BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN … 2.pdfBAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN...

47
69 BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN TAHAPAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1 Pengertian Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan Kepala Daerah 2.1.1 Pengaturan. Kata pengaturanmenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 76 berarti “proses, cara, perbuatan mengatur”. Apabila dikaitkan dengan kalimat “Pengaturan Sistem dan Tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah”, kata “pengaturan” dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai proses, cara atau perbuatan mengatur melalui norma-norma hukum tertentu yang melahirkan sistem dan tahapan pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya disebut Pilkada). Oleh karena sistem dan tahapan Pilkada tersebut diatur dalam peraturan perundang- undangan, maka pengaturan tersebut sangat erat kaitannya dengan proses pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan tentang Pilkada. Menurut Jimly Asshiddiqie, norma-norma yang bersifat mengatur (regeling) dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) itu, dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu yang disebut sebagai peraturan perundang-undangan. Disebut peraturan (regels) karena produk hukum tersebut memang merupakan hasil atau “outcome” dari suatu rangkaian aktifitas pengaturan (regeling). 77 76 Departemen Pendidian Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 99. 77 Jimly Asshiddiqie I, op.cit, h.19-20.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN … 2.pdfBAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN...

  • 69

    BAB II

    TINJAUAN UMUM PENGATURAN SISTEM DAN TAHAPAN

    PEMILIHAN KEPALA DAERAH

    2.1 Pengertian Pengaturan Sistem dan Tahapan Pemilihan Kepala Daerah

    2.1.1 Pengaturan.

    Kata “pengaturan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 76

    berarti “proses, cara, perbuatan mengatur”. Apabila dikaitkan dengan kalimat

    “Pengaturan Sistem dan Tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah”, kata

    “pengaturan” dalam konteks ini, dapat diartikan sebagai proses, cara atau

    perbuatan mengatur melalui norma-norma hukum tertentu yang melahirkan sistem

    dan tahapan pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya disebut Pilkada). Oleh

    karena sistem dan tahapan Pilkada tersebut diatur dalam peraturan perundang-

    undangan, maka pengaturan tersebut sangat erat kaitannya dengan proses

    pembentukan atau penyusunan peraturan perundang-undangan tentang Pilkada.

    Menurut Jimly Asshiddiqie, norma-norma yang bersifat mengatur

    (regeling) dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and

    abstract norms) itu, dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu yang disebut

    sebagai peraturan perundang-undangan. Disebut peraturan (regels) karena produk

    hukum tersebut memang merupakan hasil atau “outcome” dari suatu rangkaian

    aktifitas pengaturan (regeling).77

    76 Departemen Pendidian Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, PT. Gramedia

    Pustaka Utama, Jakarta, h. 99.

    77

    Jimly Asshiddiqie I, op.cit, h.19-20.

  • 70

    Pada hakikatnya, penyusunan peraturan perundang-undangan

    dimaksudkan untuk mengatur kepentingan manusia dan peraturan perundang-

    undangan itu harus dapat dilaksanakan, baik oleh penegak hukum maupun

    masyarakat.78

    Oleh karena itu, dalam menyusun dan merancang peraturan

    perundang-undangan harus memperhatikan asas-asas hukum pembentukan

    peraturan perundang-undangan yang baik, serta landasan filosofis, sosiologis, dan

    yuridis. Hal ini sangat penting mengingat kualitas produk peraturan perundang-

    undangan sangat ditentukan oleh asas-asas, landasan, proses, serta tata cara

    pengaturan baik aspek formil maupun materiil materi muatan yang dituangkan di

    dalam suatu peraturan perundang-undangan.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang No. 12 Tahun

    2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur pengertian

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Perundang-

    undangan, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    sebagai berikut:

    1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,

    penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

    pengundangan.

    2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

    ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

    prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

    3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal

    kegentingan yang memaksa.

    78 Salim dan Erlies Septiana Nurbani, 2013,“Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis

    dan Disertasi”, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,. 2013, h. 4.

  • 71

    Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Pengaturan Sistem dan Tahapan

    Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2015

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun

    2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-

    Undang”, maka aspek “pengaturan” sistem dan tahapan Pilkada yang akan diteliti

    adalah pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (yang

    selanjutnya disebut Perppu) No.1 Tahun 2014 yang kemudian ditetapkan menjadi

    Undang-Undang No. 1 Tahun 2015. Di samping itu, juga akan diteliti ketentuan-

    ketentuan terkait dengan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang No.

    1 Tahun 2015 yang pengaturannya dituangkan dan ditetapkan dalam Undang-

    Undang No. 8 Tahun 2015.

    Dalam penelitian ini, jenis peraturan perundang-undangan yang diteliti

    adalah undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang

    (Perppu). Untuk dapat lebih memahami kedua jenis peraturan perundang-

    undangan dimaksud, diperlukan gambaran umum mengenai jenis, hierarki, serta

    proses pengaturan atau penyusunan kedua jenis peraturan perundang-undangan

    tersebut.

    2.1.1.1 Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangangan.

    Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan jenis dan hierarki

    peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

    (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

    a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  • 72

    b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

    (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan

    hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Mengenai kedudukan jenis peraturan perundang-undangan lainnya selain

    yang diatur dalam Pasal 7 di atas, diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 12

    Tahun 2011 sebagai berikut:

    (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh

    Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

    Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan

    Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,

    badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan

    Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala

    Desa atau yang setingkat.

    (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

    sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

    lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

    Berdasarkan Pasal 119 Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang

    Penyelenggara Pemilu, untuk penyelenggaraan Pemilu KPU membentuk

    peraturan KPU dan keputusan KPU. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan jenis dan

    hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan KPU dan keputusan KPU

    tersebut termasuk dalam kategori jenis peraturan perundang-undangan lainnya

    selain yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011.

  • 73

    Pengaturan mengenai peraturan KPU dan keputusan KPU mengikuti Pasal

    8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Dengan demikian, peraturan perundang-

    undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), termasuk di dalamnya

    peraturan KPU dan Keputusan KPU diakui keberadaannya dan mempunyai

    kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

    undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

    2.1.1.2 Pembentukan Undang-Undang.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan

    pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan

    perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,

    pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

    Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah undang-undang.

    Tahapan perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program

    Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas merupakan skala prioritas program

    pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.

    Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah dan ditetapkan

    dengan keputusan DPR.

    Menurut Pasal 18 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penyusunan daftar Rancangan

    Undang-Undang didasarkan atas:

    a. Perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    b. Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Perintah Undang-Undang lainnya;

  • 74

    d. Sistem perencanaan pembangunan nasional; e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. Rencana pembangunan jangka menengah; g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

    Dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diatur mengenai isi Prolegnas

    berupa daftar kumulatif terbuka tentang pembentukan undang-undang yang sudah

    direncanakan. Juga diatur bahwa dalam keadaan tertentu, baik DPR maupun

    Presiden dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas apabila

    sangat dibutuhkan. Adapun rincian ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang

    No. 12 Tahun 2011 dimaksud yaitu:

    (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

    a. Pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. Akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi

    dan/atau Kabupaten/Kota; dan

    e. Penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

    (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan

    Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

    a. Untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana

    alam; dan

    b. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi

    nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat

    disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus

    menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan

    urusan pemerintahan di bidang hukum.

    Tahapan selanjutnya adalah penyusunan undang-undang. Ketentuan

    tentang penyusunan undang-undang diantaranya diatur berdasarkan Pasal 43 dan

    Pasal 44 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-Undangan sebagai berikut:

  • 75

    Ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:

    (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.

    (3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

    (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:

    a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi

    Undang-Undang; atau

    c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

    (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai

    dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang

    diatur.

    Ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:

    a. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik;

    b. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I

    yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

    Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dilakukan oleh DPR

    bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan RUU dilakukan

    melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat 1 (satu) dalam

    rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan

    Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dan pembicaraan tingkat 2 (dua) dalam rapat

    paripurna. RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan

    Presiden. Sedangkan untuk rancangan undang-undang yang sedang dibahas,

    hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.

    Mekanisme pengesahan RUU diatur berdasarkan Pasal 72 dan Pasal 73

    Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, yaitu:

  • 76

    Pasal 72 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:

    (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk

    disahkan menjadi Undang-Undang.

    (2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari

    terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

    Pasal 73 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:

    (1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72

    disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam

    jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

    Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan

    Presiden.

    (2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama

    30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang

    tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah

    menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

    (3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud

    pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini

    dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat

    (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    (5) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat

    (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum

    pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara

    Republik Indonesia.

    2.1.1.3 Pembentukan Perppu.

    Mengenai penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

    (Perppu) diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011:

    (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

    (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk

    pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

  • 77

    (3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

    Undang.

    (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-

    Undang.

    (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan

    harus dinyatakan tidak berlaku.

    (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud

    pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-

    Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

    Undang.

    (7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

    mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah

    Pengganti Undang-Undang.

    (8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7)

    ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang

    sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

    Sedangkan untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) daitur dalam Pasal 73

    Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai berikut:

    (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui

    mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-

    Undang.

    (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui

    mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan

    Rancangan Undang-Undang.

    (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

    a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau

    Presiden;

  • 78

    b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana

    dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR

    tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti

    Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan

    c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-

    Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b

    dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat

    paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.

    2.1.2 Sistem.

    Menurut Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition), yang

    dimaksud sistem adalah:79

    Tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau

    unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaedah atau

    pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum

    merupakan sistem normatif.

    Sedangkan menurut B.N Marbun dalam Kamus Hukum Indonesia, sistem

    diartikan sebagai “perangkat unsur yang secara tertentu saling berkaitan sehingga

    membentuk satu totalitas”, sistem juga diartikan sebagai “susunan yang teratur

    dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya”.80

    Menurut Soebekti sebagaimana dikutip oleh Rusli Muhammad dalam

    bukunya berjudul Sistem Peradilan Pidana Indonesia, pengertian tentang sistem

    yaitu:

    Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan

    yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut

    suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan.

    Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau

    perbenturan antara bagian-bagian tersebut, dan juga tidak boleh terjadi

    79 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition),

    Reality Publisher, Surabaya, h. 569.

    80

    B. N. Marbun, 2009, Kamus Hukum Indonesia, Edisi ke-2, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

    h. 316.

  • 79

    suatu duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) diantara bagaian-bagian

    itu.81

    Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yang disebut “systema”, artinya

    keseluruhan yang terdiri atas bermacam-macam bagian. Istilah sistem adalah

    susunan yang teratur dari suatu teori, asas suatu mekanisme pemerintahan.

    Bellefroid mengemukakan bahwa sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum

    yang diatur secara terpadu berdasarkan asas-asas tertentu.82

    Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, sistem hukum berada di

    atas bagian tertib hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis,

    dengan cara menganalisis atau mengolah data-data yang sifatnya nyata (konkret)

    untuk kemudian mengambil sifat-sifatnya yang umum (abstrak). Aturan-turan

    hukum membentuk dirinya dalam sistem hukum dan mempunyai akar, batang,

    cabang, dahan, ranting, tangkai, daun, bunga, buah, dan sebagainya.83

    Dalam penelitian ini, pengertian sistem dikaitkan dengan sistem Pemilu,

    termasuk didalamnya sistem Pilkada. Sistem Pemilu dapat dikatakan sebagai

    suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas

    bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola

    untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Pemilu.

    Sistem Pemilu diantaranya terdiri dari sub sistem berupa aturan Pemilu

    (electoral law), proses Pemilu (electoral process), badan penyelenggara (electoral

    body), dan penyelesaian sengketa Pemilu (electoral dispute). Menurut standar-

    standar internasional untuk Pemilu, tidak ada sistem Pemilu yang terbaik yang

    81 Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h.13.

    82

    Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung, CV.

    Pustaka Setia, h.65

    83

    Ibid, h. 66.

  • 80

    cocok untuk semua dan tidak ada standar yang diakui secara universal. Pilihan

    sistem Pemilu perlu dibuat dengan mengingat tujuan yang diinginkan. Pengaruh

    yang dapat diakibatkan oleh sistem Pemilu yang berbeda pada akhirnya bersifat

    kontekstual dan tergantung pemisahan dan pembagian tertentu dalam masyarakat.

    Oleh karena itu pemilihan sistem Pemilu merupakan keputusan kelembagaan yang

    paling penting untuk negara demokrasi manapun.84

    Adapun uraian dari masing-masing sub sistem Pemilu di atas adalah

    sebagai berikut:85

    1. Aturan Pemilu (electoral law), yaitu aturan dan prosedur yang memungkinkan suara yang telah dipungut dalam suatu pemilihan

    diterjemahkan menjadi kursi yang dimenangkan dalam badan

    legislatif dan badan lainnya.

    2. Proses Pemilu (electoral process), yaitu tahapan Pemilu dari persiapan, pelaksanaan, sampai pada penyelesaian Pemilu.

    3. Badan penyelenggara (electoral body), yaitu KPU dan Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu

    4. Sengketa Pemilu (electoral dispute), yaitu tahap penyelesaian yang juga sering disebut sengketa Pemilu.

    Secara konseptual, jika dilihat dari sistem penyelenggaraan Pilkada,

    terdapat varian pilihan yang bisa dijadikan pijakan untuk penyelenggaraan

    Pilkada. Pilihan terhadap masing-msing varian tersebut, didasarkan pada

    pertimbangan-pertimbangan filosofis, sosiologis, ekonomis, politis, demokratis

    dan sebagainya. Pilihan terhadap sistem itu antara lain adalah:86

    1. First Past the Post System. Sistem ini merupakan sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara

    terbanyak, otomatis memenangkan Pilkada dan menjadi kepala daerah.

    84 Standar-Standar Internasional Untuk Pemilihan Umum Pedoman Peninjauan Kembali

    Kerangka Hukum, The International IDEA, Seri Buku Panduan, Sweden, 2001, h. 25.

    85

    Ketut Sukawati Lanang P. Perbawa, 2013, Eksistensi KPU dalam Sistem Pemilu di

    Indonesia, Panakom Publishing, Denpasar, h.47-48.

    86

    Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin, 2009, Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di

    Indonesia, Ed., IPD, Yogyakarta, h. 6.

  • 81

    Sistem ini dikenal juga dengan sebutan sistem mayoritas sederhana

    (Simple majority). Walaupun seorang calon kepala daerah memperoleh

    suara di bawah 50%, asalkan suaranya lebih dan calon yang lain, dia

    otomatis menjadi kepala daerah.

    2. Preferential Voting System atau Approval Voting System. Pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap

    calon-calon kepala daerah pada saat pemilihan. Seorang calon akan

    memenangkan Pilkada langsung, jika perolehan suaranya mencapai

    peringkat pertama yang terbesar. Sistem mi disebut juga dengan istilah

    simple majority.

    3. Two round system atau run-off system. Pemilihan dilakukan dua putaran, dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh

    mayoritas absolut atau tidak ada calon yang memperoleh lebih dan 50

    %, maka akan diselenggarakan pemilihan putaran kedua yang hanya

    diikuti dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak dalam

    putaran pertama.

    4. Sistem electoral college. Setiap daerah pemilihan diberikan bobot suara sesuai dengan jumlah penduduk. Pemenang di setiap daerah

    pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara Dewan Pemilih.

    Calon yang memperoleh Dewan Pemilih terbesar akan memenangkan

    Pilkada langsung.

    5. Sistem Nigeria. Seorang calon akan memenangkan Pilkada langsung apabila memperoleh mayoritas suara sederhana dan mengumpulkan

    sedikitnya 25 % dan 2/3 suara dan daerah pemilihan yang ada.

    Dalam penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, pengaturan sistem dan

    tahapan Pilkada seringkali mengalami perubahan-perubahan dalam jangka waktu

    relatif singkat dan bahkan di tengah tahapan penyelenggaraan yang tengah

    berlangsung, sehingga terlihat tidak konsisten dan menimbulkan berbagai dampak

    yang luas. Di samping itu, sistem yang diterapkan tidak jarang menimbulkan

    kontroversi sehingga berpengaruh terhadap proses persiapan, pelaksanaan,

    maupun hasil pemilihan kepala daerah itu sendiri. Oleh karena itu, evaluasi dan

    kajian mendalam tentang sistem mana yang akan diterapkan pada masa yang akan

    datang sangat penting dan strategis.

    Menurut Janedjri M. Gaffar, pada era reformasi terjadi perubahan dalam

    pemilihan kepala daerah. Pertama-tama pemilihan kepala daerah dilakukan oleh

  • 82

    DPRD secara penuh, bukan mengusulkan nama kepada presiden seperti pada

    masa Orde Baru. Dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

    Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilipih oleh DPRD. Selanjutnya

    dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

    ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung

    oleh rakyat.87

    Perubahan cara pemilihan kepala daerah dimaksudkan agar sesuai dan

    dapat mencapai tujuan otonomi daerah. Kepala daerah yang dipilih diharapkan

    benar-benar sesuai dengan aspirasi dan mampu memenuhi harapan rakyat di

    daerah. Kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat diharapkan benar-

    benar berpihak kepada rakyat, tidak hanya mementingkan elit politik saja.88

    Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud sistem dalam penelitan

    ini adalah sistem Pilkada, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu

    sistem Pikada secara langsung oleh rakyat dan secara tidak langsung melalui

    DPRD dengan sub-sub sistem yang menyertainya seperti aturan Pemilu (electoral

    law), proses Pemilu (electoral process), badan penyelenggara (electoral body),

    dan penyelesaian sengketa Pemilu (electoral dispute) sesuai dengan pilihan sistem

    yang diambil.

    2.1.3 Tahapan.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tahapan” berarti

    “tingkatan” atau “jenjang”89

    . Apabila dikaitkan dengan judul dalam penelitian ini,

    87 Janedjri M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, (selanjutnya disingkat

    Janedjri M. Gaffar II), h. 121.

    88

    Ibid.

    89

    Departemen Pendidikan Nasional, op. cit, h. 1376.

  • 83

    yaitu “Pengaturan Sistem dan Tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah”, maka

    pengertian kata “tahapan” adalah “tingkatan” atau “jenjang” dalam hal

    penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

    Pengaturan tahapan Pilkada sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan

    hukum, hubungan pusat dan daerah, sistem Pilkada (sistem langsung atau tidak

    langsung/melalui DPRD) serta peraturan perundang-undangan yang dijadikan

    sebagai dasar penyelenggaraan Pilkada. Di Indonesia hingga saat ini dikenal dua

    sistem Pilkada yaitu secara langsung oleh rakyat pemilih maupun secara tidak

    langsung melalui DPRD. Pengaturan sistem Pilakda yang berbeda jelas akan

    melahirkan tahapan Pilkada yang berbeda pula. Namun demikian, meskipun

    sistem Pilkadanya sama, pengaturan maupun praktek pelaksanaan tahapan Pilkada

    seringkali berbeda-beda. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya berbagai faktor

    yang mempengaruhi pelaksanaan Pilkada itu sendiri.

    Dalam penyelenggaraan Pilkada, regulasi yang dijadikan acuan

    diantaranya adalah undang-undang tentang Pilkada dan peraturan KPU tentang

    tahapan atau jadwal Pilkada. Berdasarkan peraturan perudang-undangan tersebut

    disusun tahapan penyelenggaraan Pilkada yang pada umumnya dibagi menjadi

    dua tahapan pokok, yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan atau

    pelaksanaan.

    Sebagai gambaran umum tentang pengaturan tahapan Pilkada, berikut

    diuraikan pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun

    2004 (sistem langsung) dan berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014

  • 84

    tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (sistem tidak langsung/

    melalui DPRD).

    Pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang No. 32

    Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah sebagai berikut:

    (1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.

    (2) Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya

    masa jabatan;

    b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;

    c. Perencanaam penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

    d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

    (3) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penetapan daftar pemilih; b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepala

    daerah;

    c. Kampanye; d. Pemungutan suara; e. Penghitungan suara; dan f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah

    terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

    (4) Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

    diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan perubahannya mengatur sistem

    Pilkada secara langsung. Artinya bahwa pemilihan dilakukan secara langsung oleh

    warga negara yang dinyatakan memiliki hak pilih. Pemilihan dilakukan secara

    Luber dan Jurdil di TPS-TPS yang telah disediakan.

    Sedangkan pengaturan tahapan Pilkada berdasarkan Pasal 6 Undang-

    Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

    sebagai berikut :

  • 85

    (1) Pemilihan diselenggarakan melalui tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan.

    (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    a. penyusunan program, kegiatan, dan jadwal Pemilihan; b. pengumuman pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon

    bupati, dan bakal calon walikota;

    c. pendaftaran bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota;

    d. penelitian persyaratan administratif bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon walikota; dan

    e. uji publik. (3) Tahapan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. penyampaian visi dan misi; b. pemungutan dan penghitungan suara; dan c. penetapan hasil pemilihan.

    Jika Pasal 65 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah menganut sistem Pilkada secara langsung, maka berbeda halnya dengan

    Pasal 6 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,

    dan Walikota yang mengadut sistem Pilkada secara tidak langsung yaitu melalui

    anggota DPRD.

    Berdasarkan uraian dan gambaran umum di atas, dalam penelitian ini,

    yang dimaksud dengan tahapan Pilkada adalah tingkatan atau jenjang pemilihan

    kepala daerah yang terdiri tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.

    Masing–masing tahapan tersebut dirinci lebih lanjut berdasarkan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Secara umum tahapan untuk Pilkada dengan sistem langsung pada

    prinsipnya terdiri dari:

    a. Perencanaan Program, Tahapan, dan Anggaran;

    b. Pembentukan Badan Penyelenggara Ad Hoc;

    c. Pemutakhiran Data Pemilih;

  • 86

    d. Tahap Pencalonan;

    e. Tahap Kampanye;

    f. Tahap Pemungutan, Penghitungan dan Rekapitulasi Hasil

    Penghitungan Suara;

    g. Tahap Pengusulan Pengesahan Pengangkatan Calon Terpilih.

    Dalam praktik penyelenggaraan Pilkada dari masa ke masa, rincian

    mengenai tahapan Pilkada ini seringkali mengalami perubahan sesuai dengan

    peraturan perundang-udangan yang dijadikan dasar dalam penyusunan dan

    pelaksanaannya.

    2.1.4 Pemilihan Kepala Daerah.

    2.1.4.1 Dalam Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu.

    Pengaturan pengertian tentang Pilkada dalam peraturan perundang-

    undangan di Indonesia terus mengalami perkembangan dan perubahan. Hal ini

    tidak terlepas dari sistem dan tahapan Pilkada yang diterapkan dalam peraturan

    perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar dalam pengaturannya.

    Pengertian tentang Pilkada sebagaimana diatur berdasarkan Undang-

    Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu adalah sebagai berikut:

    a. Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan

    rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

    jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

    berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945”.

    b. Dalam Pasal 1 angka 4 dinyatakan bahwa” Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan

    wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik

    Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945”.

  • 87

    Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang

    Penyelenggara Pemilu dan dicabutnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2007,

    pengertian tentang Pemilu masih tetap sama dengan Pasal 1 angka 1 Undang-

    Undang No. 22 Tahun 2007, sedangkan untuk pengertian Pilkada mengalami

    perubahan.

    Pengertian Pilkada menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 15

    Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi “Pemilihan Gubernur, Bupati,

    dan Walikota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota

    secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

    Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

    Dalam undang-undang ini, penggunaan kata “ langsung” diganti dengan kata

    “demokratis”. Namun demikian, meskipun telah terjadi perubahan, dalam

    praktiknya penyelenggaraan Pemilukada bedasarkan Undang-Undang No. 32

    Tahun 2004 beserta perubahannya dan Undang-Undang No 15 Tahun 2011

    sampai dengan tahun 2014 tetap diselenggarakan secara langsung.

    2.1.4.2 Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Pilkada.

    a. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

    Dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004:

    (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,

    umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

    (2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh

    partai politik atau gabungan partai politik.

    Dalam Pasa1 57 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004:

    (1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh

    KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.

  • 88

    (2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan

    penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

    kepada DPRD.

    b. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.

    Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang

    Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur bahwa Pemilihan gubernur,

    bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan

    kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati,

    dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.

    Berdasarkan undang-undang ini, pemilihan kepala daerah dilaksanakan

    secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil. Gubernur

    dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas,

    terbuka, jujur, dan adil dan Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD

    kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.

    c. Dalam Perppu No. 1 Tahun 2014.

    Dalam Pasal 1 ayat (1) Pepu No. 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan

    menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 dinyatakan bahwa Pemilihan

    Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah

    pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih

    Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.

    d. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015.

    Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015

    diatur bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,

    serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah

  • 89

    pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk

    memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota

    dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

    Dalam penelitian ini, digunakan pengertian Pilkada sebagaimana diatur

    dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015. Hal ini didasari

    pemikiran bahwa pengertian tersebut merupakan pengertian terbaru yang berlaku

    secara sah sejalan dengan perubahan terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 2015

    sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tersebut.

    2.2 Sejarah Perkembangan Sistem Pemerintahan dan Otonomi Daerah

    Sejarah perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

    mengalami pasang surut sejak jaman kolonial Belanda, jaman penjajahan Jepang

    sampai Indonesia merdeka. Perkembangan tersebut sesuai dengan dinamika

    administrasi pemerintahan juga terus berkembang.

    Menurut Samsul Wahidin , perkembangan itu tidak terlepas dari dinamika

    politik serta tarik ulur kepentingan antara pusat dan daerah, serta pemerintahan

    negara secara urnum. Pada perspektif waktu, dalam arti periodisasi berlakunya

    kebijakan negara tentang otonomi daerah ini bisa diklarifikasi berdasarkan rezim

    pemegang kendali pemerintahan negara yang juga terus berganti.90

    Pengaruh kebijakan politik dan kekuasaaan rezim menjadi salah satu

    elemen yang mempengaruhi, bahkan menentukan pasang surutnya perjalanan

    otonomi daerah di Indonesia. Pola hubungan pusat dan daerah yang

    90 Samsul Wahidin, 2013, Hukum Pemerintahan Daerah Pendulum Otonomi Daerah Dari

    Masa ke Masa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.7.

  • 90

    mencerminkan otonorni daerah ini berkembang dinamis seiring berjalannya

    waktu, sesuai dengan keinginan rejim yang berkuasa, yang mencerminkan

    orientasi dan kepentingannya.

    Samsul Wahidin membagi dimensi kesejarahaan perkembangan otonomi

    daerah di Indonesia berdasakan periodisasi sebagai berikut:91

    1. Masa Penjajahan (Belanda dan Jepang) 2. Masa Setelah Kemerdekaan (tahun 1945 — 1959) 3. Masa Orde Lama (1959 — 1965) 4. Masa Orde Baru (1965 — 1998) 5. Masa Reformasi (1999 — sekarang)

    Pada masing-masing periode tersebut, dikeluarkan peraturan perundang-

    undangan yang dijadikan acuan normatif dalam penerapan kebijakan pengelolaan

    pemerintahan daerah. Adapun uraian ringkas dari masing-masing periode adalah

    sebagai berikut:

    2.2.1 Masa Penjajahan (Belanda dan Jepang).

    Pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda, ditetapkan sejumlah produk

    hukum yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan daerah. Produk hukum

    dimaksud adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie

    (Staatsblad 1885 No. 2). Produk hukum setingkat undang-undang ini dipandang

    sebagai acuan normatif yang secara operasional dijadikan sebagai dasar

    pengelolaaan pemerintahan daerah di Indonesia.

    Substansi dalam produk hukum (disingkat RBR) tersebut terdiri dari dua

    hal pokok, yaitu: Pertama, muatan pengelolaan yang secara internal lebih

    mengarah pada mekanisme desentralisasi, meskipun dalam tataran praktis yang

    91

    Ibid.

  • 91

    lebih ditekankan dan dilaksanakan adalah dekonsentrasi. Kedua, secara geografis

    telah ditetapkan kawasan yang merujuk pada kondisi wilayah geografis tersebut.

    Wilayah administratif dibagi menjadi tingkatan yang jika dikaitkan dengan

    wilayah administratif, dikenal dengan sebutan sebagai berikut: 92

    a. gewest (yang kemudian disebut residentie), setara dengan Karesidenan

    b. afdeeling district, setara dengan Kabupaten/Kota

    c. onderdistrict, setara dengan Kawedanan (di atas Kecamatan)

    Beberapa tahun kemudian, pemerintahan kolonial merubah tatanan

    administrasi pemerintahan daerah tersebut dengan dikeluarkannya Decentralisatie

    Wet (Staastblaad Tahun 1903 No. 329). Makna otonomi daerah dalam ketentuan

    yang diatur dalam produk hukum tersebut pada prinsipnya lebih terinci. Pada

    periode ini dibentuk satuan pemerintahan (gewest) yang punya kewenangan lebih

    besar dan bahkan ada yang mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah.

    Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh sebuah raad atau dewan

    di masing-masing daerah. Dewan inilah yang menjadi cikal bakal perwakilan

    daerah dalam mekanisme pemerintahan lokal.

    Kendatipun secara administratif pelaksanaan pemerintahan daerah bersifat

    struktural, namun di daerah darah tersebut diakomodasikan sistem pemerintahan

    lokal. Selain pembentukan pemerintahan dengan mekanisme pemerintahan

    formal, juga diakomodir sistem pemerintahan yang merupakan persekutuan asli

    rakyat daerah setempat yang dilegitimasi dengan dasar hukum berupa

    zelfbestuurende lanschappen, atau persekutuan masyarakat adat. Misalnya ada

    92 Ibid, h.18.

  • 92

    masyarakat adat di Jawa, Nagori di Rantau Kuatan (Riau), Nagari di

    Minangkabau, Ratin dan Penghulu di Siak, Subak di Bali, Marga di Sumatera

    Selatan, Lembang di Toraja, dan sebagainya.

    Setelah Belanda dikalahkan oleh Jepang, Indonesia beralih dan

    pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Konsekuensinya pun terjadi

    perubahan mekanisme pemerintahan daerah yang kemudian dikelola berdasarkan

    mekanisme pemerintahan Jepang.

    Perubahan tersebut secara mendasar terjadi pada struktur pemerintahan.

    Jika masa pemerintahan sebelumnya terdiri atas gubernur jenderal, gubernur,

    residen dan controleur, kasunan, bupati, wedana dan asisten wedana, diadakan

    perubahan. Struktur disesuaikan dan mengacu pada struktur pemerintahan Jepang

    dan style pemerintahan militer yang represif dan sepenuhnya berdasarkan

    komando.

    Struktur lebih disederhanakan, berdasarkan penguasaan yang didasarkan

    pada kawasan yang berbasis militer. Pengaturan kekuasaan militer ini dipimpin

    oleh komando di bawah komando angkatan darat dan kawasan yang dipimpin

    komando angkatan laut, khususnya yang ada di Kawasan Timur Indonesia

    (Katimin). Dengan demikian sifatnya struktur kewilayahan atau teritorial yang

    dibagi ke dalam tiga komando oleh pasukan angkatan perang Jepang yang

    selanjutnya berubah menjadi Pasukan Beladiri Jepang yang merupakan

    representasi pemerintahan Jepang.

    Masa pemerintahan penjajah Jepang di Indonesia relatif singkat jika

    dibandingkan dengan penjajahan Belanda, yaitu sekitar 3,5 (tiga setengah) tahun.

  • 93

    Hal ini mengakibatkan belum sepenuhnya struktur yang dibangun itu mapan

    dalam pelaksanaannya. Struktur pemerintahan belum tersosialisasi dan

    menemukan bentuknya sesuai keinginan pemerintahan Jepang, sampai kemudian

    sejarah mencatat Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu.

    2.2.2 Masa Setelah Kemerdekaan (1945 — 1959).

    Kemerdekaan yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus

    tahun 1945 adalah titik balik sejarah Indonesia. Pada masa ini pemerintahan di

    Indonesia belum dapat dijalankan secara efektif karena berbagai upaya

    konsolidasi sebagai negara yang baru merdeka sangat diperlukan dan

    mendesaknya pengakuan kedaulatan dari negara lain. Di samping itu, mekanisme

    pemerintahan daerah masih mencari bentuk.

    Sejarah pelaksanaan desentralisasi dalam sistem pemerintahan di

    Indonesia dimulai sejak berdirinya Negara Republik Indonesia pada tahun 1945,

    yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite

    Nasional Daerah. Undang-Undang ini bermaksud mengatur mengenai Komite

    Nasional Daerah (KND) menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang

    berlaku untuk semua daerah, kecuali daerah kesultanan Yogyakarta dan

    kesultanan Surakarta. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari dibentuk

    badan eksekutif yang dipilih oleh kepala daerah. Dengan demikian, kepala daerah

    berfungsi sebagai ketua BPRD juga sebagai ketua badan eksekutif daerah. Bentuk

    daerah otonom yang dikenal adalah kabupaten, karesidenan, dan daerah istimewa.

    Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah,

    wilayah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat, yakni provinsi, kabupaten (kota

  • 94

    besar), dan desa (kota kecil, negara, dan marga) yang berhak mengatur dan

    mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah istimewa tetap dikenal dalam undang-

    undang ini. Pemerintahan daerah terdiri dari DPRD dan Dewan pemerintahan

    Daerah (DPD). DPD dipilih oleh dan dari DPRD atas dasar perwakilan

    berimbang.

    Selain kedua undang-undang tersebut di atas, pada periode ini juga

    diberlakukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang mengacu pada Pasal 89,

    Pasal 131, dan Pasal 132 UUDS Tahun 1950. Berdasarkan Undang-Undang No. 1

    Tahun 1957 daerah otonom yang dimaksudkan sebagai daerah yang berhak

    mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut daerah swatantra

    dan daerah istimewa. Wilayah Negara Indonesia dibagi dalam daerah besar dan

    daerah kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, terdiri atas daerah

    tingkat I, daerah tingkat II, dan daerah tingkat III. Pemerintah daerah terdiri dan

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah

    (DPD). Kepala daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan

    Pemerintah Daerah. Anggota-anggota Dewan Pemerintahan Daerah dipilih oleh

    dan dari anggota DPRD.

    Pada periode tersebut daerah sudah diberikan keleluasaan untuk mengatur

    dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan asas otonomi daerah yang seluas-

    luasnya. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam pelaksanaan

    desentralisasi, sementara dewan pemerintahan daerah lebih banyak menangani

    tugas pembantuan selain urusan yang diserahkan oleh DPRD.

  • 95

    2.2.3 Masa Orde Lama (1959 — 1965).

    Masa Orde Lama disebut dengan masa demokrasi terpimpin. Masa ini

    diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri kemelut dan

    ketidakpastian ketatanegaraan di Indonesia dan kembali berlakunya UUD yang

    disahkan tanggal 18 Agustus 1945, yang populer dengan nama UUD 1945. Hal ini

    menandai kembalinya era pemerintahan presidensial dengan kewenangan besar

    ada di tangan presiden.

    Pengelolaan pemerintahan daerah diatur berdasarkan produk yang dibuat

    pada masa itu yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 dan

    Penetapan Presiden (Penpres) No. 5 Tahun 1960. Pada periode 1959-1966,

    dikeluarkan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah

    dengan dasar Pasal 18 UUD 1945 dan sekaligus sebagai implementasi Dekrit

    Presiden tanggal 5 Juli 1959. Berdasarkan penetapan presiden (Penpres) tersebut,

    Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah (DPRD). Kepala daerah adalah alat pemerintah daerah dan alat pemerintah

    pusat. Dalam menjalankan tugas, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah

    Harian (BPH) dengan tugas membantu kepala daerah dalam urusan di bidang

    rumah tangga daerah otonom dan tugas pembantuan dalam pemerintahan.

    Dalam Penpres tersebut, DPRD hanya berwenang dalam bidang legislatif

    dan penetapan APBD. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1966

    tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, wilayah Negara RI terbagi habis

    dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

    sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan, yakni Provinsi atau Kota Raya sebagai

  • 96

    daerah tingkat I, Kabupaten atau Kotamadya sebagai daerah tingkat II, dan

    Kecamatan atau Kota Praja sebagai daerah tingkat III. Pemerintah daerah terdini

    atas kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah dibantu wakil kepala daerah dan

    Badan Pemerintah Harian (BPH). Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugas

    mempertanggungjawabkan kepada kepala daerah. Pada era ini struktur

    pemerintahan sangat sentralistis atau mekanisme pengendalian pusat terhadap

    daerah sangat ketat. Istilah otonomi nyata dan seluas-luasnya secara formal tetap

    disebutkan, tetapi tidak dijabarkan. Undang-undang pemerintahan daerah dalam

    periode ini, dan Penpres No. 6 Tahun 1959 menupakan produk hukum yang

    konservatif.

    2.2.4 Masa Orde Baru (1965 — 1998).

    Rezim berikutnya yang berkuasa adalah Orde Baru. Orde Baru dimulai

    ketika dikeluarkan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang secara

    formal memberikan kekuasaan penuh kepada penguasa Orde Baru. Pada periode

    itu, politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima

    digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya. Pengelolaan pemerintahan

    daerah dari pola sentralistik yang menjadi tema Orde Lama diganti. Otonomi

    daerah mengalami dinamika kembali, ditandai dengan diberlakukannya Undang-

    Undang baru yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di

    Daerah.

    Berdasarkan undang-undang ini, desentralisasi ditekankan sebagai

    penyerahan urusan pemerintahan dan pemerintah atau daerah tingkat atasnya

    kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah

  • 97

    didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

    mengurus rurnah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku.

    Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dibentuk dan disusun

    daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

    1974 tersebut, istilah otonomi nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan

    dan diganti dengan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dominasi pusat

    atas daerah terlihat pada ketentuan yang memberikan keleluasaan kepada pusat

    untuk menentukan kepala daerah/wilayah tanpa terikat pada peringkat hasil

    pemilihan oleh DPRD.

    Dengan kata lain, DPRD adalah mesin politik pemerintah pusat untuk

    mencalonkan kepala daerah/wilayah. Kepala daerah selain sebagai organ

    daerah juga sebagai aparat pusat dan kedudukannya sebagai penguasa tunggal di

    daerah. Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan

    preventif, represif, dan pengawasan umum. Dengan demikian, desentralisasi

    diwujudkan dengan implementasi peran pusat yang sangat dominan dalam

    berbagai aspek.

    Dalam pemerintahan Orde Baru, stabilitas politik sebagai prasyarat utama

    dalam pelaksanaan pembangunan. Kekuatan rezim Orde Baru yang bersumber

    pada sistem politik otoriter birokratik menempatkan militer sebagai kekuatan

    utama dalam menciptakan stabilitas politik. Dalam menjaga stabilitas politik

    inilah, pemerintahan Orde Baru menjalankan berbagai strategi politik dan

    menempatkan militer dalam birokrasi politik.

  • 98

    2.2.5 Masa Reformasi (1999 — sekarang).

    Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik dan otoriter tidak mampu

    membendung arus tuntutan perubahan yang menginginkan demokratisasi dan

    keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

    Pada masa reformasi, terjadi perubahan besar dalam sistem pemerintahan

    terutama dalam hal hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang ditandai

    dengan penggantian Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dengan Undang-Undang

    No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang No. 25

    Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

    yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan

    Undang-Undang No. 33 Tahun 2004.

    Perubahan yang sangat fundamental yaitu amandemen terhadap Undang-

    Undang Dasar 1945 sampai empat kali (1999, 2000, 2001, 2002) terjadi pada

    masa ini. Dalam amandemen tersebut, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945

    mengalami perubahan dan penambahan sejumlah ayat baru, yang pada intinya

    memperjelas sistem pemerintahan daerah. Pasca amandemen, pemerintah daerah

    menjalankan ekonomi seluas-luasnya, kecuali urusan-urusan pemerintahan yang

    oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Kemudian

    pemerintah daerah juga berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan

    lainnya untuk melaksanakan ekonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, juga

    diatur bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui

    pemilihan umum. Hal ini merupakan perkembangan baru dan jauh lebih terinci

  • 99

    jika dibandingkan dengan Pasal 18 sebelum amandemen.

    Perubahan terhadap materi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut

    jelas dimaksudkan untuk proses pembentukan sistem pemerintahan demokrasi

    yang sesuai dengan karakteristik Bangsa Indonesia, dimana pemerintah daerah

    dan kepala daerah selaku pimpinan tertinggi pemerintahan di daerah lebih

    dioptimalkan tugas dan fungsinya untuk kepentingan rakyatnya.

    Pada periode ini lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah

    yang dianggap aspiratif mengakomodasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam

    sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut adalah

    Undang-Undang No. Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

    Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No.

    32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

    yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan yang

    berkembang di Indonesia.

    Sejalan dengan perkembangan jaman, Undang-Undang No. 32 Tahun

    2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang No.

    23 Tahun 2014. Pertimbangan penggantian undang-undang tersebut antara lain

    adalah:93

    a. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

    peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,

    serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

    demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam

    sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;

    93 Lihat bagian menimbang Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

    Daerah.

  • 100

    a. Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan

    antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antar daerah, potensi dan

    keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan

    global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;

    b. Bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,

    ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah

    sehingga perlu diganti.

    Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, yang dimaksud dengan

    pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

    pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi

    dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

    prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah kepala

    daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin

    pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

    Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan

    Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, dibagi atas daerah provinsi dan daerah

    provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten/kota

    dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa.

    Daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan daerah dan masing-masing

    mempunyai pemerintahan daerah. Daerah provinsi selain berstatus sebagai daerah

    juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur

    sebagai wakil pemerintah pusat dan wilayah kerja bagi gubernur dalam

    menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah provinsi.

  • 101

    Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah

    administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam

    menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah Daerah

    kabupaten/kota.

    Mengenai kekuasaan pemerintahan diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang

    No. 23 Tahun 2014 sebagai berikut:

    (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

    sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945.

    (2) Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    diuraikan dalam berbagai Urusan Pemerintahan.

    (3) Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (2), Presiden dibantu oleh menteri yang

    menyelenggarakan Urusan Pemerintahan tertentu.

    (4) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi,

    Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.

    2.3 Perkembangan Pengaturan Sistem Pengisian Jabatan Kepala Daerah

    Pengaturan hukum yang melandasi keberlakuan undang-undang

    pemerintahan daerah di Indonesia, tidak terlepas dan adanya dinamika

    keberlakuan konstitusi negara RI, baik itu UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS

    1950, kembali ke UUD 1945 sampai pasca amandemen UUD NRI 1945.

    Menurut Wendy Melfa, dinamika keberlakuan konstitusi negara, dalam

    kaitannya dengan cita-cita membentuk satuan pemerintah tingkat daerah yang

    otonom sesungguhnya telah secara mantap diperjuangkan oleh para pejuang

    kemerdekaan dan dituangkan dalam UUD 1945 sebagai salah satu tujuan negara

    untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah, hal tersebut bukan sekedar tuntutan

  • 102

    efisiensi dan efektifitas pemerintahan semata, melainkan sebagai tuntutan

    konstitusional yang berkaitan dengan prinsipp rinsip demokrasi dan negara

    berdasarkan atas hukum.94

    Dinamika keberlakuan konstitusi negara membawa pengaruh pada

    dinamika keberlakuan undang-undang pemerintahan daerah, dan untuk

    selanjutnya juga menyebabkan dinamika model pengisian jabatan kepala daerah.

    Menurut Wendy Melfa, dari kajian terhadap perkembangan sistem atau

    model pengisian jabatan kepala daerah, dapat disimpulkan ada lima periode

    tahapan dinamika model pengisian jabatan kepala daerah, yaitu:95

    a. Periode UUD NRI 1945 b. Periode Konstitusi RIS c. Periode UUDS 1950

    Periode kembali ke UUD NRI 1945

    d. UUD NRI 1945 setelah diamandemen

    Adapun uraian singkat atau tinjauan umum dari masing-masing

    periode dimaksud adalah sebagai berikut:

    2.3.1 Periode UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949).

    Pengaturan ketentuan tentang pemilihan kepala daerah, terdapat di dalam

    ketentuan peraturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia. Pemikiran dasar

    tersebut dirumuskan di dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu:

    Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil denganbentuk

    susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan

    memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

    pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang

    bersifat istimewa.

    94 Wendy Melfa, 2013, op. cit., h.77.

    95

    Ibid. h.78.

  • 103

    Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut mengatur pemerintahan daerah

    sangat singkat, sehingga tidak mudah untuk mendapatkan arahan bagi pengaturan

    pemerintahan daerah pada umumnya. Pada masa ini belum terdapat undang-

    undang yang mengatur pemerintahan daerah secara khusus. Aturan yang

    digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan UU No.

    1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah dan Undang-undang No. 22

    Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.

    Mekanisme rekruitmen pengisian jabatan kepala daerah menurut Undang-

    Undang No. 1 Tahun 1945 adalah melalui pemilihan oleh Komite Nasional

    Daerah (KND) semacam badan legislatif, dimana komite ini memilih 5 (lima)

    orang diantara anggotanya untuk duduk di badan eksekutif yang salah satunya

    menjadi kepala daerah yang bertindak sebagai ketua merangkap anggota.

    Sedangkan status kepala daerah didalam badan legislatif hanya sebagai ketua,

    tetapi tidak memiliki hak suara. Untuk wakil kepala daerah berasal dari ketua

    KND yang sebelumnya, yang secara otomatis menjadi wakil ketua KND pada saat

    kepala daerah terpilih. Dalam hal kepala daerah berhalangan, maka Wakil Ketua

    KND menggantikan posisi kepala daerah.

    Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang hanya terdiri dari enam pasal

    tidak mengatur semua aspek pemerintahan daerah yang berlaku sebagai hukum

    positif. Oleh karena itu, pemerintah rnenyempurnakannya dengan menerbitkan

    Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok

    Pemerintahan Daerah yang dianggap dapat lebih memenuhi harapan rakyat.

    Undang-undang ini memuat beberapa aspek penting, antara lain bahwa

  • 104

    penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada asas desentralisasi dan

    azas tugas pembantuan (medebewind). Udang-undang ini adalah undang-undang

    yang pertama kalinya mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di

    Indonesia.

    Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 lahir setelah sistem pemerintahan

    yang dianut pada saat itu sudah berubah dari sistem pemerintahan presidensiil ke

    sistem pemerintahan parlementer, dengan satu indikasi bahwa menteri-menteri

    tidak lagi bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi kepada Komite Nasional

    Indonesia Pusat (KNIP). Perkembangan ketatanegaraan (sistem pemerintahan)

    ditingkat pemerintah pusat tersebut mempengaruhi penyelenggaraan

    pernerintahan di daerah, yang secara tidak langsung harus memperbaharui

    landasan hukurn pelaksanaan pemerintahan di daerah sebagai dasar

    pelaksanaannya.

    Pada periode ini, berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, kepala

    daerahnya diangkat, masing-masing sebagai berikut:

    1. Gubernur (Provinsi) diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang

    diajukan oleh DPRD Provinsi

    2. Bupati/Walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang

    diajukan oleh DPRD Kabupaten/ Kota

    3. Kepala Desa diangkat oleh Gubernur dari calon yang diajukan oleh

    DPRD desa (kota kecil)

  • 105

    4. Kepala daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan

    keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik

    Indonesia dengan syarat tertentu

    Kepala daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul

    DPRD yang bersangkutan. Di dalam undang-undang ini juga tidak ditegaskan

    keberadaanWakil KDH. Untuk mewakili KDH jika berhalangan oleh Dewan

    Pemerintah Daerah ditunjuk seorang diantara anggotanya.

    2.3.2 Periode UUD RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950).

    Pada periode ini walaupun Indonesia sudah merdeka Belanda belum

    mengakui kedaulatan NKRI dan ingin menguasai kembali melalui agresi militer.

    Balanda berusaha rnenguasai kembali Indonesia dengan membentuk negara

    federal, sehingga pada saat itu diberlakukan UUD Republik Indonesia Serikat

    (RIS) Tahun 1949. Negara bagian pertama terbentuk adalah Negara Indonesia

    Timur (NIT), dimana undang-undang pemerintahan daerah yang sempat dibentuk

    untuk NIT yaitu Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 yang materinya sebagian

    besar diambil dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1948. Negara serikat hasil

    bentukan Belanda tidak bertahan lama, karena keinginan negara-negara bagian

    untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga

    pada akhirnya negara kesatuan terbentuk kembali dan konstitusi RIS 1949

    diadakan perbaikan dan penyesuaian seperlunya menjadi UUDS 1950.

    2.3.3 Periode UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).

    Pada masa ini berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun

    1950. Pasal 131 ayat (2) UUDS 1950 menganut prinsip otonomi seluas-luasnya,

  • 106

    yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang

    Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

    Pemerintahan Daerah didasarkan pada asas desentralisasi dan tugas

    pembantuan (medebewind). Asas dekonsentrasi tidak diatur, karena

    penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah dilakukan oleh pamong praja

    secara terpisah. Prinsip otonomi yang dianut yaitu otonomi riil dan seluas-luasnya

    sesuai dengan kemampuan dan potensi tiap-tiap daerah. Urusan pemerintahan

    sebagai urusan rumah tangga daerah tidak dirinci dalam undang-undang

    pemenintah daerah, melainkan ditentukan dalam peraturan pembentukan tiap-tiap

    daerah.

    Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 telah ada wacana untuk

    mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tetapi karena pertimbangan

    kondisi politik, sosial dan budaya, maka oleh pembentuk undang-undang tersebut

    untuk sementara ditunda. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957

    tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah terdiri dari

    DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Terkait dengan mekanisme pengisian

    jabatan kepala daerah, pada prinsipnya terkait dengan pengaturan pemilihan, cara

    pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah, Undang-Undang No. 1 Tahun

    1957 mengamanatkan untuk diatur secara khusus di dalam undang-undang lain

    tersendiri.

    Untuk mengisi kekosongan hukum karena belum ada undang-undang

    yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, untuk sementara kepala daerah

    dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan

  • 107

    pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut. Dan hasil pemilihan oleh

    DPRD memerlukan pengesahan lebih dahulu dari:

    a. Presiden apabila mengenai kepala daerah di tingkat ke I

    b. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya apabila

    mengenai kepala daerah di tingkat II dan ke III

    Kepala daerah dipilih untuk satu masa pemilihan DPRD atau bagi yang

    dipilih antar waktu guna mengisi lowongan kepala daerah, untuk sisa masa

    pemilihan tersebut. Kemudian terkait dengan pengaturan secara umum mengenai

    syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan, serta cara pemilihan maupun

    pengesahan kepala daerah akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah.

    2.3.4 Periode Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959-18 Agustus 2000).

    Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku

    lagi dimana substansinya tidak mengalami perubahan. Pada masa ini kemudian

    dilakukan pembaharuan dengan maksud untuk merombak politik ketatanegaraan

    dengan membentuk pemerintahan daerah yang bersifat gotong-royong.

    Perombakan itu dilakukan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang

    Pemerintahan Daerah dan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 tentang DPRD-

    GR dan sekretariat daerah.

    Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama dikeluarkan

    berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 1965

    tentang Pemerintahan Daerah. Didalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965,

    paradigma kedudukan dan fungsi kepala daerah diarahkan untuk menjamin

    kelangsungan kesatuan negara serta adanya pimpinan nasional.

  • 108

    Kepala daerah merupakan unsur terpenting dalam daerahnya. Untuk

    menjamin kepercayaan rakyat daerah kepada seorang kepala daerah, haruslah

    diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang jumlahnya sedikit-dikitnya dua

    dan sebanyak-banyaknya empat, yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan.

    Dengan adanya Wakil Kepala Daerah, hal itu tidak berarti bahwa pimpinan

    pemerintahan daerah berada dalam dua tangan, yang mempunyai kewenangan dan

    tanggungjawab penuh adalah tetap kepala daerah.

    Mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    diatur didalam Pasal 11 yang berbunyi:

    Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:

    a. Presiden bagi Daerah tingkat I b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi daerah

    tingkat II

    c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I

    Ketentuan mengenai pengangkatan kepala daerah berdasarkan Undang-

    Undang No. 18 Tahun 1965 diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

    a. Pasal 12 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari sedikitnya dua dan

    sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

    b. Pasal 13 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dengan

    persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-

    banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan

    Rakyat Daerah yang bersangkutan.

    c. Pasal 14 ayat (1) mengatur bahwa: Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh oleh Kepala Daerah tingkat I

    dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua

    atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.

  • 109

    2.3.5 Periode UUD NRI 1945 Pasca Amandemen (18 Agustus 2000-sekarang).

    Amandemen kedua terhadap UUD 1945 mengakibatkan perubahan yang

    prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebelum amandemen

    pemerintahan daerah diatur sangat singkat hanya dalam satu pasal yaitu Pasal 18,

    pasca amandemen menjadi tiga pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B.

    Menurut Wendy Melfa, pasca amandemen terdapat prinsip-prinsip

    penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur dalam pasal-pasal tersebut,

    yaitu:96

    a. Prinsip teritorial berdasarkan Pasal 18 ayat (1) b. Prinsip demokrasi berdasarkan Pasal 18 ayat (3) dan (4) c. Prinsip otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan Pasal 18 ayat (5) d. Prinsip kekhususan dan keragaman berdasarkan Pasal 18 ayat (1) e. Prinsip pengakuan dan penghormatan satuan pemerintah daerah yang

    bersifat khusus, serta satuan-satuan masyarakat hukum adat beserta

    hak-hak tradisionalnya, berdasarkan Pasal 18 B ayat (1) dan (2).

    Sehubungan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka Undang-Undang No.

    22 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan

    penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga dirubah dengan Undang undang No.

    32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

    2.3.5.1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.

    Penyelengaraan pemerintahan daerah didasarkan pada proses

    desentralisasi dan dekonsentrasi (secara terbatas). Di samping itu, juga

    dimungkinkan pelaksanaan asas tugas pembantuan. Dekonsentrasi hanya

    diterapkan pada wilayah provinsi, sedangkan kabupaten/kota hanya diterapkan

    asas desentralisasi dan tugas tugas pembantuan. Berbeda dengan Undang-Undang

    96 Ibid, h. 107.

  • 110

    No. 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi luas kepada kabupaten/ kota dan

    otonomi terbatas pada provinsi, maka Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak

    membedakan prinsip otonomi yang dianut provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini

    berarti bahwa baik provinsi maupun kabupaten/kota menganut prinsip otonomi

    seluas-luasnya seperti yang digariskan dalam UUD 1945 setelah amandemen

    kedua.

    Kepala daerahnya berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,

    dipilih secara langsung oleh rakyat, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik

    atau gabungan Partai Politik serta dapat juga melalui jalur perseorangan

    (independent), setelah Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-Undang

    No. 32 Tahun 2004 dihapus/diubah melalui keputusan MK No. 5/PUU-V/2007.

    Wilayah NKRI dibagi atas provinsi, kabupaten dan kota. Untuk kabupaten/kota

    hanya berstatus sebagai daerah otonom, sedang provinsi selain daerah otonom,

    juga berstatus sebagai wilayah administratif.

    Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh

    rakyat, yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-

    undangan. Melalui undang-undang ini, KPUD Provinsi, KPUD Kabupaten/Kota

    diberikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. KPUD yang dimaskud

    dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaima dimaksud dalam Undang-

    Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

    Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD. Oleh karena itu tidak

    diperlukan untuk membentuk dan menetapkan KPUD dan keanggotaanya yang

    baru.

  • 111

    Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah menurut undang-undang ini,

    secara tegas dilaksanakan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung,

    sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2):

    (1) Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,

    umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

    (2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

    Setelah calon kepala daerah ditetapkan sebagai pemenang di dalam

    Pemilukada sebagaimana yang tertuang dan diatur didalam undang-undang ini,

    maka sebelum menduduki jabatannya terlebih dahulu dilantik. Gubernur dan

    Wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, Bupati

    dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur atas

    nama Presiden dalam suatu rapat paripurna istimewa DPRD.

    Kepala daerah dan wakil kepala memegang jabatan selama 5 (lima) tahun

    terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan

    yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Adapun biaya penyelenggaraan

    pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD daerah

    yang bersangkutan.

    Dalam kurun waktu perjalanan keberlakuan Undang-Undang No. 32

    Tahun 2004 mengalami perubahan dan penyempurnaan sebagian bunyi isi

    ketentuan undang-undang tersebut dengan diberlakukannya Undang-Undang No.

    12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun

    2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini dibentuk bukan hanya

    untuk menjawab sekaligus menjadi dasar hukum bagi keputusan Mahkamah

  • 112

    Konstitusi (MK) mengenai diperbolehkannya calon perseorangan (independen)

    untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah langsung, tetapi juga untuk

    menutupi beberapa kelemahan di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,

    terutama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pengisian kekosongan jabatan

    wakil kepala yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia,

    mengundurkan diri, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama

    enam bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.

    Secara prinsip, tidak ada perbedaan substansial dalam hal pengaturan

    mekanisme pengisian jabatan kepala daerah. Akan tetapi didalam Undang-Undang

    No. 12 Tahun 2008, diakomodasi ketentuan mengenai calon perseorangan.

    Ketentuan mengenai mekanisme pengisian jabatan kepala daerah secara jelas

    diatur dalam Pasal 56 yang menyatakan:

    (1) Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarka asas langsung,

    umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

    (2) Pasangan calaon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai po1itik, atau perseorangan yang

    didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan

    sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini.

    Pengaturan mengenai peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

    daerah secara tegas diatur didalam Pasal 59 ayat (1). Juga yang berkaitan dengan

    ketentuan persyaratan dan mekanisme keikutsertaan pasangan calon perseorangan,

    diatur dalam Pasal 59 ayat (2a) dan (2b) Undang-Undang No. 12 Tahun 2008.

  • 113

    2.3.5.2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.

    Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan Pilkada yang didasarkan pada

    norma hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan

    perubahannya, yang telah berlangsung selama sekitar sepuluh tahun atau setara

    dengan dua kali periode penyelenggaraan Pilkada, dalam perkembangannya

    dipandang banyak kelemahan dan tidak lagi mampu menjawab kebutuhan dan

    perkembangan jaman. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, DPR bersama-

    sama pemerintah kemudian membentuk undang-undang baru sebagai

    penggantinya.

    Setelah melalui proses dan perdebatan hukum yang panjang, Undang-

    Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti

    dengan diundangkannya dua undang-undang baru yaitu Undang-Undang No. 22

    Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Undang-

    Undang No. 23 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pembentukan kedua

    undang-undang tersebut, memisahkan pengaturan antara urusan Pilkada dengan

    urusan pemerintahan daerah. Jika dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

    kedua urusan tersebut pengaturannya masih digabung dalam satu undang-undang,

    maka selanjutnya dipisahkan ke dalam undang-undang tersendiri.

    Ketentuan mengenai pengisian jabatan kepala daerah berdasarkan Undang-

    Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

    diatur dalam sejumlah pasal, yaitu:

    1. Pasal 1 angka 5: Pemilihan gubernur, bupati, dan wakilota yang selanjutnya disebut

    Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan

  • 114

    kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara

    demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.

    2. Pasal 1 angka 13: Pemilih untuk pemilihan gubernur adalah anggota DPRD provinsi atau

    sebutan lainnya.

    3. Pasal 1 angka 14: Pemilih untuk pemilihan bupati dan walikota adalah DPRD

    kabupaten/kota.

    Ketentuan Pasal 1 angka 5, angka 13, dan angka 14 Undang-Undang No.

    22 Tahun 2014 tersebut mengatur bahwa sistem Pilkada menurut undang-undang

    ini adalah sistem Pilkada tidak langsung, yaitu melalui DPRD. Hal ini berbeda

    dengan pengaturan sistem Pilkada berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun

    2004 yang menganut sistem pemilihan secara langsung.

    Penegasan mengenai pengisian jabatan kepala daerah, dalam hal ini

    Gubernur dan Bupati/Walikota, melalui sistem Pilkada tidak langsung diatur

    dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 sebagai berikut:

    1. Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014: Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas bebas,

    terbuka, jujur, dan adil.

    2. Pasal 3 Undang-Undang No. 22 Tahun 2014: (1) Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis

    berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.

    (2) Bupati dan Walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, terbuka, jujur, dan adil.

    Selain diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014, ketentuan

    mengenai pengisian jabatan kepala daerah juga diatur dalam Undang-Undang No.

    23 Tahun 2014, diantaranya yaitu:

    1. Pasal 101 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa DPRD provinsi

    mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih Gubernur.

  • 115

    2. Pasal 154 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota

    mempunyai tugas dan wewenang memilih bupati/walikota.

    Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 dan

    Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, pengisian jabatan Gubernur, Bupati, dan

    Walikota dilakukan melalui pemilihan oleh anggota DPRD, sedangkan untuk

    pengisian jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan

    oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih dan dilakukan setelah Gubernur,

    Bupati, dan Walikota tersebut dilantik. Adapun ketentuan mengenai jumlah Wakil

    Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan

    ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2014.

    2.3.5.3 Perppu No. 1 Tahun 2014.

    Sejalan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang

    Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mencabut dan menyatakan tidak

    berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 sejak tanggal 2 Oktober 2014,

    Presiden juga mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

    Daerah yang pada intinya menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi dalam

    pemilihan Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota dalam pemilihan

    Bupati/Walikota. Kedua Perppu tersebut mengembalikan sistem Pilkada ke sistem

    pemilihan secara langsung oleh rakyat, khususnya warga negara yang memiliki

    hak pilih.