BAB III
-
Upload
siska-dewi-agustina -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
description
Transcript of BAB III
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang G3P1A1 usia 31 tahun datang rujukan dari RSUD Karanganyar dengan
keterangan G3P1A1 usia kehamilan 33+6 minggu dengan suspek IUFD dan riwayat SC.
Pasien pertama kali datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan perdarahan dari jalan
lahir sejak 1 jam SMRS. Darah yang keluar berwarna merah kehitaman. Kenceng-
kenceng teratur sudah dirasakan oleh pasien. Nyeri Perut (+) yang dirasakan terus-
menerus sejak 1 hari SMRS, air kawah belum dirasakan keluar, gerakan janin tidak
dirasakan oleh pasien sejak kurang lebih 6 jam SMRS. Mual muntah disangkal, BAB dan
BAK dalam baas normal.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapati ada keadaaan umum sakit sedang compos
mentis, peningkatan tekanan darah (150/100 mmHg), konjungtiva anemis, adanya nyeri
tekan pada abdomen, abdomen teraba distended, denyut jantung janin tidak terdengar.
Dari hasil pemeriksaan dalam didapati OUE terbuka dan sarung tangan lendir darah. Dari
hasil pemeriksaan penunjang didapati hemoglobin yang rendah, openurunan hematokrit,
antal eritrosit, antal trombosit, peningkatan leukosit. Dari hasil USG didapati adanya
hematom retroplasenta.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
maka pasien dapat didiagnosis dengan solutio plasenta PEB partial HELLP syndrome
pada multigravida hamil aterm dengan anemia, trombositopenia, leukositosis, dan riwayat
sectio caesaria. Solutio plasenta pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis yang
menunjukkan bahwa pasien mengalami perdarahan berwarna merah kehitaman dari jalan
lahir yang disertai dengan nyeri pada bagian perut yang sudah dirasakan 1 hari SMRS.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan uterus teraba seperti papan dan nyeri saat
dipegang. Bunyi denyut jantung janin juga tidak didapatkan, kontraksi uterus sulit
dievaluasi karena abdomen yang distended.
Diagnosis banding dari solusio plasenta adalah plasenta previa. Vasa previa dapat
Plasenta previa dapat disingkirkan karena pada plasenta previa perdarahan yang keluar
dari jalan lahir biasanya berwarna merah, tidak didapati adanya nyeri pada abdomen, dan
janin biasanya masih dalam keadaan hidup.
Pasien ini didiagnosis dengan PEB partial HELLP syndrome berdasarkan hasil
anamnesis yang dilakukan, pasien mengeluhkan nyeri kepala, yang dirasakan hilang
timbul sejak satu bulan SMRS. Dari hasil pemeriksaan fisik tekanan darah 150/100
mmHg disertai dengan kadar protein pada urin +3, adanya peningkatan LDH (707 u/l),
trombositopeni (2.470.000 /ul), SGOT 26 u/l, SGPT 8 u/l, penurunan albumin (2,7 g/dl).
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan ditegakkan diagnosis PEB partial HELLP
syndrome karena adanya peningkatan tekanan darah, proteinuria, disertai dengan satu
dari tiga gejala dari hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopeni.
Pada intra uterin fetal death
tidak merasakan adanya gerakan janin yang sudah dirasakan 1 hari SMRS. Selain itu
didapati adanya perdarahan dari jalan lahir yang sudah dirasakan 20 jam SMRS. Dari
hasil pemeriksaan fisik tidak terlihat gerakan janin, tidak didapati adanya denyut jantung
janin. Terdapat adanya faktor maternal yang mempengaruhi kematian janin dalam
kandungan adalah faktor maternal berupa penyakit penyulit yang diderita oleh ibu yaitu
pre eklampsi berat dan solusio plasenta.
Sehingga diagnosis masuk dari pasien ini adalah solusio plasenta, PEB partial
HELLP syndrome pada multigravida hamil preterm dengan anemia, trombosiopenia,
leukositosis dan riwayat sectio caesaria pada kehamilan sebelumnya. Sehingga terapi
yang akan dilakukan adalah dengan sectio caesaria transperitoneal profunda emergency,
pemberian protap PEB berupa pemberian oksigen 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi
MgSO4, pemberian nifedipin jika tekanan darah lebih dari 160/100.
Dalam proses sectio caesaria didapati adanya atonia uteri dengan tanda-tanda
seperti perdarahan per vaginam, konsistensi rahim lunak, dan fundus uteri yang naik.
Akibat tidak adanya tonus atau kontraksi rahim menyebabkan miometrium tidak dapat
menutup perdarahan terbuka tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Pada saat sectio caesaria tonus uterus diperlukan juga untuk mencegah perdarahan, sama
halnya dengan persalinan normal. Perdarahan pada proses sectio caesaria selain dapat
terjadi akibat atonia uteri juga dapat terjadi oleh karena banyaknya pembuluh darah yang
terputus atau terbuka dan perdarahan pada placental bed. Pada pasien kami diagnosis
perdarahan durante sectio caesaria akibat terjadinya atonia uteri. Diagnosis kami
dasarkan pada palpasi konsistensi rahim atau uterus pasien yang melunak durante operasi
dengan kontraksi yang lemah dan fundus uteri masih tinggi setinggi pusat. Pada pasien
setelah ditemukan adanya atonia uteri maka diputuskan untuk dilakukan b lynch suture.
B lynch suture adalah suatu mekanisme penjeratan rahim dengan beberapa
jahitan dalam proses sectio caesaria dengan atonia untuk menjaga agar perdarahan dapat
dihentikan dan mempertahanan uterus. Pada pasien dilakukan b lynch suture namun
setelah dievaluasi 10 menit, perdarahan tidak berhenti sehingga akhirnya dilakukan
tindakan emergensi untuk mencegah terjadinya syok pada pasien adalah dengan
dilakukan histerektomi.
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-
13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal. Pada pasien karena dilakukan tindakan sectio caesaria maka cara
paling cepat untuk menghentikan perdarahan adalah dengan histerektomi.
Setelah dilakukan histerektomi pada pasien, perdarahan dinyatakan berhenti,
kemudian dilakukan jahitan lapisan kulit lapis demi lapis dan selanjutnya dilakukan
evaluasi post perdarahan, meliputi keadaan umum, vital sign, dan juga kadar hemoglobin.