BAB III ANALISIS...BAB III. ANALISIS. A. POLA PERJANJIAN KARTEL 1. Subjek dan Objek dari Perjanjian...
Transcript of BAB III ANALISIS...BAB III. ANALISIS. A. POLA PERJANJIAN KARTEL 1. Subjek dan Objek dari Perjanjian...
BAB III
ANALISIS
A. POLA PERJANJIAN KARTEL
1. Subjek dan Objek dari Perjanjian Kartel
a. Subjek
Subjek dari perjanjian kartel adalah pelaku usaha, dalam Pasal 1 ayat (5) UU
No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, pengertian pelaku usaha adalah:
“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian penyelenggaraan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi”.
Menurut Abdul Halim dalam bukunya yang berjudul “Hak-Hak
Konsumen” dimana yang termasuk dalam pelaku usaha adalah Perusahaan,
BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain. Pelaku usaha
dibagi menjadi dua yaitu pelaku usaha yang melakukan kartel dengan pelaku
usaha pesaingnya (yang tidak ikut dalam perjanjian kartel).
Sedangkan pelaku usaha yang ikut dalam perjanjian kartel ada dua jenis,
yang pertama pelaku usaha yang memiliki bidang usaha sejenis dengan pelaku
usaha yang memiliki satu rantai distribusi. Berikut akan diuraikan jenis pelaku
usaha dalam gambar.
Gambar 1
Jenis Pelaku Usaha
Berikut akan dijelaskan siapa saja subjek dari setiap perjanjian, mulai dari
pelaku usaha yang melakukan kartel dan termasuk dalam bidang usaha sejenis
atau merupakan satu rantai distribusi.
(a) Putusan Perkara Nomor: 10/KPPU-L/2005 tentang Kartel
Perdagangan Garam ke Sumatera Utara
Pelaku usaha yang melakukan kartel antara lain:
- Terlapor I, Perseroan Terbatas Garam (Persero) (PT Garam)
- Terlapor II, Perseroan Terbatas Budiono Madura Bangun Perkasa (PT
Budiono),
- Terlapor III, Perseroan Terbatas Garindo Sejahtera Abadi (PT
Garindo)
- Terlapor IV, Perseroan Terbatas Graha Reksa Manunggal (PT Graha
Reksa)
- Terlapor V, Perseroan Terbatas Sumatera Palm Raya (PT Sumatera
Palm),
- Terlapor VI, Usaha Dagang Jangkar Waja (UD Jangkar Waja)
- Terlapor VII, Usaha Dagang Sumber Samudera (UD Sumber
Samudera)
Pelaku usaha
Bidang Usaha
Sejenis
Pelaku kartel Pesain
g
Satu Rantai
Distribusi
Dalam perjanjian ini, pelaku usaha yang melakukan kartel, termasuk
dalam jenis satu rantai distribusi, dimana G3 merupakan distributor dan G4
merupakan retail. Sedangkan diluar G3 dan G4 merupakan pelaku usaha pesang.
(b) Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007 tentang Kartel SMS
Pelaku usaha yang melakukan kartel SMS ini adalah:
- PT Excelcomindo Pratama, Tbk
- PT Telekomunikasi Selular
- PT Indosat, Tbk
- PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk
- PT Hutchison CP Telecommunication
- PT Bakrie Telecom, Tbk
- PT Mobile-8 Telecom
- PT Smart Telecom
- PT Natrindo Telepon Seluler
Perjanjian ini merupakan perjanjian horisontal antara pelaku usaha yang
memiliki produk sejenis, antara operator yang telah memiliki nama besar di pasar
(incumbent) dengan operator pendatang baru (new entrant).
(c) Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010 tentang Penetapan
Harga dan Kartel Dalam Industri Semen
Pelaku usaha yang melakukan kartel Semen ini adalah:
- Terlapor I, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk,
- Terlapor II, PT Holcim Indonesia, Tbk,
- Terlapor III, PT Semen Baturaja (Persero),
- Terlapor IV, PT Semen Gresik (Persero) Tbk,
- Terlapor V, PT Semen Andalas Indonesia,
- Terlapor VI, PT Semen Tonasa,
- Terlapor VII, Semen Padang,
- Terlapor VIII, PT Semen Bosowa Maros
Perjanjian ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dalam kartel semen ini
merupakan pelaku usaha dengan satu rantai distribusi, antara produsen dengan
distributor.
(d) Putusan Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2013 tentang Kartel
Impor Bawang Putih.
Pelaku usaha yang melakukan kartel Bawang Putih adalah
- Terlapor I, CV Bintang,
- Terlapor II, CV Karya Pratama
- Terlapor III, CV Mahkota Baru,
- Terlapor IV, CV Mekar Jaya
- Terlapor V, PT Dakai Impex
- Terlapor VI, PT Dwi Tunggal Buana
- Terlapor VII, PT Global Sarana Perkasa,
- Terlapor VIII, PT Lika Dayatama,
- Terlapor IX, PT Mulya Agung Dirgantara,
- Terlapor X, PT Sumber Alam Jaya Perkasa,
- Terlapor XI, PT Sumber Roso Agromakmur
- Terlapor XII, PT Tritunggal Sukses,
- Terlapor XIII, PT Tunas Sumber Rezeki
- Terlapor XIV, CV Agro Nusa Permai
- Terlapor XV, CV Kuda Mas
- Terlapor XVI, CV Mulia Agro Lestari
- Terlapor XVII, PT Lintas Buana Unggul,
- Terlapor XVIII, PT Prima Nusa Lentera Agung
- Terlapor XIX, PT Tunas Utama Sari Perkasa
Pelaku usaha dalam perjanjian kartel bawang putih ini, merupakan jenis
perjanjian horisontal antara pelaku usaha sejenis.
(e) Putusan Perkara Nomor: 08/KPPU-L/2014 tentang Kartel Ban
Roda Empat
Pelaku usaha yang melakukan kartel Ban Roda Empat ini adalah:
- Terlapor I, PT Bridgestone Tire Indonesia,
- Terlapor II, PT Sumi Rubber Indonesia,
- Terlapor III, PT Gajah Tunggal, Tbk.,
- Terlapor IV, PT Goodyear Indonesia, Tbk.,
- Terlapor V, PT Elang Perdana Tyre Industry,
- Terlapor VI, PT Industri Karet Deli,
Dalam perjanjian kartel Ban Roda Empat, merupakan jenis pelaku usaha
yang memiliki bidang usaha sejenis. Dimana mereka para pelaku usaha yang
melakukan kartel merupakan produsen produk yang sama yaitu Ban.
b. Objek
Konsumen kerap kali menjadi objek semata bagi pencarian keuntungan
pelaku usaha, dimana konsumen berada pada posisi tawar yang lemah dan
semakin melemah, hal ini disebabkan karena: (1) terdapat lebih banyak produk,
merek, dan cara penjualannya, (2) daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih
banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum diketahui semua
orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi
dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada macam-macam
pelaku usaha, (6) iklan yang menyesatkan, (7) wanprestasi oleh pelaku usaha.1
Pasal 1 ayat (15) UUPK yang dimaksud dengan konsumen adalah
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Berbeda dengan pengertian konsumen dalam UU Anti Monopoli, dalam Pasal 1
ayat (15) yang dimaksud dengan konsumen adalah
“Setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik
untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”
Perbedaaannya terlihat dalam kalimat terakhir yang menjelaskan bahwa dalam
UUPK konsumen adalah pemakai barang atau jasa terakhir, barang atau jasa
tersebut bukanlah untuk diperjualbelikan. Sedangkan dalam UU Anti Monopoli,
tidak ada kalimat “tidak unntuk diperjualbelikan”, jadi konsumen menurut UU
Anti Monopoli bukan semata-mata hanya sebagai pengguna terakhir. Gambar
berikut akan menjelasakan tentang konsumen dalam UU Anti Monopoli.
1 Abdul Halim, Hak-hak konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, h.9.
Gambar 2
Bentuk Konsumen
Dalam hukum perlindungan konsumen, konsumen adalah sebagai subjek.
Yang dimaksud dengan konsumen dalam hal ini adalah end user (pengguna
terakhir), yaitu orang yang membeli barang dari produsen atau pelaku usaha untuk
kepentingan tertentu baik untuk diri sendiri, keluarga, orang lain bahkan makhluk
hidup lain dengan tujuan tidak untuk memperjualbelikannya. istilah “orang”
sebenarnya menimbulkan pertanyaan, apakah hanya orang sebagai individual
(natuurlijke person) atau termasuk juga badan hukum (rechts person). Menurut
AZ. Nasution, orang yang dimaksud adalah orang alami bukan badan hukum.
Sebab yang memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa
untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain tidak
untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.2
Sedangkan konsumen dalam ranah hukum persaingan usaha adalah
sebagai objek. Dimana dalam hal ini konsumen dibagi menjadi dua, yang pertama
konsumen sebagai end user, yaitu konsumen melakukan pembelian untuk
dikonsumsi sendiri, ataupun untuk keluarga, orang lain atau makhluk hidup lain
2 AZ. Nasution, Perlindungan Hukum Konsumen, Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-LN
1999 No. 42, Makalah Disampaikan Pada Diklat Mahkamah Agung, Batu Malang, 14 Mei 2001,
h.5.
Konsumen
End user Pelaku Usaha
Produsen
Retailer Distributor
dan tidak bretujuan untuk memperjualbelikan. Yang kedua adalah konsumen
sebagai pelaku usaha, dimana konsumen membeli barang dan atau jasa bukan
untuk dikonsumsi sendiri melainkan untuk diperjualbelikan kembali. Konsumen
sebagai pelaku usaha mencakup distributor dan retailer. Konsumen dalam hal ini
adalah konsumen dalam ranah hukum persaingan usaha.
Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat perbedaan kedudukan konsumen
dalam ranah hukum perlindungan konsumen dengan ranah hukum persaingan
usaha. Dimana dalam ranah hukum persaingan usaha pengertian konsumen cukup
luas dibandingkan dalam ranah hukum perlindungan konsumen.
2. Terbentuknya Kartel Dalam Setiap Putusan
(a) Putusan Perkara Nomor: 10/KPPU-L/2005 tentang kartel perdagangan
Garam ke Sumatera Utara
Bahwa kebutuhan garam bahan baku di Sumatera Utara dipasok hanya oleh
3 (tiga) perusahaan yaitu PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo yang dikenal
dengan istilah “G3”. G3 menjual garam bahan baku secara kontinu kepada PT
Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera
yang dikenal dengan istilah “G4” dan sesama anggota G3 sendiri.
Perusahaan pengolah garam di luar G4 sangat bergantung pasokannya dari
G3. Perusahaan pengolah garam tersebut mengalami kesulitan untuk membeli
garam bahan baku secara langsung dan kontinu dari G3. Apabila dapat membeli
langsung dari G3 maka perusahaan pengolah garam tersebut mendapatkan harga
yang lebih tinggi dibanding harga yang diberikan G3 kepada G4. Dengan
ketergantungangannya perusahaan pengolahan garam diluar G4, maka G3
membuat perjanjian kartel dengan memberikan harga yang tinggi. Perjanjian ini
dilakukan secara tidak tertulis diantara para terlapor.
(b) Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007 Tentang kartel SMS
Kegiatan Telekomunikasi di Indonesia awalnya dikuasai oleh negara
melalui BUMN, yaitu PT Telkom, Tbk. yang sampai tahun 2006 sahamnya
dimiliki oleh pemerintah sebesar 51,19%. Pada awal periode tahun 1994-2004
SMS hanya dapat dilakukan ke sesama operator saja, baru sekitar tahun 2000-
2001 SMS antar operator mulai diberlakukan. Perbedaan tarif SMS on-net
(sesama operator) dan off-net (lintas operator) terjadi pada tahun 2004 keatas.
Para operator incumbent (Telkomsel, Indosat, dan XL) membuat
perjanjian secara tertulis dengan membuat kalusul yang harus disepakati antara
ketiganya dan para operator new entrant. Kalusul tersebut berisi tentang
penetapan tariff SMS off net yang tidak boleh lebih rendah dari Telkomsel,
Indosat, dan XL, yaitu sebesar Rp.250.
Klausul penetapan tarif minimal tersebut dilakukan guna menjaga tidak
melonjaknya traffic SMS dari operator new entrant kepada operator incumbent.
Tarif SMS minimal sangat dikehendaki oleh para operator incumbent untuk
menjaga pangsa pasar dan kalusul tariff SMS tersebut dapat dipaksakan oleh
operator incumbent kepada operator new entrant dengan menggunakan posisi
tawarnya yang lebih kuat karena memiliki jumlah pelanggan yang lebih banyak.
Operator new entrant terpaksa menerima klausul tersebut karena operator new
entrant memerlukan interkoneksi dengan operator incumbent.
Penetapan yang dilakukan oleh Telkomsel, Indosat dan XL bertujuan agar
para operator baru tidak melakukan banting harga dan melakukan promosi besar-
besaran untuk mendapatkan konsumen. Apabila terjadi banting harga oleh
operator baru, maka dapat dipastikan akan terjadi distorsi pasar. Dampak dari
banting harga ini juga dapat menimbulkan spamming SMS melalui broadcasts
oleh mesin SMS yang biasanya digunakan untuk promosi produk.
(c) Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010 tentang Penetapan Harga
dan Kartel Dalam Industri Semen.
Industri semen yang di maksud dalam putusan ini, memiliki kegiatan
usaha dengan menambang atau menggali dan/atau mengolah bahan-bahan mentah
tertentu menjadi bahan pokok yang diperlukan guna pembuatan semen atau
produk lainnya, mengolah bahan-bahan pokok tersebut menjadi berbagai macam
semen (portland, semen putih dan lainnya) serta mengolah berbagai macam
semen atau produk lainnya atau lebih lanjut menjadi barang-barang jadi lebih
bermanfaat
Produsen semen dengan para distributornya melakukan pengaturan
wilayah pendistribusian dan pemasaran produk terhadap para distributornya
dengan maksud untuk penataan dan kelancaran berkaitan dengan pendistribusian
produk dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini dilakukan untuk
meratakan pasokan agar tidak memperebutkan konsumen.
Produsen dengan para distributornya bekerjasama untuk mendistribusikan
produk semen yang dihasilkannya. Dalam perjanjian distribusinya, memuat antara
lain distributor wajib untuk tidak menjual/memasarkan semen produksi
produsennya ke daerah lain selain dari yang telah dibagi dan ditentukan
sebelumnya. Perjanjian kartel ini dilakukan secara tertulis melalui rapat ASI
(Asosiasi Semen Indonesia) yang harus di setujui oleh para anggotanya.
(d) Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013 tentang kartel impor
bawang putih.
Pelaku usaha dalam kartel bawang putih ini bersekongkol dengan
Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Kemeterian Pertanian dan
Kementerian Perdagangan. Pemerintah membuat kebijakan dengan menerapkan
pengaturan volume impor dan dengan memilih siapa saja pelaku usaha yang dapat
melakukan import bawang putih. Pemerintah disini sebagai fasilitator dimana
pemerintah memfasilitasi kartel antar pelaku usaha.
Proses kartel importasi bawang putih telah menyebabkan berkurangnya
import yang juga berdampak pada kelangkaan pasokan bawang putih di dalam
negeri. Konsentrasi importir hanya pada beberapa pelaku usaha karena adanya
cross ownership (kepemilikan silang) dan juga jabatan rangkap mendorong
struktur pasar bawang putih mengarah pada struktur pasar oligopoli dengan hanya
beberapa pelaku usaha. Pemerintah melakukan perjanjian kartel ini secara lisan,
tidak ada perjanjian secra tertulis.
(e) Putusan Perkara Nomor: 08/KPPU-L/2014 Tentang Kartel Ban roda
empat.
Pasokan ban dipenuhi oleh pabrik ban yang telah memiliki kerjasama
dengan pabrik kendaraan bermotor. Kerjasama langsung dilakukan oleh Produsen
kendaraan bermotor dalam hal ini Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM)
dengan produsen ban. Dalam rapat Presidium, anggota APBI membuat suatu
kesepakatan yang isinya “Anggota APBI jangan melakukan banting membanting
harga”. Kesepakatan yang dilakukan ini adalah secara lisan.
Kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan oleh Para Terlapor. Jika Para
Terlapor tidak melakukan apa yang didiskusikan dalam Rapat Presidium tersebut,
APBI akan memberikan sanksi yang bersifat memaksa bagi Para Terlapor, karena
apabila satu pabrikan satu merek membanting harga, yang terkena kerugiannya
adalah merek dengan harga yang di bawah. Padahal, harga itu sama-sama
bertahap. Jadi jika misalnya banting harga diikuti dengan harga yang lain maka
akan mengakibatkan harga menjadi tidak adil dan semua tidak dapat menjual
produk.
3. Dampak Dari Terbentuknya Kartel
Perlu diketahui tentang perlunya tercipta suatu iklim persaingan usaha
yang sehat. Persaingan usaha yang sehat akan memberikan manfaat positif bagi
perekonomian. Dengan terbentuknya kartel akan memberikan dampak negatif
bagi pelaku usaha maupun konsumen. Berikut akan dijelaskan tentang dampak
kartel bagi subjek (pelaku usaha) maupun objek (konsumen).
a. Bagi Subjek
Persaingan usaha yang sehat akan mendorong terciptanya efisiensi
produksi dan alokasi input, serta akan mendorong para pelaku usaha atau
produsen untuk memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk pula
infrastruktur produksi. Situasi semacam itu tidak akan terwujud apabila pelaku
usaha melakukan kartel.
Sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim persaingan
adalah ketidakpastian bisnis. Tidak sedikit nama-nama besar perusahaan dunia
akhirnya tenggelam akibat semakin tingginya intensitas persaingan. Ada ribuan
perusahaan-perusahaan besar yang sudah tidak lagi terdengar namnya karena
begitu ketatnya persaingan bisnis. Inovasi adalah segalanya, bahwa siapapun
mereka yang unggul dalam inovasi yang akan mampu bertahan.
Lalu manfaat apa yang pelaku usaha dapatkan dengan membentuk kartel?
sebenarnya tidak ada sama sekali manfaatnya, mereka hanya mencoba untuk
bertahan dalam pasar. Mereka mungkin masih bisa melakukan ekspansi bisnis,
tetapi tidak satupun diantaranya yang berpeluang menjadi perusahaan level dunia,
mereka hanya sekedar bisa memutar uang. Manfaatnya mungkin hanya karena
mereka bisa bertahan dalam pencapaian yang telah ada.
Dengan adanya kartel, pelaku usaha dapat mengendalikan harga,
meningkatkan keuntungan, serta menguasai pangsa pasar. Tujuan dari kartel
sendiri adalah menghilangkan persaingan untuk mendapatkan keuntungan yang
lebih besar.
Gambar 3
Dampak kartel bagi pelaku usaha
Mengendalikan
harga
Meningkatkan
keuntungan
Menguasai
pangsa pasar
Dalam putusan kartel garam terlihat bahwa kebutuhan garam bahan baku
ke Sumatera Utara hanya dipasok tiga perusahaan yang disebut dengan G3, oleh
karena tidak adanya produsen lain diluar G3 maka untuk mendapatkan
keuntungan yang tinggi para anggota G3 menetapkan harga dengan membuat
perjanjian kartel dengan memberikan harga yang tinggi kepada retail lain di luar
G4.
Dalam putusan kartel SMS, para operator mengendalikan harga dengan
melakukan penetapan tarif SMS off net. Karena semakin banyaknya operator-
operator baru yang ingin mencari pelanggan atau konsumen melakukan tarif
promo bahkan melakukan praktik banting harga. Dengan melakukan hal tersebut
pelaku usaha yang melakukan tarif promo dan banting harga akan merugi
sedangkan mereka yang tidak melakukan peraktik tersebut tidak akan rugi dalam
hal finansial tetapi mereka akan kehilangan konsumen. Dengan situasi tersebut
para pelaku usaha baik new entrant ataupun incumbent menetapkan tarif SMS
minimal agar mereka tidak merugi dan mendapatkan keuntungan yang besar.
Kartel semen juga mengindikasikan adanya pengendalian harga dengan
membuat pola harga yang paralel, dimana produsen dan distributor melakukan
perjanjian untuk melakukan penetapan harga yang tinggi dan setiap kenaikan
harga satu pelaku usaha, pelaku usaha yang lain juga melakukan kenaikan harga.
Hal ini terjadi karena pelaku usaha memiliki pasokan dan biaya per ton cukup
rendah dibandingkan dengan pesaingnya.
Permintaan konsumen bersifat downward sloping yang artinya penurunan
harga akan meningkatkan permintaan, dan sebaliknya kenaikan harga akan
mengurangi permintaan. Dengan adanya kartel, pelaku usaha dapat
mengendalikan dan menetapkan harga tinggi tanpa harus takut permintaan turun,
oleh karena itu pelaku usaha dapat mendapatkan keuntungan yang besar.
Seluruh produsen ban tergabung dalam satu asosiasi yang disebut dengan
APBI, adanya rapat APBI memerintahkan anggotanya untuk mengontrol produksi
dan tidak melakukan praktik banting harga. Hal ini dikarenakan supaya harga
dapat dikendalikan dan dinaikkan dengan tinggi mengingat semua produsen ban
adalah anggota APBI. Dengan kenaikkan harga tersebut produsen ban akan
memperoleh keuntungan yang tinggi tanpa harus takut kehilangan konsumen.
Dengan mengendalikan harga dan meningkatkan keuntungan, pelaku
usaha yang melakukan kartel secara otomatis dapat mengausai pangsa pasar.
b. Bagi Objek
Praktik kartel memberikan dampak yang tidak baik dalam masalah
perlindungan konsumen. Kegiatan kartel semacam ini justru melemahkan posisi
konsumen dibandingkan dengan pelaku usaha. Konsumen hanya menjadi objek
yang sering dieksploitasi hak-haknya. Dengan terbentuknya kartel, pelaku usaha
dapat menaikkan harga dan mengatur produksi sesuai keinginan, dengan kondisi
seperti ini konsumen merasa dirugikan karena yang dikehendaki konsumen adalah
mendapatkan harga yang relatif rendah dengan produk dan pelayanan yang baik.
Kartel menyebabkan konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang
bersaing, dan pelayanan yang baik. Perjanjian semacam ini menyebabkan
persaingan usaha menjadi tidak stabil.
Hal tersebut akan menjadi sangat merugikan bagi konsumen, apabila
terjadi pada pelaku usaha-usaha tertentu yang sangat dibutuhkan, misalnya kartel
tersebut terjadi pada bisnis obat-obatan. Jika terjadi kartel disana maka
masyarakat sebagai konsumen akan dihadapkan dengan harga dan pilihan yang
tidak wajar karena tidak adanya persaingan dan ada pengupayaan untuk
menghilangkan persaingan sehingga masyarakat yang seharusnya mendapatkan
pelayanan terhadap kesehatan menjadi tak terjangkau bagi mereka. Atau dengan
kata lain mau tidka mau karena kebutuhan yang mendesak maka akan tetap
membeli dengan keterpaksaan.
Praktik kartel dalam bentuk apapun pasti akan berujung pada kondisi yang
merugikan konsumen. Sekalipun praktik tersebut diatur oleh pemerintah, kecuali
praktik kartel dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah yang notabene tidak
selalu berorientasi untuk mengejar laba. Kartel akan menutup adanya peluang bagi
masukknya inovasi maupun perusahaan pendatang baru yang bisa menawarkan
harga lebih murah dan pelayanan serta produksi yang lebih baik, sehingga akan
mampu menciptakan harga yang lebih efisien.
Dampak yang dirasakan oleh konsumen dari adanya kartel adalah
konsumen akan mendapatkan harga yang relatif tinggi dibandingkan jika tidak ada
kartel. Dalam putusan garam, jelas terlihat bahwa dalam isi perjanjian G3
memberikan harga yang lebih mahal kepada konsumen diluar G4.
Penetapan tarif SMS off net juga dialami oleh konsumen, dimana dengan
adanya penetapan tarif SMS off net pelaku usaha tidak akan merasa tersaingi oleh
para pesaingnya sehingga mereka tidak akan menurunkan harga untuk
mendapatkan konsumen. hal ini menyebabkan konsumen merugi karena
mendapatkan harga yang tinggi.
Dalam putusan semen, konsumen juga mendapatkan harga yang tinggi
dimana setiap keniakan harga satu pelaku usaha, pelaku usha lain juga akan
meniakkan harga. Kenaikan harga ini terjadi secara sistematis. Begitupun yang
terjadi pada kartel bawang putih.
Sedangkan dalam kartel ban, konsumen dirugikan karena adanya harga
yang tinggi disebabkan oleh para anggota APBI melakukan perjanjian untuk
penetapan harga yang tinggi dan tidka melakukan praktik banting harga.
Mengingat semua produsen ban tergabung dalam APBI menyebabkan karena
kebutuhan yang mendesak konsumen terpaksa membeli dengan harga yang relatif
mahal.
4. Pola Perjanjian
(a) Putusan Perkara Nomor: 10/KPPU-L/2005 tentang kartel
perdagangan Garam ke Sumatera Utara
Gambar 4
Pola Perjanjian Kartel Garam
Produse
n
Retail
er
Perjanjian
Kartel
Harga produk PT
Garam lebih tinggi Mengatur
jumlah pasokan
Menetapkan harga
jual secara sistematis
dan teratur
Produsen Memberikan harga
kepada kepada beberapa retailer
lebih murah
Produse
n
Perjanjian
Kartel
Dalam putusan ini ditemukan adanya perjanjian kartel antara produsen
dengan produsen yang isinya menetapkan harga produk dari satu produsen lebih
tinggi serta penguasaan atas jumlah pasokan ke Sumatera Utara. Dan perjanjin
antara produsen dengan retailer dimana isi dari perjanjian itu berupa pemberian
harga jual yang sistematis dan teratur kepada sejumlah retailer dan dengan
memberikan harga yang lebih rendah kepada sejumlah retailer yang bersepakat
melakukan kartel di banding dengan retailer lain yang tidak ikut kartel.
(b) Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007 Tentang kartel SMS
Gambar 5
Pola Perjanjian Kartel SMS
Pada mulanya, XL mengeluarkan produk Jempol yang menawarkan SMS
dengan tarif on-net murah. Pada tahun yang sama Telkomsel juga mengeluarkan
produk As yang juga menawarkan SMS dengan tariff on-net murah. Tetapi
dengan masuknya para operator new entrant yang awalnya melakukan tariff
promo dengan menawarkan harga yang jauh lebih murah maka para operator
incumbent, karena mereka takut kehilangan konsumen dan pangsa pasarnya maka
mereka para operator incumbent membuat klausul.
Isi dari kalusul tersebut adalah tentang penetapan tarif minimlal SMS off-
net yang tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan oleh operator
Incumbent New Entrant
Menetapkan tarif
SMS off net minimal
Perjanjian kartel
incumbent yaitu Indosat, Telkomsel dan XL sebesar Rp.250. Penetapan tarif
minimal tersebut dilakukan guna menjaga tidak melonjaknya traffic sms dari
operator new entrant kepada operator incumbent, dan agar tidak terjadinya
spamming SMS.
New entrant berada pada posisi tidak dapat menolak kalusul yang telah
dibuat oleh incumnet, karena mereka adalah pendatang baru yang membutuhkan
interkoneksi dari operator incumbent yang pangsa pasarnya sudah tinggi dan
memiliki pelanggan tetap.
(c) Putusan Perkara Nomor: 01/KPPU-I/2010 tentang Penetapan
Harga dan Kartel Dalam Industri Semen.
Gambar 6
Pola Perjanjian Kartel Semen
Produsen dan distributor membagi setiap daerah pemasaran mereka, dan
harga yang diatur oleh produsen dan distributor adalah harga loco pabrik dimana
biaya pengangkutan ditanggung sepenuhnya oleh distributor. Produsen
menentukan berapa harga yang akan diberikan kepada konsumen sebagai
distributor, pengguna akhir, ataupun kepada toko pengecer. Harga loco pabrik
pada setiap penjualan adalah harga kesepakatan dari negosiasi yang dilakukan
Produsen
Perjanjian
Kartel
Distributor
Membagi aera
pemasaran
Retailer
Perjanjian
Kartel
Mengontrol
harga
Membentuk
harga loco
antara produsen dengan distributor. Produsen akan berusaha menjual dengan
harga setinggi-tingginya, sementara distributor yang bertindak sebagai pembeli,
akan berusaha mendapatkan harga paling rendah. Produsen akan tetap menjual
meski hanya mendatangkan keuntungan yang rendah asalkan tidak sampai jual
dibawah biaya produksi.
Perjanjian kartel semen ini juga terjadi antara distributor dengan retailer
dimana terdapat pergerakan harga paralel, hal ini bertujuan untuk
mempertahankan harga pasar melihat beberapa Pelaku Usaha memiliki pasokan
dan biaya per ton yang cukup rendah dibandingkan dengan pesaingnya serta
adanya upaya mengatur harga pada level yang cukup tinggi untuk
mempertahankan tingkat keuntungan. Pergerakan harga yang terjadi hampir
bersamaan dan paralel serta dengan selisih harga yang relatif tipis. Terdapat upaya
untuk mengatur harga sehingga masing-masing perusahaan tetap dapat
mempertahankan pangsa pasar
(d) Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2013 tentang kartel impor
bawang putih.
Gambar 7
Pola Perjanjian Kartel Bawang Putih
Kartel dalam putusan ini terjadi antara importir bawang putih dengan
pemerintah (Kementerian Perdagangan dan Kementrerian Pertanian). Dimana
Importir Pemerintah
Perjanjian
Kartel
Kebijakan
Mengatur jumlah
volume import
Memilih importir
pemerintah membuat kebijakan yang berisi tentang penetapan volume import
bawang putih dan pemilihan siapa saja yang dapat melakukan import bawang
putih.
Para importir bawang putih memiliki pola pengaturan pemasukan bawang
putih untuk dapat mengatur pasokan bawang putih ke Indonesia. Para Importir
tidak menjalankan kewajibannya dalam memenuhi kuota yang telah diberikan
dalam jumlah dan waktu yang telah ditentukan karena didasarkan pada
kepentingan bisnis belaka tergantung kepentingan perusahaan-perusahaan yang
saling terkait.
(e) Putusan Perkara Nomor: 08/KPPU-L/2014 Tentang Kartel Ban
roda empat.
Gambar 8
Pola Perjanjian Kartel Ban
Adanya rapat APBI yang memerintahkan seluruh anggotanya untuk
bertukar informasi (menyampaikan laporan produksi, ekspor, penggunaan bahan
baku, penjualan, dan sebagainya), serta terdapat paksaan untuk menahan diri dan
APBI
Perjanjian Kartel
Bertukar
Informasi
Paksaan Menahan Diri
Dan Mengontrol Produksi
Tidak Melakukan
Praktik Banting Harga
Produsen Produsen
mengontrol produksi ban guna menjaga agar pasar tetap kondusif sesuai dengan
perkembangan permintaannya.
Tindakan menahan diri dipahami agar anggota APBI tidak melakukan
praktik banting harga, karena jika pasar dibanjiri ban dengan dengan harga murah,
harga akan turun. Dan ketika harga turun, akan sulit bagi anggota APBI untuk
mengakselerasi harga dikemudian hari.
B. KONSTRUKSI HUKUM KARTEL
Undang-Undang Anti Monopoli di Indonesia dibuat dalam waktu yang
relative singkat pada jaman pemerintahan Presiden Habibie, dipahami lebih
sebagai solusi politik sesuai dengan jamannya, dengan segala keterbatasan dan
muatan kepentingannya kemudian berkembang dan dilengkapi dengan praktik
penerapan hukumnya. Perkembangan hukum persaingan usaha di Indonesia
memperjelas kebutuhan akan revisi ketentuan-ketentuan di dalamnya.
Kesulitan-kesulitan pembuktian adanya perjanjian menimbulkan
pertanyaan, apakah diktomi perjanjian dan kegiatan yang dilarang perlu
dipertahankan. Semakin terdidik para pelaku usaha maka semakin banyak yang
tercerahkan sehingga hampir tidak ada pelaku usaha dalam kasus-kasus besar
yang mengikatkan diri dalam perjanjian tertulis maupun tidak tertulis yang
dilarang oleh UU Anti Monopoli. Sementara itu disisi lain penegak hukum
mampu menjangkau bentuk-bentuk perbuatan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Hal demikian memungkinkan terjadinya pemaksaan penafsiran sepihak yang sulit
dihindari mengingat masih adanya keraguan terhadap kemampuan lembaga
pemutus.
Praktik penegakan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa meski
sebagian besar dari perkara yang diperiksa oleh badan pengawasyang dibentuk
untuk mengawasi pelaksanaan UU Anti Monopoli yaitu KPPU adalah persoalan-
persoalan kartel yang sebagian besar diantaranya berupa pelanggaran-pelanggaran
terhadap larangan persekongkolan untuk mengatur sebuah perjanjian.
Terdapat beberapa perkara pelanggaran kartel sehubungan dengan
penetapan harga, peraturan kapasitas dan jenis produksi ataupun pembagian
wilayah pemasaran. Jika dilihat dari jumlahnya jauh lebih kecil, namun jika
dilihat dari perannya didalam perkembangan hukum persaingan usah, telah
memberikan makna yang sangat penting karena bermuara kepada pertimbangan
hukum di dalam putusan-putusan KPPU yang sangat mempengaruhi struktur
pasar dan perilaku pasar Indonesia.
Concered Action dalam pengertian sebuah perbuatan merupakan bentuk
perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh lebih dari satu pelaku (mutual action)
dan menghasilkan sebuah keadaan tertentu yang menghambat persaingan.
Masing-masing perilaku yang terlibat di dalam sebuah concered action tidak
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian tertulis ataupun tidak tertulis, namun
bertindak secara terpisah dan menimbulkan akibat yang diharapkan. Sejauh
pengetahuan penulis, concered action tidak pernah dibahas secara mendalam
didalam literatur Indonesia. Batasan pengertian dapat menjadi rancu oleh presepsi
yang menyamakan secara penuh makna concered action dengan conspiracy
(persekongkolan).
Dengan syarat-syarat tertentu, ide Concered Action dapat diterapkan
sebagai alat bantu bagi konstruksi hukum sebagai elemen penjerat dalam
penerapan hukum persaingan usaha di Indonesia, apabila ada usnur konspirasi
tidak terbukti karena ketiadaan unsur perjanjian tertulis maupun tidak tertulis.
Substansinya tersirat di dalam banyak pasal-pasal yang memuat tindakan mutual
(mutual act) namun memerlukan pembahasan mendalam.
Penulis berpendapat bahwa kajian mendalam tentang konstruksi ide
hukum concered action dapat menjadi masukanyang penting untuk diuji ketika
ketentuan-ketentuan larangan praktik anti monopoli sulit untuk diterapkan akbiat
tidak adanya unsur perjanjian (tertulis maupun tidak tertulis) dan unsur
komunikasi yang konkret terarah kepada satu tujuan tertentu, tidak dapat
dibuktikan secara meyakinkan. Pembuktian concered action memerlukan analisa
terhadap bukti ekonomi, namun bukti ekonomi tetap diperlukan sebagai unsure
pembuktian yang signifikan.3
a. Definisi kartel dalam putusan
Dalam setiap putusan terdapat definisi kartel yang berbeda-beda, berikut
definisi kartel dalam lima putusan KPPU akan dijelaskan dalam tabel.
Tabel 1
Perbandingan Definisi Kartel Dari Lima Putusan
3 Etd.repository.ugm.ac.id
N
o
Putusan
Definisi Kartel
1 Garam Didalam putusan ini definisi tentang kartel mengacu
pada Pasal 11 UU Anti Monopoli .
2 SMS Kesamaan harga antar pesaing tidak semata mata
menunjukkan adanya kartel. Kartel baru dianggap
terjadi apabila terdapat kesamaan harga ditambah
dengan adanya komunikasi antar pesaing untuk
menetapkan harga yang sama tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.4
3 Semen Kartel adalah agreement untuk menyepakati dalam
menentukan harga maupun pasar untuk tujuan
bersama. Dalam kartel harus ada perencanaan dalam
suatu program, ada kesepakatan dan ada proses untuk
memonitor efektivitasnya sehingga harus ada
koordinasi sebagai bukti implementasi. Bahwa direct
evidence dapat berupa dokumen cetak biru proses
kartel dan ada dokumen kesepakatan mengenai
bagaimana pelaksanaan dan monitoringnya.
4 Bawang
Putih
kesepakatan yang dibuat oleh pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya dalam bentuk suatu koordinasi
untuk mengatur distribusi untuk mempengaruhi harga
dalam rangka mempertahankan harga dan
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.
5 Ban Roda
Empat
Dalam putusan ini menjelaskan bahwa suatu pelaku
usaha dapat menjadi anggota kartel apabila produknya
telah menguasai pasar.
Dari lima definisi kartel dalam putusan KPPU, dapat diambil kesimpulan
bahwa kartel merupakan suatu komunikasi, kesepakatan atau perjanjian oleh
4 Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007 Tentang kartel SMS, h. 29
pelaku usaha yang telah menguasai pangsa pasar untuk menetapkan harga untuk
kepentingan bersama.
b. Unsur-Unsur Kartel Dalam Putusan
Telah dijelaskan sebelumnya tentang definisi kartel menurut beberapa
pakar dan menurut lima putusan KPPU.
Tabel 2
Perbandingan Definisi Kartel
no Menurut Definisi
1 Pakar Kartel merupakan suatu kesepakatan tertulis maupun tidak
tertulis antara pelaku usaha dengan produk sejenis yang
memiliki market power untuk mengendalikan harga dan
wilayah pemasaran dengan maksud untuk meniadakan
persaingan dan melakukan monopoli pasar.
2 Putusan kartel merupakan bentuk komunikasi, kesepakatan atau
perjnajian oleh pelaku usaha dengan pesaingnya yang telah
menguasai pangsa pasar untuk menetapkan harga untuk
kepentingan bersama
Karena dalam UU Anti Monopoli tidak dijelaskan secara jelas dan spesifik
mengenai definisi kartel, maka kita dapat melihat definisi kartel dari berbagai
pakar dan menurut KPPU dilihat dari lima putusan tentang kartel. Dari berbagai
definisi yang telah dibahas sebelumnya baik dari para pakar maupun dari putusan,
terdapat beberapa unsur kartel.
Dari definisi dalam tabel, terdapat beberapa unsur dari kartel. dapat
disimpulkan bahwa unsur kartel menurut beberapa pakar antara lain: (1) pelaku
usaha, (2) perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, (3) produk sejenis, (4) Market
power, (5) mengendalikan harga dan wilayah pemasaran, (6) meniadakan
persaingan, dan yang terakhir (7) monopoli.
Dalam definisi kartel menurut putusan dapat terlihat ada lima unsur dari
kartel, yaitu: (1) pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing, (2) adanya komunikasi,
kesepakatan dan perjanjian, (3) menguasai pangsa pasar, dan yang terakhir, (4)
menetapkan harga. Berikut akan dijelaskan satu-persatu dari unsure kartel dalam
lima putusan KPPU, yaitu:
1. Unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaing
Unsur yang pertama adalah pelaku usaha dan pesaingnnya. Pelaku usaha
merupakan unsur muthlak dari kartel, dimana pelaku usaha merupakan subjek
yang dapat menciptakan suatu kartel. Pelaku usaha adalah orang yang menjual
barang dan atau jasa kepada konsumen dengan maksud mencari keuntungan.
Bahwa dalam lima putusan yang di analisis, pelaku usaha yang di maksud
meliputi produsen, distributor ataupun retailer, karena ketiganya sama-sama
menjual barang dan atau jasa untuk mencari keuntungan. Apabila dilihat dari sisi
produsen, distributor dan retailer merupakan konsumen. Tetapi jika kita melihat
dari disisi konsumen, distributor dan retailer adalah pelaku usaha. Sedangkan
pesaingnya adalah mereka yang menjual barang dan atau jasa dengan produk
sejenis.
2. Adanya komunikasi, kesepakatan dan perjanjian
Yang dimaksud perjanjian berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 adalah “suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa
pun, baik tertulis maupun tidak tertulis”.
Suatu kartel dapat terbentuk apabila ada komunikasi, kesepakatan atau
perjanjian diantara para pelaku usaha. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian
baik tertulis maupun tidak tertulis. Apabila suatu kartel dibentuk dengan
perjanjian tertulis akan lebih mudah KPPU melakukan pemeriksan, dan
sebaliknya apabila kartel terbentuk dengan perjanjian tidak tertulis dengan kata
lain hanya dengan komunikasi secara lisan tanpa adanya hitam diatas putih akan
sulit bagi KPPU untuk memeriksa perkara tersebut adalah kartel atau tidak.
Dalam putusan Garam, kartel terbentuk dengan adanya kesepakatan lisan
antara G3 dengan G4 untuk menetapkan harga produk PT Garam lebih tinggi
dibandingkan dengan harga produk PT Budiono dan PT Garindo, adanya
pemberian harga yang lebih tinggi untuk garam bahan baku yang dibeli oleh
perusahaan di luar G3 dan G4 serta adanya penguasaan pasokan garam bahan
baku ke Sumatera Utara oleh G3. Kesepakatan ini mengakibatkan keteraturan dan
keseragaman jumlah pasokan dan kebijakan harga. Dengan kata lain unsur
perjnjian terpenuhi dalam putusan garam.
Tim Pemeriksa menemukan adanya beberapa perjanjian tertulis dalam
kartel SMS mengenai harga yang ditetapkan oleh operator sebagai satu kesatuan
PKS Interkoneksi sebagaimana terlihat dalam Matrix Klausula Penetapan Tarif
SMS dalam PKS Interkoneksi pada bagian Fakta dan Temuan. Sehingga secara
formil, hal ini sudah termasuk dalam kategori kartel yang dilakukan oleh XL,
Telkomsel, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile 8, Smart, dan NTS
Dalam putusan semen, kartel dapat terbentuk karena kesepakatan secara
lisan, hal ini menyulitkan Tim Pemeriksa untuk membuktikan adanya kartel. Tim
Pemeriksa menyebutkan bahwa terlihat pergerakan harga yang paralel serta
dengan selisih harga yang relatif tipis bahkan untuk wilayah-wilayah di luar
wilayah pabrikan. Ketidaklinearan antara biaya per ton dengan harga yang
ditetapkan merupakan sebagai upaya untuk mengatur harga sehingga masing-
masing perusahaan tetap dapat mempertahankan pangsa pasar dan kelangsungan
usaha pesaingnya.
Tim Investigator menemukan adanya bukti dokumen ataupun perjanjian
tertulis yang membuktikan terlapor pernah membuat perjanjian tertulis yang
bermaksud mengatur harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
bawang putih. Tim Investigator juga menemukan adanya bukti tidak langsung
seperti pernah adanya komunikasi (misal telepon, email dan sebagainya) diantara
para terlapor yang bermaksud mengatur harga dengan mengatur produksi dan atau
pemasaran bawang putih.
Dalam putusan ban, semua terlaporterbukti membuat suatu perjanjian tisak
tertulis atau secara lisan melalui rapat APBI dengan isi perjanjiannya adalah
bahwa setiap produsen yang tergabung dalam APBI harus saling bertukar
informasi (menyampaikan laporan produksi,eksport, penggunaan bahan baku,
penjualan, dsb), dan mengontrol setaip produksi mereka serta tidak melakukan
praktik banting harga untuk menjaga harga untuk tidak turun.
3. Menguasai pangsa pasar
Market segment atau pangsa pasar merupakan bagian dari keseluruhan
permintaan suatu barang yang mencerminkan golongan konsumen menurut ciri
khasnya, seperti dari tingkat pendapatan,umur, jenis kelamin, pendidikan, dan
juga status sosial. Pangsa pasar adalah bagian dari pasar yang dapat dicapai oleh
perusahaan. Pangsa pasar dapat menjadi salah satu dari indikator meningkatnya
kinerja pemasaran suatu perusahaan.
Bahwa dalam kartel garam, G3 telah menguasai pasar sebesar 50%.
Sedangkan sisanya dikusasai oleh G4 dan retailer lain yang tidak disebutkan
secara rinci tentang berapa pembagian persen dalam penguasaan pasar oleh G4
dan retailer lain.
Jasa telekomunikasi di Indonesia awalnya dikuasai oleh Telkom sampai
tahun 2006 dengan kepemilikan saham sebesar 51,19%. Namun stelah tahun
2006, Telkom tidak lagi menguasai pasar. Revolusi teknologi telekomunikasi di
Indonesia diawali dengan lahirnya PT Satelit Palapa Indonesia (“Satelindo”) pada
tahun 1993 yang memperoleh lisensi untuk Sambungan Langsung Internasional,
telepon selular, dan hak penguasaan eksklusif atas beberapa satelit komunikasi.
Hal ini menyebabkan banyak operator baru yang muncul. Dan pada akhirnya
dengan inovasi baru telkomsel, indosat dan XL menguasai pasar hingga saat ini.
Dalam kartel semen, pangsa pasar SBM (terlapor VIII) secara nasional
terus mengalami peningkatan dari 3.0% di tahun 2007 menjadi 3.6% di tahun
2008 dan 4.64% untuk tahun 2009. Bahkan, dalam rangka meningkatkan
kapasitas produksi dan ekspansi pasar ke wilayah Indonesia bagian barat, Bosowa
Corporation, yang merupakan induk perusahaan SBM, telah mendirikan PT
Semen Bosowa Batam dan membangun pabrik semen dengan kapasitas produksi
sebesar 1,2 juta ton/tahun dan telah mulai beroperasi sejak tahun tahun 2008.
Meskipun demikian, SBM sebagaimana layaknya pelaku usaha lainnya pada
umumnya, tidak dapat menjamin bahwa produk yang dijualnya akan selalu ada di
setiap wilayah di Indonesia, apalagi jika memperhatikan tingkat persaingan dan
jangkauan pemasaran produsen semen yang sifatnya lokal.
Dalam kartel bawang putih, semua terlapor menguasai pasokan bawang
putih dalam negeri untuk bulan November 2012 – Februari 2012 sebesar 56,68%
(lima puluh enam koma enam puluh delapan persen) atau sebesar 23.518.018
(Dua Puluh Tiga Juta Lima Ratus Delapan Belas Ribu Delapan Belas).
Sedangkan dalam putusan ban, pangsa pasar dapat dilihat dalam kurun
waktu empat tahun mulai dari tahun 2008 sampai dengan 2011 sebagai berikut:
Goodyear 6,2% 5,8% 4,6% 3,4%, Bridgestone 34,0% 33,6% 30,3% 30,4%. Gajah
Tunggal 33,2% 32,2% 35,2% 35,1%. Industri Karet Deli 3,7% 3,4% 4,7% 7,8%.
Sumi Rubber Indonesia 17,4% 18,3% 19,5% 17,9%. Elangperdana Tyre Industry
5,6% 6,6% 5,7% 5,5%. Goodyear adalah satu-satunya perusahaan yang
mengalami penurunan setiap tahunnya.
4. Menetapkan harga
Tujuan dari pembentukan kartel adalah supaya pelaku usaha bisa
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, keuntungan yang besar bisa didapat
salah satunya dengan menetapkapkan harga. Penetapan harga ini dilakukan oleh
pelaku usaha untuk menghilangkan persaingan. dengan tidak adanya persaingan
maka pelaku usaha tidak berfikir untuk bagaimana cara mendapatkan banyak
pelanggan tanpa harus memberikan harga yang rendah. Sedangkan konsumen
menginginkan harga yang relatif rendah.
Penetapan harga oleh produsen terjadi pada kartel garam, dimana harga
produk PT Garam lebih tinggi di banding dengan PT Budiono dan PT Garindo.
Begitupun dalam kartel SMS, operator incumbent dengan new entrant
menetapkan harga tariff SMS off net tidak boleh kurang dari Rp.250. dalam
putusan semenpun ditemukan adanya harga yang stabil, dimana bila perusahaan
satu menaikkan harga, perusahaan lainpun ikut menaikkan harga, pola harga ini
terjadi dengan selisih yang sama, beitupun yang terjadi dalam kartel bawang
putih. Dalam kartel ban, melalui rapat APBI, produsen-produsen ban menetapkan
harga dan tidak boleh para anggotanya melakukan praktik banting harga.
c. Prinsip Rule Of Reason
Asril mengemukakan prinsip Rule of Reason adalah suatu pendekatan
dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah
mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain.5
Sedangkan susanti mengemukakan bahwa kartel merupakan pertimbangan yang
digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum
persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang
menghambat persaingan atau kerugian nyata terhadap persaingan.6 Dari dua
pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bawha prinsip Rule Of Reason
merupakan suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan
tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak. Rule Of Reason adalah prinsip
5 Asril Sitompul, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (ditinjau terhadap undang
undang no 5 tahun 1999), PT Citra Aditya, Bandung, 1999. 6 Susanti Adi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Puslitbang/Diklat Mahkamah Agung, 2001.
yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak
berdasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan, yaitu menghambat
persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.7
Mengapa kartel masuk dalam prinsip Rule of Reason? Hampir semua
negara menghukum praktik kartel secara per se illegal, bahkan anggota kartel
pada umumnya mengahdapi tanggung jawab atas potensi criminal. Namun
ketentuan dalam Pasal 11 UU Anti Monopoli menetapkan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan para pesaingnya untuk mempengaruhi harga
hanya jika perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan ini mengarahkan pihak komisi
(KPPU) untuk menggunakan pendekatan rule of reason dalam menganalisis
kartel.
Gambar 9
Langkah KPPU Menganalisis Prinsip rule of reason
7 https//yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-rule-or-reason-dan-per-se-ilegal/.
Diakses pada 2 juni 2016 pukul 00.49
KPPU Rule of reason Menimbulkan
akibat
Praktik
monopoli
Kerugian
pihak lain
KPPU melakukan analisis pendekatan rule of reason dengan
mempertimbangkan akan akibat suatu perbuatan, apakan mengakibatkan praktik
monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Pendekatan ini
memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap UU seperti
mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya
suatu hambatan perdagangan. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian
maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam UU Anti Monopoli tidak semuanya
dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau akan
merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjian tersebut dapat juga menimbulkan
dinamika persaingan usaha yang sehat. Oleh karenanya pendekatan ini digunakan
sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha yang sehat atau tidak.
Larangan yang berkaitan dengan kartel hanya berlaku apabila perjanjian
kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Berarti pendekatan yang digunakan dalam kartel adalah rule of
reason. Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut
efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat
persaingan. Sedangkan kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut bisa
menimbulkan perbedaan hasil analisa yang mendatangkan ketidakpastian.
Kesulitan penerapan rule of reason antara lainpenyelidikan akan memakan waktu
yang lama dan memerlukan pengetahuan ekonomi.
Kata-kata mengatur produksi dan/atau pemasaran yang bertujuan
mempengaruhi harga adalah menunjukkan uapaya untuk meniadakan kesempatan
pihak lawan dalam pasar untuk memilih secara bebas diantara penawaran anggota
kartel. Pasal ini menunjukkan cakupan hanya dalam hal produksi dan penjualan,
tidak meliputi pengembangan dan pembelian.
Dalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang
dilakukan oleh seorang pelaku usaha akan dilihat seberapa jauh efek negatifnya.
Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang mengahmbat persaingan, baru
diambil tindakan hukum.