Bab III Analisis
-
Upload
daniel-bear -
Category
Documents
-
view
199 -
download
0
Transcript of Bab III Analisis
14
BAB III
ANALISIS
3.1 Parafrase
3.1.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng
Aas dan keluarganya mengalami tekanan batin dalam menghadapi
permasalahan keluarganya. Hal tersebut, diakibatkan karena lemahnya perekonomian
keluarga serta adanya campur tangan Ibu Mertua terhadap keluarga Aas. Tidak hanya
itu saja, perlakuan Ibu Mertua terhadapnya sangat tidak adil menurut pandangan Aas.
Perlakuan dari Ibu Mertua selalu baik terhadap adik Kang Gugum, Nonon, namun
sebaliknya terhadap Aas, Ibu Mertua terkesan bersikap sinis, dan selalu meremehkan
keadaan keluarga Aas yang serba kekurangan. Hal itu terjadi karena keluarga Nonon
lebih mapan dibanding keluarga Aas. Kemudian, karena tak tahan menghadapi hal
itu Aas mengutarakan keinginannya untuk pindah dari rumah mertuanya kepada
Kang Gugum, suaminya. Namun, ia tidak berterus terang tentang tekanan batin yang
ia alami. Hal itu dimaksudkan, agar suaminya tidak merasa tersinggung, dan Aas
merasa khawatir bila Kang Gugum tidak mempercayai sepenuhnya apa yang ia alami,
akibat perlakuan Ibu mertua yang kurang baik kepadanya. Mendengar hal itu, Kang
Gugum sangat terkejut. Menurutnya, ia belum mampu memberikan tempat tinggal
15
yang layak bagi Aas dan anak mereka, ia beralasan penghasilannya yang pas-pasan
belum memungkinkan dirinya untuk memiliki rumah sendiri.
Untuk penghasilan tambahan bagi keluarganya, atas seizin Kang Gugum,
Aas kemudian mencari nafkah dengan menjadi foto model untuk sebuah majalah,
lewat ajakan temannya, Fika. Akhirnya keinginan Aas untuk memiliki rumah sendiri
dapat tercapai. Namun, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Aas tidak hanya itu
saja. Permasalahan baru muncul ketika Aas mendapat tawaran bermain film dari
seorang Produser, lewat Fika. Tawaran Fika tersebut memunculkan beban pikiran
untuk Aas. Pergulatan batin antara dua pilihan kemudian dialami Aas, karena ia tidak
sanggup meninggalkan tanggung jawabnya dalam mengurusi rumah tangga.
Aas khawatir, kepercayaan suaminya akan pudar apabila ia meninggalkan
tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga. Namun tanpa disangka oleh Aas
sebelumnya, Kang Gugum mengetahui tentang tawaran itu melalui. Kemudian ia
mengizinkan Aas untuk meniti karier dalam dunia film. Aas sangat gembira
mendengar keputusan suaminya, ia bangga mengetahui suaminya merelakan dirinya
mencari nafkah di luar rumah.
Kemudian Aas mengetahui kenyataan yang sebenarnya perihal keluarga
suaminya, berdasarkan penuturan kakak suaminya, Kang Yayan. Aas mengetahui
alasan yang melatarbelakangi sikap Ibu Mertua pada dirinya. Menurut penuturannya,
Aas mengetahui bahwa ternyata suaminya bukan anak kandung mertuanya dan
16
kekayaan yang dimiliki mertuanya, sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ibu
mertua merasa ketakutan akan kehilangan sebagian hartanya tersebut. Kemudian,
sikap kurang baik dari Ibu Mertua yang ditujukan kepada Aas, didasari oleh
kekhawatirannya terhadap Aas yang akan mempengaruhi Gugum agar mau menuntut
kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya.
3.1.2 Cerpen Trong Kohkol
Tokoh utama dan istrinya baru saja menempati rumah barunya. Namun,
istri tokoh utama merasa khawatir, karena ternyata di lingkungan komplek Sindang
Kasih yang baru mereka huni tersebut, banyak terjadi peristiwa pencurian dan
perampokan. Istri tokoh utama melarang suaminya pergi ke kantor karena takut
rumahnya disatroni para penjahat, dan ia enggan ditinggal suaminya sendirian di
rumah. Kehawatiran istri tokoh utama, berubah menjadi ketakutan yang berlebihan,
sehingga hal tersebut sangat menganggu tokoh utama. Setiap malam istri tokoh utama
tidak pernah nyenyak tidurnya. Apabila mendengar suara yang mencurigakan, ia
kerap kali membangunkan suaminya tengah malam untuk memintanya memeriksa
suara-suara yang mencurigakan tersebut.
Kemudian, warga di lingkungan meningkatkan sistem keamanan
lingkungan komplek Sindang Kasih. Secara bergotong royong mereka mendirikan
Pos Kamling untuk melaksanakan ronda malam secara bergiliran dan pengadaan
17
kentongan secara swadaya. Hal itu sedikit menenangkan istri tokoh utama,
ketakutannya sedikit mereda karena kehadiran kentongan tersebut. Bahkan, ia merasa
tenang dengan menyimpan kentongan tersebut tepat disamping tempat tidur mereka.
Namun hal itu tidak berlangsung lama, ternyata pencurian dan perampokan semakin
meningkat. Istri tokoh utama kembali merasa khawatir akan ancaman tersebut.
Hingga pada suatu malam, istri tokoh utama merasa terkejut mendengar suara
kentongan di kamarnya. Ia melihat istrinya dengan penuh ketakutan memberitahukan
kepadanya bahwa rumah mereka sedang di satroni perampok. Namun, alangkah
kagetnya istri tokoh utama, ketika ia mengetahui bahwa ternyata sosok-sosok yang ia
kira perampok, adalah rombongan mertuanya yang sedang berkunjung ke rumah
mereka. Istri tokoh utama pingsan seketika mengetahui hal itu, ia kemudian jatuh dan
tak sadarkan diri.
3.1.3 Cerpen Diburu Ku Butuh
Bram merasa tertekan karena beragam tuntutan kebutuhan keluarganya
yang belum terpenuhi. Anaknya meminta agar Bram segera melunasi tunggakan
kebutuhan sekolahnya. Bram dengan penuh kesabaran menerima cobaan itu dan
berjanji kepada anaknya akan melunasi tunggakan tersebut. Bram kebingungan
kemana harus mencari uang, penghasilannya sebagai penulis lepas tidaklah cukup
untuk memnuhi kebutuhan keluarga. Kemudian, ia terpaksa meminjam uang kepada
18
Pak Burhan. Namun, ia merasa malu meminjam uang kepada Pak Burhan untuk
kebutuhan keluarga. Untuk mengatasinya, Bram meminjam uang dengan alasan untuk
membiayai pengobatan anaknya ke dokter. Ia merasa berdosa kepada Pak Burhan
karena telah berbohong. Ketika tiba di rumah, alangkah terkejutnya ia ketika
mengetahui anaknya jatuh sakit. Kemudian, Bram bersama istrinya bergegas
membawanya ke dokter. Bram sangat menyesali perbuatannya dan menyadari bahwa
hal ini disebabkan karena ulahnya yang telah berbohong kepada Pak Burhan. Bram
kemudian mengenang kesuksesannya dulu ketika menjadi karyawan sebuah
perusahaan. Ia menyesali keputusannya mengundurkan diri dari perusahaan dan
memilih menjadi penulis lepas untuk sebuah majalah. Dengan penghasilannya yang
pas-pasan, Bram tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia merasa tertekan
dengan kenyataan itu.
Kemudian, ayah Bram mengirim surat yang isinya bermaksud untuk
meminjam uang kepada Bram untuk membeli televisi. Bram sangat kesal dengan
perilaku ayahnya, namun ia senantiasa bersabar menhadapi hal itu dan kemudian
memberikan surat balasan yang isinya berupa penolakan memberikan pinjaman
dengan alasan tidak punya uang. Namun, alangkah terkejutnya Bram ketika
mengetahui sikap ayahnya yang marah menerima balasan surat darinya. Ayahnya
beranggapan bahwa Bram sudah tidak menhormati orang tuanya, ia menganggap
anaknya tersebut tidak ingin dipinjami uang karena takut tidak dibayar.
19
Untuk menyelesaikan konflik dengan ayahnya, ia bersilaturahmi ke
kediamannya. Namun ia merasa sedih karena menerima sikap kurang baik dari
ayahnya. Kemudian, permasalahan berakhir ketika Ayah Bram menyadari
kesalahannya yang telah berburuk sangka terhadap Bram dan keluarganya. Hal itu
terjadi ketika terjadi dialog antara Apa dengan Ira, anak Bram. Karena kepolosan Ira,
Apa mengetahui permasalahan yang di hadapi oleh Bram dan Keluarganya. Apa
kemudian mengirim surat kepada Bram yang isinya mengutarakan permintaan maaf
kepada Bram dan keluarganya.
3.1.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi
Dalam cerita ini mengisahkan Tatang sebagai kepala keluarga, beserta
istrinya harus bekerja keras menggantikan peran Si Bibi dalam mengurusi rumah
tangga. Bahkan untuk mencuci baju sekalipun, yang menjadi tanggung jawab
pembantunya, kini harus dilakukan olehnya. Kondisi tersebut terjadi sejak ditinggal
Si Bibi, karena pulang kampung. Tatang beserta istrinya merasa kerepotan dalam
mengurusi pekerjaan rumah tangga. Karena kondisi tersebut Tatang terpaksa
mengerjakan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh Si Bibi. Tatang terlihat
kewalahan menerima tugas tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya.
Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci baju sangat
menguras tenaganya, ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-asalan. Hal itu
20
didasari, karena takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia kesulitan dalam
melakukannya. Tatang berusaha untuk menjadi suami yang bertanggung jawab
dengan mengambil alih tugas yang selalu dikerjakan Si Bibi. Walupun hal itu
bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia harus memberi tauladan
kepada istrinya dengan memberi contoh bagaimana mencuci pakain yang benar.
Kemudian Tatang mendapati istrinya pulang dalam keadan sakit, sehabis
kwegiatan gerak jalan. Kini bebannya bertambah, karena istrinya tak dapat
membantunya untuk sementara waktu. Bukan hanya itu saja, istrinya mengabarkan
bahwa Si Bibi tidak akan kembali dalam jangka waktu yang lama, karena orang
tuanya sakit keras.
3.1.5 Cerpen Haleuang Indung
Emak meratapi keadaan dirinya dan keluarga yang serba kekurangan.
Profesinya sebagai pedagang makanan keliling, tak pernah mencukupi bahkan untuk
menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi keluarga
Emak sangat memprihatinkan dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang
hanya berprofesi sebagai penarik beca, tentunya hal itu tak dapat membiayai sekolah
Ujang. karena kondisi keluarga yang miskin, Ujang memutuskan pergi merantau ke
Kalimantan untuk mencari pekerjaan. Hubungan Ibu dan anak kini terpisahkan oleh
jarak, dikarenakan kondisi yang sangat memaksa. Hal itu dilakukan Ujang semata-
21
mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar mereka tidak mengalami
kesengsaraan.
Keputusan Ujang pergi ke Kalimantan membuat sedih hati Emak, karena
kini Emak hidup sendirian. Walaupun, dengan berat hati menerima kenyataan
tersebut, ia hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di
perantauan. Sepeninggal Ujang ke Kalimantan, Emak sangat merindukannya setiap
saat. Apalagi, setahun lamanya Ujang tidak pernah memberi kabar. Dalam hatinya,
Emak merasa khawatir akan keadaan Ujang tersebut.
Emak menyadari akan dirinya yang sudah lanjut usia. Ia berharap bertemu
dengan Ujang sebelum dirinya meninggal. Dunia dan Emak senantiasa memanjatkan
doa kepada Tuhan agar dirinya beserta Ujang diberikan kebahagiaan dan kekuatan
dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan dan rintangan.
3.2 Problematika Keluarga Dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng.
Secara umum tema atau gagasan utama cerpen yang terhimpun dalam
kumpulan cerpen “Tali Asih Anu Nganteng”,adalah menyangkut tentang
problematika keluarga. Di dalam kumpulan cerpen tersebut tampak adanya
ketegangan yang diekspresikan oleh tokoh, yang dipengaruhi oleh konflik-konflik
maupun peristiwa yang kemudian pada akhirnya memunculkan problematika.
22
Tergambar pula proses tokoh dalam memahaminya dan pengambilan langkah dalam
mencapai solusi problematika tersebut.
3.2.1 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Tali Asih Anu Nganteng
3.2.1.1 Campur Tangan Ibu Mertua Sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama
Problematika keluarga yang terdapat dalam kumpulan cerpen Tali Asih Anu
Nganteng, banyak mengisahkan tentang kesusahan dan kepedihan yang dialami tokoh
utama dalam sebuah keluarga. Cerita ini mengisahkan peran dan fungsi tokoh utama
dalam menghadapi permasalahan keluarganya. Permasalahan tersebut kemudian
timbul karena konflik antar tokoh dalam keluarga yang dilatar belakangi oleh kondisi
ekonomi keluarganya yang lemah. Problematika keluarga lebih mengarah pada
konflik batin yang dialami oleh Aas sebagai tokoh utama. Konflik batin yang dialami
oleh Aas disebabkan oleh kerewelan Ibu Mertua, seperti yang tercermin pada data
berikut:
1) Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul. Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan ,malah sakapeung mah kurang. (TAAN; 5)
Pikiran sumpek, hati sedih bukannya bohong, sering dipusingkan oleh permasalahan. Coba saja: serumah dengan mertua cerewet, gaji Kang Gugum sebulan selalu pas-pasan, bahkan terkadang kurang.
23
Berdasarkan kutipan pada data no.1, terungkap keadaan batin Aas yang
menderita. Kondisi batin Aas digambarkan dengan “Uteuk sumpek, ramijud teh lain
bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul”, melukiskan
perasaan Aas yang sering merasa tertekan, dan hal itu membuatnya selalu merasa
sedih dan terkadang menimbulkan rasa jengkel dalam dirinya. Berdasarkan data di
atas, terungkap pula faktor-faktor penyebab konflik batin Aas. Hal itu terungkap
melalui ungkapan Aas,” Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang
Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah sakapeung mah kurang”. Faktor yang
pertama, dikarenakan campur tangan Ibu Mertua yang mengakibatkan terbatasnya
ruang gerak Aas dalam mengurus keluarga. Dalam pandangan Aas hal tersebut
merupakan masalah yang sangat menganggu pikirannya. Campur tangan Ibu mertua
tergambar melalui sikapnya yang selalu cerewet terhadap Aas dalam mengatur
keluarganya. Sedangkan Faktor kedua, adalah, penghasilan suami yang kurang
mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, terlihat
gambaran kekecewaan Aas yang begitu besar dengan kondisi yang dialaminya.
Kekecewaan Aas lebih banyak ditujukan kepada Ibu Mertuanya. Menurut
Aas, campur tangan Ibu Mertua terhadap keluarganya terlalu berlebihan. Bentuk
campur tangan mertua terhadap keluarga Aas tergambar pada perilaku mertua yang
ikut mengatur keuangan keluarganya. Seperti terdapat pada data berikut:
2) Unggal poe ingetan teh ngukur-ngukur jang balanja. Enya ge mitoha teh kaasup jalma aya. Teu wani ari kudu punta-penta mah. Malah
24
nginjeum duit ge ngan sakali-kalina. Eta ge pedah kapaksa. Basa budak nu cikal gering. Mere ku merena, bari digelendeng.“Nu matak kudu apik kana duit teh. Ulah dimonyah-monyah. Kudu boga teuteundeunan keur sakalieun budak gering atawa aya karerepet. Kudu diajar prihatin ari hayang hidup senang mah. Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit, bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang. Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot. (TAAN; 6)
Tiap hari yang dipikirkan hanya kebutuhan keluarga. Walaupun mertua termasuk orang berada. Tidak berani sedikit pun untuk meminta-minta kepadanya. Bahkan pernah meminjam uang, itu pun hanya sekali. Karena terpaksa ketika anakku yang pertama sakit. Itu pun diberi sambil menggerutu.”Makanya, harus hemat menggunakan uang. Jangan dihambur-hamburkan. Harus mempunyai simpanan apabila anak sakit atau untuk keperluan mendadak.harus belajar prihatin kalu ingin hidup senang. Lihat Nonon. Walaupun dia anak manja, tapi karena mengurus uang dengan baik, bisa mendukung pekerjaan suami, hidupnya senang. Punya rumah, punya mobil, bisa memberi kepada orang tua.”
Berdasarkan data no.2, tergambar kekesalan Aas akan kondisi keluarganya,
hal itu terungkap melalui perkataan Aas, “Unggal poe ingetan teh ngukur-ngukur
jang balanja. Enya ge mitoha teh kaasup jalma aya. Teu wani ari kudu punta-penta
mah. Ungkapan di atas, menggambarkan keadaan Aas yang terbebani dengan
bermacam-macam kebutuhan keluarga, salah satunya dalam urusan belanja rumah
tangga. Berbeda halnya dengan kondisi perekonomian ibu mertuanya yang sangat
tercukupi. Namun, Aas tidak ingin selalu menggantungkan hidup keluarganya
kepada ibu mertua. Bahkan pernah pula Aas terpaksa meminjam uang kepada ibu
mertua untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit.
25
Namun, kekesalannya pun bertambah ketika ia menerima uang pinjaman
tersebut, Ibu Mertua memberikannya dengan sikap dan perkataan yang sangat
menyakiti hati Aas. Ibu Mertuanya berkata, “Nu matak kudu apik kana duit teh.
Ulah dimonyah-monyah. Kudu boga teuteundeunan keur sakalieun budak gering
atawa aya karerepet. Kudu diajar prihatin ari hayang hidup senang mah”. Ibu
mertuanya secara tidak langsung menuduh Aas selalu menghambur-hamburkan uang
pemberian suaminya. Kemudian Ibu Mertuanya menyalahkan Aas yang tidak pernah
menabung untuk keperluan yang mendesak. Sikap seperti itu, tidak dapat diterima
oleh Aas. Hal itu disebakan karena selama ini, untuk memenuhi keperluan sehari-
hari saja sangat sulit sehingga menabung pun ia tidak mampu.. Hal itu semakin
menambah kebencian Aas kepada Ibu mertuanya, yang terungkap pada data berikut:
3) Sereset, asa aya nu ngagerihan kana hate. Teuing ku peurih. Mun seug ngagugu kana napsu mah. Ku hayang malikeun deui duitna. Jeun teuing budak teu ka dokter oge. Keun wae . Malar Kang Gugum eungeuh. Ngarah mitoha nyaksian. Mun seug budak nepi ka gering parna tawa nepi ka heunteuna. Tapi kanyaah ka anak. kanyaah nu tangwangenan, teu karasa bet meruhkeun kanyeri. Nyingraykeun kapeurih, tumarima kana kaayaan sadaya-daya. (TAAN; 6)
Serasa teriris hati hati ini. Begitu pedihnya hatiku. Kalau saja mengikuti amarah. Ingin kukembalikan uang itu. Biarkan saja tidak pergi ke dokter. Agar Kang Gugum tahu, supaya mertua jadi maklum. Kalau saja anaku sampai sakit parah. Tapi sayangku kepada anak, tak terasa menepiskan rasa sakit, kuterima segala kondisi dengan pasrah.
26
Pada data no.3, tergambar kondisi batin Aas yang dilandasi kebencian kepada
Ibu Mertua, hal itu dilatarbelakangi karena Ibu Mertuanya yang selalu menyalahkan
dirinya. Ia berkata, “Sereset, asa aya nu ngagerihan kana hate. Teuing ku peurih.
Mun seug ngagugu kana napsu mah. Ku hayang malikeun deui duitna”. Hampir saja
ia mengembalikan uang pinjaman tersebut dan mengurungkan niatnya untuk
membawa anaknya berobat ke dokter, akibat amarah dan kekesalannya sudah
memuncak terhadap kerewelan Ibu Mertua. Ia kemudian berkata, “Tapi kanyaah ka
anak. kanyaah nu tangwangenan, teu karasa bet meruhkeun kanyeri. Nyingraykeun
kapeurih, tumarima kana kaayaan sadaya-daya”. Namun, demi rasa cinta kepada
anaknya yang begitu besar, kepedihan itu akhirnya sirna. Aas hanya bisa pasrah
dengan kondisi yang ia alami. Dia senantiasa berusaha untuk selalu bersabar
menghadapi cobaan tersebut.
Bukan hanya itu saja, hal lain yang menyebabkan kebencian Aas kepada
Ibu Mertuanya tergambar pula ketika Aas dikirimi uang oleh orang tuanya,
kemudian ia membelanjakan uang tersebut dengan membeli pakaian untuk dirinya
beserta anaknya, ia sangat sedih mendengar komentar yang kurang baik dari ibu
mertuanya. Hal itu tergambar pada data berikut;
4) “Kolot mah ngirim teh tangtuna ge lain keur nu hurung-herang ka luar, barina ge keur nanahaonan geus boga salaki mah make jeung hayang katangar ku nu sejen. Engke deui mah, mun aya duit kiriman teh, heg tabanaskeun, ngarah sakalina aya kaperluan penting, teu kudu kokotetengan.”
27
Najan hate mah nyesek hayang nempas, tapi teu ieuh digugu. Asa kateuteuari, keun wae rumasa ukur milu ka salaki.(TAAN; 8)”
“Orang tua mengirim; uang, bukan untuk dihamburkan, untuk apa punya suami bila hanya untuk diperhatikan. Nanti bila ada uang kiriman lagi lebih baik ditabungkan, bila ada keperluan penting, tidak perlu mencari kesana-kemari.”Walau dalam hatiku penuh amarah ingin memotong omongannya,tapi tak sampai kuturuti emosi. Sangat keterlaluan apabila seperti itu, aku maklum hidup hanya mengikuti suami.
Berdasarkan data no.4, tergambar ungkapan Ibu Mertua setelah Aas
mendapat kiriman dari orang tuanya, Ibu Mertua berkata, “Kolot mah ngirim teh
tangtuna ge lain keur nu hurung-herang ka luar, barina ge keur nanahaonan geus
boga salaki mah make jeung hayang katangar ku nu sejen”. Dalam pandangan Aas,
nasehat ibu mertuanya merupakan sindiran yang menyakitkan bagi dirinya.
Menurutnya, dengan membeli pakaian-pakaian tersebut Aas dianggap ingin
menyombongkan diri dan keluarganya kepada orang lain, apalagi Aas adalah wanita
yang sudah bersuami. Ibu Mertuanya menambahkan, “Engke deui mah, mun aya
duit kiriman teh, heg tabanaskeun, ngarah sakalina aya kaperluan penting, teu kudu
kokotetengan”. Menurutnya, seharusnya Aas menabung untuk keperluan penting
lainnya dan tidak menghamburkan uang untuk keperluan yang semestinya tidak
penting.
Namun, ia berkata, “Najan hate mah nyesek hayang nempas, tapi teu ieuh
digugu. Asa kateuteuari, keun wae rumasa ukur milu ka salaki”. Aas senantiasa
bersabar menghadapinya dan selalu berusaha untuk tidak terpancing emosinya. Ia
28
menyadari dan menerimanya dengan pasrah dengan alasan bahwa ia tidak punya
kekuatan apa-apa selain berlindung kepada suaminya.
3.2.1.2 Pilih Kasih Ibu Mertua Kepada Menantu Sebagai Penyebab Rasa Iri
Pilih kasih Ibu Mertua kepada Aas juga merupakan salah satu penyebab
konflik batin yang dialami Aas. Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, kondisi
ekonomi keluarga Aas yang lemah selalu dijadikan alasan kerewelan Ibu Mertua
kepadanya. Kondisi keluarga Aas beserta suaminya yang hidup kekurangan, selalu
dibanding-bandingkan dengan keadaan Nonon yang berkecukupan, kenyataan
tersebut sangatlah berpengaruh terhadap jiwa Aas. Hal ini menambah konflik batin
karena kekecewaan, dan sakit hati yang dialami tokoh utama akibat perlakuan Ibu
Mertua. Hal itu terungkap pada data berikut :
5) Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit, bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang. Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot (TAAN; 6)
Lihat Nonon. Walaupun dia anak manja, tapi karena mengurus uang dengan baik, bisa mendukung pekerjaan suami, hidupnya senang. Punya rumah, punya mobil, bisa memberi kepada orang tua.”
Berdasarkan data no.6, tergambar bentuk sikap Ibu Mertua yang pilih kasih
dalam memberikan perlakuan. Hal itu terungkap ketika Ibu Mertua berkata,
“Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit,
29
bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang”. Ungkapan tersebut
menunjukan bahwa, Ibu Mertua menganggap Aas seharusnya bercermin pada
Nonon. Menurutnya, Nonon pandai berhemat dan dan cermat dalam membelanjakan
uang sehingga hal itu mampu mendukung suaminya dalam mencari nafkah. Sikap
tersebut tentunya sangat menganggu perasaan Aas, apalagi Ibu Mertuanya
menambahkan perkataan yang dirasakan Aas sangat menyakitkan. Ibu Metuanya
berkata, “Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot”. Bagi Aas, hal itu merupakan
sindiran baginya, Ibu Mertuanya lebih senang menyombongkan keadaan keluarga
Nonon yang mempunyai mobil pribadi dan hidup berkecukupan. Berbeda dengan
Aas yang tidak mempunyai rumah, ia dan keluarganya bahkan harus menumpang di
rumah Ibu Mertua, serta yang tak kalah menyakitkan adalah sindiran bahwa Aas
tidak pernah memberi kepada Ibu Mertua.
Dengan kata lain, Aas merasa selalu dianaktirikan oleh ibu mertuanya,
kehidupan Nonon beserta keluarganya selalu mendapat pujian ketimbang keluarga
Aas. Seperti yang tercermin dalam ungkapan berikut:
6) “...Ngan sok ras inget, mun seug Nonon nembongkeun pakean anyar, mitoha sok gancang nyalukan, nitah nitenan alus-henteuna. Bahanna ge ieu mah istimewa, nya As? Warnana ge aya ku lucu kieu. Teu panasaran hargana lima puluh rebu ge, da moal aya duana. Jeung deui, barangna ge apan ti Paris. Bisa, lah Nonon mah milih nu alus teh.” (TAAN; 8)
“…Bila saja teringat , apabila Nonon memperlihatkan pakaian baru, (Ibu )mertua cepat-cepat memanggil, menyuruhku melihat-lihat bagus-tidaknya.
30
Bahannya juga istimewa, ya As? Warnanya pun sangat lucu. Tidak akan penasaran meskipun harganya lima puluh ribu, tiada duanya. Dan lagi, barangnya pun dari Paris. Nonon bisa memilih barang yang bagus. “
Pada data di atas, Aas merasakan Ibu Mertuanya tidak memperlakukan Aas
dan Nonon secara adil. Pada peristiwa sebelumnya seperti yang terungkap pada data
no 4, saat Aas membelanjakan uang pemberian orang tuanya untuk keperluan
membeli pakaian Aas dan anak-anaknya, Ibu Mertuanya sangat tidak setuju dengan
apa yang ia lakukan, dan ungkapannya tersebut sungguh menyakiti perasaan Aas.
Namun, hal itu sangat bertolak belakang dengan sikapnya ketika Nonon membeli
pakaian-pakaian bagus dan mahal, dia mendapat pujian yang sangat berlebihan dari
Ibu Mertua. Ia berkata kepada Aas, “Bahanna ge ieu mah istimewa, nya As?
Warnana ge aya ku lucu kieu. Teu panasaran hargana lima puluh rebu ge, da moal
aya duana. Jeung deui, barangna ge apan ti Paris. Bisa, lah Nonon mah milih nu
alus teh”. Ia memuji Nonon karena harganya yang mahal. Menurut Aas, sikap itu
merupakan sindiran kepada Aas karena keadaan keluarganya yang serba kekurangan
secara ekonomi. Kemudian, sikap pilih kasih Ibu Mertua diperlihatkan saat memuji
Nonon karena pandai memilih pakaian yang bagus, bagi Aas hal tersebut merupakan
sebuah ungkapan yang bernada sindiran, bahwa Aas tidak pandai memilih pakaian
yang bagus dan terkesan memiliki selera rendah dalam memilih pakaian. Terlebih
lagi, Ibu Mertua sengaja memperlihatkan sikap tersebut dihadapan Aas.
31
3.2.1.3 Kurangnya Sikap Terbuka Kepada Suami sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama
Dalam usahanya menjadi istri yang berbakti kepada suami, Aas menyadari
kekurangannya, bahwa ia tidak bersikap terbuka dalam menghadapi permasalahan
yang ia hadapi kepada Kang Gugum. Aas diliputi rasa takut yang berlebihan,
ketakutan akan sikap suami yang berubah negatif kepada tokoh utama. Sehingga ia
selalu mengurungkan niatnya untuk mengadukan hal ini kepada suaminya, dan
mencoba menghadapinya dengan sabar. Hal tersebut tergambar pada data berikut;
7) Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung kaceuceub mitoha ka kuring. Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha. ( TAAN: 8 )
Apabila sikap mitoha berlebihan, terkadang timbul kenekadan. Ingin menceritakan sebenarnya kebencian ibu mertua kepadaku. Tapi ketika dipikir secara mendalam, tentu akan berakibat jelek. Takut Kang Gugum tidak percaya, takut Kang Gugum berbalik membenciku karena terpengaruh oleh perkataan (Ibu) mertua.
Berdasarkan data pada no.7, rasa frustasi akan tekanan yang menimpanya
terkadang menimbulkan keinginan Aas untuk menceritakannya kepada Kang
Gugum. Hal itu tergambar pada ungkapan Aas, “Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok
jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung
kaceuceub mitoha ka kuring”. Aas ingin menceritakan bagaimana sikapIbu Mertua
seakan-akan begitu membencinya dan Aas sangat sedih akan hal itu. Namun, niatnya
32
tersebut selalu urung dilakukan karena tentunya ia khawatir akan berakibat yang
buruk bagi dirinya. ”Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun
Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran
kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha”. Ungkapan tersebut menggambarkan
kekhawatiran Aas, bahwa Kang Gugum akan berbalik membencinya, karena tidak
mempercayai apa yang dikatakan Aas tersebut, dan Aas berpendapat bahwa Kang
Gugum tentunya akan lebih mudah dipengaruhi Ibu Mertua dibanding mempercayai
dirinya.
Namun, kesabaran Aas pun ada batasnya, pada akhirnya ia membicarakan
hal tersebut kepada suaminya, tentunya dengan cara yang halus karena masih di
bayangi kekhawtiran suaminya akan berbalik membencinya. Aas mengusulkan
kepada suaminya untuk hidup berpisah dari mertuanya, ia ingin terlepas dari semua
beban yang dirasakan, hanya saja ia tidak berterus terang akan kenyataan yang di
alaminya, tentang sikap ibunya terhadap diri Aas. Ia takut apabila berterus terang
akan menyakiti hatinya dan suminya tidak akan mempercayainya. Hal itu tergambar
pada data berikut;
8) “Abdi mah... hoyong ngalih.”Kang Gugum olohok sajongjonan.“Ngalih ka mana?”“Ka mana we.”“Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”
33
Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...“Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah.” (TAAN; 14)
“Aku... ingin pindah.”Kang Gugum terbengong“Pindah kemana?”“Kemana saja.”“Memangnya disini kenapa? Walaupun hidup bersama Ibu pun, kita tetap pisah, di pavilyun. Belanja pun tak menyusahkan Ibu. Atau...Aas merasakan sesuatu yang tidak enak dari Ibu?”Kepala (ku) menggeleng, walaupun dalam hati ingin teriak. Iya, kang! Iya, memang seperti itu... “Agar tidak keenakan, Kang. Kalau kita terus-terusan di sini, aku takut dianggap tidak mendukung usaha Akang. Takut dianggap aku hanya ingin senangnya saja, tidak lepas dari Ibu. Dan lagi kalau kita bisa keluar dari sini, walaupun hanya mengontrak rumah, Ibu pun pasti akan merasa senang.”
Pada data no. 8, tergambar bagaimana Aas mengalami konflik batin yang
memuncak ketika mengutarakan keinginannya untuk berpisah dari rumah Ibu
Mertua. Kemudian, Kang Gugum merasa heran dengan permintaan Aas tersebut.
Kang Gugum bertanya kepada Aas, “Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung
ibu ge, apan urang mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu.
Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”. Kang Gugum merasa heran, ia merasakan
kejanggalan dengan keinginan Aas tersebut, ia curiga bahwa tentunya ada
permasalahan yang melatar-belakangi keinginan istrinya tersebut. Walaupun ia dan
34
Aas menumpang hidup dirumah ibunya, dirasakan olehnya tidak pernah
menyusahkan Ibu Meruanya, bahkan untuk uang belanjapun Gugum bersama
keluarganya tidak pernah membebani Ibunya. Gugum curiga bahwa Aas
mendapatkan perlakuan yang kurang pantas dari ibunya.
Kekhawatiran kembali melanda Aas waktu itu. Namun, Aas berusaha
untuk tidak memperlihatkan kesedihan dihadapan suaminya. Ungkapan hati Aas
tergambar melalui, “Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang!
Muhun, kitu pisan. ...”. Aas menampik semua kecurigaan suaminya dan ia berdalih
bahwa keinginanya untuk pindah justru agar tidak membebani Ibu Mertuanya. Aas
berkata, “Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka
abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap
abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa
kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah .
Menurut Aas, ia ingin hidup mandiri dan bisa membantu usaha suaminya dalam
mencari nafkah. Walaupun hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang
dihadapinya, ia tidak ingin dianggap bahagia diatas penderitaan suaminya. Kondisi
bati Aas sungguh tersiksa dan merasa menyesal tidak menceritakan kenyataan yang
sebenarrnya.
Aas berusaha untuk tidak terpancing oleh amarah, dan cukup berjiwa besar
menutupi masalah ini, hal itu dilakukannya semata-mata untuk kebaikan dirinya
35
beserta keluarganya dan tidak ingin menyakiti perasaan suaminnya, sikap Aas
tersebut membuktikan kecintaanya yang begitu besar kepada Kang Gugum,
suaminya. Walaupun Aas hanya bisa menyimpan kesedihan di dalam hatinya, ia
menyadari hanya dengan bersikap sabar ia mampu meyelesaikan permasalahn ini
tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar. Ia tidak ingin konfliknya dengan Ibu
Mertua sebagai pemicu keretakan keluarga. Hal itu tergambar pula pada data
berikut;
9) Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha? Gusti, mugi-mugi nu sanes mah ulah dugi ka terang, naon nu karandapan ku abdi. Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub. (TAAN; 19)
Melihat kenyataanya, siapa yang menyangka, bahwa kepindahanku karena sudah tidak kuat hidup bersama mertua? Ya Tuhan, semoga saja orang lain tidak tahu, apa yang aku alami. Semoga mertuaku menyadari, kalau aku masih tetap menyayanginya. Berpisah bukan berarti tidak ingin berbakti atau benci, tapi ingin menjauhkan segala betuk percekcokan. Agar hatiku terbebas dari rasa sakit dan pedih, yang akan mendatangkan rasa benci.
Pada data no.9, Aas sudah tidak kuat menghadapi permasalahan ini, dan
tiada jalan lain baginya, ia beserta keluarganya harus pindah dari rumah Ibu Mertua.
Ungkapan hati Aas tergambar pada; “Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh,
yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha?”. Kemudian, ia tidak
henti-hentinya selalu pasrah dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar
36
permasalahan ini tidak sampai terungkap kepada orang lain yang dapat menimbulkan
permasalahan yang lebih besar. Aas berharap semoga Yang Maha Kuasa
membukakan pintu kesadaran bagi Ibu Mertuanya, walaupun apa yang dialami Aas
begitu menyedihkan, tentunya hal itu tidak menyurutkan rasa cinta Aas kepada Ibu
mertuanya. Hal itu ditegaskan Aas melalui ungkapan, “Mugi-mugi mitoha abdi
sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong
ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar
hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub”.
Keinginanya untuk berpisah dari Ibu Mertua bukan sebagai sikap yang
mencerminkan tidak berbakti kepadanya, namun itu dilakukanya demi menghindari
percekcokan di antara mereka, dan rasa kepedihan yang semakin menambah rasa
benci karena permusuhan. Aas menginginkan kemandirian tanpa harus
menggantungkan hidup kepada orang tua, walaupun pada kenyataanya Ibu Mertua
berbuat kurang baik terhadapnya, ia tetap menyayanginya dan Aas menghargainya
sebagai seorang sosok yang harus tetap ia hormati.
3.2.1.4 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Menghadapi Tantangan Menjadi Wanita Modern
Aas menggeluti lagi dunia model yang sejak SMU ia tinggalkan, bersama
sahabatnya, Fika, penghasilannya digunakan untuk membantu Kang Gugum
membiayai rumah kontrakannya. Penghasilannya dari pekerjaan tersebut, ternyata
37
mampu mengatasi permasalahan yang ia hadapi. Pada akhirnya ia mampu
melepaskan diri dari tekanan Ibu Mertua.
Namun, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Aas, tidak hanya itu saja.
Permasalahan baru muncul, ketika Aas mendapat tawaran bermain film dari seorang
Produser, lewat Fika. Tawaran Fika tersebut memunculkan beban pikiran untuk Aas.
Hal tersebut tergambar pada data berikut;
10) “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang. Ngan apan Fika ge nyaho sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya persetujuan ti Kang Gugum.”(TAAN: 22 )
Susah untuk menjawabnya, harus bagaimana, Fik. Mau sih tentu, masak sih tidak. Hanya saja Fika pun tahu sendiri, di rumah begitu repotnya, banyak urusan. Dan lagi yang yag paling utama adalah harus ada persetujuan dari Kang Gugum.”
Pada data no.10, terungkap bahwa Aas sebenarnya sangat menginginkan
pekerjaan itu, kesempatan besar itu tak ingin dilewatkan begitu saja olehnya. Aas
berkata, “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu
hayang”. Kemudian, pergulatan batin antara dua pilihan kembali dialami Aas,
karena ia tidak sanggup meninggalkan tanggung jawabnya dalam mengurusi rumah
tangganya. Hal itu ditunjukan Aas dengan perkataan, “Ngan apan Fika ge nyaho
sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah
kudu aya persetujuan ti Kang Gugum”. Sebagai bentuk pengabdian kepada suami,
tanggung jawabnya di rumah adalah mengurusi rumah tangga, dan ada hal yang
38
lebih penting lainnya, keputusannya takut melangkahi wewenang Kang Gugum.
Akan tetapi, Fika tetap berusaha untuk mengajak Aas untuk tidak melewatkan
kesempatan ini. Hal ini tercermin pada data berikut;
11) “As. Ibu rumah tangga, lain hartina kudu cicing di imah ngurus anak jeung salaki. Ayeuna mah usum wanita karier, As. Meureun Aas ge nyaho sorangan, loba pagawe nagri, dokter, insinyur, sarjana hukum, anu geus digarawe, oge ibu rumah tangga. Karier di luar, jeung kawajiban di jero, teu burung ka garap. Nu penting mah asal bisa ngabagi waktu.” (TAAN; 23)
”As. Ibu rumah tangga , bukan berati harus berdiam di rumah mengurusi anak dan suami. Sekarang sedang musim wanita karier, As. Mungkin juga Aas tahu sendiri, banyak pegawai negeri, dokter, insinyur, sarjana hukum, yang sudah bekerja juga ibu rumah tangga. Karier di luar dan kewajiban di dalam, bisa terselesaikan. Yang terpenting dapat membagi waktu”…
Pada data tersebut, Fika tetap memberikan keyakinan kepada Aas tentang
peranan ibu rumah tangga yang tidak harus selalu berdiam di rumah. Fika berkata,
“As. Ibu rumah tangga, lain hartina kudu cicing di imah ngurus anak jeung salaki.
Ayeuna mah usum wanita karier”. Ia meyakinkan Aas, tugas wanita tidak hanya
berdiam di rumah mengurusi suami dan anak. Namun, mereka pun mempunyai
kesempatan untuk meniti karier di luar rumah. Fika menegaskan pula tentang peran
wanita modern yang harus selalu peka dengan kemajuan jaman, ia berkata,
“Meureun Aas ge nyaho sorangan, loba pagawe nagri, dokter, insinyur, sarjana
hukum, anu geus digarawe, oge ibu rumah tangga. Karier di luar, jeung kawajiban
di jero, teu burung ka garap. Nu penting mah asal bisa ngabagi waktu”.
39
Menurutnya, wanita harus memiliki persamaan dan kesetaraan dalam posisi pada
setiap pekerjaan. Setiap wanita berhak untuk berkarier tanpa melepaskan tanggung
jawab mereka dalam mengurusi rumah tangga, hal itu bisa dilakukan apabila setiap
wanita karier tersebut terampil dalam membagi waktu.
Perkataan Fika tersebut membuat hati Aas semakin bimbang. Apalagi
kesempatan menjadi bintang film sangatlah sulit untuk diraih bagi sebagian orang.
Sedangkan kini, di hadapannya kesempatan untuk menjadi jutawan dan orang
terkenal tinggal selangkah lagi untuknya. Hal itu tergambar pada data berikut;
12) Basa Fika mulang, nyupiran sedan beureum ninggalkeun pakaranga imah, kuring neuteup bari pikiran mah ngawangwang ka hareup. Kacipta lamun geus kawentar jadi bentang pilem, honorarium jutaan, bisa kabeuli imah jeung sedan…bisa mapakan Nonon, bisa nembongkeun kaboga ka mitoha, ngarah teu wani barang geureuh deui. (TAAN: 23)
Ketika Fika pulang, mengendarai sedan merah meninggalkan pekarangan rumah, kutatap sambil pikiran tetap membayangkan ke depan. Terbayang kalau sudah jadi bintang film terkenal, honorarium jutaan, mampu membeli rumah dan sedan, mampu setar dengan Nonon, memperlihatkan segala yang aku punya kepada mertua, agar tidak lagi berani untuk meminta ini-itu.
Pada data di atas, tergambar perasaan Aas yang berangan-angan menjadi
bintang film terkenal. Ia ingin sukses seperti Fika, kehidupan mapan dan sosok
wanita modern yang berwawasan luas. Hal itu tergambar melalui ungkapan Aas,
“Basa Fika mulang, nyupiran sedan beureum ninggalkeun pakaranga imah, kuring
neuteup bari pikiran mah ngawangwang ka hareup”. Kemudian, pada kenyataanya
40
Aas tertarik dengan apa yang Fika tawarkan. Hal itu terlihat pada ungkapan Aas,
“Kacipta lamun geus kawentar jadi bentang pilem, honorarium jutaan, bisa kabeuli
imah jeung sedan…bisa mapakan Nonon, bisa nembongkeun kaboga ka mitoha,
ngarah teu wani barang geureuh deui “. Menjadi bintang film yang berpenghasilan
cukup besar akan membantunnya melewati kesengsaraan, pikir Aas. Dia
menginginkan mobil seperti Fika, dan tentunya mampu memiliki rumah sendiri
seperti dambaanya sejak dulu. Namun, bayangan kepedihan karena perilaku Ibu
Mertua masih melekat di benak Aas. Hal itulah, yang mendorong Aas menerima
Tawaran Fika. Aas ingin dihargai oleh Ibu Mertua layaknya Nonon. Ia pun ingin
membuktikan kepada Ibu Mertuanya bahwa dirinya mampu melewati kesengsaraan
ini. Dan Aas berharap, hal itu akan membuat Ibu Mertuanya tidak akan rewel lagi
kepadanya. Ungkapan Aas ini memperlihatkan adanya motif rasa dendam yang
dialami olehnya. Akan tetapi, hal ini sangat sulit bagi Aas dalam mewujudkannya.
Karena ia masih bimbang, keputusannya takut melampaui wewenang Kang Gugum,
suaminya. Aas khawatir kepercayaan suaminya akan pudar apabila ia meninggalkan
tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga.
3.2.1.5 Kekhawatiran Akan Kehilangan Harta Warisan Keluarga Sebagai Penyebab Konflik antara Ibu Mertua dan Tokoh Utama
Sebelum konflik tersebut teratasi, ternyata Aas mengetahui kenyataan yang
sebenarnya tentang perihal keluarga suaminya, suatu alasan yang melatarbelakangi
41
sikap Ibu mertua pada dirinya. Hal tersebut, tergambar pada dialog Kang yayan
dengan Aas, pada kutipan data berikut ;
13) Kieu nya, As. Saenyana mah Kang Gugum teh lain anak Ibu, oge lain anak Bapa...”
Basa bapa rek nikah ka Ibu, boh bapa boh Ibu pada boga budak. Akang budak bawa bapa, ari Nonon budak bawa ti Ibu. Kang Gugum mah budak rayina bapa. Harita Kang Gugum teh orok keneh, basa Ibu sareng apana cilaka, lantaran mobilna tabrakan jeung treuk.”
(TAAN; 28)
Sebenarnya Kang Gugum bukanlah anak Ibu, juga bukan anak Bapa....”Ketika bapa akan menikah dengan Ibu. Baik Bapa maupun Ibu masing-masing mempunyai anak. Akang anak yang dibawa Bapa, sedangkan Nonon anak yang dibawa Ibu. Kang Gugum Anak adiknya Bapa. Ketika itu Kang Gugum masih bayi, Ibu dan Bapaknya meninggal karena kecelakaan, lantaran mobilnya bertabrakan dengan truk.”
Berdasarkan kutipan data no.13, Aas mengetahui kondisi yang sebenarnya
tentang keluarga Gugum. Ternyata suaminya bukan anak kandung mertuanya. Ia
merupakan anak angkat dari saudara kandung mertuanya, yang meninggal karena
kecelakaan. Sedangkan Nonon dan Kang Yayan masing-masing adalah saudara tiri.
Nonon adalah anak yang dibawa oleh Ibu Mertua, sedangkan Kang Yayan adalah
anak yang dibawa Bapak Mertua Aas. Hal itulah, yang mendasari sikap Ibu Mertua
dalam memanjakan Nonon. Ia sangat di anak-emaskan oleh ibunya, hal itu sangat
bertolak belakang dengan sikapnya terhadap Aas dan Kang Gugum. Kemudian Kang
Yayan menjelaskan kepada Aas tentang alasan yang melatar-belakangi sikap Ibu
Mertua kepada Aas. Hal ini tergambar pada data sebagai berikut;
42
14) “Sanajan Kang Gugum diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah nu boga sahamna bapa Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat warisanana, anu memang hak Kang Gugum. (TAAN; 30)
“Walaupun Kang Gugum diurus oleh Bapa, tapi tak pernah menyusahkan. Karena kekayaan Bapa, didalamnya kebanyakan dimiliki oleh ayahnya Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu ketakutan. Takut Kang Gugum terpengaruh oleh Aas, menggugat warisannya, yang memang merupakan hak Kang Gugum.”
Berdasarkan data no.14, kenyatan tersebut membuka tabir rahasia yang
selama ini belum terungkap. Kang Yayan menjelaskan pula perihal keluarga Kang
Gugum yang belum Aas ketahui. Kang Yayan berkata, “Sanajan Kang Gugum
diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah
nu boga sahamna bapa Kang Gugum”. Aas mengetahui bahwa ternyata kekayaan
yang dimiliki mertuanya sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ditambahkan
pula, terdapat hal penting yang diketahui Aas dari penuturan Kang Yayan, “Bisa
jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat
warisannana, anu memang hak Kang Gugum” Ternyata menurut penuturan Kang
Yayan, Ibu Mertuanya merasa ketakutan akan kehilangan sebagian hartanya tersebut.
Kemudian, sikap kurang baik yang dari Ibu Mertua yang ditujukan kepada Aas
didasari oleh ketakutannya terhadap Aas yang akan mempengaruhi Gugum, agar
menggugat kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya.
43
3.2.2 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Trong Kohkol
3.2.2.1 Ketakutan Istri Tokoh Utama Karena Kondisi Lingkungan Yang Tidak Aman
Dalam cerpen yang kedua ini, banyak mengungkapkan problematika
keluarga yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggal tokoh utama
beserta istrinya. Permasalahan kemudian timbul ketika lingkungan di sekitar tempat
tinggal mereka mulai tidak aman. Karena sering terjadi pencurian dan perampokan
di lingkungan yang baru mereka huni, mengakibatkan istri tokoh utama mengalami
ketakutan yang berlebihan. Permasalahan tersebut, kemudian menciptakan kondisi
yang tidak nyaman bagi keluarga mereka, hal tersebut tercermin pada data berikut:
15) Pindah ka imah anyar teh estuning dibarung ku rasa keueng. Kumaha teu rek kitu, sasarina biasa di imah leutik tur gegek pangeusina, ari ayeuna nyicingan imah nu ublug ablag, tur rada neggang ti nu lian. Dieusian ku tiluan : kuring, pamajikan, jeung adi lalaki- mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat hiji.Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan. (TK; 34) Pindah ke rumah baru dibarengi dengan penuh rasa ketakutan. Bagaimana tidak, biasanya sehari-hari dirumah yang kecil dan sesak penuh dengan penghuninya, sedangkan sekarang menghuni rumah besar, dan agak berjauhan dari (rumah) lainnya. Diisi hanya bertiga; aku, istriku, dan adik lelaki, mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat satu. Yang merasa sangat ketakutan adalah istriku. Baru saja dua hari, sudah mendengar kabar ada rumah yang disatroni perampok. Terlebih lagi tepat di barisan rumahku, terpisah oleh tiga rumah.
44
Berdasarkan data no 15, terungkap penyebab gangguan terhadap tokoh
utama beserta istrinya. “Pindah ka imah anyar teh estuning dibarung ku rasa
keueng”. Mereka sulit beradaptasi dengan rumah baru apalagi mereka mendiami
lingkungan yang kurang menguntungkan bagi mereka. “Kumaha teu rek kitu,
sasarina biasa di imah leutik tur gegek pangeusina, ari ayeuna nyicingan imah nu
ublug ablag, tur rada neggang ti nu lian. Dieusian ku tiluan : kuring, pamajikan,
jeung adi lalaki- mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat hiji. Mereka belum terbiasa
dengan rumah yang agak besar, dan hanya dihuni oleh tiga orang; tokoh utama dan
istrinya, serta adik lelakinya yang masih kuliah. Jarak rumah mereka dengan rumah
lainnya di Komplek Perumahan tersebut agak berjauhan satu sama lain. Kemudian
tergambar kondisi batin istri tokoh utama karena kondisi tersebut, “Nu soak mah
pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong.
Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan”.
Permasalahan kemudian timbul, ketika istri tokoh utama mulai dilanda rasa
ketakutan karena dua hari sebelumnya mendengar kabar tetangga mereka disatroni
perampok. Peristiwa itu pun terjadi tidak jauh dari kediaman mereka. Kejadian
tersebut tentu saja membuat istri tokoh utama semakin khawatir akan keselamatan
dirinya beserta. Hingga pada akhirnya kekhawatirannya berubah menjadi rasa
ketakutan yang berlebihan. Hal itu tergambar pada data berikut :
45
16) Unggal peuting pamajikan mah tara tibra sare. Unggal aya nu di sada , geuwat ngageuingkeun kuring.“Kang... aya nu kekeresekan.”“Lah, paling ge beurit,” walon teh bari murungkut ku simut.“Siga nu keur nyokel jandela.”“”Keun bae. Jandela na ge apan geus make tralis.”“Tingali heula atuh.”“Tunduh. Geuingkeun we, Jajang.”. (TK; 3; 34)
Setiap malam istriku tak pernah nyenyak tidurnya. Setiap ada yang bersuara, cepat-cepat membangunkanku“Kang... ada suara aneh.”“Paling juga tikus”“Seperti yang sedang mencongkel jendela.”“Biarkan saja toh jendela kita sudah memakai tralis.”“Periksa dulu.”“Ngantuk. Bangunkan saja Jajang.”
Berdasarkan data no.16, kondisi tersebut sangat mengaggu batin istri tokoh
utama, hal itu tergambar melalui ungkapan tokoh utama, Unggal peuting pamajikan
mah tara tibra sare. Unggal aya nu di sada , geuwat ngageuingkeun kuring. Hal
tersebut menggambarkan perilaku istri tokoh utama yang setiap malam tak pernah
tidur pulas, setiap mendengar hal yang mencurigakan ia kerap kali membangunkan
suaminya. Ia khawatir rumah mereka disatroni perampok seperti yang dialami
tetangga mereka. Keadaan tersebut membuat tokoh utama merasa jengkel, ia tidak
memperdulikan keadaan istrinya yang ketakutan setiap malam. Untuk menenangkan
hati istrinya, ia menjamin bahwa rumah mereka akan aman karena setiap jendela
telah dipasangi tralis, ia pun menganjurkan kepada istrinya untuk meminta agar
adiknya, Jajang, lebih waspada pada setiap hal yang mencurigakan. Namun, tidak
46
hanya itu saja yang mengganggu tokoh utama, ketakutan istrinya dipengaruhi juga
oleh pemberitaan media masa yang sedang ramai memberitakan kejadian pencurian
dan perampokan. Hal tersebut terungkap pada data berikut :
17) “Tong ngantor wae atuh Kang,” Pokna bari ngadaregdeg, beungeutna rada pias.“Ku naon kitu?”“Aos geura ieu,” bari nunjuk berita dina koran. “Aya garong nu ngajorag imah randa pabeubeurang, ngaringkid perhiasan bari jeung naranjangan.” (TK; `14; 35)
“Jangan ngantor terus dong Kang,” Ucapnya sambil ketakutan, mukanya pucat.“Memangnya kenapa?“Coba baca,” sambil menunjukan berita dalam koran “ Ada perampok yang mendatangi rumah seorang janda, mengambil perhiasan lalu terus ditelanjangi.
Berdasarkan data di atas, ketakutan istri tokoh utama diakibatkan karena
kekhawatiran dirinya mengalami hal yang serupa dengan pemberitaan di media
masa. Isi berita menyajikan mengenai peristiwa perampokan yang dialami seorang
janda, korban ditelanjangi oleh para perampok, kemudian perhiasannya diambil
secara paksa. Dengan muka pucat dan penuh ketakutan, istrinya memperlihatkan
berita tersebut kepada suaminya. Ia berkata,“Tong ngantor wae atuh Kang,” Pokna
bari ngadaregdeg, beungeutna rada pias. Ia meminta agar suaminya tidak selalu
meninggalkan dirinya sendirian, ia berharap suaminya selalu ada dirumah dan tidak
pergi ke kantor.
47
3.2.2.2 Ketidak-hadiran Anak sebagai Pemicu Konflik Tokoh Utama dan Istrinya
Kondisi kejiwaan yang dicekam ketakutan karena banyak terjadinya
pencurian dan perampokan di lingkungan tempat tinggal mereka, mengakibatkan
prasangka dan pertengkaran antara tokoh utama dengan istrinya. Hilangnya
kepercayaan antara suami istri, menjurus kepada permasalahan tentang ketidak-
hadiran seorang anak diantara mereka. Hal tersebut terungkap pada data berikut;
18) Wayahna. Engke ge, mun nu ti lembur datang, moal keueung teuing. Bongan can diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh.His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh.Nu sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg.”Enya na salah saha atuh?”Eta raraosan akang kumaha?”Rumasa akang teu kawas batur.”Ceuk abdi ge parios ka dokter, saha nu...”Geus ah. Beurang manten!” (TK; 21; 35)
Bersabarlah. Nanti juga, kalau keluarga dari kampung datang, tidak merasa khawatir lagi.Ya karena kita belum dikaruniai anak, jadi tidak ada tameng apabila berkelahi.His! Kenapa menyalahkan Akang. Tidak punya anak bukan soal kuat dan kalah, yang jelas kita belum dikaruniai oleh Allah.Orang lain aja...tiga bulan setelah menikah sudah hamil.”ya salah siapa?”Perasaan Akang gimana?”Ya aku terima kenyataan, tidak seperti orang lain.”Aku bilang juga segera periksa ke dokter, siapa yang...”Sudah ah, kesiangan!”
48
Berdasarkan data no. 18 , istri tokoh utama beralasan bahwa ketakutannya
disebabkan karena ia selalu merasa kesepian di rumah. Ia berkata, “Bongan can
diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh”. Hal itu
menggambarkan Istri tokoh utama yang sangat mengharapkan kehadiran seorang
anak untuk mengusir kehawatirannya selama ini. Kemudian, istrinya menyalahkan
tokoh utama yang belum bisa memberikan seorang anak. Hal itu dinyatakan dengan
ungkapan tokoh utama, “His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain
soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh”. Namun,
tokoh utama tak ingin hal ini semata-mata disebabkan olehnya. Ia pun menegaskan
bahwa Tuhan belum memberikan berkah seorang anak di tengah keluarga mereka,
dan tokoh utama mengharapkan istrinya selalu sabar dalam menghadapinya.
Kemudian, Istrinya mengeluh kepada tokoh utama karena belum juga
hamil, ia membandingkan dirinya dengan wanita lain yang sudah hamil setelah tiga
bulan perkawinan mereka. Bahkan, istrinya menyarankan agar suaminya segera
memeriksakan dirinya ke dokter. Melalui penuturannya kepada tokoh utama, “Nu
sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg”. Hal tersebut,
memunculkan konflik batin bagi tokoh utama yang merasa dirinya disudutkan
karena belum mampu memberikannya seorang anak.. Kemudian, ia mengakui
bahwa dirinya berbeda dengan lelaki normal pada umumnya dan menyadari
kekurangan pada dirinya tersebut.
49
Kemudian, rasa takut pun kini di alami oleh tokoh utama. Ia enggan
menerima kenyataan akan kekurangan dirinya yang tidak mampu memberikan
seorang anak bagi istrinya. Tuntutan istrinya tersebut, sangat mengganggu kondisi
batin tokoh utama, ia sangat khawatir dengan keadaan dirinya tersebut. Hal itu dapat
di simak pada data berikut :
19) Teu nyarita deui. Lebah ngobrol soal turunan mah, bet ngadak-ngadak loba kasieun. Leuwih sieun ti nyanghareupan rampog. Enya na salah saha atuh ? Jeung naha bet sieun-sieun teuing rek dipariksa ka dokter teh? Sieun…kuring nu gabug ! (TK; 30; 36)
Tak banyak bicara lagi. Berbicara tentang anak, mendadak rasa takut menghinggap. Ketakutan melebihi ketika berhadapan dengan rampok. Salah siapa? Dan kenapa begitu takutnya ketika mau periksa ke dokter?Takut… aku yang mandul !
Bagi tokoh utama, ketakutan tersebut sangat berbeda dengan kondisi yang
melanda istrinya. Ia menggambarkan kondisi batinnya, “Teu nyarita deui. Lebah
ngobrol soal turunan mah, bet ngadak-ngadak loba kasieun. Leuwih sieun ti
nyanghareupan rampog”. Ketakutan tokoh utama lebih dipengaruhi karena ia tidak
sanggup menyanggupi tuntutan istrinya, karena itu, hingga sekarang ia dan istrinya
belum dikaruniai anak. Bahkan ketakutan akan hal tersebut melebihi ketakutannya
menghadapi gangguan para perampok. Ketakutannya digambarkan tokoh utama
dengnan ungkapan, Enya na salah saha atuh ? Jeung naha bet sieun-sieun teuing rek
dipariksa ka dokter teh? Sieun…kuring nu gabug !. Ia begitu takut untuk
50
memeriksakan dirinya ke dokter. Tokoh utama sangat khawatir kalau dirinya
ternyata terbukti mandul.
3.2.2.3 Kekhawatiran Tokoh Yang Berlebihan Karena Kondisi Keamanan Lingkungannya Tidak Kunjung Membaik
Walaupun segala usaha yang dilakukan warga mulai dari pengadaan Pos
Ronda hingga kegiatan siskamling, tetap saja pencurian dan perampokan semakin
meningkat, bahkan tak jarang para pelaku semakin nekat dengan melakukan tindak
kekerasan. Hingga akhirnya warga mulai mengusahakan penyediaan kentongan di
tiap rumah dan Pos Ronda. Hal tersebut terdapat pada data berikut :
20) Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol. Nu sejenna kudu solider, langsung nabeuh kohkol, silih bejaan. Cara kitu teh, cenah keur ngahirupkeun deui gotong royong diantara warga.
(TK; 70; 40)Tiap petugas ronda diberikan kentongan, bahkan tiap rumah harus menyiapkan kentongan. Bilamana ada hal-hal yang mencurigakan, kentongan cepat-cepat dibunyikan. Yang lain harus solider, langsung menabuh kentongan, saling memberitahukan. Katanya cara seperti itu menghidupkan kembali gotong royong diantara warga.
Dari data no.20, tergambar usaha warga yang memunculkan kembali
peranan gotong-royong, sebagai solusi dalam menghadapi permasalahan
lingkungannya yang tidak aman. “Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah
kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang
51
ditakol”. Dari gambaran tersebut, terungkap fungsi kentongan yang memang sudah
menjadi tradisi di lingkungan masyarakat pedesaan, kini dimunculkan kembali oleh
warga untuk menciptakan keamanan ditengah-tengah warga di Komplek Sindang
Kasih.
Hal tersebut tentu saja di sambut baik oleh tokoh utama beserta istrinya,
mereka bisa tidur dengan aman sejak memiliki kentongan tersebut, bahkan istrinya
menyimpan kentongan di samping tempat tidur mereka. Hal tersebut tergambar pada
data berikut:
21) Mimitina mah kohkol teh ku kuring diteundeun di luar. Tapi ku pamajikan dipindahkeun ka kamar. Ngarah reugreug, pokna teh. Diteundeun sisi ranjang, siraheun pisan.Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu dibarung ku gegebegan.
(TK:41)Tadinya kentongan tersebut olehku disimpan di luar. Tapi oleh istriku dipindahkan ke kamar. Agar tenag, katanya. Disimpan disebelah ranjang, dekat kepala.Tak tahu kenapa, setelah kehadiran kentongan istriku agak bisa nyenyak tidurnya. Bahkan sering meminta dipeluk, melepaskan kerinduan, tidak diselimuti rasa ketakutan.
Berdasarkan data pada no. 21, tergambar manfaat dari kentongan tersebut
dapat dirasakan oleh tokoh utama, “Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan
teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu
dibarung ku gegebegan” . Bahkan istrinya merasa tenang dan bahagia sejak
kehadiran kentongan tersebut ada di rumah mereka.
52
Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Perampokan justru semakin
merajalela, bahkan para perampok berani melawan ketika tertangkap oleh warga.
Hal itu akhirnya membuat istrinya kembali dicekam ketakutan. Hingga kemudian
pada suatu malam, tokoh utama terbangun karena tiba-tiba mendengar suara
kentongan yang ditabuh tepat disampingnya. Dan ia kebingungan melihat istrinya
yang melakukan hal itu dengan wajah penuh ketakutan. Hal itu tergambar pada data
berikut:
22) Hiji peuting keur genah sare, ngadak-ngadak reuwas kageuingkeun ku sora kohkol nu nitir gigireun. Gancang hudang, bari helok neuteup pamajikan keur hantem nakolan kohkol.“Aya naon?”“Garong”“Mana?”“Tuh tarurun tina Colt,” pokna bari nyingraykeun hordeng jandela kamar.
(TK; 93; 42)Suatu malam ketika sedang enak-enak tidur, aku dikagetkan dan terbangun mendenganr sora kentongan yang nyaring disampingku. Aku cepat bangun sambil terbengong melihat istriku sedang memukul kentongan.“Ada apa?”“Rampok”“Mana?”“Itu turun dari Colt,” ujarnya sambil membuka gorden jendela kamar.
Berdasarkan data di atas, istri tokoh utama ketakutan melihat sekawanan
orang yang hendak masuk ke rumah mereka dari balik tirai jendela. Ia mencoba
meyakinkan tokoh utama bahwa yang dilihatnya merupakan kawanan perampok
sambil terus membunyikan kentongan yang selalu ia simpan dikamarnya. Tanpa
53
disadari suara kentongan yang nyaring tersebut di dengar tetangga. Hal itu dapat
disimak pada data berikut :
23) Ema!!!” pamajikan ngagorowok.
Sugan teh rek milu ngabageakeun, na atuh ari lenggerek teh kapiuhan. Untung we kaburu kasangkeh. Teu nepi ka ngarumpuyuk kana ubin.
Tatangga jul-jol nyampeurkeun, arolohok, kitu deui jeung supirna anu jangkung badag.
Tayohna mah pamajikan teh bakat ku sieun...jeung wirang. Piraku we teu kitu, da nu disangka garong teh mitohana! (TK; 111; 43)
“Ema!!!” istriku berteiak.
Bukannya ikut menyambut, malah jatuh pingsan. Untung saja keburu tertahan tidak sampai jatuh ke ubin.
Tetangga berdatangan, mereka kebingungan, begitu pula dengan supirnya yang berbadan tinggi besar.
Sudah barang tentu istriku takut dan malu, karena yang dianggap rampok itu adalah mertuanya sendiri!
Berdasarkan data pada no.23, ternyata perkiraan istrinya meleset, orang-
orang yang dianggapnya rampok adalah ibu mertuanya sendiri, yang hendak
berkunjung ke rumah mereka. Kemudian cerita ini diakhiri dengan kondisi yang jauh
berbeda, dimana suasana penuh ketakutan dan mencekam berubah menjadi hal yang
menggelikan ketika ternyata mereka menyadari bahwa apa yang mereka pikir
gerombolan perampok, ternyata adalah rombongan orang tua tokoh utama yang
berkunjung kerumahnya malam itu. Mengetahui hal itu, istrinya menjadi histeris,
dikarenakan takut dan malu bahwa yang ia sangka perampok ternyata adalah ibu
54
mertuanya, ia kemudian pingsan dan tak sadarkan diri. Dari kondisi di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa rasa curiga dan praduga yang sempit akan suatu kondisi
terkadang membuat manusia akan salah pula mengambil tindakan dan berubah
menjadi hal yang tidak dapat disangka sebelumnya.
3.2.3 Problematika Keluarga dalam Cerpen Diburu Ku Butuh
3.2.3.1 Desakan Kebutuhan Keluarga sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama
Pada cerpen ketiga, Bram sebagai kepala rumah tangga mengalami
permasalahan-permasalahan dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kendala-kendala yang sangat menganggu pikirannya tersebut, dimunculkan melalui
konflik batin yang di alami tokoh utama. Permasalahan keluarga diawali dengan
keadaan keluarga Bram yang serba kekurangan, penghasilannya sebagai penulis lepas
tidak mencukupi beragam kebutuhan keluarganya, hal itu sangatlah membuat dirinya
tertekan. Hal itu terungkap pada data berikut,;
24) “Pa! Artos kanggo bayaran tea, sareng kanggo meser buku PMP,” cek Ira, si bungsu, kelas lima SD.“Uang muka seragam olah raga kedah dibayar minggu ieu, Pa. Upami telat sesah milariannana,”cek Dani, si cikal, kelas hiji SMP.
(DKB, hal: 45)“Pak! Uang untuk bayaran, dan untuk membeli buku PMP,” tutur Ira, si bungsu, kelas lima SD.“Uang muka seragam olah raga harus dibayar minggu ini, Pak. Kalau telat susah mencarinya,” ucap Dani, si cikal, kelas satu SMP.
55
Berdasarkan data no.24, tergambar jelas beragam kebutuhan perlengkapan
sekolah anak-anak Bram yang belum tercukupi. Ira, anak Bram yang masih duduk di
kelas lima SD, mengeluh karena uang SPP dan biaya untuk membeli buku paket
sekolahnya belum dilunasi. Begitu pula dengan anak sulungnya, Dani yang duduk di
kelas satu SMP, ia meminta kepada ayahnya agar tunggakan untuk baju olah raganya
segera dilunasi. Hal itu ditambah lagi dengan kebutuhan yang tidak kalah penting
lainnya, seperti tagihan listrik dan kebutuhan-kebutuhan lain. Hal tersebut tergambar
pada data berikut:
25) Kade hilap, artos kanggo mayar listrik, Kang. Kantun dua dinten deui. Geuning sasih kapungkur dugi ka dipareuman ti pe-el-en-na, margi telat mayar,” cek pamajikan. (DKB; 46)
Jangan lupa, uang untuk membayar listrik, Kang. Tinggal dua hari lagi. Bulan lalu kan sampai dimatikan dari pe-el-en-nya, karena telat bayar,” tutur istriku.
Berdasarkan data di atas, tergambar keadaan keluarga Bram yang serba
kekurangan. Bahkan Ia diingatkan oleh istrinya untuk membayar tunggakan rekening
listrik, untuk menghindari pemutusan aliran listrik oleh PLN seperti bulan lalu.
Menyadari kondisi yang terjadi dalam keluarganya, hal itu membuat Bram sangat
gusar, dan ia merasa tertekan akan kenyataan tersebut. Kondisi batin Bram
terungkap pada data berikut:
26) Kudu ka mana nya nyiar duit? Mun boga kantor mah, meureun bisa nginjeum ka kantor.
56
Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang. Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge kawilang gede, saratus rebu sabulan. (DKB: 48)
Harus kemana mencari duit? Kalau saja punya kantor, mungkin bisa meminjam uang ke kantor.Salah sendiri, nekad mengandalkan hidup dari mengarang. mendapatkan gaji. Bekerja di sebuah perusahaan, gaji cukup besar, seratus ribu sebulan.
Berdasarkan data no 26, terungkap pemicu konflik batin pada diri Bram, ia
menyesali akan nasib yang dialami keluarganya sebagai ulahnya, “Bongan
sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang”. Hal itu terjadi karena ia
tidak mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ia mengingat masa lalunya yang pernah
bekerja di sebuah perusahaan, “Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga
arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge
kawilang gede, saratus rebu sabulan. Gajinya cukup terbilang besar, cukup untuk
membiayai keluarganya. Namun, ia mengundurkan diri dari pekerjaanya dan
memilih menjadi penulis. Kini dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan,
ia sangat menyesali atas pilihannya tersebut.
Hingga kemudian, Bram, dalam keadaan yang tertekan karena kondisi
keluarganya yang serba kekurangan, mengharuskannya meminjam uang. Namun,
konflik batin selalu menyertai Bram dalam setiap pengambilan keputusan dan sikap.
Hal tersebut tercermin dalam ungkapan data berikut ;
57
27) Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate. Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun budak. (DKB: 49)
Beberapa kali kutarik nafas, tegarkan hati. Tiada lagi alasan yang bakal dipercaya selain butuh uang untuk biaya anak yang sedang sakit. Ya, terpaksa harus berbohong, mengorbankan anak.
Dari data di atas, karena Bram sangat frustasi dengan permasalahan yang
dihadapinya, dan demi tanggung jawab kepada keluarganya yang harus ia nafkahi,
dirinya pun memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Pak Burhan.
“Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate”. Menggambarkan usaha Bram
untuk mengusir rasa ragu yang menyelimutinya batinnya. Walaupun merasa malu, ia
terpaksa melakukannya karena tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya
yang mendesak. Hal tersebut berpengaruh baginya dalam setiap pengambilan sikap,
ia mengambil jalan pintas dengan meminjam uang untuk menyelesaikan masalah
tersebut. Kemudian tergambar pula ungkapan batin Bram yang penuh dengan rasa
putus asa, “Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh
duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun
budak”. Bram melakukannya dengan harapan agar Pak Burhan percaya dan mau
meminjamkan uang kepadanya, ia pun sengaja berbohong kepada Pa Burhan.
Dengan alasan anaknya sakit dan membutuhkan biaya untuk membawanya ke
58
dokter. Namun, di dalam hatinya ia merasa menyesal melakukan semua itu Dialog
antara Bram dengan Pak Burhan tergambar melalui data berikut:
28) “Euh….punteun wae, Pa. Kieu saleresna mah….mmhh….abdi teh…peryogi artos,” ngomong teh bet ngadak-ngadak arap-ap-eureup-eup.“Peryogi artos keur naon?” walon Pa Burhan.“Kanggo pun anak, Pak. Puguh pun anak teh udur, kedah diparios ka rumah sakit. “Hapunteun abdi, Gusti! Abdi parantos ngabohong.
(DKB: 50)“Emh... maaf Pak. Begini sebenarnya... mmhh....saya... sangat memerlukan uang.” Mendadak saja bicaraku terbata-bata.“Perlu uang untuk apa?” jawab Pak Burhan.“Untuk anak saya. Pak. Anak saya sakit, harus diperiksa ke rumah sakit.”Maafkan aku, Tuhan! Aku telah berbohong
Berdasarkan data di atas, tergambar kondisi jiwa Bram yang sangat tertekan
karena berbohong. Namun hal tersebut ternyata tidak mudah bagi Bram, di dalam
hatinya masih terdapat perasaan keraguan dan perasaan berdosa karena telah
melakukannya.”Hapunteun abdi, Gusti! Abdi parantos ngabohong”. Konflik batin
yang ia hadapi sangat menyiksa dirinya, ia memohon kepada Tuhan agar
mengampuni dosa yang telah ia perbuat. Dan ia meyakini, dengan penuh terpaksa
melakukannya semata-mata hanya untuk menafkahi keluarganya. Namun, tanpa di
duga sebelumnya, hal tersebut berbalik menjadi malapetaka bagi Bram, ketika
pulang ia mendapati anaknya yang sedang sakit. Hal itu terungkap pada data
berikut:
59
29) “Puguh Ira teh ti saprak uih sakola, ngaringkuk wae.”Gebeg.“Ku naon?”“Miceun wae, Tos aya kana dalapan kalina.”“Utah deuih?”“Muhun tadi mah.”“Hayu, gancang atuh urang bawa ka dokter.”Sanajan cape, ngadenge budak muntaber mah, bororaah hayang reureuh. Gancang nitah Dani, neang beca. Kabeneran ka tempat praktek dokter teh teu pati jauh. (DKB: 52)
“Jelas, Ira sejak pulang sekolah, jatuh sakit.”Aku terkejut.“Kenapa?”“Buang air terus, sudah delapan kali.” “Muntah juga?”“Iya, tadi”“Ayo, cepat kita bawa ke dokter.”Walaupun capek, mendengar anak kena muntaber, tak ingin rasanya istirahat. Cepat menyuruh Dani, menjemput becak. Kebetulan ke tempat praktek dokter tak terlalu jauh.
Berdasarkan data no.29, hal itu membuat Bram sangat terkejut, karena
mengetahui anaknya terkena muntaber menurut penuturan istrinya. Tanpa pikir
panjang lagi ia beserta istrinya bergegas membawa Ira ke dokter. “Sanajan cape,
ngadenge budak muntaber mah, bororaah hayang reureuh. Gancang nitah Dani,
neang beca. Kabeneran ka tempat praktek dokter teh teu pati jauh”. Bram tak
memperdulikan dirinya walaupun dalam keadaan lelah. Ia lebih mengkhwatirkan
kondisi putrinya yang sakit. Ia merasa bersalah karena telah berdosa sebelumnya.
Bram pun menyadari bahwa ini adalah balasan atas kebohongan dirinya kepada Pak
Burhan. Hal tersebut terungkap pada data berikut:
60
30) Mayar dokter jeung meuli ubarna teh, beak lima belas rebu. Matak reuwas tuda, sieun Ira katutuluyan. Asa boga dosa. Asa katulah ku omongan sorangan . piraku we teu kitu, apan nginjeum duit teh make alesan budak gering. (DKB: 53)
Membayar dokter dan membeli obat, menghabiskan uang lima belas ribu. Aku sangat terkejut, khawatir Ira tambah parah. Aku merasa berdosa. Akibat omongan sendiri. Karena meminjam dengan alasan anak sedang sakit.
Berdasarkan peristiwa di atas, uang hasil pinjaman dari Pak Burhan oleh
Bram sebagian digunakan untuk keperluan berobat Ira. “Mayar dokter jeung meuli
ubarna teh, beak lima belas rebu. Matak reuwas tuda, sieun Ira katutuluyan”.
Kemudian, Bram sangat terpukul dengan kejadian itu dan ia merasa berdosa
karenanya. “Asa boga dosa. Asa katulah ku omongan sorangan . piraku we teu kitu,
apan nginjeum duit teh make alesan budak gering”. Ia pun menyalahkan dirinya,
bahwa kejadian ini karena ulahnya yang telah berbohong kepada Pak Burhan dengan
alasan anaknya sakit, demi mendapatkan sejumlah uang pinjaman. Ia sangat
menyesali perbuatannya tersebut. Namun ia menyadari apa yang ia lakukan hanyalah
untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarganya yang selama ini mengalami
kekurangan.
3.2.3.2 Kendala Pekerjaan Sebagai Penyebab Lemahnya Perekonomian Keluarga
Bram menyadari kondisi keluarganya yang serba kekurangan sebagian
besar karenanya, ia selalu meyalahkan diri sendiri yang tak mampu memberikan
61
penghasilan yang cukup bagi keluarganya. Hal ini dapat kita lihat pada konflik batin
yang dialami oleh Bram pada data berikut:
31) Sakapeung mah sok karasa teu genah, teu boga kantor matuh mah. Keur digawe di pausahaan mah,hirup teh asa disiplin. Hudang isuk-isuk. Jam tujuh sasarap. Jam dalapan geus aya di kantor. Jam opat di imah. Kitu jeung kitu, ti senen nepi ka saptu. Atuh dina tanggal hiji, ngagandeuang mawa gajih.Ari ayeuna ? Hudang jam sabaraha wae oge, moal aya nu ngabibisani. Moal sieun kabeurangan ngantor, moal sieun dipecat da puguh teu boga kantor,teu boga dunungan. (DKB; 57)
Terkadang suka terasa tak enak, tidak mempunyai kantor tetap. Ketika bekerja diperusahaan hidup penuh disiplin. Bangun pagi-pagi. Jam tujuh sarapan. Jam delapan sudah berada di kantor. Jam empat di rumah. Begitu tiap hari, dari senin hingga sabtu. Dan ketika tanggal satu pulang membawa gaji.Sedangkan kini? Bangun jam berapa pun, tidak ada yang melarang. Tidak takut kesiangan pergi ke kantor, tidak takut dipecat karena tentu saja tidak punya kantor, tak punya atasan.
Berdasarkan data no.31, Bram mengenang keadaanya dulu ketika masih
bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. “Sakapeung mah sok karasa teu genah, teu
boga kantor matuh mah. Keur digawe di pausahaan mah,hirup teh asa disiplin.
Hudang isuk-isuk. Jam tujuh sasarap. Jam dalapan geus aya di kantor. Jam opat di
imah”. Ungkapan tersebut menggambarkan kondisi Bram yang disibukan oleh
rutinitas ketika masih menjadi karyawan perusahaan itu. Ia sangat merindukan
aktivitasnya yang dulu. “Kitu jeung kitu, ti senen nepi ka saptu. Atuh dina tanggal
hiji, ngagandeuang mawa gajih”. Dari pagi hingga petang ia bekerja, kemudian dari
senin hingga sabtu ia masuk kerja. Dan yang paling ia rindukan ialah, ketika tanggal
62
satu, tiap bulan ia selalu pulang membawa gaji. Namun, Berbeda dengan hidupnya
sekarang, ia lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sambil menulis. Sekarang ia
tidak takut dipecat karena memang tidak mempunyai kantor dan atasan. Ia menyesali
pilihannya untuk menjadi pengarang yang tidak jelas pendapatannya.” Ari ayeuna ?
Hudang jam sabaraha wae oge, moal aya nu ngabibisani. Moal sieun kabeurangan
ngantor, moal sieun dipecat da puguh teu boga kantor,teu boga dunungan”.
Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa, kini Ia kurang disiplin dalam mengatur
waktu, karena tidak punya jadwal yang tetap dalam bekerja
3.2.3.3 Penolakan Terhadap Keinginan Orang Tua Sebagai Penyebab Konflik Antara Ayah dan Anak.
Permasalahan yang dialami Bram tidak hanya itu saja, cobaan pun datang dari
pihak orang tuanya. Dengan keadaan keluarga yang pas-pasan ia dituntut pula untuk
selalu membahagiakan orang tuanya. Hanya saja karena kondisi keuangan yang tidak
memungkinkan, Bram terpaksa menolak memberikan Ayahnya pinjaman sejumlah
uang untuk membeli televisi. Kebingungan dan kekesalan Bram tergambar pada data
berikut:
32) Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit gepokan? Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun?
63
Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah. (DKB: 54)Berpikir sejenak. Dasar cobaan! Saat ini sungguh kesal menerima surat dari Apa. Bagaimana nggak, sedang kebingungan memikirkan kebutuhan sehari-hari, malah meminjam uang untuk membeli televisi. Dianggap manusia apa aku ini? Direktur bukan, pejabat bukan, dari mana punya uang gepokan? Mungkin karena dianggapnya penghasilan dari buku pesanan Inpres terus mengalir, tak pernah henti? Bisa jadi seperti itu, karena Apa dan Ema tak pernah melihat ketika susah.
Berdasarkan data no.32, Bram merasa kesal dengan sikap ayahnya yang
tidak mau mengerti akan keadaannya. Menurutnya, ayahnya tak pernah mengetahui
keadaan keluarga Bram yang serba kesusahan. Bram berkata, “Ngahuleung
sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat
ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger
nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain,
pajabat lain, timana boga duit gepokan?”. Menurut Bram, belum lagi kebutuhan
keluarganya terselesaikan, kini ia harus senantiasa membahagiakan orang tuanya.
Jangankan untuk memberikan pinjaman kepada ayahnya, Bram pun kesulitan dalam
memenuhi keperluan keluarganya. Ia sangat sedih dan kesal menghadapi
permasalahan tersebut. Kemudian Bram menyimpulkan, Pedah eta kitu,
dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-
eureun? Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah.
Kemungkinan ayahnya beranggapan ia selalu mendapatkan pendapatan yang besar
64
dari proyek pembuatan buku Inpres yang pernah ia kerjakan. Namun orang tuanya
tak pernah mengetahui keadaan keluarga Bram yang sedang dilanda kesusahan.
Karena hal tersebut, Bram kemudian membalas surat dari ayahnya, isinya
mengutarakan penolakan pinjaman tersebut karena Bram tidak memiliki uang sama
sekali. Namun, sikap Bram tersebut ternyata diartikan lain oleh ayahnya, hingga
akhirnya berbalik tidak simpatik terhadap Bram. Asumsi negatif timbul lewat sikap
ayahnya yang mengutarakan kekesalannya lewat istri Bram, karena penolakan itu
ayahnya menjadi sangat kesal. Hal itu terungkap pada dialog Bram dengan istrinya.:
33) “Saur Apa…wartoskeun ka akang… saurna… tong sieun teu dibayar…”(DKB: 61)
“Kata Apa ... bilang sama Akang... katanya... jangan takut tak dibayar...”
Berdasarkan peristiwa diatas, ayahnya beranggapan bahwa Bram takut uang
tersebut tidak akan dilunasi olehnya. Kemudian, Ia menambahkan bahwa Bram tidak
mampu membalas budi baik orang tuanya sendiri. Hal tersebut tercermin pada
ungkapan dialog antara Bram dengan ibunya;
34) “Bapa teh enya bangun nu ambek ka maneh. Eta we, sabada maca surat ti maneh, da langsung ngagelendeng, siga nu kapeupeuh. Pokna teh ka Ema, maneh teh cenah geus teu ngahargaan ka kolot, dipentaan sakitu ge kasieunan teu dibayar.. . (DKB; 64)
“Bapa memang sepertinya marah kepadamu. Sehabis membaca surat balasan dari kamu, dia langsung marah-marah, kelihatannya sangat terpukul. Dia berkata kepada Ema, bahwa kamu sudah tidak menghargai orang tua, diminta segitu saja, takut tak dibayar....
65
Berdasarkan data no.34, tergambar bagaimana sikap Ayah Bram, ketika
Bram berkunjung ke rumah orang tuanya. “Bapa teh enya bangun nu ambek ka
maneh. Eta we, sabada maca surat ti maneh, da langsung ngagelendeng, siga nu
kapeupeuh”. Ditambah pula berdasarkan pengakuan Ema kepada Bram bahwa
memang Ayahnya sangat kesal kepada Bram, menurutnya, Bram takut pinjaman itu
tak akan dilunasi olehnya dan hal tersebut menjadi beban pikiran baginya. Apa
beranggapan bahwa Bram sudah tidak menghargai orang tuanya. Namun akhirnya
Bram mendapat titik terang akan permasalahannya ketika Ayahnya menyadari
bahwa asumsinya selama ini ternyata salah. Hal itu tanpa disengaja terjadi dialog
antara Ayahnya dengan Ira (anak Bram) berikut:
35) “Aki teh naros ka Ira, cenah ari emam sok sareng naon?”“Kumaha saur Ira?’ cekeng.“Sareng peda.”Pamajikan imut.“Ngisinkeunn Ira mah,” ceuk pamajikan.“Apan saur Apa ge upami ditaros kedah jujur.”“Tuluy naros naon deui?”“Aki teh teu percanteneun. Piraku, cenah, emam sareng peda, pan Apa seueur artos.”“Kumaha saur Ira?”“Apana nuju kutud. Teu gaduh artos. Saur Ira teh, bayaran sakola Ira ge ampir teu kabayar.”Meh bareng imut jeung pamajikan. Keun, sugan ari ngadenge laporan ti budak mah, piraku Apa teu percaya keneh
(DKB:66) “Kakek bertanya kepada Ira, katanya, kalau makan apa lauknya?”“Apa jawab Ira?”, ucapku.“Dengan ikan peda.”Istriku tersenyum.
66
“Ira membuat malu,” tutur istriku.“Kan kata Apa, apabila ditanya harus berkata jujur”.“Terus bertanya Apa lagi?”“Kakek tidak percaya, Masak, makan dengan ikan peda, kan Apa banyak uang?”“Apa sedang tak punya uang, kata Ira. Bayaran sekolah pun hampir tak terbayar”.“Aku dan istriku tersenyum. Biar, mudah-mudahan mendengar laporan dari anak, masak Apa masih tidak percaya.
Berdasarkan data no.35, Ayahnya mengetahui kondisi keluarga Bram yang
sebenarnya, dari penuturan Ira yang jujur dan polos. “Aki teh teu percanteneun.
Piraku, cenah, emam sareng peda, pan Apa seueur artos. Ayah Bram sempat tidak
percaya dengan penuturan Ira, kemudian ia menanyakan keadaan Bram kepada Ira.
”Apana nuju kutud. Teu gaduh artos. Saur Ira teh, “ bayaran sakola Ira ge ampir
teu kabayar”. Ira dengan kejujurannya, menggambarkan kondisi keuangan Bram
yang sangat minim, bahkan hampir saja biaya sekolah Ira pun tidak terlunasi. Pada
akhirnya, ayah Bram menyadari kekhilafannya selama ini, ia meminta maaf lewat
surat yang dikirimkan atas apa yang selama ini diperbuatnya. Ia kemudian
mengungkapkan penyesalannya melalui surat yang ia kirim kepada Bram. Hal itu
terungkap pada data berikut;
36) BramHampura Apa. Apa teh rumasa geus goreng sangka ka maneh. Kuduna mah Apa teh surti. Teuing ku naon atuh, Apa teh bet poekeun? Apa teh sapeupeuting nepi ka teu daek sare, inget wae kana katerangan Ira. Malah mah Apa teh make ngalimba. Naha atuh bet goreng sangka ka nu jadi anak?. (DKB:67)
67
BramMaafkan Apa. Apa menyadari sudah berburuk sangka kepadamu. Tidak tahu kenapa, Apa begitu emosi; .....setiap malam Apa tak bisa tidur, teringat selalu akan keterangan Ira. Bahkan Apa meneteskan air mata, kenapa berburuk sangka kepada anak sendiri?
Berdasarkan data no.36, Ayah Bram sangat menyesali sikapnya kepada
Bram, “Hampura Apa. Apa teh rumasa geus goreng sangka ka maneh”. Tergambar,
kondisi batin Ayah Bram yang tersiksa karena telah berburuk sangka kepada Bram.
Ia meminta maaf kepada Bram atas kesalahannya. Hal itu terungkap melalui, “Apa
teh sapeupeuting nepi ka teu daek sare, inget wae kana katerangan Ira. Malah mah
Apa teh make ngalimba. Naha atuh bet goreng sangka ka nu jadi anak?” Bahkan,
dirinya sulit untuk tidur, karena setiap malam teringat akan penuturan Ira yanmg
jujur dan polos tempo hari. Melalui surat itu tak hentinya ia mengungkapkan
penyesalan dan kesedihan kepada Bram.
3.2.4 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Sabot Taya Si Bibi
3.2.4.1 Peran Ganda Suami Dalam Mengurusi Keluarga Sejak Ditinggal Pembantu Karena Pulang Kampung
Pada cerpen ke empat, permasalahan yang dihadapi tokoh utama adalah:
ketika terjadi pergantian peran dan fungsi tokoh utama sebagai seorang suami dalam
mengurusi rumah tangga. Dalam cerita ini mengisahkan Tatang sebagai kepala
keluarga, beserta istrinya harus bekerja keras menggantikan peran Si Bibi dalam
68
mengurusi rumah tangga. Bahkan untuk mencuci baju sekalipun, yang menjadi
tanggung jawab pembantunya, harus dilakukan olehnya. Kondisi tersebut terjadi
sejak ditinggal Si Bibi, karena pulang kampung. Hal tersebut tercermin pada data
berikut:
37) Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si Bibi teh. Basa Si Bibi balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh. (STSB: 70)
Susahnya sepeninggal Si Bibi. Ketika Si Bibi mengutarakan keinginannya untuk pulang kampung, ingin istirahat selama tiga minggu, tak ditolak. Sudah semestinya, karena sudah setahun lamanya menjadi pembantu keluargaku.
Berdasarkan data no.37, tergambar dengan jelas bahwa keberadaan
pembantu rumah tangga sangatlah penting dan peranannya dalam keluarga Tatang.
Hal tersebut tergambar pada ungkapannya, “Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si
Bibi teh”. Karena sejak Si Bibi pulang kampung, Tatang beserta istrinya merasa
kerepotan dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga. “Basa Si Bibi balaka hayang
balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we,
tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh”. Tatang tak
mampu menolak keinginan Si Bibi untuk pulang kampung, Menurut Tatang sudah
sewajarnya ia memintanya karena sudah setahun lamanya ia membantu Tatang dan
istrinya dalam mengurusi rumah tangga mereka.
69
Karena kondisi tersebut Tatang terpaksa mengerjakan tugas yang
sebelumnya dilakukan oleh Si Bibi. Tatang terlihat kewalahan menerima tugas
tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya. Hal tersebut tercermin pada data
sebagai berikut:
38) Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali. Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah.. (STSB: 73)
Merendam dan mememeras cucian, pekerjaan yang memeras tenaga, apalagi tidak cukup sekali atau dua kali. Bisa saja mencucinya asal-asalan, khawatir diomelin istri. Maksud mau mencuci, ingin memberi contoh mencuci bersih, dengan tak mengeluh.
Berdasarkan data di atas, terungkap kondisi Tatang, walaupun dengan
susah payah, ia dapat menyelesaikan tugasnya tersebut. “Ngupyakeun jeung meureut
seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali
atawa dua kali “. Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci
baju sangat menguras tenaganya, ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-asalan
menurutnya, “Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan.
Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung
teu luh-lah. Hal itu didasari, karena takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia
kesulitan dalam melakukannya. Tercermin pula usaha Tatang untuk menjadi suami
yang bertanggung jawab dengan mengambil alih tugas yang selalu dikerjakan Si
70
Bibi. Walupun hal itu bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia
harus memberi tauladan yang baik kepada istrinya dengan memberi contoh
bagaimana mencuci pakain yang benar.
3.2.4.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Keluarga
Dalam kesehariannya, Tatang beserta keluarganya dihadapkan pada
keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan karena lemahnya perekonomian
keluarga, Hal ini tercermin ketika terjadi dialog antara Tatang dengan anaknya,
kondisi tersebut dapat kita lihat pada data berikut ;
39) “Ngagaleuh mesin cuci geura, Pa!” cek si CikalKuring nyerengeh deui. Ku sarua jeung Indungna. Lain teu hayang meuli, tapi teu ka bedag. Jeung deui, ari sagala rupa ku mesin mah, keur naon ngagajih Si Bibi.? (STSB; 72)
“Beli mesin cuci dong, Pak!” tutur si Cikal.Aku tersenyum lagi. Dasar, memang seperti ibunya!. Bukannya tak mau membeli, tapi tak mampu. Dan lagi, kalau segala hal dikerjakan oleh mesin, buat apa menggaji Si Bibi.
Berdasarkan data diatas, terungkap dialog antara Tatang dengan anankya,
menggambarkan anjuran anaknya untuk membeli mesin cuci, “Ngagaleuh mesin
cuci geura, Pa!” ceuk si Cikal “, hal itu membuat hati Tatang terusik karena ucapan
anaknya yang polos dan bernada sindiran. Ia menyadari kondisi ekonomi
keluarganya yang memang mengalami kekurangan, “Kuring nyerengeh deui. Ku
71
sarua jeung Indungna! Lain teu hayang meuli, tapi teu ka bedag. Jeung deui, ari
sagala rupa ku mesin mah, keur naon ngagajih Si Bibi? Menurutnya, ia tidak
mampu membeli mesin cuci, lagipula Tatang, merasa tidak perlu menggunakan
mesin cuci karena segalanya mampu dikerjakan oleh Si Bibi.
3.2.4.3 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Mengurusi Keluarga
Dalam melaksanakan tugasnya, Tatang mengalami kendala berupa konflik
batin dalam dirinya, hal itu dikarenakan ia tidak terbiasa dengan tugasnya yang baru.
Dan ia terlihat kewalahan dalam melaksanakannya, namun, ia malu mengeluh di
depan istrinya. Hal itu terungkap pada data berikut:
39) Kuring geus hayang geura pok ngawalon; “Tetela geuning ripuh, Mah!” Tapi gengsi. Embung ari kasebut lalaki ripuh ku nyeuseuh mah. (STSB; 77)
Aku ingin segera menjawabnya; “Sungguh menyiksa, Mah!” Tapi gengsi. Aku enggan disebut lelaki lemah karena mencuci.
Berdasarkan data diatas, terlihat sikap Tatang yang tidak ingin terlihat
sebagai lelaki yang lemah di depan istrinya walaupun ia kewalahan melakukannya.
Ia merasa malu dan gengsi”, apabila mengeluh karena kelelahan kepada istrinya. Ia
ingin membuktikan bahwa dirinya suami yang bertanggung jawab dan lelaki yang
tangguh dihadapan istrinya. “Tetela geuning ripuh, Mah!” Tapi gengsi. Embung ari
kasebut lalaki ripuh ku nyeuseuh mah”. Dalam perannya menggantikan Si Bibi
72
dalam mngurusi rumah tangga. Ia ingin memperlihatkan dan berusaha meyakinkan
kepada istrinya, walaupun ia laki-laki tetapi ia mampu mengerjakan tugas
perempuan dalam keluarga.
3.2.5 Problematika Keluarga Dalam Cerpen “Haleuang Indung”
3.2.5.1 Kebutuhan Akan Pendidikan Anak Yang Kurang Terpenuhi Karena Lemahnya Perekonomian Keluarga
Pada cerpen yang ke lima mengisahkan tokoh Emak yang meratapi
keadaan dirinya dan keluarga yang serba kekurangan. Profesinya sebagai pedagang
makanan keliling, tak pernah mencukupi bahkan untuk menyekolahkan anaknya
hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Ungkapan perasaan Emak tersebut terungkap
pada data sebagai berikut;
41) Lain teu hayang siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun rea pamenta hidep teu kacumponan. Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca. HI; 81)
Bukannya tdak mau seperti orang lain. Menyekolahkan kamu sampai sukses. Bukannya tidak menyayangi kamu seperti orang lain lakukan, bila setiap keinginanmu tak terpenuhi. Kamu pun mengerti, berapa penghasilan Bapak semasa hidup. Apa yang bisa diharapkan dari Bapakmu, yang hanya mampu menarik beca.
Berdasarkan data no.41 di atas, Emak ingin menyekolahkan anaknya
hingga ke jenjang yang lebih tinggi bahkan menjadi orang sukses, “Lain teu hayang
73
siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun
rea pamenta hidep teu kacumponan”. Namun, semua itu tak dapat terwujud karena
kekurangan biaya. Bahkan, segala kebutuhan serta permintaan Ujang sangat sulit
untuk diwujudkan. Kemudian Emak berkata, “Hidep ge meureun surti, sabaraha
panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa
hidep, kabisa ukur ngabeca”. Kondisi keluarga Emak sangat memprihatinkan
dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang hanya berprofesi sebagai
penarik beca, tentunya hal itu tak dapat membiayai sekolah Ujang. Kemudian, Emak
sangat sedih karena tidak mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya kepada
Ujang, Ia tidak mempunyai harta yang berlimpah untuk diwariskan kepadanya. Hal
tersebut tercermin pada data berikut;
42) Haleuang Ema, haleuang lalakon hirup. Lengkah Ema, lengkah kasusah. Hampura Ema, jang. Ema teh estuning teu boga rajakaya wariskeuneun ka hidep. Warisan ti kolot Ema, ngan warisan kateuneung. Ludeung nyanghareupan hirup nu dihurup ku ripuh.
(HI: 82)Senandung Ema, adalah perjalanan hidup. Langkah Ema, langkah penuh kesusahan. Maafkan Ema Jang, tak punya harta warisan untukmu. Warisan dari orang tua Ema hanya nasehat, untuk berani menghadapi kehidupan yang pahit.
Berdasarkan data no.42, Emak meratapi akan jalan hidupnya yang penuh
dengan penderitaan, ia berkata, “Haleuang Ema, haleuang lalakon hirup. Lengkah
Ema, lengkah kasusah”. Kemudian, karena keadaan keluarganya yang miskin, ia
tidak mempunyai harta yang banyak untuk diwariskan pada Ujang. “Hampura Ema,
74
jang. Ema teh estuning teu boga rajakaya wariskeuneun ka hidep”. Emak berkata,
“Warisan ti kolot Ema, ngan warisan kateuneung. Ludeung nyanghareupan hirup nu
dihurup ku ripuh”. Ia hanya mampu memberikan semangat dan keyakinan pada
Ujang agar mampu dan penuh keberanian dalam mengarungi kehidupan yang keras
dan penuh kesengsaraan. Kemudian Emak berpesan kepada Ujang untuk bekal
hidupnya kelak di kemudian hari. Hal tersebut tercermin pada data berikut:
43) Ema teh hayang mere kayakinan ka hidep : Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh mangsana reureuh. Tapi naha bisa? Naha pantes Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar pangarti.? (HI: 84)
Ema ingin memberi keyakinan kepadamu; Jangan mau hidup sengsara, Jang. Jangan seperti orang tuamu. Jangan hidup susah ketika tiba saatnya untuk istirahat. Tapi apakah bisa? Apa pantas Ema mengharapkan kamu menjadi sukses dengan tidak dibekali untuk mencari pengetahuan.
Berdasarkan ungkapan data no.43, Emak berulangkali memberi keyakinan
pada Ujang, “Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh
mangsana reureuh”. Ia berpesan kepada Ujang agar jangan mengikuti jejak orang
tuanya yang hidup sengsara. Emak mendedikasikan hidupnya demi keluarga,
terutama demi kesejahteraan Ujang. Ia berharap anaknya tersebut akan mampu
mengubah kehidupannya menjadi orang yang berhasil, tidak seperti orang tuanya.
Namun, Emak hanya bisa menyadari kenginannya tersebut sebagai hal
yang memang sulit diwujudkan di kemudian hari., “Tapi naha bisa? Naha pantes
75
Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar
pangarti?”. Ia khawatir hal itu tidak akan terwujud, karena ia memang tidak
memberikan bekal pendidikan yang cukup bagi Ujang, hal itu disebakan karena
kehidupan keluarganya yang miskin.
3.2.5.2 Lemahnya Ekonomi Keluarga Sebagai Penyebab Berpisahnya Ibu Dan Anak
Kemudian Emak teringat ketika Ujang memutuskan untuk pergi merantau
ke Kalimantan. Waktu itu Emak merasa terpukul karena keinginan Ujang tersebut,
dan tentunya hal itu membuat Emak dan Ujang berpisah dalam jangka waktu yang
lama. Hal tersebut terdapat pada data berikut ;
44) “Rek tulus, Ma.”“Ka mana?”“Nyiar gawe ka Kalimantan.”“Jauh-jauh teuing atuh”
“Tibatan di dieu ripuh. Sugan we di ditu mah seueur lolongkrang.” (HI: 86)
“Jadi pergi, Ma”“Ke mana?”“Mencari pekerjaan ke Kalimantan.”“Kok jauh amat”“Daripada di sini hidup susah. Mungkin saja disana banyak lowongan.
Berdasarkan data di atas, karena kondisi keluarga yang miskin, Ujang
memutuskan pergi merantau ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan. Hubungan Ibu
dan anak kini terpisahkan oleh jarak, dikarenakan kondisi yang sangat memaksa. Hal
76
itu dilakukan Ujang semata-mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar
mereka tidak mengalami kesengsaraan. Namun bagi Emak hal itu menambah
kesedihannya, kondisi tersebut terungkap pada data berikut;
45) Harita jang, Ema teh hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?Tapi teu pok. Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup.
(HI: 86) Saat itu Jang, Ema ingin mencegah. Ingin berkata; Jangan pergi Jang! Kalau tidak ada kamu, dengan siapa lagi Ema? Apa kamu tega meninggalkan Ema sendirian?Tapi tak dapat diungkapkan. Teringat apa yang dialami oleh Ema, orang tua Ema. Kesengsaraan dan kesengsaraan yang melanda. Mudah-mudahan, tekadmu pergi jauh menyeberangi lautan, ke tempat yang belum terjamah orang tua kita, membuka pintu untuk kehidupanmu kelak.
Berdasarkan data no.45, di dalam hatinya Emak ingin mencegah kepergian
Ujang, namun, ia tidak sanggup untuk mengatakannya, “Harita jang, Ema teh
hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung
saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?”.
Keputusan Ujang pergi ke Kalimantan membuat sedih hati Emak, karena kini Emak
hidup sendirian. Walaupun, dengan berat hati menerima kenyataan tersebut, ia
hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di perantauan,
“Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa
77
teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot
urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup”. Emak berharap, tekad Ujang
tersebut akan membawa keberhasilan baginya. Tidak seperti orang tuanya yang
terus dilanda kesengsaraan dan kemiskinan.
Sepeninggal Ujang yang pergi ke Kalimantan, Emak sangat merindukannya
setiap saat. Apalagi, setahun lamanya Ujang tidak pernah memberi kabar. Dalam
hatinya, Emak merasa khawatir akan keadaan Ujang. Hal tersebut terungkap pada
data berikut;
46) Di mana atuh ari hidep Jang?Teu beja, teu carita. Sataun campleng. Taya raratan. Naha hidep teh jeneng, atawa kadungsang-dungsang? Naha hidep teh jugala, atawa katalangsara?Ema mindeng ngahuleng, lir nu gering ngalanglayung. Ema teu kendat neneda ka Mantenna. Memeh ninggalkeun ieu dunya. Ku hayang pareng tepung heula jeung hidep, boh dina senangna boh dina susahna. (HI; 87)
Di mana dirimu, Jang?Tiada kabar setahun lamanya. Tiada berita, apakah dirimu bahagia atau terlunta-lunta ? apakah dirimu senang atau menderita?Ema selalu melamun, seperti sakit yang tak kunjung sembuh. Ema tak henti-hentinya memohon kepada-Nya. Sebelum meninggalkan dunia ini. Ingin sekali bertemu denganmu, baik dalam senang maupun susah.
Berdasarkan data no.46, tergambar kondisi batin Emak yang sangat
merindukan Ujang. Setelah setahun lamanya tanpa kabar, membuat Emak khawatir
akan keadaan anaknya tersebut. “Di mana atuh ari hidep Jang?Teu beja, teu carita.
Sataun campleng. Taya raratan. Naha hidep teh jeneng, atawa kadungsang-
78
dungsang? Naha hidep teh jugala, atawa katalangsara”. Terkadang Emak selalu
melamun dan membayangkan Ujang yang berada di perantauan. Ia selalu bertanya-
tanya dalam hatinya tentang keadaan anaknya tersebut. Hal itu begitu menyiksa
perasaanya, kerinduan yang teramat dalam kepada Ujang hanya bisa ia ratapi di
dalam hati tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ia hanya bisa memohon kepada Yang
Maha Kuasa, untuk di pertemukan kembali dengan Ujang, baik dalam kondisi
senang maupun susah. Ia berkata, “Ema teu kendat neneda ka Mantenna. Memeh
ninggalkeun ieu dunya. Ku hayang pareng tepung heula jeung hidep, boh dina
senangna boh dina susahna”. Terlihat kondisi batin Emak sangat tersiksa karena
kesepian yang melanda dirinya, sepeninggal Ujang. Emak menyadari akan dirinya
yang sudah lanjut usia. Ia berharap bertemu dengan Ujang sebelum dirinya
meninggal dunia dan Emak senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan agar dirinya
beserta anaknya diberikan kebahagiaan dan kekuatan dalam menjalani kehidupan
yang penuh dengan cobaan dan rintangan.
3.3 Penyebab Timbulnya Problematika Keluarga Dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng
Apabila dilihat dari bentuknya, fenomena problematika keluarga yang
terdapat dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng disebabkan oleh berbagai
faktor. Hal itu diantaranya, kesenjangan sosial, lemahnya perekonomian keluarga,
79
perebutan warisan, gangguan keamanan lingkungan, dan ketidak puasan istri terhadap
suami. Faktor-faktor tersebut memunculkan berbagai konflik yang terjadi, baik
konflik batin tokoh, maupun konflik antar tokoh dalam cerita tersebut.
3.3.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng
3.3.1.1 Konflik Batin Tokoh Utama Karena Lemahnya Perekonomian Keluarga dan Adanya Campur Tangan Ibu Mertua
Problematika keluarga dalam cerpen Tali Asih Anu Nganteng, terungkap
melalui kondisi tekanan batin yang dialami oleh Aas. Sebagai ibu rumah tangga, ia
merasa tertekan karena lemahnya perekonomian keluarga, demikian pula dengan
kerewelan Ibu Mertua yang sangat mengaggu perasaan Aas. Hal itu terungkap
melalui data berikut:
1) Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul. Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah sakapeung mah kurang. (TAAN; 5)
Pikiran sumpek, hati sedih bukannya bohong, sering dipusingkan oleh permasalahan. Coba saja: serumah dengan mertua cerewet, gaji Kang Gugum sebulan selalu pas-pasan, bahkan terkadang kurang.
Berdasarkan pada data no.1, Tekanan batin yang ia alami terungkap
melalui, “Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing
kapusing, remen dicangkalak kakeuheul”. Kemudian, penyebab problematika
80
keluarga yang di hadapi oleh Aas, diungkapkan Aas melalui, “Geura we : saimah
jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah
sakapeung mah kurang”. Aas mengalami tekanan batin kerena merasa tidak puas
dengan penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.
Disamping itu, kerewelan Ibu Mertua menyebabkan batin Aas terganggu.
3.3.1.2 Kekhawatiran Ibu Mertua Terhadap Menantu Akan Menguasai Harta Warisan Anaknya
Permasalahan keluarga berupa konflik yang terjadi antara Aas dengan Ibu
Mertua, dilatar-belakangi karena munculnya kekhawatiran Ibu Mertua terhadap
keberadaan Aas, yang menurutnya, akan mengancam tujuannya untuk menguasai
harta warisan keluarga. Kenyataan tersebut diketahui Aas berdasarkan penuturan
Kang Yayan ketika Aas berkunjung ke kediamannya di Palembang, kemudian, hal
itu pula yang secara tidak sengaja menguak rahasia perihal keluarga suaminya. Latar
belakang keluarga suaminya, asal-usul serta keberadaan harta warisan keluarga, dan
kenyataan bahwa suaminya ternyata bukan anak kandung dari Mertuanya. Hal
tersebut, terungkap pada dialog Kang Yayan dengan Aas, pada kutipan data berikut ;
13) Kieu nya, As. Saenyana mah Kang Gugum teh lain anak Ibu, oge lain anak Bapa...”
“Basa bapa rek nikah ka Ibu, boh bapa boh Ibu pada boga budak. Akang budak bawa bapa, ari Nonon budak bawa ti Ibu. Kang Gugum mah budak rayina bapa. Harita Kang Gugum teh orok keneh, basa Ibu sareng apana cilaka, lantaran mobilna tabrakan jeung treuk.”
(TAAN; 28)
81
Sebenarnya Kang Gugum bukanlah anak Ibu, juga bukan anak Bapa....”“Ketika bapa akan menikah dengan Ibu. Baik Bapa maupun Ibu masing-masing mempunyai anak. Akang anak yang dibawa Bapa, sedangkan Nonon anak yang dibawa Ibu. Kang Gugum Anak adiknya Bapa. Ketika itu Kang Gugum masih bayi, Ibu dan Bapaknya meninggal karena kecelakaan, lantaran mobilnya bertabrakan dengan truk.”
Berdasarkan kutipan data no 13, Aas mengetahui kondisi yang sebenarnya
tentang keluarga Gugum. Ternyata, suaminya bukan anak kandung mertuanya.
Ketika itu, orang tua Gugum yang merupakan saudara kandung mertuanya,
meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itulah Gugum diangkat anak oleh mereka.
Sedangkan Nonon dan Kang Yayan masing-masing adalah saudara tiri. Nonon
adalah anak yang dibawa oleh Ibu Mertua, sedangkan Kang Yayan adalah anak yang
dibawa Bapak Mertua Aas. Hal itulah, yang mendasari sikap Ibu Mertua dalam
memanjakan Nonon. Ia sangat di anak-emaskan oleh ibunya, hal itu sangat bertolak
belakang dengan sikapnya terhadap Aas dan Kang Gugum. Kemudian Kang Yayan
menjelaskan kepada Aas tentang alasan yang melatar-belakangi sikap Ibu Mertua
kepada Aas. Hal ini tergambar pada data berikut;
14) “Sanajan Kang Gugum diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah nu boga sahamna bapa Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat warisanana, anu memang hak Kang Gugum. (TAAN; 30)
“Walaupun Kang Gugum diurus oleh Bapa, tapi tak pernah menyusahkan. Karena kekayaan Bapa, didalamnya kebanyakan dimiliki oleh ayahnya Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu ketakutan. Takut
82
Kang Gugum terpengaruh oleh Aas, menggugat warisannya, yang memang merupakan hak Kang Gugum.”
Berdasarkan data di atas, kenyatan tersebut membuka tabir rahasia yang
selama ini belum terungkap. Kang Yayan menjelaskan pula perihal keluarga Kang
Gugum yang belum Aas ketahui. Kang Yayan berkata, “Sanajan Kang Gugum
diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah
nu boga sahamna bapa Kang Gugum”. Aas mengetahui bahwa ternyata kekayaan
yang dimiliki mertuanya sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ditambahkan
pula, terdapat hal penting yang diketahui Aas dari penuturan Kang Yayan, “Bisa
jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat
warisannana, anu memang hak Kang Gugum”. Ibu Mertua takut kehilangan
hartanya, hal itu kan terjadi apabila Aas mampu mempengaruhi Gugum, agar mau
menggugat kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya. Hal itu, ditunjukan
dalam bentuk campur tangannya serta sikapnya yang kurang baik terhadap Aas.
3.3.1.3 Kekhawatiran Akan Hilangnya Kepercayaan Dari Suami
Sebagai istri yang patuh terhadap suaminya, Aas mencoba untuk senantiasa
menghadapi permasalahan yang dihadapinya, tanpa ia ungkapkan kepada Kang
Gugum. Hal itu dilakukannya semata-mata karena, Aas merasa khawatir akan
kehilangan kepercayaan dari suaminya. Aas tidak ingin suaminya beranggapan
83
negatif akan penuturannya, dan kemudian berbalik membenci Aas. Dalam benaknya
Aas merasa yakin bahwa, tentunya Kang Gugum lebih mempercayai perkataan Ibu
Mertua dibanding dirinya. Kemudian, ketika ia ditawari pekerjaan dari Fika, ia pun
enggan menyanggupinya karena ia belum mendapat izin dari Kang Gugum. Terlebih
lagi, Aas merasa khawatir kepercayaan dari Kang Gugum akan hilang apabila ia
meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dalam melayani
suami dan mengurusi keluarga.
Pada akhirnya, kekhawatiran yang di alami Aas membuat dirinya mengalami
konflik batin yang sangat menganggu dirinya. Ia tak sanggup mengutarakan
perlakuan yang kurang baik dari Ibu Mertua kepada suaminya. Hal itu terungkap pada
data berikut:
6) Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung kaceuceub mitoha ka kuring. Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha.
( TAAN: 8 )
Apabila sikap mitoha berlebihan, terkadang timbul kenekadan. Ingin menceritakan sebenarnya kebencian ibu mertua kepadaku. Tapi ketika dipikir secara mendalam, tentu akan berakibat jelek. Takut Kang Gugum tidak percaya, takut Kang Gugum berbalik membenciku karena terpengaruh oleh perkataan (Ibu) mertua.
Berdasarkan data tersebut, tergambar kekhawatiran Aas yang terungkap
melalui, “Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang
Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran
84
kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha”. Berdasarkan ungkapan tersebut, Aas merasa
khawatir Kang Gugum tidak mempercayai dirinya, walupun hatinya selalu tergerak
untuk mengutarakan apa yang ia alami akibat perlakuan Ibu Mertua. Ia meyakini
bahwa Kang Gugum tentunya akan memihak kepada Ibunya dibanding dirinya.
Kemudian, kekhawatiran Aas pun kembali muncul ketika Fika menawarinya
peran untuk sebuah film. Namun, Aas mengalami konflik batin setelah menerima
tawaran itu. Kekhawatiran Aas tergambar melalui data berikut:
10) “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang. Ngan apan Fika ge nyaho sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya persetujuan ti Kang Gugum.” (TAAN: 22 )
Susah untuk menjawabnya, harus bagaimana, Fik. Mau sih tentu, masak sih tidak. Hanya saja Fika pun tahu sendiri, di rumah begitu repotnya, banyak urusan. Dan lagi yang yag paling utama adalah harus ada persetujuan dari Kang Gugum.”
Berdasarkan data di atas, Aas merasa bimbang menerima tawaran tersebut,
kemudian timbul kekhawatirannya yang terungkap melalui, “Hese ngajawabna,
kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang...”Walaupun di dalam
hatinya ia sangat ingin menerima tawaran pekerjaan itu, namun, dirinya tetap
mengurungkan keinginannya tersebut dengan alasan belum mendapat persetujuan
dari Kang Gugum. Hal itu terungkap melalui, “Ngan apan Fika ge nyaho sorangan,
di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya
persetujuan ti Kang Gugum.” Tergambar, kekhawatiran dialami Aas karena
85
keputusannya takut melangkahi wewenang suaminya. Namun ia berusaha
menghargai perasaan Fika dengan beralasan bahwa ia tdak mungkin meninggalkan
tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga. Dan yang paling penting menurutnya
ialah, Aas belum membicarakan hal tersebut kepada suaminya, ia khawatir suaminya
tidak akan mengizinkan dirinya menerima tawaran untuk menjadi pemain film.
3.3.2 Cerpen Trong Kohkol
3.3.2.1 Munculnya Kekhawatiran Karena Kondisi Lingkungan Yang Tidak Aman
Karena seringnya mengalami peristiwa pencurian dan perampokan di
lingkungan yang baru mereka huni, mengakibatkan istri tokoh utama mengalami
ketakutan yang sangat berlebihan. Hal itu di tunjukan melalui data berikut:
15) “Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan” (TK; 34)
Yang merasa sangat ketakutan adalah istriku. Baru saja dua hari, sudah mendengar kabar ada rumah yang disatroni perampok. Terlebih lagi tepat di barisan rumahku, terpisah oleh tiga rumah.
Berdasrkan data di atas, tergambar kondisi batin istri tokoh utama karena
lingkungan yang baru mereka diami, “Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe,
geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring
pisan, kahalangan ku tilu suhunan”. Permasalahan timbul, ketika istri tokoh utama
86
mulai dilanda rasa ketakutan karena dua hari sebelumnya mendengar kabar tetangga
mereka disatroni perampok. Peristiwa itu pun terjadi tidak jauh dari kediaman
mereka. Istri tokoh utama khawatir rumah mereka pun akan disatroni perampok
seperti yang dialami tetangga mereka.
3.3.2.2 Ketidak Puasan Istri Terhadap suami Karena Belum Dikaruniai Anak
Munculnya ketidak puasan tokoh Istri tergambar ketika ia mengeluh
kepada tokoh utama karena belum juga mempunyai anak. Kenyataan itulah yang
menjadi penyebab timbulnya permasalah dalam keluarga mereka, ditengah-tengah
kondisi lingkungan yang tidak aman. Hal itu terungkap melalui data berikut.
18) Wayahna. Engke ge, mun nu ti lembur datang, moal keueung teuing. Bongan can diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh.His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh.
“Nu sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg.”“Enya na salah saha atuh?” (TK; 35)
Bersabarlah. Nanti juga, kalau keluarga dari kampung datang, tidak merasa khawatir lagi.Ya karena kita belum dikaruniai anak, jadi tidak ada tameng apabila berkelahi.His! Kenapa menyalahkan Akang. Tidak punya anak bukan soal kuat dan kalah, yang jelas kita belum dikaruniai oleh Allah.“Orang lain aja...tiga bulan setelah menikah sudah hamil.”“ya salah siapa?”
87
Berdasarkan data di atas, istri tokoh utama beralasan bahwa ketakutannya
disebabkan karena ia selalu merasa kesepian di rumah. Ia berkata, “Bongan can
diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh”. Hal itu
menggambarkan. Istri tokoh utama yang sangat mengharapkan kehadiran seorang
anak dengan alasan untuk mengusir rasa takutnya selama ini. Kemudian, istrinya
menyalahkan tokoh utama yang belum bisa memberikan seorang anak. Hal itu
dinyatakan dengan ungkapan tokoh utama, “His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu
boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun
ku alloh”.
Namun, tokoh utama tak ingin hal ini semata-mata disebabkan olehnya. Ia
pun menegaskan bahwa Tuhan belum memberikan berkah seorang anak di tengah
keluarga mereka, dan tokoh utama mengharapkan istrinya selalu sabar dalam
menghadapinya. Bahkan, istrinya menyarankan agar suaminya segera memeriksakan
dirinya ke dokter. Melalui penuturannya kepada tokoh utama, “Nu sanes mah
tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg”. Hal tersebut, memunculkan konflik
batin bagi tokoh utama yang merasa dirinya disudutkan karena belum mampu
memberikannya seorang anak. Kemudian, ia mengakui bahwa dirinya berbeda
dengan lelaki normal pada umumnya dan menyadari kekurangan pada dirinya
tersebut.
88
3.3.3 Cerpen Diburu ku Butuh
3.3.3.1 Kendala Pekerjaan Sebagai Penyebab Lemahnya Perekonomian Keluarga
Pada cerpen yang ketiga, terungkap problematika keluarga Bram yang
didasari karena faktor lemahnya perekonomian keluarga. Dalam usahanya tersebut,
Bram mengalami hal-hal yang sangat menganggu pikirannya sehingga memunculkan
konflik batin pada dirinya. Hal tersebut diantaranya, konflik batin yang timbul
karena permasalahan pekerjaan yang sedang ia geluti. Hal tersebut tergambar
melalui data berikut:
26) Kudu ka mana nya nyiar duit? Mun boga kantor mah, meureun bisa nginjeum ka kantor.Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang. Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge kawilang gede, saratus rebu sabulan.
(DKB: 48)Harus kemana mencari duit? Kalau saja punya kantor, mungkin bisa meminjam uang ke kantor.Salah sendiri, nekad mengandalkan hidup dari mengarang. Padahal sebelumnya, tiap bulan ada yang bisa diharapkan, sudah barang tentu mendapatkan gaji. Bekerja di sebuah perusahaan, gaji cukup besar, seratus rebu sebulan.
Berdasarkan data no.26, hal itu memicu konflik batin pada diri Bram,
terkadang ia menyesali akan nasib yang dialami keluarganya sebagai ulahnya,
“Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang”. Hal itu terjadi
karena ia tidak mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ia mengingat masa lalunya yang
89
pernah bekerja di sebuah perusahaan, “Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh
boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge
kawilang gede, saratus rebu sabulan. Gajinya cukup terbilang besar, cukup untuk
membiayai keluarganya. Namun, ia mengundurkan diri dari pekerjaanya dan
memilih menjadi penulis. Kini dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan,
ia sangat menyesali atas pilihannya tersebut.
3.3.3.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Ketidak Mampuan Menyanggupi Keinginan Orang Tua
Karena kondisi ekonomi keluarganya yang lemah, Bram terpaksa menolak
memberikan Ayahnya pinjaman sejumlah uang untuk membeli televisi. Hal tersebut
tergambar melalui data berikut::
32) Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit gepokan? Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun? Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah.
(DKB: 54)
Berpikir sejenak. Dasar cobaan! Saat ini sungguh kesal menerima surat dari Apa. Bagaimana nggak, sedang kebingungan memikirkan kebutuhan sehari-hari, malah meminjam uang untuk membeli televisi. Dianggap manusia apa aku ini? Direktur bukan, pejabat bukan, dari mana punya uang gepokan? Mungkin karena dianggapnya penghasilan dari buku pesanan Inpres terus mengalir,
90
tak pernah henti? Bisa jadi seperti itu, karena Apa dan Ema tak pernah melihat ketika susah.
Berdasarkan data no.32, Bram merasa kesal dengan sikap ayahnya,
menurutnya ayahnya tak pernah mengetahui keadaan keluarga Bram yang serba
kesusahan. Bram berkata, “Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba!
Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina
keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na
dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit
gepokan?”. Menurut Bram, belum lagi kebutuhan keluarganya terselesaikan, kini ia
harus senantiasa membahagiakan orang tuanya. Jangankan untuk memberikan
pinjaman kepada ayahnya, Bram pun kesulitan dalam memenuhi keperluan
keluarganya. Ia sangat sedih dan kesal menghadapi permasalahan tersebut.
Menurutnya Apa sudah tak menghargai dirinya dan bersikap semaunya terhadap
Bram. Kemudian Bram menyimpulkan, Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan
tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun? Bisa jadi kitu, lantaran
Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah. Kemungkinan ayahnya beranggapan,
ia selalu mendapatkan pendapatan yang besar dari proyek pembuatan buku Inpres
yang pernah ia kerjakan. Namun orang tuanya tak pernah mengetahui keadaan
keluarga Bram yang kini sedang dilanda kesusahan. Kemudian pada akhirnya, hal itu
pun mengakibatkan munculnya konflik antara Apa dengan Bram.
91
3.3.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi
3.3.4.1 Kepergian Pembantu Keluarga Tokoh Utama Sebagai Penyebab Problematika Keluarga
Sejak kepulangan Si Bibi ke kampung halamannya, Tatang dan istrinya
kewalahan dalam mengurusi rumah tangga mereka. Peran Si Bibi sangatlah penting
dalam keluarga Tatang, sehingga ketika ia memutuskan untuk pulang kampung,
Tatang dan istrinya kesulitan dalam mengerkan pekerjaan rumah tangga yang
biasanya sehari-hari menjadi tugas pembantu mereka tersebut. Hal tersebut tergambar
melalui data berikut:
37) Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si Bibi teh. Basa Si Bibi balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh. (STSB: 70)
Susahnya sepeninggal Si Bibi. Ketika Si Bibi mengutarakan keinginannya untuk pulang kampung, ingin istirahat selama tiga minggu, tak ditolak. Sudah semestinya, karena sudah setahun lamanya menjadi pembantu keluargaku.
Berdasarkan data di atas, permasalahan keluarga Tatang muncul ketika Si
Bibi memutuskan pulang ke kampung halamannya untuk beristirahat selama tiga
minggu. Hal tersebut tergambar pada ungkapan Tatang, “Ripuh puguh ge
ditinggalkeun ku Si Bibi teh”. Karena sejak Si Bibi pulang kampung, Tatang beserta
istrinya merasa kerepotan dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga. “Basa Si Bibi
balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag.
92
Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh”.
Tatang tak mampu menolak keinginan Si Bibi untuk pulang kampung, Menurut
Tatang sudah sewajarnya ia memintanya karena sudah setahun lamanya ia
membantu Tatang dan istrinya dalam mengurusi rumah tangga mereka.
3.3.4.2 Adanya Sikap Tidak Terbuka Terhadap Istri Dalam Mengerjakan Tugas Rumah Tangga Sebagai Pemicu Konflik Batin Tokoh Utama
Persaingan antara Tatang dengan istrinya disebabkan karena, Tatang ingin
membuktikan kepada istrinya bahwa ia mampu mencuci pakain tanpa harus
mengeluh. Tidak seperti istrinya yang tampak kewalahan dalam melakukannya. Hal
tersebut tergambar melalui data berikut:
47) Alah, pira ge nyeuseuh, naon capena!” cekeng, basa pamajikan luh- lah bangun nu ripuh, pedah geus saminggu noron nyeuseuhan.
“Mangga we buktoskeun, bilih teu percanten mah,”pokna.Ditangtang kitu teh teu asa di titah, bet nyongsrog rasa panasaran hayang ngabuktikeun, hayang mere conto, pilakadar ge nyeuseuh sajolang, asa teu kudu luh-lah. (STSB;70)
Alah, mencuci segitu saja, apa capeknya!” ucapku, ketika istriku mengeluh seperti yang kewalahan, karena seminggu terus mencuci.“Silakan saja buktikan, kalau tidak percaya,” ucapnya.Ditantang seperti tak harus menunggu perintah, seketika itu juga ingin membuktikan kepenasaranku, ingin membuktikan, ingin memberi contoh, mencuci satu ember saja, tak perlu mengeluh.
Berdasarkan data no 47, Tatang menganggap istrinya tak perlu mengeluh
dalam bekerja, hal itu tergambar melalui ungkapan, “Alah, pira ge nyeuseuh, naon
93
capena!” cekeng, basa pamajikan luh-lah bangun nu ripuh, pedah geus saminggu
noron nyeuseuhan.” Kemudian, Tatang tanpa diminta oleh istrinya, berinisiatif
untuk menggantikan istrinya dalam mencuci pakaian. Ia ingin membuktikan dan
memberi contoh kepada istrinya bahwa, sebenarnya pekerjaan mencuci pakaian
adalah perkara mudah baginya.
3.3.5 Cerpen Haleuang Indung
3.3.5.1 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Pendidikan Anak
Ema berharap untuk menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih
tinggi, namun semua itu tak dapat terwujud karena kekurangan biaya akibat
lemahnya perekonomian keluarga. Hal tersebut tergambar pada data berikut:
41) Lain teu hayang siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun rea pamenta hidep teu kacumponan. Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca .( HI; 81)
Bukannya tdak mau seperti orang lain. Menyekolahkan kamu sampai sukses. Bukannya tidak menyayangi kamu seperti orang lain lakukan, bila setiap keinginanmu tak terpenuhi. Kamu pun mengerti, berapa penghasilan Bapak semasa hidup. Apa yang bisa diharapkan dari Bapakmu, yang hanya mampu menarik beca.
Berdasarkan data di atas tergambar kondisi keluarga Emak yang
memprihatinkan “Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur
94
jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca”.
Dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang berprofesi sebagai penarik
beca, tentunya tak dapat mencukupi biaya sekolah Ujang.
3.3.5.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagi Penyebab Berpisahnya Ibu Dan Anak
Dalam peristiwa ini menceritakan perjalanan hidup Ema hingga ia
ditinggalkan oleh Ujang, untuk mengais rejeki ke Kalimantan. Hal itu tergambar
pada data berikut:
44) “Rek tulus, Ma.”“Ka mana?”“Nyiar gawe ka Kalimantan.”“Jauh-jauh teuing atuh”
“Tibatan di dieu ripuh. Sugan we di ditu mah seueur lolongkrang.”“Jeung saha?”“Sareng rerencangan.” (HI; 86)
“Jadi pergi, Ma”“Ke mana?”“Mencari pekerjaan ke Kalimantan.”“Kok jauh amat”“Daripada di sini hidup susah. Mungkin saja disana banyak lowongan.
Berdasarkan data diatas, karena kondisi perekonomian keluarga yang serba
kekurangan mengharuskan Ujang untuk merantau ke Kalimantan. Hubungan Ibu dan
anak kini terpisahkan oleh jarak, dikarenakan situasi yang sangat memaksa. Hal itu
dilakukan Ujang semata-mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar
95
mereka tidak mengalami kesengsaraan. Keputusan Ujang tersebut membuat sedih
hati Emak, karena kini Emak hidup sendirian.
3.4 Upaya Tokoh Dalam Menghadapi Problematika Keluarga
Secara tidak langsung, problematika keluarga yang dialami tokoh-tokoh
pada cerita ini, mendorong pula upaya-upaya tokoh dalam proses pemecahan masalah
yang mereka hadapi. Tergambar pula adanya usaha tiap tokoh dalam cerita, berusaha
memperbaiki konflik-konflik yang terjadi agar terjalin hubungan sosial yang dilandasi
nilai-nilai kemanusiaan yang harmonis, yang berakhir pada kebahagiaan bersama.
Disamping itu, terungkap pula adanya kemampuan tiap tokoh dalam mengendalikan
diri, sebagai upayanya agar mendapatkan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya.
3.4.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng
3.4.1.1 Bersikap Sabar Menghadapi Permasalahan Keluarga
Aas berusaha untuk tidak terpancing oleh amarah dalam menghadapi
permasalahan keluarganya, dan berjiwa besar dalam menghadapinya. Hal itu
dilakukannya semata-mata untuk kebaikan dirinya beserta keluarganya, dan terlebih
lagi, ia tidak ingin menyakiti perasaan suaminya. Sikap Aas tersebut membuktikan
kecintaanya yang begitu besar kepada Kang Gugum. Walaupun Aas hanya bisa
96
menyimpan kesedihan di dalam hatinya, ia menyadari hanya dengan bersikap sabar
ia mampu meyelesaikan permasalahan ini tanpa menimbulkan konflik yang lebih
besar. Ia tidak ingin permasalahannya dengan Ibu Mertua sebagai pemicu keretakan
keluarga.. Hal itu tergambar pula pada data berikut;
9) Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha? Gusti, mugi-mugi nu sanes mah ulah dugi ka terang, naon nu karandapan ku abdi. Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub.
( TAAN; 19)Dengan melihat kenyataanya, siapa yang menyangka, bahwa kepindahanku karena sudah tidak kuat hidup bersama mertua? Ya Tuhan, semoga saja orang lain tidak tahu, apa yang aku alami. Semoga mertuaku menyadari, kalau aku masih tetap menyayanginya. Berpisah bukan berarti tidak ingin berbakti atau benci, tapi ingin menjauhkan segala betuk percekcokan. Agar hatiku terbebas dari rasa sakit dan pedih, yang akan mendatangkan rasa benci.
Pada data no 9, tergambar ungkapan Aas yang merasa sudah tidak tahan
menghadapi permasalahan dalam keluarganya, dan tiada jalan lain baginya bahwa ia
beserta keluarganya harus pindah dari rumah Ibu Mertua. Ungkapan hati Aas
tergambar pada; “Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah
teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha?”. Kemudian, ia tidak henti-hentinya selalu
pasrah dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar permasalahan ini tidak sampai
terungkap kepada orang lain yang dapat menimbulkan permasalahan yang lebih
97
besar. Aas berharap semoga Yang Maha Kuasa membukakan pintu kesadaran bagi
Ibu Mertuanya, walaupun apa yang dialami Aas begitu menyedihkan hal itu tidak
menurunkan rasa cinta Aas kepada Ibu mertuanya. Hal itu ditegaskan Aas melalui
ungkapan, “Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna.
Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun
sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu
bakal ngadatangkeun kaceuceub”. Keinginanya untuk berpisah dari Ibu Mertua
bukan sebagai sikap yang mencerminkan tidak berbakti kepadanya, namun itu
dilakukanya demi menghindari percekcokan di antara mereka, dan rasa kepedihan
yang semakin menambah rasa benci karena permusuhan. Aas menginginkan
kemandirian tanpa harus menggantungkan hidup kepada orang tua, walaupun pada
kenyataanya Ibu Mertua berbuat kurang baik terhadapnya, ia tetap menyayanginya
dan sebagai seorang sosok yang tetap ia hormati.
Walaupun Aas tersiksa akan hal itu, ia tidak ingin menceritakan kenyataan
yang sebenarnya kepada Kang Gugum. Kehalusan budi pekerti dan kesabaran
tercermin pada tokoh utama dalam menghadapi permasalahan yang ia hadapi. Hal
itu, menjadi kunci dalam penyelesaian konflik dengan Ibu Mertua yang coba ia
selesaikan, tanpa harus menyinggung perasaan suami dan Ibu Mertua.
98
3.4.1.2 Memilih Hidup Berpisah Untuk Menghindari Konflik Dengan Ibu Mertua
Namun, kesabaran Aas pun ada batasnya, pada akhirnya ia membicarakan hal
tersebut kepada suaminya, namun Aas masih dibayangi kekhawatiran suaminya akan
berbalik membencinya. Ia mengusulkan ingin hidup berpisah dari mertuanya, ia ingin
terlepas dari semua beban yang dirasakan, hanya saja ia tidak berterus terang tentang
sikap ibunya kepada suaminya. Ia takut apabila berterus terang akan menyakiti
hatinya dan ia tidak mempercayainya sama sekali. Tiada jalan lain baginya untuk
keluar dari masalah ini adalah segera pindah dari rumah Ibu Mertuanya. Hal itu
tergambar pada data berikut;
8) “Abdi mah... hoyong ngalih.”Kang Gugum olohok sajongjonan.“Ngalih ka mana?”“Ka mana we.”“Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang
mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”
Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...
“Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah.” (TAAN; 14)
“Aku... ingin pindah.”Kang Gugum terbengong“Pindah kemana?”“Kemana saja.”
99
“Memangnya disini kenapa? Walaupun hidup bersama Ibu pun, kita tetap pisah, di pavilyun. Belanja pun tak menyusahkan Ibu. Atau...Aas merasakan sesuatu yang tidak enak dari Ibu?”Kepala (ku) menggeleng, walaupun dalam hati ingin teriak. Iya, kang! Iya, memang seperti itu...
“Agar tidak keenakan, Kang. Kalau kita terus-terusan di sini, aku takut dianggap tidak mendukung usaha Akang. Takut dianggap aku hanya ingin senangnya saja, tidak lepas dari Ibu. Dan lagi kalau kita bisa keluar dari sini, walaupun hanya mengontrak rumah, Ibu pun pasti akan merasa senang.”
Pada data no.8, tergambar bagaimana Aas mengutarakan keinginannya
untuk berpisah dari Rumah Ibu Mertua kepada suaminya tersebut. Kemudian, Kang
Gugum merasa heran dengan permintaan Aas tersebut. Kang Gugum bertanya
kepada Aas, “Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang mah
misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya
kateungeunah ti ibu?”. Mendengar hal itu, Kang Gugum merasa heran, ia merasakan
kejanggalan dengan keinginan Aas tersebut yang pada akhirnya menimbulkan
kecurigaan, bahwa tentunya ada permasalahan yang melatar-belakangi keinginan
istrinya tersebut. Walaupun ia dan Aas menumpang hidup dirumah ibunya,
dirasakan olehnya tidak pernah menyusahkan, bahkan untuk uang belanjapun
Gugum bersama keluarganya tidak pernah membebani Ibunya. Gugum curiga bahwa
Aas mendapatkan perlakuan yang kurang pantas dari ibunya. Kekhawatiran kembali
melanda hati Aas waktu itu. Namun, Aas berusaha untuk tidak memperlihatkan
kesedihan dihadapan suaminya. Ungkapan hati Aas tergambar melalui, “Sirah
100
gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...”. Aas
menampik semua kecurigaan suaminya dan ia berdalih bahwa keinginanya untuk
pindah justru agar tidak membebani Ibu Mertuanya. Aas berkata, “Ngarah teu
kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar
teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna
wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos
ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah . Menurut Aas, ia ingin
hidup mandiri dan bisa membantu usaha suaminya dalam mencari nafkah. Walaupun
hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapinya, ia tidak ingin
dianggap bahagia diatas penderitaan suaminya.
3.4.1.3 Mencari Pekerjaan Untuk Menambah Penghasilan Keluarga
Aas menggeluti lagi dunia model yang sejak SMU ia tinggalkan, bersama
sahabatnya, Fika. Penghasilannya digunakan untuk membantu Kang Gugum
membiayai rumah kontrakannya. Penghasilannya yang cukup lumayan dari
pekerjaanya ini ternyata mampu mengatasi permasalahan yang ia hadapi, ketika
masih hidup bersama dengan Ibu mertua. Pada akhirnya ia mampu melepaskan diri
dari tekanan Ibu Mertua. Hal itu tergambar pada data berikut:
(47) Teu sirikna sababaraha kali nganuhunkeun ka Fika, bakat ku atoh aya jalan keur waragad ngontrak imah. Ti Kang Gugum lima ratus rebu, ti kuring lima ratus rebu, ngontrak imah dua tauneun,
101
meunangkeun imah nu meujeuhna keur pantaran kulawarga kuring mah. (TAAN,18)
Tak kurangnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Fika, karena aku bahagia diberikan jalan untuk mengontrak rumah. Dari Kang Gugum lima ratus ribu, dan aku lima ratus ribu, mengontrak rumah untuk dua tahun, mendapatkan rumah yang cukup dan sesuai untuk keluargaku.
Berdasarkan data tersebut, keinginan Aas untuk mempunyai rumah sendiri,
akhirnya tercapai berkat bantuan Fika. Walaupun hanya rumah kontrakan, ia sangat
bersyukur akan hal itu. Melalui ungkapan, Teu sirikna sababaraha kali
nganuhunkeun ka Fika, bakat ku atoh aya jalan keur waragad ngontrak imah, Aas
merasa bahagia dan sangat berterima kasih kepada Fika yang telah memberikan jalan
baginya dari kesusahan. Dari pekerjaan yang Fika tawarkan, Aas dapat membantu
suaminya membiayai rumah kontrakan yang cukup bagi keluarganya.
Kemudian, ketika Aas mengetahui tentang alasan yang melatar belakangi
kerewelan Ibu mertua pada dirinya dari Kang Yayan, sebagai bentuk kekhawatiran
Ibu Mertua terhadap keberadaan Aas dalam penguasaan harta keluarga. Namun, Aas
menyikapi hal tersebut pun dengan penuh kesabaran. Ia meyakini bahwa ia dan
suaminya tidak akan mempermasalahkan keberadaan harta warisan keluarganya.
Pernyataan Aas tersebut tergambar melalui data berikut:
(48) Moal! Asa pamohalan Kang Gugum mah ngaributkeun soal warisan....Kuring ge, asa teu sugema ari kudu hirup tina hasil warisan mah. Nu matak senang mah, mun sagala nu nyampak teh, beunang ladang kesang sorangan, boh ti kuring boh ti Kang Gugum.
102
Warisan mah, leuwih rea matakna tibatan mangpaatna. (TAAN; 31)
Tidak! Tidak mungkin Kang Gugum meributkan tentang warisan…Aku pun, tidak akan bahagia bila hidup dari hasil warisan. Aku akan bahagia bila semua yang aku punya, hasil dari keringat sendiri, baik dariku sendiri maupun dari Kang Gugum.Harta lebih banyak menimbulkan keburukan dibanding manfaatnya.
Berdasarkan data di atas, Aas menegaskan tentang sikap dirinya beserta
suaminya terhadap keberadaan warisan tersebut. Menurutnya, “Kuring ge, asa teu
sugema ari kudu hirup tina hasil warisan mah. Nu matak senang mah, mun sagala
nu nyampak teh, beunang ladang kesang sorangan, boh ti kuring boh ti Kang
Gugum”, ia tidak menginginkan kebahagiaan keluarganya di dapatkan dari hasil
warisan keluarga. Aas lebih memilih mendapatkannya dari hasil keringat dan kerja
keras baik dirinya maupun Kang Gugum. Ia pun menuturkan, “Warisan mah, leuwih
rea matakna tibatan mangpaatna”, menurutnya ia lebih berkeyakinan bahwa harta
warisan tentunya akan menimbulkan permasalahan dibanding manfaat yang ia dapat.
Berdasarkan hal tersebut, tercermin sikap positif dalam diri Aas dalam
menghadapi tantangan permasalahn tersebut. Ia meyakini bahwa dengan
pekerjaannya, kini ia dapat mengatasi permasalahan perekonomian keluarganya,
serta Aas dan suaminya pun mampu menafkahi keluarganya secara layak.
Kemudian, untuk menghadapi konflik dengan Ibu Mertua dalam permasalahan
perebutan warisan keluarga, Aas lebih bersikap netral menyikapi hal tersebut. Ia
beserta suaminya meyakini bahwa kebahagian keluarganya tidak ingin semata-mata
103
didapatkan dari harta warisan keluarga, ia pun menegaskan bahwa tentunya ia
beserta keluarganya akan bahagia, apabila segala hal yang ia dapat berasal dari
usaha dan kerja keras dirinya beserta Kang Gugum.
3.4.1.4 Bentuk Dukungan Moral Suami Terhadap Karier Istri
Kekhawatiran Aas pada akhirnya pudar, setelah Kang Gugum mengizinkan
dirinya menerima tawaran untuk menjadi pemain film dari Fika. Hal itu tergambar
pada data berikut:
49) “Terus terang…Akang moal ngahalangan mu Aas boga niat rek narima eta peran”….Kang Gugum kalah imut. “Teu percanten…?”“Kang Gum…”Sirah nyuuh na dadana. Asa teu hayang nyarita itu jeung ieu.(TAAN: 26)
…”Terus terang …Akang tidak akan menghalangi bila Aas ingin menerima peran tersebut”….Kang Gugum malah tersenyum. “Tidak percaya….?”“Kang Gum…” Kepalaku bersimpuh di dadanya. Tak ingin berkata apa-apa.
Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan Kang Gugum yang
mengizinkan Aas untuk menerima tawaran peran tersebut. Kang Gugum tidak akan
menghalangi niat istrinya. Hal itu ditunjukannya melalui ungkapan, “Terus
terang…Akang moal ngahalangan mu Aas boga niat rek narima eta peran”….
104
Kemudian, yang membuat hati Aas bertambah senang adalah, bahwa
suaminya tersebut menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Aas, serta memberikan
dukungan terhadap Aas untuk bekerja di dunia film. Hal tersebut tergambar melalui
data berikut:
50) “As…Akang mah terang saha Aas, percanten ka Aas. Akang mah yakin Aas moal ngarempak kapercantenan Akang, pokona mah Akang siap jadi salaki bentang pilem kawentar, siap adu hareupan jeung sabangsaning gossip”.
(TAAN;27)“As…Akang sangat mengenal siapa Aas, percaya kepada Aas. Akang yakin, Aas tidak akan sampai merusak kepercayaan Akang. Pokoknya, Akang siap jadi suami bintang film terkenal, siap berhadapan dengan segala macam gossip.”
Berdasarkan data di atas , tergambar ungkapan Kang Gugum yang
sepenuhnya mendukung keinginan Aas. Ia berkata, “As…Akang mah terang saha Aas,
percanten ka Aas. Akang mah yakin Aas moal ngarempak kapercantenan Akang”.
Hal tersebut menggambarkan bahwa Kang Gugum telah menaruh kepercayaan yang
begitu besar terhadap Aas, dan ia yakin sepenuhnya bahwa ia tetap akan menjaga
keutuhan keluarga mereka. Kemudian ia menambahkan,” Pokona mah Akang siap
jadi salaki bentang pilem kawentar, siap adu hareupan jeung sabangsaning gossip”.
Hal tersebut meberikan jaminan kepada Aas bahwa sebagai suami seorang bintang
film, Kang Gugum tidak akan pernah goyah akan gunjingan dan isu-isu negatif yang
akan ditemui oleh mereka kelak.
105
3.4.2 Cerpen Trong Kohkol
3.4.2.1 Menyediakan Kentongan Sebagai Bentuk Kewaspadaan Terhadap Ancaman Keamanan Lingkungan
Kondisi keamanan lingkungan sekitar komplek perumahan yang di diami
tokoh utama dan istrinya tak kunjung membaik. Walaupun segala usaha warga dari
mulai pengadaan Pos Ronda serta mengoptimalkan kegiatan Siskamling, tetap saja
pencurian bahkan perampokan semakin meningkat, bahkan tak jarang mereka pun
semakin nekat. Hingga akhirnya warga mulai mengusahakan penyediaan kentongan
di setiap Pos Ronda dan rumah warga. Hal itu terungkap pada data berikut:
20) Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol. Nu sejenna kudu solider, langsung nabeuh kohkol, silih bejaan. Cara kitu teh, cenah keur ngahirupkeun deui gotong royong diantara warga. (TK; 40)
Tiap petugas ronda diberikan kentongan, bahkan tiap rumah harus menyiapkan kentongan. Bilamana ada hal-hal yang mencurigakan, kentongan cepat-cepat dibunyikan. Yang lain harus solider, langsung menabuh kentongan, saling memberitahukan. Katanya cara seperti itu menghidupkan kembali gotong royong diantara warga.
Dari data tersebut, tergambar bagaimana usaha warga menyediakan
kentongan untuk menghadapi permasalahan lingkungannya yang tidak aman.
“Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya
itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol”. Dari gambaran tersebut,
tergambar peran dan fungsi kentongan untuk menciptakan keamanan di Komplek
106
Sindang Kasih. Hal itu mencerminkan bentuk gotong royong dan mendorong bentuk
kepedulian terhadap lingkungan masyarakat.
3.4.2.2 Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Terhadap Istri
Bagi tokoh utama dan istrinya, hadirnya kentongan tersebut sangatlah
bermanfaat. Mereka mulai merasakan ketenangan dalam menjalani kehidupan rumah
tangga. Hal itu memberikan kesempatan bagi tokoh utama untuk lebih memberikan
perhatian dan kasih saying terhadap istrinya, tanpa harus merasa was-was akan
keamanan lingkungan. Hal itu tergambar melalui data berikut:
51) Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu dibarung ku gegebegan.
“Matih gening kohkol teh,” cek kuring dina hiji peuting.“Aneh puguh. Akang ge janten kiatan.”“Muhun.”“Asal kohkolna mindeng di takol.”“Ih!” Pamajikan nyiwit kana cangkeng.. (TK, :41)
Tak tahu kenapa, setelah kehadiran kentongan istriku agak bisa nyenyak tidurnya. Bahkan sering meminta dipeluk, melepaskan kerinduan, tidak diselimuti rasa takut.
“Manjur juga ternyata kentongan itu, “ ucapku pada suatu malam.“Aneh, Akang pun jadi perkasa.”“Iya.”“Asal kentongannya sering di tabuh.“Ih!” istriku mencubit pinggangku.
Berdasarkan data di atas, manfaat dari kentongan tersebut dapat dirasakan
oleh tokoh utama melalui ungkapan, “Teuing ku naon, geus aya kohkol mah
107
pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun
kasono, teu dibarung ku gegebegan.” Istrinya merasa tenang dan bahagia sejak
kehadiran kentongan tersebut ada di rumah mereka. Bahkan, hal itu pun memberikan
kesempatan kepada tokoh utama untuk bisa mencurahkan kasih sayang serta
memanjakan istrinya, yang selama ini belum mampu ia berikan.
3.4.3 Cerpen Diburu Ku Butuh
3.4.3.1 Berusaha Meminjam Uang Untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga
Dalam keadaan yang tertekan karena kondisi keluarganya yang serba
kekurangan, hal tersebut mengharuskan Bram meminjam uang kepada Pak Burhan.
Hal tersebut tergambar pada data berikut ;
26) Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate. Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun budak. (DKB, 49)
Beberapa kali kutarik nafas, tegarkan hati. Tiada lagi alasan yang bakal dipercaya selain butuh uang untuk biaya anak yang sedang sakit. Ya, terpaksa harus berbohong, mengorbankan anak.
Dari data di atas, karena Bram sangat frustasi dengan permasalahan yang
dihadapinya, dan demi tanggung jawab kepada keluarganya yang harus ia nafkahi,
dirinya pun memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Pak Burhan.
“Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate”. Menggambarkan usaha Bram
108
untuk mengusir rasa ragu yang menyelimutinya batinnya. Walaupun merasa malu, ia
terpaksa melakukannya karena tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya
yang mendesak.
3.4.3.2 Bersikap Tenang dan Sabar dalam Menghadapi Problematika Keluarga
Walaupun mengalami tekanan batin karena permasalahan yang ia alami,
namun Bram tetap menghadapinya dengan tenang dan penuh kesabaran. Hal itu
tergambar melalui data berikut:
52) Apan eta teh elmu hirup, Mah. Kasusah mah ulah diucah-aceh komo deui ka kolot. Ulah nepi ka kolot milu susah mikiran kaayaan anak. Kaasup ibadah gede, nyenangkeun kolot teh. (DKB; 57)
Itu yang dinamakan ilmu hidup, Mah. Susah jangan sampai orang lain tahu apalagi orang tua. Jangan sampai orang tua ikut susah memeikirkan keadaan anaknya. Termasuk ibadah besar, menyenangkan orang tua itu.”
Berdasarkan data di atas, dalam menghadapi permasalahan keluarganya,
Bram mencoba menenangkan perasaan istrinya yang ikut tertekan karena hal tersebut.
Hal itu tergambar melalui ungkapan, “Apan eta teh elmu hirup, Mah. Kasusah mah
ulah diucah-aceh komo deui ka kolot”. Ungkapan itu menunjukan, Bram mencoba
meyakinkan kepada istrinya bahwa segala permasalahan yang mereka hadapi,
merupakan tantangan kehidupan yang mengandung sebuah nilai penting dan dapat
109
diambil hikmahnya kelak. Kemudian, ia pun menambahkan, “Ulah nepi ka kolot milu
susah mikiran kaayaan anak. Kaasup ibadah gede, nyenangkeun kolot teh”. Bram
kemudian menekankan kembali bahwa kenyataan hidup yang mereka alami tidak
seharusnya orang tua mereka pun ikut terbebani akan hal itu. Bahkan menurutnya,
menyenangkan hati mereka adalah bentuk ibadah penting yang diwajibkan setiap
anak kepada orang tuanya.
Kemudian ketika terjadi konflik dengan ayahnya, Bram tak hentinya
menenangkan istrinya yang dilanda kepanikan menghadapi permasalahan itu. Hal
tersebut tergambar melalui data berikut:
53) “Teungteuingeun tuda Apa teh. Ka barudak ge bangun nu api lain. Tadina mah, mun ngagugu napsu, abdi teh hoyong teras ka toko emas we bade ngical geulang.”“Keur televisi?”“Muhun.”“Genah di Apa teu genah diurang atuh, Mah.”“Wios tibatan disangka ngabohong mah” “Nyanghareupan nu kitu mah, lain ku napsu, Mah. Tenang we. Kudu ngama’lum.” (DKB; 62)
“Apa sangatlah keterlaluan. Kepada anak-anak sperti yang acuh tak acuh. Tadinya kalau saja kelewat emosi, saya ingin pergi ke toko emas, mau menjual gelang.”“Untuk televisi?”“Betul.”“Enak di Apa, tapi sebaliknya dengan kita, Mah”“Biar saja daripada disangka berbohong.”“Menghadapinyaa hendaklah jangan oleh emosi, Mah. Tenang saja. Harus dimaklum.”
110
Berdasarkan data no. 53, Kepanikan istrinya tergambar melalui ungkapan,
“Teungteuingeun tuda Apa teh. Ka barudak ge bangun nu api lain. Tadina mah, mun
ngagugu napsu, abdi teh hoyong teras ka toko emas we bade ngical geulang”.
Kemudian Bram mencoba menangkan istrinya melalui ungkapan, “Nyanghareupan
nu kitu mah, lain ku napsu, Mah. Tenang we. Kudu ngama’lum”. Ia mengharapkan
istrinya agar tenang dan sabar, dan tidak seharusnya mengandalkan emosi dalam
menghadapi cobaan tersebut. Bram mengatakan kepada istrinya bahwa mereka harus
memaklumi kondisi tersebut.
Sikap tenang dan sabar tentunya tidak hanya timbul dari batin Bram sendiri,
namun, hal itu pun didorong oleh peran serta dukungan istri Bram yang selalu
membantu suaminya tersebut. Ia selalu setia berada di sisi Bram dalam menghadapi
permasalahan yang mereka hadapi. Hal itu tergambar melalui data berikut:
54) “Abdi mah... karunya ka Akang we. Bilih rieut ngemutan ka ditu-kadieu, taya reureuhna. Bilih ngaganggu kana padamelan Akang. Bilih Akang teu damang.”Teuing ku tengtrem ngadenge omongan pamajikan. Nuhun gusti ! Abdi teh teu salah milih. Dina keur lieur, asa teu eureun-ereun nu ngabeberah. (DKB; 62)
“Saya... hanya kasihan melihat Akang. Dipusingkan kesana-kemari, tanpa istrirahat. Khawatir akan mengganggu pekerjaan Akang. Takut akang jatuh sakit.”Hatiku sangat tentram mendengar perkataan istriku. Terima kasih Tuhan! Aku tidak salah akan pilihanku. Dalam keadaan bingung, tak henti-hentinya ia menghibur.
111
Berdasarkan data no. 54, tergambar ungkapan istrinya yang selalu
memberikan perhatian penuh kepada Bram ketika suaminya tersebut dilanda
kesusahan.Ia berkata, “Abdi mah... karunya ka Akang we. Bilih rieut ngemutan ka
ditu-kadieu, taya reureuhna. Bilih ngaganggu kana padamelan Akang. Bilih Akang
teu damang”. Istri Bram merasa kasihan melihat suaminya tersebut mengalami
tekanan batin karena kondisi keluarga mereka yang mengalami cobaan. Dan ia
merasa khawatir permasalahn dengan ayah Bram kan menganggu pekerjaan Bram
dan tentunya akan mengganggu kesehatan suaminya tersebut.
Mendengar hal itu, Bram merasakan ketenangan dalam batinnya, hal itu
terungkap melalui, “Teuing ku tengtrem ngadenge omongan pamajikan. Nuhun gusti
! Abdi teh teu salah milih. Dina keur lieur, asa teu eureun-ereun nu ngabeberah”.
Bram merasa tentram karena sikap yang ditunjukan sang istri kepadanya. Ia
bersyukur kepada tuhan akan kehadira istrinya yang selalu mnyertainya. Ia pun
bersyukur kepadaNya telah memberikan pilihan istri yang begitu baik dan berbakti
untuknya, yang tak henti-hentinya menghibur ketika mengalami kesusahan.
3.4.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi
3.4.4.1 Menggantikan Peran Pembantu dalam Mengurusi Keluarga
Kepergian Si Bibi ke kampung halaman, mengharuskan dirinya mengerjakan
tugas yang seharusnya dilakukan oleh pembantunya tersebut. Tatang terlihat
112
kewalahan menerima tugas tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya. Hal
tersebut tercermin pada data sebagai berikut:
38) Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali...Teu burung rengse nyeuseuhan nepi ka moekeun teh. Diitung-itung aya kana dua jamna. (STSB: 73)
Merendam dan mememeras cucian, pekerjaan yang memeras tenaga, apalagi tidak cukup sekali atau dua kali.... Dari mulai mencuci hingga menjemur. Menghabiskan waktu hingga dua jam.
Berdasarkan data tersebut, tergambar kondisi Tatang yang kewalahan dalam
mencuci pakaian, melalui ungkapan, “Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela
kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali “.
Tercermin pula usaha Tatang untuk menjadi suami yang bertanggung jawab dengan
mengambil alih tugas yang sebelumnya selalu dikerjakan Si Bibi.
3.4.4.2 Upaya Memberikan Contoh Tauladan Terhadap Keluarga
Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci baju
sangat menguras tenaganya, namun ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-
asalan, Hal itu tergambar pada data berikut:
55) Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah. (STSB: 73)
113
Bisa saja mencucinya asal-asalan, tentunya khawatir diomeli istri. Maksud mau mencuci, ingin memberi contoh bagaimana mencuci yang bersih, dengan tak mengeluh.
Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan Tatang, “Ari rek nyeuseuh
asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh,
hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah. Hal itu didasari, karena
takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia kesulitan dalam melakukannya.
Walupun hal itu bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia harus
memberi tauladan yang baik kepada istrinya dengan memberi contoh bagaimana
mencuci pakain yang benar.
3.4.4.3 Senantiasa Bersabar dan Bersyukur Menghadapi Permasalahan Keluarga
Namun, walaupun menghadapi kesulitan, Tatang senantiasa bersyukur
kepada Tuhan akan kebahagiaan yang diberikan kepada dirinya beserta keluarga, dan
hanya dengan hal tersebut keharmonisan dalam keluarganya tercipta. Hal itu
tergambar melalui data berikut:
56) Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan jodo nu cop sareng lelembutan, nu bisa hirup sauyunan. Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan turunan nu sehat, nu lalucu, nu mageuhkeun beungkeut asih. (STSB; 75)
114
Terima kasih! Aku telah diberikan jodoh yang sesuai, yang bisa hidup rukun. Terima kasih Tuhan! Aku telah diberikan turunan yang sehat, yang lucu-lucu, yang meng-eratkan ikatan kasih sayang.
Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan syukur Tatang kepada Yang
Maha Kuasa atas limpahan berkah dan kebahagiaan yang ia dapatkan. Hal itu
terungkap melalui, Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan jodo nu cop sareng
lelembutan, nu bisa hirup sauyunan. Tergambar rasa syukurnya karena diberikan
jodoh yang sesuai dengan keinginannya, yang selalu hidup rukun bersama dirinya.
Kemudian, ia pun tak lupa bersyukur karena telah diberikan keturunan yang sehat,
dan. Tatang menyadari bahwa ia mampu melewati permasalahan yang ia hadapi
karena kehadiran anak-anaknya ditengah keluarga. Keberadaan merekalah yang
mampu memelihara ikatan kasih sayang dalam keluargaTatang.
3.4.5 Cerpen Haleuang Indung
3.4.5.1 Bekerja Keras untuk Menghidupi Kebutuhan Anak
Emak melalui kerja kerasnya berupaya menghidupi anaknya dengan
berjualan awug dan lupis. Hal itu dilakukannya untuk membiayai kebutuhan-
kebutuhan Ujang. Kini Emak sudah tidak sanggup lagi berjualan karena usianya yang
sudah tua. Kondisi tersebut tergambar melalui data berikut:
57) Geus cape Ema teh, Jang. Ti isuk nepi ka sore, ngider bari ngelek dagangan dina aisan. Nanawarkeun bari ngahelas .(HI:81)
115
Emak sudah capek, Jang. Dari pagi hingga sore, menawarkan sambil mengapit bakul dagangan. Menawarkan dagangan sambil memelas.
Pada kenyataannya, usaha yang dilakukan Emak tentunya tak akan
mencukupi berbagai kebutuhan Ujang. Namun, lewat nasehat yang ia berikan ia
berharap Ujang mau berusaha untuk menjadi orang yang sukses dalam hidupnya,
tidak seperti orang tuanya yang mengalami kesusahan. Hal itu tergambar melalui data
berikut;
43) Ema teh hayang mere kayakinan ka hidep : Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh mangsana reureuh. Tapi naha bisa? Naha pantes Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar pangarti.? (HI: 84)
Ema ingin memberi keyakinan kepadamu; Jangan mau hidup sengsara, Jang. Jangan seperti orang tuamu. Jangan hidup susah ketika tiba saatnya untuk istirahat. Tapi apakah bisa? Apa pantas Ema mengharapkan kamu menjadi sukses dengan tidak dibekali untukmencari pengetahuan.
3.4.5.2 Bersikap Sabar dalam Menerima Kenyataan Hidup
Walaupun Emak sangat menderita karena ditinggal Ujang ke Kalimantan, ia
tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak sanggup menolak keinginan Ujang untuk
merantau. Emak senantiasa bersabar dalam menghadapi permasalahan tersebut. Hal
itu ditunjukan pada data berikut;
116
45) Harita jang, Ema teh hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?
Tapi teu pok. Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup. (HI; 86) Saat itu Jang, Ema ingin mencegah. Ingin berkata; Jangan pergi Jang! Kalau tidak ada kamu, dengan siapa lagi Ema? Apa kamu tega meninggalkan Ema sendirian?Tapi tak dapat diungkapkan. Teringat apa yang dialami oleh Ema, orang tua Ema. Kesengsaraan dan kesengsaraan yang melanda. Mudah-mudahan, tekadmu pergi jauh menyeberangi lautan, ke tempat yang belum terjamah orang tua kita, membuka pintu untuk kehidupanmu kelak.
Berdasarkan data di atas terungkap keadaan batin Ema yang dilanda
kesedihan. Namun, walaupun dengan berat hati menerima kenyataan tersebut, ia
hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di perantauan, “Ras
sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing,
tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang,
enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup”. Emak berharap, tekad Ujang tersebut
akan membawa keberhasilan baginya. Tidak seperti orang tuanya yang terus dilanda
kesengsaraan dan kemiskinan.