Bab III Analisis

103
14 BAB III ANALISIS 3.1 Parafrase 3.1.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng Aas dan keluarganya mengalami tekanan batin dalam menghadapi permasalahan keluarganya. Hal tersebut, diakibatkan karena lemahnya perekonomian keluarga serta adanya campur tangan Ibu Mertua terhadap keluarga Aas. Tidak hanya itu saja, perlakuan Ibu Mertua terhadapnya sangat tidak adil menurut pandangan Aas. Perlakuan dari Ibu Mertua selalu baik terhadap adik Kang Gugum, Nonon, namun sebaliknya terhadap Aas, Ibu Mertua terkesan bersikap sinis, dan selalu meremehkan keadaan keluarga Aas yang serba kekurangan. Hal itu terjadi karena keluarga Nonon lebih mapan dibanding keluarga Aas. Kemudian, karena tak tahan menghadapi hal itu Aas mengutarakan keinginannya untuk pindah dari rumah mertuanya kepada Kang Gugum, suaminya. Namun, ia tidak berterus terang tentang tekanan batin yang ia alami. Hal itu dimaksudkan, agar suaminya tidak merasa tersinggung, dan Aas merasa khawatir bila Kang Gugum tidak mempercayai sepenuhnya apa yang ia alami, akibat perlakuan Ibu mertua yang kurang baik kepadanya. Mendengar hal itu, Kang Gugum sangat terkejut. Menurutnya, ia belum mampu memberikan tempat tinggal

Transcript of Bab III Analisis

Page 1: Bab III Analisis

14

BAB III

ANALISIS

3.1 Parafrase

3.1.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng

Aas dan keluarganya mengalami tekanan batin dalam menghadapi

permasalahan keluarganya. Hal tersebut, diakibatkan karena lemahnya perekonomian

keluarga serta adanya campur tangan Ibu Mertua terhadap keluarga Aas. Tidak hanya

itu saja, perlakuan Ibu Mertua terhadapnya sangat tidak adil menurut pandangan Aas.

Perlakuan dari Ibu Mertua selalu baik terhadap adik Kang Gugum, Nonon, namun

sebaliknya terhadap Aas, Ibu Mertua terkesan bersikap sinis, dan selalu meremehkan

keadaan keluarga Aas yang serba kekurangan. Hal itu terjadi karena keluarga Nonon

lebih mapan dibanding keluarga Aas. Kemudian, karena tak tahan menghadapi hal

itu Aas mengutarakan keinginannya untuk pindah dari rumah mertuanya kepada

Kang Gugum, suaminya. Namun, ia tidak berterus terang tentang tekanan batin yang

ia alami. Hal itu dimaksudkan, agar suaminya tidak merasa tersinggung, dan Aas

merasa khawatir bila Kang Gugum tidak mempercayai sepenuhnya apa yang ia alami,

akibat perlakuan Ibu mertua yang kurang baik kepadanya. Mendengar hal itu, Kang

Gugum sangat terkejut. Menurutnya, ia belum mampu memberikan tempat tinggal

Page 2: Bab III Analisis

15

yang layak bagi Aas dan anak mereka, ia beralasan penghasilannya yang pas-pasan

belum memungkinkan dirinya untuk memiliki rumah sendiri.

Untuk penghasilan tambahan bagi keluarganya, atas seizin Kang Gugum,

Aas kemudian mencari nafkah dengan menjadi foto model untuk sebuah majalah,

lewat ajakan temannya, Fika. Akhirnya keinginan Aas untuk memiliki rumah sendiri

dapat tercapai. Namun, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Aas tidak hanya itu

saja. Permasalahan baru muncul ketika Aas mendapat tawaran bermain film dari

seorang Produser, lewat Fika. Tawaran Fika tersebut memunculkan beban pikiran

untuk Aas. Pergulatan batin antara dua pilihan kemudian dialami Aas, karena ia tidak

sanggup meninggalkan tanggung jawabnya dalam mengurusi rumah tangga.

Aas khawatir, kepercayaan suaminya akan pudar apabila ia meninggalkan

tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga. Namun tanpa disangka oleh Aas

sebelumnya, Kang Gugum mengetahui tentang tawaran itu melalui. Kemudian ia

mengizinkan Aas untuk meniti karier dalam dunia film. Aas sangat gembira

mendengar keputusan suaminya, ia bangga mengetahui suaminya merelakan dirinya

mencari nafkah di luar rumah.

Kemudian Aas mengetahui kenyataan yang sebenarnya perihal keluarga

suaminya, berdasarkan penuturan kakak suaminya, Kang Yayan. Aas mengetahui

alasan yang melatarbelakangi sikap Ibu Mertua pada dirinya. Menurut penuturannya,

Aas mengetahui bahwa ternyata suaminya bukan anak kandung mertuanya dan

Page 3: Bab III Analisis

16

kekayaan yang dimiliki mertuanya, sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ibu

mertua merasa ketakutan akan kehilangan sebagian hartanya tersebut. Kemudian,

sikap kurang baik dari Ibu Mertua yang ditujukan kepada Aas, didasari oleh

kekhawatirannya terhadap Aas yang akan mempengaruhi Gugum agar mau menuntut

kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya.

3.1.2 Cerpen Trong Kohkol

Tokoh utama dan istrinya baru saja menempati rumah barunya. Namun,

istri tokoh utama merasa khawatir, karena ternyata di lingkungan komplek Sindang

Kasih yang baru mereka huni tersebut, banyak terjadi peristiwa pencurian dan

perampokan. Istri tokoh utama melarang suaminya pergi ke kantor karena takut

rumahnya disatroni para penjahat, dan ia enggan ditinggal suaminya sendirian di

rumah. Kehawatiran istri tokoh utama, berubah menjadi ketakutan yang berlebihan,

sehingga hal tersebut sangat menganggu tokoh utama. Setiap malam istri tokoh utama

tidak pernah nyenyak tidurnya. Apabila mendengar suara yang mencurigakan, ia

kerap kali membangunkan suaminya tengah malam untuk memintanya memeriksa

suara-suara yang mencurigakan tersebut.

Kemudian, warga di lingkungan meningkatkan sistem keamanan

lingkungan komplek Sindang Kasih. Secara bergotong royong mereka mendirikan

Pos Kamling untuk melaksanakan ronda malam secara bergiliran dan pengadaan

Page 4: Bab III Analisis

17

kentongan secara swadaya. Hal itu sedikit menenangkan istri tokoh utama,

ketakutannya sedikit mereda karena kehadiran kentongan tersebut. Bahkan, ia merasa

tenang dengan menyimpan kentongan tersebut tepat disamping tempat tidur mereka.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, ternyata pencurian dan perampokan semakin

meningkat. Istri tokoh utama kembali merasa khawatir akan ancaman tersebut.

Hingga pada suatu malam, istri tokoh utama merasa terkejut mendengar suara

kentongan di kamarnya. Ia melihat istrinya dengan penuh ketakutan memberitahukan

kepadanya bahwa rumah mereka sedang di satroni perampok. Namun, alangkah

kagetnya istri tokoh utama, ketika ia mengetahui bahwa ternyata sosok-sosok yang ia

kira perampok, adalah rombongan mertuanya yang sedang berkunjung ke rumah

mereka. Istri tokoh utama pingsan seketika mengetahui hal itu, ia kemudian jatuh dan

tak sadarkan diri.

3.1.3 Cerpen Diburu Ku Butuh

Bram merasa tertekan karena beragam tuntutan kebutuhan keluarganya

yang belum terpenuhi. Anaknya meminta agar Bram segera melunasi tunggakan

kebutuhan sekolahnya. Bram dengan penuh kesabaran menerima cobaan itu dan

berjanji kepada anaknya akan melunasi tunggakan tersebut. Bram kebingungan

kemana harus mencari uang, penghasilannya sebagai penulis lepas tidaklah cukup

untuk memnuhi kebutuhan keluarga. Kemudian, ia terpaksa meminjam uang kepada

Page 5: Bab III Analisis

18

Pak Burhan. Namun, ia merasa malu meminjam uang kepada Pak Burhan untuk

kebutuhan keluarga. Untuk mengatasinya, Bram meminjam uang dengan alasan untuk

membiayai pengobatan anaknya ke dokter. Ia merasa berdosa kepada Pak Burhan

karena telah berbohong. Ketika tiba di rumah, alangkah terkejutnya ia ketika

mengetahui anaknya jatuh sakit. Kemudian, Bram bersama istrinya bergegas

membawanya ke dokter. Bram sangat menyesali perbuatannya dan menyadari bahwa

hal ini disebabkan karena ulahnya yang telah berbohong kepada Pak Burhan. Bram

kemudian mengenang kesuksesannya dulu ketika menjadi karyawan sebuah

perusahaan. Ia menyesali keputusannya mengundurkan diri dari perusahaan dan

memilih menjadi penulis lepas untuk sebuah majalah. Dengan penghasilannya yang

pas-pasan, Bram tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia merasa tertekan

dengan kenyataan itu.

Kemudian, ayah Bram mengirim surat yang isinya bermaksud untuk

meminjam uang kepada Bram untuk membeli televisi. Bram sangat kesal dengan

perilaku ayahnya, namun ia senantiasa bersabar menhadapi hal itu dan kemudian

memberikan surat balasan yang isinya berupa penolakan memberikan pinjaman

dengan alasan tidak punya uang. Namun, alangkah terkejutnya Bram ketika

mengetahui sikap ayahnya yang marah menerima balasan surat darinya. Ayahnya

beranggapan bahwa Bram sudah tidak menhormati orang tuanya, ia menganggap

anaknya tersebut tidak ingin dipinjami uang karena takut tidak dibayar.

Page 6: Bab III Analisis

19

Untuk menyelesaikan konflik dengan ayahnya, ia bersilaturahmi ke

kediamannya. Namun ia merasa sedih karena menerima sikap kurang baik dari

ayahnya. Kemudian, permasalahan berakhir ketika Ayah Bram menyadari

kesalahannya yang telah berburuk sangka terhadap Bram dan keluarganya. Hal itu

terjadi ketika terjadi dialog antara Apa dengan Ira, anak Bram. Karena kepolosan Ira,

Apa mengetahui permasalahan yang di hadapi oleh Bram dan Keluarganya. Apa

kemudian mengirim surat kepada Bram yang isinya mengutarakan permintaan maaf

kepada Bram dan keluarganya.

3.1.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi

Dalam cerita ini mengisahkan Tatang sebagai kepala keluarga, beserta

istrinya harus bekerja keras menggantikan peran Si Bibi dalam mengurusi rumah

tangga. Bahkan untuk mencuci baju sekalipun, yang menjadi tanggung jawab

pembantunya, kini harus dilakukan olehnya. Kondisi tersebut terjadi sejak ditinggal

Si Bibi, karena pulang kampung. Tatang beserta istrinya merasa kerepotan dalam

mengurusi pekerjaan rumah tangga. Karena kondisi tersebut Tatang terpaksa

mengerjakan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh Si Bibi. Tatang terlihat

kewalahan menerima tugas tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya.

Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci baju sangat

menguras tenaganya, ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-asalan. Hal itu

Page 7: Bab III Analisis

20

didasari, karena takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia kesulitan dalam

melakukannya. Tatang berusaha untuk menjadi suami yang bertanggung jawab

dengan mengambil alih tugas yang selalu dikerjakan Si Bibi. Walupun hal itu

bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia harus memberi tauladan

kepada istrinya dengan memberi contoh bagaimana mencuci pakain yang benar.

Kemudian Tatang mendapati istrinya pulang dalam keadan sakit, sehabis

kwegiatan gerak jalan. Kini bebannya bertambah, karena istrinya tak dapat

membantunya untuk sementara waktu. Bukan hanya itu saja, istrinya mengabarkan

bahwa Si Bibi tidak akan kembali dalam jangka waktu yang lama, karena orang

tuanya sakit keras.

3.1.5 Cerpen Haleuang Indung

Emak meratapi keadaan dirinya dan keluarga yang serba kekurangan.

Profesinya sebagai pedagang makanan keliling, tak pernah mencukupi bahkan untuk

menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Kondisi keluarga

Emak sangat memprihatinkan dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang

hanya berprofesi sebagai penarik beca, tentunya hal itu tak dapat membiayai sekolah

Ujang. karena kondisi keluarga yang miskin, Ujang memutuskan pergi merantau ke

Kalimantan untuk mencari pekerjaan. Hubungan Ibu dan anak kini terpisahkan oleh

jarak, dikarenakan kondisi yang sangat memaksa. Hal itu dilakukan Ujang semata-

Page 8: Bab III Analisis

21

mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar mereka tidak mengalami

kesengsaraan.

Keputusan Ujang pergi ke Kalimantan membuat sedih hati Emak, karena

kini Emak hidup sendirian. Walaupun, dengan berat hati menerima kenyataan

tersebut, ia hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di

perantauan. Sepeninggal Ujang ke Kalimantan, Emak sangat merindukannya setiap

saat. Apalagi, setahun lamanya Ujang tidak pernah memberi kabar. Dalam hatinya,

Emak merasa khawatir akan keadaan Ujang tersebut.

Emak menyadari akan dirinya yang sudah lanjut usia. Ia berharap bertemu

dengan Ujang sebelum dirinya meninggal. Dunia dan Emak senantiasa memanjatkan

doa kepada Tuhan agar dirinya beserta Ujang diberikan kebahagiaan dan kekuatan

dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan dan rintangan.

3.2 Problematika Keluarga Dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng.

Secara umum tema atau gagasan utama cerpen yang terhimpun dalam

kumpulan cerpen “Tali Asih Anu Nganteng”,adalah menyangkut tentang

problematika keluarga. Di dalam kumpulan cerpen tersebut tampak adanya

ketegangan yang diekspresikan oleh tokoh, yang dipengaruhi oleh konflik-konflik

maupun peristiwa yang kemudian pada akhirnya memunculkan problematika.

Page 9: Bab III Analisis

22

Tergambar pula proses tokoh dalam memahaminya dan pengambilan langkah dalam

mencapai solusi problematika tersebut.

3.2.1 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Tali Asih Anu Nganteng

3.2.1.1 Campur Tangan Ibu Mertua Sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama

Problematika keluarga yang terdapat dalam kumpulan cerpen Tali Asih Anu

Nganteng, banyak mengisahkan tentang kesusahan dan kepedihan yang dialami tokoh

utama dalam sebuah keluarga. Cerita ini mengisahkan peran dan fungsi tokoh utama

dalam menghadapi permasalahan keluarganya. Permasalahan tersebut kemudian

timbul karena konflik antar tokoh dalam keluarga yang dilatar belakangi oleh kondisi

ekonomi keluarganya yang lemah. Problematika keluarga lebih mengarah pada

konflik batin yang dialami oleh Aas sebagai tokoh utama. Konflik batin yang dialami

oleh Aas disebabkan oleh kerewelan Ibu Mertua, seperti yang tercermin pada data

berikut:

1) Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul. Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan ,malah sakapeung mah kurang. (TAAN; 5)

Pikiran sumpek, hati sedih bukannya bohong, sering dipusingkan oleh permasalahan. Coba saja: serumah dengan mertua cerewet, gaji Kang Gugum sebulan selalu pas-pasan, bahkan terkadang kurang.

Page 10: Bab III Analisis

23

Berdasarkan kutipan pada data no.1, terungkap keadaan batin Aas yang

menderita. Kondisi batin Aas digambarkan dengan “Uteuk sumpek, ramijud teh lain

bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul”, melukiskan

perasaan Aas yang sering merasa tertekan, dan hal itu membuatnya selalu merasa

sedih dan terkadang menimbulkan rasa jengkel dalam dirinya. Berdasarkan data di

atas, terungkap pula faktor-faktor penyebab konflik batin Aas. Hal itu terungkap

melalui ungkapan Aas,” Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang

Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah sakapeung mah kurang”. Faktor yang

pertama, dikarenakan campur tangan Ibu Mertua yang mengakibatkan terbatasnya

ruang gerak Aas dalam mengurus keluarga. Dalam pandangan Aas hal tersebut

merupakan masalah yang sangat menganggu pikirannya. Campur tangan Ibu mertua

tergambar melalui sikapnya yang selalu cerewet terhadap Aas dalam mengatur

keluarganya. Sedangkan Faktor kedua, adalah, penghasilan suami yang kurang

mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, terlihat

gambaran kekecewaan Aas yang begitu besar dengan kondisi yang dialaminya.

Kekecewaan Aas lebih banyak ditujukan kepada Ibu Mertuanya. Menurut

Aas, campur tangan Ibu Mertua terhadap keluarganya terlalu berlebihan. Bentuk

campur tangan mertua terhadap keluarga Aas tergambar pada perilaku mertua yang

ikut mengatur keuangan keluarganya. Seperti terdapat pada data berikut:

2) Unggal poe ingetan teh ngukur-ngukur jang balanja. Enya ge mitoha teh kaasup jalma aya. Teu wani ari kudu punta-penta mah. Malah

Page 11: Bab III Analisis

24

nginjeum duit ge ngan sakali-kalina. Eta ge pedah kapaksa. Basa budak nu cikal gering. Mere ku merena, bari digelendeng.“Nu matak kudu apik kana duit teh. Ulah dimonyah-monyah. Kudu boga teuteundeunan keur sakalieun budak gering atawa aya karerepet. Kudu diajar prihatin ari hayang hidup senang mah. Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit, bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang. Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot. (TAAN; 6)

Tiap hari yang dipikirkan hanya kebutuhan keluarga. Walaupun mertua termasuk orang berada. Tidak berani sedikit pun untuk meminta-minta kepadanya. Bahkan pernah meminjam uang, itu pun hanya sekali. Karena terpaksa ketika anakku yang pertama sakit. Itu pun diberi sambil menggerutu.”Makanya, harus hemat menggunakan uang. Jangan dihambur-hamburkan. Harus mempunyai simpanan apabila anak sakit atau untuk keperluan mendadak.harus belajar prihatin kalu ingin hidup senang. Lihat Nonon. Walaupun dia anak manja, tapi karena mengurus uang dengan baik, bisa mendukung pekerjaan suami, hidupnya senang. Punya rumah, punya mobil, bisa memberi kepada orang tua.”

Berdasarkan data no.2, tergambar kekesalan Aas akan kondisi keluarganya,

hal itu terungkap melalui perkataan Aas, “Unggal poe ingetan teh ngukur-ngukur

jang balanja. Enya ge mitoha teh kaasup jalma aya. Teu wani ari kudu punta-penta

mah. Ungkapan di atas, menggambarkan keadaan Aas yang terbebani dengan

bermacam-macam kebutuhan keluarga, salah satunya dalam urusan belanja rumah

tangga. Berbeda halnya dengan kondisi perekonomian ibu mertuanya yang sangat

tercukupi. Namun, Aas tidak ingin selalu menggantungkan hidup keluarganya

kepada ibu mertua. Bahkan pernah pula Aas terpaksa meminjam uang kepada ibu

mertua untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit.

Page 12: Bab III Analisis

25

Namun, kekesalannya pun bertambah ketika ia menerima uang pinjaman

tersebut, Ibu Mertua memberikannya dengan sikap dan perkataan yang sangat

menyakiti hati Aas. Ibu Mertuanya berkata, “Nu matak kudu apik kana duit teh.

Ulah dimonyah-monyah. Kudu boga teuteundeunan keur sakalieun budak gering

atawa aya karerepet. Kudu diajar prihatin ari hayang hidup senang mah”. Ibu

mertuanya secara tidak langsung menuduh Aas selalu menghambur-hamburkan uang

pemberian suaminya. Kemudian Ibu Mertuanya menyalahkan Aas yang tidak pernah

menabung untuk keperluan yang mendesak. Sikap seperti itu, tidak dapat diterima

oleh Aas. Hal itu disebakan karena selama ini, untuk memenuhi keperluan sehari-

hari saja sangat sulit sehingga menabung pun ia tidak mampu.. Hal itu semakin

menambah kebencian Aas kepada Ibu mertuanya, yang terungkap pada data berikut:

3) Sereset, asa aya nu ngagerihan kana hate. Teuing ku peurih. Mun seug ngagugu kana napsu mah. Ku hayang malikeun deui duitna. Jeun teuing budak teu ka dokter oge. Keun wae . Malar Kang Gugum eungeuh. Ngarah mitoha nyaksian. Mun seug budak nepi ka gering parna tawa nepi ka heunteuna. Tapi kanyaah ka anak. kanyaah nu tangwangenan, teu karasa bet meruhkeun kanyeri. Nyingraykeun kapeurih, tumarima kana kaayaan sadaya-daya. (TAAN; 6)

Serasa teriris hati hati ini. Begitu pedihnya hatiku. Kalau saja mengikuti amarah. Ingin kukembalikan uang itu. Biarkan saja tidak pergi ke dokter. Agar Kang Gugum tahu, supaya mertua jadi maklum. Kalau saja anaku sampai sakit parah. Tapi sayangku kepada anak, tak terasa menepiskan rasa sakit, kuterima segala kondisi dengan pasrah.

Page 13: Bab III Analisis

26

Pada data no.3, tergambar kondisi batin Aas yang dilandasi kebencian kepada

Ibu Mertua, hal itu dilatarbelakangi karena Ibu Mertuanya yang selalu menyalahkan

dirinya. Ia berkata, “Sereset, asa aya nu ngagerihan kana hate. Teuing ku peurih.

Mun seug ngagugu kana napsu mah. Ku hayang malikeun deui duitna”. Hampir saja

ia mengembalikan uang pinjaman tersebut dan mengurungkan niatnya untuk

membawa anaknya berobat ke dokter, akibat amarah dan kekesalannya sudah

memuncak terhadap kerewelan Ibu Mertua. Ia kemudian berkata, “Tapi kanyaah ka

anak. kanyaah nu tangwangenan, teu karasa bet meruhkeun kanyeri. Nyingraykeun

kapeurih, tumarima kana kaayaan sadaya-daya”. Namun, demi rasa cinta kepada

anaknya yang begitu besar, kepedihan itu akhirnya sirna. Aas hanya bisa pasrah

dengan kondisi yang ia alami. Dia senantiasa berusaha untuk selalu bersabar

menghadapi cobaan tersebut.

Bukan hanya itu saja, hal lain yang menyebabkan kebencian Aas kepada

Ibu Mertuanya tergambar pula ketika Aas dikirimi uang oleh orang tuanya,

kemudian ia membelanjakan uang tersebut dengan membeli pakaian untuk dirinya

beserta anaknya, ia sangat sedih mendengar komentar yang kurang baik dari ibu

mertuanya. Hal itu tergambar pada data berikut;

4) “Kolot mah ngirim teh tangtuna ge lain keur nu hurung-herang ka luar, barina ge keur nanahaonan geus boga salaki mah make jeung hayang katangar ku nu sejen. Engke deui mah, mun aya duit kiriman teh, heg tabanaskeun, ngarah sakalina aya kaperluan penting, teu kudu kokotetengan.”

Page 14: Bab III Analisis

27

Najan hate mah nyesek hayang nempas, tapi teu ieuh digugu. Asa kateuteuari, keun wae rumasa ukur milu ka salaki.(TAAN; 8)”

“Orang tua mengirim; uang, bukan untuk dihamburkan, untuk apa punya suami bila hanya untuk diperhatikan. Nanti bila ada uang kiriman lagi lebih baik ditabungkan, bila ada keperluan penting, tidak perlu mencari kesana-kemari.”Walau dalam hatiku penuh amarah ingin memotong omongannya,tapi tak sampai kuturuti emosi. Sangat keterlaluan apabila seperti itu, aku maklum hidup hanya mengikuti suami.

Berdasarkan data no.4, tergambar ungkapan Ibu Mertua setelah Aas

mendapat kiriman dari orang tuanya, Ibu Mertua berkata, “Kolot mah ngirim teh

tangtuna ge lain keur nu hurung-herang ka luar, barina ge keur nanahaonan geus

boga salaki mah make jeung hayang katangar ku nu sejen”. Dalam pandangan Aas,

nasehat ibu mertuanya merupakan sindiran yang menyakitkan bagi dirinya.

Menurutnya, dengan membeli pakaian-pakaian tersebut Aas dianggap ingin

menyombongkan diri dan keluarganya kepada orang lain, apalagi Aas adalah wanita

yang sudah bersuami. Ibu Mertuanya menambahkan, “Engke deui mah, mun aya

duit kiriman teh, heg tabanaskeun, ngarah sakalina aya kaperluan penting, teu kudu

kokotetengan”. Menurutnya, seharusnya Aas menabung untuk keperluan penting

lainnya dan tidak menghamburkan uang untuk keperluan yang semestinya tidak

penting.

Namun, ia berkata, “Najan hate mah nyesek hayang nempas, tapi teu ieuh

digugu. Asa kateuteuari, keun wae rumasa ukur milu ka salaki”. Aas senantiasa

bersabar menghadapinya dan selalu berusaha untuk tidak terpancing emosinya. Ia

Page 15: Bab III Analisis

28

menyadari dan menerimanya dengan pasrah dengan alasan bahwa ia tidak punya

kekuatan apa-apa selain berlindung kepada suaminya.

3.2.1.2 Pilih Kasih Ibu Mertua Kepada Menantu Sebagai Penyebab Rasa Iri

Pilih kasih Ibu Mertua kepada Aas juga merupakan salah satu penyebab

konflik batin yang dialami Aas. Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, kondisi

ekonomi keluarga Aas yang lemah selalu dijadikan alasan kerewelan Ibu Mertua

kepadanya. Kondisi keluarga Aas beserta suaminya yang hidup kekurangan, selalu

dibanding-bandingkan dengan keadaan Nonon yang berkecukupan, kenyataan

tersebut sangatlah berpengaruh terhadap jiwa Aas. Hal ini menambah konflik batin

karena kekecewaan, dan sakit hati yang dialami tokoh utama akibat perlakuan Ibu

Mertua. Hal itu terungkap pada data berikut :

5) Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit, bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang. Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot (TAAN; 6)

Lihat Nonon. Walaupun dia anak manja, tapi karena mengurus uang dengan baik, bisa mendukung pekerjaan suami, hidupnya senang. Punya rumah, punya mobil, bisa memberi kepada orang tua.”

Berdasarkan data no.6, tergambar bentuk sikap Ibu Mertua yang pilih kasih

dalam memberikan perlakuan. Hal itu terungkap ketika Ibu Mertua berkata,

“Tinggali tuh Nonon, Apan tadina mah budak ogoan. Tapi da puguh apik kana duit,

Page 16: Bab III Analisis

29

bisa ngarojong kana gawe salaki, teu burung hirup senang”. Ungkapan tersebut

menunjukan bahwa, Ibu Mertua menganggap Aas seharusnya bercermin pada

Nonon. Menurutnya, Nonon pandai berhemat dan dan cermat dalam membelanjakan

uang sehingga hal itu mampu mendukung suaminya dalam mencari nafkah. Sikap

tersebut tentunya sangat menganggu perasaan Aas, apalagi Ibu Mertuanya

menambahkan perkataan yang dirasakan Aas sangat menyakitkan. Ibu Metuanya

berkata, “Boga imah, boga mobil, bisa mere ka kolot”. Bagi Aas, hal itu merupakan

sindiran baginya, Ibu Mertuanya lebih senang menyombongkan keadaan keluarga

Nonon yang mempunyai mobil pribadi dan hidup berkecukupan. Berbeda dengan

Aas yang tidak mempunyai rumah, ia dan keluarganya bahkan harus menumpang di

rumah Ibu Mertua, serta yang tak kalah menyakitkan adalah sindiran bahwa Aas

tidak pernah memberi kepada Ibu Mertua.

Dengan kata lain, Aas merasa selalu dianaktirikan oleh ibu mertuanya,

kehidupan Nonon beserta keluarganya selalu mendapat pujian ketimbang keluarga

Aas. Seperti yang tercermin dalam ungkapan berikut:

6) “...Ngan sok ras inget, mun seug Nonon nembongkeun pakean anyar, mitoha sok gancang nyalukan, nitah nitenan alus-henteuna. Bahanna ge ieu mah istimewa, nya As? Warnana ge aya ku lucu kieu. Teu panasaran hargana lima puluh rebu ge, da moal aya duana. Jeung deui, barangna ge apan ti Paris. Bisa, lah Nonon mah milih nu alus teh.” (TAAN; 8)

“…Bila saja teringat , apabila Nonon memperlihatkan pakaian baru, (Ibu )mertua cepat-cepat memanggil, menyuruhku melihat-lihat bagus-tidaknya.

Page 17: Bab III Analisis

30

Bahannya juga istimewa, ya As? Warnanya pun sangat lucu. Tidak akan penasaran meskipun harganya lima puluh ribu, tiada duanya. Dan lagi, barangnya pun dari Paris. Nonon bisa memilih barang yang bagus. “

Pada data di atas, Aas merasakan Ibu Mertuanya tidak memperlakukan Aas

dan Nonon secara adil. Pada peristiwa sebelumnya seperti yang terungkap pada data

no 4, saat Aas membelanjakan uang pemberian orang tuanya untuk keperluan

membeli pakaian Aas dan anak-anaknya, Ibu Mertuanya sangat tidak setuju dengan

apa yang ia lakukan, dan ungkapannya tersebut sungguh menyakiti perasaan Aas.

Namun, hal itu sangat bertolak belakang dengan sikapnya ketika Nonon membeli

pakaian-pakaian bagus dan mahal, dia mendapat pujian yang sangat berlebihan dari

Ibu Mertua. Ia berkata kepada Aas, “Bahanna ge ieu mah istimewa, nya As?

Warnana ge aya ku lucu kieu. Teu panasaran hargana lima puluh rebu ge, da moal

aya duana. Jeung deui, barangna ge apan ti Paris. Bisa, lah Nonon mah milih nu

alus teh”. Ia memuji Nonon karena harganya yang mahal. Menurut Aas, sikap itu

merupakan sindiran kepada Aas karena keadaan keluarganya yang serba kekurangan

secara ekonomi. Kemudian, sikap pilih kasih Ibu Mertua diperlihatkan saat memuji

Nonon karena pandai memilih pakaian yang bagus, bagi Aas hal tersebut merupakan

sebuah ungkapan yang bernada sindiran, bahwa Aas tidak pandai memilih pakaian

yang bagus dan terkesan memiliki selera rendah dalam memilih pakaian. Terlebih

lagi, Ibu Mertua sengaja memperlihatkan sikap tersebut dihadapan Aas.

Page 18: Bab III Analisis

31

3.2.1.3 Kurangnya Sikap Terbuka Kepada Suami sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama

Dalam usahanya menjadi istri yang berbakti kepada suami, Aas menyadari

kekurangannya, bahwa ia tidak bersikap terbuka dalam menghadapi permasalahan

yang ia hadapi kepada Kang Gugum. Aas diliputi rasa takut yang berlebihan,

ketakutan akan sikap suami yang berubah negatif kepada tokoh utama. Sehingga ia

selalu mengurungkan niatnya untuk mengadukan hal ini kepada suaminya, dan

mencoba menghadapinya dengan sabar. Hal tersebut tergambar pada data berikut;

7) Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung kaceuceub mitoha ka kuring. Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha. ( TAAN: 8 )

Apabila sikap mitoha berlebihan, terkadang timbul kenekadan. Ingin menceritakan sebenarnya kebencian ibu mertua kepadaku. Tapi ketika dipikir secara mendalam, tentu akan berakibat jelek. Takut Kang Gugum tidak percaya, takut Kang Gugum berbalik membenciku karena terpengaruh oleh perkataan (Ibu) mertua.

Berdasarkan data pada no.7, rasa frustasi akan tekanan yang menimpanya

terkadang menimbulkan keinginan Aas untuk menceritakannya kepada Kang

Gugum. Hal itu tergambar pada ungkapan Aas, “Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok

jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung

kaceuceub mitoha ka kuring”. Aas ingin menceritakan bagaimana sikapIbu Mertua

seakan-akan begitu membencinya dan Aas sangat sedih akan hal itu. Namun, niatnya

Page 19: Bab III Analisis

32

tersebut selalu urung dilakukan karena tentunya ia khawatir akan berakibat yang

buruk bagi dirinya. ”Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun

Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran

kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha”. Ungkapan tersebut menggambarkan

kekhawatiran Aas, bahwa Kang Gugum akan berbalik membencinya, karena tidak

mempercayai apa yang dikatakan Aas tersebut, dan Aas berpendapat bahwa Kang

Gugum tentunya akan lebih mudah dipengaruhi Ibu Mertua dibanding mempercayai

dirinya.

Namun, kesabaran Aas pun ada batasnya, pada akhirnya ia membicarakan

hal tersebut kepada suaminya, tentunya dengan cara yang halus karena masih di

bayangi kekhawtiran suaminya akan berbalik membencinya. Aas mengusulkan

kepada suaminya untuk hidup berpisah dari mertuanya, ia ingin terlepas dari semua

beban yang dirasakan, hanya saja ia tidak berterus terang akan kenyataan yang di

alaminya, tentang sikap ibunya terhadap diri Aas. Ia takut apabila berterus terang

akan menyakiti hatinya dan suminya tidak akan mempercayainya. Hal itu tergambar

pada data berikut;

8) “Abdi mah... hoyong ngalih.”Kang Gugum olohok sajongjonan.“Ngalih ka mana?”“Ka mana we.”“Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”

Page 20: Bab III Analisis

33

Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...“Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah.” (TAAN; 14)

“Aku... ingin pindah.”Kang Gugum terbengong“Pindah kemana?”“Kemana saja.”“Memangnya disini kenapa? Walaupun hidup bersama Ibu pun, kita tetap pisah, di pavilyun. Belanja pun tak menyusahkan Ibu. Atau...Aas merasakan sesuatu yang tidak enak dari Ibu?”Kepala (ku) menggeleng, walaupun dalam hati ingin teriak. Iya, kang! Iya, memang seperti itu... “Agar tidak keenakan, Kang. Kalau kita terus-terusan di sini, aku takut dianggap tidak mendukung usaha Akang. Takut dianggap aku hanya ingin senangnya saja, tidak lepas dari Ibu. Dan lagi kalau kita bisa keluar dari sini, walaupun hanya mengontrak rumah, Ibu pun pasti akan merasa senang.”

Pada data no. 8, tergambar bagaimana Aas mengalami konflik batin yang

memuncak ketika mengutarakan keinginannya untuk berpisah dari rumah Ibu

Mertua. Kemudian, Kang Gugum merasa heran dengan permintaan Aas tersebut.

Kang Gugum bertanya kepada Aas, “Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung

ibu ge, apan urang mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu.

Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”. Kang Gugum merasa heran, ia merasakan

kejanggalan dengan keinginan Aas tersebut, ia curiga bahwa tentunya ada

permasalahan yang melatar-belakangi keinginan istrinya tersebut. Walaupun ia dan

Page 21: Bab III Analisis

34

Aas menumpang hidup dirumah ibunya, dirasakan olehnya tidak pernah

menyusahkan Ibu Meruanya, bahkan untuk uang belanjapun Gugum bersama

keluarganya tidak pernah membebani Ibunya. Gugum curiga bahwa Aas

mendapatkan perlakuan yang kurang pantas dari ibunya.

Kekhawatiran kembali melanda Aas waktu itu. Namun, Aas berusaha

untuk tidak memperlihatkan kesedihan dihadapan suaminya. Ungkapan hati Aas

tergambar melalui, “Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang!

Muhun, kitu pisan. ...”. Aas menampik semua kecurigaan suaminya dan ia berdalih

bahwa keinginanya untuk pindah justru agar tidak membebani Ibu Mertuanya. Aas

berkata, “Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka

abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap

abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa

kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah .

Menurut Aas, ia ingin hidup mandiri dan bisa membantu usaha suaminya dalam

mencari nafkah. Walaupun hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang

dihadapinya, ia tidak ingin dianggap bahagia diatas penderitaan suaminya. Kondisi

bati Aas sungguh tersiksa dan merasa menyesal tidak menceritakan kenyataan yang

sebenarrnya.

Aas berusaha untuk tidak terpancing oleh amarah, dan cukup berjiwa besar

menutupi masalah ini, hal itu dilakukannya semata-mata untuk kebaikan dirinya

Page 22: Bab III Analisis

35

beserta keluarganya dan tidak ingin menyakiti perasaan suaminnya, sikap Aas

tersebut membuktikan kecintaanya yang begitu besar kepada Kang Gugum,

suaminya. Walaupun Aas hanya bisa menyimpan kesedihan di dalam hatinya, ia

menyadari hanya dengan bersikap sabar ia mampu meyelesaikan permasalahn ini

tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar. Ia tidak ingin konfliknya dengan Ibu

Mertua sebagai pemicu keretakan keluarga. Hal itu tergambar pula pada data

berikut;

9) Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha? Gusti, mugi-mugi nu sanes mah ulah dugi ka terang, naon nu karandapan ku abdi. Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub. (TAAN; 19)

Melihat kenyataanya, siapa yang menyangka, bahwa kepindahanku karena sudah tidak kuat hidup bersama mertua? Ya Tuhan, semoga saja orang lain tidak tahu, apa yang aku alami. Semoga mertuaku menyadari, kalau aku masih tetap menyayanginya. Berpisah bukan berarti tidak ingin berbakti atau benci, tapi ingin menjauhkan segala betuk percekcokan. Agar hatiku terbebas dari rasa sakit dan pedih, yang akan mendatangkan rasa benci.

Pada data no.9, Aas sudah tidak kuat menghadapi permasalahan ini, dan

tiada jalan lain baginya, ia beserta keluarganya harus pindah dari rumah Ibu Mertua.

Ungkapan hati Aas tergambar pada; “Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh,

yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha?”. Kemudian, ia tidak

henti-hentinya selalu pasrah dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar

Page 23: Bab III Analisis

36

permasalahan ini tidak sampai terungkap kepada orang lain yang dapat menimbulkan

permasalahan yang lebih besar. Aas berharap semoga Yang Maha Kuasa

membukakan pintu kesadaran bagi Ibu Mertuanya, walaupun apa yang dialami Aas

begitu menyedihkan, tentunya hal itu tidak menyurutkan rasa cinta Aas kepada Ibu

mertuanya. Hal itu ditegaskan Aas melalui ungkapan, “Mugi-mugi mitoha abdi

sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong

ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar

hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub”.

Keinginanya untuk berpisah dari Ibu Mertua bukan sebagai sikap yang

mencerminkan tidak berbakti kepadanya, namun itu dilakukanya demi menghindari

percekcokan di antara mereka, dan rasa kepedihan yang semakin menambah rasa

benci karena permusuhan. Aas menginginkan kemandirian tanpa harus

menggantungkan hidup kepada orang tua, walaupun pada kenyataanya Ibu Mertua

berbuat kurang baik terhadapnya, ia tetap menyayanginya dan Aas menghargainya

sebagai seorang sosok yang harus tetap ia hormati.

3.2.1.4 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Menghadapi Tantangan Menjadi Wanita Modern

Aas menggeluti lagi dunia model yang sejak SMU ia tinggalkan, bersama

sahabatnya, Fika, penghasilannya digunakan untuk membantu Kang Gugum

membiayai rumah kontrakannya. Penghasilannya dari pekerjaan tersebut, ternyata

Page 24: Bab III Analisis

37

mampu mengatasi permasalahan yang ia hadapi. Pada akhirnya ia mampu

melepaskan diri dari tekanan Ibu Mertua.

Namun, tantangan dan kendala yang dihadapi oleh Aas, tidak hanya itu saja.

Permasalahan baru muncul, ketika Aas mendapat tawaran bermain film dari seorang

Produser, lewat Fika. Tawaran Fika tersebut memunculkan beban pikiran untuk Aas.

Hal tersebut tergambar pada data berikut;

10) “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang. Ngan apan Fika ge nyaho sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya persetujuan ti Kang Gugum.”(TAAN: 22 )

Susah untuk menjawabnya, harus bagaimana, Fik. Mau sih tentu, masak sih tidak. Hanya saja Fika pun tahu sendiri, di rumah begitu repotnya, banyak urusan. Dan lagi yang yag paling utama adalah harus ada persetujuan dari Kang Gugum.”

Pada data no.10, terungkap bahwa Aas sebenarnya sangat menginginkan

pekerjaan itu, kesempatan besar itu tak ingin dilewatkan begitu saja olehnya. Aas

berkata, “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu

hayang”. Kemudian, pergulatan batin antara dua pilihan kembali dialami Aas,

karena ia tidak sanggup meninggalkan tanggung jawabnya dalam mengurusi rumah

tangganya. Hal itu ditunjukan Aas dengan perkataan, “Ngan apan Fika ge nyaho

sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah

kudu aya persetujuan ti Kang Gugum”. Sebagai bentuk pengabdian kepada suami,

tanggung jawabnya di rumah adalah mengurusi rumah tangga, dan ada hal yang

Page 25: Bab III Analisis

38

lebih penting lainnya, keputusannya takut melangkahi wewenang Kang Gugum.

Akan tetapi, Fika tetap berusaha untuk mengajak Aas untuk tidak melewatkan

kesempatan ini. Hal ini tercermin pada data berikut;

11) “As. Ibu rumah tangga, lain hartina kudu cicing di imah ngurus anak jeung salaki. Ayeuna mah usum wanita karier, As. Meureun Aas ge nyaho sorangan, loba pagawe nagri, dokter, insinyur, sarjana hukum, anu geus digarawe, oge ibu rumah tangga. Karier di luar, jeung kawajiban di jero, teu burung ka garap. Nu penting mah asal bisa ngabagi waktu.” (TAAN; 23)

”As. Ibu rumah tangga , bukan berati harus berdiam di rumah mengurusi anak dan suami. Sekarang sedang musim wanita karier, As. Mungkin juga Aas tahu sendiri, banyak pegawai negeri, dokter, insinyur, sarjana hukum, yang sudah bekerja juga ibu rumah tangga. Karier di luar dan kewajiban di dalam, bisa terselesaikan. Yang terpenting dapat membagi waktu”…

Pada data tersebut, Fika tetap memberikan keyakinan kepada Aas tentang

peranan ibu rumah tangga yang tidak harus selalu berdiam di rumah. Fika berkata,

“As. Ibu rumah tangga, lain hartina kudu cicing di imah ngurus anak jeung salaki.

Ayeuna mah usum wanita karier”. Ia meyakinkan Aas, tugas wanita tidak hanya

berdiam di rumah mengurusi suami dan anak. Namun, mereka pun mempunyai

kesempatan untuk meniti karier di luar rumah. Fika menegaskan pula tentang peran

wanita modern yang harus selalu peka dengan kemajuan jaman, ia berkata,

“Meureun Aas ge nyaho sorangan, loba pagawe nagri, dokter, insinyur, sarjana

hukum, anu geus digarawe, oge ibu rumah tangga. Karier di luar, jeung kawajiban

di jero, teu burung ka garap. Nu penting mah asal bisa ngabagi waktu”.

Page 26: Bab III Analisis

39

Menurutnya, wanita harus memiliki persamaan dan kesetaraan dalam posisi pada

setiap pekerjaan. Setiap wanita berhak untuk berkarier tanpa melepaskan tanggung

jawab mereka dalam mengurusi rumah tangga, hal itu bisa dilakukan apabila setiap

wanita karier tersebut terampil dalam membagi waktu.

Perkataan Fika tersebut membuat hati Aas semakin bimbang. Apalagi

kesempatan menjadi bintang film sangatlah sulit untuk diraih bagi sebagian orang.

Sedangkan kini, di hadapannya kesempatan untuk menjadi jutawan dan orang

terkenal tinggal selangkah lagi untuknya. Hal itu tergambar pada data berikut;

12) Basa Fika mulang, nyupiran sedan beureum ninggalkeun pakaranga imah, kuring neuteup bari pikiran mah ngawangwang ka hareup. Kacipta lamun geus kawentar jadi bentang pilem, honorarium jutaan, bisa kabeuli imah jeung sedan…bisa mapakan Nonon, bisa nembongkeun kaboga ka mitoha, ngarah teu wani barang geureuh deui. (TAAN: 23)

Ketika Fika pulang, mengendarai sedan merah meninggalkan pekarangan rumah, kutatap sambil pikiran tetap membayangkan ke depan. Terbayang kalau sudah jadi bintang film terkenal, honorarium jutaan, mampu membeli rumah dan sedan, mampu setar dengan Nonon, memperlihatkan segala yang aku punya kepada mertua, agar tidak lagi berani untuk meminta ini-itu.

Pada data di atas, tergambar perasaan Aas yang berangan-angan menjadi

bintang film terkenal. Ia ingin sukses seperti Fika, kehidupan mapan dan sosok

wanita modern yang berwawasan luas. Hal itu tergambar melalui ungkapan Aas,

“Basa Fika mulang, nyupiran sedan beureum ninggalkeun pakaranga imah, kuring

neuteup bari pikiran mah ngawangwang ka hareup”. Kemudian, pada kenyataanya

Page 27: Bab III Analisis

40

Aas tertarik dengan apa yang Fika tawarkan. Hal itu terlihat pada ungkapan Aas,

“Kacipta lamun geus kawentar jadi bentang pilem, honorarium jutaan, bisa kabeuli

imah jeung sedan…bisa mapakan Nonon, bisa nembongkeun kaboga ka mitoha,

ngarah teu wani barang geureuh deui “. Menjadi bintang film yang berpenghasilan

cukup besar akan membantunnya melewati kesengsaraan, pikir Aas. Dia

menginginkan mobil seperti Fika, dan tentunya mampu memiliki rumah sendiri

seperti dambaanya sejak dulu. Namun, bayangan kepedihan karena perilaku Ibu

Mertua masih melekat di benak Aas. Hal itulah, yang mendorong Aas menerima

Tawaran Fika. Aas ingin dihargai oleh Ibu Mertua layaknya Nonon. Ia pun ingin

membuktikan kepada Ibu Mertuanya bahwa dirinya mampu melewati kesengsaraan

ini. Dan Aas berharap, hal itu akan membuat Ibu Mertuanya tidak akan rewel lagi

kepadanya. Ungkapan Aas ini memperlihatkan adanya motif rasa dendam yang

dialami olehnya. Akan tetapi, hal ini sangat sulit bagi Aas dalam mewujudkannya.

Karena ia masih bimbang, keputusannya takut melampaui wewenang Kang Gugum,

suaminya. Aas khawatir kepercayaan suaminya akan pudar apabila ia meninggalkan

tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga.

3.2.1.5 Kekhawatiran Akan Kehilangan Harta Warisan Keluarga Sebagai Penyebab Konflik antara Ibu Mertua dan Tokoh Utama

Sebelum konflik tersebut teratasi, ternyata Aas mengetahui kenyataan yang

sebenarnya tentang perihal keluarga suaminya, suatu alasan yang melatarbelakangi

Page 28: Bab III Analisis

41

sikap Ibu mertua pada dirinya. Hal tersebut, tergambar pada dialog Kang yayan

dengan Aas, pada kutipan data berikut ;

13) Kieu nya, As. Saenyana mah Kang Gugum teh lain anak Ibu, oge lain anak Bapa...”

Basa bapa rek nikah ka Ibu, boh bapa boh Ibu pada boga budak. Akang budak bawa bapa, ari Nonon budak bawa ti Ibu. Kang Gugum mah budak rayina bapa. Harita Kang Gugum teh orok keneh, basa Ibu sareng apana cilaka, lantaran mobilna tabrakan jeung treuk.”

(TAAN; 28)

Sebenarnya Kang Gugum bukanlah anak Ibu, juga bukan anak Bapa....”Ketika bapa akan menikah dengan Ibu. Baik Bapa maupun Ibu masing-masing mempunyai anak. Akang anak yang dibawa Bapa, sedangkan Nonon anak yang dibawa Ibu. Kang Gugum Anak adiknya Bapa. Ketika itu Kang Gugum masih bayi, Ibu dan Bapaknya meninggal karena kecelakaan, lantaran mobilnya bertabrakan dengan truk.”

Berdasarkan kutipan data no.13, Aas mengetahui kondisi yang sebenarnya

tentang keluarga Gugum. Ternyata suaminya bukan anak kandung mertuanya. Ia

merupakan anak angkat dari saudara kandung mertuanya, yang meninggal karena

kecelakaan. Sedangkan Nonon dan Kang Yayan masing-masing adalah saudara tiri.

Nonon adalah anak yang dibawa oleh Ibu Mertua, sedangkan Kang Yayan adalah

anak yang dibawa Bapak Mertua Aas. Hal itulah, yang mendasari sikap Ibu Mertua

dalam memanjakan Nonon. Ia sangat di anak-emaskan oleh ibunya, hal itu sangat

bertolak belakang dengan sikapnya terhadap Aas dan Kang Gugum. Kemudian Kang

Yayan menjelaskan kepada Aas tentang alasan yang melatar-belakangi sikap Ibu

Mertua kepada Aas. Hal ini tergambar pada data sebagai berikut;

Page 29: Bab III Analisis

42

14) “Sanajan Kang Gugum diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah nu boga sahamna bapa Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat warisanana, anu memang hak Kang Gugum. (TAAN; 30)

“Walaupun Kang Gugum diurus oleh Bapa, tapi tak pernah menyusahkan. Karena kekayaan Bapa, didalamnya kebanyakan dimiliki oleh ayahnya Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu ketakutan. Takut Kang Gugum terpengaruh oleh Aas, menggugat warisannya, yang memang merupakan hak Kang Gugum.”

Berdasarkan data no.14, kenyatan tersebut membuka tabir rahasia yang

selama ini belum terungkap. Kang Yayan menjelaskan pula perihal keluarga Kang

Gugum yang belum Aas ketahui. Kang Yayan berkata, “Sanajan Kang Gugum

diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah

nu boga sahamna bapa Kang Gugum”. Aas mengetahui bahwa ternyata kekayaan

yang dimiliki mertuanya sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ditambahkan

pula, terdapat hal penting yang diketahui Aas dari penuturan Kang Yayan, “Bisa

jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat

warisannana, anu memang hak Kang Gugum” Ternyata menurut penuturan Kang

Yayan, Ibu Mertuanya merasa ketakutan akan kehilangan sebagian hartanya tersebut.

Kemudian, sikap kurang baik yang dari Ibu Mertua yang ditujukan kepada Aas

didasari oleh ketakutannya terhadap Aas yang akan mempengaruhi Gugum, agar

menggugat kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya.

Page 30: Bab III Analisis

43

3.2.2 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Trong Kohkol

3.2.2.1 Ketakutan Istri Tokoh Utama Karena Kondisi Lingkungan Yang Tidak Aman

Dalam cerpen yang kedua ini, banyak mengungkapkan problematika

keluarga yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tinggal tokoh utama

beserta istrinya. Permasalahan kemudian timbul ketika lingkungan di sekitar tempat

tinggal mereka mulai tidak aman. Karena sering terjadi pencurian dan perampokan

di lingkungan yang baru mereka huni, mengakibatkan istri tokoh utama mengalami

ketakutan yang berlebihan. Permasalahan tersebut, kemudian menciptakan kondisi

yang tidak nyaman bagi keluarga mereka, hal tersebut tercermin pada data berikut:

15) Pindah ka imah anyar teh estuning dibarung ku rasa keueng. Kumaha teu rek kitu, sasarina biasa di imah leutik tur gegek pangeusina, ari ayeuna nyicingan imah nu ublug ablag, tur rada neggang ti nu lian. Dieusian ku tiluan : kuring, pamajikan, jeung adi lalaki- mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat hiji.Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan. (TK; 34) Pindah ke rumah baru dibarengi dengan penuh rasa ketakutan. Bagaimana tidak, biasanya sehari-hari dirumah yang kecil dan sesak penuh dengan penghuninya, sedangkan sekarang menghuni rumah besar, dan agak berjauhan dari (rumah) lainnya. Diisi hanya bertiga; aku, istriku, dan adik lelaki, mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat satu. Yang merasa sangat ketakutan adalah istriku. Baru saja dua hari, sudah mendengar kabar ada rumah yang disatroni perampok. Terlebih lagi tepat di barisan rumahku, terpisah oleh tiga rumah.

Page 31: Bab III Analisis

44

Berdasarkan data no 15, terungkap penyebab gangguan terhadap tokoh

utama beserta istrinya. “Pindah ka imah anyar teh estuning dibarung ku rasa

keueng”. Mereka sulit beradaptasi dengan rumah baru apalagi mereka mendiami

lingkungan yang kurang menguntungkan bagi mereka. “Kumaha teu rek kitu,

sasarina biasa di imah leutik tur gegek pangeusina, ari ayeuna nyicingan imah nu

ublug ablag, tur rada neggang ti nu lian. Dieusian ku tiluan : kuring, pamajikan,

jeung adi lalaki- mahasiswa Fakultas Ekonomi tingkat hiji. Mereka belum terbiasa

dengan rumah yang agak besar, dan hanya dihuni oleh tiga orang; tokoh utama dan

istrinya, serta adik lelakinya yang masih kuliah. Jarak rumah mereka dengan rumah

lainnya di Komplek Perumahan tersebut agak berjauhan satu sama lain. Kemudian

tergambar kondisi batin istri tokoh utama karena kondisi tersebut, “Nu soak mah

pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong.

Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan”.

Permasalahan kemudian timbul, ketika istri tokoh utama mulai dilanda rasa

ketakutan karena dua hari sebelumnya mendengar kabar tetangga mereka disatroni

perampok. Peristiwa itu pun terjadi tidak jauh dari kediaman mereka. Kejadian

tersebut tentu saja membuat istri tokoh utama semakin khawatir akan keselamatan

dirinya beserta. Hingga pada akhirnya kekhawatirannya berubah menjadi rasa

ketakutan yang berlebihan. Hal itu tergambar pada data berikut :

Page 32: Bab III Analisis

45

16) Unggal peuting pamajikan mah tara tibra sare. Unggal aya nu di sada , geuwat ngageuingkeun kuring.“Kang... aya nu kekeresekan.”“Lah, paling ge beurit,” walon teh bari murungkut ku simut.“Siga nu keur nyokel jandela.”“”Keun bae. Jandela na ge apan geus make tralis.”“Tingali heula atuh.”“Tunduh. Geuingkeun we, Jajang.”. (TK; 3; 34)

Setiap malam istriku tak pernah nyenyak tidurnya. Setiap ada yang bersuara, cepat-cepat membangunkanku“Kang... ada suara aneh.”“Paling juga tikus”“Seperti yang sedang mencongkel jendela.”“Biarkan saja toh jendela kita sudah memakai tralis.”“Periksa dulu.”“Ngantuk. Bangunkan saja Jajang.”

Berdasarkan data no.16, kondisi tersebut sangat mengaggu batin istri tokoh

utama, hal itu tergambar melalui ungkapan tokoh utama, Unggal peuting pamajikan

mah tara tibra sare. Unggal aya nu di sada , geuwat ngageuingkeun kuring. Hal

tersebut menggambarkan perilaku istri tokoh utama yang setiap malam tak pernah

tidur pulas, setiap mendengar hal yang mencurigakan ia kerap kali membangunkan

suaminya. Ia khawatir rumah mereka disatroni perampok seperti yang dialami

tetangga mereka. Keadaan tersebut membuat tokoh utama merasa jengkel, ia tidak

memperdulikan keadaan istrinya yang ketakutan setiap malam. Untuk menenangkan

hati istrinya, ia menjamin bahwa rumah mereka akan aman karena setiap jendela

telah dipasangi tralis, ia pun menganjurkan kepada istrinya untuk meminta agar

adiknya, Jajang, lebih waspada pada setiap hal yang mencurigakan. Namun, tidak

Page 33: Bab III Analisis

46

hanya itu saja yang mengganggu tokoh utama, ketakutan istrinya dipengaruhi juga

oleh pemberitaan media masa yang sedang ramai memberitakan kejadian pencurian

dan perampokan. Hal tersebut terungkap pada data berikut :

17) “Tong ngantor wae atuh Kang,” Pokna bari ngadaregdeg, beungeutna rada pias.“Ku naon kitu?”“Aos geura ieu,” bari nunjuk berita dina koran. “Aya garong nu ngajorag imah randa pabeubeurang, ngaringkid perhiasan bari jeung naranjangan.” (TK; `14; 35)

“Jangan ngantor terus dong Kang,” Ucapnya sambil ketakutan, mukanya pucat.“Memangnya kenapa?“Coba baca,” sambil menunjukan berita dalam koran “ Ada perampok yang mendatangi rumah seorang janda, mengambil perhiasan lalu terus ditelanjangi.

Berdasarkan data di atas, ketakutan istri tokoh utama diakibatkan karena

kekhawatiran dirinya mengalami hal yang serupa dengan pemberitaan di media

masa. Isi berita menyajikan mengenai peristiwa perampokan yang dialami seorang

janda, korban ditelanjangi oleh para perampok, kemudian perhiasannya diambil

secara paksa. Dengan muka pucat dan penuh ketakutan, istrinya memperlihatkan

berita tersebut kepada suaminya. Ia berkata,“Tong ngantor wae atuh Kang,” Pokna

bari ngadaregdeg, beungeutna rada pias. Ia meminta agar suaminya tidak selalu

meninggalkan dirinya sendirian, ia berharap suaminya selalu ada dirumah dan tidak

pergi ke kantor.

Page 34: Bab III Analisis

47

3.2.2.2 Ketidak-hadiran Anak sebagai Pemicu Konflik Tokoh Utama dan Istrinya

Kondisi kejiwaan yang dicekam ketakutan karena banyak terjadinya

pencurian dan perampokan di lingkungan tempat tinggal mereka, mengakibatkan

prasangka dan pertengkaran antara tokoh utama dengan istrinya. Hilangnya

kepercayaan antara suami istri, menjurus kepada permasalahan tentang ketidak-

hadiran seorang anak diantara mereka. Hal tersebut terungkap pada data berikut;

18) Wayahna. Engke ge, mun nu ti lembur datang, moal keueung teuing. Bongan can diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh.His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh.Nu sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg.”Enya na salah saha atuh?”Eta raraosan akang kumaha?”Rumasa akang teu kawas batur.”Ceuk abdi ge parios ka dokter, saha nu...”Geus ah. Beurang manten!” (TK; 21; 35)

Bersabarlah. Nanti juga, kalau keluarga dari kampung datang, tidak merasa khawatir lagi.Ya karena kita belum dikaruniai anak, jadi tidak ada tameng apabila berkelahi.His! Kenapa menyalahkan Akang. Tidak punya anak bukan soal kuat dan kalah, yang jelas kita belum dikaruniai oleh Allah.Orang lain aja...tiga bulan setelah menikah sudah hamil.”ya salah siapa?”Perasaan Akang gimana?”Ya aku terima kenyataan, tidak seperti orang lain.”Aku bilang juga segera periksa ke dokter, siapa yang...”Sudah ah, kesiangan!”

Page 35: Bab III Analisis

48

Berdasarkan data no. 18 , istri tokoh utama beralasan bahwa ketakutannya

disebabkan karena ia selalu merasa kesepian di rumah. Ia berkata, “Bongan can

diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh”. Hal itu

menggambarkan Istri tokoh utama yang sangat mengharapkan kehadiran seorang

anak untuk mengusir kehawatirannya selama ini. Kemudian, istrinya menyalahkan

tokoh utama yang belum bisa memberikan seorang anak. Hal itu dinyatakan dengan

ungkapan tokoh utama, “His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain

soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh”. Namun,

tokoh utama tak ingin hal ini semata-mata disebabkan olehnya. Ia pun menegaskan

bahwa Tuhan belum memberikan berkah seorang anak di tengah keluarga mereka,

dan tokoh utama mengharapkan istrinya selalu sabar dalam menghadapinya.

Kemudian, Istrinya mengeluh kepada tokoh utama karena belum juga

hamil, ia membandingkan dirinya dengan wanita lain yang sudah hamil setelah tiga

bulan perkawinan mereka. Bahkan, istrinya menyarankan agar suaminya segera

memeriksakan dirinya ke dokter. Melalui penuturannya kepada tokoh utama, “Nu

sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg”. Hal tersebut,

memunculkan konflik batin bagi tokoh utama yang merasa dirinya disudutkan

karena belum mampu memberikannya seorang anak.. Kemudian, ia mengakui

bahwa dirinya berbeda dengan lelaki normal pada umumnya dan menyadari

kekurangan pada dirinya tersebut.

Page 36: Bab III Analisis

49

Kemudian, rasa takut pun kini di alami oleh tokoh utama. Ia enggan

menerima kenyataan akan kekurangan dirinya yang tidak mampu memberikan

seorang anak bagi istrinya. Tuntutan istrinya tersebut, sangat mengganggu kondisi

batin tokoh utama, ia sangat khawatir dengan keadaan dirinya tersebut. Hal itu dapat

di simak pada data berikut :

19) Teu nyarita deui. Lebah ngobrol soal turunan mah, bet ngadak-ngadak loba kasieun. Leuwih sieun ti nyanghareupan rampog. Enya na salah saha atuh ? Jeung naha bet sieun-sieun teuing rek dipariksa ka dokter teh? Sieun…kuring nu gabug ! (TK; 30; 36)

Tak banyak bicara lagi. Berbicara tentang anak, mendadak rasa takut menghinggap. Ketakutan melebihi ketika berhadapan dengan rampok. Salah siapa? Dan kenapa begitu takutnya ketika mau periksa ke dokter?Takut… aku yang mandul !

Bagi tokoh utama, ketakutan tersebut sangat berbeda dengan kondisi yang

melanda istrinya. Ia menggambarkan kondisi batinnya, “Teu nyarita deui. Lebah

ngobrol soal turunan mah, bet ngadak-ngadak loba kasieun. Leuwih sieun ti

nyanghareupan rampog”. Ketakutan tokoh utama lebih dipengaruhi karena ia tidak

sanggup menyanggupi tuntutan istrinya, karena itu, hingga sekarang ia dan istrinya

belum dikaruniai anak. Bahkan ketakutan akan hal tersebut melebihi ketakutannya

menghadapi gangguan para perampok. Ketakutannya digambarkan tokoh utama

dengnan ungkapan, Enya na salah saha atuh ? Jeung naha bet sieun-sieun teuing rek

dipariksa ka dokter teh? Sieun…kuring nu gabug !. Ia begitu takut untuk

Page 37: Bab III Analisis

50

memeriksakan dirinya ke dokter. Tokoh utama sangat khawatir kalau dirinya

ternyata terbukti mandul.

3.2.2.3 Kekhawatiran Tokoh Yang Berlebihan Karena Kondisi Keamanan Lingkungannya Tidak Kunjung Membaik

Walaupun segala usaha yang dilakukan warga mulai dari pengadaan Pos

Ronda hingga kegiatan siskamling, tetap saja pencurian dan perampokan semakin

meningkat, bahkan tak jarang para pelaku semakin nekat dengan melakukan tindak

kekerasan. Hingga akhirnya warga mulai mengusahakan penyediaan kentongan di

tiap rumah dan Pos Ronda. Hal tersebut terdapat pada data berikut :

20) Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol. Nu sejenna kudu solider, langsung nabeuh kohkol, silih bejaan. Cara kitu teh, cenah keur ngahirupkeun deui gotong royong diantara warga.

(TK; 70; 40)Tiap petugas ronda diberikan kentongan, bahkan tiap rumah harus menyiapkan kentongan. Bilamana ada hal-hal yang mencurigakan, kentongan cepat-cepat dibunyikan. Yang lain harus solider, langsung menabuh kentongan, saling memberitahukan. Katanya cara seperti itu menghidupkan kembali gotong royong diantara warga.

Dari data no.20, tergambar usaha warga yang memunculkan kembali

peranan gotong-royong, sebagai solusi dalam menghadapi permasalahan

lingkungannya yang tidak aman. “Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah

kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang

Page 38: Bab III Analisis

51

ditakol”. Dari gambaran tersebut, terungkap fungsi kentongan yang memang sudah

menjadi tradisi di lingkungan masyarakat pedesaan, kini dimunculkan kembali oleh

warga untuk menciptakan keamanan ditengah-tengah warga di Komplek Sindang

Kasih.

Hal tersebut tentu saja di sambut baik oleh tokoh utama beserta istrinya,

mereka bisa tidur dengan aman sejak memiliki kentongan tersebut, bahkan istrinya

menyimpan kentongan di samping tempat tidur mereka. Hal tersebut tergambar pada

data berikut:

21) Mimitina mah kohkol teh ku kuring diteundeun di luar. Tapi ku pamajikan dipindahkeun ka kamar. Ngarah reugreug, pokna teh. Diteundeun sisi ranjang, siraheun pisan.Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu dibarung ku gegebegan.

(TK:41)Tadinya kentongan tersebut olehku disimpan di luar. Tapi oleh istriku dipindahkan ke kamar. Agar tenag, katanya. Disimpan disebelah ranjang, dekat kepala.Tak tahu kenapa, setelah kehadiran kentongan istriku agak bisa nyenyak tidurnya. Bahkan sering meminta dipeluk, melepaskan kerinduan, tidak diselimuti rasa ketakutan.

Berdasarkan data pada no. 21, tergambar manfaat dari kentongan tersebut

dapat dirasakan oleh tokoh utama, “Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan

teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu

dibarung ku gegebegan” . Bahkan istrinya merasa tenang dan bahagia sejak

kehadiran kentongan tersebut ada di rumah mereka.

Page 39: Bab III Analisis

52

Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Perampokan justru semakin

merajalela, bahkan para perampok berani melawan ketika tertangkap oleh warga.

Hal itu akhirnya membuat istrinya kembali dicekam ketakutan. Hingga kemudian

pada suatu malam, tokoh utama terbangun karena tiba-tiba mendengar suara

kentongan yang ditabuh tepat disampingnya. Dan ia kebingungan melihat istrinya

yang melakukan hal itu dengan wajah penuh ketakutan. Hal itu tergambar pada data

berikut:

22) Hiji peuting keur genah sare, ngadak-ngadak reuwas kageuingkeun ku sora kohkol nu nitir gigireun. Gancang hudang, bari helok neuteup pamajikan keur hantem nakolan kohkol.“Aya naon?”“Garong”“Mana?”“Tuh tarurun tina Colt,” pokna bari nyingraykeun hordeng jandela kamar.

(TK; 93; 42)Suatu malam ketika sedang enak-enak tidur, aku dikagetkan dan terbangun mendenganr sora kentongan yang nyaring disampingku. Aku cepat bangun sambil terbengong melihat istriku sedang memukul kentongan.“Ada apa?”“Rampok”“Mana?”“Itu turun dari Colt,” ujarnya sambil membuka gorden jendela kamar.

Berdasarkan data di atas, istri tokoh utama ketakutan melihat sekawanan

orang yang hendak masuk ke rumah mereka dari balik tirai jendela. Ia mencoba

meyakinkan tokoh utama bahwa yang dilihatnya merupakan kawanan perampok

sambil terus membunyikan kentongan yang selalu ia simpan dikamarnya. Tanpa

Page 40: Bab III Analisis

53

disadari suara kentongan yang nyaring tersebut di dengar tetangga. Hal itu dapat

disimak pada data berikut :

23) Ema!!!” pamajikan ngagorowok.

Sugan teh rek milu ngabageakeun, na atuh ari lenggerek teh kapiuhan. Untung we kaburu kasangkeh. Teu nepi ka ngarumpuyuk kana ubin.

Tatangga jul-jol nyampeurkeun, arolohok, kitu deui jeung supirna anu jangkung badag.

Tayohna mah pamajikan teh bakat ku sieun...jeung wirang. Piraku we teu kitu, da nu disangka garong teh mitohana! (TK; 111; 43)

“Ema!!!” istriku berteiak.

Bukannya ikut menyambut, malah jatuh pingsan. Untung saja keburu tertahan tidak sampai jatuh ke ubin.

Tetangga berdatangan, mereka kebingungan, begitu pula dengan supirnya yang berbadan tinggi besar.

Sudah barang tentu istriku takut dan malu, karena yang dianggap rampok itu adalah mertuanya sendiri!

Berdasarkan data pada no.23, ternyata perkiraan istrinya meleset, orang-

orang yang dianggapnya rampok adalah ibu mertuanya sendiri, yang hendak

berkunjung ke rumah mereka. Kemudian cerita ini diakhiri dengan kondisi yang jauh

berbeda, dimana suasana penuh ketakutan dan mencekam berubah menjadi hal yang

menggelikan ketika ternyata mereka menyadari bahwa apa yang mereka pikir

gerombolan perampok, ternyata adalah rombongan orang tua tokoh utama yang

berkunjung kerumahnya malam itu. Mengetahui hal itu, istrinya menjadi histeris,

dikarenakan takut dan malu bahwa yang ia sangka perampok ternyata adalah ibu

Page 41: Bab III Analisis

54

mertuanya, ia kemudian pingsan dan tak sadarkan diri. Dari kondisi di atas, dapat

diambil kesimpulan bahwa rasa curiga dan praduga yang sempit akan suatu kondisi

terkadang membuat manusia akan salah pula mengambil tindakan dan berubah

menjadi hal yang tidak dapat disangka sebelumnya.

3.2.3 Problematika Keluarga dalam Cerpen Diburu Ku Butuh

3.2.3.1 Desakan Kebutuhan Keluarga sebagai Penyebab Konflik Batin Tokoh Utama

Pada cerpen ketiga, Bram sebagai kepala rumah tangga mengalami

permasalahan-permasalahan dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Kendala-kendala yang sangat menganggu pikirannya tersebut, dimunculkan melalui

konflik batin yang di alami tokoh utama. Permasalahan keluarga diawali dengan

keadaan keluarga Bram yang serba kekurangan, penghasilannya sebagai penulis lepas

tidak mencukupi beragam kebutuhan keluarganya, hal itu sangatlah membuat dirinya

tertekan. Hal itu terungkap pada data berikut,;

24) “Pa! Artos kanggo bayaran tea, sareng kanggo meser buku PMP,” cek Ira, si bungsu, kelas lima SD.“Uang muka seragam olah raga kedah dibayar minggu ieu, Pa. Upami telat sesah milariannana,”cek Dani, si cikal, kelas hiji SMP.

(DKB, hal: 45)“Pak! Uang untuk bayaran, dan untuk membeli buku PMP,” tutur Ira, si bungsu, kelas lima SD.“Uang muka seragam olah raga harus dibayar minggu ini, Pak. Kalau telat susah mencarinya,” ucap Dani, si cikal, kelas satu SMP.

Page 42: Bab III Analisis

55

Berdasarkan data no.24, tergambar jelas beragam kebutuhan perlengkapan

sekolah anak-anak Bram yang belum tercukupi. Ira, anak Bram yang masih duduk di

kelas lima SD, mengeluh karena uang SPP dan biaya untuk membeli buku paket

sekolahnya belum dilunasi. Begitu pula dengan anak sulungnya, Dani yang duduk di

kelas satu SMP, ia meminta kepada ayahnya agar tunggakan untuk baju olah raganya

segera dilunasi. Hal itu ditambah lagi dengan kebutuhan yang tidak kalah penting

lainnya, seperti tagihan listrik dan kebutuhan-kebutuhan lain. Hal tersebut tergambar

pada data berikut:

25) Kade hilap, artos kanggo mayar listrik, Kang. Kantun dua dinten deui. Geuning sasih kapungkur dugi ka dipareuman ti pe-el-en-na, margi telat mayar,” cek pamajikan. (DKB; 46)

Jangan lupa, uang untuk membayar listrik, Kang. Tinggal dua hari lagi. Bulan lalu kan sampai dimatikan dari pe-el-en-nya, karena telat bayar,” tutur istriku.

Berdasarkan data di atas, tergambar keadaan keluarga Bram yang serba

kekurangan. Bahkan Ia diingatkan oleh istrinya untuk membayar tunggakan rekening

listrik, untuk menghindari pemutusan aliran listrik oleh PLN seperti bulan lalu.

Menyadari kondisi yang terjadi dalam keluarganya, hal itu membuat Bram sangat

gusar, dan ia merasa tertekan akan kenyataan tersebut. Kondisi batin Bram

terungkap pada data berikut:

26) Kudu ka mana nya nyiar duit? Mun boga kantor mah, meureun bisa nginjeum ka kantor.

Page 43: Bab III Analisis

56

Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang. Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge kawilang gede, saratus rebu sabulan. (DKB: 48)

Harus kemana mencari duit? Kalau saja punya kantor, mungkin bisa meminjam uang ke kantor.Salah sendiri, nekad mengandalkan hidup dari mengarang. mendapatkan gaji. Bekerja di sebuah perusahaan, gaji cukup besar, seratus ribu sebulan.

Berdasarkan data no 26, terungkap pemicu konflik batin pada diri Bram, ia

menyesali akan nasib yang dialami keluarganya sebagai ulahnya, “Bongan

sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang”. Hal itu terjadi karena ia

tidak mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ia mengingat masa lalunya yang pernah

bekerja di sebuah perusahaan, “Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga

arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge

kawilang gede, saratus rebu sabulan. Gajinya cukup terbilang besar, cukup untuk

membiayai keluarganya. Namun, ia mengundurkan diri dari pekerjaanya dan

memilih menjadi penulis. Kini dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan,

ia sangat menyesali atas pilihannya tersebut.

Hingga kemudian, Bram, dalam keadaan yang tertekan karena kondisi

keluarganya yang serba kekurangan, mengharuskannya meminjam uang. Namun,

konflik batin selalu menyertai Bram dalam setiap pengambilan keputusan dan sikap.

Hal tersebut tercermin dalam ungkapan data berikut ;

Page 44: Bab III Analisis

57

27) Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate. Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun budak. (DKB: 49)

Beberapa kali kutarik nafas, tegarkan hati. Tiada lagi alasan yang bakal dipercaya selain butuh uang untuk biaya anak yang sedang sakit. Ya, terpaksa harus berbohong, mengorbankan anak.

Dari data di atas, karena Bram sangat frustasi dengan permasalahan yang

dihadapinya, dan demi tanggung jawab kepada keluarganya yang harus ia nafkahi,

dirinya pun memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Pak Burhan.

“Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate”. Menggambarkan usaha Bram

untuk mengusir rasa ragu yang menyelimutinya batinnya. Walaupun merasa malu, ia

terpaksa melakukannya karena tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya

yang mendesak. Hal tersebut berpengaruh baginya dalam setiap pengambilan sikap,

ia mengambil jalan pintas dengan meminjam uang untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Kemudian tergambar pula ungkapan batin Bram yang penuh dengan rasa

putus asa, “Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh

duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun

budak”. Bram melakukannya dengan harapan agar Pak Burhan percaya dan mau

meminjamkan uang kepadanya, ia pun sengaja berbohong kepada Pa Burhan.

Dengan alasan anaknya sakit dan membutuhkan biaya untuk membawanya ke

Page 45: Bab III Analisis

58

dokter. Namun, di dalam hatinya ia merasa menyesal melakukan semua itu Dialog

antara Bram dengan Pak Burhan tergambar melalui data berikut:

28) “Euh….punteun wae, Pa. Kieu saleresna mah….mmhh….abdi teh…peryogi artos,” ngomong teh bet ngadak-ngadak arap-ap-eureup-eup.“Peryogi artos keur naon?” walon Pa Burhan.“Kanggo pun anak, Pak. Puguh pun anak teh udur, kedah diparios ka rumah sakit. “Hapunteun abdi, Gusti! Abdi parantos ngabohong.

(DKB: 50)“Emh... maaf Pak. Begini sebenarnya... mmhh....saya... sangat memerlukan uang.” Mendadak saja bicaraku terbata-bata.“Perlu uang untuk apa?” jawab Pak Burhan.“Untuk anak saya. Pak. Anak saya sakit, harus diperiksa ke rumah sakit.”Maafkan aku, Tuhan! Aku telah berbohong

Berdasarkan data di atas, tergambar kondisi jiwa Bram yang sangat tertekan

karena berbohong. Namun hal tersebut ternyata tidak mudah bagi Bram, di dalam

hatinya masih terdapat perasaan keraguan dan perasaan berdosa karena telah

melakukannya.”Hapunteun abdi, Gusti! Abdi parantos ngabohong”. Konflik batin

yang ia hadapi sangat menyiksa dirinya, ia memohon kepada Tuhan agar

mengampuni dosa yang telah ia perbuat. Dan ia meyakini, dengan penuh terpaksa

melakukannya semata-mata hanya untuk menafkahi keluarganya. Namun, tanpa di

duga sebelumnya, hal tersebut berbalik menjadi malapetaka bagi Bram, ketika

pulang ia mendapati anaknya yang sedang sakit. Hal itu terungkap pada data

berikut:

Page 46: Bab III Analisis

59

29) “Puguh Ira teh ti saprak uih sakola, ngaringkuk wae.”Gebeg.“Ku naon?”“Miceun wae, Tos aya kana dalapan kalina.”“Utah deuih?”“Muhun tadi mah.”“Hayu, gancang atuh urang bawa ka dokter.”Sanajan cape, ngadenge budak muntaber mah, bororaah hayang reureuh. Gancang nitah Dani, neang beca. Kabeneran ka tempat praktek dokter teh teu pati jauh. (DKB: 52)

“Jelas, Ira sejak pulang sekolah, jatuh sakit.”Aku terkejut.“Kenapa?”“Buang air terus, sudah delapan kali.” “Muntah juga?”“Iya, tadi”“Ayo, cepat kita bawa ke dokter.”Walaupun capek, mendengar anak kena muntaber, tak ingin rasanya istirahat. Cepat menyuruh Dani, menjemput becak. Kebetulan ke tempat praktek dokter tak terlalu jauh.

Berdasarkan data no.29, hal itu membuat Bram sangat terkejut, karena

mengetahui anaknya terkena muntaber menurut penuturan istrinya. Tanpa pikir

panjang lagi ia beserta istrinya bergegas membawa Ira ke dokter. “Sanajan cape,

ngadenge budak muntaber mah, bororaah hayang reureuh. Gancang nitah Dani,

neang beca. Kabeneran ka tempat praktek dokter teh teu pati jauh”. Bram tak

memperdulikan dirinya walaupun dalam keadaan lelah. Ia lebih mengkhwatirkan

kondisi putrinya yang sakit. Ia merasa bersalah karena telah berdosa sebelumnya.

Bram pun menyadari bahwa ini adalah balasan atas kebohongan dirinya kepada Pak

Burhan. Hal tersebut terungkap pada data berikut:

Page 47: Bab III Analisis

60

30) Mayar dokter jeung meuli ubarna teh, beak lima belas rebu. Matak reuwas tuda, sieun Ira katutuluyan. Asa boga dosa. Asa katulah ku omongan sorangan . piraku we teu kitu, apan nginjeum duit teh make alesan budak gering. (DKB: 53)

Membayar dokter dan membeli obat, menghabiskan uang lima belas ribu. Aku sangat terkejut, khawatir Ira tambah parah. Aku merasa berdosa. Akibat omongan sendiri. Karena meminjam dengan alasan anak sedang sakit.

Berdasarkan peristiwa di atas, uang hasil pinjaman dari Pak Burhan oleh

Bram sebagian digunakan untuk keperluan berobat Ira. “Mayar dokter jeung meuli

ubarna teh, beak lima belas rebu. Matak reuwas tuda, sieun Ira katutuluyan”.

Kemudian, Bram sangat terpukul dengan kejadian itu dan ia merasa berdosa

karenanya. “Asa boga dosa. Asa katulah ku omongan sorangan . piraku we teu kitu,

apan nginjeum duit teh make alesan budak gering”. Ia pun menyalahkan dirinya,

bahwa kejadian ini karena ulahnya yang telah berbohong kepada Pak Burhan dengan

alasan anaknya sakit, demi mendapatkan sejumlah uang pinjaman. Ia sangat

menyesali perbuatannya tersebut. Namun ia menyadari apa yang ia lakukan hanyalah

untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarganya yang selama ini mengalami

kekurangan.

3.2.3.2 Kendala Pekerjaan Sebagai Penyebab Lemahnya Perekonomian Keluarga

Bram menyadari kondisi keluarganya yang serba kekurangan sebagian

besar karenanya, ia selalu meyalahkan diri sendiri yang tak mampu memberikan

Page 48: Bab III Analisis

61

penghasilan yang cukup bagi keluarganya. Hal ini dapat kita lihat pada konflik batin

yang dialami oleh Bram pada data berikut:

31) Sakapeung mah sok karasa teu genah, teu boga kantor matuh mah. Keur digawe di pausahaan mah,hirup teh asa disiplin. Hudang isuk-isuk. Jam tujuh sasarap. Jam dalapan geus aya di kantor. Jam opat di imah. Kitu jeung kitu, ti senen nepi ka saptu. Atuh dina tanggal hiji, ngagandeuang mawa gajih.Ari ayeuna ? Hudang jam sabaraha wae oge, moal aya nu ngabibisani. Moal sieun kabeurangan ngantor, moal sieun dipecat da puguh teu boga kantor,teu boga dunungan. (DKB; 57)

Terkadang suka terasa tak enak, tidak mempunyai kantor tetap. Ketika bekerja diperusahaan hidup penuh disiplin. Bangun pagi-pagi. Jam tujuh sarapan. Jam delapan sudah berada di kantor. Jam empat di rumah. Begitu tiap hari, dari senin hingga sabtu. Dan ketika tanggal satu pulang membawa gaji.Sedangkan kini? Bangun jam berapa pun, tidak ada yang melarang. Tidak takut kesiangan pergi ke kantor, tidak takut dipecat karena tentu saja tidak punya kantor, tak punya atasan.

Berdasarkan data no.31, Bram mengenang keadaanya dulu ketika masih

bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. “Sakapeung mah sok karasa teu genah, teu

boga kantor matuh mah. Keur digawe di pausahaan mah,hirup teh asa disiplin.

Hudang isuk-isuk. Jam tujuh sasarap. Jam dalapan geus aya di kantor. Jam opat di

imah”. Ungkapan tersebut menggambarkan kondisi Bram yang disibukan oleh

rutinitas ketika masih menjadi karyawan perusahaan itu. Ia sangat merindukan

aktivitasnya yang dulu. “Kitu jeung kitu, ti senen nepi ka saptu. Atuh dina tanggal

hiji, ngagandeuang mawa gajih”. Dari pagi hingga petang ia bekerja, kemudian dari

senin hingga sabtu ia masuk kerja. Dan yang paling ia rindukan ialah, ketika tanggal

Page 49: Bab III Analisis

62

satu, tiap bulan ia selalu pulang membawa gaji. Namun, Berbeda dengan hidupnya

sekarang, ia lebih banyak menghabiskan waktu dirumah sambil menulis. Sekarang ia

tidak takut dipecat karena memang tidak mempunyai kantor dan atasan. Ia menyesali

pilihannya untuk menjadi pengarang yang tidak jelas pendapatannya.” Ari ayeuna ?

Hudang jam sabaraha wae oge, moal aya nu ngabibisani. Moal sieun kabeurangan

ngantor, moal sieun dipecat da puguh teu boga kantor,teu boga dunungan”.

Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa, kini Ia kurang disiplin dalam mengatur

waktu, karena tidak punya jadwal yang tetap dalam bekerja

3.2.3.3 Penolakan Terhadap Keinginan Orang Tua Sebagai Penyebab Konflik Antara Ayah dan Anak.

Permasalahan yang dialami Bram tidak hanya itu saja, cobaan pun datang dari

pihak orang tuanya. Dengan keadaan keluarga yang pas-pasan ia dituntut pula untuk

selalu membahagiakan orang tuanya. Hanya saja karena kondisi keuangan yang tidak

memungkinkan, Bram terpaksa menolak memberikan Ayahnya pinjaman sejumlah

uang untuk membeli televisi. Kebingungan dan kekesalan Bram tergambar pada data

berikut:

32) Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit gepokan? Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun?

Page 50: Bab III Analisis

63

Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah. (DKB: 54)Berpikir sejenak. Dasar cobaan! Saat ini sungguh kesal menerima surat dari Apa. Bagaimana nggak, sedang kebingungan memikirkan kebutuhan sehari-hari, malah meminjam uang untuk membeli televisi. Dianggap manusia apa aku ini? Direktur bukan, pejabat bukan, dari mana punya uang gepokan? Mungkin karena dianggapnya penghasilan dari buku pesanan Inpres terus mengalir, tak pernah henti? Bisa jadi seperti itu, karena Apa dan Ema tak pernah melihat ketika susah.

Berdasarkan data no.32, Bram merasa kesal dengan sikap ayahnya yang

tidak mau mengerti akan keadaannya. Menurutnya, ayahnya tak pernah mengetahui

keadaan keluarga Bram yang serba kesusahan. Bram berkata, “Ngahuleung

sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat

ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger

nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain,

pajabat lain, timana boga duit gepokan?”. Menurut Bram, belum lagi kebutuhan

keluarganya terselesaikan, kini ia harus senantiasa membahagiakan orang tuanya.

Jangankan untuk memberikan pinjaman kepada ayahnya, Bram pun kesulitan dalam

memenuhi keperluan keluarganya. Ia sangat sedih dan kesal menghadapi

permasalahan tersebut. Kemudian Bram menyimpulkan, Pedah eta kitu,

dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-

eureun? Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah.

Kemungkinan ayahnya beranggapan ia selalu mendapatkan pendapatan yang besar

Page 51: Bab III Analisis

64

dari proyek pembuatan buku Inpres yang pernah ia kerjakan. Namun orang tuanya

tak pernah mengetahui keadaan keluarga Bram yang sedang dilanda kesusahan.

Karena hal tersebut, Bram kemudian membalas surat dari ayahnya, isinya

mengutarakan penolakan pinjaman tersebut karena Bram tidak memiliki uang sama

sekali. Namun, sikap Bram tersebut ternyata diartikan lain oleh ayahnya, hingga

akhirnya berbalik tidak simpatik terhadap Bram. Asumsi negatif timbul lewat sikap

ayahnya yang mengutarakan kekesalannya lewat istri Bram, karena penolakan itu

ayahnya menjadi sangat kesal. Hal itu terungkap pada dialog Bram dengan istrinya.:

33) “Saur Apa…wartoskeun ka akang… saurna… tong sieun teu dibayar…”(DKB: 61)

“Kata Apa ... bilang sama Akang... katanya... jangan takut tak dibayar...”

Berdasarkan peristiwa diatas, ayahnya beranggapan bahwa Bram takut uang

tersebut tidak akan dilunasi olehnya. Kemudian, Ia menambahkan bahwa Bram tidak

mampu membalas budi baik orang tuanya sendiri. Hal tersebut tercermin pada

ungkapan dialog antara Bram dengan ibunya;

34) “Bapa teh enya bangun nu ambek ka maneh. Eta we, sabada maca surat ti maneh, da langsung ngagelendeng, siga nu kapeupeuh. Pokna teh ka Ema, maneh teh cenah geus teu ngahargaan ka kolot, dipentaan sakitu ge kasieunan teu dibayar.. . (DKB; 64)

“Bapa memang sepertinya marah kepadamu. Sehabis membaca surat balasan dari kamu, dia langsung marah-marah, kelihatannya sangat terpukul. Dia berkata kepada Ema, bahwa kamu sudah tidak menghargai orang tua, diminta segitu saja, takut tak dibayar....

Page 52: Bab III Analisis

65

Berdasarkan data no.34, tergambar bagaimana sikap Ayah Bram, ketika

Bram berkunjung ke rumah orang tuanya. “Bapa teh enya bangun nu ambek ka

maneh. Eta we, sabada maca surat ti maneh, da langsung ngagelendeng, siga nu

kapeupeuh”. Ditambah pula berdasarkan pengakuan Ema kepada Bram bahwa

memang Ayahnya sangat kesal kepada Bram, menurutnya, Bram takut pinjaman itu

tak akan dilunasi olehnya dan hal tersebut menjadi beban pikiran baginya. Apa

beranggapan bahwa Bram sudah tidak menghargai orang tuanya. Namun akhirnya

Bram mendapat titik terang akan permasalahannya ketika Ayahnya menyadari

bahwa asumsinya selama ini ternyata salah. Hal itu tanpa disengaja terjadi dialog

antara Ayahnya dengan Ira (anak Bram) berikut:

35) “Aki teh naros ka Ira, cenah ari emam sok sareng naon?”“Kumaha saur Ira?’ cekeng.“Sareng peda.”Pamajikan imut.“Ngisinkeunn Ira mah,” ceuk pamajikan.“Apan saur Apa ge upami ditaros kedah jujur.”“Tuluy naros naon deui?”“Aki teh teu percanteneun. Piraku, cenah, emam sareng peda, pan Apa seueur artos.”“Kumaha saur Ira?”“Apana nuju kutud. Teu gaduh artos. Saur Ira teh, bayaran sakola Ira ge ampir teu kabayar.”Meh bareng imut jeung pamajikan. Keun, sugan ari ngadenge laporan ti budak mah, piraku Apa teu percaya keneh

(DKB:66) “Kakek bertanya kepada Ira, katanya, kalau makan apa lauknya?”“Apa jawab Ira?”, ucapku.“Dengan ikan peda.”Istriku tersenyum.

Page 53: Bab III Analisis

66

“Ira membuat malu,” tutur istriku.“Kan kata Apa, apabila ditanya harus berkata jujur”.“Terus bertanya Apa lagi?”“Kakek tidak percaya, Masak, makan dengan ikan peda, kan Apa banyak uang?”“Apa sedang tak punya uang, kata Ira. Bayaran sekolah pun hampir tak terbayar”.“Aku dan istriku tersenyum. Biar, mudah-mudahan mendengar laporan dari anak, masak Apa masih tidak percaya.

Berdasarkan data no.35, Ayahnya mengetahui kondisi keluarga Bram yang

sebenarnya, dari penuturan Ira yang jujur dan polos. “Aki teh teu percanteneun.

Piraku, cenah, emam sareng peda, pan Apa seueur artos. Ayah Bram sempat tidak

percaya dengan penuturan Ira, kemudian ia menanyakan keadaan Bram kepada Ira.

”Apana nuju kutud. Teu gaduh artos. Saur Ira teh, “ bayaran sakola Ira ge ampir

teu kabayar”. Ira dengan kejujurannya, menggambarkan kondisi keuangan Bram

yang sangat minim, bahkan hampir saja biaya sekolah Ira pun tidak terlunasi. Pada

akhirnya, ayah Bram menyadari kekhilafannya selama ini, ia meminta maaf lewat

surat yang dikirimkan atas apa yang selama ini diperbuatnya. Ia kemudian

mengungkapkan penyesalannya melalui surat yang ia kirim kepada Bram. Hal itu

terungkap pada data berikut;

36) BramHampura Apa. Apa teh rumasa geus goreng sangka ka maneh. Kuduna mah Apa teh surti. Teuing ku naon atuh, Apa teh bet poekeun? Apa teh sapeupeuting nepi ka teu daek sare, inget wae kana katerangan Ira. Malah mah Apa teh make ngalimba. Naha atuh bet goreng sangka ka nu jadi anak?. (DKB:67)

Page 54: Bab III Analisis

67

BramMaafkan Apa. Apa menyadari sudah berburuk sangka kepadamu. Tidak tahu kenapa, Apa begitu emosi; .....setiap malam Apa tak bisa tidur, teringat selalu akan keterangan Ira. Bahkan Apa meneteskan air mata, kenapa berburuk sangka kepada anak sendiri?

Berdasarkan data no.36, Ayah Bram sangat menyesali sikapnya kepada

Bram, “Hampura Apa. Apa teh rumasa geus goreng sangka ka maneh”. Tergambar,

kondisi batin Ayah Bram yang tersiksa karena telah berburuk sangka kepada Bram.

Ia meminta maaf kepada Bram atas kesalahannya. Hal itu terungkap melalui, “Apa

teh sapeupeuting nepi ka teu daek sare, inget wae kana katerangan Ira. Malah mah

Apa teh make ngalimba. Naha atuh bet goreng sangka ka nu jadi anak?” Bahkan,

dirinya sulit untuk tidur, karena setiap malam teringat akan penuturan Ira yanmg

jujur dan polos tempo hari. Melalui surat itu tak hentinya ia mengungkapkan

penyesalan dan kesedihan kepada Bram.

3.2.4 Problematika Keluarga Dalam Cerpen Sabot Taya Si Bibi

3.2.4.1 Peran Ganda Suami Dalam Mengurusi Keluarga Sejak Ditinggal Pembantu Karena Pulang Kampung

Pada cerpen ke empat, permasalahan yang dihadapi tokoh utama adalah:

ketika terjadi pergantian peran dan fungsi tokoh utama sebagai seorang suami dalam

mengurusi rumah tangga. Dalam cerita ini mengisahkan Tatang sebagai kepala

keluarga, beserta istrinya harus bekerja keras menggantikan peran Si Bibi dalam

Page 55: Bab III Analisis

68

mengurusi rumah tangga. Bahkan untuk mencuci baju sekalipun, yang menjadi

tanggung jawab pembantunya, harus dilakukan olehnya. Kondisi tersebut terjadi

sejak ditinggal Si Bibi, karena pulang kampung. Hal tersebut tercermin pada data

berikut:

37) Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si Bibi teh. Basa Si Bibi balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh. (STSB: 70)

Susahnya sepeninggal Si Bibi. Ketika Si Bibi mengutarakan keinginannya untuk pulang kampung, ingin istirahat selama tiga minggu, tak ditolak. Sudah semestinya, karena sudah setahun lamanya menjadi pembantu keluargaku.

Berdasarkan data no.37, tergambar dengan jelas bahwa keberadaan

pembantu rumah tangga sangatlah penting dan peranannya dalam keluarga Tatang.

Hal tersebut tergambar pada ungkapannya, “Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si

Bibi teh”. Karena sejak Si Bibi pulang kampung, Tatang beserta istrinya merasa

kerepotan dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga. “Basa Si Bibi balaka hayang

balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we,

tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh”. Tatang tak

mampu menolak keinginan Si Bibi untuk pulang kampung, Menurut Tatang sudah

sewajarnya ia memintanya karena sudah setahun lamanya ia membantu Tatang dan

istrinya dalam mengurusi rumah tangga mereka.

Page 56: Bab III Analisis

69

Karena kondisi tersebut Tatang terpaksa mengerjakan tugas yang

sebelumnya dilakukan oleh Si Bibi. Tatang terlihat kewalahan menerima tugas

tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya. Hal tersebut tercermin pada data

sebagai berikut:

38) Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali. Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah.. (STSB: 73)

Merendam dan mememeras cucian, pekerjaan yang memeras tenaga, apalagi tidak cukup sekali atau dua kali. Bisa saja mencucinya asal-asalan, khawatir diomelin istri. Maksud mau mencuci, ingin memberi contoh mencuci bersih, dengan tak mengeluh.

Berdasarkan data di atas, terungkap kondisi Tatang, walaupun dengan

susah payah, ia dapat menyelesaikan tugasnya tersebut. “Ngupyakeun jeung meureut

seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali

atawa dua kali “. Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci

baju sangat menguras tenaganya, ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-asalan

menurutnya, “Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan.

Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung

teu luh-lah. Hal itu didasari, karena takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia

kesulitan dalam melakukannya. Tercermin pula usaha Tatang untuk menjadi suami

yang bertanggung jawab dengan mengambil alih tugas yang selalu dikerjakan Si

Page 57: Bab III Analisis

70

Bibi. Walupun hal itu bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia

harus memberi tauladan yang baik kepada istrinya dengan memberi contoh

bagaimana mencuci pakain yang benar.

3.2.4.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Keluarga

Dalam kesehariannya, Tatang beserta keluarganya dihadapkan pada

keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan karena lemahnya perekonomian

keluarga, Hal ini tercermin ketika terjadi dialog antara Tatang dengan anaknya,

kondisi tersebut dapat kita lihat pada data berikut ;

39) “Ngagaleuh mesin cuci geura, Pa!” cek si CikalKuring nyerengeh deui. Ku sarua jeung Indungna. Lain teu hayang meuli, tapi teu ka bedag. Jeung deui, ari sagala rupa ku mesin mah, keur naon ngagajih Si Bibi.? (STSB; 72)

“Beli mesin cuci dong, Pak!” tutur si Cikal.Aku tersenyum lagi. Dasar, memang seperti ibunya!. Bukannya tak mau membeli, tapi tak mampu. Dan lagi, kalau segala hal dikerjakan oleh mesin, buat apa menggaji Si Bibi.

Berdasarkan data diatas, terungkap dialog antara Tatang dengan anankya,

menggambarkan anjuran anaknya untuk membeli mesin cuci, “Ngagaleuh mesin

cuci geura, Pa!” ceuk si Cikal “, hal itu membuat hati Tatang terusik karena ucapan

anaknya yang polos dan bernada sindiran. Ia menyadari kondisi ekonomi

keluarganya yang memang mengalami kekurangan, “Kuring nyerengeh deui. Ku

Page 58: Bab III Analisis

71

sarua jeung Indungna! Lain teu hayang meuli, tapi teu ka bedag. Jeung deui, ari

sagala rupa ku mesin mah, keur naon ngagajih Si Bibi? Menurutnya, ia tidak

mampu membeli mesin cuci, lagipula Tatang, merasa tidak perlu menggunakan

mesin cuci karena segalanya mampu dikerjakan oleh Si Bibi.

3.2.4.3 Konflik Batin Tokoh Utama dalam Mengurusi Keluarga

Dalam melaksanakan tugasnya, Tatang mengalami kendala berupa konflik

batin dalam dirinya, hal itu dikarenakan ia tidak terbiasa dengan tugasnya yang baru.

Dan ia terlihat kewalahan dalam melaksanakannya, namun, ia malu mengeluh di

depan istrinya. Hal itu terungkap pada data berikut:

39) Kuring geus hayang geura pok ngawalon; “Tetela geuning ripuh, Mah!” Tapi gengsi. Embung ari kasebut lalaki ripuh ku nyeuseuh mah. (STSB; 77)

Aku ingin segera menjawabnya; “Sungguh menyiksa, Mah!” Tapi gengsi. Aku enggan disebut lelaki lemah karena mencuci.

Berdasarkan data diatas, terlihat sikap Tatang yang tidak ingin terlihat

sebagai lelaki yang lemah di depan istrinya walaupun ia kewalahan melakukannya.

Ia merasa malu dan gengsi”, apabila mengeluh karena kelelahan kepada istrinya. Ia

ingin membuktikan bahwa dirinya suami yang bertanggung jawab dan lelaki yang

tangguh dihadapan istrinya. “Tetela geuning ripuh, Mah!” Tapi gengsi. Embung ari

kasebut lalaki ripuh ku nyeuseuh mah”. Dalam perannya menggantikan Si Bibi

Page 59: Bab III Analisis

72

dalam mngurusi rumah tangga. Ia ingin memperlihatkan dan berusaha meyakinkan

kepada istrinya, walaupun ia laki-laki tetapi ia mampu mengerjakan tugas

perempuan dalam keluarga.

3.2.5 Problematika Keluarga Dalam Cerpen “Haleuang Indung”

3.2.5.1 Kebutuhan Akan Pendidikan Anak Yang Kurang Terpenuhi Karena Lemahnya Perekonomian Keluarga

Pada cerpen yang ke lima mengisahkan tokoh Emak yang meratapi

keadaan dirinya dan keluarga yang serba kekurangan. Profesinya sebagai pedagang

makanan keliling, tak pernah mencukupi bahkan untuk menyekolahkan anaknya

hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Ungkapan perasaan Emak tersebut terungkap

pada data sebagai berikut;

41) Lain teu hayang siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun rea pamenta hidep teu kacumponan. Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca. HI; 81)

Bukannya tdak mau seperti orang lain. Menyekolahkan kamu sampai sukses. Bukannya tidak menyayangi kamu seperti orang lain lakukan, bila setiap keinginanmu tak terpenuhi. Kamu pun mengerti, berapa penghasilan Bapak semasa hidup. Apa yang bisa diharapkan dari Bapakmu, yang hanya mampu menarik beca.

Berdasarkan data no.41 di atas, Emak ingin menyekolahkan anaknya

hingga ke jenjang yang lebih tinggi bahkan menjadi orang sukses, “Lain teu hayang

Page 60: Bab III Analisis

73

siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun

rea pamenta hidep teu kacumponan”. Namun, semua itu tak dapat terwujud karena

kekurangan biaya. Bahkan, segala kebutuhan serta permintaan Ujang sangat sulit

untuk diwujudkan. Kemudian Emak berkata, “Hidep ge meureun surti, sabaraha

panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa

hidep, kabisa ukur ngabeca”. Kondisi keluarga Emak sangat memprihatinkan

dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang hanya berprofesi sebagai

penarik beca, tentunya hal itu tak dapat membiayai sekolah Ujang. Kemudian, Emak

sangat sedih karena tidak mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya kepada

Ujang, Ia tidak mempunyai harta yang berlimpah untuk diwariskan kepadanya. Hal

tersebut tercermin pada data berikut;

42) Haleuang Ema, haleuang lalakon hirup. Lengkah Ema, lengkah kasusah. Hampura Ema, jang. Ema teh estuning teu boga rajakaya wariskeuneun ka hidep. Warisan ti kolot Ema, ngan warisan kateuneung. Ludeung nyanghareupan hirup nu dihurup ku ripuh.

(HI: 82)Senandung Ema, adalah perjalanan hidup. Langkah Ema, langkah penuh kesusahan. Maafkan Ema Jang, tak punya harta warisan untukmu. Warisan dari orang tua Ema hanya nasehat, untuk berani menghadapi kehidupan yang pahit.

Berdasarkan data no.42, Emak meratapi akan jalan hidupnya yang penuh

dengan penderitaan, ia berkata, “Haleuang Ema, haleuang lalakon hirup. Lengkah

Ema, lengkah kasusah”. Kemudian, karena keadaan keluarganya yang miskin, ia

tidak mempunyai harta yang banyak untuk diwariskan pada Ujang. “Hampura Ema,

Page 61: Bab III Analisis

74

jang. Ema teh estuning teu boga rajakaya wariskeuneun ka hidep”. Emak berkata,

“Warisan ti kolot Ema, ngan warisan kateuneung. Ludeung nyanghareupan hirup nu

dihurup ku ripuh”. Ia hanya mampu memberikan semangat dan keyakinan pada

Ujang agar mampu dan penuh keberanian dalam mengarungi kehidupan yang keras

dan penuh kesengsaraan. Kemudian Emak berpesan kepada Ujang untuk bekal

hidupnya kelak di kemudian hari. Hal tersebut tercermin pada data berikut:

43) Ema teh hayang mere kayakinan ka hidep : Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh mangsana reureuh. Tapi naha bisa? Naha pantes Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar pangarti.? (HI: 84)

Ema ingin memberi keyakinan kepadamu; Jangan mau hidup sengsara, Jang. Jangan seperti orang tuamu. Jangan hidup susah ketika tiba saatnya untuk istirahat. Tapi apakah bisa? Apa pantas Ema mengharapkan kamu menjadi sukses dengan tidak dibekali untuk mencari pengetahuan.

Berdasarkan ungkapan data no.43, Emak berulangkali memberi keyakinan

pada Ujang, “Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh

mangsana reureuh”. Ia berpesan kepada Ujang agar jangan mengikuti jejak orang

tuanya yang hidup sengsara. Emak mendedikasikan hidupnya demi keluarga,

terutama demi kesejahteraan Ujang. Ia berharap anaknya tersebut akan mampu

mengubah kehidupannya menjadi orang yang berhasil, tidak seperti orang tuanya.

Namun, Emak hanya bisa menyadari kenginannya tersebut sebagai hal

yang memang sulit diwujudkan di kemudian hari., “Tapi naha bisa? Naha pantes

Page 62: Bab III Analisis

75

Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar

pangarti?”. Ia khawatir hal itu tidak akan terwujud, karena ia memang tidak

memberikan bekal pendidikan yang cukup bagi Ujang, hal itu disebakan karena

kehidupan keluarganya yang miskin.

3.2.5.2 Lemahnya Ekonomi Keluarga Sebagai Penyebab Berpisahnya Ibu Dan Anak

Kemudian Emak teringat ketika Ujang memutuskan untuk pergi merantau

ke Kalimantan. Waktu itu Emak merasa terpukul karena keinginan Ujang tersebut,

dan tentunya hal itu membuat Emak dan Ujang berpisah dalam jangka waktu yang

lama. Hal tersebut terdapat pada data berikut ;

44) “Rek tulus, Ma.”“Ka mana?”“Nyiar gawe ka Kalimantan.”“Jauh-jauh teuing atuh”

“Tibatan di dieu ripuh. Sugan we di ditu mah seueur lolongkrang.” (HI: 86)

“Jadi pergi, Ma”“Ke mana?”“Mencari pekerjaan ke Kalimantan.”“Kok jauh amat”“Daripada di sini hidup susah. Mungkin saja disana banyak lowongan.

Berdasarkan data di atas, karena kondisi keluarga yang miskin, Ujang

memutuskan pergi merantau ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan. Hubungan Ibu

dan anak kini terpisahkan oleh jarak, dikarenakan kondisi yang sangat memaksa. Hal

Page 63: Bab III Analisis

76

itu dilakukan Ujang semata-mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar

mereka tidak mengalami kesengsaraan. Namun bagi Emak hal itu menambah

kesedihannya, kondisi tersebut terungkap pada data berikut;

45) Harita jang, Ema teh hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?Tapi teu pok. Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup.

(HI: 86) Saat itu Jang, Ema ingin mencegah. Ingin berkata; Jangan pergi Jang! Kalau tidak ada kamu, dengan siapa lagi Ema? Apa kamu tega meninggalkan Ema sendirian?Tapi tak dapat diungkapkan. Teringat apa yang dialami oleh Ema, orang tua Ema. Kesengsaraan dan kesengsaraan yang melanda. Mudah-mudahan, tekadmu pergi jauh menyeberangi lautan, ke tempat yang belum terjamah orang tua kita, membuka pintu untuk kehidupanmu kelak.

Berdasarkan data no.45, di dalam hatinya Emak ingin mencegah kepergian

Ujang, namun, ia tidak sanggup untuk mengatakannya, “Harita jang, Ema teh

hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung

saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?”.

Keputusan Ujang pergi ke Kalimantan membuat sedih hati Emak, karena kini Emak

hidup sendirian. Walaupun, dengan berat hati menerima kenyataan tersebut, ia

hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di perantauan,

“Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa

Page 64: Bab III Analisis

77

teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot

urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup”. Emak berharap, tekad Ujang

tersebut akan membawa keberhasilan baginya. Tidak seperti orang tuanya yang

terus dilanda kesengsaraan dan kemiskinan.

Sepeninggal Ujang yang pergi ke Kalimantan, Emak sangat merindukannya

setiap saat. Apalagi, setahun lamanya Ujang tidak pernah memberi kabar. Dalam

hatinya, Emak merasa khawatir akan keadaan Ujang. Hal tersebut terungkap pada

data berikut;

46) Di mana atuh ari hidep Jang?Teu beja, teu carita. Sataun campleng. Taya raratan. Naha hidep teh jeneng, atawa kadungsang-dungsang? Naha hidep teh jugala, atawa katalangsara?Ema mindeng ngahuleng, lir nu gering ngalanglayung. Ema teu kendat neneda ka Mantenna. Memeh ninggalkeun ieu dunya. Ku hayang pareng tepung heula jeung hidep, boh dina senangna boh dina susahna. (HI; 87)

Di mana dirimu, Jang?Tiada kabar setahun lamanya. Tiada berita, apakah dirimu bahagia atau terlunta-lunta ? apakah dirimu senang atau menderita?Ema selalu melamun, seperti sakit yang tak kunjung sembuh. Ema tak henti-hentinya memohon kepada-Nya. Sebelum meninggalkan dunia ini. Ingin sekali bertemu denganmu, baik dalam senang maupun susah.

Berdasarkan data no.46, tergambar kondisi batin Emak yang sangat

merindukan Ujang. Setelah setahun lamanya tanpa kabar, membuat Emak khawatir

akan keadaan anaknya tersebut. “Di mana atuh ari hidep Jang?Teu beja, teu carita.

Sataun campleng. Taya raratan. Naha hidep teh jeneng, atawa kadungsang-

Page 65: Bab III Analisis

78

dungsang? Naha hidep teh jugala, atawa katalangsara”. Terkadang Emak selalu

melamun dan membayangkan Ujang yang berada di perantauan. Ia selalu bertanya-

tanya dalam hatinya tentang keadaan anaknya tersebut. Hal itu begitu menyiksa

perasaanya, kerinduan yang teramat dalam kepada Ujang hanya bisa ia ratapi di

dalam hati tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ia hanya bisa memohon kepada Yang

Maha Kuasa, untuk di pertemukan kembali dengan Ujang, baik dalam kondisi

senang maupun susah. Ia berkata, “Ema teu kendat neneda ka Mantenna. Memeh

ninggalkeun ieu dunya. Ku hayang pareng tepung heula jeung hidep, boh dina

senangna boh dina susahna”. Terlihat kondisi batin Emak sangat tersiksa karena

kesepian yang melanda dirinya, sepeninggal Ujang. Emak menyadari akan dirinya

yang sudah lanjut usia. Ia berharap bertemu dengan Ujang sebelum dirinya

meninggal dunia dan Emak senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan agar dirinya

beserta anaknya diberikan kebahagiaan dan kekuatan dalam menjalani kehidupan

yang penuh dengan cobaan dan rintangan.

3.3 Penyebab Timbulnya Problematika Keluarga Dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng

Apabila dilihat dari bentuknya, fenomena problematika keluarga yang

terdapat dalam Kumpulan Cerpen Tali Asih Anu Nganteng disebabkan oleh berbagai

faktor. Hal itu diantaranya, kesenjangan sosial, lemahnya perekonomian keluarga,

Page 66: Bab III Analisis

79

perebutan warisan, gangguan keamanan lingkungan, dan ketidak puasan istri terhadap

suami. Faktor-faktor tersebut memunculkan berbagai konflik yang terjadi, baik

konflik batin tokoh, maupun konflik antar tokoh dalam cerita tersebut.

3.3.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng

3.3.1.1 Konflik Batin Tokoh Utama Karena Lemahnya Perekonomian Keluarga dan Adanya Campur Tangan Ibu Mertua

Problematika keluarga dalam cerpen Tali Asih Anu Nganteng, terungkap

melalui kondisi tekanan batin yang dialami oleh Aas. Sebagai ibu rumah tangga, ia

merasa tertekan karena lemahnya perekonomian keluarga, demikian pula dengan

kerewelan Ibu Mertua yang sangat mengaggu perasaan Aas. Hal itu terungkap

melalui data berikut:

1) Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing kapusing, remen dicangkalak kakeuheul. Geura we : saimah jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah sakapeung mah kurang. (TAAN; 5)

Pikiran sumpek, hati sedih bukannya bohong, sering dipusingkan oleh permasalahan. Coba saja: serumah dengan mertua cerewet, gaji Kang Gugum sebulan selalu pas-pasan, bahkan terkadang kurang.

Berdasarkan pada data no.1, Tekanan batin yang ia alami terungkap

melalui, “Uteuk sumpek, hate ramijud teh lain bohong, mindeng dirungsing

kapusing, remen dicangkalak kakeuheul”. Kemudian, penyebab problematika

Page 67: Bab III Analisis

80

keluarga yang di hadapi oleh Aas, diungkapkan Aas melalui, “Geura we : saimah

jeung mitoha cerewed, gajih Kang Gugum sabulan teu weleh pas-pasan , malah

sakapeung mah kurang”. Aas mengalami tekanan batin kerena merasa tidak puas

dengan penghasilan suami yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.

Disamping itu, kerewelan Ibu Mertua menyebabkan batin Aas terganggu.

3.3.1.2 Kekhawatiran Ibu Mertua Terhadap Menantu Akan Menguasai Harta Warisan Anaknya

Permasalahan keluarga berupa konflik yang terjadi antara Aas dengan Ibu

Mertua, dilatar-belakangi karena munculnya kekhawatiran Ibu Mertua terhadap

keberadaan Aas, yang menurutnya, akan mengancam tujuannya untuk menguasai

harta warisan keluarga. Kenyataan tersebut diketahui Aas berdasarkan penuturan

Kang Yayan ketika Aas berkunjung ke kediamannya di Palembang, kemudian, hal

itu pula yang secara tidak sengaja menguak rahasia perihal keluarga suaminya. Latar

belakang keluarga suaminya, asal-usul serta keberadaan harta warisan keluarga, dan

kenyataan bahwa suaminya ternyata bukan anak kandung dari Mertuanya. Hal

tersebut, terungkap pada dialog Kang Yayan dengan Aas, pada kutipan data berikut ;

13) Kieu nya, As. Saenyana mah Kang Gugum teh lain anak Ibu, oge lain anak Bapa...”

“Basa bapa rek nikah ka Ibu, boh bapa boh Ibu pada boga budak. Akang budak bawa bapa, ari Nonon budak bawa ti Ibu. Kang Gugum mah budak rayina bapa. Harita Kang Gugum teh orok keneh, basa Ibu sareng apana cilaka, lantaran mobilna tabrakan jeung treuk.”

(TAAN; 28)

Page 68: Bab III Analisis

81

Sebenarnya Kang Gugum bukanlah anak Ibu, juga bukan anak Bapa....”“Ketika bapa akan menikah dengan Ibu. Baik Bapa maupun Ibu masing-masing mempunyai anak. Akang anak yang dibawa Bapa, sedangkan Nonon anak yang dibawa Ibu. Kang Gugum Anak adiknya Bapa. Ketika itu Kang Gugum masih bayi, Ibu dan Bapaknya meninggal karena kecelakaan, lantaran mobilnya bertabrakan dengan truk.”

Berdasarkan kutipan data no 13, Aas mengetahui kondisi yang sebenarnya

tentang keluarga Gugum. Ternyata, suaminya bukan anak kandung mertuanya.

Ketika itu, orang tua Gugum yang merupakan saudara kandung mertuanya,

meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itulah Gugum diangkat anak oleh mereka.

Sedangkan Nonon dan Kang Yayan masing-masing adalah saudara tiri. Nonon

adalah anak yang dibawa oleh Ibu Mertua, sedangkan Kang Yayan adalah anak yang

dibawa Bapak Mertua Aas. Hal itulah, yang mendasari sikap Ibu Mertua dalam

memanjakan Nonon. Ia sangat di anak-emaskan oleh ibunya, hal itu sangat bertolak

belakang dengan sikapnya terhadap Aas dan Kang Gugum. Kemudian Kang Yayan

menjelaskan kepada Aas tentang alasan yang melatar-belakangi sikap Ibu Mertua

kepada Aas. Hal ini tergambar pada data berikut;

14) “Sanajan Kang Gugum diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah nu boga sahamna bapa Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat warisanana, anu memang hak Kang Gugum. (TAAN; 30)

“Walaupun Kang Gugum diurus oleh Bapa, tapi tak pernah menyusahkan. Karena kekayaan Bapa, didalamnya kebanyakan dimiliki oleh ayahnya Kang Gugum. Bisa jadi, Ibu ketakutan. Takut

Page 69: Bab III Analisis

82

Kang Gugum terpengaruh oleh Aas, menggugat warisannya, yang memang merupakan hak Kang Gugum.”

Berdasarkan data di atas, kenyatan tersebut membuka tabir rahasia yang

selama ini belum terungkap. Kang Yayan menjelaskan pula perihal keluarga Kang

Gugum yang belum Aas ketahui. Kang Yayan berkata, “Sanajan Kang Gugum

diurus ku Bapa, tapi da teu ngahesekeun, lantaran kakayaan Bapa ge, rereana mah

nu boga sahamna bapa Kang Gugum”. Aas mengetahui bahwa ternyata kekayaan

yang dimiliki mertuanya sebagian besar merupakan hak Kang Gugum. Ditambahkan

pula, terdapat hal penting yang diketahui Aas dari penuturan Kang Yayan, “Bisa

jadi, Ibu teh kasieunan. Sieun Kang gugum kapangaruhan ku Aas, ngagugat

warisannana, anu memang hak Kang Gugum”. Ibu Mertua takut kehilangan

hartanya, hal itu kan terjadi apabila Aas mampu mempengaruhi Gugum, agar mau

menggugat kekayaan keluarga yang memang merupakan haknya. Hal itu, ditunjukan

dalam bentuk campur tangannya serta sikapnya yang kurang baik terhadap Aas.

3.3.1.3 Kekhawatiran Akan Hilangnya Kepercayaan Dari Suami

Sebagai istri yang patuh terhadap suaminya, Aas mencoba untuk senantiasa

menghadapi permasalahan yang dihadapinya, tanpa ia ungkapkan kepada Kang

Gugum. Hal itu dilakukannya semata-mata karena, Aas merasa khawatir akan

kehilangan kepercayaan dari suaminya. Aas tidak ingin suaminya beranggapan

Page 70: Bab III Analisis

83

negatif akan penuturannya, dan kemudian berbalik membenci Aas. Dalam benaknya

Aas merasa yakin bahwa, tentunya Kang Gugum lebih mempercayai perkataan Ibu

Mertua dibanding dirinya. Kemudian, ketika ia ditawari pekerjaan dari Fika, ia pun

enggan menyanggupinya karena ia belum mendapat izin dari Kang Gugum. Terlebih

lagi, Aas merasa khawatir kepercayaan dari Kang Gugum akan hilang apabila ia

meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dalam melayani

suami dan mengurusi keluarga.

Pada akhirnya, kekhawatiran yang di alami Aas membuat dirinya mengalami

konflik batin yang sangat menganggu dirinya. Ia tak sanggup mengutarakan

perlakuan yang kurang baik dari Ibu Mertua kepada suaminya. Hal itu terungkap pada

data berikut:

6) Mun sikep mitoha kaleuleuwihi, sok jol kahayang nu nekad. Hayang nyaritakeun sajalantrahna kangewa jeung kaceuceub mitoha ka kuring. Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha.

( TAAN: 8 )

Apabila sikap mitoha berlebihan, terkadang timbul kenekadan. Ingin menceritakan sebenarnya kebencian ibu mertua kepadaku. Tapi ketika dipikir secara mendalam, tentu akan berakibat jelek. Takut Kang Gugum tidak percaya, takut Kang Gugum berbalik membenciku karena terpengaruh oleh perkataan (Ibu) mertua.

Berdasarkan data tersebut, tergambar kekhawatiran Aas yang terungkap

melalui, “Tapi ana dipikiran leuwih jero, asa moal hade akibatna. Sieun Kang

Gugum teu percaya, sieun Kang Gugum malik ceuceub ka kuring lantaran

Page 71: Bab III Analisis

84

kapangaruhan ku kecap-kecap mitoha”. Berdasarkan ungkapan tersebut, Aas merasa

khawatir Kang Gugum tidak mempercayai dirinya, walupun hatinya selalu tergerak

untuk mengutarakan apa yang ia alami akibat perlakuan Ibu Mertua. Ia meyakini

bahwa Kang Gugum tentunya akan memihak kepada Ibunya dibanding dirinya.

Kemudian, kekhawatiran Aas pun kembali muncul ketika Fika menawarinya

peran untuk sebuah film. Namun, Aas mengalami konflik batin setelah menerima

tawaran itu. Kekhawatiran Aas tergambar melalui data berikut:

10) “Hese ngajawabna, kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang. Ngan apan Fika ge nyaho sorangan, di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya persetujuan ti Kang Gugum.” (TAAN: 22 )

Susah untuk menjawabnya, harus bagaimana, Fik. Mau sih tentu, masak sih tidak. Hanya saja Fika pun tahu sendiri, di rumah begitu repotnya, banyak urusan. Dan lagi yang yag paling utama adalah harus ada persetujuan dari Kang Gugum.”

Berdasarkan data di atas, Aas merasa bimbang menerima tawaran tersebut,

kemudian timbul kekhawatirannya yang terungkap melalui, “Hese ngajawabna,

kudu kumaha atuh, Fik. Hayang mah, piraku we teu hayang...”Walaupun di dalam

hatinya ia sangat ingin menerima tawaran pekerjaan itu, namun, dirinya tetap

mengurungkan keinginannya tersebut dengan alasan belum mendapat persetujuan

dari Kang Gugum. Hal itu terungkap melalui, “Ngan apan Fika ge nyaho sorangan,

di imah sakieu riweuhna, loba uruseun. Jeung deui pangpangna mah kudu aya

persetujuan ti Kang Gugum.” Tergambar, kekhawatiran dialami Aas karena

Page 72: Bab III Analisis

85

keputusannya takut melangkahi wewenang suaminya. Namun ia berusaha

menghargai perasaan Fika dengan beralasan bahwa ia tdak mungkin meninggalkan

tanggung jawabnya dalam mengurusi keluarga. Dan yang paling penting menurutnya

ialah, Aas belum membicarakan hal tersebut kepada suaminya, ia khawatir suaminya

tidak akan mengizinkan dirinya menerima tawaran untuk menjadi pemain film.

3.3.2 Cerpen Trong Kohkol

3.3.2.1 Munculnya Kekhawatiran Karena Kondisi Lingkungan Yang Tidak Aman

Karena seringnya mengalami peristiwa pencurian dan perampokan di

lingkungan yang baru mereka huni, mengakibatkan istri tokoh utama mengalami

ketakutan yang sangat berlebihan. Hal itu di tunjukan melalui data berikut:

15) “Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe, geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring pisan, kahalangan ku tilu suhunan” (TK; 34)

Yang merasa sangat ketakutan adalah istriku. Baru saja dua hari, sudah mendengar kabar ada rumah yang disatroni perampok. Terlebih lagi tepat di barisan rumahku, terpisah oleh tiga rumah.

Berdasrkan data di atas, tergambar kondisi batin istri tokoh utama karena

lingkungan yang baru mereka diami, “Nu soak mah pamajikan. Karek ge dua poe,

geus ngadenge beja aya imah nu digarong. Mangkaning di jajaran imah kuring

pisan, kahalangan ku tilu suhunan”. Permasalahan timbul, ketika istri tokoh utama

Page 73: Bab III Analisis

86

mulai dilanda rasa ketakutan karena dua hari sebelumnya mendengar kabar tetangga

mereka disatroni perampok. Peristiwa itu pun terjadi tidak jauh dari kediaman

mereka. Istri tokoh utama khawatir rumah mereka pun akan disatroni perampok

seperti yang dialami tetangga mereka.

3.3.2.2 Ketidak Puasan Istri Terhadap suami Karena Belum Dikaruniai Anak

Munculnya ketidak puasan tokoh Istri tergambar ketika ia mengeluh

kepada tokoh utama karena belum juga mempunyai anak. Kenyataan itulah yang

menjadi penyebab timbulnya permasalah dalam keluarga mereka, ditengah-tengah

kondisi lingkungan yang tidak aman. Hal itu terungkap melalui data berikut.

18) Wayahna. Engke ge, mun nu ti lembur datang, moal keueung teuing. Bongan can diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh.His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun ku alloh.

“Nu sanes mah tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg.”“Enya na salah saha atuh?” (TK; 35)

Bersabarlah. Nanti juga, kalau keluarga dari kampung datang, tidak merasa khawatir lagi.Ya karena kita belum dikaruniai anak, jadi tidak ada tameng apabila berkelahi.His! Kenapa menyalahkan Akang. Tidak punya anak bukan soal kuat dan kalah, yang jelas kita belum dikaruniai oleh Allah.“Orang lain aja...tiga bulan setelah menikah sudah hamil.”“ya salah siapa?”

Page 74: Bab III Analisis

87

Berdasarkan data di atas, istri tokoh utama beralasan bahwa ketakutannya

disebabkan karena ia selalu merasa kesepian di rumah. Ia berkata, “Bongan can

diparengkeun wae boga anak, jadi we taya tameng keur bancang pakewuh”. Hal itu

menggambarkan. Istri tokoh utama yang sangat mengharapkan kehadiran seorang

anak dengan alasan untuk mengusir rasa takutnya selama ini. Kemudian, istrinya

menyalahkan tokoh utama yang belum bisa memberikan seorang anak. Hal itu

dinyatakan dengan ungkapan tokoh utama, “His! Na bet nyalahkeun Akang. Teu

boga anak mah lain soal kuat jeung elehan, nu sidik mah urang can diparengkeun

ku alloh”.

Namun, tokoh utama tak ingin hal ini semata-mata disebabkan olehnya. Ia

pun menegaskan bahwa Tuhan belum memberikan berkah seorang anak di tengah

keluarga mereka, dan tokoh utama mengharapkan istrinya selalu sabar dalam

menghadapinya. Bahkan, istrinya menyarankan agar suaminya segera memeriksakan

dirinya ke dokter. Melalui penuturannya kepada tokoh utama, “Nu sanes mah

tuda...tilu bulan sabada nikah ge tos ngandeg”. Hal tersebut, memunculkan konflik

batin bagi tokoh utama yang merasa dirinya disudutkan karena belum mampu

memberikannya seorang anak. Kemudian, ia mengakui bahwa dirinya berbeda

dengan lelaki normal pada umumnya dan menyadari kekurangan pada dirinya

tersebut.

Page 75: Bab III Analisis

88

3.3.3 Cerpen Diburu ku Butuh

3.3.3.1 Kendala Pekerjaan Sebagai Penyebab Lemahnya Perekonomian Keluarga

Pada cerpen yang ketiga, terungkap problematika keluarga Bram yang

didasari karena faktor lemahnya perekonomian keluarga. Dalam usahanya tersebut,

Bram mengalami hal-hal yang sangat menganggu pikirannya sehingga memunculkan

konflik batin pada dirinya. Hal tersebut diantaranya, konflik batin yang timbul

karena permasalahan pekerjaan yang sedang ia geluti. Hal tersebut tergambar

melalui data berikut:

26) Kudu ka mana nya nyiar duit? Mun boga kantor mah, meureun bisa nginjeum ka kantor.Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang. Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge kawilang gede, saratus rebu sabulan.

(DKB: 48)Harus kemana mencari duit? Kalau saja punya kantor, mungkin bisa meminjam uang ke kantor.Salah sendiri, nekad mengandalkan hidup dari mengarang. Padahal sebelumnya, tiap bulan ada yang bisa diharapkan, sudah barang tentu mendapatkan gaji. Bekerja di sebuah perusahaan, gaji cukup besar, seratus rebu sebulan.

Berdasarkan data no.26, hal itu memicu konflik batin pada diri Bram,

terkadang ia menyesali akan nasib yang dialami keluarganya sebagai ulahnya,

“Bongan sorangan, make nekad ngandelkeun hirup tina ngarang”. Hal itu terjadi

karena ia tidak mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ia mengingat masa lalunya yang

Page 76: Bab III Analisis

89

pernah bekerja di sebuah perusahaan, “Padahal, samemehna mah, unggal bulan teh

boga arep-arepkeuneun, puguh menang gajih. Digawe di hiji pausahaan, gajih ge

kawilang gede, saratus rebu sabulan. Gajinya cukup terbilang besar, cukup untuk

membiayai keluarganya. Namun, ia mengundurkan diri dari pekerjaanya dan

memilih menjadi penulis. Kini dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan,

ia sangat menyesali atas pilihannya tersebut.

3.3.3.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Ketidak Mampuan Menyanggupi Keinginan Orang Tua

Karena kondisi ekonomi keluarganya yang lemah, Bram terpaksa menolak

memberikan Ayahnya pinjaman sejumlah uang untuk membeli televisi. Hal tersebut

tergambar melalui data berikut::

32) Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba! Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit gepokan? Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun? Bisa jadi kitu, lantaran Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah.

(DKB: 54)

Berpikir sejenak. Dasar cobaan! Saat ini sungguh kesal menerima surat dari Apa. Bagaimana nggak, sedang kebingungan memikirkan kebutuhan sehari-hari, malah meminjam uang untuk membeli televisi. Dianggap manusia apa aku ini? Direktur bukan, pejabat bukan, dari mana punya uang gepokan? Mungkin karena dianggapnya penghasilan dari buku pesanan Inpres terus mengalir,

Page 77: Bab III Analisis

90

tak pernah henti? Bisa jadi seperti itu, karena Apa dan Ema tak pernah melihat ketika susah.

Berdasarkan data no.32, Bram merasa kesal dengan sikap ayahnya,

menurutnya ayahnya tak pernah mengetahui keadaan keluarga Bram yang serba

kesusahan. Bram berkata, “Ngahuleung sajongjonan. Ku rupa-rupa ari cocoba!

Keur kieu mah, bet asa keuheul maca surat ti Apa teh. Kumaha teu rek kitu, dina

keur lieur mikiran pangabutuh sapopoe, ger nginjeum duit keur meuli tivi. Na

dianggapna jelema nanahaon atuh? Direktur lain, pajabat lain, timana boga duit

gepokan?”. Menurut Bram, belum lagi kebutuhan keluarganya terselesaikan, kini ia

harus senantiasa membahagiakan orang tuanya. Jangankan untuk memberikan

pinjaman kepada ayahnya, Bram pun kesulitan dalam memenuhi keperluan

keluarganya. Ia sangat sedih dan kesal menghadapi permasalahan tersebut.

Menurutnya Apa sudah tak menghargai dirinya dan bersikap semaunya terhadap

Bram. Kemudian Bram menyimpulkan, Pedah eta kitu, dianggapna teh, panghasilan

tina buku pesenan Inpres terus merul, teu eureun-eureun? Bisa jadi kitu, lantaran

Apa jeung Ema mah tara ninggali keur susah. Kemungkinan ayahnya beranggapan,

ia selalu mendapatkan pendapatan yang besar dari proyek pembuatan buku Inpres

yang pernah ia kerjakan. Namun orang tuanya tak pernah mengetahui keadaan

keluarga Bram yang kini sedang dilanda kesusahan. Kemudian pada akhirnya, hal itu

pun mengakibatkan munculnya konflik antara Apa dengan Bram.

Page 78: Bab III Analisis

91

3.3.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi

3.3.4.1 Kepergian Pembantu Keluarga Tokoh Utama Sebagai Penyebab Problematika Keluarga

Sejak kepulangan Si Bibi ke kampung halamannya, Tatang dan istrinya

kewalahan dalam mengurusi rumah tangga mereka. Peran Si Bibi sangatlah penting

dalam keluarga Tatang, sehingga ketika ia memutuskan untuk pulang kampung,

Tatang dan istrinya kesulitan dalam mengerkan pekerjaan rumah tangga yang

biasanya sehari-hari menjadi tugas pembantu mereka tersebut. Hal tersebut tergambar

melalui data berikut:

37) Ripuh puguh ge ditinggalkeun ku Si Bibi teh. Basa Si Bibi balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag. Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh. (STSB: 70)

Susahnya sepeninggal Si Bibi. Ketika Si Bibi mengutarakan keinginannya untuk pulang kampung, ingin istirahat selama tiga minggu, tak ditolak. Sudah semestinya, karena sudah setahun lamanya menjadi pembantu keluargaku.

Berdasarkan data di atas, permasalahan keluarga Tatang muncul ketika Si

Bibi memutuskan pulang ke kampung halamannya untuk beristirahat selama tiga

minggu. Hal tersebut tergambar pada ungkapan Tatang, “Ripuh puguh ge

ditinggalkeun ku Si Bibi teh”. Karena sejak Si Bibi pulang kampung, Tatang beserta

istrinya merasa kerepotan dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga. “Basa Si Bibi

balaka hayang balik heula ka lemburna, hayang reureuh tilu minggu, teu dihulag.

Page 79: Bab III Analisis

92

Meujeuhna we, tuda geus aya kana sataunna babantu di rumah tangga kuring teh”.

Tatang tak mampu menolak keinginan Si Bibi untuk pulang kampung, Menurut

Tatang sudah sewajarnya ia memintanya karena sudah setahun lamanya ia

membantu Tatang dan istrinya dalam mengurusi rumah tangga mereka.

3.3.4.2 Adanya Sikap Tidak Terbuka Terhadap Istri Dalam Mengerjakan Tugas Rumah Tangga Sebagai Pemicu Konflik Batin Tokoh Utama

Persaingan antara Tatang dengan istrinya disebabkan karena, Tatang ingin

membuktikan kepada istrinya bahwa ia mampu mencuci pakain tanpa harus

mengeluh. Tidak seperti istrinya yang tampak kewalahan dalam melakukannya. Hal

tersebut tergambar melalui data berikut:

47) Alah, pira ge nyeuseuh, naon capena!” cekeng, basa pamajikan luh- lah bangun nu ripuh, pedah geus saminggu noron nyeuseuhan.

“Mangga we buktoskeun, bilih teu percanten mah,”pokna.Ditangtang kitu teh teu asa di titah, bet nyongsrog rasa panasaran hayang ngabuktikeun, hayang mere conto, pilakadar ge nyeuseuh sajolang, asa teu kudu luh-lah. (STSB;70)

Alah, mencuci segitu saja, apa capeknya!” ucapku, ketika istriku mengeluh seperti yang kewalahan, karena seminggu terus mencuci.“Silakan saja buktikan, kalau tidak percaya,” ucapnya.Ditantang seperti tak harus menunggu perintah, seketika itu juga ingin membuktikan kepenasaranku, ingin membuktikan, ingin memberi contoh, mencuci satu ember saja, tak perlu mengeluh.

Berdasarkan data no 47, Tatang menganggap istrinya tak perlu mengeluh

dalam bekerja, hal itu tergambar melalui ungkapan, “Alah, pira ge nyeuseuh, naon

Page 80: Bab III Analisis

93

capena!” cekeng, basa pamajikan luh-lah bangun nu ripuh, pedah geus saminggu

noron nyeuseuhan.” Kemudian, Tatang tanpa diminta oleh istrinya, berinisiatif

untuk menggantikan istrinya dalam mencuci pakaian. Ia ingin membuktikan dan

memberi contoh kepada istrinya bahwa, sebenarnya pekerjaan mencuci pakaian

adalah perkara mudah baginya.

3.3.5 Cerpen Haleuang Indung

3.3.5.1 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagai Penyebab Kurang Terpenuhinya Kebutuhan Pendidikan Anak

Ema berharap untuk menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang lebih

tinggi, namun semua itu tak dapat terwujud karena kekurangan biaya akibat

lemahnya perekonomian keluarga. Hal tersebut tergambar pada data berikut:

41) Lain teu hayang siga nu lian. Nyakolakeun hidep nepi ka jeneng. Lain teu nyaah siga nu lian, mun rea pamenta hidep teu kacumponan. Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca .( HI; 81)

Bukannya tdak mau seperti orang lain. Menyekolahkan kamu sampai sukses. Bukannya tidak menyayangi kamu seperti orang lain lakukan, bila setiap keinginanmu tak terpenuhi. Kamu pun mengerti, berapa penghasilan Bapak semasa hidup. Apa yang bisa diharapkan dari Bapakmu, yang hanya mampu menarik beca.

Berdasarkan data di atas tergambar kondisi keluarga Emak yang

memprihatinkan “Hidep ge meureun surti, sabaraha panghasilan Bapa-mangsa keur

Page 81: Bab III Analisis

94

jumeneng keneh. Naon nu kudu diarep-arep ti bapa hidep, kabisa ukur ngabeca”.

Dengan mengandalkan penghasilan suami Emak yang berprofesi sebagai penarik

beca, tentunya tak dapat mencukupi biaya sekolah Ujang.

3.3.5.2 Lemahnya Perekonomian Keluarga Sebagi Penyebab Berpisahnya Ibu Dan Anak

Dalam peristiwa ini menceritakan perjalanan hidup Ema hingga ia

ditinggalkan oleh Ujang, untuk mengais rejeki ke Kalimantan. Hal itu tergambar

pada data berikut:

44) “Rek tulus, Ma.”“Ka mana?”“Nyiar gawe ka Kalimantan.”“Jauh-jauh teuing atuh”

“Tibatan di dieu ripuh. Sugan we di ditu mah seueur lolongkrang.”“Jeung saha?”“Sareng rerencangan.” (HI; 86)

“Jadi pergi, Ma”“Ke mana?”“Mencari pekerjaan ke Kalimantan.”“Kok jauh amat”“Daripada di sini hidup susah. Mungkin saja disana banyak lowongan.

Berdasarkan data diatas, karena kondisi perekonomian keluarga yang serba

kekurangan mengharuskan Ujang untuk merantau ke Kalimantan. Hubungan Ibu dan

anak kini terpisahkan oleh jarak, dikarenakan situasi yang sangat memaksa. Hal itu

dilakukan Ujang semata-mata untuk mencari kehidupan yang lebih baik, agar

Page 82: Bab III Analisis

95

mereka tidak mengalami kesengsaraan. Keputusan Ujang tersebut membuat sedih

hati Emak, karena kini Emak hidup sendirian.

3.4 Upaya Tokoh Dalam Menghadapi Problematika Keluarga

Secara tidak langsung, problematika keluarga yang dialami tokoh-tokoh

pada cerita ini, mendorong pula upaya-upaya tokoh dalam proses pemecahan masalah

yang mereka hadapi. Tergambar pula adanya usaha tiap tokoh dalam cerita, berusaha

memperbaiki konflik-konflik yang terjadi agar terjalin hubungan sosial yang dilandasi

nilai-nilai kemanusiaan yang harmonis, yang berakhir pada kebahagiaan bersama.

Disamping itu, terungkap pula adanya kemampuan tiap tokoh dalam mengendalikan

diri, sebagai upayanya agar mendapatkan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya.

3.4.1 Cerpen Tali Asih Anu Nganteng

3.4.1.1 Bersikap Sabar Menghadapi Permasalahan Keluarga

Aas berusaha untuk tidak terpancing oleh amarah dalam menghadapi

permasalahan keluarganya, dan berjiwa besar dalam menghadapinya. Hal itu

dilakukannya semata-mata untuk kebaikan dirinya beserta keluarganya, dan terlebih

lagi, ia tidak ingin menyakiti perasaan suaminya. Sikap Aas tersebut membuktikan

kecintaanya yang begitu besar kepada Kang Gugum. Walaupun Aas hanya bisa

Page 83: Bab III Analisis

96

menyimpan kesedihan di dalam hatinya, ia menyadari hanya dengan bersikap sabar

ia mampu meyelesaikan permasalahan ini tanpa menimbulkan konflik yang lebih

besar. Ia tidak ingin permasalahannya dengan Ibu Mertua sebagai pemicu keretakan

keluarga.. Hal itu tergambar pula pada data berikut;

9) Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha? Gusti, mugi-mugi nu sanes mah ulah dugi ka terang, naon nu karandapan ku abdi. Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna. Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu bakal ngadatangkeun kaceuceub.

( TAAN; 19)Dengan melihat kenyataanya, siapa yang menyangka, bahwa kepindahanku karena sudah tidak kuat hidup bersama mertua? Ya Tuhan, semoga saja orang lain tidak tahu, apa yang aku alami. Semoga mertuaku menyadari, kalau aku masih tetap menyayanginya. Berpisah bukan berarti tidak ingin berbakti atau benci, tapi ingin menjauhkan segala betuk percekcokan. Agar hatiku terbebas dari rasa sakit dan pedih, yang akan mendatangkan rasa benci.

Pada data no 9, tergambar ungkapan Aas yang merasa sudah tidak tahan

menghadapi permasalahan dalam keluarganya, dan tiada jalan lain baginya bahwa ia

beserta keluarganya harus pindah dari rumah Ibu Mertua. Ungkapan hati Aas

tergambar pada; “Ninggali sareatna mah, saha nu nyangka atuh, yen kuring pindah

teh geus teu kuat ngahiji jeung mitoha?”. Kemudian, ia tidak henti-hentinya selalu

pasrah dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar permasalahan ini tidak sampai

terungkap kepada orang lain yang dapat menimbulkan permasalahan yang lebih

Page 84: Bab III Analisis

97

besar. Aas berharap semoga Yang Maha Kuasa membukakan pintu kesadaran bagi

Ibu Mertuanya, walaupun apa yang dialami Aas begitu menyedihkan hal itu tidak

menurunkan rasa cinta Aas kepada Ibu mertuanya. Hal itu ditegaskan Aas melalui

ungkapan, “Mugi-mugi mitoha abdi sadar, yen abdi mah angger nyaah ka anjeuna.

Misah soteh sanes teu hoyong ngawulaan atanapi ceuceub, tapi hoyong nebihkeun

sagala rupi pacogregan. Malar hate abdi bebas tina kanyeri sareng kapeurih, nu

bakal ngadatangkeun kaceuceub”. Keinginanya untuk berpisah dari Ibu Mertua

bukan sebagai sikap yang mencerminkan tidak berbakti kepadanya, namun itu

dilakukanya demi menghindari percekcokan di antara mereka, dan rasa kepedihan

yang semakin menambah rasa benci karena permusuhan. Aas menginginkan

kemandirian tanpa harus menggantungkan hidup kepada orang tua, walaupun pada

kenyataanya Ibu Mertua berbuat kurang baik terhadapnya, ia tetap menyayanginya

dan sebagai seorang sosok yang tetap ia hormati.

Walaupun Aas tersiksa akan hal itu, ia tidak ingin menceritakan kenyataan

yang sebenarnya kepada Kang Gugum. Kehalusan budi pekerti dan kesabaran

tercermin pada tokoh utama dalam menghadapi permasalahan yang ia hadapi. Hal

itu, menjadi kunci dalam penyelesaian konflik dengan Ibu Mertua yang coba ia

selesaikan, tanpa harus menyinggung perasaan suami dan Ibu Mertua.

Page 85: Bab III Analisis

98

3.4.1.2 Memilih Hidup Berpisah Untuk Menghindari Konflik Dengan Ibu Mertua

Namun, kesabaran Aas pun ada batasnya, pada akhirnya ia membicarakan hal

tersebut kepada suaminya, namun Aas masih dibayangi kekhawatiran suaminya akan

berbalik membencinya. Ia mengusulkan ingin hidup berpisah dari mertuanya, ia ingin

terlepas dari semua beban yang dirasakan, hanya saja ia tidak berterus terang tentang

sikap ibunya kepada suaminya. Ia takut apabila berterus terang akan menyakiti

hatinya dan ia tidak mempercayainya sama sekali. Tiada jalan lain baginya untuk

keluar dari masalah ini adalah segera pindah dari rumah Ibu Mertuanya. Hal itu

tergambar pada data berikut;

8) “Abdi mah... hoyong ngalih.”Kang Gugum olohok sajongjonan.“Ngalih ka mana?”“Ka mana we.”“Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang

mah misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya kateungeunah ti ibu?”

Sirah gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...

“Ngarah teu kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah.” (TAAN; 14)

“Aku... ingin pindah.”Kang Gugum terbengong“Pindah kemana?”“Kemana saja.”

Page 86: Bab III Analisis

99

“Memangnya disini kenapa? Walaupun hidup bersama Ibu pun, kita tetap pisah, di pavilyun. Belanja pun tak menyusahkan Ibu. Atau...Aas merasakan sesuatu yang tidak enak dari Ibu?”Kepala (ku) menggeleng, walaupun dalam hati ingin teriak. Iya, kang! Iya, memang seperti itu...

“Agar tidak keenakan, Kang. Kalau kita terus-terusan di sini, aku takut dianggap tidak mendukung usaha Akang. Takut dianggap aku hanya ingin senangnya saja, tidak lepas dari Ibu. Dan lagi kalau kita bisa keluar dari sini, walaupun hanya mengontrak rumah, Ibu pun pasti akan merasa senang.”

Pada data no.8, tergambar bagaimana Aas mengutarakan keinginannya

untuk berpisah dari Rumah Ibu Mertua kepada suaminya tersebut. Kemudian, Kang

Gugum merasa heran dengan permintaan Aas tersebut. Kang Gugum bertanya

kepada Aas, “Ari didieu kumaha kitu? Najan ngahiji jeung ibu ge, apan urang mah

misah, di pavilyun. Balanja ge apan teu nyesahkeun Ibu. Atawa...Aas aya

kateungeunah ti ibu?”. Mendengar hal itu, Kang Gugum merasa heran, ia merasakan

kejanggalan dengan keinginan Aas tersebut yang pada akhirnya menimbulkan

kecurigaan, bahwa tentunya ada permasalahan yang melatar-belakangi keinginan

istrinya tersebut. Walaupun ia dan Aas menumpang hidup dirumah ibunya,

dirasakan olehnya tidak pernah menyusahkan, bahkan untuk uang belanjapun

Gugum bersama keluarganya tidak pernah membebani Ibunya. Gugum curiga bahwa

Aas mendapatkan perlakuan yang kurang pantas dari ibunya. Kekhawatiran kembali

melanda hati Aas waktu itu. Namun, Aas berusaha untuk tidak memperlihatkan

kesedihan dihadapan suaminya. Ungkapan hati Aas tergambar melalui, “Sirah

Page 87: Bab III Analisis

100

gideug, sanajan hate mah asa ngoceak. Muhun, Kang! Muhun, kitu pisan. ...”. Aas

menampik semua kecurigaan suaminya dan ia berdalih bahwa keinginanya untuk

pindah justru agar tidak membebani Ibu Mertuanya. Aas berkata, “Ngarah teu

kajongjonan, Kang. Upami urang teras-terasan di dieu, ka abdina sok sieun pajar

teu ngarojong kana usaha Akang. Bilih aya nu nganggap abdi hoyong senangna

wae, teu lesot-lesot ti Ibu. Sarengna deui. Ari urang tiasa kaluar ti dieu, sanaos

ngontrak bumi oge, meureun Ibu teh bakal ngiring bingah . Menurut Aas, ia ingin

hidup mandiri dan bisa membantu usaha suaminya dalam mencari nafkah. Walaupun

hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapinya, ia tidak ingin

dianggap bahagia diatas penderitaan suaminya.

3.4.1.3 Mencari Pekerjaan Untuk Menambah Penghasilan Keluarga

Aas menggeluti lagi dunia model yang sejak SMU ia tinggalkan, bersama

sahabatnya, Fika. Penghasilannya digunakan untuk membantu Kang Gugum

membiayai rumah kontrakannya. Penghasilannya yang cukup lumayan dari

pekerjaanya ini ternyata mampu mengatasi permasalahan yang ia hadapi, ketika

masih hidup bersama dengan Ibu mertua. Pada akhirnya ia mampu melepaskan diri

dari tekanan Ibu Mertua. Hal itu tergambar pada data berikut:

(47) Teu sirikna sababaraha kali nganuhunkeun ka Fika, bakat ku atoh aya jalan keur waragad ngontrak imah. Ti Kang Gugum lima ratus rebu, ti kuring lima ratus rebu, ngontrak imah dua tauneun,

Page 88: Bab III Analisis

101

meunangkeun imah nu meujeuhna keur pantaran kulawarga kuring mah. (TAAN,18)

Tak kurangnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Fika, karena aku bahagia diberikan jalan untuk mengontrak rumah. Dari Kang Gugum lima ratus ribu, dan aku lima ratus ribu, mengontrak rumah untuk dua tahun, mendapatkan rumah yang cukup dan sesuai untuk keluargaku.

Berdasarkan data tersebut, keinginan Aas untuk mempunyai rumah sendiri,

akhirnya tercapai berkat bantuan Fika. Walaupun hanya rumah kontrakan, ia sangat

bersyukur akan hal itu. Melalui ungkapan, Teu sirikna sababaraha kali

nganuhunkeun ka Fika, bakat ku atoh aya jalan keur waragad ngontrak imah, Aas

merasa bahagia dan sangat berterima kasih kepada Fika yang telah memberikan jalan

baginya dari kesusahan. Dari pekerjaan yang Fika tawarkan, Aas dapat membantu

suaminya membiayai rumah kontrakan yang cukup bagi keluarganya.

Kemudian, ketika Aas mengetahui tentang alasan yang melatar belakangi

kerewelan Ibu mertua pada dirinya dari Kang Yayan, sebagai bentuk kekhawatiran

Ibu Mertua terhadap keberadaan Aas dalam penguasaan harta keluarga. Namun, Aas

menyikapi hal tersebut pun dengan penuh kesabaran. Ia meyakini bahwa ia dan

suaminya tidak akan mempermasalahkan keberadaan harta warisan keluarganya.

Pernyataan Aas tersebut tergambar melalui data berikut:

(48) Moal! Asa pamohalan Kang Gugum mah ngaributkeun soal warisan....Kuring ge, asa teu sugema ari kudu hirup tina hasil warisan mah. Nu matak senang mah, mun sagala nu nyampak teh, beunang ladang kesang sorangan, boh ti kuring boh ti Kang Gugum.

Page 89: Bab III Analisis

102

Warisan mah, leuwih rea matakna tibatan mangpaatna. (TAAN; 31)

Tidak! Tidak mungkin Kang Gugum meributkan tentang warisan…Aku pun, tidak akan bahagia bila hidup dari hasil warisan. Aku akan bahagia bila semua yang aku punya, hasil dari keringat sendiri, baik dariku sendiri maupun dari Kang Gugum.Harta lebih banyak menimbulkan keburukan dibanding manfaatnya.

Berdasarkan data di atas, Aas menegaskan tentang sikap dirinya beserta

suaminya terhadap keberadaan warisan tersebut. Menurutnya, “Kuring ge, asa teu

sugema ari kudu hirup tina hasil warisan mah. Nu matak senang mah, mun sagala

nu nyampak teh, beunang ladang kesang sorangan, boh ti kuring boh ti Kang

Gugum”, ia tidak menginginkan kebahagiaan keluarganya di dapatkan dari hasil

warisan keluarga. Aas lebih memilih mendapatkannya dari hasil keringat dan kerja

keras baik dirinya maupun Kang Gugum. Ia pun menuturkan, “Warisan mah, leuwih

rea matakna tibatan mangpaatna”, menurutnya ia lebih berkeyakinan bahwa harta

warisan tentunya akan menimbulkan permasalahan dibanding manfaat yang ia dapat.

Berdasarkan hal tersebut, tercermin sikap positif dalam diri Aas dalam

menghadapi tantangan permasalahn tersebut. Ia meyakini bahwa dengan

pekerjaannya, kini ia dapat mengatasi permasalahan perekonomian keluarganya,

serta Aas dan suaminya pun mampu menafkahi keluarganya secara layak.

Kemudian, untuk menghadapi konflik dengan Ibu Mertua dalam permasalahan

perebutan warisan keluarga, Aas lebih bersikap netral menyikapi hal tersebut. Ia

beserta suaminya meyakini bahwa kebahagian keluarganya tidak ingin semata-mata

Page 90: Bab III Analisis

103

didapatkan dari harta warisan keluarga, ia pun menegaskan bahwa tentunya ia

beserta keluarganya akan bahagia, apabila segala hal yang ia dapat berasal dari

usaha dan kerja keras dirinya beserta Kang Gugum.

3.4.1.4 Bentuk Dukungan Moral Suami Terhadap Karier Istri

Kekhawatiran Aas pada akhirnya pudar, setelah Kang Gugum mengizinkan

dirinya menerima tawaran untuk menjadi pemain film dari Fika. Hal itu tergambar

pada data berikut:

49) “Terus terang…Akang moal ngahalangan mu Aas boga niat rek narima eta peran”….Kang Gugum kalah imut. “Teu percanten…?”“Kang Gum…”Sirah nyuuh na dadana. Asa teu hayang nyarita itu jeung ieu.(TAAN: 26)

…”Terus terang …Akang tidak akan menghalangi bila Aas ingin menerima peran tersebut”….Kang Gugum malah tersenyum. “Tidak percaya….?”“Kang Gum…” Kepalaku bersimpuh di dadanya. Tak ingin berkata apa-apa.

Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan Kang Gugum yang

mengizinkan Aas untuk menerima tawaran peran tersebut. Kang Gugum tidak akan

menghalangi niat istrinya. Hal itu ditunjukannya melalui ungkapan, “Terus

terang…Akang moal ngahalangan mu Aas boga niat rek narima eta peran”….

Page 91: Bab III Analisis

104

Kemudian, yang membuat hati Aas bertambah senang adalah, bahwa

suaminya tersebut menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Aas, serta memberikan

dukungan terhadap Aas untuk bekerja di dunia film. Hal tersebut tergambar melalui

data berikut:

50) “As…Akang mah terang saha Aas, percanten ka Aas. Akang mah yakin Aas moal ngarempak kapercantenan Akang, pokona mah Akang siap jadi salaki bentang pilem kawentar, siap adu hareupan jeung sabangsaning gossip”.

(TAAN;27)“As…Akang sangat mengenal siapa Aas, percaya kepada Aas. Akang yakin, Aas tidak akan sampai merusak kepercayaan Akang. Pokoknya, Akang siap jadi suami bintang film terkenal, siap berhadapan dengan segala macam gossip.”

Berdasarkan data di atas , tergambar ungkapan Kang Gugum yang

sepenuhnya mendukung keinginan Aas. Ia berkata, “As…Akang mah terang saha Aas,

percanten ka Aas. Akang mah yakin Aas moal ngarempak kapercantenan Akang”.

Hal tersebut menggambarkan bahwa Kang Gugum telah menaruh kepercayaan yang

begitu besar terhadap Aas, dan ia yakin sepenuhnya bahwa ia tetap akan menjaga

keutuhan keluarga mereka. Kemudian ia menambahkan,” Pokona mah Akang siap

jadi salaki bentang pilem kawentar, siap adu hareupan jeung sabangsaning gossip”.

Hal tersebut meberikan jaminan kepada Aas bahwa sebagai suami seorang bintang

film, Kang Gugum tidak akan pernah goyah akan gunjingan dan isu-isu negatif yang

akan ditemui oleh mereka kelak.

Page 92: Bab III Analisis

105

3.4.2 Cerpen Trong Kohkol

3.4.2.1 Menyediakan Kentongan Sebagai Bentuk Kewaspadaan Terhadap Ancaman Keamanan Lingkungan

Kondisi keamanan lingkungan sekitar komplek perumahan yang di diami

tokoh utama dan istrinya tak kunjung membaik. Walaupun segala usaha warga dari

mulai pengadaan Pos Ronda serta mengoptimalkan kegiatan Siskamling, tetap saja

pencurian bahkan perampokan semakin meningkat, bahkan tak jarang mereka pun

semakin nekat. Hingga akhirnya warga mulai mengusahakan penyediaan kentongan

di setiap Pos Ronda dan rumah warga. Hal itu terungkap pada data berikut:

20) Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol. Nu sejenna kudu solider, langsung nabeuh kohkol, silih bejaan. Cara kitu teh, cenah keur ngahirupkeun deui gotong royong diantara warga. (TK; 40)

Tiap petugas ronda diberikan kentongan, bahkan tiap rumah harus menyiapkan kentongan. Bilamana ada hal-hal yang mencurigakan, kentongan cepat-cepat dibunyikan. Yang lain harus solider, langsung menabuh kentongan, saling memberitahukan. Katanya cara seperti itu menghidupkan kembali gotong royong diantara warga.

Dari data tersebut, tergambar bagaimana usaha warga menyediakan

kentongan untuk menghadapi permasalahan lingkungannya yang tidak aman.

“Unggal ronda dibere kohkol, malah unggal imah kudu sayagi kohkol. Opama aya

itu-ieu nu matak nyurigakeun, kohkol gancang ditakol”. Dari gambaran tersebut,

tergambar peran dan fungsi kentongan untuk menciptakan keamanan di Komplek

Page 93: Bab III Analisis

106

Sindang Kasih. Hal itu mencerminkan bentuk gotong royong dan mendorong bentuk

kepedulian terhadap lingkungan masyarakat.

3.4.2.2 Memberikan Perhatian dan Kasih Sayang Terhadap Istri

Bagi tokoh utama dan istrinya, hadirnya kentongan tersebut sangatlah

bermanfaat. Mereka mulai merasakan ketenangan dalam menjalani kehidupan rumah

tangga. Hal itu memberikan kesempatan bagi tokoh utama untuk lebih memberikan

perhatian dan kasih saying terhadap istrinya, tanpa harus merasa was-was akan

keamanan lingkungan. Hal itu tergambar melalui data berikut:

51) Teuing ku naon, geus aya kohkol mah pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun kasono, teu dibarung ku gegebegan.

“Matih gening kohkol teh,” cek kuring dina hiji peuting.“Aneh puguh. Akang ge janten kiatan.”“Muhun.”“Asal kohkolna mindeng di takol.”“Ih!” Pamajikan nyiwit kana cangkeng.. (TK, :41)

Tak tahu kenapa, setelah kehadiran kentongan istriku agak bisa nyenyak tidurnya. Bahkan sering meminta dipeluk, melepaskan kerinduan, tidak diselimuti rasa takut.

“Manjur juga ternyata kentongan itu, “ ucapku pada suatu malam.“Aneh, Akang pun jadi perkasa.”“Iya.”“Asal kentongannya sering di tabuh.“Ih!” istriku mencubit pinggangku.

Berdasarkan data di atas, manfaat dari kentongan tersebut dapat dirasakan

oleh tokoh utama melalui ungkapan, “Teuing ku naon, geus aya kohkol mah

Page 94: Bab III Analisis

107

pamajikan teh rada bisa tibra. Malah remen hayang dikeukeupan, nyacapkeun

kasono, teu dibarung ku gegebegan.” Istrinya merasa tenang dan bahagia sejak

kehadiran kentongan tersebut ada di rumah mereka. Bahkan, hal itu pun memberikan

kesempatan kepada tokoh utama untuk bisa mencurahkan kasih sayang serta

memanjakan istrinya, yang selama ini belum mampu ia berikan.

3.4.3 Cerpen Diburu Ku Butuh

3.4.3.1 Berusaha Meminjam Uang Untuk Memenuhi Kebutuhan Keluarga

Dalam keadaan yang tertekan karena kondisi keluarganya yang serba

kekurangan, hal tersebut mengharuskan Bram meminjam uang kepada Pak Burhan.

Hal tersebut tergambar pada data berikut ;

26) Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate. Asa euweuh deui alesan nu bakal dipercaya, mun seug nyebutkeun butuh duit keur waragad budak gering. Enya, kapaksa kudu ngabohong, nandonkeun budak. (DKB, 49)

Beberapa kali kutarik nafas, tegarkan hati. Tiada lagi alasan yang bakal dipercaya selain butuh uang untuk biaya anak yang sedang sakit. Ya, terpaksa harus berbohong, mengorbankan anak.

Dari data di atas, karena Bram sangat frustasi dengan permasalahan yang

dihadapinya, dan demi tanggung jawab kepada keluarganya yang harus ia nafkahi,

dirinya pun memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Pak Burhan.

“Sababaraha kali ngarenghap, neger-neger hate”. Menggambarkan usaha Bram

Page 95: Bab III Analisis

108

untuk mengusir rasa ragu yang menyelimutinya batinnya. Walaupun merasa malu, ia

terpaksa melakukannya karena tuntutan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya

yang mendesak.

3.4.3.2 Bersikap Tenang dan Sabar dalam Menghadapi Problematika Keluarga

Walaupun mengalami tekanan batin karena permasalahan yang ia alami,

namun Bram tetap menghadapinya dengan tenang dan penuh kesabaran. Hal itu

tergambar melalui data berikut:

52) Apan eta teh elmu hirup, Mah. Kasusah mah ulah diucah-aceh komo deui ka kolot. Ulah nepi ka kolot milu susah mikiran kaayaan anak. Kaasup ibadah gede, nyenangkeun kolot teh. (DKB; 57)

Itu yang dinamakan ilmu hidup, Mah. Susah jangan sampai orang lain tahu apalagi orang tua. Jangan sampai orang tua ikut susah memeikirkan keadaan anaknya. Termasuk ibadah besar, menyenangkan orang tua itu.”

Berdasarkan data di atas, dalam menghadapi permasalahan keluarganya,

Bram mencoba menenangkan perasaan istrinya yang ikut tertekan karena hal tersebut.

Hal itu tergambar melalui ungkapan, “Apan eta teh elmu hirup, Mah. Kasusah mah

ulah diucah-aceh komo deui ka kolot”. Ungkapan itu menunjukan, Bram mencoba

meyakinkan kepada istrinya bahwa segala permasalahan yang mereka hadapi,

merupakan tantangan kehidupan yang mengandung sebuah nilai penting dan dapat

Page 96: Bab III Analisis

109

diambil hikmahnya kelak. Kemudian, ia pun menambahkan, “Ulah nepi ka kolot milu

susah mikiran kaayaan anak. Kaasup ibadah gede, nyenangkeun kolot teh”. Bram

kemudian menekankan kembali bahwa kenyataan hidup yang mereka alami tidak

seharusnya orang tua mereka pun ikut terbebani akan hal itu. Bahkan menurutnya,

menyenangkan hati mereka adalah bentuk ibadah penting yang diwajibkan setiap

anak kepada orang tuanya.

Kemudian ketika terjadi konflik dengan ayahnya, Bram tak hentinya

menenangkan istrinya yang dilanda kepanikan menghadapi permasalahan itu. Hal

tersebut tergambar melalui data berikut:

53) “Teungteuingeun tuda Apa teh. Ka barudak ge bangun nu api lain. Tadina mah, mun ngagugu napsu, abdi teh hoyong teras ka toko emas we bade ngical geulang.”“Keur televisi?”“Muhun.”“Genah di Apa teu genah diurang atuh, Mah.”“Wios tibatan disangka ngabohong mah” “Nyanghareupan nu kitu mah, lain ku napsu, Mah. Tenang we. Kudu ngama’lum.” (DKB; 62)

“Apa sangatlah keterlaluan. Kepada anak-anak sperti yang acuh tak acuh. Tadinya kalau saja kelewat emosi, saya ingin pergi ke toko emas, mau menjual gelang.”“Untuk televisi?”“Betul.”“Enak di Apa, tapi sebaliknya dengan kita, Mah”“Biar saja daripada disangka berbohong.”“Menghadapinyaa hendaklah jangan oleh emosi, Mah. Tenang saja. Harus dimaklum.”

Page 97: Bab III Analisis

110

Berdasarkan data no. 53, Kepanikan istrinya tergambar melalui ungkapan,

“Teungteuingeun tuda Apa teh. Ka barudak ge bangun nu api lain. Tadina mah, mun

ngagugu napsu, abdi teh hoyong teras ka toko emas we bade ngical geulang”.

Kemudian Bram mencoba menangkan istrinya melalui ungkapan, “Nyanghareupan

nu kitu mah, lain ku napsu, Mah. Tenang we. Kudu ngama’lum”. Ia mengharapkan

istrinya agar tenang dan sabar, dan tidak seharusnya mengandalkan emosi dalam

menghadapi cobaan tersebut. Bram mengatakan kepada istrinya bahwa mereka harus

memaklumi kondisi tersebut.

Sikap tenang dan sabar tentunya tidak hanya timbul dari batin Bram sendiri,

namun, hal itu pun didorong oleh peran serta dukungan istri Bram yang selalu

membantu suaminya tersebut. Ia selalu setia berada di sisi Bram dalam menghadapi

permasalahan yang mereka hadapi. Hal itu tergambar melalui data berikut:

54) “Abdi mah... karunya ka Akang we. Bilih rieut ngemutan ka ditu-kadieu, taya reureuhna. Bilih ngaganggu kana padamelan Akang. Bilih Akang teu damang.”Teuing ku tengtrem ngadenge omongan pamajikan. Nuhun gusti ! Abdi teh teu salah milih. Dina keur lieur, asa teu eureun-ereun nu ngabeberah. (DKB; 62)

“Saya... hanya kasihan melihat Akang. Dipusingkan kesana-kemari, tanpa istrirahat. Khawatir akan mengganggu pekerjaan Akang. Takut akang jatuh sakit.”Hatiku sangat tentram mendengar perkataan istriku. Terima kasih Tuhan! Aku tidak salah akan pilihanku. Dalam keadaan bingung, tak henti-hentinya ia menghibur.

Page 98: Bab III Analisis

111

Berdasarkan data no. 54, tergambar ungkapan istrinya yang selalu

memberikan perhatian penuh kepada Bram ketika suaminya tersebut dilanda

kesusahan.Ia berkata, “Abdi mah... karunya ka Akang we. Bilih rieut ngemutan ka

ditu-kadieu, taya reureuhna. Bilih ngaganggu kana padamelan Akang. Bilih Akang

teu damang”. Istri Bram merasa kasihan melihat suaminya tersebut mengalami

tekanan batin karena kondisi keluarga mereka yang mengalami cobaan. Dan ia

merasa khawatir permasalahn dengan ayah Bram kan menganggu pekerjaan Bram

dan tentunya akan mengganggu kesehatan suaminya tersebut.

Mendengar hal itu, Bram merasakan ketenangan dalam batinnya, hal itu

terungkap melalui, “Teuing ku tengtrem ngadenge omongan pamajikan. Nuhun gusti

! Abdi teh teu salah milih. Dina keur lieur, asa teu eureun-ereun nu ngabeberah”.

Bram merasa tentram karena sikap yang ditunjukan sang istri kepadanya. Ia

bersyukur kepada tuhan akan kehadira istrinya yang selalu mnyertainya. Ia pun

bersyukur kepadaNya telah memberikan pilihan istri yang begitu baik dan berbakti

untuknya, yang tak henti-hentinya menghibur ketika mengalami kesusahan.

3.4.4 Cerpen Sabot Taya Si Bibi

3.4.4.1 Menggantikan Peran Pembantu dalam Mengurusi Keluarga

Kepergian Si Bibi ke kampung halaman, mengharuskan dirinya mengerjakan

tugas yang seharusnya dilakukan oleh pembantunya tersebut. Tatang terlihat

Page 99: Bab III Analisis

112

kewalahan menerima tugas tersebut, karena belum terbiasa mengerjakannya. Hal

tersebut tercermin pada data sebagai berikut:

38) Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali...Teu burung rengse nyeuseuhan nepi ka moekeun teh. Diitung-itung aya kana dua jamna. (STSB: 73)

Merendam dan mememeras cucian, pekerjaan yang memeras tenaga, apalagi tidak cukup sekali atau dua kali.... Dari mulai mencuci hingga menjemur. Menghabiskan waktu hingga dua jam.

Berdasarkan data tersebut, tergambar kondisi Tatang yang kewalahan dalam

mencuci pakaian, melalui ungkapan, “Ngupyakeun jeung meureut seuseuhan, tetela

kaasup meres tanaga, komo deui, da teu cukup ku sakali sakali atawa dua kali “.

Tercermin pula usaha Tatang untuk menjadi suami yang bertanggung jawab dengan

mengambil alih tugas yang sebelumnya selalu dikerjakan Si Bibi.

3.4.4.2 Upaya Memberikan Contoh Tauladan Terhadap Keluarga

Walaupun di dalam hatinya ia mengeluh, karena ternyata mencuci baju

sangat menguras tenaganya, namun ia tidak ingin mengerjakannya dengan asal-

asalan, Hal itu tergambar pada data berikut:

55) Ari rek nyeuseuh asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh, hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah. (STSB: 73)

Page 100: Bab III Analisis

113

Bisa saja mencucinya asal-asalan, tentunya khawatir diomeli istri. Maksud mau mencuci, ingin memberi contoh bagaimana mencuci yang bersih, dengan tak mengeluh.

Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan Tatang, “Ari rek nyeuseuh

asal, tangtuna ge sieun kacawad ku pamajikan. Apan maksud daek nyeuseuh teh,

hayang mere conto nyeuseuh beresih, bari jeung teu luh-lah. Hal itu didasari, karena

takut istrinya mengetahui kalau sebenarnya ia kesulitan dalam melakukannya.

Walupun hal itu bukanlah tugasnya, namun sebagai kepala rumah tangga ia harus

memberi tauladan yang baik kepada istrinya dengan memberi contoh bagaimana

mencuci pakain yang benar.

3.4.4.3 Senantiasa Bersabar dan Bersyukur Menghadapi Permasalahan Keluarga

Namun, walaupun menghadapi kesulitan, Tatang senantiasa bersyukur

kepada Tuhan akan kebahagiaan yang diberikan kepada dirinya beserta keluarga, dan

hanya dengan hal tersebut keharmonisan dalam keluarganya tercipta. Hal itu

tergambar melalui data berikut:

56) Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan jodo nu cop sareng lelembutan, nu bisa hirup sauyunan. Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan turunan nu sehat, nu lalucu, nu mageuhkeun beungkeut asih. (STSB; 75)

Page 101: Bab III Analisis

114

Terima kasih! Aku telah diberikan jodoh yang sesuai, yang bisa hidup rukun. Terima kasih Tuhan! Aku telah diberikan turunan yang sehat, yang lucu-lucu, yang meng-eratkan ikatan kasih sayang.

Berdasarkan data di atas, tergambar ungkapan syukur Tatang kepada Yang

Maha Kuasa atas limpahan berkah dan kebahagiaan yang ia dapatkan. Hal itu

terungkap melalui, Nuhun Gusti! Abdi parantos dipasihan jodo nu cop sareng

lelembutan, nu bisa hirup sauyunan. Tergambar rasa syukurnya karena diberikan

jodoh yang sesuai dengan keinginannya, yang selalu hidup rukun bersama dirinya.

Kemudian, ia pun tak lupa bersyukur karena telah diberikan keturunan yang sehat,

dan. Tatang menyadari bahwa ia mampu melewati permasalahan yang ia hadapi

karena kehadiran anak-anaknya ditengah keluarga. Keberadaan merekalah yang

mampu memelihara ikatan kasih sayang dalam keluargaTatang.

3.4.5 Cerpen Haleuang Indung

3.4.5.1 Bekerja Keras untuk Menghidupi Kebutuhan Anak

Emak melalui kerja kerasnya berupaya menghidupi anaknya dengan

berjualan awug dan lupis. Hal itu dilakukannya untuk membiayai kebutuhan-

kebutuhan Ujang. Kini Emak sudah tidak sanggup lagi berjualan karena usianya yang

sudah tua. Kondisi tersebut tergambar melalui data berikut:

57) Geus cape Ema teh, Jang. Ti isuk nepi ka sore, ngider bari ngelek dagangan dina aisan. Nanawarkeun bari ngahelas .(HI:81)

Page 102: Bab III Analisis

115

Emak sudah capek, Jang. Dari pagi hingga sore, menawarkan sambil mengapit bakul dagangan. Menawarkan dagangan sambil memelas.

Pada kenyataannya, usaha yang dilakukan Emak tentunya tak akan

mencukupi berbagai kebutuhan Ujang. Namun, lewat nasehat yang ia berikan ia

berharap Ujang mau berusaha untuk menjadi orang yang sukses dalam hidupnya,

tidak seperti orang tuanya yang mengalami kesusahan. Hal itu tergambar melalui data

berikut;

43) Ema teh hayang mere kayakinan ka hidep : Ulah daek hidup sangsara, Jang. Ulah nurutan kolot hidep. Ulah ripuh mangsana reureuh. Tapi naha bisa? Naha pantes Ema miharep hidep kudu jadi jeneng, bari jeung teu dibekelan keur nyiar pangarti.? (HI: 84)

Ema ingin memberi keyakinan kepadamu; Jangan mau hidup sengsara, Jang. Jangan seperti orang tuamu. Jangan hidup susah ketika tiba saatnya untuk istirahat. Tapi apakah bisa? Apa pantas Ema mengharapkan kamu menjadi sukses dengan tidak dibekali untukmencari pengetahuan.

3.4.5.2 Bersikap Sabar dalam Menerima Kenyataan Hidup

Walaupun Emak sangat menderita karena ditinggal Ujang ke Kalimantan, ia

tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak sanggup menolak keinginan Ujang untuk

merantau. Emak senantiasa bersabar dalam menghadapi permasalahan tersebut. Hal

itu ditunjukan pada data berikut;

Page 103: Bab III Analisis

116

45) Harita jang, Ema teh hayang ngahulag. Hayang pok ngomong: ulah indit, Jang! Mun taya hidep, jeung saha deui Ema teh atuh? Naha hidep tega ninggalkeun Ema nyorangan?

Tapi teu pok. Ras sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing, tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang, enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup. (HI; 86) Saat itu Jang, Ema ingin mencegah. Ingin berkata; Jangan pergi Jang! Kalau tidak ada kamu, dengan siapa lagi Ema? Apa kamu tega meninggalkan Ema sendirian?Tapi tak dapat diungkapkan. Teringat apa yang dialami oleh Ema, orang tua Ema. Kesengsaraan dan kesengsaraan yang melanda. Mudah-mudahan, tekadmu pergi jauh menyeberangi lautan, ke tempat yang belum terjamah orang tua kita, membuka pintu untuk kehidupanmu kelak.

Berdasarkan data di atas terungkap keadaan batin Ema yang dilanda

kesedihan. Namun, walaupun dengan berat hati menerima kenyataan tersebut, ia

hanya bisa mendoakan agar Ujang mendapatkan apa yang ia cari di perantauan, “Ras

sakur nu kaalaman ku Ema, ku kolot Ema. Teu weleh ripuh jeung ripuh. Boa teuing,

tekad hidep indit jauh meuntas lautan, ka tempat nu can kasaba ku kolot urang,

enyaan lawang keur hirup hidep ka hareup”. Emak berharap, tekad Ujang tersebut

akan membawa keberhasilan baginya. Tidak seperti orang tuanya yang terus dilanda

kesengsaraan dan kemiskinan.