BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM...

60
39 BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF UU ITE Di dalam Bab ini, pembahasan dibagi dalam dua pokok bahasan. Pertama, yang akan dibahas adalah mengenai kaidah-kaidah dalam Undang- Undang ITE yang mengatur tentang e-commerce. Pokok bahasan ini akan mengkaji kaidah-kaidah e-commerce yang memiliki karakteristik hukum perjanjian baik yang terdapat di dalam Undang-Undang ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012. Kedua, asas-asas hukum perjajian tersebut akan dianalisis untuk menemukan kedudukan e-commerce dalam perspektif Undang-Undang ITE. Penulis akan menganalisis materi-materi penting yang diperoleh dari hasil penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan e- Commerce di dalam UU ITE sebagai salah satu bagian dari hukum perjanjian yang tetap mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia. A. KAIDAH-KAIDAH E-COMMERCE 1. Kaidah-Kaidah Tentang E-Commerce Dalam UU ITE Di dalam pembahasan ini, Penulis akan menguraikan pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum di dalam UU ITE yang berbicara atau mengatur tentang E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum

Transcript of BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM...

Page 1: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

39

BAB III

ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM

PERSPEKTIF UU ITE

Di dalam Bab ini, pembahasan dibagi dalam dua pokok bahasan.

Pertama, yang akan dibahas adalah mengenai kaidah-kaidah dalam Undang-

Undang ITE yang mengatur tentang e-commerce. Pokok bahasan ini akan

mengkaji kaidah-kaidah e-commerce yang memiliki karakteristik hukum

perjanjian baik yang terdapat di dalam Undang-Undang ITE maupun PP No. 82

Tahun 2012.

Kedua, asas-asas hukum perjajian tersebut akan dianalisis untuk

menemukan kedudukan e-commerce dalam perspektif Undang-Undang ITE.

Penulis akan menganalisis materi-materi penting yang diperoleh dari hasil

penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan e-

Commerce di dalam UU ITE sebagai salah satu bagian dari hukum perjanjian

yang tetap mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Hukum Perdata

Indonesia.

A. KAIDAH-KAIDAH E-COMMERCE

1. Kaidah-Kaidah Tentang E-Commerce Dalam UU ITE

Di dalam pembahasan ini, Penulis akan menguraikan pasal-pasal

atau kaidah-kaidah hukum di dalam UU ITE yang berbicara atau

mengatur tentang E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum

Page 2: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

40

perjanjian. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan-pembahasan

sebelumnya, di mana E-Commerce tetap memiliki kaitan dengan

hukum perjanjian yaitu tentang ciri dan karakter dari E-Commerce yang

tetap tunduk pada kaidah-kaidah hukum perjanjian, meskipun E-

Commerce diatur secara terpisah dari KUHPerdata Indonesia yang

merupakan Lex Generalis hukum perdata di Indonesia.

1.1 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 UU ITE

Pasal 1 angka 2 UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik

adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan

komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

Ketentuan ini sekaligus menjelaskan mengenai ruang lingkup dari

E-Commerce yang juga merupakan suatu perbuatan hukum, yang

dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan

komputer, atau media elektronik lainnya. Atau dengan kata lain,

transaksi E-Commerce dilakukan di dunia maya.

Mengenai hal tersebut, Atip Latifulhayat, sebagaimana dikutip

Abdul Halim Barkatullah menyatakan bahwa:

“sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-

commerce telah mereformasi perdagangan konvensional. Interaksi

antara konsumen dan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan

secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung”.49

Perdagangan melalui dunia maya tersebut disebutkan sebagai

suatu model perdagangan yang dilakukan dengan cara baru, di mana

49

Abdul Halim Barkatullah. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-

Commerce Lintas Negara Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009. Hlm, 33-34.

Page 3: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

41

antara para pihak yang mengadakan perdagangan tidak saling

bertemu secara langsung, namun cukup lewat dunia maya.

Sehingga, e-commerce telah merubah paradigma “bisnis klasik”

dengan menumbuhkan model-model interaksi antara pelaku usaha

dan konsumen di dunia virtual.50

Dimensi tentang e-commerce juga dapat dilihat di dalam Pasal 9

UU ITE menyatakan bahwa, “pelaku usaha yang menawarkan

produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi

yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen, dan produk yang ditawar”.

Rumusan tersebut menghendaki agar kegiatan transaksional (e-

commerce) yang dilakukan di dunia maya tersebut harus

mengedepankan prinsip the right to obtain information, yaitu

konsumen berhak untuk memperoleh suatu informasi yang sebenar-

benarnya dari pelaku usaha mengenai hal yang ditawarkan kepada

konsumen. Sebailknya, pelaku usaha berkewajiban untuk

menyampaikan hal tersebut kepada konsumen.

Dengan demikian, jelas bahwa segala kegiatan e-commerce di

dalam dunia maya tetap tunduk pada kaidah hukum yang secara

prinsip sudah dikenal terlebih dahulu dalam hukum Indonesia, yaitu

hukum perdata. Prinsip a quo selanjutnya secara eksplisit

50

Ibid. hal: 33-34.

Page 4: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

42

dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.51

Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai

e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur

di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik.

Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai

dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan

di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya

di atas.

1.2 Bab V UU ITE

Pertama, Pasal 17 UU ITE secara mendasar mengatur mengenai

ruang lingkup dari transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam

lingkup publik maupun lingkup privat serta prinsip itikad baik

dalam melakukan suatu transaksi elektronik.52

Ruang publik adalah

yang berkaitan dengan segala transaksi elektronik yang dijalankan

oleh instansi yang melayani kepentingan publik. Sedangkan untuk

lingkup privat adalah berkaitan dengan transaksi elektronik antara

pelaku usaha, pelaku usaha-konsumen, antarpribadi, dan sebagainya

yang berkaitan dengan urusan privat.

Dalam pada itu, Pasal 17 ayat (2) disebutkan pula bahwa para

pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik

dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik

51

Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa, hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar,

jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 52

Pasal 17 ayat (1) jo ayat (2) UU ITE.

Page 5: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

43

dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.

Ketentuan tersebut merupakan suatu prinsip yang juga

dikembangkan atau ditulis kembali dari prinsip hukum perdata yang

terkait dengan perjanjian yakni prinsip itikad baik. Sebagaimana

diketahui bahwa, Pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan bahwa,

perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penulis

meyakini bahwa rumusan pasal tersebut lah yang mengilhami para

perumus UU ITE agar prinsip itikad baik yang merupakan perintah

hukum tersebut dimasukan kembali untuk mengatur suatu aktivitas

e-commerce yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE.

Penulis berpendapat pula bahwa, baik ketentuan dalam Pasal 17

ayat (1) dan (2) hendak diletakan sebagai dasar penting dalam

melakukan suatu transaksi elektronik (aktivitas e-commerce), yaitu

segala transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan dalam

lingkup publik maupun lingkup privat harus dilaksanakan dengan

prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan.

Kedua, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa transaksi

elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para

pihak. Ketentuan pasal tersebut hendak menggaris bawahi mengenai

daya ikat dari suatu kontrak atau perjanjian yang dilakukan melalui

transaksi elektronik. Artinya, meskipun perjanjian tersebut

Page 6: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

44

dilakukan melalui suatu kontrak elektronik53

namun perjanjian

tersebut tetaplah perjanjian sebagaimana perjanjian konvensional

yang mengikat para pihak, serta melahirkan hak dan kewajiban bagi

masing-masing pihak.

Mengenai hal tersebut, prinsip hukum yang diatur dalam Pasal

18 ayat (1) UU ITE merupakan pengakuan terhadap prinsip pacta

sunt servanda jika merujuk pada Pasal 1338 (1) yang menyebutkan

bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, Pasal 18

ayat (1) UU ITE juga tetap mengakui prinsip pacta sunt servanda,

meskipun perjanjian yang dilakukan dalam konteks e-commerce

dilakukan melalui cara yang berbeda dengan kegiatan perjanjian

yang selama ini dikenal dan dipraktikan dalam aktivitas transaksi

perdagangan.

Di dalam Pasal 18 ayat (2) jo ayat (3) dan (4) berbicara tentang

suatu transaksi elektronik berskala internasional. E-Commerce

(transaksi elektronik) yang dilakukan antara para pihak yang berasal

dari negara yang berbeda juga telah diatur. Artinya, ketentuan di

dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan (5) merupakan lex specialis

bagi suatu e-commerce atau transaksi elektronik internasional. Di

dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa, “para pihak memiliki

53

Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan kontrak elektronik sebagai suatu perjanjian para

pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.

Page 7: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

45

kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi

elektronik internasional yang dibuatnya”.

Ketentuan tersebut secara hukum dikenal dengan sebutan

Choice of Law oleh para pihak yang membuat perjanjian. Kaidah

hukum yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut

merupakan manifestasi dari prinsip hukum yang sudah lama dikenal

dalam praktik hukum perdata internasional. Artinya, kebebasan dari

para pihak untuk menentukan hukum negara mana yang akan

diterapkan dan mengikat kedua pihak diakui juga dalam transaksi

elektronik internasional. Hal ini sekaligus menentukan Pengadilan

mana yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang akan

timbul, atau dalam istilah hukum internasional disebut Choice of

forum.54

Sebaliknya, rumusan tersebut tidak dimaknai bahwa suatu

transaksi elektronik internasional akan secara otomatis tunduk pada

hukum dari negara asal pelaku usaha. Sebagaimana dikatakan oleh

A. Halim Barkatullah bawha,

“Konsumen akan sangat dirugikan, jika terpaksa menyelesaikan

sengketa dengan menggunakan hukum dan forum pelaku usaha,

yang jauh secara hukum itu accountable. Ketika klaimnya kecil

atau sedang, penuntut individu sering tidak mampu membayar

biaya mengajukan gugatan di forum asing ”.55

54

Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan

forum pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang

berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional

yang dibuatnya. Dengan demikian para pihak yang terikat pada suatu transaksi elektronik

internasional secara hukum memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan forum pengadilan

atau arbitrase manakah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi nantinya. 55

Ibid, hlm. 63.

Page 8: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

46

Dengan demikan jelas bahwa, dalam e-commerce yang berskala

internasional sebagaimana diakui dalam UU ITE tersebut, para

pihak harus memperhatikan pilihan hukum dan pilihan forum

penyelesaian sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam e-

commerce internasioanl itu.

Namun, bagaimanakah jika para pihak tidak bersetuju mengenai

choice of law manapun dalam suatu transaksi elektronik (e-

commerce) internasional? jika hal tersebut terjadi, maka prinsip

hukum apakah yang akan digunakan dalam hal tersebut? menjawab

pertanyaan tersebut, maka Pasal 18 ayat (3) UU ITE secara tegas

menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum

dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku

didasarkan pada asas hukum perdata internasional.

Oleh karena itu, ketiadaan kata setuju tentang choice of law dari

para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak berarti

dapat mengakibatkan kekosongan hukum, oleh karena prinsip

hukum perdata internasional akan secara otomatis berlaku dengan

sendirinya. Hal tersebut juga secara mutatis mutandis berlaku dalam

hal para pihak tidak menentukan choice of forum dalam

penyelesaian sengketa.56

56

Pasal 18 ayat (5) UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau

lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang

mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional.

Page 9: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

47

Ketiga, menyangkut ruang atau tempat dilakukannya suatu

transaksi elektronik, maka di dalam Pasal 19 dikatakan bahwa, para

pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan

sistem elektronik yang disepakati. Sebelum menjelaskan mengenai

rumusan tersebut, hal yang pertama harus dipahami adalah tentang

sistem elektronik yang dimaksud.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE, sistem

informasi adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik

yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan,

mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Artinya,

perangkat dalam sebuah komputer yang dipakai oleh para pihak

yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) yang di

dalamnya terdapat segala macam informasi mengenai suatu hal,

maka perangkat yang demikian adalah sistem informasi.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 UU ITE, sistem informasi

untuk melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) harus

disepakati oleh para pihak. Sehingga, jika para pihak yang hendak

melakukan transaksi elektronik harus memperhatikan sistem

informasi manakah yang akan digunakan sebagai ruang atau tempat

dilakukannya suatu transaksi elektronik. Hal tersebut juga penting

untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang dilakukan itu adalah

Page 10: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

48

transaksi elektronik (e-commerce) karena dilakukan di dalam suatu

sistem informasi, dan tunduk pada kaidah dalam Pasal 19 UU ITE.

Keempat, berkaitan dengan kapan terjadinya suatu transaksi

elektronik (e-commerce)yang diselenggarakan dalam sebuah sistem

informasi, maka di dalam Pasal 20 ayat (1) dikatakan: “kecuali

ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada

saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan

disetujui penerima”. Rumusan tersebut bermakna, suatu transaksi

elektronik (e-commerce) secara hukum dikatakan telah terjadi

apabila sudah dilakukan penerimaan penawaran oleh penerima.

Namun, hal tersebut dapat saja tidak berlaku apabila para pihak

menyatakan lain yakni bukan pada saat diterimannya suatu

penawaran, melainkan bergantung pada kesepakatan dari para

pihak.

Sejalan dengan itu, untuk mengetahui telah terjadi penerimaan

atas penawaran di dalam suatu transaksi elektronik, maka

diperlukan suatu pernyataan penerimaan secara elektronik dari

penerima. Sebagaimana ditulis dalam Pasal 20 ayat (2) bahwa,

persetujuan atas penawaran elektronik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara

elektronik.

Dengan demikian, kedua kaidah hukum tersebut sudah secara

tegas menyatakan bahwa suatu transaksi elektronik terjadi pada saat

Page 11: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

49

diterimanya penawaran oleh penerima, dan persetujuan penerimaan

penawaran tersebut harus dilakukan dalam pernyataan secara

elektronik. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak berlaku secara

imperatif bagi para pihak, mengingat kaidah tersebut dapat saja

dinyatakan tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain dari

kaidah-kaidah tersebut.

Berkaitan dengan kapan terjadinyan suatu transaksi elektronik

menurut UU ITE, maka sejatinya tidak dapat dilupakan atau

dikesampingkan perihal kapan terjadinya suatu perjanjian

sebagaimana dikenal selama ini di dalam hukum perjanjian

Indonesia.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada empat prinsip yang

digunakan untuk mengetahui kapan terjadinya suatu kesepakatan

dalam perjanjian, yaitu:57

a. Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan

bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak

penerima dinyatakan.

b. teori penerimaan (verzendstheorie), mengajarkan bahwa

kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu

dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

57

Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,

Cetakan I, Alumni, Bandung, 1983. Hlm. 98.

Page 12: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

50

c. teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa,

pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui

bahwa tawarannya diterima.

d. teori kepercayaan (vertrouventstheorie) mengajarkan bahwa,

kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehedak dianggap

layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Berdasarkan pada pendapat Mariam Darus Badrulzaman

tersebut di atas, nampaknya transaksi elektronik (e-commerce)

dalam UU ITE melalui Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) menerapkan

prinsip yang kedua, yaitu teori penerimaan. Hal tersebut jelas

dikatakan bahwa, transaksi elektronik dianggap terjadi jika pihak

penerima telah menerima penawaran, dan melakukan pernyataan

penerimaan secara elektronik.

Sehingga, untuk menjustifikasi kembali bahwa secara hukum

saat terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce) jika tidak

disepakati lain oleh para pihak adalah pada saat terjadi penerimaan

penawaran oleh penerima, dan harus disertai dengan pernyataan

penerimaan secara elektronik.

Kelima, Pasal 21 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai subyek

hukum yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. Subyek

hukum tersebut antara lain, Pengirim, Penerima (atau para pihak

yang berjanji), pihak yang menerima kuasa, agen elektronik. Empat

Page 13: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

51

subyek hukum yang disebutkan di atas adalah pihak-pihak yang

dapat melakukan suatu transaksi elektronik.58

Pengirim atau penerima adalah para pihak yang berkepentingan

langsung atau pihak yang melakukan perjanjian untuk melakukan

suatu transaksi elektronik. Sedangkann pihak yang menerima kuasa

adalah pihak yang menjalankan transaksi elektronik oleh karena

menerima kuasa dari salah satu pihak yang berjanji untuk

melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkan agen elektronik59

adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk

melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik

tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.

Sehingga, jika dalam pelaksanaan sebuah transaksi elektronik

yang seyogiyanya menimbulkan akibat hukum, maka segala akibat

hukum yang ditimbulkan harus dipertanggung jawabkan. Mengenai

hal tersebut, Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, pihak yang

bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan

transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

sebagai berikut:

- jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab

para pihak yang bertransaksi;

58

Pasal 21 ayat (1) UU ITE sendiri berbunyi, Pengirim atau Penerima dapat melakukan

transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen

Elektronik. 59

Pasal 1 angka 8 UU ITE.

Page 14: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

52

- jika dilakukan melalui pemberi kuasa, segala akibat hukum

dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung

jawab pemberi kuasa; atau

- jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat

hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi

tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.

Oleh karenanya, dalam pelaksanaan transaksi elektronik baik itu

oleh para pihak yang bertransaksi, penerima kuasa, maupun oleh

agen elektronik masing-masing memiliki pertanggung jawaban

hukum dalam hal terjadi suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari

pelaksanann transaksi elektronik tersebut.

Selain menimbulkan akibat hukum, dalam hal terjadi kerugian

yang ditimbulkan dari suatu pelaksanaan transaksi elektronik, maka

akan diikuti pula dengan pertanggung jawaban hukum berupa ganti

rugi dari pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal penting

yang harus dipahami di sini adalah, dalam transaksi elektronik (e-

commerce) segala kerugian yang ditimbulkan melalui pelaksanaan

transaksi elektronik menjadi perhatian sepenuhnya dari Agen

elektronik selaku penyelenggara sistem elektronik, tempat di mana

suatu transaksi elektronik dilakukan.

Berkaitan dengan itu, maka Pasal 21 ayat (3) menyatakan, jika

kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen

elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap

Page 15: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

53

sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab

penyelenggara agen elektronik.

Menurut pendapat Penulis, rumusan tersebut secara implisit

mengandung prinsip hukum caveat emptor yakni pelaku usaha

harus berhati-hati. Dalam konteks ini, agen elektronik yang

menawarkan jasanya sebagai penyelenggara sistem elektronik

tempat di mana dilaksanakannya transaksi elektronik, harus benar-

benar berhati-hati dalam menjalankan atau menyelenggarakan agen

elektronik, agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang

menjalankan transaksi elektronik.

Hal yang sama juga berlaku bagi pengguna jasa layanan, di

mana dalam Pasal 21 ayat (4) disebutkan, jika kerugian transaksi

elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat

kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum

menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.60

Artinya, agen elektronik yang sudah menjalankan sistem

elektronik dengan penuh hati-hati, namun oleh penyebab pengguna

jasa layanan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjalankan

transaksi elektronik, maka agen elektronik dalam hal ini lepas dari

60

Rumusan dalam Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE menurut pendapat Penulis

menggunakan prinsip Presumption of liability (asusmsi bersalah), yakni pihak yang berada

dalam suatu perikatan di mana menimbulkan kewajiban bagi dirinya untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu, akan selalu dianggap bersalah jika kewajiban untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu hal tersebut ternyata menimbulkan kerugian. Namun, perbuatan

tersebut dapat dinyatakan sebaliknya jika ditemukan suatu bukti menyatakan bahwa kerugian

tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan orang tersebut. Lihat, AbdulKadir Muhamad. Hukum

Pengangkutan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung., Bandung, 2005. Hlm, 189.

Page 16: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

54

tuntutan hukum untuk mengganti kerugian, namun yang

bertanggung jawab adalah pengguna jasa layanan.

Akan tetapi, baik agen elektronik maupun pengguna jasa

layanan dapat tidak bertanggun jawab atas kerugian yang timbul

dalam sebuah transaksi elektronik apabila terjadi keadaan

memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem

elektronik.61

Hal ini berarti, jika suatu kerugian yang ditimbulkan

dalam transaksi elektronik bukan merupakan kesalahan atau

kelalaian atau akibat dari perbuatan agen elektronik atau pengguna

jasa layanan, maka yang bertanggung jawab adalah pengguna

sistem elektronik.

Keenam, Pasal 22 ayat (1) memberikan kewajiban bagi

penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur yang

memungkinkan perubahan informasi dalam suatu transaksi

elektronik. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) berbunyi, “penyelenggara

agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen

elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan

penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam

proses transaksi.”

Dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan

kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan

61

Pasal 21 ayat (5) UU ITE.

Page 17: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

55

perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya

fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.

Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik

untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah

untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar.

2. Kaidah Transaksi Elektronik (e-commerce) Dalam PP No. 82

Tahun 2012

Mengingat ketentuan tentang transaksi elektronik (e-commerce)

tidak hanya terdapat dalam UU ITE, oleh karena beberapa

ketentuan harus diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun

2012 sebagai aturan pelaksana UU ITE, maka Penulis juga akan

meneliti kaidah-kaidah yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah a

quo, yang dapat digunakan untuk melihat kedudukan e-commerce

atau transaksi elektronik dalam perspektif UU ITE. Di dalam

Peraturan Pemerintah tersebut, pengaturan tentang transaksi

elektronik (e-commerce) diatur dalam Bab IV yakni dari Pasal 40

hingga Pasal 51.

Pertama, ruang lingkup dari transaksi elektronik yakni e-

commerce dalam konteks PP No. 82 Tahun 2012 adalah sama

seperti yang diatur dalam UU ITE yaitu terdiri dari lingkup publik

dan lingkup privat.62

Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam

lingkup publik yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik oleh

62

Pasal 40 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sisitem Dan Transaksi

Elektronik.

Page 18: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

56

instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik

sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE. 63

Artinya, pihak yang dapat menyelenggarakan transaksi

elektronik dalam lingkup publik adalah Instansi atau pihak lain

yang memang diberikan tugas dan wewenang untuk

menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan

dalam UU ITE.

Sedangkan untuk penyelengaraan transaksi elektronik lingup

privat diatur dalam Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi,

“penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat

meliputi transaksi elektronik:”

a. antar- pelaku usaha;

b. antara pelaku usaha dengan konsumen;

c. antarpribadi;

d. antar Instansi;

e. antara Instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, transaksi elektronik yang para pihaknya

terdiri dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, masuk dalam

kategori transaksi elektronik lingkup privat. Dalam hal ini, pihak-

pihak yang sudah disebutkan tersebut dapat melakukan suatu

63

Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012.

Page 19: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

57

transaksi elektronik yang menurut UU ITE merupakan bagian dari

lingkup privat.

Kedua, pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk

transaksi elektronik terdapat penyelenggaranya. Di dalam Pasal 41

PP No. 82 Tahun 2012, untuk penyelenggara transaksi elektronik

dalam lingkup publik maupun privat dilengkapi dengan sertifikat

keandalan dan/atau sertifikat elektronik.64

Berbeda dengan

penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat, penyelenggara

transaksi elektronik lingkup publik wajib menggunakan sertifikat

keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan

Indonesia yang terdaftar, atau jika menggunakan sertifikat

elektronik maka wajib menggunakan sertifikat yang disertifikasi

oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.65

Sedangkan untuk penyelenggara transaksi elektronik lingkup

privat hanya dikatakan dapat menggunakan sertifikat keandalan

yang disertifikasi oleh Lembaga sertfifikasi Keandalan Indonesia

yang terdaftar, atau dapat pula menggunakan sertifikat elektronik

yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang

tersertifikasi.66

64

Pasal 1 angka 18 menyebutkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik

yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para

pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.

Sedangkan pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa, sertifikat keandalan adalah dokumen yang

menyatakan pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah lulus audit atau uji

kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. 65

Pasal 41 ayat (2) dan (3). 66

Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3).

Page 20: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

58

Ketiga, Pasal 46 ayat (1) menyatakan, transaksi elektronik yang

dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.

Rumusan tersebut hendak menegaskan kembali bahwa, transaksi

elektronik yang sudah dinyatakan sah oleh para pihak, secara

hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.

Sehingga, nantinya para pihak yang terlibat di dalam transaksi

elektronik tersebut wajib mempertanggung jawabkan segala akibat

hukum yang timbul dari transaksi elektronik yang dilakukan.

Selain itu, dalam menyelenggarakan transaksi elektronik para

pihak wajib memperhatikan asas-asas yang terkandung di dalam

penyelenggaraan transaksi elektronik. Asas-asas tersebut antara

lain,

a. asas itikad baik;

b. prinsip kehati-hatian;

c. transparansi;

d. akuntabilitas; dan

e. kewajaran.

Mengenai asas itikad baik dalam suatu transaksi elektronik

dalam kaitannya dengan suatu perjanjian, maka hal tersebut

sejatinya adalah asas yang diambil dari hukum perdata, yang diatur

dalam Pasal 1338 (3) yang menyebutkan bahwa, perjanjian-

perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Page 21: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

59

Berkenaan dengan asas iktikad baik, Wirjono Prodjodikoro

memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau

“secara jujur”. Sehingga suatu perjanjian yang dilakukan dengan

iktikad baik bermakna, perjanjian itu harus dilaksanakan dengan

penuh jujur antar para pihak.67

Selanjutnya, Agus Yudha Hernoko juga menyatakan bahwa,

“pengaturan Pasal 1338 (3) yang menetapkan bahwa persetujuan

harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya perjanjian itu

dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan”. 68

Oleh karena itu, dalam konteks transaksi elektronik pun yang

dilaksanakan menurut suatu perjanjian, maka asas iktikad baik

harus dimaknai dan dilaksanakan seperti yang terdapat di dalam

ketentuan hukum perdata Indonesia.

Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah prinsip dalam hukum

adalah prinsip yang mewajibkan para pihak yang berjanji dalam hal

ini melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) untuk selalu

berhati-hati agar segala tindakan yang dilakukan nantinya tidak

akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.

Prinsip transparansi sejatinya berkaitan dengan keterbukaan

akan informasi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan

transaksi elektronik. Oleh karena transaksi elektronik dilakukan

melalui suatu media yang tidak mempertemukan para pihak secara

67

Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial),

Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 134. 68

Ibid, hlm. 135.

Page 22: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

60

langsung, maka sikap transparan akan segala macam informasi

harus dikedepankan oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan

kerugian bagi pihak lainnya.

Akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban para pihak

atas informasi-informasi atau segala sesuatu yang terjadi dalam

transaksi elektronik. Artinya, para pihak dalam transaksi elektronik

dituntut untuk selalu dapat mempertanggung jawabkan segala

sesuatu yang terjadi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.

Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran” adalah mengacu

pada unsur kepatutan yang berlaku sesuai dengan kebiasaan atau

praktik bisnis yang berkembang. Sehingga, jika para pihak yang

melakukan transaksi elektronik diwajibkan untuk tidak melakukan

suseuatu hal yang berada di luar kebiasaan atau praktik bisnis yang

berkembang atau yang selama ini dipraktikan.69

Keempat, dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi

elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau

bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang

dilakukan oleh para pihak. Rumusan pasal ini untuk menjustifikasi

kembali bahwa sebuah transaksi elektronik dapat dilakukan melalui

kontrak elektronik, atau bentuk-bentuk kontraktual lainnya sesuai

dengan kesepakatan para pihak.

69

Penjelasan Pasal 46 ayat (2) huruf e.

Page 23: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

61

Oleh karena itu, dalam transaksi elektronik sebuah kontrak

dianggap sah apabila:70

a. terdapat kesepakatan para pihak;

b. dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang

berwenang mewakili sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;

c. terdapat hal tertentu; dan

d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Jika ditelusuri lebih jauh, maka sejatinya syarat sahnya sebuah

kontrak dalam transaksi elektronik tidak berbeda dengan syarat

sahnya sebuah perjanjian dalam hukum perdata sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 disebutkan

bahwa, untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat

syarat:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu pokok persoalan tertentu;

d. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sahnya suatu

perjanjian transaksi elektronik yang terjadi di dunia maya, secara

hukum tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana

70

Pasal 47 ayat (2).

Page 24: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

62

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang selama ini sudah

dijalankan di Indonesia.

Selain itu, dengan diaturnya syarat sah suatu transaksi elektronik

yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320

KUHPerdata, sekaligus menunjukan bahwa, transaksi elektronik

merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagaimana juga

yang telah ditulis oleh Subekti mengenai perikatan-periakatan baik

yang lahir dari undang-undang maupun dari perjanjian oleh para

pihak.71

Kelima, di dalam transaksi elektronik terkait dengan hubungan

antara pelaku usaha dan konsumen, terdapat beberap kewajiban

yang dialamatkan kepada pelaku usaha khusus untuk suatu

transaksi elektronik. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud antara

lain:72

a. pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem

elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan

benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk

yang ditawarkan.

b. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang

penawaran kontrak atau iklan.

c. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada

konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim

71

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan ke- 31, Jakarta, 2003, hlm.

134. 72

Pasal 49 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).

Page 25: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

63

apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat

tersembunyi.

d. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai

barang yang telah dikirim.

e. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai

kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar

kontrak.

Sehingga, di dalam sebuah transaksi elektronik yang berkaitan

dengan pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha dalam hal

ini tidak dapat berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan

tersebut di atas. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku

usaha dalam menjalankan suatu transaksi elektronik.

Keenam, mengenai kapan suatu transaksi elektronik terjadi,

kapan suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik terjadi, dan

bagaimana cara untuk melakukan kesepakatan tersebut, maka

menurut Pasal 50 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik

terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak.

Sedangkan untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan,

maka pada ayat (2) dinyatakan bahwa, kesepakatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang

dikirm oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima.

Artinya, kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik

Page 26: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

64

dikatakan terjadi setelah terdapat penerimaan dan persetujuan akan

penawaran yang ditawarkan.

Untuk mengetahui hal tersebut, maka kesepaktan dapat

dilakukan dengan dua cara, yakni: tindakan penerimaan yang

menyatakan persetujuan atau tindakan penerimaan dan/atau

pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik.73

Sehingga,

setidak-tidaknya suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik

dapat dilakukan melalui dua cara yang disebutkan.

Ketujuh, di dalam transaksi elektronik diatur pula mengenai

jaminan yang dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan

transaksi elektronik. Oleh karena itu di dalam Pasal 51 ayat (1)

menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para

pihak wajib menjamin pemberian data dan informasi yang benar

serta ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian

pengaduan.

Hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi para pihak dalam

melakukan suatu transaksi elektronik di mana para pihak masih

ragu atau belum memperoleh suatu informasi yang pasti mengenai

suatu hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik.

Selain itu, dalam transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 51

ayat (2) memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan

pilihan hukum (choice of law) dalam melaksanakan suatu transaksi

73

Pasal 50 ayat (3).

Page 27: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

65

elektronik, sebagaimana juga telah diatur secara tegas di dalam UU

ITE.74

B. KEDUDUKAN E-COMMERCE SEBAGAI SUATU

PERJANJIAN

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan

Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari

cyber law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah

hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah

lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of

information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan

hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan

internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.75

Dalam konteks transaksi elektronik (e-commerce) yang

dilakukan di Indonesia, telah diatur secara rinci di dalam UU No. 11

Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta

peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 82 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan

demikian, dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya

dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan

74

Pasal 51 ayat (2) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib

menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik. 75

H. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika

Aditama, Bandung, 2004, hlm. 1.

Page 28: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

66

dokumen-dokumen dibuat di kertas,76

sekaligus transaksi elektronik (e-

commerce) dalam pelaksanaannya juga tetap mendasarkan pada

prinsip-prinsip hukum perjanjian sebagaimana diterapkan pada

perjanjian-perjanjian konvensional selama ini.

Oleh karena itu, berdasarkan pada hasil penelitian yang

dilakukan oleh Penulis, maka untuk menjawab rumusan masalah yang

ada pada penelitian ini, adapun analisa terhadap kedudukan e-

commerce dalam perspektif UU ITE adalah sebagai berikut.

1. Ruang Lingkup E-Commerce Dalam UU ITE

Berbicara tentang kegiatan e-commerce yang dilakukan

setiap hari, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah ruang

lingkup dari e-commerce itu sendiri. Hal ini adalah sebuah

keniscayaan mengingat, kegiatan e-commerce yang selama ini

dilakukan melalui dunia maya tersebut hampir tidak memiliki

ruang lingkup yang pasti, atau dalam bahasa lain limitless.

Hal ini benar adanya, oleh karena ruang siber (cyber

space) tidak memiliki batasan-batasan tertentu, seperti dalam

kehidupan nyata. Sehingga, hal tersebut berdampak pada

kegiatan e-commerce dan membuat kegiatan e-commerce seperti

tidak terbatas pada suatu batasan tertentu, atau dengan kata lain

tidak ada pemilahan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-

commerce (transaksi elektronik), mengenai subyek hukum mana

76

Ibid, hlm. 3.

Page 29: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

67

sajakah yang melakukan kegiatan e-commerce dalam ruang

siber itu.77

Namun, sebagai payung hukum dari kegiatan e-

comemrce di Indonesia, maka UU ITE sudah memberikan

batasan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-commerce atau

transaksi elektronik. Secara hukum, kegiatan e-commerce

(transaksi elektronik) adalah perbuatan hukum yang dilakukan

dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media

elektronik lainnya.78

Pembatasan tersebut tidak hanya pada definisi mengenai

apa itu transaksi elektronik, akan tetapi secara hukum ruang

lingkup dari suatu transaksi elektronik atau e-commerce juga

telah dibagi dalam dua kategori, yang di dalam UU ITE disebut

sebagai transaksi elektronik lingkup publik dan transaksi

elektronik lingkup privat.79

1.1 E-Commerce Lingkup Publik

Ruang lingkup dalam suatu transaksi elektronik (e-

commerce) dalam rezim UU ITE telah dibagi menjadi dua

lingkup. Lingkup publik adalah penyelenggaraan transaksi

elektronik yang dilaksanakan oleh Instansi atau pihak lain yang

77

Ibid, hlm. 3. 78

Pasal 1 angka 2 UU ITE. 79

Pasal 17 ayat (1) UU ITE.

Page 30: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

68

menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak ditentukan

lain oleh Undang-Undang.80

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, Instansi dalam hal

ini adalah Instansi Pemerintah, atau dalam hal ini penyelenggara

negara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, Undang-

Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan

Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan

Usaha, dan/atau masyarakat.81

Artinya, e-commerce dalam konteks lingkup publik

adalah kegiatan e-commerce yang dilaksanakan oleh Pemerintah

atau penyelenggara negara atau pihak lain yang diberikan

wewenang untuk itu oleh karena perintah undang-undang.

Sehingga jika dilihat secara seksama, maka jenis e-commerce

tersebut masuk dalam kategori perikatan yang lahir dari undang-

undang.

Atau dengan kata lain, undang-undang memberikan

kewajiban kepada subyek hukum dalam hal ini Instansi

Pemerintah atau pihak lain untuk melakukan suatu e-commerce

(transaksi elektronik).

Bukti bahwa transaksi elektronik (e-commerce) lingkup

publik merupakan perikatan yang lahir undang-undang adalah

adanya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, di

80

Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012. 81

Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU ITE.

Page 31: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

69

mana disebutkan bahwa: dalam rangka memberikan dukungan

informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu

diselenggarakan sistem informasi yang bersifat nasional.82

Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa, Sistem

informasi yang bersifat nasional berisi informasi seluruh

penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan untuk merumuskan

kebijakan nasional tentang pelayanan publik.83

Artinya, segala

macam informasi tentang pelayanan publik akan dimuat dalam

sistem informasi yang juga tunduk pada rezim UU ITE. Oleh

karenanya, jika dalam pelayanan publik tersebut

menyelenggarakan transaksi elektronik (e-commerce) maka hal

tersebut secara otomatis tunduk pada kaidah hukum UU ITE

mengenai transaksi elektronik lingkup publik.

Dengan demikian, transaksi elektronik (e-commerce)

yang dapat dikategorikan sebagai perikatan yang lahir dari

undang-undang turut melahirkan kewajiban pada pihak yang

dituju sehingga tindakan pihak tersebut adalah tindakan yang

sah. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Pasal 1353

KUHPerdata yang menyebutkan: “perikatan yang lahir dari

undang-undang sebagai akbat perbuatan orang, muncul dari

suatu perbuatan yang sah, atau dari perbuatan yang melanggar

hukum”.

82

Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. 83

Penjelasan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009.

Page 32: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

70

Dalam contoh yang diuraikan dari UU No. 25 Tahun

2009 adalah bentuk dari tindakan yang sah oleh karena

penyelenggara negara diberikan kewajiban untuk menjalankan

suatu pelayanan publik melalui sistem informasi, yang akan

dilakukan melalui suatu transaksi elektronik bagi publik.

Contoh lain yang dapat dikaitkan dengan e-commerce

dalam lingkup publik adalah pembayaran listrik dan air oleh

orang atau badan hukum secara on line kepada PT. Perusahaan

Listrik Negara (PLN) dan PT. Perusahaan Air Minum Negara

(PAM) yang menyelenggarakan e-commerce, dalam hal ini

menerima bayaran secara on line oleh karena diberikan

kewajiban oleh undang-undang untuk melaksanakan itu.

Sehingga dimensi transaksi elektronik (e-commerce)

lingkup publik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82

Tahun 2012 merupakan bentuk dari perikatan yang lahir dari

undang-undang, oleh karena e-commerce dalam lingkup publik

merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang.

1.2 E-Commerce lingkup Privat

Selain e-commerce yang diselenggarakan dalam lingkup

publik, terdapar pula e-commerce atau transaksi elektronik yang

diselenggarakan dalam lingkup privat. Sebagaimana diatur

dalam UU ITE yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik

lingkup privat meliputi, transaksi elektronik antara pelaku

Page 33: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

71

usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen, antarpribadi,

antarInstansi, dan antar Instansi dengan pelaku usaha.84

Dari rumusan tersebut jelas bahwa, e-commerce atau

transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah transaksi

elektronik yang dilakukan berdasarkan pada perjanjian dari para

pihak. Atau singkat kata, transaksi elektronik (e-commerce)

lingkup privat lahir dari perjanjian antara para pihak.

Jika transaksi elektronik lingkup publik melibatkan

banyak pihak, yaitu antara negara dengan warga negara, maka

dalam transaksi elektronik lingkup privat terbatas pada para

pihak yang ada di dalamnya. Atau dengan kata lain, sifat dari

transaksi elektronik tersebut terbatas antara pihak yang berjanji

tersebut.

Hal tersebut juga sama dengan sifat perjanjian dalam

hukum perjanjian yang selama ini dipraktikan dalam suatu

transaksi antara para pihak. Di mana kalau seorang berjanji

melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum pada

hakikatnya ditujukan pada orang lain, meskipun yang

diperjanjikan adalah soal barang atau sesuatu hal, akan tetapi

pada dasarnya hubungan hukum timbul antara para pihak.85

Dipilah berdasarkan pada subyek hukum yang

menjalankan transaksi elektronik di atas, maka kelima subyek

84

Pasal 17 ayat (1) UU ITE jo Pasal 40 ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012. 85

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 7.

Page 34: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

72

hukum yang disebutkan di atas adalah para pihak yang selama

ini menjalankan transaksi elektronik (e-commerce) baik itu jual

beli barang, sewa-menyewa, atau pemakaian jasa menurut UU

ITE.

Sebgai contoh, dapat saja dikatakan bahwa, Perusahaan

A yang memproduksi celana Jeans membeli kain jeans dari

produsen kain jeans yang dalam hal ini Perusahaan B. Kedua

perusahaan tersebut melakukan transaksi melalui on line, yaitu

segala kontrak dan pembayaran dilakukan secara on line. Hal

tersebut adalah contoh transaksi elektronik (e-commerce) yang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha.

Sedangkan untuk contoh pelaku usaha dengan

konsumen, dapat saja dicontohkan dengan program Internetan

Super Murah dari Kartu AsTelkomsel, di mana para pengguna

jasa telepon seluler yang ingin menikmati tarif murah internet

melalui telepon seluer, maka dapat mengaksesnya lewat

menekan tombol *100*99#. Untuk selanjtnya pengguna kartu

AsTelkomsel dapat melakukan transaksi elektronik dengan

mengikuti syarat-syarat yang berlaku.

Contoh tersebut adalah praktik transaksi elektronik (e-

commerce) yang terjadi secara on line di mana pelaku usaha

melakukan transaksi elektronik dengan konsumen, di mana

Page 35: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

73

transaksi elektronik tersebut dapat terjadi apabila terjadi

kesepakatan antar kedua belah pihak.

Contoh menarik lainnya mengenai transaksi elektronik

lingkup publik dalam hal Instansi dengan pelaku usaha adalah

dalam kasus Federal Trade Commission (FTC) melawan

American Online, Inc., Compuserve, dan Prodigy Services

Corp.

Setelah munculnya keluhan-keluhan bahwa jasa-jasa

online ini tidak memberitahukan dengan semestinya kepada

konsumen, bahwa biaya secara otomatis akan dikenakan setelah

kadaluarsa suatu periode percobaan yang gratis. Padahal,

kontrak membutuhkan pemberitahuan yang jelas tentang semua

hal dan melarang penggambaran keliru atas barang yang

ditawarkan dengan syarat-syarat penawaran.86

Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa transaksi

elektronik lingkup privat sebagaimana diatur dalam UU ITE dan

PP No. 82 Tahun 2012 pada dasarnya adalah transaksi

elektronik yang dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian anatar

para pihak. Dengan kata lain, jika dilihat dari persepktif hukum

perdata jenis perikatan dalam transaksi elektronik lingkup privat

lahir dari sebuah perjanjian.

86

Abdul Halim Barkatullah. Op., Cit., hlm. 139.

Page 36: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

74

2. Asas-Asas E-Commerce Dalam UU ITE

Setelah mengetahui ruang lingkup dari transaksi

elektronik (e-commerce) dalam UU ITE, maka selanjutnya hal

yang akan dijelaskan adalah tentang asas hukum yang menjadi

dasar dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik (e-

commerce) yang terdapat dalam UU ITE dan aturan

pelaksanaannya yaitu PP No. 82 Tahun 2012.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada

dasarnya dalam suatu aktivitas e-commerce yang dilakukan

secara virtual tidak secara otomatis menghilangkan prinsip-

prinsip hukum yang ada sebelumnya.87

Seperti contoh dalam

perjajian jual beli secara online, asas-asas yang melandasi kedua

belah pihak untuk melakukan perjanjian pada dasarnya sama

seperti asas-asas hukum yang berlaku pula dalam hukum

perdata Indonesia.

Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan tentang asas-asas

hukum suatu aktivitas e-commerce berdasarkan pada kaidah-

kaidah atau aturan-aturan yang dituliskan di dalam UU ITE

maupun aturan pelaksanannya yakni PP No. 82 Tahun 2012.

2.1 Asas Personalia

Berbicara mengenai asas personalia, maka hal yang tidak dapat

dihindari adalah rumusan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang

87

Lihat Hasil Penelitian, Sub pokok 1.2 dan 1.3.

Page 37: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

75

berbunyi, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas

nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk

dirinya sendiri.”

Rumusan Pasal 1315 tersebut menjadi titik penting untuk

mengetahui letak dari asas personalia. Namun, apakah yang dimaksud

dengan asas personalia itu? Dari rumusan pasal tersebut dapat kita

ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh

seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi,

hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.88

Di dalam pengaturan mengenai transaksi elektronik dalam hal

ini e-commerce yang diatur dalam UU ITE, khususnya di dalam Pasal

18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik yang

dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Rumusan tersebut jelas, bahwa siapa saja dapat melakukan

perjanjian atas namanya sendiri, dan mengikat dirinya sehingga akan

melahirkan kewajiban atasnya. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa,

setiap orang bebas untuk melakukan e-commerce atas dan untuk

dirinya, dan terikat dalam perjanjian e-comemrce tersebut.

Oleh karena itu, UU ITE pun menyadari bahwa setiap orang

memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan siapa saja melalui

dunia maya, sehingga terikat oleh perjanjian itu, dan hal tersebut tidak

mungkin akan dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang.

88

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2003, hlm. 15.

Page 38: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

76

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Muljadi &

Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum

dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepetingan dirinya

sendiri, maka kewenangannya harus disertai bukti yang menunjukan

bahwa memang orang perorangan tersebut tidak membuat dan/atau

menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ”.89

Artinya, tidak mungkin seorang dapat terikat pada suatu

perjanjian yang bukan atas kehendaknya sendiri atau yang bukan

dilakukannya. Hal ini secara hukum juga dikenal dalam Hukum

Dagang, yakni pada Pasal 107 KUHD tentang wesel yaitu:

“Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya di dalam sesuatu

surat wesel sebagai wakil orang lain atas nama siapa ia berwenang

untuk bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat karena surat wesel

itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang

sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-

akibat yang sama berlaku abgi seorang wakil yang bertindak dengan

melampaui batas kewenangannya”.

Oleh karena itu, asas personalia dalam e-commerce menjadi

sangat penting terlebih aktivitas di dunia maya yang tidak mengenal

ruang dan waktu, sehingga asas ini harus diletakkan sebagai asas

fundamental dalam pelaksanaan transaksi elektronik (e-commerce).

Asas ini juga diterapkan dalam kegiatan e-commerce untuk

menjamin bahwa, orang yang sudah melakukan suatu perjanjian e-

commerce, maka atas orang itu terjadi perikatan yang menimbulkan hak

dan kewajiban atasnya.

89

Ibid, hlm. 15-16.

Page 39: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

77

Rumusan tentang asas personalia juga dapat ditemukan dalam

PP No. 82 Tahun 2012, di mana disebutkan bahwa, transaksi elektronik

yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum bagi para pihak.90

Artinya, pihak di sini adalah subyek hukum yang dapat melakukan

suatu perjanjian atas namanya sendiri. Sehingga, atas perjanjian itu

maka pihak tersebut harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan

dari perjanjian itu.

Dengan demikian, jelas bahwa e-commerce dalam UU ITE

maupun PP No. 82 Tahun 2012 tetap menggunakan asas Personalia

yang juga telah dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Asas ini

bertujuan untuk menjamin kegiatan e-commerce benar-benar dilakukan

oleh pihak yang berkepentingan.

2.2 Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas berkaitan dengan kesepakatan antara para

pihak dalam melakukan suatu perjanjian. Kesepakatan dari para pihak

tersebut menjadi titik penting, oleh karena dengan kesepakatan tersebut

maka suatu perjanjian dapat dikatakan sah, dan dapat melahirkan suatu

hak dan kewajiban bagi para pihak.91

Ketentuan mengenai asas konsensualitas sudah dikenal dalam

sistem hukum Indonesia yaitu dalam Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata,

yaitu untuk perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, dan syarat

yang pertama adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

90

Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012. 91

Ibid, hlm. 34.

Page 40: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

78

Rumusan itulah yang menjadi landasan yuridis bagi suatu

aktivitas perjanjian yang selama ini dilakukan. Namun, di dalam

konteks e-commerce yang merupakan suatu jenis perdagangan baru,

aturan tersebut tetap berlaku akan tetapi diatur tersendiri dalam

peraturan tentang itu.

Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU ITE

yang menyebutkan bahwa, kecuali ditentukan lain oleh para pihak,

transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm

pengirim telah diterima dan disetujui, dan selanjutnya persetujuan atas

penawaran transaksi elektronik harus dilakukan pernyataan penerimaan

secara elektronik.

Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang

akan melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) memerlukan

suatu kesepakatan. Jika para pihak sudah bersepakat, maka dapat

dikatakan bahwa suatu transaksi elektronik sudah terjadi.

Dalam hal ini, pernyataan kesepakatan harus dilakuakn melalui

suatu pernyataan penerimaan atau pernyataan persetujuan yang

dilakukan secara elektronik pula. Atau dengan kata lain, consensus

antara para pihak dalam transaksi elektronik (e-commerce) adalah

melalui suatu pernyataan elektronik.

Hal ini berbeda dengan perjanjian bisnis atau perjanjian jual beli

pada ruang nyata yang dapat dilakukan secara lisan. Mengingat e-

commerce dilakukan pada suatu ruang yang virtual, maka pernyataan

Page 41: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

79

secara elektronik diperlukan untuk mengetahui bahwa para pihak telah

bersepakat untuk melakukan transaksi elektronik (e-commerce).

Selain dari rumusan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU ITE, di dalam

Pasal 47 ayat (2) huruf a PP No. 82 Tahun 2012 juga secara eksplisit

mengatur bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila ada

kesepakatan para pihak.

Rumusan tersebut nampaknya merupakan penulisan kembali

atas rumusa Pasal 1320 KUHPerdata, yang memuat tentang syarat

sahnya suatu perjanjian. Artinya, hukum siber baik itu UU ITE maupun

PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan umbrella act bagi e-commerce

tetap mempraktikan prinsip hukum yakni asas konsensualitas yang

sudah dipraktikan juga sebelum lahirnya UU ITE dan Peraturan

Pelaksananya.

Oleh karenanya, asas konsensualitas dalam UU ITE maupun PP

No. 82 Tahun 2012 yang mengatur tentang e-commerce tetap

mendudukan asas konsensualitas sebagai salah satu asas penting untuk

dilangsungkannya suatu aktivitas e-commerce.

2.3 Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak juga

mendasarkan dirinya pada Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya angka 4

yaitu, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaiitu, syarat

keempat adalah suatu sebab yang tidak terlarang.

Page 42: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

80

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang

membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun

dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban

apa saj, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut

bukanlah sesuatu yang terlarang.92

Suatu sebab yang tidak terlarang dalam hal ini harus

memperhatikan pula ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang

oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesulilaan baik

atau ketertiban umum”.

Asas kebebasan berkontrak juga dapat dipahami dalam hal

berkaitan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak

memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan

dengan siapa seseorang akan mengadakan perjanjian, apa bentuk

perjanjian, serta memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk

menentukan isi perjanjian.93

Dalam konteks e-commerce UU ITE sendiri tidak menjabarkan

secara rinci asas kebebasan berkontrak sebagaimana mestinya.

Ketentuan tersebut justru ditemukan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf d PP

Nomor 82 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa, kontrak elektronik

dianggap sah apabila objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

92

Ibid, hlm. 46. 93

Christiana Tri Budhayati. Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia,

Universitas Kristem Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 48.

Page 43: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

81

Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa sejatinya dalam

sebuah e-commerce atau transaksi elektronik sekalipun, masih tetap

menggunakan asas kebebasan berkontrak yang selama ini juga

dijalankan dalam perjanjian-perjanjian konvensional.

Rumusan Pasal 47 ayat (2) huruf d PP No. 82 Tahun 2012 sudah

membuktikan bahwa, asas kebebasan berkontrak yang diakui dalam

KUHPerdata yang merupakan Lex Generalis hukum perdata Indonesia,

juga diakomodir di dalam transaksi elektronik (e-commerce). Sehingga,

suatu kontrak elektronik yakni e-commerce juga tetap menjalankan

prinsip atau asas kebebasan berkontrak bagi para pihak.

2.4 Asas Pacta Sunt Servanda

Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga

perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan

kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak

yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai

kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikat setara

dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.94

Sudah barang tentu, asas pacta sunt servanda tersebut

merupakan ekstraksi dari rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang

berbunyi, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dengan demikian, daya ikat dari perjanjian itu secara hukum hanya

94

Agus Yudha Hernoko, Ibid, hlm. 124.

Page 44: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

82

mengikat para pihak yang terdapat di dalam perjanjian itu, atau

perjanjian mengikat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para

pihak.

Pacta sunt servanda juga mempunyai pengertian bahwa suatu

pactum, yaitu persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah

sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu, menurut

hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu kontrak yang

mengikat.95

Dalam konteks e-commerce yakni suatu transaksi elektronik

sebagaimana diatur dalam UU ITE menyebutkan bahwa, transaksi

elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para

pihak.96

Dalam pengertian dengan asas pacta sunt servanda, maka

kontrak elektronik mengenai suatu e-commerce mengikat para pihak

yang terdapat di dalam kontrak/ perjanjian tersebut.

Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) tersebut memang pada

dasarnya tidak secara rinci meyebutkan mengenai daya berlaku dari

sebuah kontrak /perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338

KUHPerdata, namun dari bunyi Pasal 18 ayat (1) a quo secara inheren

mengandung prinsip pacta sunt servanda.

Dengan demikian, segala macam kontrak elektronik dalam suatu

e-comemerce harus tunduk pada prinsip pacat sunt servanda. Artinya,

para pihak yang sudah masuk ke dalam perjanjian tersebut, memiliki

95

Peter Mahmud Marzuki. Keberlakuan Doktrin Contra Proferentem Dalam Hukum Kontrak,

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 5. 96

Pasal 18 ayat (1) UU ITE.

Page 45: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

83

kewajiban secara hukum untuk patuh dan taat kepada isi dari perjanjian

tersebut.

Sejalan dengan itu pula, Christiana Tri Budhayati menggariskan

bahwa,

“asas pacta sunt servanda ini menunjukan adanya jaminan kepastian

hukum pada para pihak yang berjanji, para pihak akan terikat pada

apa yang diperjanjikan, terkandung makna bahwa ia tidak dapat

mengingkari apa yang telah diperjanjikan, pengingkaran tentu akan

mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan”.97

Dengan demikian, Penulis hendak mempertegas kembali bahwa

e-commerce menurut UU ITE, juga menerapkan asas pacta sunt

servanda bagi para pihak yang melakukan atau melaksanakan e-

commerce.

2.5 Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik berkiatan dengan pelaksanaan perjanjian, di

mana para pihak yang berada dalam suatu perjajian diharuskan untuk

menjalankan perjanjian itu dengan iktikad baik. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang menyebutkan, perjanjian harus

dilaksanakan dengan iktikad baik.

Dengan demikian secara tegas undang-undang mengharuskan

para pihak melaksanakan satu kewajiban hukum yang muncul karena

adanya perjanjian yakni bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan

iktikad baik.98

97

Ibid, hlm. 50. 98

Ibid, hlm. 51.

Page 46: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

84

Berkenaan dengan iktikad baik itu pula, Ridwan Khirandy

menyatakan bahwa, pengertian iktikad baik mempunyai dua dimensi,

yaitu dimensi subyektif yang berarti iktikad baik mengarah pada makna

kejujuran serta dimensi kedua adalah dimensi yang memaknai iktikad

baik sebagai rasionalitas dan kepatutan atau keadilan.99

Berkenaan dengan e-comemrce atau transaksi elektronik, di

dalam UU ITE disebutkan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi

elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau

pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama

transaksi berlangsung.100

Rumusan dalam Pasal 17 ayat (2) tersebut secara eksplisit

menegaskan bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik

(e-comemrce) untuk harus beriktikad baik, agar arus transaksi

elektronik tidak menimbulkan permasalahan yang akan merugikan para

pihak.

Sudah jelas bahwa, meskipun di era globalisasi seperti sekarang

di mana transaksi sudah dilakukan melalui transaksi elektronik di mana

para pihak tidak saling bertatap muka secara langsung, namun hukum

tetap mewajibkan bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik

tersebut untuk menerapkan asas iktikad baik.

Selain diatur dalam Pasal 17 ayat (2), ketentuan mengenai

iktikad baik juga dijumpai di dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a PP No. 82

99

Ridwan Khirandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Jakarta, 2003, hlm.

13. 100

Pasal 17 ayat (2) UU ITE.

Page 47: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

85

Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa, “penyelenggaraan transaksi

elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan iktikad

baik.”

Asas iktikad baik dalam transaksi elektronik (e-comemrce)

kembali dimunculkan dalam hukum formil dari UU ITE yakni PP No,

82 Tahun 2012, di mana para pihak yang melaksanakan transaksi

elektronik harus melakukan transaksi itu dengan iktikad baik. Artinya,

meskipun para pihak itu tidak pernah bertemu secara langsung untuk

membicarakan perihal perjanjian, namun hanya melalui transaksi

elektronik pun para pihak harus tetap beriktikad baik.

Rumusan kedua pasal tersebut, baik yang diatur di dalam UU

ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012, menunjukan bahwa kemajuan

teknologi informasi yang mana merubah cara melaksanakan suatu

perjanjian, yaitu melalui dunia maya sekalipun, tetap diwajibkan oleh

hukum bagi para pihak yang bertransaksi atau berjanji itu untuk tetap

menjalankan perjanjian atau transaksi elektronik dengan iktikad baik.

Berikut Penulis rumuskan dalam tabel asas-asas E-commerce

UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 dengan yang terdapat di dalam

KUHPerdata:

Page 48: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

86

Tabel 1. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas-asas UU ITE dan PP 82

Tahun 2102

KUHPerdata

Asas Personalia Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal

46 ayat (1).

Pasal 1315

Asas konsensualitas Pasal 20 ayat (2) dan (2)

jo pasal 47 ayat (2) huruf

a.

Pasal 1320

(1)

Asas kebebasan

berkontrak

Pasal 47 ayat (2) huruf d. Pasal 1320

(4)

Asas pacta sunt

servanda

Pasal 18 ayat (1) Pasal 1338

Asas iktikad baik Pasal 17 ayat (2) jo Pasal

46 ayat (2) huruf a

Pasal 1338

(3)

3. Sahnya Perjanjian E-Commerce Dalam Perspektif UU ITE

Di dalam melakukan suatu perjanjian, maka hal utama yang

harus dilakukan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya

atau berlakunya suatu perjanjian tersebut. Oleh karenanya, secara a

contrario jika syarat-syarat dalam perjanjian tidak dipenuhi maka suatu

perjanjian tidak dapat dikatakan sah atau berlaku, dan tidak akan

melahirkan hak dan kewajiban bagi siapapun.

Begitu pula dengan transaksi elektronik (e-commerce), sudah

barang tentu para pihak yang yang akan melakukan perjanjian dalam

Page 49: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

87

transaksi elektronik harus memenuhi syarat-syarat perjanjian, sehingga

perjanjian tersebut dapat menjadi sah dan dapat dilakukan transaksi

elektronik, yang akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak

tersebut.

Undang-undang ITE (UU No. 11 Tahun 2008) yang mengatur

tentang transaksi elektronik, tidak menguraikan secara rinci syarat

sahnya suatu perjanjian sehingga suatu transaksi elektronik dapat

dilakukan.

Dari Hasil Penelitian yang dilakukan, ketentuan dalam Bab V

UU ITE yang mengatur secara khusus tentang transaksi elektronik tidak

mengatur secara khusus tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara

elektronik (e-commerce).

Namun ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian

elektronik dalam hal ini suatu transaksi elektronik (e-commerce) diatur

di dalam Pasal 47 ayat (2), yang menyatakan, “kontrak elektronik

dianggap sah apabila:”

- Terdapat kesepakatan para pihak;

- Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang

mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

- Terdapat hal tertentu; dan

- Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Page 50: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

88

Rumusan mengenai syarat sahnya suatu kontrak elektronik di

atas pada dasarnya sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang

diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320

KUHPerdata juga merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi oleh

para pihak jika akan melakukan suatu perjanjian atau kontrak.

Oleh karena dalam syarat sahnya kontrak elektronik yang

mengatur tentang e-commerce sama dengan syarat kontrak atau

perjanjian pada umumnya, maka berikut ini akan diuraikan atau

dijelaskan keempat syarat tersebut.

Pertama, baik Pasal 47 ayat (2) maupun Pasal 1320

KUHPerdata mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak.

Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling

menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian

atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan

pernyataan pihak lain. 101

Secara umum kesepakatan antara para pihak tersebut berawal

dari penawaran dan penerimaan. Akan selalu ada pihak yang

menawarkan serta pihka yang menerima tawaran. Hal tersebut juga

sejalan dengan apa yang disampaikan oleh E. Allan Fansworth &

William F. Young bahwa, kesepakatan yang merupakan pernyataan

101

J.H. Niewenhuis-III., Op., Cit., hlm. 162.

Page 51: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

89

kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran

dan penerimaan.102

Begitu juga dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce),

kesepakatan para pihak yang dilakukan melalui kontrak elektronik

menjadi bukti bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan, sehingga

dapat dikatakan telah terjadi kesepakatan antara para pihak.

Penawaran yang disampaikan secara elektronik dapat diartikan

sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk

mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan

setuju dari pihak yang ditawari. Dalam transaksi elektronik, pernyataan

secara elektronik dianggap sebagai persetujuan atau telah terjadi

persesuaian kehendak atau kesepakatan para pihak, sehingga transaksi

elektronik (e-commerce) dianggap telah terjadi.

Berkaitan dengan kesepakatan itu pula, maka berlaku pula

prinsip kesepakatan bebas, artinya kesepakatan yang dibuat oleh para

pihak tersebut dilakukan dalam keadaan bebas merdeka tanpa paksaan,

buak karena khilaf atau karena penipuan. Hal tersebut sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,

tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena

kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Dalam kaitannya dengan kesepakatan para pihak dalam

transaksi elektronik, maka dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 82 Tahun

102

E. Allan Fansworth & William F. Young. Contracts (Cases & Materials), The Foundation

Press Inc. New York, 1980, hlm. 179-195.

Page 52: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

90

2012 telah ditetapkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan produk

secara elektronik harus memberikan informasi yang benar, jelas dan

lengkap mengenai produk tersebut.

Sehingga, jika pihak penerima akan memperoleh informasi yang

lengkap dan akan menuntunnya pada pernyataan bahwa ia akan

bersepakat atau setuju dengan apa yang ditawarkan, sehingga transaksi

elektronik dapat dilakukan.

Oleh karena itu, Penulis berpendapat di dalam transaksi

elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a tetap

memerlukan kesepakatan para pihak yakni melalui pernyataan

penerimaan secara elektronik untuk menyatakan bahwa suatu

kesepakatan telah terjadi.

Kedua, perihal kecakapan. Baik di dalam Pasal 1320

KUHPerdata maupun Pasal 47 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa,

salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan dari

para pihak. Kecakapan di sini adalah menyangkut kemampuan secara

hukum untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang

mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.

Kecakapan diukur berdasarkan subyek hukum yang

melakukannya, yakni jika itu adalah orang (person) akan dilihat dari

usia kedewasaan menurut hukum, dan jika itu adalah badan hukum

(rechtspersoon) akan dilihat dari aspek kewenangan.103

103

Ibid, hlm. 184.

Page 53: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

91

Seseorang yang sudah dinyatakan dewasa secara hukum, maka

orang tersebut dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan

hukum, dalam hal ini adalah perjanjian. Sedangkan untuk badan

hukum, maka yang akan dilihat adalah status (kesahan) badan hukum

tersebut, serta apakah badan hukum tersebut memang memiliki

kewenangan untuk melakukan suatu perjanjian.

Dalam konteks transaksi elektronik, kecakapan dari para pihak

menjadi kendala tersendiri, oleh karena dilakukan melalui dunia

virtual. Artinya, antara para pihak tidak dapat mengetahui secara pasti

apakah pihak yang akan diajak berjanji sudah cakap atau tidak.

Oleh karena itulah, di dalam Pasal 49 ayat (2) PP No. 82 Tahun

2012 mengharuskan agar setiap penyelenggara transaksi elektronik

untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada siapa saja

yang akan melakukan perjanjian dengannya.

Hal ini penting, mengingat jika dikemudian hari terbukti bahwa

salah satu pihak yang melakukan kontrak elektronik tersebut tidak

cakap, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Implikasi hukum

yang mungkin dapat timbul adalah, ada kemungkinan bahwa salah satu

pihak akan mengalami kerugian.

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah yang

dimaksud dengan kecakapan, dan hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal

1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan

tidak cakap adalah: orang-orang belum dewasa, mereka yang ditaruh

Page 54: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

92

dibawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal

yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang

dilarang undang-undang untuk melakukan perjanjian.104

Dengan demikian, perjanjian dalam suatu transaksi elektronik

tetap memerlukan kecakapan dari para pihak agar perjanjian tersebut

dapat dinyatakan sah. Untuk itu, para pihak dalam bertransaksi

diwajibkan untuk selalu memberitahukan informasi yang sebenar-

benarnya kepada sesama pihak yang akan bertransaksi secara

elektronik.

Ketiga, terdapat hal tertentu. Yang dimaksud dengan hal tertentu

adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan.

Artinya, dalam suatu perjanjian harus ada suatu hal yang diperjanjikan

oleh para pihak, sehingga hal tersebut akan menjadi prestasi sekaligus

kontrprestasi bagi masing-masing pihak.

Sejalan dengan itu, perlu diperhatikan Pasal 1332 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja

yang dapat menjadi pokok perjanjian. Rumusan tersebut hendak

menjelaskan bahwa, dalam perjanjian harus ada hal yang diperjanjikan.

Hal ini penting untuk mengetahui sejauh mana para pihak akan

melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar kewajibannya terpenuhi.

Atau dengan kata lain, hal tertentu yang diperjanjikan harus diketahui

104

Mengenai substansi terakhir telah dihapus berdasarkan SEMA Nomor. 3 Tahun 1963 dan

Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Page 55: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

93

oleh para pihak sehingga segala tindakan yang akan dilakukan nanti

dapat terukur atau pasti.

Keempat, kausa yang diperbolehkan. Dalam bahasa UU ITE hal

tersebut disebutkan sebagai objek perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban

umum.

Di dalam menentukan suatu hal tertentu yang akan menjadi

objek perjanjian, maka para pihak diwajibkan untuk melihat dan

menentukan apakah objek yang diperjanjikan tersebut merupakan

sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau tidak, atau hal itu tidak

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Perjanjian secara elektronik yang akan melaksanakan suatu

transaksi elektronik pun mensyaratkan agar suatu hal yang

diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketetiban umum. Hal ini akan berimplikasi pada

batalnya perjanjian itu.

Artinya, jika dalam suatu transaksi elektronik diperjanjikan

suatu objek yang senyatanya bertentangan dengan apa yang dilarang,

maka dengan sendirinya perjanjian tersebut sejak awal dianggap tidak

pernah ada (never existed) atau batal demi hukum.

Dengan demikian, para pihak dalam suatu transaksi elektronik

jika ingin agar perjanjian yang dilakukannya tetap sah, maka syarat

Page 56: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

94

keempat tersebut pun harus diperhatikan dan dijalankan sebagaimana

mestinya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis melihat bahwa

secara hukum, syarat sahnya suatu perjanjian e-commerce menurut UU

ITE adalah sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana

terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia.

Berikut akan digambarkan sahnya perjanjian E-commerce dalam

tabel berikut ini:

Tabel 2. Syarat Sahnya Perjanjian

Sahnya

Perjanjian

UU ITE KUHPerdata

Pasal 47 ayat (2)

yaitu:

a. kesepakatan para

pihak

b. adanya kecakapan

para pihak

c. terdapat hal

tertentu

d. objek transaksi

tidak boleh

bertentangan dengan

peraturan

perundang-

undangan.

Pasal 1320, yaitu:

- Kesepakatan para pihak

- kecakapan yang

membuat janji

- terdapat hal tertentu

- causa yang halal

Page 57: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

95

4. E-Commerce Internasional Menurut UU ITE

Karakter e-commerce berupa kemampuan untuk melintasi batas

antar negara menyebabkan pengaturannya menjadi persoalan kebijakan

dan hukum perdagangan Internasional. Paling tidak persoalan berkaitan

dengan sifat dan substansi hukum yang dapat diterapkan adalah

persoalan yurisdiksi dan pelaksanaanya yang berkaitan dengan transaksi

online perlu dipecahkan secara memuaskan sesuai keinginan agar media

tersebut mendapatkan kepercayaan dan dapat diterima lebih luas oleh

pihak-pihak dari negara berbeda.105

Dalam hal e-commerce yang dilakukan lintas negara, maka hal

yang akan menjadi permasalahan adalah selalu berkisar pada dua hal,

yaitu menyangkut pilihan hukum yang akan berlaku bagi para pihak dan

pilihan forum pengadilan yang akan menyelesaikan sengketa yang

mungkin akan terjadi.

Oleh karena itu, di dalam e-commerce internasional

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa,

“para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku

bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Ketentuan

tersebut secara jelas menunjukan bahwa, e-commerce berskala

internasional yang dilakukan oleh para pihak harus memperhatikan

pilihan hukum yang akan mengikat bagi para pihak tersebut.

105

Assafa Endeshaw. Hukum E-Commerce Dan Internet Dengan Fokus Di Asia pasifik,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 254.

Page 58: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

96

Para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik

internasional lah yang akan menentukan hukum mana yang berlaku

bagi transaksi elektronik internasional tersebut. Hal ini berarti, UU ITE

sudah membatasi secara tegas bagi para pihak untuk harus melakukan

kesepakatan mengenai pilihan hukum (choice of law) yang akan

mengikat bagi para pihak.

Namun, apabila ternyata para pihak dalam transaksi elektronik

internasional tersebut tidak menentukan pilihan hukum bagi mereka,

maka hukum perdata internasioanl berlaku secara otomatis.106

Artinya, untuk menentukan yurisdiksi hukum negara manakah

yang akan mengikat bagi transaksi elektronik internasional tersebut

dapat dilihat dari domisili para pihak, kewarganegaraan, atau tempat

menjalankan usaha, atau tempat di mana kontrak elektronik dilakukan.

Oleh karena itu, meskipun para pihak tidak menentukan pilihan

hukum dalam transaksi elektronik internasional, tidak berarti bahwa

terjadi kekosongan hukum dan akan menimbulkan masalah hukum,

sebab yang berlaku secara otomatis adalah asas hukum perdata

internasional dalam menentukan pilihan hukum untuk itu.

Selain pilihan hukum (choice of law) bagi para pihak dalam

melakukan suatu transaksi elektronik internasional, hal penting lain

yang harus diperhatikan dalam e-commerce internasional adalah pilihan

106

Pasal 18 ayat (3) UU ITE.

Page 59: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

97

forum yang akan menyelesaikan sengketa yang akan timbul dari

perjanjian tersebut.

Di dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE disebutkan bahwa, “para

pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,

arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang

berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi

Elektronik internasional yang dibuatnya.”

Rumusan tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan mengenai

pilihan hukum bagi para pihak dalam melakukan transaksi elektronik

internasional sebagaimana diatru dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3)

UU ITE. Artinya, kewenangan sepenuhnya mengenai pilihan forum

(choice of forum) yang akan dipakai menyelesaikan sengketa tergantung

pada kesepakatan dari para pihak.

Sehingga, jika dalam suatu transaksi elektronik internasional di

mana para pihaknya sudah menentukan tempat akan diselesaikannya

sengketa, maka tempat yang dipilih dalam perjajian tersebutlah yang

akan memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.

Sebagai contoh, dalam isi perjanjian antara PT. Waskita Karya

dengan PT. Manunggal, menyatakan klausula bahwa apabila di

kemudian hari timbul sengketa dalam perjanjian ini, maka sengketa

akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan pada

klausul tersebut, maka yang berwenang menangani perkara di dalam

Page 60: BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8374/4/T1_312012708_BAB III... · penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan

98

perjanjia elektronik internasional antara kedua pihak adalah Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.

Sebaliknya, jika ternyata para pihak dalam transaksi elektronik

internasional tidak mencantukan pilihan forum (choice of forum) untuk

penyelesaian sengketa, maka yang akan berlaku adalah prinsip-prinsip

hukum perdata internasioan.

Hal tersebut sama halnya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3)

tentang tidak dicantumkannya pilihan hukum oleh para pihak dalam

transaksi elektronik internasioan. Maka, asas hukum perdata

internasional yang berlaku secara otomatis.