BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN...
48
BAB II
TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN PENGATURANNYA
2.1 Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik
Immanuel Kant, seorang ahli filsafat Jerman (1724-1820) berpendapat
bahwa sesuatu itu yang secara absolut baik, adalah keinginan baik (good will) itu
sendiri. Jadi jelas, dalam hal ini pertanyaannya adalah “bagaimana dapat
diidentifikasi keinginan baik tersebut?” Kant menjawabnya dengan mengatakan
bahwa ada hukum moral yang rasional, yang bisa diidentifikasi berdasarkan akal.
Menurut Kant, hukum moral semata-mata merupakan usaha intelektual untuk
menemukannya, dengan kata lain tidak diciptakannya. Teoritisi hukum memiliki
perbedaan pendekatan yang berbeda dalam mengalisis hukum, keadilan dan
moral. Ada yang mendukung hubungan hukum, keadilan dan moral, ada yang
memisahkannya, tergantung kepada kepercayaan dan nilai masing-masing
individu,70 atau dengan perkataan lain, pembahasan tentang bahasa moral
mengenai yang salah dan benar.
Pertanyaan yang lebih spesifik adalah kapan bisa berdebat masalah moral
sama dengan berdebat tentang fakta, dimana yang pertama hanyalah masalah
pendapat. Ini adalah pertanyaan yang besar dimana para philosof menganggapnya
sebagai bagian dari filsafat yang dikenal sebagai etika (ethics) yang menawarkan
banyak jawaban. Argumen berdasarkan kewajiban, yang dalam kamus filsafat
sebagai argumen deontological dapat dibagi kedalam yang berdasarkan agama
dan berdasarkan bukan agama.
70 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI,
Jakarta, hal. 130-133. (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy III).
49
Argumen berdasarkan agama, umpamanya, Tuhan menyampaikan
kebenaran melalui kitab suci, atau melalui sabda nabi, pengalaman-pengalaman
transcudentil, atas dasar mana hidup seluruhnya didasarkan. Bila kebenaran fakta
ini tidak bisa ditunjukkan sama dengan kebenaran dari fakta yang “asli” dapat
ditunjukkan, hal itu karena fakta berkenaan dengan keberadaan Tuhan bukanlah
fakta dalam arti kedua. Mereka yang percaya adanya Tuhan, tentu puas dengan
yang pertama (argumen berdasarkan agama), mereka yang tidak mempercayai
Tuhan tentu berpendapat berlainan. Mereka yang mempercanyai adanya Tuhan,
membuktikan Tuhan itu ada berdasarkan argumen yang rasional.
Kedua, ada perbedaan paham mengenai legitimasi kekuasaan dalam agama
ini terikat dalam perbedaan antara Katolik dan Protestan. Dalam hal ini penganut
agama mempercayai perbedaan dalam menafsirkan kitab suci dan doktrin. Mereka
yang tidak puas dengan jawaban yang berdasarkan keyakinan agama, mencoba
mencari jawaban berdasarkan jawaban rasionalitas atas masalah moral. Philosof
beriman, Imanuel Kant (1724-1804), misalnya, menganggap sesuatu yang absolut
dan tak bersyarat mengenai yang baik adalah itikad yang baik, sedangkan yang
lainnya yang secara komersional dikatakan sebagai baik (seperti kaya atau sehat)
adalah baik hanya sejauh dipergunakan untuk mencapai hasil yang baik.71 Jelas,
ini mengarahkan kita kepada pertanyaan bagaimana mengidentifikasikan itikad
baik tersebut. Jawaban Kant adalah terdapat “pre-existing moral law”, dimana
manusia ada rasional dan memiliki kehendak yang bebas, dapat mengidentifikasi
dengan menggunakan akalnya dan apa yang ia perlu identifikasi dalam usaha
71 Wiryono Prodjodikoro, 2006, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal. 56.
(selanjutnya disebut Wiryono Prodjodikoro II).
50
untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting bagi
Kant adalah moral itu ada sebagaimana adanya, dari usaha intelektual manusia
untuk mencerminkannya. Dengan perkataan lain, manusia tidak menciptakan
moral. Moral adalah universal, absolut, tidak bersyarat dan harus dipatuhi.
Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang
berasal dari ajaran bona fides dalam Hukum Romawi.72 Itu sebabnya asas itikad
baik memang lebih memiliki kedekatan dengan Sistem Civil Law ketimbang
dengan Sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang
bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu
kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya.
Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang dibuat oleh
orang-orang Romawi.73
Pada mulanya hukum perjanjian Romawi hanya mengenal iudicia stricti
iuris, yaitu perjanjian yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang
secara ketat dan formal mengacu pada ius civile (seperangkat hukum yang
mengatur hak dan kewajiban warga Romawi). Dalam hal hakim menghadapi suatu
kasus, hakim harus memutus sesuai dengan hukum dan apa yang dinyatakan
dalam perjanjian. Baru kemudian, berkembang pula apa yang disebut dengan
iudicia bonae fidei suatu konsep yang bersumber dari ius gentium (hukum alam)
yang mengajarkan bahwa seseorang dalam membuat dan melaksanakan perjanjian
harus sesuai dengan itikad baik. Ajaran ini berkembang seiring diakuinya
perjanjian informal sebagai perjanjian yang bersifat konsensual.74
72 Reinhard Zimmerman and Simon Whitttaker, 2000, Good Faith in European Contract
Law. Cambridge University Press, hal. 12. 73 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133. 74 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133.
51
Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk
perilaku para pihak dalam kontrak, yaitu: Pertama, para pihak harus memegang
teguh janji atau perkataannya; Kedua, para pihak tidak boleh mengambil
keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga,
para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan
jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.75
Pada awal perkembangan hukum perjanjian Romawi, perjanjian dipandang
sebagai sesuatu yang bersifat ritualistik. Perjanjian harus dibuat dalam suatu
bentuk ritual (kontrak formal). Sedangkan, kontrak informal, seperti perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan pemberian mandat (kuasa),
pada awalnya hanya memiliki kekuatan moral. Baru lah dalam perkembangan
selanjutnya kontrak informal ini memperoleh pengakuan sebagai perjanjian
konsensual, seiring dengan perkembangan ajaran itikad baik dalam masyarakat
Romawi.76
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa itikad baik diperlukan karena
hukum tidak dapat menjangkau keadaan-keadaan di masa mendatang. Beliau
menjelaskan:
Tidak ada buah perbuatan orang-orang manusia yang sempurna. Oleh karena peraturan-peraturan tersebut di atas hanya terbikin, oleh orang-orang manusia saja, maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna. Peraturan-peraturan tersebut hanya dapat meliputi keadaan-keadaan yang pada waktu terbentuknya peraturan-peraturan itu telah diketahui akan kemungkinannya. Baru kemudian ternyata ada keadaan-keadaan yang seandainya dulu juga sudah diketahui kemungkinannya, tentu atau sekiranya dimasukkan dalam lingkungan peraturan. Dalam hal keadaan-keadaan semacam inilah nampak penting faktor kejujuran dari pihak yang berkepentingan.77
75Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, dalam Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit. 76 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 132. 77 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56.
52
Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai
untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin
dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan
perjanjian.78 Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa
dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau
beritikad baik patut dilindungi; dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut
merasakan pahit getir akibat ketidakjujuran tersebut.
Walaupun asas itikad baik dipahami sebagai salah satu asas yang penting
dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada definisi yang
komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan
Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik
adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang
berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang
masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti itikad
baik.79 Bahkan James Gordley menyatakan dalam kenyataannya sangat sulit untuk
mendefinisikan itikad baik.80
Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa itikad baik (good faith)
adalah:
A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.81
78 Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 74. 79 Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 129. 80 Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, Op.Cit, hal. 93. 81 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th edition, Thomson West, St. Paul,
hal. 713.
53
Charles Fried memahami itikad baik sebagai sebuah cara bertransaksi
dengan pihak lain dalam perjanjian dengan jalan jujur (honestly) dan baik
(decently).82 Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro menyamakan istilah itikad
baik dengan kejujuran (goede trouw),83 seperti yang banyak pula tercatat dalam
literatur-literatur hukum.
Kesulitan untuk memberikan batasan terhadap itikad baik bukan hanya
merupakan persoalan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat,
keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial
Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan
definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik.
Profesor Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder”
(pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk
mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan
bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk,
yang oleh hakim dilarang.84
Secara filosofis, itikad baik dibedakan menjadi 2, yaitu itikad subyektif
dan itikad baik obyektif yang diuraikan sebagai berikut :
2.1.1 Itikad Baik Subjektif
Terminologi pemegang barang (bezitter) yang beritikad baik, pembeli
barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang
beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir subjektif. Seorang pembeli
82 Charles Fried, dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 131. 83 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56. 84 Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181.
54
barang yang beritikad baik adalah orang yang membeli barang dengan penuh
kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik dari barang yang
dibelinya tersebut. Ia sama sekali tidak mengetahui jika seandainya ia membeli
dari orang yang tidak berhak. Itu mengapa ia disebut sebagai seorang pembeli
yang jujur. Dalam anasir ini, itikad baik memiliki arti kejujuran atau bersih.85
Dalam konsep yang hampir sama, Wirjono Prodjodikoro memahami itikad
baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai
berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya
hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang
bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya
hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa
sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini
dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain,
pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak
dipenuhinya syarat tersebut.86
2.1.2 Itikad Baik Obyektif
Ada perbedaan sifat antara itikad baik pada mulai berlakunya hubungan
hukum dengan itikad baik dalam hal pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam hubungan hukum. Itikad baik yang pertama terletak pada
keadaan jiwa seorang manusia pada suatu waktu, yaitu pada waktu mulai
berlakunya hubungan hukum. Lain halnya dengan itikad baik dalam pelaksanaan
85 Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181. 86 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56.
55
hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Disini pun itikad baik nampak pada
tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan
sebagai pelaksanaan perjanjian. Dalam melakukan tindakan inilah itikad baik
harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa manusia
itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak
lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada
mulai orang membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu
memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk
menguntungkan diri sendiri. Dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan
hak dan kewajiban pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat
dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.87
Dalam hal suatu perjanjian dianggap melanggar asas itikad baik, hukum
memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengubah atau bahkan menghapus
sebagian atau keseluruhan perjanjian. Asas itikad baik juga memberikan petunjuk
bahwa dalam melaksanakan perjanjian hendaknya masing-masing pihak berlaku
adil kepada pihak lainnya.
Itikad baik merupakan pengertian hubungan (Relatie begrip) asas itu
selanjutnya akan berlaku di dalam suatu hubungan Kontraktual, sedangkan
kecermatan kemasyarakatan merupakan suatu pengertian (Begrip) yang umum
jadi tidak didasarkan pada adanya hubungan Kontraktual.88 Itikad baik dalam arti
obyektif merupakan suatu relatie (Begrip) dipegang teguh pada masa-masa
87 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62. 88 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62.
56
sebelum perang dunia selanjutnya yurisprudensi juga menetapkan berlakunya atas
itikad baik di dalam beberapa lembaga hukum yaitu:
a. Keputusan para pihak (Partij Beslissing)
Lembaga ini dimaksud guna menyelesaikan sengketa yang mungkin
timbul diatara para pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana para
pihak berjanjian bahwa jika terjadi perselisihan diantara para pihak. Dalam
hal ini, maka dalam melaksanakan keputusan ini harus diindahkan asas
itikad baik. Penerapan asas ini dimaksudkan sebagai suatu pengawasan
dalam pengambilan keputusan tersebut.
b. Nasihat yang mengikat (Bindend Advies)
Lembaga ini juga timbul untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Dalam
lembaga Bindend Advies ini para pihak memperjanjikan bahwa
perselisihan yang mungkin terjadi diantara mereka, akan dimintakan
penyelesaiannya pada pihak III, dan nasihat/pertimbangan pihak III ini
mengikat para pihak yang brsengketa itu. Di dalam mengambil keputusan
berkenan denga sengketa tersebut pihak ke III tersebut harus
mengindahkan asas itikad baik (kepatutan) supaya ia tidak berlaku tidak
adil terhadap para pihak.
c. Perubahan Anggaran Dasar (Statuten Wijziging)
Keputusan suatu badan hukum terurtama yang berkenaan dengan
perubahan anggaran dasar badan hukum tersebut harus didasarkan pada
itikad baik (Kepatutan), supaya perubahan itu masih merupakan
pelaksanaan yang patut dari perjanjian semula.
57
Setelah Perang Dunia II, terjadi perkembangan yang penting dari asas
itikad baik ini. Asas ini yang pada mulanya merupakan suatu pengertian
hubungan, yang karenanya senantiasa berlaku dalam suatu hubungan kontraktual,
kemudian dinyatakan berlaku dalam hal-hal lain yag tidak didasarkan suatu
hubungan kontraktual. Arest H.R. tanggal 15 Nopember 1957 menetapkan bahwa:
Para pihak yang sedang berarda dalam tahap pra kontraktual dan sedang
bernegosiasi yuntuk memperoleh kata sepakat, masing-masing mempunyai
kewajiban-kewjiban yang didasarkan pada itikad baik (kepatutan), kewajiban itu
adalah:
a. Kewajiban untuk mmeriksa (Onderzoekplicht)
b. Kewajiban untuk memberitahukan (Mededeling plicht)89.
Misalkan saja dalam perjanjian jual beli, Si penjual berkewajiban untuk
memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting berkenan dengan
obyek/perjanjian itu, yang dapat membantu pembeli untuk mengambil keputusan
untuk membeli benda tersebutm sedangkan pembeli berkewajiban untuk
memeriksa obyek perjanjian tersebut apakah ada cacatnya atau tidak, apakah ada
rencana pemerintah yang akan berpengaruh terhadap benda tersebut. Kewajiban
untuk memberitahukan dan memeriksa itu harus diladasi itikad baik.
Menurut Sudikno90 asas hukum itu bersifat dinamis, ia berkembang
mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti
kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti
perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (Historich
89 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 70. 90 Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 9.
58
Bestimmt). Di atas telah diuraikan bahwa asas itikad baik telah mengalami
perkembangan dari suatu pengertian hubungan (Relatie Begrip) menjadi suatu
asas hukum antara para pihak. Di bawah ini akan diterangkan perkembangan
selanjutnya, untuk melihat apakah asas itikad baik itu masih tetap merupakan
suatu asas yang belaku di bidang hukum perjanjian saja atau telah berkambang
menjadi asas yang berlaku juga dibidang hukum lain.
Asas itikad baik yang hanya merupakan suatu asas yang berlaku dibidang
hukum perjanjian telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang
atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privaat
maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dengan lain perkataan, asas
itikad baik itu telah berkembang dari asas hukum khusus menjadi asas hukum
umum.
Perkembangan yang demikian ini menurut hemat penulis sesungguhnya
merupakan sesuatu keniscayaan, mengingat bahwa asas itikad baik ini adalah
perwujudan dari suatu asas yang bersifat universal yaitu asas penilaian baik dan
buruk sebagai dikemukakan oleh Scholten91, di dalam tataran dogmatik hukum.
Sebagai suatu asas yang universal, ia berlaku kapan dan dimana saja, tidak
tergantung oleh waktu dan tempat. Hal ini juga dibuktikan dari kenyataan bahwa
asas itikad baik ini diadopsi pula di dalam Pasal 2 ayat (2) piagam PBB, yang
menyebutkan bahwa:
All members, in order to ensure to all of them the right and benefit resulting from membership, shall fulfill in good Faith the obligation assumed by them in accordance with the persent charter.
91 Ibid, hal. 11.
59
Serta di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969, yang menyebutkan bahwa:
Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.
Pengakuan yang lebih jelas lagi bahwa asas itikad baik itu merupakan
suatu asas yang bersifat universal dapat ditemukan di dalam considerans Konvensi
Wina 1969 tersebut sebagai berikut:
The principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized.
Dari berbagai kenyataan tersebut di atas tidak salah kiranya jika penulis
berpendapat bahwa asas itikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum
khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum, yang seyogyanya
menjadi salah satu pedoman di dalam penyelesaian berbagai masalah hukum yang
timbul di tanah air ini.
2.2 Itikad Baik dalam BW (Indonesia)
Salah satu asas hukum khusus sebagaimana disebutkan di muka adalah
asas itikad baik. Asas ini adalah asas hukum khusus karena merupakan asas
hukum yang hanya berlaku dibidang hukum perdata saja. Kebanyakan ahli hukum
mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, yang mengatur
bahwa: “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Namun demikian, ayat ini sebenarnya bukan satu-satunya ketentuan dalam
BW yang mengatur mengenai itikad baik. Di samping itu, BW sebenarnya
memahami itikad baik dalam berbagai bentuk; tidak hanya itikad baik yang
dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) BW tersebut saja.
60
Asas itikad baik ini sesungguhnya berasal dari hukum romawi. Di dalam
hukum Romawi asas ini disebut asas Bonafides. BW mempergunakan istilah
itikad baik dalam 2 pengertian. Pengertian itikad baik yang pertama adalah
pengertian itikad baik dalam arti subyektif itu disebut kejujuran. Pengertian itikad
baik dalam artian subyektif/kejujuran terdapat dalam Pasal 530 BW dan
seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dala,
arti subyektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa.92
Djaja S. Meliala, dalam bukunya yang berjudul Masalah Itikad Baik
dalam KUH Perdata, berpendapat bahwa itikad baik memiliki peranan yang amat
penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zakenrecht)
sebagaimana diatur dalam Buku II BW, maupun hak perorangan
(persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III BW; bahkan, tidak dapat
pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum perorangan dan keluarga
dalam Buku I BW.93 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itikad baik
sesungguhnya tidak hanya ada dalam ranah Buku III BW semata, melainkan
terkandung pula dalam Buku II dan Buku IV serta secara implisit dalam Buku I
BW.
Pada Pasal 529 BW diterangkan tentang pengertian kedudukan berkuasa
(bezit) selanjutnya pada Pasal 530 BW dikatakan bahwa: kedudukan demikian
(bezit) itu ada yang beritikad baik dan ada yang buruk.
92 P.L. Wery, 1990, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland, Percetakan
Negara RI, Jakarta, hal. 10. 93 Djaja S. Meliala, 1987, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet. 1, Binacipta,
Bandung, hal. 6.
61
Seorang bezitter dianggap beritikad baik apabila ia tidak mengetahui
adanya cacat pada ”kepemilikannya”. Dalam hal ini keadaan jiwa yang demikian
itu dilindungi oleh undang-undang94. Dalam hal ini itikad baik (kejujuran)
dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang memegang atau
menguasai barang pada waktu ia mulai menguasai barang itu bahwa syarat-syarat
yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi, jadi
menurut Wiryono Prodjodikoro95 kejujuran yang bersifat statis.
Hal ini ditegaskan juga oleh Subekti96 yang menyatakan bahwa: “Dalam
hukum benda itu itikad baik berarti kejujuran atau kebersihan”. Selanjutnya
dinyatakan ”Kedudukan itu (bezit) beritikad baik, manakala si yang memegang
memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak
tahulah dia akan cacat-cela yang terkandung di dalamnya” (Pasal 531 BW).
Selanjutnya Pasal 548 BW mengatur ”Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang
beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas keberadaan
yang dikuasai, sebagai berikut:
1. bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim,
sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan;
2. bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik atas kebendaan
itu;
3. bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di
muka hakim, berhak menikmati segala hasilnya;
94 Ibid. 95Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 96Subekti, Op.Cit, hal. 49.
62
4. bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, bilamana diganggu
dalam memangkunya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana
kehilangan kedudukannya.”
Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW
dalam pasal tersebut menentkan bahwa: “Pembayaran yang dengan itikad baik
dilakukan pada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti
itikad baik di sini adalah bahwa Si Pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak
yang menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian
itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran itu
diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu dianggap sah.
Selanjutnya menurut PL Wery97 “tidak mengetahui adanya cacat itu meliputi juga
tidak usah mengetahui”.
Pengertian itikad baik yang kedua adalah itikad baik dalam artian obyektif.
Di dalam Bahasa Indonesia pengertian itikad baik dalam artian obyektif itu
disebut juga dengan istilah kepatutan. Itikad baik dalam artian obyektif itu
dirumuskan dalam ayat (3) Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi “suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Apa yang dimaksud dengan pelaksanaan dengan itikad baik (uitvoering te
goeder Trouw) itu?. Menurut Wery:98
“Kedua pihak harus berlaku yang satu dengan yang lain seperti patutnya diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak melihat kepentingannya sendiri saja tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain”.
97 Ibid. 98 Ibid.
63
Hal serupa juga dikemukakan oleh Aser Rutten99 sebagai berikut:
“Melaksanakan perjanjian berdasarkan itikad baik berarti bahwa Sikreditur dalam pelaksanaan haknya dan debitur di dalam pemenuhan kewajibannya harus beriktikad sesuai dengan prsyaratan “Redelijkheid en billijkheid, artinya para pihak harus melaksanakan perjanjian itu sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beradab”.
Selanjutnya melaksanakan suatu perjanjian, perilaku para pihak, baik
debitur maupun kreditur harus diuji atas dasar norma-norma objektif yag tidak
tertulis. Oleh karena itu pula itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW itu disebut
itikad baik dalam arti obyektif. Obyektif di sini menunjuk kepada kenyataan
bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad
baik dan tidak semata-mata berdasrkan pada anggapan para pihak sendiri. Hal ini
lebih ditegaskan oleh Wiryono Prodjodikoro100 yang menyatakan bahwa:
Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatya tidak diperbolehkan kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang. Pandapat ini sejalan pula dengan pendapat Subekti101 yang menyatakan
bahwa: ”Yang dimaksud dengan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik
adalah melaksanakan perjajian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Jadi pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif
atau dengan lain perkataan”. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang
99 Asser Rutten, dalam Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya Bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20, No. 2 hal. 222.
100 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 101 Subekti II, Op.Cit, hal. 49.
64
benar selanjutnya menurut Subekti102 Pasal 1338 BW itu memberikan kekuasaan
pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu pernajian agar jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Oleh karena itu hakim
berkuasa untuk menyimpang dari ssi perjanjian menurut hurufnya, manakala
pelaksanaan menurut huruf itu akan bertentangan dengan itikad baik.
Itikad dalam arti kepatutan itu dipergunakan pula di dalam Pasal 1339 BW
yang menyebutkan:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang”.
Menurut Houwing103 itikad baik dan kepatutan dalam kedua pasal itu
sama. Istilah kepatutan dalam Pasal 1339 BW diambil dari Domat dan istilah
itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (8) BW diambil dari Pothier. Selanjutnya Pasal
Pasal 1965 BW mengatur ”Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan
siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.”
Pasal 1966 BW adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh,
itikad baik itu ada. Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli benda
bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) BW yang mengatur ”terhadap
benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar
kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya (dengan itikad baik)
dianggap sebagai pemiliknya.”
Menurut Subekti, itikad baik yang dipergunakan dalam pasal-pasal
tersebut berbeda maknanya. Itikad baik yang digunakan dalam istilah “pemegang
102 Subekti II, Op.Cit, hal. 51. 103 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 86.
65
barang (bezitter)” dan “pembeli barang” berbeda dengan itikad baik dalam hukum
perjanjian atau sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Itikad baik
yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) BW mengandung pengertian bahwa
pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik yang pertama mengandung unsur subjektif,
sedangkan yang kedua mengandung unsur objektif.104
2.3 Itikad Baik dalam Peralihan Hak Atas Tanah
Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu
perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari si penjual kepada pembeli
dan pembayaran harga baik seluruhnya maupun sebagian dari pembeli dilakukan
dengan syarat terang dan tunai.
Pengaturan jual beli di Indonesia secara umum masih bersifat jamak
karena jual beli dalam masyarakat masih mendasarkan pada 3 (tiga) hukum yang
berbeda sesuai dengan kesepakatan darin masing-masing pihak 3 (tiga) hukum
yang berlaku dalam jual beli yaitu:
a. Ketentuan Hukum Adat mengenai jual beli benda bergerak dan tidak
bergerak termasuk tanah (Ketentuan Hukum Adat);
b. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) mengenai benda tidak bergerak khususnya tanah
(Ketentuan Hukum Agraria);
c. Ketentuan BW mengenai jual beli benda bergerak dan benda tidak
bergerak sepanjang bukan mengenai tanah (Ketentuan BW).
104 Subekti II, Op.Cit, hal. 41.
66
Bahasan berikut akan menguraikan ketentuan Hukum Adat, Ketentuan
Hukum Agraria dan Ketentuan BW.
2.3.1 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Adat
Hukum adat merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum yang
menjadi pegangan bersama dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan norma-
norma hukum tertulis yang dituangkan dalam kehidupan bermasyarakat yang
secara tegas dibuat oleh penguasa legislatif dalam bentuk perundang-undangan
dimana norma-norma hukum adat tidak tertulis.105
Jual beli tanah dalam hokum adat adalah salah satu bentukperalihan hak
tas tanah. Menurut pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang. dijualnya
kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga
(walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah
telah beralih dari penjual kepada pembeli.
Dari sini dapat disimpulkan pembeli telah mendapat hak milik atas tanah,
sejak saat, terjadi jual beli. Jadi jual beli menurut hukum adat adalah suatu
perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Dalam hal jual beli
yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar sebagian), sisa harganya itu
merupakan hutang pembeli kepada campur tangan pihak resmi, tidak perlu terjadi
dihadapan pejabat, cukup dilakukan dengan lisan. Hal ini tentunya tidak termasuk
didalam jual beli, benda-benda tertentu, terutama mengenai obyek benda-benda
tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli yang resmi.
105Boedi Harsono, 1999, Sejarah pembentukan UUPA, Isi dan pelaksanaannya,
Djambatan, Jakarta, hal.179. (selanjutnya disebut Boedi Harsono III).
67
Berlakunya hukum adat dalam masyarakat merupakan manifestasi aspirasi
yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan hukum adat sebagai hukum
yang hidup dalam masyarakat sangat tergantung pada basis social yang
mendukungnya yaitu masyarakat adat itu sendiri. Namun demikian berlakunya
hukum adat tidak terlepas dari berbagai pengaruh dari kekuatan yang ada dalam
masyarakat termasuk pengaruh dari berbagai kekuatan politik dimana sebagian
diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundang-
undangan.106 Dalam penyusunan hukum tanah nasional hukum adat diberi
kedudukan yang istimewa yaitu dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar
pembentukannya.
Semua hukum tanah mempunyai obyek pengaturan yang sama yaitu hak-
hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah macamnya beragam
yang disebabkan karena perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang
bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pembangunan hukum tanah nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yaitu
komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,
dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
kebersamaan. Menurut UUPA semua tanah dalam wilayah RI adalah tanah
bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.
Setiap WNI sebagai anggota bangsa Indonesia, mempunyai hak untuk menguasai
dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan
106Abdurrahman, 1994, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan agraria
Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hal.10.
68
hak yang tanpa batas (hak milik). Pengggunaan tanah tersebut tidak boleh hanya
berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat
kepentingan bersama yaitu kepentingan bangsa Indonesia.107
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat
riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah
terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No.
840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual
beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun
tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat terang
dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh
Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan
kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat
terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.108
Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual
beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.
Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan
perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta
jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan
107 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djambatan, Jakarta, hal. 236. (selanjutnya disebut Boedi Harsono IV)
108 Boedi Harsono, “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977, hal. 50.
69
hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah
memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan
hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut
membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak
untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang
dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut
membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya
yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya,
karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi
PPAT sifatnya tertutup bagi umum.109
Bentuk-bentuk jual bell tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:
a. Jual lepas
Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang
bersifat terang dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual
dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.110 Biasanya, pada jual lepas,
calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang
disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan uang di muka,
perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan
semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya
hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada
panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan
ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka uang
109 Ibid, hal. 296. 110 Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 212.
70
sebagai jaminan tersebut menetap pada si calon penjual, bila keingkaran
itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengembalikan
panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya
dari uang muka semula. Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam
jual lepas adalah :
1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu
kewajiban. Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan
pembayaran sesuatu (uang/benda) dapat menimbulkan suatu
kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu, misalnya
untuk menjual atau untuk membeli.
2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan
uang sebagai jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk
melaksanakan apa yang ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1
diatas).
3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian
uang sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh
para pihak, jual beli baru dapat dilaksanakan.
b. Jual gadai
Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara
sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan
tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak
mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian,
maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara,
71
walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat
sementara waktu tersebut.111
Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai)
berhak :
1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik.
2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah
tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia
tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya.
3) Mengadakan perjanjian bagi hasil.
Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :
1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi
milik yang membeli gadai.
2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun
dalam tangan pembeli gadai.
c. Jual tahunan
Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan
penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain,
dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah
jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan
sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. Dalam hal ini, terjadi
peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu. Kewenangan yang
diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah, menanami dan
111 Ibid, hal. 214.
72
memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya
sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.112
d. Jual Gangsur.
Menurut Soerjono Soekanto pada jual gangsur ini, walaupun telah
terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih
tetap berada di tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap
mempunyai hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati
oleh penjual dengan pembeli.113
e. Jual beli dengan cicilan
Menurut M. Yahya Harahap jual beli cicilan, merupakan salah satu
bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein
atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik
barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat
waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”.114
Sementara itu jual beli menurut hukum pertanahan nasional adalah
perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu:
1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.
3. Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.115
112 Ibid, hal. 216. 113 Ibid, hal. 217. 114 M. Harahap Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 26. 115 Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 330.
73
Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat
terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik
tercapainya kata “sepakat“ mengenai barang dan harga. Dengan kesepakatan
tersebut berarti perjanjian jual beli, tersebut menganut asas konsessualisme yang
ditentukan dalam, Pasal 1458 BW, yang berbunyi : “Jual-beli itu dianggap telah
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan
itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”
2.3.2 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Agraria
Pengaturan mengenai Hukum Pertanahan di Indonesia diatur dalam
UUPA. Namun sebelum berlakunya UUPA hukum tanah di Indonesia bersifat
dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari
hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas
hukum barat.116 Dengan dikeluarkannya UUPA yang disahkan pada tanggal 24
September tahun 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang
berlaku di Indonesia yang menjadi unifikasi hukum tanah.
UUPA bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria, tetapi juga
unifikasi hak-hak atas tanah.117 Hukum agraria sesudah berlakunya UUPA
melahirkan hak atas tanah.118 UUPA mengatur secara tegas konversi hak-hak atas
tanah yang bersumber pada hukum adat dan hukum barat menjadi hak-hak atas
tanah menurut ketentuan UUPA. Namun demikian, konvensi ini tidak menghapus
akan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum yang diberikan oleh
Pemerintah bagi pemegang hak atas tanah.
116 Ibid, hal.1 117 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Grafikatama, Jakarta, hal.146.
(selanjutnya disebut Effendi Perangin I). 118 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia, Jakarta Timur, hal. 23.
74
Tujuan pokok dari UUPA tidak hanya untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi
rakyat, tetapi UUPA juga mengatur mengenai macam-macam hak atas tanah yang
dapat diberikan dan dipunyai oleh perseorangan, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Hak atas tanah yang dapat
dipunyai dan diberikan kepada perseorangan dan badan hukum diatur dalam
ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA yakni: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam Pasal 53.119.
Dengan berlakunya UUPA, maka berakhirlah pluralisme di bidang hukum
tanah Indonesia. UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum tanah yang
didasarkan pada hukum adat. Seiring dengan perkembangan hukum di bidang
pertanahan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang
lebih nyata pada pembangunan nasional terutama dalam rangka memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan,
maka oleh Pemerintah telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961, dalam Pasal 37 ayat (1) mengatur tentang cara pengalihan hak
atas tanah yang dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT.
119 Pasal 53 UUPA : Ayat (1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Ayat (2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
75
UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria
menggunakan sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah
sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan
hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh Penjual kepada
Pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada Penjual, yaitu
menurut pengertian hukum adat.120
Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik adalah: “Hak
turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan
mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan
hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak
Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:121
1. Turun-temurun; Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih
karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya.
2. Terkuat; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat
diantara Hak-hak atas tanah yang lain.
3. Terpenuh; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan
untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
120 Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 10. 121 Ali Achmad Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara,
Sertipikat Dan Permasalahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 5-6
76
4. Dapat beralih dan dialihkan.
5. Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Jangka waktu tidak terbatas
Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat
mempunyai Hak Milik adalah :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang
dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang
meliputi:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;
b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;
c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Agama;
d. Badan Hukum Sosial Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA,
menentukan bahwa;
“Orang asing yang sesudah berlakunyaundang-undang inimemperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpawasiat atau percampuran harta karenaperkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia kehilangankewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnyahak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu,Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum,dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninyatetap berlangsung”. Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal
21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa:“selama seseorang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak
77
dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam
ayat 3 Pasal ini”. Dengan demikian yang berhak memilik hak atas tanah dengan
Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang
ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.
Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak
Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan
dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1),
Hak Milik dapat terjadi karena:
1. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
denganPeraturan Pemerintah;
2. Ketentuan Undang-Undang.
Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan
kepentingan umum dan Negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang
menyatakan bahwa:
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas peraturan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan Perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama”. Betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title
“Hak Milik”, yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh
sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapa pun. Namun
demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak
milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat
diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula
dibatasi.
78
Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang
tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak).
Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan
perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.122 Yang dimaksud dengan Peralihan Hak
karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi
dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka
haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Berbeda dengan
perbuatan hukum pemindahan hak dimana peralihan hak dilakukan dengan
sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi
hak pihak lain.123
Perbuatan hukum Peralihan Hak untuk memindahkan hak atas tanah yang
dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara:
1. Jual beli.
Pasal 1457 BW menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
2. Pemasukkan dalam Perusahaan atau Inbreng.
3. Tukar-menukar.
Pasal 1541 BW menyatakan bahwa tukar-menukar ialah suatu perjanjian,
dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling
memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu
barang lain.
122 Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 333. 123 Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 6.
79
4. Hibah.
Pasal 1666 BW menyatakan bahwa hibah adalah suatu perjanjian dengan
mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
5. Hibah wasiat (legaat).
Hibah wasiat adalah suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang
memberi itu masih hidup tetapi pelaksanaannya setelah yang memberi itu
meninggal dunia.124
Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar,
hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37
sampai dengan Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai dengan Pasal
106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Prosedur pemindahan hak
karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai
dengan Pasal 110 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.125
Syarat Jual Beli Tanah ada 2, yaitu: Syarat Materiil dan Syarat Formil.126
1) Syarat Materiil
Syarat ini sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,
antara lain sebagai berikut:
a) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi
syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan
124 K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Atas Tanah, cet. 5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 35. 125 Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana, Ed. 1, Cet,
2, Jakarta, hal. 90-92. 126 Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.
2. (selanjutnya disebut Effendi Perangin II).
80
berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang
dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut,
apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut
UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga
Negara Indonesia tungal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh
Pemerintah (Pasal 21 UUPA).
b) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang
sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik
sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri
tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah 2 orang, maka yang
berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak
boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.
c) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang
dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah
ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha
(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika
salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan
merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli
tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau
tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan
tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut
81
adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak
adalah batal demi hukum, yang artinya sejak semula hukum
menganggap tidak pernah terjadi jual beli.
2) Syarat Formil.
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat
akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24 /97 harus dibuat
oleh PPAT.
Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA
berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat
sistem yang dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/riil/nyata. Kendatipun
demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap
peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai Peraturan Pelaksana dari
UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan
hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan
PPAT.127
Setelah dilakukannya Jual Beli atas sebidang tanah, masih ada 1 kegiatan
lain yang memang harus dilakukan oleh PPAT ataupun dapat dilakukan sendiri
oleh Pihak Pembeli, yaitu kegiatan Pemeliharaan Data. Yang dimaksud dalam hal
ini yaitu: Kegiatan untuk mendaftarkan dan mencatatkan bahwa telah terjadinya
suatu Peralihan Hak atas Tanah, dan meminta agar Kantor Pertanahan segera
mencoret nama Pemegang Hak yang lama menjadi Pemegang Hak yang baru,
yaitu: Pihak Pembeli yang baru saja membeli sebidang tanah tersebut dalam Buku
Tanah dan Sertifikat yang bersangkutan.
127 Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 23.
82
Di daftar maksudnya dibukukan dan diterbitkan tanda bukti haknya. Tanda
bukti hak itu disebut sertifikat tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat
ukur yang dijilid menjadi satu dalam satu sampul. Sertifikat itu merupakan alat
pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa keterangan-keterangan yang tercantum
didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan
yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang
membuktikan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat
bukti sebagaimana penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang
menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya
harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.128
Bagi tanah-tanah yang telah bersertifikat, proses pendaftaran peralihan
hanyalah dengan cara membubuhkan catatan pada lajur-lajur yang terdapat pada
halaman ketiga dari buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya. Kalau peralihan
hak itu untuk pertama kali, maka selain mencatat peralihan hak itu, nama
pemegang hak yang tertulis pada halaman dua dicoret. Proses pendaftaran bagi
tanah yang belum bersertifikat tentunya memakan waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan proses pendaftaran tanah yang sudah bersertifikat karena
diperlukan penerbitan sertifikatnya dulu sebleum mencatat peralihan haknya.
128 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Pertanahan, Prestasi Pusaka, Jakarta, hal. 91.
83
Adapun untuk menerbitkan sertiikatnya itu harus melalui proses seperti
pengumuman, pengukuran tanahnya, dan sebagainya.129
Sertipikat Hak atas Tanah tersebut akan diterbitkan oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN) setelah pihak yang bersangkutan (dalam hal ini Pihak Pembeli)
membawa persyaratan tertentu dan menjalani prosedur pendaftaran yang benar.
Secara hierarkis, pendaftaran bisa dilakukan di Kantor Pertanahan di tingkat kota
atau kabupaten setempat. Penerbitan bukti kepemilikan hak atas tanah ini
merupakan bagian dari proses pendaftaran tanah yang dijalankan oleh Kantor
Pertanahan.130
Di dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa :
“Untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti dengan adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran Tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”. Sesuai isi Pasal 24 ayat (1) tersebut, bahwa bukti tertulis seperti : sertipikat
hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agararia
Nomor 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang
berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai
kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut didalamnya, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah
129 Sunaryo Basuki, 2005, “Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah”, Makalah, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, hal. 2.
130 Kian Goenawan, 2009, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah dan Properti, Best Publisher, Yogyakarta, hal. 26.
84
tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan
yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh
PPAT, yang tanahnya belum dibukukan, dan lain sebagainya.131 Alat bukti tertulis
tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting untuk pendaftaran hak-
hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama. Selanjutnya di dalam
Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :
“Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah, berupa alat bukti untuk
pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama sebagaimana
dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”.
Dengan demikian, alat bukti tertulis yang dimaksud berdasarkan Pasal 24
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Jo Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 merupakan bukti tertulis yang diperlukan dalam
proses pendaftaran tanah hak-hak lama. Untuk hak-hak lama atas tanah apabila
pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan hak atas tanah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, baik yang berupa bukti tertulis maupun
bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembuktian hak dapat
131 Muhammad Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah,
Mandar Maju, Bandung, hal. 126.
85
dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti
penguasaan fisik yang telah dilakukan pemohon dan pendahulunya selama 20
tahun atau lebih secara berturut-turut, sedangkan untuk alat bukti tertulis
pendaftaran tanah hak baru yang berasal dari tanah Negara diatur dalam Pasal 23
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Baik
bukti-bukti lama maupun bukti baru yang pada akhirnya bertujuan untuk
penerbitan sertipikat bukti hak atas tanah yang memiliki kekuatan otentik.132
Hal ini juga diatur dalam Pasal 61 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa dalam hal kepemilikan atas sebidang
tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, maka penguasaan secara
fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih
secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut
sebagai milik yang bersangkutan.
2.3.3 Ketentuan BW
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) BW yang
berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik
merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari
para pihak.
132 Ibid,
86
Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak. Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan. Asas
itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan
baik dari para pihak. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum yang
berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil law. Dalam
perkembangannya diserap pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang
menganut Common La w System, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia
Baru, dan Kanada. Amerika Serikat telah menerima asas itikad baik dalam
Uniform Commercial Code (UCC) maupun dalam putusan pengadilan. UCC
menentukan : ”Every contract or duty within this Act imposes an obligation of
good faith in its perfomances adn enforcement”
BW mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian
yang pertama adalah itikad baik dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa
Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat dalam Pasal 530
BW yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti
subyektif merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa.133
Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW
dalam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan
kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad
133 Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus
Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927, diakses tanggal 11 Juni 2015.
87
baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti obyektif. Didalam bahasa Indonesia
itikad baik dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan. Obyektif
disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai
dengan anggapn umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan
para pihak sendiri.134
Sampai saat ini tidak ada makna tunggal itikad baik dan masih menjadi
perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna itikad baik tersebut. Amerika
Serikat telah sejak lama menerima doktrin itikad baik dalam kontrak yang
terefleksi dalam Uniform Commercial Codes (UCC), Restatement of Contract,
maupun putusan-putusan pengadilan. Hakim-hakim di Selandia Baru, Kanada,
Australia belum begitu lama mengenal doktrin itikad baik sebagai bagian hukum
mereka. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di
berbagai sistem hukum, namun asas itikad baik tersebut masih menimbulkan
permasalahan berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik, sehingga timbul
pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari persepektif waktu, tempat serta
subyeknya.
Menurut ketentuan dari Pasal 1457 BW, yang dimaksud dengan jual beli
adalah :
”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar hargayang telah dijanjikan”. Sedangkan menurut Pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian harus
memenuhi 4 syarat, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
134 Ibid.
88
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal
Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah
belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih
diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahkan yang caranya
ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.
Penyerahan hak itu dalam istiliah hukumnya biasa disebut Juridische
levering (penyerahan menurut hukum) yang harus dilakukan dengan akta dimuka
dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama Stbid No. 27
Tahun 1834.135 Untuk terjadinya perjanjian jual-beli ini cukup jika kedua belah
pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga sebagaimana diatur
dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi:
“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya
orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya,
meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak itu
terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda setidaknya
harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya mesti
ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan benda
lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan penukaran.
Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa benda itu telah
diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan ini akibat dari
terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.136
135 K.Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 31. 136 Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 69. . (Selanjutnya disebut
Subekti IV)
89
Menurut undang-undang, sejalan saat ditutupnya perjanjian risiko
mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu
rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap
membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus
merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada
waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu
ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan
pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.137
Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang
ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat
disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan
perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat
diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam BW ini bersifat obligatoir, yanq
artinya bahwa perjanjian jual be1i baru meletakkan hak dan kewajiban timbal
balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada
penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya
sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang
telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk
membayar harga barang sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak
milik atas barang yang dibelinya atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang
dianut Hukum Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.138
137 Sudaryo Soimin, 1994, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 94- 95. 138 Ibid.