BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM...
Transcript of BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM...
39
BAB III
ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM
PERSPEKTIF UU ITE
Di dalam Bab ini, pembahasan dibagi dalam dua pokok bahasan.
Pertama, yang akan dibahas adalah mengenai kaidah-kaidah dalam Undang-
Undang ITE yang mengatur tentang e-commerce. Pokok bahasan ini akan
mengkaji kaidah-kaidah e-commerce yang memiliki karakteristik hukum
perjanjian baik yang terdapat di dalam Undang-Undang ITE maupun PP No. 82
Tahun 2012.
Kedua, asas-asas hukum perjajian tersebut akan dianalisis untuk
menemukan kedudukan e-commerce dalam perspektif Undang-Undang ITE.
Penulis akan menganalisis materi-materi penting yang diperoleh dari hasil
penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan e-
Commerce di dalam UU ITE sebagai salah satu bagian dari hukum perjanjian
yang tetap mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Hukum Perdata
Indonesia.
A. KAIDAH-KAIDAH E-COMMERCE
1. Kaidah-Kaidah Tentang E-Commerce Dalam UU ITE
Di dalam pembahasan ini, Penulis akan menguraikan pasal-pasal
atau kaidah-kaidah hukum di dalam UU ITE yang berbicara atau
mengatur tentang E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum
40
perjanjian. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan-pembahasan
sebelumnya, di mana E-Commerce tetap memiliki kaitan dengan
hukum perjanjian yaitu tentang ciri dan karakter dari E-Commerce yang
tetap tunduk pada kaidah-kaidah hukum perjanjian, meskipun E-
Commerce diatur secara terpisah dari KUHPerdata Indonesia yang
merupakan Lex Generalis hukum perdata di Indonesia.
1.1 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 UU ITE
Pasal 1 angka 2 UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik
adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Ketentuan ini sekaligus menjelaskan mengenai ruang lingkup dari
E-Commerce yang juga merupakan suatu perbuatan hukum, yang
dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan
komputer, atau media elektronik lainnya. Atau dengan kata lain,
transaksi E-Commerce dilakukan di dunia maya.
Mengenai hal tersebut, Atip Latifulhayat, sebagaimana dikutip
Abdul Halim Barkatullah menyatakan bahwa:
“sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-
commerce telah mereformasi perdagangan konvensional. Interaksi
antara konsumen dan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan
secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung”.49
Perdagangan melalui dunia maya tersebut disebutkan sebagai
suatu model perdagangan yang dilakukan dengan cara baru, di mana
49
Abdul Halim Barkatullah. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-
Commerce Lintas Negara Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009. Hlm, 33-34.
41
antara para pihak yang mengadakan perdagangan tidak saling
bertemu secara langsung, namun cukup lewat dunia maya.
Sehingga, e-commerce telah merubah paradigma “bisnis klasik”
dengan menumbuhkan model-model interaksi antara pelaku usaha
dan konsumen di dunia virtual.50
Dimensi tentang e-commerce juga dapat dilihat di dalam Pasal 9
UU ITE menyatakan bahwa, “pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawar”.
Rumusan tersebut menghendaki agar kegiatan transaksional (e-
commerce) yang dilakukan di dunia maya tersebut harus
mengedepankan prinsip the right to obtain information, yaitu
konsumen berhak untuk memperoleh suatu informasi yang sebenar-
benarnya dari pelaku usaha mengenai hal yang ditawarkan kepada
konsumen. Sebailknya, pelaku usaha berkewajiban untuk
menyampaikan hal tersebut kepada konsumen.
Dengan demikian, jelas bahwa segala kegiatan e-commerce di
dalam dunia maya tetap tunduk pada kaidah hukum yang secara
prinsip sudah dikenal terlebih dahulu dalam hukum Indonesia, yaitu
hukum perdata. Prinsip a quo selanjutnya secara eksplisit
50
Ibid. hal: 33-34.
42
dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.51
Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai
e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur
di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik.
Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai
dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan
di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya
di atas.
1.2 Bab V UU ITE
Pertama, Pasal 17 UU ITE secara mendasar mengatur mengenai
ruang lingkup dari transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam
lingkup publik maupun lingkup privat serta prinsip itikad baik
dalam melakukan suatu transaksi elektronik.52
Ruang publik adalah
yang berkaitan dengan segala transaksi elektronik yang dijalankan
oleh instansi yang melayani kepentingan publik. Sedangkan untuk
lingkup privat adalah berkaitan dengan transaksi elektronik antara
pelaku usaha, pelaku usaha-konsumen, antarpribadi, dan sebagainya
yang berkaitan dengan urusan privat.
Dalam pada itu, Pasal 17 ayat (2) disebutkan pula bahwa para
pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik
51
Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa, hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 52
Pasal 17 ayat (1) jo ayat (2) UU ITE.
43
dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.
Ketentuan tersebut merupakan suatu prinsip yang juga
dikembangkan atau ditulis kembali dari prinsip hukum perdata yang
terkait dengan perjanjian yakni prinsip itikad baik. Sebagaimana
diketahui bahwa, Pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan bahwa,
perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penulis
meyakini bahwa rumusan pasal tersebut lah yang mengilhami para
perumus UU ITE agar prinsip itikad baik yang merupakan perintah
hukum tersebut dimasukan kembali untuk mengatur suatu aktivitas
e-commerce yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE.
Penulis berpendapat pula bahwa, baik ketentuan dalam Pasal 17
ayat (1) dan (2) hendak diletakan sebagai dasar penting dalam
melakukan suatu transaksi elektronik (aktivitas e-commerce), yaitu
segala transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan dalam
lingkup publik maupun lingkup privat harus dilaksanakan dengan
prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan.
Kedua, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa transaksi
elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para
pihak. Ketentuan pasal tersebut hendak menggaris bawahi mengenai
daya ikat dari suatu kontrak atau perjanjian yang dilakukan melalui
transaksi elektronik. Artinya, meskipun perjanjian tersebut
44
dilakukan melalui suatu kontrak elektronik53
namun perjanjian
tersebut tetaplah perjanjian sebagaimana perjanjian konvensional
yang mengikat para pihak, serta melahirkan hak dan kewajiban bagi
masing-masing pihak.
Mengenai hal tersebut, prinsip hukum yang diatur dalam Pasal
18 ayat (1) UU ITE merupakan pengakuan terhadap prinsip pacta
sunt servanda jika merujuk pada Pasal 1338 (1) yang menyebutkan
bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, Pasal 18
ayat (1) UU ITE juga tetap mengakui prinsip pacta sunt servanda,
meskipun perjanjian yang dilakukan dalam konteks e-commerce
dilakukan melalui cara yang berbeda dengan kegiatan perjanjian
yang selama ini dikenal dan dipraktikan dalam aktivitas transaksi
perdagangan.
Di dalam Pasal 18 ayat (2) jo ayat (3) dan (4) berbicara tentang
suatu transaksi elektronik berskala internasional. E-Commerce
(transaksi elektronik) yang dilakukan antara para pihak yang berasal
dari negara yang berbeda juga telah diatur. Artinya, ketentuan di
dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan (5) merupakan lex specialis
bagi suatu e-commerce atau transaksi elektronik internasional. Di
dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa, “para pihak memiliki
53
Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan kontrak elektronik sebagai suatu perjanjian para
pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.
45
kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya”.
Ketentuan tersebut secara hukum dikenal dengan sebutan
Choice of Law oleh para pihak yang membuat perjanjian. Kaidah
hukum yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut
merupakan manifestasi dari prinsip hukum yang sudah lama dikenal
dalam praktik hukum perdata internasional. Artinya, kebebasan dari
para pihak untuk menentukan hukum negara mana yang akan
diterapkan dan mengikat kedua pihak diakui juga dalam transaksi
elektronik internasional. Hal ini sekaligus menentukan Pengadilan
mana yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang akan
timbul, atau dalam istilah hukum internasional disebut Choice of
forum.54
Sebaliknya, rumusan tersebut tidak dimaknai bahwa suatu
transaksi elektronik internasional akan secara otomatis tunduk pada
hukum dari negara asal pelaku usaha. Sebagaimana dikatakan oleh
A. Halim Barkatullah bawha,
“Konsumen akan sangat dirugikan, jika terpaksa menyelesaikan
sengketa dengan menggunakan hukum dan forum pelaku usaha,
yang jauh secara hukum itu accountable. Ketika klaimnya kecil
atau sedang, penuntut individu sering tidak mampu membayar
biaya mengajukan gugatan di forum asing ”.55
54
Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan
forum pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional
yang dibuatnya. Dengan demikian para pihak yang terikat pada suatu transaksi elektronik
internasional secara hukum memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan forum pengadilan
atau arbitrase manakah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi nantinya. 55
Ibid, hlm. 63.
46
Dengan demikan jelas bahwa, dalam e-commerce yang berskala
internasional sebagaimana diakui dalam UU ITE tersebut, para
pihak harus memperhatikan pilihan hukum dan pilihan forum
penyelesaian sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam e-
commerce internasioanl itu.
Namun, bagaimanakah jika para pihak tidak bersetuju mengenai
choice of law manapun dalam suatu transaksi elektronik (e-
commerce) internasional? jika hal tersebut terjadi, maka prinsip
hukum apakah yang akan digunakan dalam hal tersebut? menjawab
pertanyaan tersebut, maka Pasal 18 ayat (3) UU ITE secara tegas
menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum
dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku
didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
Oleh karena itu, ketiadaan kata setuju tentang choice of law dari
para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak berarti
dapat mengakibatkan kekosongan hukum, oleh karena prinsip
hukum perdata internasional akan secara otomatis berlaku dengan
sendirinya. Hal tersebut juga secara mutatis mutandis berlaku dalam
hal para pihak tidak menentukan choice of forum dalam
penyelesaian sengketa.56
56
Pasal 18 ayat (5) UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional.
47
Ketiga, menyangkut ruang atau tempat dilakukannya suatu
transaksi elektronik, maka di dalam Pasal 19 dikatakan bahwa, para
pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan
sistem elektronik yang disepakati. Sebelum menjelaskan mengenai
rumusan tersebut, hal yang pertama harus dipahami adalah tentang
sistem elektronik yang dimaksud.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE, sistem
informasi adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,
mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Artinya,
perangkat dalam sebuah komputer yang dipakai oleh para pihak
yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) yang di
dalamnya terdapat segala macam informasi mengenai suatu hal,
maka perangkat yang demikian adalah sistem informasi.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 UU ITE, sistem informasi
untuk melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) harus
disepakati oleh para pihak. Sehingga, jika para pihak yang hendak
melakukan transaksi elektronik harus memperhatikan sistem
informasi manakah yang akan digunakan sebagai ruang atau tempat
dilakukannya suatu transaksi elektronik. Hal tersebut juga penting
untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang dilakukan itu adalah
48
transaksi elektronik (e-commerce) karena dilakukan di dalam suatu
sistem informasi, dan tunduk pada kaidah dalam Pasal 19 UU ITE.
Keempat, berkaitan dengan kapan terjadinya suatu transaksi
elektronik (e-commerce)yang diselenggarakan dalam sebuah sistem
informasi, maka di dalam Pasal 20 ayat (1) dikatakan: “kecuali
ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada
saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan
disetujui penerima”. Rumusan tersebut bermakna, suatu transaksi
elektronik (e-commerce) secara hukum dikatakan telah terjadi
apabila sudah dilakukan penerimaan penawaran oleh penerima.
Namun, hal tersebut dapat saja tidak berlaku apabila para pihak
menyatakan lain yakni bukan pada saat diterimannya suatu
penawaran, melainkan bergantung pada kesepakatan dari para
pihak.
Sejalan dengan itu, untuk mengetahui telah terjadi penerimaan
atas penawaran di dalam suatu transaksi elektronik, maka
diperlukan suatu pernyataan penerimaan secara elektronik dari
penerima. Sebagaimana ditulis dalam Pasal 20 ayat (2) bahwa,
persetujuan atas penawaran elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik.
Dengan demikian, kedua kaidah hukum tersebut sudah secara
tegas menyatakan bahwa suatu transaksi elektronik terjadi pada saat
49
diterimanya penawaran oleh penerima, dan persetujuan penerimaan
penawaran tersebut harus dilakukan dalam pernyataan secara
elektronik. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak berlaku secara
imperatif bagi para pihak, mengingat kaidah tersebut dapat saja
dinyatakan tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain dari
kaidah-kaidah tersebut.
Berkaitan dengan kapan terjadinyan suatu transaksi elektronik
menurut UU ITE, maka sejatinya tidak dapat dilupakan atau
dikesampingkan perihal kapan terjadinya suatu perjanjian
sebagaimana dikenal selama ini di dalam hukum perjanjian
Indonesia.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada empat prinsip yang
digunakan untuk mengetahui kapan terjadinya suatu kesepakatan
dalam perjanjian, yaitu:57
a. Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan
bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak
penerima dinyatakan.
b. teori penerimaan (verzendstheorie), mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu
dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
57
Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Cetakan I, Alumni, Bandung, 1983. Hlm. 98.
50
c. teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa,
pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui
bahwa tawarannya diterima.
d. teori kepercayaan (vertrouventstheorie) mengajarkan bahwa,
kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehedak dianggap
layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Berdasarkan pada pendapat Mariam Darus Badrulzaman
tersebut di atas, nampaknya transaksi elektronik (e-commerce)
dalam UU ITE melalui Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) menerapkan
prinsip yang kedua, yaitu teori penerimaan. Hal tersebut jelas
dikatakan bahwa, transaksi elektronik dianggap terjadi jika pihak
penerima telah menerima penawaran, dan melakukan pernyataan
penerimaan secara elektronik.
Sehingga, untuk menjustifikasi kembali bahwa secara hukum
saat terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce) jika tidak
disepakati lain oleh para pihak adalah pada saat terjadi penerimaan
penawaran oleh penerima, dan harus disertai dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik.
Kelima, Pasal 21 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai subyek
hukum yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. Subyek
hukum tersebut antara lain, Pengirim, Penerima (atau para pihak
yang berjanji), pihak yang menerima kuasa, agen elektronik. Empat
51
subyek hukum yang disebutkan di atas adalah pihak-pihak yang
dapat melakukan suatu transaksi elektronik.58
Pengirim atau penerima adalah para pihak yang berkepentingan
langsung atau pihak yang melakukan perjanjian untuk melakukan
suatu transaksi elektronik. Sedangkann pihak yang menerima kuasa
adalah pihak yang menjalankan transaksi elektronik oleh karena
menerima kuasa dari salah satu pihak yang berjanji untuk
melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkan agen elektronik59
adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk
melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik
tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.
Sehingga, jika dalam pelaksanaan sebuah transaksi elektronik
yang seyogiyanya menimbulkan akibat hukum, maka segala akibat
hukum yang ditimbulkan harus dipertanggung jawabkan. Mengenai
hal tersebut, Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, pihak yang
bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan
transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sebagai berikut:
- jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab
para pihak yang bertransaksi;
58
Pasal 21 ayat (1) UU ITE sendiri berbunyi, Pengirim atau Penerima dapat melakukan
transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen
Elektronik. 59
Pasal 1 angka 8 UU ITE.
52
- jika dilakukan melalui pemberi kuasa, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung
jawab pemberi kuasa; atau
- jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat
hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi
tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.
Oleh karenanya, dalam pelaksanaan transaksi elektronik baik itu
oleh para pihak yang bertransaksi, penerima kuasa, maupun oleh
agen elektronik masing-masing memiliki pertanggung jawaban
hukum dalam hal terjadi suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari
pelaksanann transaksi elektronik tersebut.
Selain menimbulkan akibat hukum, dalam hal terjadi kerugian
yang ditimbulkan dari suatu pelaksanaan transaksi elektronik, maka
akan diikuti pula dengan pertanggung jawaban hukum berupa ganti
rugi dari pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal penting
yang harus dipahami di sini adalah, dalam transaksi elektronik (e-
commerce) segala kerugian yang ditimbulkan melalui pelaksanaan
transaksi elektronik menjadi perhatian sepenuhnya dari Agen
elektronik selaku penyelenggara sistem elektronik, tempat di mana
suatu transaksi elektronik dilakukan.
Berkaitan dengan itu, maka Pasal 21 ayat (3) menyatakan, jika
kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen
elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap
53
sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
penyelenggara agen elektronik.
Menurut pendapat Penulis, rumusan tersebut secara implisit
mengandung prinsip hukum caveat emptor yakni pelaku usaha
harus berhati-hati. Dalam konteks ini, agen elektronik yang
menawarkan jasanya sebagai penyelenggara sistem elektronik
tempat di mana dilaksanakannya transaksi elektronik, harus benar-
benar berhati-hati dalam menjalankan atau menyelenggarakan agen
elektronik, agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang
menjalankan transaksi elektronik.
Hal yang sama juga berlaku bagi pengguna jasa layanan, di
mana dalam Pasal 21 ayat (4) disebutkan, jika kerugian transaksi
elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum
menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.60
Artinya, agen elektronik yang sudah menjalankan sistem
elektronik dengan penuh hati-hati, namun oleh penyebab pengguna
jasa layanan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjalankan
transaksi elektronik, maka agen elektronik dalam hal ini lepas dari
60
Rumusan dalam Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE menurut pendapat Penulis
menggunakan prinsip Presumption of liability (asusmsi bersalah), yakni pihak yang berada
dalam suatu perikatan di mana menimbulkan kewajiban bagi dirinya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, akan selalu dianggap bersalah jika kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu hal tersebut ternyata menimbulkan kerugian. Namun, perbuatan
tersebut dapat dinyatakan sebaliknya jika ditemukan suatu bukti menyatakan bahwa kerugian
tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan orang tersebut. Lihat, AbdulKadir Muhamad. Hukum
Pengangkutan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung., Bandung, 2005. Hlm, 189.
54
tuntutan hukum untuk mengganti kerugian, namun yang
bertanggung jawab adalah pengguna jasa layanan.
Akan tetapi, baik agen elektronik maupun pengguna jasa
layanan dapat tidak bertanggun jawab atas kerugian yang timbul
dalam sebuah transaksi elektronik apabila terjadi keadaan
memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem
elektronik.61
Hal ini berarti, jika suatu kerugian yang ditimbulkan
dalam transaksi elektronik bukan merupakan kesalahan atau
kelalaian atau akibat dari perbuatan agen elektronik atau pengguna
jasa layanan, maka yang bertanggung jawab adalah pengguna
sistem elektronik.
Keenam, Pasal 22 ayat (1) memberikan kewajiban bagi
penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur yang
memungkinkan perubahan informasi dalam suatu transaksi
elektronik. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) berbunyi, “penyelenggara
agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen
elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan
penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam
proses transaksi.”
Dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan
kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan
61
Pasal 21 ayat (5) UU ITE.
55
perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya
fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.
Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik
untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah
untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar.
2. Kaidah Transaksi Elektronik (e-commerce) Dalam PP No. 82
Tahun 2012
Mengingat ketentuan tentang transaksi elektronik (e-commerce)
tidak hanya terdapat dalam UU ITE, oleh karena beberapa
ketentuan harus diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun
2012 sebagai aturan pelaksana UU ITE, maka Penulis juga akan
meneliti kaidah-kaidah yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah a
quo, yang dapat digunakan untuk melihat kedudukan e-commerce
atau transaksi elektronik dalam perspektif UU ITE. Di dalam
Peraturan Pemerintah tersebut, pengaturan tentang transaksi
elektronik (e-commerce) diatur dalam Bab IV yakni dari Pasal 40
hingga Pasal 51.
Pertama, ruang lingkup dari transaksi elektronik yakni e-
commerce dalam konteks PP No. 82 Tahun 2012 adalah sama
seperti yang diatur dalam UU ITE yaitu terdiri dari lingkup publik
dan lingkup privat.62
Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam
lingkup publik yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik oleh
62
Pasal 40 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sisitem Dan Transaksi
Elektronik.
56
instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik
sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE. 63
Artinya, pihak yang dapat menyelenggarakan transaksi
elektronik dalam lingkup publik adalah Instansi atau pihak lain
yang memang diberikan tugas dan wewenang untuk
menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan
dalam UU ITE.
Sedangkan untuk penyelengaraan transaksi elektronik lingup
privat diatur dalam Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi,
“penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat
meliputi transaksi elektronik:”
a. antar- pelaku usaha;
b. antara pelaku usaha dengan konsumen;
c. antarpribadi;
d. antar Instansi;
e. antara Instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, transaksi elektronik yang para pihaknya
terdiri dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, masuk dalam
kategori transaksi elektronik lingkup privat. Dalam hal ini, pihak-
pihak yang sudah disebutkan tersebut dapat melakukan suatu
63
Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012.
57
transaksi elektronik yang menurut UU ITE merupakan bagian dari
lingkup privat.
Kedua, pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk
transaksi elektronik terdapat penyelenggaranya. Di dalam Pasal 41
PP No. 82 Tahun 2012, untuk penyelenggara transaksi elektronik
dalam lingkup publik maupun privat dilengkapi dengan sertifikat
keandalan dan/atau sertifikat elektronik.64
Berbeda dengan
penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat, penyelenggara
transaksi elektronik lingkup publik wajib menggunakan sertifikat
keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan
Indonesia yang terdaftar, atau jika menggunakan sertifikat
elektronik maka wajib menggunakan sertifikat yang disertifikasi
oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.65
Sedangkan untuk penyelenggara transaksi elektronik lingkup
privat hanya dikatakan dapat menggunakan sertifikat keandalan
yang disertifikasi oleh Lembaga sertfifikasi Keandalan Indonesia
yang terdaftar, atau dapat pula menggunakan sertifikat elektronik
yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang
tersertifikasi.66
64
Pasal 1 angka 18 menyebutkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para
pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
Sedangkan pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa, sertifikat keandalan adalah dokumen yang
menyatakan pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah lulus audit atau uji
kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. 65
Pasal 41 ayat (2) dan (3). 66
Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3).
58
Ketiga, Pasal 46 ayat (1) menyatakan, transaksi elektronik yang
dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.
Rumusan tersebut hendak menegaskan kembali bahwa, transaksi
elektronik yang sudah dinyatakan sah oleh para pihak, secara
hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.
Sehingga, nantinya para pihak yang terlibat di dalam transaksi
elektronik tersebut wajib mempertanggung jawabkan segala akibat
hukum yang timbul dari transaksi elektronik yang dilakukan.
Selain itu, dalam menyelenggarakan transaksi elektronik para
pihak wajib memperhatikan asas-asas yang terkandung di dalam
penyelenggaraan transaksi elektronik. Asas-asas tersebut antara
lain,
a. asas itikad baik;
b. prinsip kehati-hatian;
c. transparansi;
d. akuntabilitas; dan
e. kewajaran.
Mengenai asas itikad baik dalam suatu transaksi elektronik
dalam kaitannya dengan suatu perjanjian, maka hal tersebut
sejatinya adalah asas yang diambil dari hukum perdata, yang diatur
dalam Pasal 1338 (3) yang menyebutkan bahwa, perjanjian-
perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
59
Berkenaan dengan asas iktikad baik, Wirjono Prodjodikoro
memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau
“secara jujur”. Sehingga suatu perjanjian yang dilakukan dengan
iktikad baik bermakna, perjanjian itu harus dilaksanakan dengan
penuh jujur antar para pihak.67
Selanjutnya, Agus Yudha Hernoko juga menyatakan bahwa,
“pengaturan Pasal 1338 (3) yang menetapkan bahwa persetujuan
harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya perjanjian itu
dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan”. 68
Oleh karena itu, dalam konteks transaksi elektronik pun yang
dilaksanakan menurut suatu perjanjian, maka asas iktikad baik
harus dimaknai dan dilaksanakan seperti yang terdapat di dalam
ketentuan hukum perdata Indonesia.
Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah prinsip dalam hukum
adalah prinsip yang mewajibkan para pihak yang berjanji dalam hal
ini melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) untuk selalu
berhati-hati agar segala tindakan yang dilakukan nantinya tidak
akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Prinsip transparansi sejatinya berkaitan dengan keterbukaan
akan informasi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan
transaksi elektronik. Oleh karena transaksi elektronik dilakukan
melalui suatu media yang tidak mempertemukan para pihak secara
67
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial),
Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 134. 68
Ibid, hlm. 135.
60
langsung, maka sikap transparan akan segala macam informasi
harus dikedepankan oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi pihak lainnya.
Akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban para pihak
atas informasi-informasi atau segala sesuatu yang terjadi dalam
transaksi elektronik. Artinya, para pihak dalam transaksi elektronik
dituntut untuk selalu dapat mempertanggung jawabkan segala
sesuatu yang terjadi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.
Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran” adalah mengacu
pada unsur kepatutan yang berlaku sesuai dengan kebiasaan atau
praktik bisnis yang berkembang. Sehingga, jika para pihak yang
melakukan transaksi elektronik diwajibkan untuk tidak melakukan
suseuatu hal yang berada di luar kebiasaan atau praktik bisnis yang
berkembang atau yang selama ini dipraktikan.69
Keempat, dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi
elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau
bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang
dilakukan oleh para pihak. Rumusan pasal ini untuk menjustifikasi
kembali bahwa sebuah transaksi elektronik dapat dilakukan melalui
kontrak elektronik, atau bentuk-bentuk kontraktual lainnya sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
69
Penjelasan Pasal 46 ayat (2) huruf e.
61
Oleh karena itu, dalam transaksi elektronik sebuah kontrak
dianggap sah apabila:70
a. terdapat kesepakatan para pihak;
b. dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang
berwenang mewakili sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
c. terdapat hal tertentu; dan
d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Jika ditelusuri lebih jauh, maka sejatinya syarat sahnya sebuah
kontrak dalam transaksi elektronik tidak berbeda dengan syarat
sahnya sebuah perjanjian dalam hukum perdata sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 disebutkan
bahwa, untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat
syarat:
a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sahnya suatu
perjanjian transaksi elektronik yang terjadi di dunia maya, secara
hukum tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana
70
Pasal 47 ayat (2).
62
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang selama ini sudah
dijalankan di Indonesia.
Selain itu, dengan diaturnya syarat sah suatu transaksi elektronik
yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320
KUHPerdata, sekaligus menunjukan bahwa, transaksi elektronik
merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagaimana juga
yang telah ditulis oleh Subekti mengenai perikatan-periakatan baik
yang lahir dari undang-undang maupun dari perjanjian oleh para
pihak.71
Kelima, di dalam transaksi elektronik terkait dengan hubungan
antara pelaku usaha dan konsumen, terdapat beberap kewajiban
yang dialamatkan kepada pelaku usaha khusus untuk suatu
transaksi elektronik. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud antara
lain:72
a. pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem
elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk
yang ditawarkan.
b. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang
penawaran kontrak atau iklan.
c. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada
konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim
71
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan ke- 31, Jakarta, 2003, hlm.
134. 72
Pasal 49 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).
63
apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat
tersembunyi.
d. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai
barang yang telah dikirim.
e. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai
kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar
kontrak.
Sehingga, di dalam sebuah transaksi elektronik yang berkaitan
dengan pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha dalam hal
ini tidak dapat berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan
tersebut di atas. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku
usaha dalam menjalankan suatu transaksi elektronik.
Keenam, mengenai kapan suatu transaksi elektronik terjadi,
kapan suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik terjadi, dan
bagaimana cara untuk melakukan kesepakatan tersebut, maka
menurut Pasal 50 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik
terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak.
Sedangkan untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan,
maka pada ayat (2) dinyatakan bahwa, kesepakatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang
dikirm oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima.
Artinya, kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik
64
dikatakan terjadi setelah terdapat penerimaan dan persetujuan akan
penawaran yang ditawarkan.
Untuk mengetahui hal tersebut, maka kesepaktan dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni: tindakan penerimaan yang
menyatakan persetujuan atau tindakan penerimaan dan/atau
pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik.73
Sehingga,
setidak-tidaknya suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik
dapat dilakukan melalui dua cara yang disebutkan.
Ketujuh, di dalam transaksi elektronik diatur pula mengenai
jaminan yang dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan
transaksi elektronik. Oleh karena itu di dalam Pasal 51 ayat (1)
menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para
pihak wajib menjamin pemberian data dan informasi yang benar
serta ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian
pengaduan.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi para pihak dalam
melakukan suatu transaksi elektronik di mana para pihak masih
ragu atau belum memperoleh suatu informasi yang pasti mengenai
suatu hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik.
Selain itu, dalam transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 51
ayat (2) memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan
pilihan hukum (choice of law) dalam melaksanakan suatu transaksi
73
Pasal 50 ayat (3).
65
elektronik, sebagaimana juga telah diatur secara tegas di dalam UU
ITE.74
B. KEDUDUKAN E-COMMERCE SEBAGAI SUATU
PERJANJIAN
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan
Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari
cyber law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah
hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah
lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of
information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan
hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan
internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.75
Dalam konteks transaksi elektronik (e-commerce) yang
dilakukan di Indonesia, telah diatur secara rinci di dalam UU No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta
peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan
demikian, dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya
dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan
74
Pasal 51 ayat (2) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib
menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik. 75
H. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2004, hlm. 1.
66
dokumen-dokumen dibuat di kertas,76
sekaligus transaksi elektronik (e-
commerce) dalam pelaksanaannya juga tetap mendasarkan pada
prinsip-prinsip hukum perjanjian sebagaimana diterapkan pada
perjanjian-perjanjian konvensional selama ini.
Oleh karena itu, berdasarkan pada hasil penelitian yang
dilakukan oleh Penulis, maka untuk menjawab rumusan masalah yang
ada pada penelitian ini, adapun analisa terhadap kedudukan e-
commerce dalam perspektif UU ITE adalah sebagai berikut.
1. Ruang Lingkup E-Commerce Dalam UU ITE
Berbicara tentang kegiatan e-commerce yang dilakukan
setiap hari, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah ruang
lingkup dari e-commerce itu sendiri. Hal ini adalah sebuah
keniscayaan mengingat, kegiatan e-commerce yang selama ini
dilakukan melalui dunia maya tersebut hampir tidak memiliki
ruang lingkup yang pasti, atau dalam bahasa lain limitless.
Hal ini benar adanya, oleh karena ruang siber (cyber
space) tidak memiliki batasan-batasan tertentu, seperti dalam
kehidupan nyata. Sehingga, hal tersebut berdampak pada
kegiatan e-commerce dan membuat kegiatan e-commerce seperti
tidak terbatas pada suatu batasan tertentu, atau dengan kata lain
tidak ada pemilahan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-
commerce (transaksi elektronik), mengenai subyek hukum mana
76
Ibid, hlm. 3.
67
sajakah yang melakukan kegiatan e-commerce dalam ruang
siber itu.77
Namun, sebagai payung hukum dari kegiatan e-
comemrce di Indonesia, maka UU ITE sudah memberikan
batasan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-commerce atau
transaksi elektronik. Secara hukum, kegiatan e-commerce
(transaksi elektronik) adalah perbuatan hukum yang dilakukan
dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media
elektronik lainnya.78
Pembatasan tersebut tidak hanya pada definisi mengenai
apa itu transaksi elektronik, akan tetapi secara hukum ruang
lingkup dari suatu transaksi elektronik atau e-commerce juga
telah dibagi dalam dua kategori, yang di dalam UU ITE disebut
sebagai transaksi elektronik lingkup publik dan transaksi
elektronik lingkup privat.79
1.1 E-Commerce Lingkup Publik
Ruang lingkup dalam suatu transaksi elektronik (e-
commerce) dalam rezim UU ITE telah dibagi menjadi dua
lingkup. Lingkup publik adalah penyelenggaraan transaksi
elektronik yang dilaksanakan oleh Instansi atau pihak lain yang
77
Ibid, hlm. 3. 78
Pasal 1 angka 2 UU ITE. 79
Pasal 17 ayat (1) UU ITE.
68
menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak ditentukan
lain oleh Undang-Undang.80
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, Instansi dalam hal
ini adalah Instansi Pemerintah, atau dalam hal ini penyelenggara
negara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, Undang-
Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan
Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat.81
Artinya, e-commerce dalam konteks lingkup publik
adalah kegiatan e-commerce yang dilaksanakan oleh Pemerintah
atau penyelenggara negara atau pihak lain yang diberikan
wewenang untuk itu oleh karena perintah undang-undang.
Sehingga jika dilihat secara seksama, maka jenis e-commerce
tersebut masuk dalam kategori perikatan yang lahir dari undang-
undang.
Atau dengan kata lain, undang-undang memberikan
kewajiban kepada subyek hukum dalam hal ini Instansi
Pemerintah atau pihak lain untuk melakukan suatu e-commerce
(transaksi elektronik).
Bukti bahwa transaksi elektronik (e-commerce) lingkup
publik merupakan perikatan yang lahir undang-undang adalah
adanya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, di
80
Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012. 81
Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU ITE.
69
mana disebutkan bahwa: dalam rangka memberikan dukungan
informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu
diselenggarakan sistem informasi yang bersifat nasional.82
Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa, Sistem
informasi yang bersifat nasional berisi informasi seluruh
penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan untuk merumuskan
kebijakan nasional tentang pelayanan publik.83
Artinya, segala
macam informasi tentang pelayanan publik akan dimuat dalam
sistem informasi yang juga tunduk pada rezim UU ITE. Oleh
karenanya, jika dalam pelayanan publik tersebut
menyelenggarakan transaksi elektronik (e-commerce) maka hal
tersebut secara otomatis tunduk pada kaidah hukum UU ITE
mengenai transaksi elektronik lingkup publik.
Dengan demikian, transaksi elektronik (e-commerce)
yang dapat dikategorikan sebagai perikatan yang lahir dari
undang-undang turut melahirkan kewajiban pada pihak yang
dituju sehingga tindakan pihak tersebut adalah tindakan yang
sah. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Pasal 1353
KUHPerdata yang menyebutkan: “perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akbat perbuatan orang, muncul dari
suatu perbuatan yang sah, atau dari perbuatan yang melanggar
hukum”.
82
Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. 83
Penjelasan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009.
70
Dalam contoh yang diuraikan dari UU No. 25 Tahun
2009 adalah bentuk dari tindakan yang sah oleh karena
penyelenggara negara diberikan kewajiban untuk menjalankan
suatu pelayanan publik melalui sistem informasi, yang akan
dilakukan melalui suatu transaksi elektronik bagi publik.
Contoh lain yang dapat dikaitkan dengan e-commerce
dalam lingkup publik adalah pembayaran listrik dan air oleh
orang atau badan hukum secara on line kepada PT. Perusahaan
Listrik Negara (PLN) dan PT. Perusahaan Air Minum Negara
(PAM) yang menyelenggarakan e-commerce, dalam hal ini
menerima bayaran secara on line oleh karena diberikan
kewajiban oleh undang-undang untuk melaksanakan itu.
Sehingga dimensi transaksi elektronik (e-commerce)
lingkup publik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82
Tahun 2012 merupakan bentuk dari perikatan yang lahir dari
undang-undang, oleh karena e-commerce dalam lingkup publik
merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang.
1.2 E-Commerce lingkup Privat
Selain e-commerce yang diselenggarakan dalam lingkup
publik, terdapar pula e-commerce atau transaksi elektronik yang
diselenggarakan dalam lingkup privat. Sebagaimana diatur
dalam UU ITE yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik
lingkup privat meliputi, transaksi elektronik antara pelaku
71
usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen, antarpribadi,
antarInstansi, dan antar Instansi dengan pelaku usaha.84
Dari rumusan tersebut jelas bahwa, e-commerce atau
transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah transaksi
elektronik yang dilakukan berdasarkan pada perjanjian dari para
pihak. Atau singkat kata, transaksi elektronik (e-commerce)
lingkup privat lahir dari perjanjian antara para pihak.
Jika transaksi elektronik lingkup publik melibatkan
banyak pihak, yaitu antara negara dengan warga negara, maka
dalam transaksi elektronik lingkup privat terbatas pada para
pihak yang ada di dalamnya. Atau dengan kata lain, sifat dari
transaksi elektronik tersebut terbatas antara pihak yang berjanji
tersebut.
Hal tersebut juga sama dengan sifat perjanjian dalam
hukum perjanjian yang selama ini dipraktikan dalam suatu
transaksi antara para pihak. Di mana kalau seorang berjanji
melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum pada
hakikatnya ditujukan pada orang lain, meskipun yang
diperjanjikan adalah soal barang atau sesuatu hal, akan tetapi
pada dasarnya hubungan hukum timbul antara para pihak.85
Dipilah berdasarkan pada subyek hukum yang
menjalankan transaksi elektronik di atas, maka kelima subyek
84
Pasal 17 ayat (1) UU ITE jo Pasal 40 ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012. 85
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 7.
72
hukum yang disebutkan di atas adalah para pihak yang selama
ini menjalankan transaksi elektronik (e-commerce) baik itu jual
beli barang, sewa-menyewa, atau pemakaian jasa menurut UU
ITE.
Sebgai contoh, dapat saja dikatakan bahwa, Perusahaan
A yang memproduksi celana Jeans membeli kain jeans dari
produsen kain jeans yang dalam hal ini Perusahaan B. Kedua
perusahaan tersebut melakukan transaksi melalui on line, yaitu
segala kontrak dan pembayaran dilakukan secara on line. Hal
tersebut adalah contoh transaksi elektronik (e-commerce) yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha.
Sedangkan untuk contoh pelaku usaha dengan
konsumen, dapat saja dicontohkan dengan program Internetan
Super Murah dari Kartu AsTelkomsel, di mana para pengguna
jasa telepon seluler yang ingin menikmati tarif murah internet
melalui telepon seluer, maka dapat mengaksesnya lewat
menekan tombol *100*99#. Untuk selanjtnya pengguna kartu
AsTelkomsel dapat melakukan transaksi elektronik dengan
mengikuti syarat-syarat yang berlaku.
Contoh tersebut adalah praktik transaksi elektronik (e-
commerce) yang terjadi secara on line di mana pelaku usaha
melakukan transaksi elektronik dengan konsumen, di mana
73
transaksi elektronik tersebut dapat terjadi apabila terjadi
kesepakatan antar kedua belah pihak.
Contoh menarik lainnya mengenai transaksi elektronik
lingkup publik dalam hal Instansi dengan pelaku usaha adalah
dalam kasus Federal Trade Commission (FTC) melawan
American Online, Inc., Compuserve, dan Prodigy Services
Corp.
Setelah munculnya keluhan-keluhan bahwa jasa-jasa
online ini tidak memberitahukan dengan semestinya kepada
konsumen, bahwa biaya secara otomatis akan dikenakan setelah
kadaluarsa suatu periode percobaan yang gratis. Padahal,
kontrak membutuhkan pemberitahuan yang jelas tentang semua
hal dan melarang penggambaran keliru atas barang yang
ditawarkan dengan syarat-syarat penawaran.86
Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa transaksi
elektronik lingkup privat sebagaimana diatur dalam UU ITE dan
PP No. 82 Tahun 2012 pada dasarnya adalah transaksi
elektronik yang dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian anatar
para pihak. Dengan kata lain, jika dilihat dari persepktif hukum
perdata jenis perikatan dalam transaksi elektronik lingkup privat
lahir dari sebuah perjanjian.
86
Abdul Halim Barkatullah. Op., Cit., hlm. 139.
74
2. Asas-Asas E-Commerce Dalam UU ITE
Setelah mengetahui ruang lingkup dari transaksi
elektronik (e-commerce) dalam UU ITE, maka selanjutnya hal
yang akan dijelaskan adalah tentang asas hukum yang menjadi
dasar dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik (e-
commerce) yang terdapat dalam UU ITE dan aturan
pelaksanaannya yaitu PP No. 82 Tahun 2012.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada
dasarnya dalam suatu aktivitas e-commerce yang dilakukan
secara virtual tidak secara otomatis menghilangkan prinsip-
prinsip hukum yang ada sebelumnya.87
Seperti contoh dalam
perjajian jual beli secara online, asas-asas yang melandasi kedua
belah pihak untuk melakukan perjanjian pada dasarnya sama
seperti asas-asas hukum yang berlaku pula dalam hukum
perdata Indonesia.
Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan tentang asas-asas
hukum suatu aktivitas e-commerce berdasarkan pada kaidah-
kaidah atau aturan-aturan yang dituliskan di dalam UU ITE
maupun aturan pelaksanannya yakni PP No. 82 Tahun 2012.
2.1 Asas Personalia
Berbicara mengenai asas personalia, maka hal yang tidak dapat
dihindari adalah rumusan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang
87
Lihat Hasil Penelitian, Sub pokok 1.2 dan 1.3.
75
berbunyi, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk
dirinya sendiri.”
Rumusan Pasal 1315 tersebut menjadi titik penting untuk
mengetahui letak dari asas personalia. Namun, apakah yang dimaksud
dengan asas personalia itu? Dari rumusan pasal tersebut dapat kita
ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi,
hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.88
Di dalam pengaturan mengenai transaksi elektronik dalam hal
ini e-commerce yang diatur dalam UU ITE, khususnya di dalam Pasal
18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik yang
dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.
Rumusan tersebut jelas, bahwa siapa saja dapat melakukan
perjanjian atas namanya sendiri, dan mengikat dirinya sehingga akan
melahirkan kewajiban atasnya. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa,
setiap orang bebas untuk melakukan e-commerce atas dan untuk
dirinya, dan terikat dalam perjanjian e-comemrce tersebut.
Oleh karena itu, UU ITE pun menyadari bahwa setiap orang
memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan siapa saja melalui
dunia maya, sehingga terikat oleh perjanjian itu, dan hal tersebut tidak
mungkin akan dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang.
88
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2003, hlm. 15.
76
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Muljadi &
Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum
dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepetingan dirinya
sendiri, maka kewenangannya harus disertai bukti yang menunjukan
bahwa memang orang perorangan tersebut tidak membuat dan/atau
menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ”.89
Artinya, tidak mungkin seorang dapat terikat pada suatu
perjanjian yang bukan atas kehendaknya sendiri atau yang bukan
dilakukannya. Hal ini secara hukum juga dikenal dalam Hukum
Dagang, yakni pada Pasal 107 KUHD tentang wesel yaitu:
“Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya di dalam sesuatu
surat wesel sebagai wakil orang lain atas nama siapa ia berwenang
untuk bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat karena surat wesel
itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang
sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-
akibat yang sama berlaku abgi seorang wakil yang bertindak dengan
melampaui batas kewenangannya”.
Oleh karena itu, asas personalia dalam e-commerce menjadi
sangat penting terlebih aktivitas di dunia maya yang tidak mengenal
ruang dan waktu, sehingga asas ini harus diletakkan sebagai asas
fundamental dalam pelaksanaan transaksi elektronik (e-commerce).
Asas ini juga diterapkan dalam kegiatan e-commerce untuk
menjamin bahwa, orang yang sudah melakukan suatu perjanjian e-
commerce, maka atas orang itu terjadi perikatan yang menimbulkan hak
dan kewajiban atasnya.
89
Ibid, hlm. 15-16.
77
Rumusan tentang asas personalia juga dapat ditemukan dalam
PP No. 82 Tahun 2012, di mana disebutkan bahwa, transaksi elektronik
yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum bagi para pihak.90
Artinya, pihak di sini adalah subyek hukum yang dapat melakukan
suatu perjanjian atas namanya sendiri. Sehingga, atas perjanjian itu
maka pihak tersebut harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan
dari perjanjian itu.
Dengan demikian, jelas bahwa e-commerce dalam UU ITE
maupun PP No. 82 Tahun 2012 tetap menggunakan asas Personalia
yang juga telah dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Asas ini
bertujuan untuk menjamin kegiatan e-commerce benar-benar dilakukan
oleh pihak yang berkepentingan.
2.2 Asas Konsensualitas
Asas konsensualitas berkaitan dengan kesepakatan antara para
pihak dalam melakukan suatu perjanjian. Kesepakatan dari para pihak
tersebut menjadi titik penting, oleh karena dengan kesepakatan tersebut
maka suatu perjanjian dapat dikatakan sah, dan dapat melahirkan suatu
hak dan kewajiban bagi para pihak.91
Ketentuan mengenai asas konsensualitas sudah dikenal dalam
sistem hukum Indonesia yaitu dalam Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata,
yaitu untuk perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, dan syarat
yang pertama adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
90
Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012. 91
Ibid, hlm. 34.
78
Rumusan itulah yang menjadi landasan yuridis bagi suatu
aktivitas perjanjian yang selama ini dilakukan. Namun, di dalam
konteks e-commerce yang merupakan suatu jenis perdagangan baru,
aturan tersebut tetap berlaku akan tetapi diatur tersendiri dalam
peraturan tentang itu.
Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU ITE
yang menyebutkan bahwa, kecuali ditentukan lain oleh para pihak,
transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm
pengirim telah diterima dan disetujui, dan selanjutnya persetujuan atas
penawaran transaksi elektronik harus dilakukan pernyataan penerimaan
secara elektronik.
Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang
akan melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) memerlukan
suatu kesepakatan. Jika para pihak sudah bersepakat, maka dapat
dikatakan bahwa suatu transaksi elektronik sudah terjadi.
Dalam hal ini, pernyataan kesepakatan harus dilakuakn melalui
suatu pernyataan penerimaan atau pernyataan persetujuan yang
dilakukan secara elektronik pula. Atau dengan kata lain, consensus
antara para pihak dalam transaksi elektronik (e-commerce) adalah
melalui suatu pernyataan elektronik.
Hal ini berbeda dengan perjanjian bisnis atau perjanjian jual beli
pada ruang nyata yang dapat dilakukan secara lisan. Mengingat e-
commerce dilakukan pada suatu ruang yang virtual, maka pernyataan
79
secara elektronik diperlukan untuk mengetahui bahwa para pihak telah
bersepakat untuk melakukan transaksi elektronik (e-commerce).
Selain dari rumusan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU ITE, di dalam
Pasal 47 ayat (2) huruf a PP No. 82 Tahun 2012 juga secara eksplisit
mengatur bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila ada
kesepakatan para pihak.
Rumusan tersebut nampaknya merupakan penulisan kembali
atas rumusa Pasal 1320 KUHPerdata, yang memuat tentang syarat
sahnya suatu perjanjian. Artinya, hukum siber baik itu UU ITE maupun
PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan umbrella act bagi e-commerce
tetap mempraktikan prinsip hukum yakni asas konsensualitas yang
sudah dipraktikan juga sebelum lahirnya UU ITE dan Peraturan
Pelaksananya.
Oleh karenanya, asas konsensualitas dalam UU ITE maupun PP
No. 82 Tahun 2012 yang mengatur tentang e-commerce tetap
mendudukan asas konsensualitas sebagai salah satu asas penting untuk
dilangsungkannya suatu aktivitas e-commerce.
2.3 Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak juga
mendasarkan dirinya pada Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya angka 4
yaitu, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaiitu, syarat
keempat adalah suatu sebab yang tidak terlarang.
80
Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang
membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun
dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban
apa saj, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut
bukanlah sesuatu yang terlarang.92
Suatu sebab yang tidak terlarang dalam hal ini harus
memperhatikan pula ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang
oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesulilaan baik
atau ketertiban umum”.
Asas kebebasan berkontrak juga dapat dipahami dalam hal
berkaitan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak
memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan
dengan siapa seseorang akan mengadakan perjanjian, apa bentuk
perjanjian, serta memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk
menentukan isi perjanjian.93
Dalam konteks e-commerce UU ITE sendiri tidak menjabarkan
secara rinci asas kebebasan berkontrak sebagaimana mestinya.
Ketentuan tersebut justru ditemukan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf d PP
Nomor 82 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa, kontrak elektronik
dianggap sah apabila objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
92
Ibid, hlm. 46. 93
Christiana Tri Budhayati. Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia,
Universitas Kristem Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 48.
81
Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa sejatinya dalam
sebuah e-commerce atau transaksi elektronik sekalipun, masih tetap
menggunakan asas kebebasan berkontrak yang selama ini juga
dijalankan dalam perjanjian-perjanjian konvensional.
Rumusan Pasal 47 ayat (2) huruf d PP No. 82 Tahun 2012 sudah
membuktikan bahwa, asas kebebasan berkontrak yang diakui dalam
KUHPerdata yang merupakan Lex Generalis hukum perdata Indonesia,
juga diakomodir di dalam transaksi elektronik (e-commerce). Sehingga,
suatu kontrak elektronik yakni e-commerce juga tetap menjalankan
prinsip atau asas kebebasan berkontrak bagi para pihak.
2.4 Asas Pacta Sunt Servanda
Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga
perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan
kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak
yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai
kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikat setara
dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.94
Sudah barang tentu, asas pacta sunt servanda tersebut
merupakan ekstraksi dari rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang
berbunyi, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, daya ikat dari perjanjian itu secara hukum hanya
94
Agus Yudha Hernoko, Ibid, hlm. 124.
82
mengikat para pihak yang terdapat di dalam perjanjian itu, atau
perjanjian mengikat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para
pihak.
Pacta sunt servanda juga mempunyai pengertian bahwa suatu
pactum, yaitu persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah
sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu, menurut
hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu kontrak yang
mengikat.95
Dalam konteks e-commerce yakni suatu transaksi elektronik
sebagaimana diatur dalam UU ITE menyebutkan bahwa, transaksi
elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para
pihak.96
Dalam pengertian dengan asas pacta sunt servanda, maka
kontrak elektronik mengenai suatu e-commerce mengikat para pihak
yang terdapat di dalam kontrak/ perjanjian tersebut.
Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) tersebut memang pada
dasarnya tidak secara rinci meyebutkan mengenai daya berlaku dari
sebuah kontrak /perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata, namun dari bunyi Pasal 18 ayat (1) a quo secara inheren
mengandung prinsip pacta sunt servanda.
Dengan demikian, segala macam kontrak elektronik dalam suatu
e-comemerce harus tunduk pada prinsip pacat sunt servanda. Artinya,
para pihak yang sudah masuk ke dalam perjanjian tersebut, memiliki
95
Peter Mahmud Marzuki. Keberlakuan Doktrin Contra Proferentem Dalam Hukum Kontrak,
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 5. 96
Pasal 18 ayat (1) UU ITE.
83
kewajiban secara hukum untuk patuh dan taat kepada isi dari perjanjian
tersebut.
Sejalan dengan itu pula, Christiana Tri Budhayati menggariskan
bahwa,
“asas pacta sunt servanda ini menunjukan adanya jaminan kepastian
hukum pada para pihak yang berjanji, para pihak akan terikat pada
apa yang diperjanjikan, terkandung makna bahwa ia tidak dapat
mengingkari apa yang telah diperjanjikan, pengingkaran tentu akan
mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan”.97
Dengan demikian, Penulis hendak mempertegas kembali bahwa
e-commerce menurut UU ITE, juga menerapkan asas pacta sunt
servanda bagi para pihak yang melakukan atau melaksanakan e-
commerce.
2.5 Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik berkiatan dengan pelaksanaan perjanjian, di
mana para pihak yang berada dalam suatu perjajian diharuskan untuk
menjalankan perjanjian itu dengan iktikad baik. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang menyebutkan, perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.
Dengan demikian secara tegas undang-undang mengharuskan
para pihak melaksanakan satu kewajiban hukum yang muncul karena
adanya perjanjian yakni bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.98
97
Ibid, hlm. 50. 98
Ibid, hlm. 51.
84
Berkenaan dengan iktikad baik itu pula, Ridwan Khirandy
menyatakan bahwa, pengertian iktikad baik mempunyai dua dimensi,
yaitu dimensi subyektif yang berarti iktikad baik mengarah pada makna
kejujuran serta dimensi kedua adalah dimensi yang memaknai iktikad
baik sebagai rasionalitas dan kepatutan atau keadilan.99
Berkenaan dengan e-comemrce atau transaksi elektronik, di
dalam UU ITE disebutkan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi
elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau
pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama
transaksi berlangsung.100
Rumusan dalam Pasal 17 ayat (2) tersebut secara eksplisit
menegaskan bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik
(e-comemrce) untuk harus beriktikad baik, agar arus transaksi
elektronik tidak menimbulkan permasalahan yang akan merugikan para
pihak.
Sudah jelas bahwa, meskipun di era globalisasi seperti sekarang
di mana transaksi sudah dilakukan melalui transaksi elektronik di mana
para pihak tidak saling bertatap muka secara langsung, namun hukum
tetap mewajibkan bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik
tersebut untuk menerapkan asas iktikad baik.
Selain diatur dalam Pasal 17 ayat (2), ketentuan mengenai
iktikad baik juga dijumpai di dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a PP No. 82
99
Ridwan Khirandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Jakarta, 2003, hlm.
13. 100
Pasal 17 ayat (2) UU ITE.
85
Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa, “penyelenggaraan transaksi
elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan iktikad
baik.”
Asas iktikad baik dalam transaksi elektronik (e-comemrce)
kembali dimunculkan dalam hukum formil dari UU ITE yakni PP No,
82 Tahun 2012, di mana para pihak yang melaksanakan transaksi
elektronik harus melakukan transaksi itu dengan iktikad baik. Artinya,
meskipun para pihak itu tidak pernah bertemu secara langsung untuk
membicarakan perihal perjanjian, namun hanya melalui transaksi
elektronik pun para pihak harus tetap beriktikad baik.
Rumusan kedua pasal tersebut, baik yang diatur di dalam UU
ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012, menunjukan bahwa kemajuan
teknologi informasi yang mana merubah cara melaksanakan suatu
perjanjian, yaitu melalui dunia maya sekalipun, tetap diwajibkan oleh
hukum bagi para pihak yang bertransaksi atau berjanji itu untuk tetap
menjalankan perjanjian atau transaksi elektronik dengan iktikad baik.
Berikut Penulis rumuskan dalam tabel asas-asas E-commerce
UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 dengan yang terdapat di dalam
KUHPerdata:
86
Tabel 1. Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas-asas UU ITE dan PP 82
Tahun 2102
KUHPerdata
Asas Personalia Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal
46 ayat (1).
Pasal 1315
Asas konsensualitas Pasal 20 ayat (2) dan (2)
jo pasal 47 ayat (2) huruf
a.
Pasal 1320
(1)
Asas kebebasan
berkontrak
Pasal 47 ayat (2) huruf d. Pasal 1320
(4)
Asas pacta sunt
servanda
Pasal 18 ayat (1) Pasal 1338
Asas iktikad baik Pasal 17 ayat (2) jo Pasal
46 ayat (2) huruf a
Pasal 1338
(3)
3. Sahnya Perjanjian E-Commerce Dalam Perspektif UU ITE
Di dalam melakukan suatu perjanjian, maka hal utama yang
harus dilakukan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
atau berlakunya suatu perjanjian tersebut. Oleh karenanya, secara a
contrario jika syarat-syarat dalam perjanjian tidak dipenuhi maka suatu
perjanjian tidak dapat dikatakan sah atau berlaku, dan tidak akan
melahirkan hak dan kewajiban bagi siapapun.
Begitu pula dengan transaksi elektronik (e-commerce), sudah
barang tentu para pihak yang yang akan melakukan perjanjian dalam
87
transaksi elektronik harus memenuhi syarat-syarat perjanjian, sehingga
perjanjian tersebut dapat menjadi sah dan dapat dilakukan transaksi
elektronik, yang akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak
tersebut.
Undang-undang ITE (UU No. 11 Tahun 2008) yang mengatur
tentang transaksi elektronik, tidak menguraikan secara rinci syarat
sahnya suatu perjanjian sehingga suatu transaksi elektronik dapat
dilakukan.
Dari Hasil Penelitian yang dilakukan, ketentuan dalam Bab V
UU ITE yang mengatur secara khusus tentang transaksi elektronik tidak
mengatur secara khusus tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara
elektronik (e-commerce).
Namun ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian
elektronik dalam hal ini suatu transaksi elektronik (e-commerce) diatur
di dalam Pasal 47 ayat (2), yang menyatakan, “kontrak elektronik
dianggap sah apabila:”
- Terdapat kesepakatan para pihak;
- Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang
mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
- Terdapat hal tertentu; dan
- Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
88
Rumusan mengenai syarat sahnya suatu kontrak elektronik di
atas pada dasarnya sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang
diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320
KUHPerdata juga merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi oleh
para pihak jika akan melakukan suatu perjanjian atau kontrak.
Oleh karena dalam syarat sahnya kontrak elektronik yang
mengatur tentang e-commerce sama dengan syarat kontrak atau
perjanjian pada umumnya, maka berikut ini akan diuraikan atau
dijelaskan keempat syarat tersebut.
Pertama, baik Pasal 47 ayat (2) maupun Pasal 1320
KUHPerdata mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak.
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling
menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian
atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan
pernyataan pihak lain. 101
Secara umum kesepakatan antara para pihak tersebut berawal
dari penawaran dan penerimaan. Akan selalu ada pihak yang
menawarkan serta pihka yang menerima tawaran. Hal tersebut juga
sejalan dengan apa yang disampaikan oleh E. Allan Fansworth &
William F. Young bahwa, kesepakatan yang merupakan pernyataan
101
J.H. Niewenhuis-III., Op., Cit., hlm. 162.
89
kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran
dan penerimaan.102
Begitu juga dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce),
kesepakatan para pihak yang dilakukan melalui kontrak elektronik
menjadi bukti bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan, sehingga
dapat dikatakan telah terjadi kesepakatan antara para pihak.
Penawaran yang disampaikan secara elektronik dapat diartikan
sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk
mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan
setuju dari pihak yang ditawari. Dalam transaksi elektronik, pernyataan
secara elektronik dianggap sebagai persetujuan atau telah terjadi
persesuaian kehendak atau kesepakatan para pihak, sehingga transaksi
elektronik (e-commerce) dianggap telah terjadi.
Berkaitan dengan kesepakatan itu pula, maka berlaku pula
prinsip kesepakatan bebas, artinya kesepakatan yang dibuat oleh para
pihak tersebut dilakukan dalam keadaan bebas merdeka tanpa paksaan,
buak karena khilaf atau karena penipuan. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,
tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Dalam kaitannya dengan kesepakatan para pihak dalam
transaksi elektronik, maka dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 82 Tahun
102
E. Allan Fansworth & William F. Young. Contracts (Cases & Materials), The Foundation
Press Inc. New York, 1980, hlm. 179-195.
90
2012 telah ditetapkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan produk
secara elektronik harus memberikan informasi yang benar, jelas dan
lengkap mengenai produk tersebut.
Sehingga, jika pihak penerima akan memperoleh informasi yang
lengkap dan akan menuntunnya pada pernyataan bahwa ia akan
bersepakat atau setuju dengan apa yang ditawarkan, sehingga transaksi
elektronik dapat dilakukan.
Oleh karena itu, Penulis berpendapat di dalam transaksi
elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a tetap
memerlukan kesepakatan para pihak yakni melalui pernyataan
penerimaan secara elektronik untuk menyatakan bahwa suatu
kesepakatan telah terjadi.
Kedua, perihal kecakapan. Baik di dalam Pasal 1320
KUHPerdata maupun Pasal 47 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa,
salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan dari
para pihak. Kecakapan di sini adalah menyangkut kemampuan secara
hukum untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang
mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.
Kecakapan diukur berdasarkan subyek hukum yang
melakukannya, yakni jika itu adalah orang (person) akan dilihat dari
usia kedewasaan menurut hukum, dan jika itu adalah badan hukum
(rechtspersoon) akan dilihat dari aspek kewenangan.103
103
Ibid, hlm. 184.
91
Seseorang yang sudah dinyatakan dewasa secara hukum, maka
orang tersebut dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan
hukum, dalam hal ini adalah perjanjian. Sedangkan untuk badan
hukum, maka yang akan dilihat adalah status (kesahan) badan hukum
tersebut, serta apakah badan hukum tersebut memang memiliki
kewenangan untuk melakukan suatu perjanjian.
Dalam konteks transaksi elektronik, kecakapan dari para pihak
menjadi kendala tersendiri, oleh karena dilakukan melalui dunia
virtual. Artinya, antara para pihak tidak dapat mengetahui secara pasti
apakah pihak yang akan diajak berjanji sudah cakap atau tidak.
Oleh karena itulah, di dalam Pasal 49 ayat (2) PP No. 82 Tahun
2012 mengharuskan agar setiap penyelenggara transaksi elektronik
untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada siapa saja
yang akan melakukan perjanjian dengannya.
Hal ini penting, mengingat jika dikemudian hari terbukti bahwa
salah satu pihak yang melakukan kontrak elektronik tersebut tidak
cakap, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Implikasi hukum
yang mungkin dapat timbul adalah, ada kemungkinan bahwa salah satu
pihak akan mengalami kerugian.
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah yang
dimaksud dengan kecakapan, dan hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal
1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan
tidak cakap adalah: orang-orang belum dewasa, mereka yang ditaruh
92
dibawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal
yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang
dilarang undang-undang untuk melakukan perjanjian.104
Dengan demikian, perjanjian dalam suatu transaksi elektronik
tetap memerlukan kecakapan dari para pihak agar perjanjian tersebut
dapat dinyatakan sah. Untuk itu, para pihak dalam bertransaksi
diwajibkan untuk selalu memberitahukan informasi yang sebenar-
benarnya kepada sesama pihak yang akan bertransaksi secara
elektronik.
Ketiga, terdapat hal tertentu. Yang dimaksud dengan hal tertentu
adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan.
Artinya, dalam suatu perjanjian harus ada suatu hal yang diperjanjikan
oleh para pihak, sehingga hal tersebut akan menjadi prestasi sekaligus
kontrprestasi bagi masing-masing pihak.
Sejalan dengan itu, perlu diperhatikan Pasal 1332 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja
yang dapat menjadi pokok perjanjian. Rumusan tersebut hendak
menjelaskan bahwa, dalam perjanjian harus ada hal yang diperjanjikan.
Hal ini penting untuk mengetahui sejauh mana para pihak akan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar kewajibannya terpenuhi.
Atau dengan kata lain, hal tertentu yang diperjanjikan harus diketahui
104
Mengenai substansi terakhir telah dihapus berdasarkan SEMA Nomor. 3 Tahun 1963 dan
Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
93
oleh para pihak sehingga segala tindakan yang akan dilakukan nanti
dapat terukur atau pasti.
Keempat, kausa yang diperbolehkan. Dalam bahasa UU ITE hal
tersebut disebutkan sebagai objek perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Di dalam menentukan suatu hal tertentu yang akan menjadi
objek perjanjian, maka para pihak diwajibkan untuk melihat dan
menentukan apakah objek yang diperjanjikan tersebut merupakan
sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau tidak, atau hal itu tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian secara elektronik yang akan melaksanakan suatu
transaksi elektronik pun mensyaratkan agar suatu hal yang
diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketetiban umum. Hal ini akan berimplikasi pada
batalnya perjanjian itu.
Artinya, jika dalam suatu transaksi elektronik diperjanjikan
suatu objek yang senyatanya bertentangan dengan apa yang dilarang,
maka dengan sendirinya perjanjian tersebut sejak awal dianggap tidak
pernah ada (never existed) atau batal demi hukum.
Dengan demikian, para pihak dalam suatu transaksi elektronik
jika ingin agar perjanjian yang dilakukannya tetap sah, maka syarat
94
keempat tersebut pun harus diperhatikan dan dijalankan sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis melihat bahwa
secara hukum, syarat sahnya suatu perjanjian e-commerce menurut UU
ITE adalah sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana
terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia.
Berikut akan digambarkan sahnya perjanjian E-commerce dalam
tabel berikut ini:
Tabel 2. Syarat Sahnya Perjanjian
Sahnya
Perjanjian
UU ITE KUHPerdata
Pasal 47 ayat (2)
yaitu:
a. kesepakatan para
pihak
b. adanya kecakapan
para pihak
c. terdapat hal
tertentu
d. objek transaksi
tidak boleh
bertentangan dengan
peraturan
perundang-
undangan.
Pasal 1320, yaitu:
- Kesepakatan para pihak
- kecakapan yang
membuat janji
- terdapat hal tertentu
- causa yang halal
95
4. E-Commerce Internasional Menurut UU ITE
Karakter e-commerce berupa kemampuan untuk melintasi batas
antar negara menyebabkan pengaturannya menjadi persoalan kebijakan
dan hukum perdagangan Internasional. Paling tidak persoalan berkaitan
dengan sifat dan substansi hukum yang dapat diterapkan adalah
persoalan yurisdiksi dan pelaksanaanya yang berkaitan dengan transaksi
online perlu dipecahkan secara memuaskan sesuai keinginan agar media
tersebut mendapatkan kepercayaan dan dapat diterima lebih luas oleh
pihak-pihak dari negara berbeda.105
Dalam hal e-commerce yang dilakukan lintas negara, maka hal
yang akan menjadi permasalahan adalah selalu berkisar pada dua hal,
yaitu menyangkut pilihan hukum yang akan berlaku bagi para pihak dan
pilihan forum pengadilan yang akan menyelesaikan sengketa yang
mungkin akan terjadi.
Oleh karena itu, di dalam e-commerce internasional
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa,
“para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku
bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Ketentuan
tersebut secara jelas menunjukan bahwa, e-commerce berskala
internasional yang dilakukan oleh para pihak harus memperhatikan
pilihan hukum yang akan mengikat bagi para pihak tersebut.
105
Assafa Endeshaw. Hukum E-Commerce Dan Internet Dengan Fokus Di Asia pasifik,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 254.
96
Para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik
internasional lah yang akan menentukan hukum mana yang berlaku
bagi transaksi elektronik internasional tersebut. Hal ini berarti, UU ITE
sudah membatasi secara tegas bagi para pihak untuk harus melakukan
kesepakatan mengenai pilihan hukum (choice of law) yang akan
mengikat bagi para pihak.
Namun, apabila ternyata para pihak dalam transaksi elektronik
internasional tersebut tidak menentukan pilihan hukum bagi mereka,
maka hukum perdata internasioanl berlaku secara otomatis.106
Artinya, untuk menentukan yurisdiksi hukum negara manakah
yang akan mengikat bagi transaksi elektronik internasional tersebut
dapat dilihat dari domisili para pihak, kewarganegaraan, atau tempat
menjalankan usaha, atau tempat di mana kontrak elektronik dilakukan.
Oleh karena itu, meskipun para pihak tidak menentukan pilihan
hukum dalam transaksi elektronik internasional, tidak berarti bahwa
terjadi kekosongan hukum dan akan menimbulkan masalah hukum,
sebab yang berlaku secara otomatis adalah asas hukum perdata
internasional dalam menentukan pilihan hukum untuk itu.
Selain pilihan hukum (choice of law) bagi para pihak dalam
melakukan suatu transaksi elektronik internasional, hal penting lain
yang harus diperhatikan dalam e-commerce internasional adalah pilihan
106
Pasal 18 ayat (3) UU ITE.
97
forum yang akan menyelesaikan sengketa yang akan timbul dari
perjanjian tersebut.
Di dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE disebutkan bahwa, “para
pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.”
Rumusan tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan mengenai
pilihan hukum bagi para pihak dalam melakukan transaksi elektronik
internasional sebagaimana diatru dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3)
UU ITE. Artinya, kewenangan sepenuhnya mengenai pilihan forum
(choice of forum) yang akan dipakai menyelesaikan sengketa tergantung
pada kesepakatan dari para pihak.
Sehingga, jika dalam suatu transaksi elektronik internasional di
mana para pihaknya sudah menentukan tempat akan diselesaikannya
sengketa, maka tempat yang dipilih dalam perjajian tersebutlah yang
akan memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.
Sebagai contoh, dalam isi perjanjian antara PT. Waskita Karya
dengan PT. Manunggal, menyatakan klausula bahwa apabila di
kemudian hari timbul sengketa dalam perjanjian ini, maka sengketa
akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan pada
klausul tersebut, maka yang berwenang menangani perkara di dalam
98
perjanjia elektronik internasional antara kedua pihak adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Sebaliknya, jika ternyata para pihak dalam transaksi elektronik
internasional tidak mencantukan pilihan forum (choice of forum) untuk
penyelesaian sengketa, maka yang akan berlaku adalah prinsip-prinsip
hukum perdata internasioan.
Hal tersebut sama halnya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3)
tentang tidak dicantumkannya pilihan hukum oleh para pihak dalam
transaksi elektronik internasioan. Maka, asas hukum perdata
internasional yang berlaku secara otomatis.