BAB III
-
Upload
copper-lin -
Category
Documents
-
view
229 -
download
7
description
Transcript of BAB III
BAB IIIGEOLOGI REGIONAL
III.1 Fisiografi
Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Tengah dan Jawa
Timur kedalam tujuh zona fisiografi dari utara ke selatan diantaranya :
1. zona rembang
2. zona dataran aluvial utara Jawa
3. zona Randublatung,
4. zona kendeng
5. zona Solo
6. zona gunungapi kuarter dan
7. zona pegunungan selatan.
Sedangkan Smyth dkk. (2005) m e m b a g i z ona Pegunungan Selatan
menjadi empat zona tektonostratigrafi, dari selatan ke utara:
1. Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountain Zone),
2. Busur Volkanik masa kini (Present-day Volcanic Arc),
3. Zona Kendeng (Kendeng Zone), dan
4. Zona Rembang (Rembang Zone) (Gambar II.3).
Pembagian ini menganggap Pegunungan Serayu Selatan (South Serayu
Mountain) (Van Bemmelen, 1949) sebagai bagian dari Zona Pegunungan Selatan,
sedangkan Zona Randublatung (Van Bemmelen, 1949) sebagai bagian dari Zona
Rembang.
13
14
Gambar 4. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949)
Gambar 5. Zona tektonostratigrafi Jawa bagian timur (modifikasi dari Smyth dkk., 2005)
Berdasarkan pembagian fisiografi oleh Van Bemmelen (1949), maupun
berdasarkan tektonostratigrafi oleh Smyth dkk (2005), maka daerah penelitian
yaitu daerah melikan dan sekitarnya, kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten
15
Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah termasuk kedalam Zona Pegunungan Selatan
(Southern Mountain Zone).
II.1.1 Zona Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan merupakan penerusan dari pembagian fisiografi
di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bagian utara dari zona ini dibatasi oleh deretan
gunung berapi kwarter yang terbentang dari barat ke timur antara lain G. Merapi,
G. Lawu, G. Wilis dan G. Semeru. Sedangkan di bagian selatan dibatasi oleh
Samudra Indonesia. Zona ini dibentuk oleh dua satuan batuan yaitu; batuan
volkanik, dan batugamping. Topografi zona Pegunungan Selatan pada umumnya
merupakan rangkaian perbukitan dengan kemiringan lereng terjang
memperlihatkan kemiringan kearah Selatan dengan pola aliran sungai yang pada
umumnya membentuk pola aliran dendritik.
Dari kenampakan morfologinya zona ini dapat dipisahkan menjadi tiga
yakni : subzona Baturagung, subzona Wonosari, dan subzona Gunung Sewu.
Adapun karakteristik subzona Pegunungan Selatan dapat dijelaskan secara
terperinci seperti dibawah ini :
Subzona Baturagung, relief morfologinya perbukitan terjal,
merupakan ekspresi dari batuan volkanik (intrusi & ekstrusi), sedimen volkanik
klastik, & karbonat, dengan kemiringan batuan relatif ke selatan.
Subzona Wonosari, merupakan dataran tinggi, ke arah timur bersambung
Baturetno yang merupakan cekungan sedimen kuarter berupa lempung hitam
endapan danau purba.
Subzona Gunung Sewu, merupakan perbukitan karts, dengan bukit-
16
bukit gamping, bentuk kerucut, membentang dari Parang-tritis (bagian barat)
- Pacitan (bagian timur). Jumlah bukit ribuan, dengan luas seluruhnya mencapai
1400 km2 oleh Lehman, 1939). Semakin ke timur morfologi bukit kerucut
semakin berkurang, dan muncul bukit terdiri dari batuan volkanik (Pacitan-
Ponorogo)
II.1.2 Zona Solo
Zona Solo merupakan penerusan deretan pegunungan berapi berarah barat –
timur. Zona ini diperkirakan sebagai sumber batuan piroklastik yang diendapkan
di sebelah utaranya. Bagian utara dibatasi oleh Mandala Kendeng, sedang bagian
selatan dibatasi oleh Zona Pegunungan Selatan. Zona ini tersusun oleh endapan
Kwarter dan ditempati oleh Gunungapi Kwarter.
II.1.3 Zona Kendeng
Zona Kendeng merupakan kelanjutan dari Pegunungan Serayu yang
berkembang di Jawa Tengah. Bagian utara Zona Kendeng dibatasi oleh Depresi
Randu Blatung, sedang bagian selatan dibatasi oleh Zona Solo. Zona Kendeng
tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami perlipatan dan
pensesaran secara intensif membentuk suatu antiklinorium. Perlipatan beserta
anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian
barat kemudian berangsur melemah ke arah timur. Akibat adanya anjakan
tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas
sesar. Ciri khas Zona Kendeng adalah jajaran perbukitan rendah dengan morfologi
17
bergelombang yang ketinggiannya berkisar antara 50 m hingga 200 m. Jajaran
perbukitan yang berarah barat – timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan
sesar naik yang juga berarah barat – timur.
II.1.3.1 Kendeng Barat
Dimulai dari G. Ungaran hingga Purwodadi yang menunjukkan pola struktur
sangat rumit, perlipatan asimetri dan sesar sungkup ke arah utara.
II.1.3.2 Kendeng Tengah
Berada diantara Purwodadi dan G. Pandan. Pola struktur masih
memperlihatkan intensitas yang kuat meskipun tidak serumit di Kendeng
Barat.
II.1.3.3 Kendeng Timur
Berada di antara G. Pandan dan daerah Jombang kemudian menunjam
di bawah Sungai Brantas, perlipatannya merupakan perlipatan yang lemah.
Mandala Kendeng terbentuk mulai dari Salatiga ke timur sampai ke
Mojokerto dan menunjam di bawah aluvial Sungai Brantas. Kelanjutan
pegunungan ini masih dapat diikuti hingga di bawah Selat Madura, jika di
lihat dari bawah permukaan tanah. Zona ini diduga masih aktif sebagai
cekungan sedimentasi di Selat Madura. Bagian barat lebarnya mencapai 40
km, kemudian menyempit ke arah timur dan panjangnya kurang lebih 250 km
(Genevraye dan Samuel, 1972).
II.1.4 Depresi Randu Blatung
18
Depresi Randu Blatung merupakan sinklinorium yang memanjang dari
Wonokromo sampai Semarang. Zona ini tersusun oleh perbukitan rendah
(ketinggian 50 – 150 m) serta dataran aluvial yang dibangun oleh endapan
Bengawan Solo. Di bagian selatan dipisahkan oleh Mandala Kendeng dari Zona
Solo, sedangkan pada bagian utara dibatasi oleh Zona Rembang.
II.1.5 Zona Rembang-Madura
Zona Rembang merupakan antiklinorium yang berarah barat – timur dan
terbentang dari daerah Purwodadi sampai Pulau Madura. Lebar dari Pegunungan
Rembang kurang lebih mencapai 50 km dengan puncak tertinggi ditempati oleh
Gunung Gading dengan ketinggian kurang lebih 500 m (van Bemmelen, 1949). Di
bagian selatan dipisahkan oleh Depresi Randu Blatung dari Mandala Kendeng,
sedangkan di bagian utara dibatasi oleh Laut Jawa.
II.1.6 Dataran Aluvial Utara Jawa (Depresi Semarang – Rembang)
Merupakan dataran yang berada di antara Semarang dan Rembang. Zona ini
dibatasi oleh Zona Rembang, di bagian utara dan timur oleh Laut Jawa dan bagian
barat oleh Gunung Muria. Depresi ini mulanya merupakan selat yang memisahkan
Pulau Jawa dengan Gunung Muria. Akibat dari proses sedimentasi hasil
rombakan Pegunungan Rembang dan Gunung Muria yang dibawa oleh sungai
yang bermuara pada selat tersebut, menyebabkan selat tersebut dangkal dan
muncul ke permukaan.
19
II.1.7 Gunungapi Kwarter
Merupakan jajaran gunungapi kwarter yang terdapat di tengah-tengah Pulau
Jawa. Gunung ini antara lain G. Merapi, G. Lawu, G. Sumbing, G. Unggaran, G.
Slamet, G. Bromo dan sebagainya.
III.2 Stratigrafi Regional
Stratigrafi pegunungan selatan telah banyak di teliti oleh para peneliti
terdahulu antar lain: Bothe (1929), Bemmelen (1949), Rahadjo,dkk.,(1977),
Surono, dkk., (1992). Secara umum stratigrafi pegunungan selatan dibagi menjadi
dua yaitu stratigrafi wilayah barat (parangtritis-wonosari) dan stratigrafi wilayah
timur (wonosari-pacitan).
Stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam stratigrafi pegunungan selatan
bagian timur, tepatnya secara administrasi berada di sebelah timur waduk gajah
munggur dengan tatanan stratigrafi berdasarkan peta geologi surakarta-giritontro
oleh Surono,dkk.,(1992), urutan stratigrafi dari tua ke muda dapat dilihat pada
gambar ( )
20
Gambar 6. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu (Surono, et al. 1992).
Dari kolom stratigrafi diatas (Gambar 2.3) dapat dijelaskan urutan serta
hubungan stratigrafi Pegunungan Selatan adalah sebagai berikut :
1. Komplek batuan malihan. batuan malihan ini didominasi oleh hadirnya
Kelompok batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat secara umum terdiri dari
filit, sekis dan marmer .Filit merupakan litologi yang dominan dijumpai,
baik di daerah Jiwo Timur dan Jiwo Barat, di lokasi-lokasi Gunung Konang,
Gunung Semangu, Gunung Merak, Gunung Kebo, Gunung Budo, dan
21
Gunung Sari. Sebagian besar singkapan filit dalam keadaan lapuk; hanya
sedikit singkapan filit yang segar Selain filit batuan metamorf yang merupakan
batuan Pra-Tersier lainnya yaitu sekis.Singkapan sekis dijumpai setempat-
setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di bagian barat G.Jokotuo, G.Konang,
G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung Pendul, sedangkan di Jiwo Barat
lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis ini terdapat sebagai fragmen dalam
batulempung Eosen Formasi Wungkal-Gamping. Juga terdapat marmer sebagai
kelompok dari batuan malihan yang singkapannya terdapat di daerah Jokotuo dan
lereng utara Gunung Jabalkat. Terdapat menyisip di dalam filit, singkapan
marmer ini memiliki sebaran tidak terlalu luas dan terpotong oleh sesar seperti
yang terdapat di daerah Jokotuo. Umur batuan Pra- Tersier di daerah Perbukitan
Jiwo, Bayat diinterpretasikan berdasarkan kontak ketidakselarasan dengan batuan
Eosen yang menumpang di atasnya.
2. Formasi Wungkal dan Formasi Gamping. Formasi Wungkal dicirikan oleh
kalkarenit dengan sisipan batupasir dan batulempung, sedangkan Formasi
Gamping dicirikan oleh kalkarenit dan batupasir tufaan. Di Daerah Gamping
(sebelah barat Kota Yogyakata, sebagai tipe lokasi), Formasi Gamping ini
dicirikan oleh batugamping yang berasosiasi dengan gamping terumbu.Beberapa
peneliti menafsirkan sebagai ketidakselarasan (Sumosusastro, 1956 dan Marks,
1957) dan peneliti lainnya menafsirkan hubungan kedua formasi tersebut selaras
(Bothe, 1929, Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Surono et al (1989)
menyebutnya sebagai Formasi GampingWungkal yang merupakan satu formasi
yang tidak terpisahkan. Namun demikian semua para peneliti tersebut
22
sepakat bahwa kedua formasi tersebut berumur Eosen Tengah-Eosen Atas.Di
atas Formasi Wungkal dan Formasi Gamping ditutupi secara tidakselaras oleh
sedimen volkanoklastik yang dikelompokkan sebagai : Formasi Kebo, Formasi
Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
3. Formasi Kebo - Butak, terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan,
serpih dan lanau. Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan
intrusi diorit. Ketebalan formasi ini sekitar 800 meter dan diendapkan di
lingkungan laut, dan pada umumnya memperlihatkan endapan aliran gravitasi
(gravity-flow deposits).
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di
lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian
bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan
aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan
sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng
andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan
fosil Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia angulisuturalis BOLLI,
Globorotalia kuqleri BOLLI, Globorotalia siakensis LEROY, Globigerina
binaiensis KOCH, Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,
Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka
yang dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara Pegunungan
Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih secara tidak selaras
23
Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras oleh Formasi Semilir.
Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter. Pada umumnya beberapa peneliti
menyebutnya sebagai Formasi Kebo-Butak yang berumur Oligosen Atas (N1-
N3).
4. Formasi Mandalika, lokasi tipe formasi ini terdapat di Desa Mandalika.
Formasi ini memiliki ketebalan antara 80-200 m. Formasi ini tersusun oleh lava
andesitik-basaltik, porfiri, petite, rhyolite dan dasit; dasit, lava andesitik, tuff dasit
dengan dioritik dyke; lava andesitic basaltic trachytik dasitik dan breksia
andesitic yang ter-prophyliti-kan; andesite, dasit, breksia volkanik, gamping
kristalin; breksia, lava, tuff, dengan interkalasi dari batupasir dan batulanau yang
memperlihatkan cirri endapan darat. Satuan ini beda fasies menjari dengan
Anggota Tuff dari Formasi Kebo - butak.
5. Formasi Semilir. Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan
Klaten. Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi
batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari
andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak,
Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit
basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral
Formasi Semilir ini memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di
daerah Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di
bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada
tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih
dari 460 meter.
24
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan
Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian
bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya. Sedangkan pada bagian tengah
formasi ditemukan Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER,
Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina praebulloides
BLOW dan Globorotalia siakensis LEROY. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen Tengah
bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun
secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari
dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara
tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf
dan batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara vulkanologi
Formasi Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan
merusak, biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto
dan hartono, 2001).
6. Formasi Nglanggran, Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di
sebelah selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi
gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit.
Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak
berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm.
Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf
yang berlapis baik.
25
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto
(1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera
Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW dan
BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens
CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang
menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan
Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii
CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina
suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY dan Globigerinoides
trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah
bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen
Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah
barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di
dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir
dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan
Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar
berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan
lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara
itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di laut.
7. Formasi Sambipitu. Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada
jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran
26
formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.
Formasi ini tersusun oleh perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan
batulanau, yang memperlihatkan ciri endapan turbidit. Di bagian atas sering
dijumpai adanya struktur slump skala besar. Satuan ini selaras di atas Formasi
Nglanggran, dan merupakan endapan lingkungan laut.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling
dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok
batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya,
terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai
kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki
NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina
sumatrensis BRADY, Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorpha
RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur
Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam
Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen
Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan
adanya percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam.
Dengan hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan
karbonat di dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase
penurunan dari kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu
27
(Bronto dan Hartono, 2001).
28
8. Formasi Oyo. Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan
penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan.
Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis
dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut
umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di
sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan
kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran serta menjemari dengan Formasi Wonosari.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang
dijumpai antara lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina
rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina
polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN
yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe,
1929). Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona neritik).
9. Formasi Wonosari. Formasi ini tersingkap baik di Daerah Wonosari
dan sekitarnya, membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping
terumbu, batugamping bioklastik berlapis dan napal. Satuan batuan ini
merupakan endapan karbonat paparan (carbonate plateform) pada Miosen
Tengah hingga Miosen Akhir (N9-N18). Formasi Wonosari ini mempunyai
hubungan selaras di atas Formasi Oyo, akan tetapi di beberapa tempat,
bagian bawah formasi ini saling berhubungan silang jari dengan Formasi
Oyo.
29
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi
Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di
lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi
Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan
sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona Wonosari dan topografi
karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800
meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari dengan
Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek.
Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping
berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah
napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil
yang melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp.,
ditentukan umur formasi ini adalah Miosen Tengah hingga Pliosen.
Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang
mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
10. Formasi Kepek. Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh
batugamping dan napal dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi
satuan ini nenunjukkan ciri endapan paparan laut dangkal dan merupakan
bagian dari sistem endapan karbonat paparan pada umur Miosen Akhir
(N15-N18). Formasi ini mempunyai hubungan silang jari dengan satuan
batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di atas batuan karbonat tersebut,
secara tidakselaras terdapat satuan batulempung hitam, dengan ketebalan
30
10 meter. Satuan ini menunjukkan ciri sebagai endapan danau di
Daerah Baturetno pada waktu Plistosen. Selain itu, Daerah setempat
terdapat laterit berwarna merah sampai coklat kemerahan sebagai endapan
terrarosa, yang pada umumnya menempati uvala pada morfologi karst. Di
lokasi lainnya, hubungan antara sedimen volkanoklastik dan sedimen
karbonat tersebut berubah secara berangsur (Surono et al, 1989).
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang
dari 10o dan kaya
akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di antaranya
Globorotalia plesiotumida BLOW dan
BANNER, Globorotalia merotumida, Globoquadrina dehiscens
CHAPMAN, PARR dan COLLINS, Amphistegina sp., Textularia sp.,
Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp. Berdasarkan
kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir
hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari
Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
7
31
III.3 Struktur Geologi Regional
Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan
arah relatif barat – timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung
Purwo di bagian Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari
interaksi konvergen antara Lempeng Hindia – Australia dengan Lempeng Micro
Sunda. Evolusi tektonik sejak zaman Kapur sampai sekarang menghasilkan
jejak-jejak struktur, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya, yaitu: (1) struktur
berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Meratus, (2) berarah utara-selatan
atau disebut Pola Sunda, dan (3) berarah barat-timur atau disebut Pola Jawa
(Pulunggono dan Martodjojo, 1994) (Gambar I.5).
Gambar 7. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007).
Di Jawa Timur, disamping Pola Jawa yang berasosiasi dengan struktur
kompresional, terdapat pola struktur berarah barat-timur yang lain yang dikenal
sebagai Pola Sakala (Pertamina-Robertson Research, 1986). Pola Sakala
berasosiasi dengan zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura- Kangean-
Sakala) yang menginversi struktur graben Tersier Awal. Dengan demikian
wilayah Jawa bagian timur merupakan daerah unik secara struktural karena dua
pola struktur utama, yakni Pola Meratus (arah TL-BD) dan Pola Jawa-Sakala
(B-T), berpotongan di wilayah ini.
32
Gambar 8. Daerah penelitian dan sebaran singkapan batuan Pra-Tersier dan batuan Paleogen di Jawa bagian Timur ,(modifikasi dari Gafoer dan Ratman, 1999; dan Amin, Ratman, dan Gafoer,
1999 dalam Prasetyadi, 2007).
Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur
konvergensi Kapur Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur
konvergensi Karangsambung-Meratus tidak aktif, jejak-jejak struktur arah
Meratus ini berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur
tinggian dan dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa,
Dalaman Muria- Pati, Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central
Deep (Gambar II.6).
33
Gambar 9. Penampang seismik baratlaut-tenggara yang menunjukkan jejak-jejak struktur arah Meratus yang berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan
dalaman (Pertamina-Beicip, 1985; Ditjen Migas, dalam Prasetyadi 2007).
Endapan yang mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin tebal,
yang paling tua berupa endapan klastik terestrial yang dikenal sebagai Formasi
Ngimbang berumur Eosen. Distribusi endapan yang semakin tebal ke arah
timur ini menunjukkan pembentukan struktur tinggian dan dalaman ini
kemungkinan tidak terjadi secara bersamaan melainkan dimulai dari arah timur.
Struktur arah Sakala yang berarah barat-timur saat ini dikenal sebagai zona sesar
mendatar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala). Pada mulanya struktur
ini merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling tua dari Formasi
Pra- Ngimbang yang berumur Paleosen-Eosen Awal (Phillips dkk., 1991;
Sribudiyani dkk., 2003) (Gambar II.6B). Graben ini kemudian mulai terinversi
pada Miosen menjadi zona sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen pengisi
cekungannya dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan
dengan sesar arah Sakala.
41
34
Gam bar 10.
Pena mpang
seism ik utara-
selatan yang menunjukkan zona overthrust sebagai batas antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Data seismik dari PND-Ditjen Migas, dalam Prasetyadi 2007).
Selain arah Sakala, struktur arah barat-timur lainnya adalah struktur yang
oleh Pulunggono dan Martodjojo (1994) disebut sebagai arah Jawa. Struktur ini
pada umumnya merupakan jalur lipatan dan sesar naik akibat kompresi yang
berasal dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Jalur lipatan dan sesar
naik ini terutama berkembang di Zona Kendeng yang membentuk batas sesar
berupa zona overthrust antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Gambar II.7).
Bidang overthrust yang nampak memotong sampai ke lapisan yang masih
berkedudukan horisontal menunjukkan pensesarannya terjadi paling akhir
dibandingkan dengan pembentukan struktur yang lain (arah Meratus dan arah
Sakala).
38
35
Gambar 11. Arah pola struktur Jawa bagian timur (modifikasi dari Pertamina-BPPKA, 1996 dan Sribudiyani dkk., 2003).
Mengenai Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa (Prasetyadi ,2007),
menjelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang
mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat
dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga
sekarang yaitu :
1. Periode Kapur akhir – Paleosen : Fase tektonik awal terjadi pada
Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut
meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture
Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase)
selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan
graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus
dari Timurlaut Sumatra –Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan
depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan
Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen
36
benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi
Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di
wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996).
Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi
Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di
Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki,
sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit.
Docking atau merapatnya fragmen mikro-kontinen pada bagian tepi timur
Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan
terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional / Regangan) : Antara 54 jtl – 45 jtl
(Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai
dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India.
Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak
lama setelah pembentukan anomali 19 atau 45 jtl. Berkurangnya secara
mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini
diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona
subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan
(extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai
dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Natuna, Sumatra, Sunda,
Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-
rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan
sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen
37
mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan
syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan
Kalimantan Tenggara).
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF): Sebagian
besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras dengan
satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung
batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan
satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras. Di
daerah Karangsambung Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan
Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke
arah utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras
dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak
ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen
Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur
Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir, tanda-tanda ketidak selarasan
ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen fragmen batuan Eosen di sekuen bagian
bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di
Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang
diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan
terdeformasinya Formasi Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah
Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena endapan Eosen Formasi
Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi
38
Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke
utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia
bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton
pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan
bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih
cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan
ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di
Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang
keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek
kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya
Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi
Wungkal-Gamping di Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua
Australia diperkirakan masih berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa
ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat dengan
munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan Jawa (OAF=Old Andesite
Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan.
Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana
pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini.
4. Periode Oligosen – Miosen (Kompresional – Struktur Inversi): Pada
Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan
Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard
collision) antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya.
Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga
39
berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal
tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di wilayah Asia
Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift
Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben
RMKS menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik
Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini
ditandai dengan pengen-dapan karbonat besar-besaran seperti Formasi
Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di
bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan syninversi formasi-
formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini,
inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan
rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-
selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara-
selatan yang telah ada.
5. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir: Pengaktifan kembali sepanjang
sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang
berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan.
Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement
dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati
dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian
basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang
mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan
40
Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi
karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur
menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama
(Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini,
menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan
karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.
Gambar 12. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa (Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :
A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Kapur – Paleosen.B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Eosen Tengah.C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Oligosen Tengah.
A B C