penghubung Bupati Kepala Daerah Tkt.II. Yang diangkat
menjadi pejabatnya adalah M.L. Malensang. Sejak saat itu berturut-turut
sejumlah pejabat menempati jabatan selaku Pembantu/Penghubung BKDH
Tkt.II. Selanjutnya pada masa transisi sehubungan dengan pemekaran wilayah
57
berdasarkan UU No. 8 Tahun 2002; Pemerintah Pusat telah menunjuk seorang
pejabat bupati untuk bertugas memilih bupati dan wakil bupati defenitif.
Status daerah otonom yang disandang oleh kabupaten Talaud tentu
tidaklah semata-mata karena upaya dari pemerintah, sebagaimana ulasan di
atas. Kalaupun masyarakat Talaud boleh berbangga karena status otonominya,
kebanggaan ini tidaklah seberapa dibandingkan kebanggaan terhadap para
pejuang yang berjasa telah mengorbankan jiwa raga sebagai harga tebusan
untuk kehidupan yang mandiri dan berdikari. Heroisme para pejuang
merupakan epik bagi dinamika kehidupan masyarakat Talaud dalam meniti
rentang waktu yang panjang melalui episode-episode perjuangan demi
terwujudnya otonomi daerah.
Kisah sejarah membuktikan kehadiran tokoh-tokoh pemimpin yang
berani mempertaruhkan nyawa, ketika hak-haknya dikangkangi. Ada pula
tokoh pemimpin yang memilih untuk menempuh jalan cooperative atau
bekerjasama dengan penguasa yang lebih tinggi, meskipun secara adat dan
tradisi; raja yang menerima status lebih rendah ketika diakui sebagai jogugu,
antara lain menunjukkan suasana batin seperti itu. Pada lingkup lokal,
kebijakan Residen Manado meniadakan gelar raja dari para pemimpin
komunitas adat di kepulauan Talaud serta menggantikannya dengan jogugu
untuk kemudian menempatkan mereka di bawah kendali para raja di Sangihe;
merupakan benih awal ketidakpuasan. Embrio ketidakpuasan ini semakin
berkembang-biak ketika ada perlakuan diskriminatif terhadap penguasa lokal
anak negeri. Misalnya, ketika orang Talaud digantikan oleh orang Sangihe
yang tidak mengakar dalam tradisi kepemimpinan. Tindakan ini ditanggapi
58
oleh elite pemimpin setempat sebagai bentuk pelecehan terhadap warga
Talaud.
Pada saat daerah ini berstatus menjadi Dati II Kabupaten Kepulauan
Sangihe-Talaud pun, pengalaman-pengalaman serupa ini terus berlanjut, baik
dalam tatanan pemerintahan maupun politik.23
Pengalaman pembangunan di
masa Orde Baru yang lebih mengutamakan pembangunan sarana-prasarana
infrastruktur yang terpusat di kawasan pusat kota dan daerah mengakibatkan
terbengkalainya kawasan-kawasan yang berada di luar (termasuk kepulauan
Talaud). Kenyataan ini semakin memperkuat semangat dan aspirasi warga
Talaud yang menghendaki wilayahnya mempunyai pemerintahan sendiri.
Semangat otonomi sudah bergaung semenjak adanya tuntutan agar
Talaud diberi status sebagai “Daerah Istimewa” pada tanggal 26 Juni tahun
1956. Walaupun mendapat berbagai tekanan politis, tuntutan agar wilayah
kepulauan Talaud memperoleh status kabupaten terus bergulir. Tuntutan ini
tidak hanya disuarakan oleh warga Talaud lokal, tetapi juga warga Talaud yang
menetap di beberapa kota besar di Indonesia, seperti: Makassar, Manado,
Bitung, Surabaya, dan Jakarta. Pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an
cara penyampaian aspirasi masih bersifat sporadis dan melalui elit politik serta
tokoh masyarakat yang dipilih untuk menghadap pejabat pemerintah di tingkat
kabupaten, provinsi dan pusat. Tapi, selanjutnya penyampaian aspirasi tersebut
lebih terorganisir melalui beberapa organisasi sosial dan kemasyarakatan yang
berjuang untuk otonomi daerah Talaud.
23
Pembentukan Dati II Kabupaten Sangihe-Talaud pada tahun 1948, menimbulkan semangat bagi
masyarakat Talaud untuk memulai perjuangan membentuk Kabupaten Talaud.
59
Pembentukkan Musyawarah Masyarakat Talaud (MUKAT) pada tahun
1978 dan penyelenggaraan MUNASTAL24
yang pertama pada tahun 1981 di
Jakarta, merupakan usaha perubahan untuk menuju ke arah perbaikan.
Organisasi pelajar dan mahasiswa Talaud pun tidak ketinggalan. Kaum muda
inilah yang menjadi kekuatan-kekuatan penekan melalui berbagai unjuk rasa
dan mimbar teatrikal. Penting untuk dicatat pula bahwa tidak hanya para
politisi dan kelompok elit serta kaum terpelajar saja berjuang, tapi warga sipil
pun ikut serta berjuang dengan cara memberi bantuan finansial untuk biaya
pelaksanaan MUNASTAL.
Singkat kata, perjuangan warga Talaud pun mendapat dukungan dan
simpati dari berbagai pihak yang peduli terhadap nasib masyarakat yang
berada di daerah perbatasan ini. Pemerintah Provinsi Sulut sejak
kepemimpinan E. E. Mangindaan sampai kepada A. J. Sondakh sebagai
gubernur Provinsi Sulut telah banyak memberi dukungan dan simpati dengan
menyurati Menteri dalam negeri perihal Pembentukan Daerah Kabupaten
Talaud.
Era pasca Soeharto dengan gerakan reformasi, memberi harapan bagi
warga Talaud. Disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah atau lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah; memberi peluang dan
kesempatan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Kepulauan Talaud.
E. Kabupaten Kepulauan Talaud Pasca Otonomi Daerah
1. Gambaran Umum
24
Musyawarah Nasional Masyarakat Talaud (MUNASTAL) I diadakan di Jakarta, dan para
pesertanya berasal dari perwakilan tiap daerah yang ada di Talaud bahkan juga orang Talaud yang ada di
perantauan. MUNASTAL ini merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat dan memiliki hak tertinggi
dalam membuat keputusan
60
Kabupaten yang bercorak agraris ini merupakan salah satu dari 10
kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Utara. Kabupaten Talaud meliputi 19
kecamatan, 11 kelurahan dan 142 desa. Kabupaten Talaud terdiri dari
gugusan-gugusan pulau yang terletak di bagian utara Jazirah Sulawesi
Utara. Kabupaten yang berada pada koordinat 3o 30’ hingga 5
o 46’
Lintang Utara dan 126o
30’ hingga 127o 30’ Bujur Timur merupakan salah
satu daerah tujuan wisata di Indonesia yang memiliki beragam adat-
istiadat, seni tradisional dan kekayaan sosial-budaya yang pewarisannya
dilakukan turun-temurun.25 Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
membangun kehidupannya tanpa meninggalkan falsafah hidup
“Saruwenten” yang teraktualisasi dalam semangat kebersamaan untuk
melakukan pekerjaan, baik di kebun ataupun membangun rumah serta
berbagai bentuk kerja sama lainnya yang merupakan bagian dari aktifitas
masyarakat. Jelasnya, di dalam semangat kerja sama ini filosofi
Saruwenten mendapat nilai kegunaan yang dirasakan oleh kedua belah
pihak, tanpa ada pihak lebih diuntungkan atau dirugikan. Penjabaran dari
falsafah hidup ini mendapat bentuknya di bidang sosial-budaya dalam
tradisi ma’a ombo (gotong-royong). Kebiasaan ini sampai sekarang masih
dipraktikkan oleh warga masyarakat Talaud, baik lokal maupun yang ada
di perantauan. Sebab, di dalamnya terkandung nilai tradisi dan norma yang
menjadi perwujudan dari modal sosial.26
Memang awalnya aktivitas ini
hanya berlaku di bidang pertanian (di kebun), akan tetapi untuk sekarang
ini aktivitasnya telah menyebar sampai pada urusan perkawinan, dan lain-
25 BPS Talaud, Talaud dalam Angka 2010, (Manado: BPS, 2010), 14.
26 Modal sosial yang tersimpan dalam nilai tradisi dan norma serta kearifan lokal ini menjadi tenaga
penggerak bagi organisasi sosial yang berbasiskan masyarakat lokal ini.
61
lain. Hal seperti ini dilakukan oleh penduduk semata-mata atas kesadaran
pribadi dan prinsip hidup saling menolong, tanpa ada paksaan ataupun
desakan dari pihak lain.
Latar sosial-budaya lainnya ialah kekayaan dan keunikan bahasa
yang terekspresikan melalui berbagai ungkapan sastra dan pidato adat
yang mempunyai beragam coraknya, namun keberagaman tersebut tidak
sampai mengeliminasi konsepsi kesatuan masyarakat Talaud dalam
mengekspresikan identitas dirinya. Misalnya: orang Lirung sebagai
rujukan dari tempat kelahiran. Ada juga contoh lainnya: orang Salibabu
yang merujuk pada pulau asalnya. Akan tetapi, ketika orang-orang yang
berbeda asal-usulnya ini berada di perantauan, maka identitas individu
maupun kelompok tersebut melebur dalam satu identitas sebagai taumatta
Taloda yang merujuk pada status orang Talaud, tanpa ada sekat-sekat
pembatasnya. Bahasa pun menjadi salah satu media dalam konsepsi
kesatuan masyarakat Talaud. Memang, masing-masing kecamatan di
Talaud memiliki dialek atau logatnya yang berlainan, termasuk pelafalan
kata. Tetapi, umumnya bahasa Talaud masih digunakan sebagai sarana
komunikasi, selain bahasa Indonesia yang lebih sering dan banyak
digunakan masyarakat sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.
Kabupaten Talaud mempunyai luas wilayah sebesar 39.051,02
km², dengan rincian luas lautan adalah 37.800 km² dan daratan 1.251,02
km². Luas wilayah daratan ini mencakup tiga pulau besar yang ada di
Kabupaten Talaud, yakni: Pulau Karakelang dengan luasnya 1.007,07
km², Pulau Kabaruan luasnya 115,61 km², dan Pulau Salibabu dengan
luasnya 98,7 km². Ditambah pula dengan beberapa pulau yang luasnya
62
bervariasi mulai dari 0,15 km² sampai 34,15 km². Luas daratan ini cukup
memadai dijadikan tempat hunian bagi penduduk yang terdiri dari 25.253
KK atau 95.789 jiwa dengan okupansi rata-rata kepadatan penduduk setiap
kilometer persegi ada 95,78 jiwa. Wilayah daratan yang ada, tidak hanya
menjadi tempat pemukiman dan lahan perkebunan milik penduduk. Lebih
dari 9000 ha ditetapkan sebagai areal Hutan Lindung. Semua kawasan
hutan tersebut memiliki arti penting karena menjadi lokasi tangkapan
hujan (catchment), penyedia air, dan perlindungan satwa liar.27
Awal pembentukan kabupaten ini membawahi 8 (delapan)
kecamatan, yaitu: Gemeh, Essang, Rainis, Beo, Melonguane, Mangaran,
Lirung, dan Kecamatan khusus Miangas yang berdekatan dengan negara
jiran Filipina. Kedekatan ini diukur dari jarak antara Miangas sebagai
pulau terluar di Kabupaten Talaud dan Kota Davao hanya 52 mil atau
sekitar 4 jam perjalanan dengan menggunakan speed boat sebagai
transportasi laut. Demikian pun jarak tempuh ke Melonguane cukup jauh,
yakni: 122 mil. Lebih lama waktu yang diperlukan untuk pelayaran antara
Miangas dan Manado (ibukota Provinsi Sulut) karena jaraknya mencapai
307 mil. Posisi Miangas yang memiliki batas wilayah dengan negara jiran
Filipina inilah yang memberi predikat bagi Kabupaten Talaud sebagai
“daerah perbatasan”,28
selain karakteristiknya sebagai kabupaten
kepulauan. Selain karakteristiknya sebagai kabupaten kepulauan dan
daerah perbatasan, masih ada karakteristik satunya lagi, yaitu: daerah
27
Laporan Bupati Kepulauan Talaud dalam Sidang Majelis Sinode XII di Hotel Ibis Jakarta, 7
Oktober 2011. 28
Karakteristik sebagai daerah perbatasan ini dipertegas dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005,
bab 26.
63
tertinggal dan terpencil. Ketertinggalan serta keterisolasiannya tidak hanya
terbukti sekedar dari letak geografis, tetapi karena keterbatasan prasarana
dan sarana di bidang ekonomi, sosial-budaya, pertahanan keamanan,
perhubungan,darat, udara, dan laut; serta telekomunikasi dan informasi.
Keterbatasan ini bukanlah hambatan bagi Kabupaten Talaud untuk
membangun, karena ketersediaan berbagai potensi sumber dayanya akan
menjadi unsur penyeimbang dari keterbatasan infrastrukturnya.
Kabupaten yang memiliki tiga karakteristik wilayah yang bervariasi
sumber daya alam dan lingkungannya, menjadikan Kepulauan Talaud
memiliki potensi yang berlimpah untuk berbagai sektor dan sumberdaya
lainnya. Laut adalah wilayah yang paling luas dibandingkan dengan daratan
dan bagian kecil alur daerah vulkanik. Kepulauan Talaud berada pada alur
vulkanis yang masuk pada jalur gunung api Circum Pasifik, karena itu fisik
tanah yang dimiliki oleh kabupaten ini lebih condong untuk tanaman
perkebunan. Data topografi lainnya yang diperoleh dari BPS menunjukkan
tiga variasi klasifikasi ketinggian di atas permukaan laut (dpl). Kurang lebih
52.142 ha berada pada klasifikasi 0-100 meter dpl, 70.670 ha berada pada
klasifikasi 101-500 meter dpl, dan 2.290 ha berada pada klasifikasi 501-
1000 meter dpl. Adapun temperatur yang terekam dalam publikasi BPS
menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata bervariasi antara 26,5o sampai 32o
pada waktu tertentu. Sedang curah hujannya rata-rata pada kisaran 2100-
3000 mm/thn. Faktor-faktor ini mempengaruhi penentuan iklim tropis yang
berlaku di Kepulauan Talaud. Periode September-Maret adalah tropis basah
64
atau musim hujan dan April-Agustus adalah tropis kering atau musim
panas.29
Sebagai daerah bahari, kabupaten ini cukup dominan memberi
dampak terhadap infrastruktur, khususnya transportasi laut. Beberapa dari
19 kecamatan yang ada masih sangat mengandalkan angkutan laut sebagai
sarana perhubungan antar pulau. Transportasi laut ini tidak sebatas
diperlukan di dalam wilayah kabupaten Talaud, melainkan sangat
dibutuhkan pula untuk perjalanan ke luar daerah, misalnya ke Kota Manado
bahkan ada yang sampai ke Filipina hanya dengan menggunakan perahu
motor sederhana. Pentingnya alat transportasi laut sebagai sarana
penghubung yang digunakan oleh masyarakat, harus pula berimbang
dengan penyediaan BBM yang cukup memadai dengan mempertimbangkan
disparitas kabupaten kepulauan. Kelangkaan BBM sampai kini merupakan
salah satu persoalan serius yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah
di Talaud.30
2. Potensi di Kabupaten Talaud
Kabupaten Talaud bukanlah daerah kaya seperti halnya kabupaten
yang lain, tetapi tidak juga merupakan daerah “miskin”. Perekonomian di
Talaud terutama ditunjang oleh sektor pertanian, khususnya perkebunan.
Perkebunan memang mendominasi kegiatan ekonomi pertanian di
Kepulauan Talaud. Perkebunan masih tetap menjadi sentra kegiatan
ekonomi Kabupaten Kepulauan Talaud. Pala, kopi, kakao, vanili, lada, dan
cengkeh merupakan produk yang bisa diandalkan. Adapun yang menjadi
29
Data diperoleh dari Kantor Statistik Kabupaten Talaud. Data per bulan April 2011. 30
Persoalan rumit yang dihadapi masyarakat sampai sekarang bukan sekedar keterbatasan stok BBM
melainkan mahalnya standar harga yang dipatok sampai mencapai Rp 50000/liter.
65
unggulan diantara komoditas tanaman perkebunan di Talaud adalah
tanaman pala.
Sejak zaman kolonial Belanda, tanaman yang daging buahnya
sering dijadikan manisan ini sudah menjadi komoditas utama perdagangan.
Karena itu, sampai sekarang penyebaran tanaman pala ini merata di
beberapa wilayah kecamatan, termasuk yang berada di Kecamatan Lirung.
Proses pemeliharaannya yang mudah dan harga jualnya yang cukup tinggi
merupakan faktor pendorong bagi masyarakat Talaud menanam pohon pala.
Apalagi tanaman ini bersifat multi fungsi. Sebut saja kegunaannya sebagai
bumbu masak sampai pada bahan pembuat kosmetik, juga bisa mengobati
berbagai penyakit, misalnya diare. Tidak hanya biji pala yang diperjual
belikan. Bunga pala yang disebut fuli juga bernilai ekonomis sangat tinggi
dibandingkan dengan daging dan bijinya. Fuli biasanya digunakan untuk
bumbu masak dan bahan pembuat minyak gosok. Keenam komoditas
tanaman perkebunan ini masih ditambah pula dengan pisang abaka ( lebih
tepat serat abaka).
Pisang abaka kini menjadi ‘primadona’ di sektor perkebunan,
dimana sebelumnya tidak ada yang mempedulikan keberadaan pisang
abaka.31
Termasuk pemerintah dalam hal ini belum berminat pada ‘sang
primadona’ yang kini tengah diincar dan diburu oleh para investor asing,
karena seratnya dapat digunakan sebagai bahan baku pakaian dan uang
kertas dolar. Tumbuhan yang termasuk dalam kelas pisang-pisangan ini
terdiri dari 2 jenis yaitu abaka putih dan merah (kualitasnya lebih unggul).
31
Masyarakat petani belum mengetahui manfaat dan cara pengolahan serat abaka untuk dijadikan
bahan baku pembuat uang kertas dolar. Persoalan ini sangat erat hubungannya dengan kelambanan
pemerintah untuk mensosialisasi penguasaan dan pemanfaatan teknologi dalam bidang pertanian.
66
Serat pisang abaka awalnya hanya diolah sebagai bahan kerajinan seperti
tas dan topi. Proses pengolahannya dilakukan dengan sangat sederhana,
yakni dimulai dengan memotong batang untuk mengambil pelepahnya.
Selanjutnya, pelepah itu dilembutkan dan dibentuk menjadi seperti benang
(baca: serat abaka). Sejak dari awal hingga selesainya, proses
pengerjaannya hanya dilakukan secara manual dengan bantuan alat
tradisional.
Tidak hanya bidang perkebunan saja, sebab masih ada potensi
tanaman pangan lainnya yang memberi pemasukan bagi sektor pertanian.
Hanya saja, semua potensi tersebut belum tergarap dengan baik. Dukungan
sarana dan prasarana pertanian, seperti irigasi masih belum dikelola dengan
baik. Padahal, jika potensi tanaman pangan digarap dengan baik, kebutuhan
pangan di Talaud kemungkinan bisa terpenuhi. Kelapa merupakan
komoditas tanaman perkebunan terbesar yang dihasilkan, akan tetapi daerah
ini masih mengimpor minyak goreng dari Manado dan Bitung, serta kota-
kota besar lainnya. Hal ini dikarenakan belum ada industri pengolahan
kelapa menjadi minyak goreng. Belum adanya infrastruktur sebagai
penunjang produksi komoditas ini, sesungguhnya bukan penyebab utama.
Yang menjadi sebabnya adalah rendahnya kualitas dan kuantitas produksi
kelapa, akibat serangan hama sexava. Cengkeh dan pala juga belum dapat
diproduksi lebih dari sekedar menjadi konsumsi para konsumen lokal untuk
dijual lagi ke luar daerah.
Selain memiliki komoditas unggulan dari perkebunan, wilayah
maritim ini memiliki potensi laut dengan komoditinya berupa ikan tuna,
kerapu, layang, cakalang, dan hasil budi daya laut seperti rumput laut,
67
teripang, udang, kerang, mutiara, dan berbagai jenis moluska serta kekayaan
hayati yang berada di laut. Sektor perikanan menjadi andalan penduduk
yang tinggal di pesisir pantai. Produk yang dihasilkan oleh sektor perikanan
ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk lokal, akan tetapi
berpeluang untuk diekspor ke luar negeri. Namun sangat disayangkan
karena potensi perikanan laut belum digarap secara maksimal, sehingga
masyarakat di Talaud yang berprofesi sebagai nelayan masih berada dalam
taraf hidup yang memprihatinkan.
Pembangunan masih kurang memerhatikan pengembangan potensi
kekayaan laut, sehingga banyak nelayan harus berjuang keras bersaing
dengan para pencuri ikan dari negara lain yang banyak berkeliaran di lautan
Indonesia (termasuk di Talaud) dengan menggunakan kapal-kapal
penangkap ikan modern yang dilengkapi pula oleh pukat harimau (trawl).
Patroli petugas keamanan mengalami kesulitan menjaga semua kawasan
laut karena sarana dan prasarana yang kurang memadai. Padahal, bisa
dikatakan bahwa sejak dahulu kehidupan penduduk bertumpu pada
perikanan laut. Sejak berabad-abad yang lampau, wilayah pemukiman lebih
banyak berkembang di pesisir pantai, oleh karena jalur pelayaran laut
menjadi satu-satunya penghubung utama antar daerah. Laut juga sangat
kaya dengan beragam jenis ikan dan satwa lainnya yang menjadi sumber
makanan dan tambahan penghasilan bagi penduduk. Penyebab belum
tergarapnya potensi kelautan secara maksimal, dapat menjadi peluang bagi
pemerintah untuk memperbaiki nasib para nelayan dengan memberi
dukungan doa dan dana.
Di bidang peternakan, tidak dapat disangkali kalau kendalanya
68
berupa keterbatasan jenis dan jumlah hewan ternak yang sampai saat ini
baru sebatas ayam kampung, ayam ras, babi, sapi, dan itik. Dibandingkan
dengan usaha lainnya, perkembangan usahanya masih relatif lambat. Di
bidang industri, daerah ini mengembangkan kerajinan mebel yang berbahan
dasar bambu, kayu hitam, dan rotan. Di samping itu pula masih ada industri
rumahan yang memproduksi sulaman kerawang, dan berbagai macam aneka
kue kering, emping melinjo, dan ikan asin berkadar garam rendah, dll.
Sedangkan di bidang kehutanan, daerah ini merupakan penghasil jenis
kayu-kayuan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kayu hitam (eboni) dan
kayu besi. Selain itu masih ada juga hasil hutan lainnya, seperti bambu cina
dan rotan.
Produksi yang dihasilkan oleh masing-masing bidang ini membawa
dampak terhadap perdagangan. Perdagangan menjadi tumpuan mata
pencaharian penduduk, setelah pertanian, Di kecamatan tertentu, sektor
perdagangan ini justru menjadi sumber perekonomian dan mata pencaharian
pokok dari masyarakat. Kecamatan Lirung, diantaranya yang memiliki porsi
terbesar pada bidang perdagangan ini. Minat besar yang dimiliki oleh
masyarakat di bidang perdagangan ini memberi pengaruh positif bagi
perkembangan dunia usaha dan sangat signifikan bagi pembangunan
kesejahteraan sosial. Tetapi, minat besar yang dimiliki oleh masyarakat
tidak diimbangi dengan kepedulian dari pemerintah dalam mendukung
perkembangan usaha mereka. Sikap tidak peduli dari pemerintah ini menuai
rasa kecewa dari masyarakat yang merasa bahwa seakan-akan pemerintah
hanya membiarkan mereka untuk terus hidup dalam kondisi seperti itu.
Karena, dalam upaya pengembangan usaha masyarakat pedagang ini begitu
69
sering mengalami perlakuan yang sangat tidak simpatik dari pemerintah,
misalnya dalm mengurus perijinan SIUP, SITU, IMB, dan lain-lain,
terkesan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah ‘setengah hati’.
Rasa kecewa yang dialami oleh masyarakat ini tak lagi bisa mereka tutupi,
sebagaimana yang dapat ditangkap dari penuturan seorang informan yang
berkata bahwa, “ pemerintah tidak mesti demikian adanya, karena ‘torang’
(kami) bukan da minta pemerintah untuk ‘mo kase doi’ (memberikan uang)
atau bantuan lainnya, ‘torang’ (kami) cuma minta tolong supaya dapat ijin
untuk usaha.” 32
Kabupaten Talaud juga memiliki potensi barang-barang tambang,
diantaranya yang sudah mendatangkan pendapatan bagi daerah ini adalah
barang galian tipe C. Walaupun, hal ini untuk beberapa waktu sempat
menimbulkan ketegangan bahkan sampai pada tindakan anarkis yang
dipelopori oleh para mahasiswa dan masyarakat yang menolak para investor
untuk melakukan penambangan di Talaud, karena mengancam kelestarian
lingkungan dan bisa menimbulkan bencana akibat tanah longsor. Secara
umum perekonomian Kabupaten Kepulauan Talaud tumbuh positif. Sektor
yang paling tinggi pertumbuhannya ialah sektor bangunan sebesar 14,56
persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 9,38
persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 8,43 persen.
Sedangkan sektor yang paling rendah pertumbuhannya adalah sektor
pertanian sebesar 4,05 persen. Bila dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi Provinsi Sulawesi Utara sebesar 6,47 persen, terlihat bahwa
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Talaud sebesar 6,21 persen
32
Observasi dan wawancara di bulan April-Mei 2011 dengan beberapa orang ‘uti-uti’ (sebutan lokal
untuk para PKL) yang menjadi sasaran dari aparat tak bertanggung jawab untuk melakukan pungli.
70
masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Kepulauan Talaud terus
bekerja keras untuk tidak semakin tertinggal dari daerah lain yang terus
melaju pesat.
Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kabupaten
Kepulauan Talaud menempati urutan pertama sebesar 48,86 persen dengan
pertumbuhan sebesar 4,05 persen. Subsektor yang memberikan kontribusi
terbesar dalam pembentukan PDRB, yaitu subsektor tanaman perkebunan
sebesar 34,06 persen dengan pertumbuhan 4,36 persen. Kemudian disusul
masing-masing subsektor perikanan sebesar 6,69 persen, subsektor tanaman
bahan makanan sebesar 6,54 persen dan subsektor peternakan dan hasil-
hasilnya sebesar 1,42 persen dengan pertumbuhan masing-masing sebesar
1,44 persen dan 1,04 persen. Sedangkan subsektor kehutanan mempunyai
pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan subsektor lain, dimana
pertumbuhannya sebesar 16,19 persen tetapi peranannya dalam
pembentukan PDRB Kabupaten Kepulauan Talaud relatif sangat kecil.
Sektor pertambangan dan penggalian menempati urutan kedua dalam sisi
pertumbuhan yaitu sebesar 9,38 persen pada namun kontribusi dalam
pembentukan PDRB Kabupaten Kepulauan Talaud masih relatif kecil yaitu
hanya sebesar 2,21 persen.
Kinerja Pembangunan Ekonomi Kabupaten Kepulauan Talaud tahun
2007 melalui Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan
(PDRB ADHK) dengan tahun dasar 2000 dan Domestik Regional Bruto
berlaku Atas Dasar Harga Konstan [DRB ADHB) Kabupaten Kepulauan
Talaud, meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 nilai PDRB atas
71
Harga Konstan sebesar Rp. 407.541,2 juta, kemudian meningkat menjadi
554.300,0 juta pada tahun 2007. PDRB atas harga berlaku meningkat lebih
cepat dibanding atas harga konstan. Keadaan ini mengindikasikan
peningkatan harga barang dan jasa produsen lebih cepat dibanding produksi
barang dan jasa tersebut.
3. Akses dan Sumber Daya
Masalah pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi agaknya
memang masih harus terus dipacu di wilayah ini. Sejauh ini untuk masuk-
keluar wilayah hanya dilakukan kapal-kapal perintis PT Pelabuhan Nasional
Indonesia (PT Pelni) dengan rute Talaud-Sangihe-Bitung, sampai di
pelabuhan Benoa. Jadwal operasionalnya belum teratur dan dalam waktu
yang cukup lama. Di Melonguane misalnya, kapal hanya merapat dua-tiga
hari sekali, sementara di Miangas hanya seminggu sekali. Saat musim
ombak kapal bisa tak merapat berminggu-minggu. Akibatnya, aktivitas
perdagangan dengan kapal laut baru memadai untuk memasarkan hasil
perkebunan utama seperti kopra, pala, cengkeh, dan vanili yang lebih tahan
lama. Disamping kapal Pelni, ada pula kapal-kapal motor yang merupakan
milik dari para pengusaha lokal dan luar daerah selaku pihak swasta, yang
membantu menyediakan sarana perhubungan berupa alat angkut dan
transportasi laut demi memperlancar penduduk di Talaud dalam melakukan
mobilisasinya. Keberadaan kapal-kapal ini tentunya harus ditunjang pula
oleh pelabuhan dan dermaga untuk menjadi tempat berlabuh. Kabupaten ini
baru memiliki tiga pelabuhan utama, yaitu: Lirung, Melonguane, dan
Miangas. Pelabuhan utama ini masih ditambah juga dengan pelabuhan fery
di Lirung dan Melonguane yang menjadi penghubung antar kabupaten dan
72
provinsi. Kondisi fisik wilayah kabupaten Talaud yang didominasi oleh laut
ini juga, menjadi salah satu faktor kendala interaksi antara masyarakat dan
sesama warga lainnya. Termasuk pula ketika para warga ini melakukan
aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, infrastruktur berupa jalan darat yang
memadai akan lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi
sehingga memperlancar arus barang maupun jasa. Selain jalan darat,
jembatan pun menjadi akses untuk meminimalisir keterisolasian pulau-
pulau yang terletak di wilayah perairan laut dan sungai.33
Di bidang sarana perhubungan udara, keberadaan bandara di
Melonguane tampaknya baru sebatas perintis. Pesawat yang digunakan
berkapasitas hanya 20-30 sheet, sehingga terhitung tiga kali penerbangan
dengan dua pesawat dalam seminggu, daya muat penumpang tidak lebih
dari 200 orang. Terbatasnya kapasitas angkutan ini menyebabkan selalu ada
pembatalan keberangkatan bagi sejumlah penumpang yang hendak
bepergian. Meskipun baru perintis, namun sarana perhubungan udara ini
telah dilengkapi oleh pembangkit tenaga listrik, air bersih dan jaringan
telekomunikasi.
Dalam upaya memberdayakan daerah dengan menawarkan wisata
keindahan laut serta acara adat seperti Mane’e atau maname34
(tradisi
menangkap ikan) tampaknya juga akan berkejaran dengan kemampuan
persediaan listrik, air bersih, dan penginapan. Sama halnya dengan
keberadaan pulau-pulau kecil yang memiliki kawasan pantai yang indah dan
33
Di Kabupaten Talaud terdapat beberapa jembatan sebagai sarana penyeberangan bagi masyarakat
yang tinggal di wilayah perairan sungai, seperti Kecamatan Beo yang mempunyai sungai bernama Lu’a. 34
Mane'e adalah tradisi menangkap ikan paling unik, tidak perlu bersusah payah menggunakan jaring
untuk menangkap ikan. Bentangan janur sepanjang 4 km mampu menjaring ikan dan menggiringnya
hingga ke tepi pantai. Sulit menjelaskannya secara ilmiah, karena dengan janur kelapa saja ikan dengan
mudahnya dapat diambil, walaupun hanya dengan tangan tanpa alat bantu apapun.
73
lautnya yang eksotis. Tapi tidak ada yang menghuninya. Alasan masyarakat
tidak menempati pulau tersebut, karena luasnya tidak mencukupi untuk
menjadi tempat hunian, sulit untuk mendapatkan air bersih, karena ada
pulau yang letaknya berada di tengah laut.35
Selama ini pulau-pulau itu
hanya dijadikan tempat persinggahan para nelayan bila sedang mencari
ikan. Untuk mengembangkan pulau ini agar banyak dikenal oleh wisatawan
nusantara maupun mancanegara, perlu perhatian khusus dari Pemerintah
Daerah setempat. Terutama untuk membangun fasilitas penunjang, seperti
tempat peristirahan, dermaga dan fasilitas umum lainnya. Salah seorang
penjual makanan dan minuman yang pernah membuka usaha di sana,
menegaskan kalau sejauh ini para pengunjung hanya datang ketika hari-hari
libur. Menurutnya setiap pengunjung yang datang dikenakan biaya sebesar
Rp.2000.36
Selain itu, perlu disediakan sarana transportasi yang rutin, sebab
sarana transportasi menuju ke Pulau Sara’a (baca: Sara) masih sangat
terbatas, sehingga wisatawan yang ingin berkunjung ke pulau ini harus
menyewa perahu motor dengan harga 250 ribu rupiah.
Akses untuk menuju ke obyek wisata itu hanya dicapai dengan
menggunakan perahu motor milik nelayan ataupun speed boat. Untuk
menuju Pulau Sara’a, dari Melonguane bisa ditempuh sekitar 15 menit
dengan menyusuri laut berkedalaman 500 meter yang menjadi jalur lintas
pelayaran kapal ke Kabupaten Talaud. Sedangkan dari Lirung, perjalanan
melalui laut di tempuh lebih kurang lima menit, dengan menggunakan
perahu motor (speed boat). Pulau Sara’a yang mempunyai luas sekitar 2
35
Pulau-pulau ini dianggap sebagai karang yang menjulang, dasarnya terdiri seluruhnya dari batu-
batu karang tua dan bongkah-bongkah batu karang besar tertutup dengan suatu lapisan humus yang dilapisi
tanah liat.
36
Bpk. Mae, Wawancara pada tanggal 5 Mei 2011, pukul 07.00-08.30 WITA.
74
koma 03 kilometer persegi ini terdiri dari hamparan pasir putih yang sangat
halus dan lembut, apalagi dari pernyataan khusus yang disampaikan oleh
seorang pelancong sekaligus seorang peneliti, diketahui bahwa pasir putih
yang ada di Pulau Sara’a ini memiliki spesifikasi yang unik dan khas
dibanding dengan pasir putih yang berada di daerah wisata pantai lainnya.
Pulau Sara’a ini memiliki panorama alam dan pesona pantai nan menawan
dengan hamparan pasir putihnya yang berkilauan di kala sang surya
menyinarinya, bak permadani putih berkilap ditaburi butiran-butiran emas.
Pesona laut yang eksotis merupakan surga bagi mereka yang menyukai
panorama taman laut. Air lautnya yang jernih membuat terumbu karang dan
ikan dapat terlihat jelas dari permukaan laut. Keindahan taman lautnya akan
semakin jelas bagi mereka yang gemar menyelam atau snorkling. Pesona
Pulau Sara'a tidak hanya pada keindahan panorama laut dan pantainya.
Kawasan hutan di pulau ini juga masih terpelihara dengan baik, makanya
masih hidup berbagai jenis satwa dan burung yang langka, diantaranya
burung Nuri khas dari Talaud.
Persoalannya adalah dana untuk membangun sarana infrastruktur
sangat mahal. Sulitnya akses masuk ke lokasi menyebabkan tingginya harga
bahan bangunan. Gambaran sulitnya pengadaan sarana dan infrastruktur
penunjang pariwisata Talaud ditambah lagi dengan kesulitan aksesibilitas di
sektor yang lain. Penguasaan masyarakat akan sumber informasi dan
teknologi masih agak lamban. Daya adopsi dan inovasi mereka terhadap
teknologi dan informasi baru masih sangat rendah. Akibatnya berdampak
pada cara petani untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dianggap masih
sulit atau belum memadai, misalnya saja banyak masyarakat petani sulit
75
mengatasi persoalan hama dan penyakit. Hal ini terjadi karena rendahnya
tingkat pengambilan resiko masyarakat terhadap peluang atau hal-hal baru.
Mungkin, mereka baru mau melakukan jika mereka benar-benar sudah
melihat hasilnya secara nyata. Kondisi ini tidak mengherankan karena
tingkat permodalan yang rendah sehingga kesejahteraan mereka rendah dan
hal ini berkorelasi secara positif terhadap keberanian mereka dalam
mengambil resiko usaha. Mereka telah menjadi orang yang fatalistik karena
mengalami kegagalan dan kemunduran usaha. Dampak selanjutnya adalah
jenis usaha yang mereka lakukan tidak banyak mengalami perubahan
walaupun informasi dan teknologi cukup memadai untuk mengimbangi
perkembangannya. Kalaupun ada kemauan untuk mengadopsi sebuah
teknologi atau informasi, mereka akan terbentur pada persoalan klasik yaitu
permodalan.
Aksesibilitas masyarakat terhadap permodalan masih kurang. Di
Talaud tidak banyak sumber keuangan yang bisa dimanfaatkan secara lunak
untuk dijadikan modal. Sumber keuangan yang ada selama ini bisa mereka
manfaatkan dengan mudah adalah simpan pinjam di arisan RT. Tetapi,
jumlahnya sangat terbatas dan jangka waktu pengembaliannya cepat. Tentu
ini tidak bisa digunakan untuk kegiatan-kegitan produktif berskala agak
besar. Di ibukota kabupaten dan dua kecamatan lainnya, yakni Lirung dan
Beo sebenarnya sudah ada bank, namun proses untuk mendapatkan
pinjaman modal usaha tak jarang selalu berhadapan dengan prosedur yang
rumit. Masyarakat merasa sudah tidak dipercaya lagi, sehingga yang sering
terjadi adalah mereka lebih mudah untuk meminjam kepada para rentenir
atau tauke walaupun dengan bunga yang bisa mencapai duapuluh lima
76
persen. Keluhan masyarakat ini memang ditanggapi benar oleh salah
seorang kepala bank pemerintahan yang berdomisili di Lirung. Menurutnya,
berkurangnya kepercayaan pihak bank terhadap masyarakat dikarenakan
kelompok peminjam ini dianggap sebagai debitor bermasalah. 37
Kabupaten Talaud meskipun bercorak agraris dan sebagian besar
lapangan usahanya didominasi pertanian, akan tetapi generasi muda Talaud
cenderung beralih ke sektor publik menjadi pegawai negeri, polisi, atau
tentara.38
Kehadiran lembaga pendidikan tinggi seperti Yayasan Perguruan
Tinggi Rajawali dan Universitas Terbuka belum menarik minat kaum muda
yang ada di Talaud. Sebab, masih lebih banyak anak muda Talaud
melanjutkan kuliah ke Manado atau kota lain. Setelah mencapai gelar
sarjana, hanya sebagian kecil yang mau kembali bekerja di Talaud. Tahun
2006 tercatat ada 533 sarjana Talaud yang mencari kerja, namun tak sampai
seperempat dari jumlah tersebut yang memperoleh pekerjaan.
Kondisi ini terjadi dikarenakan prosedur yang digunakan dalam
perekrutan tenaga kerja, baik di instansi pemerintah maupun swasta masih
sangat sarat dengan muatan KKN. Dengan mekanisme seperti ini, sangatlah
mudah bagi para lulusan sarjana ini untuk merasa apatis. Sebab, dari
pengalaman yang terjadi diketahui bahwa tak jarang pula sistem UUD39
begitu ketat diberlakukan kepada para calon tenaga kerja yang mencari
peruntungan untuk menjadi karyawan swasta ataupun PNS. Bahkan lebih
parah lagi, karena justru praktek KKN terjadi di instansi pemerintah. Yang
sejatinya pemerintah di sini adalah menjadi pelayan bagi masyarakat,
37
Kepala BRI Unit Kec. Lirung, Wawancara pada tanggal 10 Mei 2011, pukul 8.30-08.45 WITA. 38
Trend ini seakan-akan mewabah anak muda Talaud disebabkan syarat-syarat untuk diterimanya
menjadi pekerja di ruang publik, tidak lagi terlalu mengandalkan bekal akademis dan skill. 39
UUD plesetan akronim dari kata Ujung-Ujungnya Duit.
77
termasuk para calon tenaga kerja ini. Sebaliknya pemerintah berlaku
sebagai seorang penguasa yang minta dilayani. Pemerintah tidak
memperlihatkan pribadi sebagai seorang abdi masyarakat melainkan pribadi
seorang penguasa yang mengabdikan diri hanya kepada kepentingan pribadi
dan keluarga.
Realita dari kepulauan Talaud sebenarnya memiliki potensi yang
cukup memadai sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup dan
pembangunan sosial masyarakat di Talaud. Tersedianya sumber daya
(SDA+SDM) menjadi aset berharga demi terciptanya harmoni bagi
kehidupan masyarakat Nusa Utara. Namun bukan hanya di bidang ekonomi
yang rentan akibat ketidakstabilan politik, juga tingkat pengangguran yang
masih tinggi, dan berbagai masalah sosial terjadi sebagai akibat dari mulai
keroposnya fondasi moral dari masyarakat termasuk unsur pemerintah.
Untuk memperoleh gambaran lebih lengkap maka perlu deskripsi wilayah
kecamatan Lirung yang adalah bagian dari kabupaten kepulauan Talaud :
a. Gambaran Umum Kecamatan Lirung
Alkisah pemberian nama kampung yang terletak di lereng
gunung Ayambana tersebut diambil dari nama seorang kapten
berkebangsaan Spanyol yang bernama Lirung.40
Menurut cerita para
orang tua yang hingga kini menjadi saksi hidup mengatakan sebelum
dinamakan Lirung, kampung itu bernama Hilamunan. Dalam
perkembangan selanjutnya,41
terjadi perubahan pada status kampung
karena produk hukum sebagai dasar penetapan sistem pemerintahan
40
Tradisi lisan ini menjadi cerita yang ‘melegenda’ bahwa Kapten Spanyol yang bernama Lirung ini
merupakan cikal-bakal dari salah satu marga/klan yang terdapat di Kecamatan Lirung.
41
Hal ini dimaksudkan pada penjelasan tentang sejarah pembentukan pemerintahan di Talaud.
78
mengalami juga beberapa kali perubahan dan penggantian undang-
undang tentang pemerintahan daerah. Singkat kata, pada akhirnya
status kampung yang merupakan cikal-bakal kecamatan pertama di
Talaud ini pun mendapat bentuknya seperti sekarang ini sebagai
Kecamatan Lirung.
Kecamatan Lirung secara geografis terletak di Pulau Salibabu,
dan memiliki pembagian batas wilayah administrative yakni: sebelah
utara berbatasan dengan Kecamatan Moronge, di sebelah selatan
berbatasan dengan Kecamatan Salibabu, sebelah timur berbatasan
dengan Ibukota Kabupaten Melonguane, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Kalongan. Wilayah yang memiliki luas
98.07 km² ini berada pada koordinat antara 4o 47’ sampai 4
o 47’
Lintang Utara dan 126o
55’’ sampai 127o
47’ Bujur Timur, dengan
ketinggian tanah rata-rata 25 meter dpl (di atas permukaan laut).
Banyaknya curah hujan di daerah ini berkisar antara 2000-3000 mm/th,
dengan suhu udara rata-rata 23 derajat Celcius, akan tetapi terkadang
bisa mencapai 32 derajat Celcius pada waktu-waktu tertentu.42
Untuk
iklimnya sama dengan kondisi umum perikliman di Talaud, yakni
beriklim tropis dan dipengaruhi oleh musim yang terjadi antara bulan
April-Agustus sebagai musim panas, serta bulan Maret-September
sebagai musim hujan. Tapi, siklus ini bisa saja mengalami perubahan
dikarenakan oleh berbagai hal, misalnya pemanasan global.43
42 BPS Talaud, Kecamatan Lirung dalam Angka 2010 (Manado: BPS Talaud, 2010), 14.
43 Fenomena ini dialami oleh penulis sewaktu melakukan penelitian, dimana pada saat itu sedang
berlangsung musim panas, namun seringkali turun hujan.
79
Secara administratif, kecamatan Lirung terdiri dari: 7 desa / 3
kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Lirung; (2) Desa Sereh; (3) Desa Musi;
(4) Kelurahan Lirung I; (5) Desa Talolang; (6) Kelurahan Lirung
Matane; dan (7) Desa Sereh I. Dari 7 desa / 3 kelurahan ini
menampung 21 lingkungan yang menjadi tempat bermukimnya 1659
RT atau 6.025 jiwa penduduk yang terdiri dari perempuan sejumlah
2905 jiwa dan lai-laki berjumlah 3120 jiwa.44
Kecamatan Lirung
dibandingkan dengan desa/kelurahan lainnya di Kabupaten Talaud,
tidak ada bedanya bila diklasifikasikan menurut tingkatan hidup
penduduknya yang terbagi dalam kelas bawah, menengah, dan atas.
Hasil pengamatan yang ada menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat
yang berdomisili di Kecamatan Lirung, kehidupannya berada rata-rata
di kelas menengah ke atas. Sedangkan untuk kelas menengah ke
bawah, jumlahnya tidak lebih dari jumlah penduduk kelas menengah ke
atas. Klasifikasi ini bukan dimaksudkan untuk membedakan atau
mengkotak-kotakkan sesama warga masyarakat yang berdomisili di
Kecamatan Lirung, tetapi sekedar upaya untuk memperoleh gambaran
tentang kondisi hidup masyarakat sebagaimana yang dijelaskan berikut
ini:
a. Kelompok pertama: yaitu penduduk yang tingkat kehidupannya
masih berada ‘di bawah standar’ karena belum mampu dan mau
mengusahakan untuk supaya memiliki penghidupan yang layak.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan kesehatan yang
minim, serta mata pencaharian yang dimiliki tidak tetap. Ada yang
44 Sumber: Registrasi Penduduk tahun 2011.
80
hanya mempunyai pekerjaan sambilan saja bukan pekerjaan yang
tetap. Masyarakat agak sulit untuk mengakses layanan-layanan
umum, karena ketidakadilan struktur; baik politik, sosial maupun
ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang untuk menjangkau sumber-sumber penghidupan. Struktur
sosial telah mengurung mereka dalam kemiskinan secara turun-
temurun selama bertahun-tahun. Golongan ini adalah kaum buruh,
tukang, anggota masyarakat yang tidak terpelajar dan tidak terlatih,
(unskilled labour). Golongan ini adalah juga para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah -- yang sekarang
dinamakan dalam golongan ekonomi lemah. Termasuk pula
pegawai negeri golongan bawah dan menengah.
b. Kelompok kedua: penduduk yang berada di kelompok ini
mempunyai kehidupan yang lebih baik dibandingkan kelompok
sebelumnya, karena telah memiliki akses terhadap lapangan kerja
dan mata pencaharian yang berkesinambungan. Secara sosial,
kelompok ini memiliki keterlibatan dalam kegiatan sosial.
Kelompok ini secara ekonomi sudah mampu memenuhi kebutuhan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan sendiri dan kelompok.
Namun kelompok ini mengalami penurunan, sebab adanya
penguasaan aset serta akses terhadap sumber-sumber yang telah
sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu, demikian
kelompok ini memiliki peluang menjadi masyarakat di lapisan atas.
Kondisi ini bisa saja terjadi karena meningkatnya taraf kehidupan,
ataupun karena hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini
81
yang sering muncul sebagai alasan terjadinya peningkatan
mobilitas di kelompok ini. Dalam pengamatan yang dilakukan,
dijumpai bahwa hubungan kekerabatan memiliki pengaruh yang
kuat terhadap perubahan status seseorang dari kelompok ini.
Masyarakat yang termasuk dalam golongan ini, diantaranya adalah
pedagang dan pekerja di bidang layanan jasa, seperti penjahit
pakaian. Kebanyakkan dalam kelompok ini adalah para pedagang
yang memiliki omset penjualan rata-rata menengah ke atas, juga
kelompok ini banyak beranggotakan PNS golongan menengah ke
atas maupun kelas menengah ke bawah. Karena, kelompok kedua
ini merupakan kelompok ‘transisi’ untuk berganti posisi, baik dari
bawah ke atas atau sebaliknya dari atas ke bawah.
c. Kelompok ketiga: masyarakat kelompok ini merupakan
‘representasi’ dari beberapa kelompok elit.45
Dalam kenyataan
yang ditemui, umumnya masyarakat kelompok ini sudah memiliki
kekayaan dan kekuasaan yang berlebihan. Masih ditambah lagi
dengan kemudahan memperoleh akses di berbagai bidang sehingga
peluang mereka untuk menguasai aset dan produksi yang lebih
banyak semakin terbuka lebar, sehingga kesempatan untuk
mengakumulasi basis kekuasaan sosial menjadi lebih besar.
Dalam tinjauan para penganut pendekatan fungsional,
stratifikasi sosial merupakan suatu ‘keperluan’. Keperluan tersebut
45
Kaum elit lokal ini merepresentasikan keberadaan pribadi atau kelompok yang masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan pejabat yang berkuasa. Selain itu juga kemunculan para elit ini merupakan
imbas dari ‘simbiose mutualisma’ yang terjadi sewaktu para oknum elit ini memberi bantuan finansial
dalam proses pemekaran daerah, pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) atau bisa juga ketika
diadakan pileg (pemilihan legislatif).
82
muncul dari kebutuhan masyarakat untuk menempatkan orang-orang ke
dalam posisi-posisi yang membentuk struktur sosial, dan kemudian
mendorong mereka agar menjalankan tugas-tugas yang berhubungan
dengan posisi tersebut. Dengan demikian penempatan masyarakat ke
dalam lapisan-lapisan merupakan gejala universal serta merupakan
bagian dari sistem sosial setiap masyarakat. Sebagai catatan untuk
diperhatikan tentang penempatan masyarakat ke dalam kelompok-
kelompok seperti itu, tidaklah semata-mata didasarkan pada aspek
ekonomi, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi masih
mendominasi standarisasi terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat.
Tetapi, aspek ekonomi bukanlah parameter tunggal dalam ‘mengukur’
derajat kesejahteraan hidup masyarakat. Karena itu, harus dipahami
yang mana penempatan masyarakat ke dalam beberapa kelompok
tersebut, dilatar belakangi juga oleh aspek-aspek seperti, pendidikan,
kesehatan, sosial-budaya, dan politik, serta aspek internal lainnya.
Perhatian ini seharusnya dimiliki oleh pemerintah agar dalam
melaksanakan tugas untuk melayani masyarakat yang mengalami
berbagai kekurangan tidak selalu mengukur kesejahteraan masyarakat
tersebut dari terpenuhinya kebutuhan fisik atau kebutuhan yang
berwujud pemberian bantuan melalui berbagai macam program dan
pemberian uang tunai sebagai solusi untuk menolong masyarakat
tersebut. Pemerintah sebagai pihak yang terdekat dan selalu melakukan
pekerjaan yang berhubungan erat dengan keberadaan masyarakat
semestinya lebih baik memahami akan hal ini. Apalagi bila dikaitkan
dengan eksistensi masyarakat pasca otonomi daerah maka tampak jelas
83
bahwa realitas kemiskinan yang muncul melebihi dari fenomena
kemiskinan alamiah.46
Masalah kesejahteraan sosial yang terjadi adalah bentuk
ketidakberdayaan struktural, karena sebenarnya secara alamiah Lirung
mempunyai cukup potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak
mengalami masalah kesejahteraan sosial. Ketidakberdayaan struktural
adalah ketidakberdayaan akibat dari super struktur yang membuat
sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi
sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini menyebabkan
tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya
kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta dipinggirkannya
peran dan partisipasi masyarakat dalam setiap pelaksanaan
pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat
keswadayaan masyarakat.
Masyarakat kecamatan Lirung boleh dikata agak jauh dari kesan
sebagai masyarakat miskin yang hidupnya tertinggal serta terpencil
sebagaimana gambaran umum masyarakat di Talaud. Perbandingan
dengan kecamatan lain, masyarakat di kecamatan Lirung sudah lebih
maju di bidang pendidikan dan ekonomi. Sehingga hal ini berdampak
pada latar sosial kehidupan masyarakatnya lebih baik, misalnya dilihat
dari kondisi fisik bangunan rumahnya. Bangunan rumahnya banyak
yang berarsitektur modern, walaupun masih ada juga yang bertahan
dengan arsitektur klasik tradisional.47
Berdasarkan kondisi fisik
46
Kemiskinan alamiah adalah salah satu jenis dari kemiskinan yang dibahas dalam teori kemiskinan. 47
Dalam wawancara yang dilakukan dengan salah seorang warga berprofesi kontraktor bangunan,
dijelaskannya bahwa membangun rumah tradisional memang jauh lebih mahal biayanya ketimbang
84
bangunannya, kebanyakan rumah penduduk dikategorikan sebagai
rumah permanen,48
dan hanya sedikit jumlah rumah yang semi
permanen. Indikator berikutnya yang menambah ‘keistimewaan’ bagi
Kecamatan Lirung ialah kualitas sumber daya manusianya. Kualitas
sumber daya ini tampak pada besarnya komposisi penduduk yang telah
menamatkan pendidikan dasar. Bahkan rata-rata per tahun sebanyak
lima persen dari seluruh jumlah penduduknya, meraih gelar sarjana
dalam berbagai strata.49
Masyarakat Lirung bisa terkondisi seperti gambaran di atas,
karena sistem perekonomiannya tak bisa dipisahkan dengan konteks
masyarakat yang banyak menekuni bidang usaha jual-beli. Meskipun
tidak semua pedagang ini memiliki omset penjualan yang besar, tetapi
usaha ini sangat potensial untuk dikembangkan sehingga masyarakat
lebih banyak bergerak di bidang perdagangan dibandingkan menjadi
petani atau nelayan. Sebagai ujung tombak dari pelaku ekonomi di
kecamatan Lirung, maka keberadaan para pedagang ini sangat
signifikan dalam menaikkan rating kesejahteraan masyarakatnya.
membangun rumah permanen gaya Barat. Pada bangunan yang berarsitektur tradisional, lebih banyak
membutuhkan kayu, dan karena itu dananya dibutuhkan lebih besar, apalagi sekarang harga kayu sangat
mahal.
44 Rumah permanen adalah bangunan rumah yang terbuat dari tembok (batu, semen, pasir, dll,
sebagai komposisi campuran bahannya). Kategori ini digunakan untuk membedakan dengan bangunan
rumah yang menggunakan bahan baku kayu, papan, dan tripleks. Sedangkan istilah semi permanen
digunakan untuk menyebut bangunan rumah dengan kombinasi tembok dan kayu.
45 Sumber: Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Lirung.
85
Meskipun belum cukup kalau aspek ekonomi menjadi satu-satunya
faktor pendukung dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
namun harus diakui bahwa sistem perekonomian ini tetap dominan
dalam mempengaruhi hajat hidup manusia.
Pemerintah tidak cukup untuk mengetahui saja, apalagi bila itu
hanya dalam bentuk hitungan angka saja melainkan dapat pula
memahami secara jelas keadaan dari orang-orang miskin. Sebab,
realitas kemiskinan yang terjadi tidak hanya terletak pada pendapatan
rendah atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sehari-hari, makanan
misalnya; melainkan tidak adanya jaminan dari pemerintah terhadap
pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang dalam kaitan dengan PKS,
berimplikasi dengan pemenuhan hak atas pekerjaan. Pandangan
pemerintah baru sampai pada persoalan yang kelihatan, belum sampai
terbentur pada soal-soal yang masih berada di dasar lautan ‘gunung es’,
dimana itu boleh jadi merupakan akar dari segala perkara kemanusiaan
yang berpangkal pada kemiskinan, yakni pembatasan ruang bagi
masyarakat dalam pengembangan usaha yang berbasis pada
keswadayaan dari masyarakat itu sendiri. Seorang warga dalam
penuturannya mengatakan bahwa: ‘torang pe mau supaya pemerintah
kalo melayani so musti tau apa yang jadi torang pe keperluan, bukan
cuma yang penting so kase tapi nintau bagimana supaya torang ndak
cuma bagantong trus deng orang-orang basar.50
50
Pernyataan ini bisa dianalogikan seperti halnya memberi kail masih lebih baik dari memberi ikan.
86
Dilihat dari komposisi jumlah penduduk berdasarkan usia
produktif (15-64 tahun)51
separoh dari jumlah penduduk, termasuk di
dalamnya. Penduduk usia produktif adalah orang dengan kondisinya
masih aktif berproduksi dan dapat menghidupi dirinya sendiri dengan
memenuhi berbagai kebutuhan secara mandiri. Sedangkan penduduk
tidak produktif adalah orang dengan kondisinya tidak dapat lagi secara
aktif berproduksi dan untuk menghidupi dirinya sendiri pun harus
memerlukan bantuan orang lain. Dengan batasan ini, maka kondisi
umum yang ada di Lirung, warga masyarakat dalam usia 65 tahun ke
atas sudah tergolong kelompok penduduk usia tidak produktif. Tetapi,
masih ada warga yang berusia lebih dari 65 tahun tetap aktif melakukan
pekerjaan untuk menghidupi diri. Ada juga warga masyarakat yang
tergolong dalam usia produktif muda tetapi tidak mampu untuk
menghidupi dirinya sendiri. Hal tersebut menjadi penting untuk
dicermati, sebab dalam kategori ini memiliki kecenderungan untuk
menjadi pengangguran.
Pengangguran ini muncul pada kelompok usia produktif muda
dan memiliki latar belakang pendidikan cukup baik malahan ada yang
bergelar sarjana. Penyebabnya tidak berlebihan bila dikatakan sebagai
‘kebijakan’ pemerintah yang membatasi masyarakat umum untuk
mendapat kesempatan kerja seperti yang diberikan kepada anggota
keluarganya atau orang-orang sekerabatnya. Sikap dan tindakan
pemerintah yang pilih kasih ini dilegalkan demi menjaga agar
hubungan baik diantara sesama kerabat tidak sampai menimbulkan
51
Sumber: Registrasi Jemaat GERMITA Imanuel tahun 2009.
87
masalah yang pelik.52
Fenomena ini setidaknya merujuk pada
pencitraan figur pemerintah sebagai pemimpin yang bertindak layaknya
sebagai ‘bos’ yang kemauannya harus dituruti oleh masyarakat. Meski
terpaksa, tetapi diterima dengan lapang hati sebab sikap pemerintah
seperti ini sudah berlangsung lama, jadi istilahnya tinggal pasrah saja
untuk menerima kenyataan bahwa di Talaud, khususnya di Lirung yang
namanya hubungan kekerabatan itu masih selalu diperhitungkan.
Pimpinan kecamatan53
secara terus terang mengakui akan adanya
kebijakan yang diambil lebih condong hanya ditinjau dari alasan
pribadi sehingga menurutnya sangatlah sulit untuk menempatkan diri
sebagai pemerintah yang bijaksana apabila berada di tengah-tengah
lingkungan keluarga.
1. Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat
Kehidupan sosial budaya warga masyarakat didominasi oleh suku
Talaud yang terdiri dari beberapa marga (rumpun), dengan sistem
kekerabatan yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai budaya dan adat-
istiadat lokal, namun memiliki keterbukaan juga terhadap budaya dari luar.
Sejak dari awalnya, kehidupan komunitas ini bersifat fleksibel terhadap
pengaruh budaya luar dalam hubungan dengan orang-orang di luar komunitas
tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya perkembangan pendidikan, dan
kawin-mawin, juga pengaruh dari gereja. Dalam komunitas tersebut
semangat kekeluargaan dan kebersamaan masih sangat tinggi. Hal ini
nampak dalam pelaksanaan adat-istiadat khususnya dalam urusan adat
52
Rangkuman wawancara dengan kalangan eksekutif, legislatif, dan beberapa tokoh masyarakat di
Kecamatan Lirung, pada bulan April 2011. 53
James Riung, Wawancara pada tanggal 24 Mei 2011, pukul 09.34-09.45 WITA.
88
perkawinan dan kematian. Demikian juga semangat gotong-royong yang
nampak dalam mengerjakan lahan-lahan pertanian secara berkelompok dan
bergiliran. Kehidupan sosial masyarakat juga sangat berkaitan erat dengan
latar belakang kebudayaan dari setiap warga masyarakatnya, baik yang
penduduk asli maupun masyarakat pendatang. Setiap orang lahir dalam
lingkungan budaya maupun keadaan masyarakat yang berbeda-beda. Hal
tersebut juga memberi warna dalam hubungan sosial dan kebudayaan yang
dibangun dalam suatu masyarakat.
Masyarakat Kecamatan Lirung adalah masyarakat yang majemuk
dalam hal agama, suku, lapisan sosial, dan tingkatan pendidikan. Walaupun
kemajemukan yang ada masih dalam skala kecil, namun turut mempengaruhi
interaksi sosial yang terjadi di antara masyarakat. Sebagai masyarakat yang
mejemuk, berbagai perbedaan seperti cara hidup, pola pikir, kebiasaan,
prinsip hidup, kebudayaan merupakan hal-hal yang secara alamiah mewarnai
kehidupan masyarakat. Kemajemukan ini dapat terlihat didalam keberagaman
masyarakat yang tidak hanya terdiri dari penduduk asli, namun juga diwarnai
oleh kehadiran beberapa suku pendatang. Adapun suku-suku pendatang yang
hidup dan berkembang yaitu suku Minahasa, Jawa, Maluku, Bugis,
Gorontalo, dan Sangir. Kehadiran dari suku-suku pendatang sangat
dipengaruhi oleh faktor kawin-mawin dan tuntutan pekerjaan.
Pluralitas yang ada di Lirung tidak menjadi penghambat bagi
masyarakatnya untuk membina situasi saling menghormati dan menghargai.
Kebersamaan dan persatuan sangat terlihat jelas dalam keberadaan
masyarakat. Situasi ini terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
oleh pemerintah seperti kerja bakti massal ataupun kegiatan-kegiatan untuk
89
memperingati Hari Besar Nasional dan Hari Raya Keagamaan. Suasana
kekeluargaan di kecamatan ini terlihat dari kuatnya ikatan di antara hubungan
keluarga. Semangat kekeluargaannya teraktualisasi dalam rumpun keluarga,
rukun sosial duka, kelompok tani dan perkumpulan para anak muda yang
terorganisir dalam organisasi sosial lokal. Organisasi ini anggotanya tidak
dibatasi pada lintas agama dan suku saja, tetapi didasarkan pada kesamaan
pandangan hidup, cita-cita dan visi yang dapat dibagi bersama. Dalam
konteks masyarakat pasca otonomi daerah, keberadaan organisasi sosial lokal
tersebut terwujud dalam bentuk jejaring sosial yang seharusnya sudah
terorganisir dalam mengembangkan nilai dan norma yang menjadi acuan
dalam sistem sosial. Namun keberadaan organisasi sosial lokal yang berbasis
masyarakat ini belum dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjadi sarana
dalam mengembangkan usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Kemampuan yang dimiliki pemerintah selama ini baru sebatas
mengharapkan bantuan dari luar, sehingga sejauh ini upaya untuk mengatasi
masalah kesejahteraan sosial yang dialami oleh masyarakat belum terlepas
dari pihak-pihak luar dan masih sangat bergantung kepada bantuan yang
tidak memiliki investasi sosial, sekalipun program seperti pemberdayaan
masyarakat.54
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa organisasi sosial lokal
54 Pemberdayaan ibarat pedang bermata dua yang menorehkan kemakmuran bagi masyarakat tetapi
juga sebaliknya meninggalkan persoalan yang menambah beban masyarakat miskin akibat imbas program-
program yang hanya memberdayakan pemerintah dan para elit lokal lainnya. Di lapangan ditemukan
bahwa program yang ditujukan untuk memberi keberdayaan kepada masyarakat, khususnya kelompok
miskin dalam berbagai manifestasinya, tetapi justru diposisikan sebagai obyek bahkan yang diperdayai.
Pihak-pihak yang melakukan upaya pemberdayaan sering juga terkandung berbagai muatan kepentingan.
Pemberdayaan sekedar dalih di balik kepentingan tertentu. Kondisi seperti mengembalikan lagi posisi
masyarakat khususnya kelompok marginal hanya berfungsi sebagai obyek.
Penggunaan konsep pemberdayaan tidak lebih sebagai strategi untuk tetap mendapat dinamika
pembangunan kesejahteraan masyarakat di tengah-tengah atmosfir pemberdayaan. Contoh kasus ini hanya
merupakan salah satu dari kegagalan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui
program yang berdimensi pemberdayaan.
90
telah berperan dalam penguatan ketahanan sosial masyarakat,
khususnya dalam memenuhi kebutuhan sosial dasar, mengatasi
masalah sosial dan memperkuat hubungan-hubungan sosial. Namun demikian
peran organisasi sosial lokal tersebut masih sangat terbatas, baik jangkauan
maupun skala kegiatannya. Hal ini disebabkan karena mereka belum
membangun jejaring kerja secara sinergis dalam kelembagaan satu
dengan lainnya. Dalam prospek organisasi sosial lokal dengan penguatan
ketahanan sosial masyarakat, maka diperlukan intervensi dari pemerintah
sehingga ke depan dapat melaksanakan perannya lebih bermakna dalam
proses pembangunan masyarakat.
Sebagai masyarakat yang mengutamakan tatanan kehidupan
berlangsung dalam keseimbangan, tak jarang dijumpai realitas ‘status quo’
dijadikan budaya kemapanan. Meskipun, terkesan realitas itu dipaksakan
demi menjaga agar keserasian hidup tetap diutamakan meski harus
mengabaikan konflik, padahal konflik tersebut merupakan ‘alarm’ yang
memberitahukan telah terjadi sesuatu yang disebabkan oleh disfungsi sosial.
Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat memiliki tanggungjawab yang
sama untuk berperan dalam setiap interaksi sosial yang terjadi. Interaksi ini
akan berdampak pada keseimbangan dalam masyarakat (social equilibrium)
sebagai keadaan yang didambakan oleh setiap warganya agar setiap unit yang
ada di dalam masyarakat dapat berfungsi sesuai dengan peranan masing-
masing di wilayah sosialnya.
Sebagaimana halnya sistem kekerabatan yang berlaku di Talaud, di
Lirung pun demikian adanya. Dimana dasar penerapan sistem kekerabatan ini
merujuk pada bentuk bangunan dari struktur masyarakat Talaud perdana yang
91
berformat pada keluarga batih yang masih sangat sederhana dan berdasarkan
monogami. Tetapi, perkembangan selanjutnya menuntut masyarakat ini
untuk membentuk persekutuan hidup bersama sebagai masyarakat yang di
dalamnya juga terdapat keluarga kerabat. Karena itu, tidaklah mengherankan
apabila sistem kekerabatan di Lirung ikatannya begitu kuat dan luas, sebab
hubungannya telah menyebar sampai pada ikatan keturunan dari sejumlah
kerabat. Memang tak dapat dipungkiri pula kalau kehidupan masyarakat di
Lirung masih sangat konvensional. Konvensional dalam arti masih
mempunyai akar budaya yang kuat dengan nilai-nilai ketimuran berdasarkan
garis keturunan patrilineal, dimana hak dan kewajiban dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti ekonomi, sosial, dan pendidikan anak-anak dilakukan
berdasarkan garis keturunan ayah. Seorang ayah mempunyai peranan penting
dalam keluarga, yakni sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, dan
sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Sedangkan istri
bertugas mendampingi suami dan mengurus keluarga. Walaupun nampak
adanya pembagian pekerjaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya sehari-hari
kerjasama dan saling membantu di antara suami dan istri tetap dilakukan
sebagai upaya dalam menjaga keseimbangan dalam keluarga.
Penetapan garis keturunan seperti di atas berpengaruh sampai kepada
hak dan kedudukan suami dan istri yang memiliki derajat sama. Tidak ada
yang lebih tinggi ataupun lebih rendah, sebab masing-masing saling mengisi
dan bekerja sama demi mencapai tujuan bersama. Penerapan model ini pun
memberi ruang untuk suami atau istri bebas memilih tinggal di lingkungan
keluarga suami atau istri, sebelum mereka menentukan untuk memiliki
tempat tinggal sendiri. Demikian pula halnya dengan anak perempuan dan
92
laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar dalam menerima hak
waris dari orang tua.
2. Kondisi Pendidikan dan Kesehatan
Kedudukan sejajar dan memiliki hak yang sama dari anak perempuan
maupun laki-laki di Talaud berimplikasi pula dalam kesempatan bersekolah.
Masyarakat di kecamatan Lirung, khususnya para orang tua yang
menyekolahkan anaknya tidak memperlakukan anaknya secara berbeda
dalam memberikan kesempatan untuk memilih sekolah mana yang diminati
oleh anak-anaknya. Kecuali, sekolah yang dikhususkan berdasarkan jenis
kelamin. Masyarakat kecamatan Lirung pada dasarnya boleh dikatakan
sebagai masyarakat sadar pendidikan, sehingga bagi warga yang telah berusia
sekolah diwajibkan untuk mengikuti proses pendidikan, baik dimulai dari
pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi bagi warga masyarakat yang
memiliki kemampuan finansial lebih untuk membiayai perkuliahan.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai bekal hidup dapat dilihat dari
tingkat pendidikan di kecamatan ini, rata-rata anak-anak menempuh
pendidikan sampai tingkat SMU dan perguruan tinggi. Semangat belajar
masyarakat untuk mencari ilmu setinggi-tingginya ini mendapat respon baik
dari pemerintah. Kebijakan dan program pembangunan di Kabupaten Talaud
menetapkan bahwa pendidikan tercakup dalam bidang sumber daya manusia.
Pemerintah dalam pelayanannya di bidang pendidikan menyediakan
sarana publik berupa gedung sekolah dan fasilitas lainnya yang dapat
menunjang proses belajar-mengajar dengan baik. Data yang diperoleh dari
penelitian menunjukkan ada 16 sekolah (negeri dan swasta) yang
diklasifikasikan menurut tingkatannya, yakni: 6 TK (TK Al-Azhar Lirung,
93
TK Katholik Santo Agustinus Lirung, TK Musafir Lirung, TK Hilamunan
Lirung, TK Musi, TK Sereh), 6 Sekolah Dasar (SD Inti Lirung, SD Inpres
Lirung, SD Musi, SD Sereh I, SD Sereh II, dan SD Katholik Lirung), 2
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP I Lirung, SLTP II Sereh) dan 2
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA I Lirung dan STM Kristen), yang
tersebar di 7 desa/kelurahan pada wilayah Kecamatan Lirung. Eksistensi
sekolah-sekolah tersebut sangat signifikan, karena lembaga pendidikan
menghasilkan sumber daya manusia sebagai modal utama dalam
kelangsungan pembangunan di kecamatan Lirung.
Perhatian dan kepedulian pemerintah tidak hanya menyediakan
fasilitas saja melainkan sampai dengan mencanangkan program sekolah
gratis yang membebaskan semua peserta didik dari kewajiban yang terkait
dengan semua urusan proses belajar-mengajar di sekolah. Program yang
dicanangkan ini ditanggapi dengan antusias oleh masyarakat, sebab
penanggulangan segala biaya yang selama ini menjadi tanggungan orang tua
beralih kepada pemerintah. Pada dasarnya kebijakan pemerintah ini sangat
signifikan bagi masyarakat dalam memuaskan dahaga akan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hanya saja, program ini tidak di ‘follow up’ baik oleh
pemerintah.
Dari hasil wawancara dan observasi ditemukan bahwa perhatian
pemerintah daerah terhadap kesinambungan proses untuk mencerdaskan
anak bangsa ini masih kurang. Selain gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
lainnya, tidak ada lagi yang diperbuat oleh pemerintah dalam menunjang
keberhasilan di bidang pendidikan, khususnya di sekolah. Bahkan program
sekolah gratis yang diberikan oleh pemerintah, usianya hanya bertahan
94
sampai hajatan kampanye berakhir. Usai pagelaran pesta politik, program
sekolah gratis meninggalkan banyak masalah. Seorang warga dalam
kekecewaannya mengungkapkan bahwa, “pemerintah musti tepati janji,
jangan jadi slogan ba kampanye supaya mo dapa suara kalo ba pemilihan”.
Dalam artian masyarakat menuntut pemerintah supaya menepati janji, jangan
hanya menjadi retorika kosong di saat kampanye demi mendapatkan suara
dalam pemilukada. Pemerintah harus lebih memperhatikan kondisi nyata
yang terjadi, jangan hanya mengandalkan peraturan dan kebijakan saja untuk
menjadi solusi dalam mengatasi kemelut di dunia pendidikan. Sikap rendah
hati dan teknik pendekatan yang baik, itulah sesungguhnya yang harus
diperbuat oleh pemerintah. Selain pendidikan, bidang kesehatan pun menjadi
arena bagi pemerintah untuk melakukan tugasnya dalam memberikan layanan
jasa terhadap masyarakat umum. Kebijakan dan program pembangunan di
Kabupaten Talaud diantaranya menetapkan bahwa bidang sumber daya
manusia mencakup agama, pendidikan, dan kesehatan. Kualitas sumber daya
manusia merupakan potensi handal dalam pertumbuhan dan keberhasilan
pembangunan masyarakat.
Dari pengamatan langsung di lokasi penelitian tampak kesan bahwa
kondisi kesehatan masyarakat secara umum adalah baik. Masyarakatnya
sudah memiliki pengetahuan tentang cara hidup sehat. Mulai dari kesehatan
pribadi sampai kebersihan lingkungan tempat tinggal di mana warga
berdomisili, nyata terlihat bukan berlaku secara temporer dan dadakan di kala
ada peristiwa khusus saja. Kebiasaan masyarakat untuk belajar hidup sehat
berdampak pada derajat kesehatan masyarakat yang ditandai dengan
berkurangnya angka gizi buruk dan rendahnya tingkat kematian ibu yang
95
melahirkan, serta tingkat harapan hidup yang berada di atas angka tingkat
harapan hidup rata-rata. Demikian pun jumlah penderita dari penyakit-
penyakit seperti malaria, diare, ISPA, penyakit kulit dan penyakit degeneratif
lainnya semakin berkurang.
Kondisi kesehatan masyarakat yang membaik seperti itu tentunya tak
lepas dari peranan pemerintah sebagai penyedia jasa layanan, termasuk dalam
hal ini sarana pendukungnya. Adapun sarana yang disediakan oleh pemeritah
terdiri dari satu (1) unit PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang
terletak di ibu kota kecamatan dan tiga unit PUSTU (Puskemas Pembantu)
yang masing-masing berlokasi di Desa Sereh dan Musi. Untuk tenaga
kesehatannya terdapat dokter umum, dokter spesialis dan beberapa sarjana
kesehatan serta para petugas medis dan non paramedis di Puskesmas
kecamatan. Sedangkan di Pustu, karena dibatasi oleh statusnya tentu saja
tenaga kesehatannya hanya terdiri dari perawat dan bidan. Dokter, baik yang
dari ibu kecamatan maupun ibu kota kabupaten hanya pada waktu tertentu
saja datang untuk melayani pasien di Pustu. Khusus di ibukota kecamatan,
sudah ada dokter yang melayani pasien di klinik pribadi. Perhatian
pemerintah dalam hal penyediaan sarana ini pun lebih ditingkatkan dengan
memberikan satu unit mobil ambulance sehingga tidak ada kendala lagi
dalam urusan transportasi.
Dengan gambaran yang ditampilkan di atas, sepintas tidak ditemui
hal-hal yang dapat mengindikasikan adanya permasalahan di bidang
kesehatan ini, khususnya dalam sorotan tugas pemerintah. Paling tidak
diperoleh kesan umum bahwa pemerintah telah melaksanakan tugasnya
96
dengan baik tanpa berbuntut pada masalah-masalah yang serius. Namun
ibarat peribahasa berkata setali tiga uang, perilaku pemeritah yang menandai
rapor merah di bidang pendidikan, terjadi juga di bidang kesehatan.
Permasalahannya pun masih di seputaran lingkaran kebijakan pemerintah
untuk memberlakukan biaya pengobatan dan perawatan gratis, tetapi pada
gilirannya membuat kondisi masyarakat menjadi kritis.
Masyarakat menghadapi masalah dalam hal kesehatan, yaitu tidak
meratanya akses masyarakat pada pelayanan kesehatan. Ini terjadi selain
karena faktor ketidakmampuan masyarakat miskin untuk mengakses
pelayanan tersebut, juga disebabkan karena faktor pelayanan kesehatan yang
sudah menjadi komoditas ekonomi, sehingga lebih mengedepankan prinsip
those who use them most, pay the highest total price. Kondisi ini semakin
menjauhkan akses si miskin terhadap pelayanan kesehatan.
Ketidakmampuan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan
lebih merupakan masalah yang diciptakan, baik oleh negara/pemerintah atau
pemilik kapital, dalam bentuk pengelolaan pelayanan kesehatan yang
memang didisain diskriminatif, yang hanya menguntungkan kelompok kaya
dan merugikan kelompok miskin. Dalam kaitan ini, kelembagaan merupakan
faktor penyebab mengapa akses masyarakat miskin terhadap pelayanan
kesehatan menjadi rendah kalaupun dapat dikatakan tidak ada. Oleh karena
itu, implikasi kebijaksanaan yang dibutuhkan agar terjadi pemerataan akses
terhadap pelayanan kesehatan adalah perlunya pemikiran redistribusi sumber-
sumber ekonomi dan adanya sistem pengelolaan yang lebih adil. Tujuannya
agar pusat-pusat pelayanan kesehatan yang berada di lingkungan kelompok
miskin dapat memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif.
97
3. Sistem Ekonomi dan Mata Pencaharian
Fakta bahwa laut di Indonesia begitu kaya dengan berbagai jenis ikan
dan satwa laut lainnya, sangatlah jauh dari kenyataan hidup para nelayan di
Indonesia yang rata-rata masih lebih banyak hidup serba kekurangan. Para
nelayan di Talaud, termasuk nelayan berasal dari Lirung mengalami kondisi
hidup yang sama. Umumnya kehidupan para nelayan di Lirung masih dalam
taraf menengah ke bawah. Ada juga yang taraf kehidupannya cukup baik
karena selain pekerjaannya di laut, ada usaha sampingan yang dikerjakan.
Tetapi untuk kasus ini sangatlah jarang dijumpai.
Masyarakat ini hidup dalam situasi yang cukup keras dan menantang.
Sebagai nelayan mereka harus mengadu nasib dengan mempertaruhkan
nyawa mereka di tengah lautan. Tidak peduli gelombang ataupun badai,
mereka berjuang untuk mempertahankan hidup. Belum lagi para nelayan ini
tak jarang harus beradu cepat dengan kecanggihan teknologi yang digunakan
oleh kapal-kapal asing penangkap ikan yang beroperasi secara ilegal di
perairan Indonesia. Tetapi sangat disayangkan kalau kerja keras mereka
hanya diganjar dengan upah yang begitu rendah. Padahal bila dibandingkan
dengan harga kebutuhan hidup sangatlah tidak berimbang. Biaya hidup yang
sangat besar dan mahal tak jarang memaksa penduduk untuk mengambil
pilihan ‘bautang’55
di warung atau tempat lainnya demi melangsungkan
hidup sehari-hari. Jenis ikan yang didapat nelayan dan dijajakan di pasar
adalah ikan karapu, ikan rahiang, ikan layang, cumi-cumi, ikan tongkol
55
Bautang adalah pilihan yang sering diambil oleh masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup. Yang dimaksud dengan bautang ini adalah pengambilan suatu barang atau bahkan sejumlah uang,
kemudian akan diganti atau dikembalikan bila sudah ada uang. Cara ini tak jarang pula membawa
permasalahan baru bilamana uang yang akan diganti itu harus ditambah pula dengan bunga sekian persen
dari pinjaman pokok.
98
(masyarakat lokal menyebut ikan cakalang). Tangkapan ikan seringkali
menggunakan jala dan peralatan sederhana lainnya. Seringkali keuntungan
yang mereka peroleh tergantung pada cuaca, misalnya cuaca panas dapat
memperoleh keuntungan yang lebih besar (kira-kira Rp. 250.000 ke atas),
sedangkan di saat cuaca hujan pemasukkan atau keuntungan di bawah standar
misalnya kurang dari Rp 100.000 per hari. Tak jarang ikan hasil tangkapan
para nelayan ini tidak bisa dijual sehingga terpaksa dijadikan konsumsi bagi
para nelayan dan keluarganya. Karena itu, penduduknya lebih banyak
menekuni pekerjaan di dunia perdagangan dibandingkan menjadi nelayan
atau memilih pekerjaan yang masih ada hubungannya dengan laut. Minat
masyarakat terhadap mata pencaharian nelayan ini terlihat dari jumlah
penduduk yang menjadi nelayan hanya tujuhpuluh lima (75) orang.
Data Monografi Kecamatan Tahun 2010 mencatat hampir sepuluh
persen dari penduduk menekuni bidang usaha di sektor perdagangan, baik
sebagai pedagang tetap maupun pedagang musiman, juga pekerja di bidang-
bidang usaha yang berhubungan dengan sektor perdagangan, seperti
pedagang hasil pertanian, dan lain-lain.56
Tercatat sebanyak lima ratus
duapuluh sembilan (529) orang bermata pencaharian sebagai pedagang.
Pilihan untuk menjadi pedagang bagi sebagian masyarakat di kecamatan
Lirung merupakan cara yang dianggap mudah untuk memperoleh
penghasilan. Walaupun dari beberapa pedagang itu mengaku bahwa
pekerjaan ini pun beresiko besar akan tetapi minat masyarakat untuk bergerak
di bidang usaha jual-beli ini dari waktu ke waktu mengalami perkembangan
yang signifikan. Karena, bukan hanya sekedar menambah pendapatan
56
BPS Talaud, Kecamatan dalam Angka (Manado: BPS Talaud, 2010), 14.
99
masyarakat melainkan lebih dalam hal ini adalah terbukanya ruang
kesempatan kerja yang lebih luas bagi masyarakat.
Hasil pengamatan dan wawancara57
, menunjukkan bahwa kegiatan di
sektor perdagangan mendominasi aktivitas perekonomian masyarakat
dikarenakan oleh dua faktor, yaitu: pertama, kehadiran orang Cina telah
‘menulari’ penduduk lokal untuk berprofesi sebagai pedagang, dan kedua,
bidang usaha ini dianggap cepat untuk mendapat penghasilan, dibandingkan
dengan pekerjaan yang lain. Menurut salah seorang informan memang dalam
berdagang juga ada resiko yang diterima, namun masih lebih muda untuk
menekuni kerja seperti ini daripada melakukan pekerjaan yang memiliki
resiko kerja besar, juga penghasilannya tidak menentu karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor, misalnya perubahan cuaca atau bisa juga disebabkan oleh
fluktuasi harga di pasaran yang tidak menentu. Profesi lain dari masyarakat
adalah petani sebanyak empatratus tujuhpuluh lima (475) orang, namun
hanya tigaratus tigapuluh tujuh (337) orang yang produktif. Dari para petani
yang produktif inilah berbagai hasil pertanian seperti singkong, jagung, padi,
dan rempah-rempah serta bermacam jenis buah, misalnya mangga, rambutan,
durian, pisang, rambutan, menjadi sumber pangan dan pendapatan bagi
masyarakat petani tersebut. Di samping itu masih ada juga tanaman
perkebunan, misalnya tanaman pala yang selama ini banyak memberi
sumbangan dalam meningkatkan pendapatan di sektor pertanian.
Setiap desa di Talaud telah lama menanam pohon pala sehingga dapat
dikatakan merupakan tanaman endemik Talaud. Masyarakat mengenal cara
menanam, merawat dan mengolahnya. Tanaman ini diusahakan penduduk
57
Observasi dan wawancara dengan seorang pedagang, pada bulan April 2011. Pukul 19.00-20.00. WITA.
100
sudah sejak lama dan tumbuh subur hampir di semua kecamatan di Bumi
Porodisa ini, termasuk Lirung. Produksi tanaman ini memberi pengaruh yang
besar bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani. Selama proses
penelitian berlangsung, dijumpai ‘fenomena’ seorang petani yang
mempunyai omset pendapatan yang besar, bahkan bisa sampai menandingi
pendapatan dari masyarakat yang mengandalkan penghidupannya dari usaha
berdagang ataupun profesi yang lainnya.
Kondisi di atas memberikan peluang bagi petani untuk melakukan
diversifikasi58
pekerjaan, selain menjadi petani juga memiliki usaha
sampingan sebagai pedagang temporer atau sesuai dengan minat dan isi
kantong yang akan dijadikan modal untuk membuka usaha baru. Tetapi
dalam pengamatan penelitian tampak keberadaan dari para petani yang
kehidupannya sangat memprihatinkan, dikarenakan berbagai kemalangan
yang harus diderita oleh mereka, seperti gagal panen akibat perubahan cuaca
atau karena serangan hama pada tanaman yang siap dipanen. Kondisi inilah
yang menimbulkan mobilitas masyarakatnya begitu cepat mengalami
perubahan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan keluarga petani
yang secara mendadak harus berstatus orang miskin baru karena panen yang
diharapkan memberikan hasil memuaskan ternyata mengalami gagal panen
akibat serangan hama, dll. Hal yang sama pula bisa saja dialami oleh
masyarakat yang memiliki mata pencaharian lain, bahkan kemungkinan pula
para pedagang yang kehabisan modal atau kalah dalam bertransaksi dagang
pun mendadak menjadi orang miskin baru. Bisa ditambahkan pula dalam
kasus ini yakni seorang PNS golongan atas yang tak pernah membayangkan
58
Diversifikasi adalah istilah dalam bidang pertanian yang berarti penganekaragaman tanaman,
sehingga dalam konteks ini pengertiannya adalah penganekaragaman pekerjaan.
101
bahwa fasilitas hidup yang memberi kenikmatan dalam hidupnya bisa raib
dalam sekejap mata karena kebijakan sepihak yang diberlakukan kepadanya
dapat mengantarnya pada posisi masyarakat kelas bawah.
Yang menarik adalah keberadaan PNS (189 orang) yang menduduki
peringkat ketiga terbesar setelah bidang usaha perdagangan dan pertanian.
Tahun 2007, jumlahnya mencapai angka 813 orang. Fenomena ini
kelihatannya semakin menambah panjang daftar dari kinerja pemerintah yang
masih tumpang-tindih dan belum berperan baik sebagai pelayan masyarakat.
Cara perekrutan pegawai baru dengan jalur illegal telah dilestarikan sebagai
kebiasaan buruk. dan motivasi yang dimiliki dalam bekerja bukan untuk
kepentingan banyak orang, melainkan lebih pada kepentingan pribadi dan
keluarga. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin eksistensi dari para
pegawai ini memberikan kontribusi positif bagi peran dan fungsinya selaku
pelayan masyarakat. Sebab, makin banyak tenaga pegawai, kemungkinan pada
gilirannya nanti bisa menimbulkan ‘dis-fungsi’ dalam perannya sebagai
pemerintah di kecamatan Lirung. Dengan demikian, tidaklah berlebihan
apabila temuan di lokasi penelitian digiring pada kewenangan akademik untuk
mengkontraskan asumsi dari kaum fungsionalis yang menggeneralisir bahwa
semua unit yang terdapat dalam suatu sistem fungsional, demi mewujudkan
tujuan yang hendak dicapai.
4. Kehidupan Keagamaan
Pada dasarnya masyarakat kecamatan Lirung menganut agama Kristen
Protestan dengan prosentase terbesar adalah warga GERMITA (Gereja Masehi
Injili Talaud) yang penganutnya berjumlah duaribu tigaratus (2300) jiwa, lalu
disusul oleh denominasi gereja seperti GPdI, GPPS, GBI, dll. Selebihnya
102
terdiri dari penganut agama Katolik sejumlah seratus enam (106) jiwa dan
sisanya adalah pemeluk agama Islam yang jumlahnya mencapai enamratus
satu (601) jiwa. Di samping agama resmi negara ini, tak terabaikan pula
keberadaan para anggota pengikut aliran Penghayat Kepercayaan “ADAT”.59
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dimana kestabilan
hidup masyarakat di Talaud kondisinya cukup kondusif dikarenakan adanya
faktor pendukung yang baik. Agama adalah satu dari faktor pendukung yang
menciptakan keadaan masyarakat di Talaud sekalipun bercorak pluralis,
bahkan adanya dominant culture bukanlah menjadi hambatan terwujudnya
kerjasama lintas agama. Tentunya kerjasama yang telah dirintis oleh para
pemimpin sebagai kaum elit dari agama masing-masing ini harus pula
diteruskan sampai kepada para pengikutnya. Pengaruh positif dari kerjasama
yang dibangun ini tampak pada hubungan antar-umat beragama di Lirung
cukup baik.Hal lain yang juga menarik untuk dicatat adalah adanya perbedaan
derajat keterbukaan antar-denominasi. Dari hasil observasi menunjukkan,
bahwa dalam kehidupan sosial sehari-hari, kelompok kristen dengan gereja
mainstream (aliran induk) cenderung lebih inklusif ketimbang yang lain. Hal
ini terlihat dari kecenderungan kelompok non kristen yang merasakan lebih
mudah berinteraksi dengan kelompok kristen tersebut dibandingkan kelompok
denominasi dari gereja-gereja kristen lainnya, misalnya gereja Bethany.
Masyarakat di kecamatan Lirung pada dasarnya bercorak plural dari
segi agama dan kepercayaan. Hal ini terlihat dengan beberapa agama yang
dianut oleh masyarakatnya, yakni Kristen Protestan (GERMITA: Imanuel dan
Musafir), Kristen Katolik ( Santo Agustinus) dan Islam (Jemaah Al-Azhar),
59
ADAT ini bukan diartikan sebagai kebiasaan atau tradisi masyarakat melainkan merupakan
akronim dari Allah dalam Tubuh.
103
ditambah dengan kepercayaan lokal “ADAT”.60
Kehidupan beragama dalam
masyarakat masih sangat cukup kuat melihat realitas yang ada bahwa
masyarakatnya sangat menyakini dan mempercayai akan eksistensi Tuhan
Yang Maha Esa. Dari kegiatan peribadatan yang dilakukan, tampak sekali
bahwa masyarakatnya begitu teguh memegang keyakinan tehadap Tuhan
Yesus sebagai sumber hidup bagi manusia. Berbagai aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat, baik itu aktivitas sosial, budaya, ekonomi, dan politik, selalu
menyertakan unsur agama di dalamnya. Konklusinya adalah agama menjadi
dasar dari setiap aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat.
Dasar keyakinan seperti ini seharusnya memperkokoh sendi-sendi
hidup masyarakat dalam membangun kehidupan pribadi dan keluarga masing-
masing. Terlebih jika ‘atribut’ ini dikenakan kepada pemerintah yang memiliki
jabatan rangkap sebagai pejabat struktural di lembaga pemeintahan maupun
institusi gerejawi. Dalam penghayatan akan panggilan sebagai seorang majelis
jemaat, bagi seorang pemerintah yang mempunyai tugas pokok di
pemerintahan, sesungguhnya kondisi ini sangat kondusif untuk menjalankan
perannya sebagai pelayan di masyarakat. Ibaratnya, sekali mendayung
beberapa pulau terlampaui. Demikianlah posisi seorang pemerintah yang
memilih panggilan hidup untuk menjadi pejabat struktural di gereja. Ketika
dalam menjalankan peran sebagai pemerintah, sangatlah tepat posisinya,
60 Perjuangan kelompok ini untuk diakui sebagai salah satu agama, dimulai ketika perayaan
memperingati 100 thn kelahiran Bawangin (pendiri dan pemimpin kelompok), mereka memproklamasikan
komunitasnya sebagai ‘agama’. Pada tahun 1985 secara langsung mengajukan permohonan kepada
Presidan Soeharto selaku kepala negara pada masa itu, akan tetapi mereka hanya diperbolehkan memakai
nama Kelompok Penghayat, tidak bisa dengan sebutan agama. Selanjutnya pada tahun 1991, ketika
kelompok ini diundang untuk menyampaikan paparan tentang komunitas tersebut, itupun belum langsung
mereka diakui sebagai agama tapi sebatas kepercayaan saja.Dan akhirnya pada tahun 2005 kelompok ini
diakui secara resmi, tapi bukan sebagai suatu agama melainkan hanya kelompok Penghayat Kepercayaan
ADAT.
104
karena selain sebagai aparat di kantor pemerintah sekaligus juga memiliki
jabatan penting sebagai elit-elit agama. Hal ini tidak sekedar karena
pengamatan yang dilakukan selama penelitian berlangsung, melainkan lebih
merupakan ungkapan hati yang tercetus dari mulut beberapa warga yang
memiliki kemampuan bernalar dalam menyikapi perilaku pemerintah ketika
menjalankan peranan sebagai pelayan masyarakat, namun sikap yang
ditampilkan jauh dari harapan masyarakat terhadap figur seorang pemerintah
yang menyandang predikat ganda, baik pejabat pemerintah maupun pejabat
gereja.
Perpaduan tugas di antara institusi agama dan pemerintahan cukup
menjadi modal bagi pejabat pemerintah yang berstatus pejabat gereja dalam
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Sungguh sangat
disayangkan karena modal yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan
kata lain dipahami kalau panggilan bagi pribadi seorang pejabat pemerintah
tidak memberi pengaruh positif, sebaliknya dalam pengamatan terlihat jelas
bahwa apa yang menurut Weber sebagai beruf tidak mempengaruhi
pengalaman keagamaan pejabat sturuktural di Kecamatan Lirung. Bagi
pemerintah yang berstatus sebagai majelis jemaat, dimensi agama ini dibatasi
dalam ruang lingkup pelayanannya di gereja saja. Di luar gereja, pejabat ini
merasa tak ada tuntutan untuk merepresentasikan diri seorang pejabat yang
sejatinya juga sebagai seorang pelayan masyarakat yang harus memiliki
perilaku hidup layaknya seorang gembala nan setia menuntun selalu domba-
dombanya untuk diberi makan.
5. Sarana dan Prasarana Pelayanan Masyarakat61
61
Sumber: data primer tahun 2011.
105
Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap laju pembangunan di daerah. Dengan tersedianya
fasilitas yang memadai akan memudahkan pemerintah untuk memberikan
pelayanan berkualitas baik kepada masyarakat. Pelayanan dapat berjalan lancar
dan baik apabila tersedia sarana dan prasarana umum dengan berbagai bentuk
fasilitas penunjang yang pemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan publik.
Kecamatan Lirung sebagai ujung tombak dalam melayani masyarakat,
tentunya menyediakan sarana dan prasarana pada tiap-tiap bidang yang
berkenaan dengan pelayanan publik, karena hal ini memberi dampak pada
kesejahteraan masyarakatnya.
Pada bagian sebelumnya telah disinggung mengenai sarana dan
prasarana di bidang pendidikan dan kesehatan. Di samping kedua bidang
tersebut, pemerintah maupun pihak swasta tetap bertanggung jawab dalam
menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menunjang
aktivitas hidup sehari-hari. Fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat,
diantaranya adalah sarana transportasi, komunikasi, dan lain-lain. Di bidang
transportasi, masyarakat tidak mengalami hambatan terlalu serius sebab sarana
transportasi yang dimiliki cukup memadai. Meskipun masih ada kendala yang
ditemui dalam pengoperasiannya di lapangan, namun sarananya tetap tersedia.
Transportasi yang sering digunakan sebagai sarana penghubung antar
penduduk dari desa ke desa atau ke ibu kecamatan adalah kendaraan jenis
mikrolet dan mini bis. Di samping itu, ada juga alat angkutan lokal jarak dekat
yang hanya bisa memuat 2-3 orang penumpang.62
Ditambah pula dengan
62
Kendaraan angkutan tersebut merupakan modifikasi dari becak motor, sehingga masyarakat
menyebutnya bentor.
106
kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil yang dimiliki oleh warga
masyarakat.
Dalam hal sarana jalan, dapat dikatakan belum memadai. Sebab,
kondisi jalan yang masih tanah, ataupun kalau ada jalan umum yang sudah
beraspal akan tetapi kualitas pengaspalan tidak bagus, sehingga daya tahan
aspal tersebut tidak dapat bertahan lama. Selain jalan umum yang membentang
di sepanjang jalan melintasi pemukiman penduduk, terdapat juga jalan setapak
yang menghubungkan jalan umum dengan pemukiman penduduk. Kondisi
jalan ini pun tak berbeda jauh dengan kondisi jalan umum, karena jalan
tersebut berlubang dan belum diaspal, sehingga ketika musim hujan jalanan
menjadi becek. Untuk itu masyarakat sangat berharap ada perhatian dari
pemerintah terhadap masalah di bidang perhubungan darat ini, apalagi
mengingat fungsi jalan ini sangat vital bagi masyarakat dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari. Tanpa dibangun jalan lebih dahulu, bisa dipastikan
sumber keterisolasian dari masyarakat yang selama ini hanya bisa dijangkau
dengan angkutan laut sebagai penghubung antar pulau akan tetap berlangsung,
padahal masih ada alternatif untuk membuka keterisolasian tersebut dengan
membuka jalan dan membangun jembatan darurat dulu.
Untuk sarana penerangan, pada saat ini warga di Kecamatan Lirung
telah menikmati fasilitas listrik melalui jasa layanan dari PLN. Jasa layanan
PLN ini tidak sebatas berfungsi untuk penerangan saja melainkan juga
memberi kemudahan bagi penduduk agar dapat memanfaatkan produk-produk
elektronik, seperti lemari es, televisi komputer,dll. Sedangkan untuk sarana
kebutuhan air bersih, warga menggunakan jasa pelayanan dari PDAM.
Hampir seluruh anggota masyarakatnya sudah menggunakan PDAM, kecuali
107
bagi warga yang tempat pemukimannya tidak bisa dijangkau dengan pelayanan
PDAM ini. Meskipun, demikian masih ada juga penduduk yang walaupun
sudah menggunakan pelayanan PDAM, tapi tetap juga menggunakan sumur
sebagai sumber air bersih, sebab tak jarang pelayanan PDAM menjadi
hambatan bagi masyarakat, misalnya ketika kebutuhan air bersih ini
penyalurannya tidak berjalan lancar dan adanya masalah administrasi
pembayaran jasa pelayanan PDAM.
Sarana komunikasi di Lirung, faktanya memang telah ada jaringan
telepon, tapi pengoperasiannya belum maksimal. Karena, fasilitas yang
disediakan oleh pemerintah dan swasta, seperti Wartel dan Kiostel masih
sangat rentan mengalami gangguan, terlebih-lebih bila cuaca buruk. Teknisi
yang berpengalaman untuk memperbaiki sarana komunikasi tersebut bila
rusak, masih bisa dihitung dengan jari. Kesulitan lainnya adalah tingginya
biaya pembayaran sebagai kompensasi dari jasa pelayanan yang diperoleh.
Sehingga, penggunaan ponsel merupakan alternatif termudah untuk mengatasi
kesulitan tersebut, walaupun tidak sedikit uang yang keluar dari dompet untuk
biaya pulsa tapi menurut salah seorang warga masih lebih praktis dan aksesnya
lebih mudah dibandingkan bila memakai sarana umum yang disediakan oleh
pemerintah dan swasta.63
Media komunikasi lainnya seperti surat kabar diperoleh masyarakat
dengan cara berlangganan, walaupun melalui para agen yang melayani jasa
pemesanan surat kabar dan berbagai kebutuhan media cetak lainnya yang
berada di ibu kota Manado. Sarana lainnya yang memudahkan penduduk
untuk memiliki akses pada bidang komunikasi adalah kepemilikan pesawat
63
Chenie, Wawancara di Lirung, pada bulan April 201 pukul 16.00-17.00 WITA.
108
televisi dilengkapi antena parabola. Masyarakat tidak hanya menonton
tayangan dari produk domestik atau lokal saja, melainkan juga sampai pada
tayangan mancanegara.
Fasilitas umum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi di Lirung
berpusat di sebuah pasar yang bangunannya terdiri dari dua bagian, dan
masing-masing bagian memuat hampir 50 kios. Pada setiap hari pasar ini ramai
dikunjungi orang yang ingin berbelanja untuk kebutuhan harian mereka. Masa
ramai pasar berlangsung di pagi hari pada jam 06.00 hingga jam 10 pagi. Akan
tetapi lepas dari jam 10 pagi aktivitas di pasar itu berlangsung sampai jam lima
sore, malahan ada kios yang buka sampai malam hari. Karena ada beberapa
kios yang fungsinya selain sebagai tempat berjualan, juga berfungsi menjadi
tempat tinggal oleh para pedagang dari luar daerah yang mengontrak kios-kios
tersebut. Para penjual di pasar tersebut di samping mengontrak kios, juga ada
yang hanya mendirikan tenda-tenda darurat ataupun malahan ada yang hanya
menggelar tikar atau menggunakan karung dan kantung bekas semen sebagai
alas tempat barang dagangan.
Selain pasar sebagai fasilitas umum bagi kegiatan perekenomian
masyarakat, masih ada juga toko-toko yang untuk ukuran lokal cukup besar
sebagai tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari berupa sembako dan
kebutuhan lainnya seperti pakaian jadi, barang elektronik bahkan sampai pada
bahan bangunan dan alat-alat berat lainnya. Bagi yang ekonominya pas-pasan
bisa berbelanja di toko-toko yang menjajakan barang-barang kelontong, atau
bisa juga di warung-warung yang menjajakan aneka kebutuhan dapur dan
rumah tangga lainnya dalam jumlah yang terbatas.
109
6. Program-Program PKS di Kecamatan Lirung64
Paparan mengenai profil dari Kecamatan Lirung di atas memang belum
merupakan gambaran utuh. Karena di balik tampilan gambar, masih ada detil
gambar yang bukan sengaja disembunyikan demi melekatkan pencitraan baik
kepada pemerintah atas pekerjaan dan tugas yang telah dilakukannya sebagai
pelayan masyarakat. Sebab, lepas dari berbagai kekurangan yang dimiliki oleh
pemerintah, adalah suatu sikap bijaksana bilamana detil-detil gambar dalam
realitas kemiskinan masyarakat tidak sekadar dipandang sebagai tindakan salah
pemerintah dalam mengurus masalah kemiskinan tersebut melainkan
merupakan peluang baru untuk melakukan perbaikan terhadap realitas
kemiskinan dan berbagai turunannya.
Kantor Kecamatan Lirung merupakan kantor kecamatan yang pertama
ada di Wilayah Kepulauan Talaud, semenjak masih tergabung dengan
Kabupaten Kepulauan Sangihe. Dengan dibentuknya Kabupaten Kepulauan
Talaud, maka kecamatan Lirung menjadi barometer untuk kecamatan-
kecamatan yang baru dibentuk, baik dalam pembangunan maupun dalam
pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan Perda Kabupaten Kepulauan
Talaud Nomor 8 Tahun 2004 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah
Kecamatan dan Kelurahan di Kabupaten Kepulauan Talaud, maka susunan
organisasi kecamatan terdiri dari: camat, sekretariat, sub bagian, seksi dan
kelompok jabatan fungsional lainnya.
Pemerintah Kecamatan Lirung selaku pemberi layanan kepada
masyarakat, memiliki kedudukan yang strategis dan memainkan peranan
fungsional dalam pelayanan dan administrasi pemerintahan, pembangunan
64
Wawancara mendalam dengan beberapa pejabat kecamatan juga pejabat dari dinas yang terkait,
juga sebagai bahan pembandingnya adalah dokumen-dokumen pembangunan di Kecamatan Lirung.
110
serta kemasyarakatan. Secara khusus dalam mengatasi persoalan yang
berkaitan dengan PKS, kemiskinan misalnya. Camat menjadi pengawal
berjalannya program-program pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan yang ada di kecamatan, dimana aspek tugas pemerintahan
tersebut ditujukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat luas.
Dalam pelaksanaan proses pelayanan selama ini, memang jika dilihat
sepintas seperti tidak ada ‘masalah’ karena kondisi masyarakat di Kecamatan
Lirung yang banyak bermata pencaharian sebagai pedagang, dimana
kesadarannya akan hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun
konsumen, masih relatif rendah, sehingga mereka cenderung menerima begitu
saja layanan yang diberikan oleh pemerintah, apalagi jika layanan itu bersifat
cuma-cuma. Ditambah pula dengan adanya apresiasi beberapa warga
masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang dianggap baik selama ini.
Namun lepas dari opini publik tentang kinerja pemerintah sesungguhnya, yang
lebih utama untuk diperhatikan adalah realitas kemiskinan dalam berbagai
manifestasinya. Realitas yang sedang menjadi fenomena sosial pasca otonomi
daerah tersebut disebabkan pula antara lain oleh belum ada strategi
penanganan dari pihak pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya, termasuk
pula masyarakat sebagai salah satu unsur yang berperan dalam upaya yang
dijalankan oleh pemerintah.
Berbicara mengenai peranan berarti memiliki implikasi dengan
keterlibatan pemerintah dalam melakukan berbagai upaya demi pemenuhan
kebutuhan dasar minimum bagi masyarakat. Walaupun sebenarnya jauh lebih
dari sekedar kebutuhan fisik, pemerintah pun harus memiliki strategi dan cara
yang tepat dalam menjamin kelangsungan hidup kelompok masyarakat miskin
111
tersebut tanpa bergantung kepada bantuan yang diberikan oleh pemerintah
melalui berbagai program dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa program yang telah dilaksanakan di Lirung, diantaranya adalah
sebagai berikut:
A. Inpres Desa Tertinggal (IDT) 65
Masyarakat pedesaan merupakan bagian terbesar dari cakupan ekonomi
rakyat. Karenanya, membangun kemandirian masyarakat pedesaan merupakan
langkah mendasar. Salah satu upayanya adalah dengan membangun lembaga
pendanaan pedesaan yang dimiliki, dikelola, dan hasilnya dinikmati oleh
rakyat pedesaan sendiri. Inilah sebenarnya tujuan utama bantuan modal kerja
yang diberikan melalui IDT, yaitu menanamkan prinsip monetisasi di
pedesaan. Monetisasi merupakan dasar ke arah pemupukan modal, dan
pemupukan modal adalah landasan dalam perubahan struktural itu.
Program IDT ini ditujukan untuk meningkatkan potensi ekonomi
masyarakat lapisan bawah. Penguatan ekonomi rakyat diharapkan akan
meningkatkan daya beli masyarakat secara menyeluruh agar memiliki landasan
yang kokoh bagi perekonomian nasional. Program ini dirancang untuk
menumbuhkan dan memperkuat penduduk miskin dalam usaha meningkatkan
taraf hidupnya, dengan cara membuka kesempatan berusaha. Sasaran program
ini arahnya tertuju pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi untuk
mewujudkan kemandirian penduduk miskin di pedesaan dengan menerapkan
prinsip gotong-royong, keswadayaan dan partisipasi. Peran serta pemerintah
tampak pada usaha penyediaan dana sebagai modal kerja penduduk miskin
untuk membangun usaha. Usaha ini dimulai dengan pembentukan ‘kelompok
65
Sumber: data primer tahun 2011.
112
masyarakat’ yang akan memperoleh bantuan. Kelompok yang dibentuk harus
terdiri dari anggota masyarakat yang paling lemah dan tertinggal keadaan
ekonominya. Bantuan yang diberikan tiap desa sebesar 20 juta rupiah.
B. Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT) 66
Program PKT bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
berpenghasilan rendah yang belum terjangkau oleh program pembangunan
nasional atau program yang diarahkan pada kawasan yang menghadapi
permasalahan khusus. Inilah ‘crash program’ untuk mengatasi masalah khusus
yang dihadapi langsung oleh masyarakat di tingkat bawah dengan lingkup
kecamatan. PKT menjalin serangkaian kegiatan yang intinya mengupayakan
peningkatan partisipasi masyarakat setempat dalam pembangunan. Program
dilaksanakan oleh pemerintah melalui kegiatan-kegiatan yang mendorong
peningkatan kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam berusaha,
mendorong efektivitas mekanisme perencanaan dari bawah, menciptakan
keterpaduan program-program pembangunan yang diselenggarakan dan
meningkatkan kemampuan kelembagaan di kawasan tersebut.
Mekanisme penentuan kawasan terpilih dilakukan oleh Pemda melalui
Bappeda di kabupaten, kemudian diusulkan ke Pemprov melalui Bappeda
Provinsi. Setelah Bappeda Provinsi menyusun prioritas, usulan kegiatan ini
diajukan kepada Tim Pengarah Program PKT (TP3KT) melalui Deputi Bidang
Regional dan Daerah, Bappenas. Kriteria utamanya adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan masyarakat. Program PKT lebih terbuka dibanding dengan
program lainnya. Demikian pun usulan tentang proyek yang akan dibiayai oleh
66
Wawancara dengan pejabat kecamatan dan dinas daerah yang memiliki keterkaitan dalam program
pengentasan kemiskinan di bidang PKS, pada bulan April-Mei 2011.
113
PKT tidak terbatas hanya dari Bappeda ataupun dari departemen teknis saja.
Tetapi dapat merupakan usulan dari lembaga non-pemerintah, seperti LSM,
dan lain-lain, adalah juga tak kalah pentingnya usulan dari masyarakat sebagai
sasaran dari program ini.
C. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) 67
Mulai tahun 2007 Pemerintah Indonesia mencanangkan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri
dari PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan serta PNPM
Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM Mandiri Perdesaan adalah
program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan
pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama
ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasailan PPK adalah berupa penyediaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan bagi rakyat miskin, serta
menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat.
Visi PNPM Mandiri Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan
kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri
untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu
mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya
tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dalam rangka mencapai visi
dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM
Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan masyarakat miskin sebagai kelompok
sasaran dalam menguatkan sistem pembangunan partisipatif, juga
67
Wawancara dengan para peserta PNPM on Focus Discussion Group pada bulan April – Mei 2011.
114
mengembangkan kelembagaan kerjasama antar desa. Berdasarkan visi, misi
dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM Mandiri Perdesaan lebih
menekan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui
PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan masyarakat dapat menuntaskan
tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan,
setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui Program Pengembangan
Kecamatan ( PPK). Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan terdiri dari: tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah meningkatnya kesejahteraan
dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong
kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengolahan
pembangunan.Tujuan khususnya meliputi: 1). Meningkatkan partisipasi dalam
pengambilan keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bagi
seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin atau kelompok perempuan.
2). Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan
mendayagunakan sumber daya lokal. 3). Mengembangkan kapasitas
pemerintahan desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif.
4). Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang
diprioritaskan oleh masyarakat. 5). Melembagakan pengelolaan dana bergulir.
6). Mendorong terbentuk dan berkembangnya kerjasama antar desa. 7).
Mengembangkan kerjasama antar pemangku kepentingan (stakeholder) dalam
upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan.
Sasaran PNPM Mandiri Perdesaan tercakup dalam:
a). Lokasi sasaran:
Lokasi sasaran PNPM Mandiri Perdesaan meliputi perdesaan di kecamatan
Lirung yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan tidak
115
termasuk desa/kecamatan yang termasuk kategori bermasalah dalam
PPK/PNPM Mandiri Perdesaan.
b). Kelompok sasaran: - masyarakat miskin di perdesaan.
- kelembagaan masyarakat di perdesaan
- kelembagaan pemerintahan lokal.
PNPM Mandiri Pedesaan tersebut adalah program Pemerintah Pusat
bersama Pemda, artinya program ini direncanakan, dilaksanakan dan
didanai bersama-sama berdasarkan persetujuan dan kemampuan yang
dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan daerah yang berasal dari: (a). Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (b). Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), (c). Swadaya masyarakat, dan (d). Partisipasi dunia
usaha Program-program tersebut di atas, tidaklah menyebutkan peran
pemerintah secara gamblang namun uraian di atas, cukup memberikan
informasi tentang manfaat dan pentingnya keterlibatan pemerintah sebagai
pelayan masyarakat dalam program-program tersebut. Karena, sejatinya
pemerintah adalah pelayan masyarakat yang senantiasa memahami dan
menyadari akan fungsi dan perannya di masyarakat. Sehingga ada baiknya
bila pelayanan pemerintah harus lebih responsif dan selalu berfokus pada
kebutuhan dan kepuasaan masyarakat.