BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN...

42
48 BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN PENGATURANNYA 2.1 Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik Immanuel Kant, seorang ahli filsafat Jerman (1724-1820) berpendapat bahwa sesuatu itu yang secara absolut baik, adalah keinginan baik (good will) itu sendiri. Jadi jelas, dalam hal ini pertanyaannya adalah “bagaimana dapat diidentifikasi keinginan baik tersebut?” Kant menjawabnya dengan mengatakan bahwa ada hukum moral yang rasional, yang bisa diidentifikasi berdasarkan akal. Menurut Kant, hukum moral semata-mata merupakan usaha intelektual untuk menemukannya, dengan kata lain tidak diciptakannya. Teoritisi hukum memiliki perbedaan pendekatan yang berbeda dalam mengalisis hukum, keadilan dan moral. Ada yang mendukung hubungan hukum, keadilan dan moral, ada yang memisahkannya, tergantung kepada kepercayaan dan nilai masing-masing individu, 70 atau dengan perkataan lain, pembahasan tentang bahasa moral mengenai yang salah dan benar. Pertanyaan yang lebih spesifik adalah kapan bisa berdebat masalah moral sama dengan berdebat tentang fakta, dimana yang pertama hanyalah masalah pendapat. Ini adalah pertanyaan yang besar dimana para philosof menganggapnya sebagai bagian dari filsafat yang dikenal sebagai etika (ethics) yang menawarkan banyak jawaban. Argumen berdasarkan kewajiban, yang dalam kamus filsafat sebagai argumen deontological dapat dibagi kedalam yang berdasarkan agama dan berdasarkan bukan agama. 70 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak , Pascasarjana UI, Jakarta, hal. 130-133. (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy III).

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN...

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

48

BAB II

TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN PENGATURANNYA

2.1 Pemikiran Filsafat tentang Itikad Baik

Immanuel Kant, seorang ahli filsafat Jerman (1724-1820) berpendapat

bahwa sesuatu itu yang secara absolut baik, adalah keinginan baik (good will) itu

sendiri. Jadi jelas, dalam hal ini pertanyaannya adalah “bagaimana dapat

diidentifikasi keinginan baik tersebut?” Kant menjawabnya dengan mengatakan

bahwa ada hukum moral yang rasional, yang bisa diidentifikasi berdasarkan akal.

Menurut Kant, hukum moral semata-mata merupakan usaha intelektual untuk

menemukannya, dengan kata lain tidak diciptakannya. Teoritisi hukum memiliki

perbedaan pendekatan yang berbeda dalam mengalisis hukum, keadilan dan

moral. Ada yang mendukung hubungan hukum, keadilan dan moral, ada yang

memisahkannya, tergantung kepada kepercayaan dan nilai masing-masing

individu,70 atau dengan perkataan lain, pembahasan tentang bahasa moral

mengenai yang salah dan benar.

Pertanyaan yang lebih spesifik adalah kapan bisa berdebat masalah moral

sama dengan berdebat tentang fakta, dimana yang pertama hanyalah masalah

pendapat. Ini adalah pertanyaan yang besar dimana para philosof menganggapnya

sebagai bagian dari filsafat yang dikenal sebagai etika (ethics) yang menawarkan

banyak jawaban. Argumen berdasarkan kewajiban, yang dalam kamus filsafat

sebagai argumen deontological dapat dibagi kedalam yang berdasarkan agama

dan berdasarkan bukan agama.

70 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI,

Jakarta, hal. 130-133. (selanjutnya disebut Ridwan Khairandy III).

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

49

Argumen berdasarkan agama, umpamanya, Tuhan menyampaikan

kebenaran melalui kitab suci, atau melalui sabda nabi, pengalaman-pengalaman

transcudentil, atas dasar mana hidup seluruhnya didasarkan. Bila kebenaran fakta

ini tidak bisa ditunjukkan sama dengan kebenaran dari fakta yang “asli” dapat

ditunjukkan, hal itu karena fakta berkenaan dengan keberadaan Tuhan bukanlah

fakta dalam arti kedua. Mereka yang percaya adanya Tuhan, tentu puas dengan

yang pertama (argumen berdasarkan agama), mereka yang tidak mempercayai

Tuhan tentu berpendapat berlainan. Mereka yang mempercanyai adanya Tuhan,

membuktikan Tuhan itu ada berdasarkan argumen yang rasional.

Kedua, ada perbedaan paham mengenai legitimasi kekuasaan dalam agama

ini terikat dalam perbedaan antara Katolik dan Protestan. Dalam hal ini penganut

agama mempercayai perbedaan dalam menafsirkan kitab suci dan doktrin. Mereka

yang tidak puas dengan jawaban yang berdasarkan keyakinan agama, mencoba

mencari jawaban berdasarkan jawaban rasionalitas atas masalah moral. Philosof

beriman, Imanuel Kant (1724-1804), misalnya, menganggap sesuatu yang absolut

dan tak bersyarat mengenai yang baik adalah itikad yang baik, sedangkan yang

lainnya yang secara komersional dikatakan sebagai baik (seperti kaya atau sehat)

adalah baik hanya sejauh dipergunakan untuk mencapai hasil yang baik.71 Jelas,

ini mengarahkan kita kepada pertanyaan bagaimana mengidentifikasikan itikad

baik tersebut. Jawaban Kant adalah terdapat “pre-existing moral law”, dimana

manusia ada rasional dan memiliki kehendak yang bebas, dapat mengidentifikasi

dengan menggunakan akalnya dan apa yang ia perlu identifikasi dalam usaha

71 Wiryono Prodjodikoro, 2006, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal. 56.

(selanjutnya disebut Wiryono Prodjodikoro II).

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

50

untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting bagi

Kant adalah moral itu ada sebagaimana adanya, dari usaha intelektual manusia

untuk mencerminkannya. Dengan perkataan lain, manusia tidak menciptakan

moral. Moral adalah universal, absolut, tidak bersyarat dan harus dipatuhi.

Itikad baik dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas yang

berasal dari ajaran bona fides dalam Hukum Romawi.72 Itu sebabnya asas itikad

baik memang lebih memiliki kedekatan dengan Sistem Civil Law ketimbang

dengan Sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius, yang

bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu

kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya.

Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang dibuat oleh

orang-orang Romawi.73

Pada mulanya hukum perjanjian Romawi hanya mengenal iudicia stricti

iuris, yaitu perjanjian yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang

secara ketat dan formal mengacu pada ius civile (seperangkat hukum yang

mengatur hak dan kewajiban warga Romawi). Dalam hal hakim menghadapi suatu

kasus, hakim harus memutus sesuai dengan hukum dan apa yang dinyatakan

dalam perjanjian. Baru kemudian, berkembang pula apa yang disebut dengan

iudicia bonae fidei suatu konsep yang bersumber dari ius gentium (hukum alam)

yang mengajarkan bahwa seseorang dalam membuat dan melaksanakan perjanjian

harus sesuai dengan itikad baik. Ajaran ini berkembang seiring diakuinya

perjanjian informal sebagai perjanjian yang bersifat konsensual.74

72 Reinhard Zimmerman and Simon Whitttaker, 2000, Good Faith in European Contract

Law. Cambridge University Press, hal. 12. 73 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133. 74 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 130-133.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

51

Itikad baik dalam hukum kontrak Romawi mengacu kepada tiga bentuk

perilaku para pihak dalam kontrak, yaitu: Pertama, para pihak harus memegang

teguh janji atau perkataannya; Kedua, para pihak tidak boleh mengambil

keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak; Ketiga,

para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan

jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas diperjanjikan.75

Pada awal perkembangan hukum perjanjian Romawi, perjanjian dipandang

sebagai sesuatu yang bersifat ritualistik. Perjanjian harus dibuat dalam suatu

bentuk ritual (kontrak formal). Sedangkan, kontrak informal, seperti perjanjian

jual-beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan pemberian mandat (kuasa),

pada awalnya hanya memiliki kekuatan moral. Baru lah dalam perkembangan

selanjutnya kontrak informal ini memperoleh pengakuan sebagai perjanjian

konsensual, seiring dengan perkembangan ajaran itikad baik dalam masyarakat

Romawi.76

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa itikad baik diperlukan karena

hukum tidak dapat menjangkau keadaan-keadaan di masa mendatang. Beliau

menjelaskan:

Tidak ada buah perbuatan orang-orang manusia yang sempurna. Oleh karena peraturan-peraturan tersebut di atas hanya terbikin, oleh orang-orang manusia saja, maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna. Peraturan-peraturan tersebut hanya dapat meliputi keadaan-keadaan yang pada waktu terbentuknya peraturan-peraturan itu telah diketahui akan kemungkinannya. Baru kemudian ternyata ada keadaan-keadaan yang seandainya dulu juga sudah diketahui kemungkinannya, tentu atau sekiranya dimasukkan dalam lingkungan peraturan. Dalam hal keadaan-keadaan semacam inilah nampak penting faktor kejujuran dari pihak yang berkepentingan.77

75Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, dalam Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit. 76 Ridwan Khairandy III, Op.Cit, hal. 132. 77 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

52

Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai

untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin

dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan

perjanjian.78 Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa

dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau

beritikad baik patut dilindungi; dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut

merasakan pahit getir akibat ketidakjujuran tersebut.

Walaupun asas itikad baik dipahami sebagai salah satu asas yang penting

dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada definisi yang

komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan

Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik

adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang

berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang

masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti itikad

baik.79 Bahkan James Gordley menyatakan dalam kenyataannya sangat sulit untuk

mendefinisikan itikad baik.80

Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa itikad baik (good faith)

adalah:

A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage.81

78 Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 74. 79 Charles Fried dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 129. 80 Reinhard Zimmermann dan Simon Whittaker, Op.Cit, hal. 93. 81 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th edition, Thomson West, St. Paul,

hal. 713.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

53

Charles Fried memahami itikad baik sebagai sebuah cara bertransaksi

dengan pihak lain dalam perjanjian dengan jalan jujur (honestly) dan baik

(decently).82 Sejalan dengan itu, Wirjono Prodjodikoro menyamakan istilah itikad

baik dengan kejujuran (goede trouw),83 seperti yang banyak pula tercatat dalam

literatur-literatur hukum.

Kesulitan untuk memberikan batasan terhadap itikad baik bukan hanya

merupakan persoalan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat,

keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial

Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan

definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik.

Profesor Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder”

(pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk

mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan

bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk,

yang oleh hakim dilarang.84

Secara filosofis, itikad baik dibedakan menjadi 2, yaitu itikad subyektif

dan itikad baik obyektif yang diuraikan sebagai berikut :

2.1.1 Itikad Baik Subjektif

Terminologi pemegang barang (bezitter) yang beritikad baik, pembeli

barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang

beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir subjektif. Seorang pembeli

82 Charles Fried, dalam Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 131. 83 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56. 84 Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

54

barang yang beritikad baik adalah orang yang membeli barang dengan penuh

kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik dari barang yang

dibelinya tersebut. Ia sama sekali tidak mengetahui jika seandainya ia membeli

dari orang yang tidak berhak. Itu mengapa ia disebut sebagai seorang pembeli

yang jujur. Dalam anasir ini, itikad baik memiliki arti kejujuran atau bersih.85

Dalam konsep yang hampir sama, Wirjono Prodjodikoro memahami itikad

baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai

berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya

hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang

bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya

hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa

sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini

dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua. Dengan kata lain,

pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak

dipenuhinya syarat tersebut.86

2.1.2 Itikad Baik Obyektif

Ada perbedaan sifat antara itikad baik pada mulai berlakunya hubungan

hukum dengan itikad baik dalam hal pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban dalam hubungan hukum. Itikad baik yang pertama terletak pada

keadaan jiwa seorang manusia pada suatu waktu, yaitu pada waktu mulai

berlakunya hubungan hukum. Lain halnya dengan itikad baik dalam pelaksanaan

85 Ridwan Khairandy II, Op.Cit, hal. 181. 86 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 56.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

55

hak dan kewajiban dalam hubungan hukum. Disini pun itikad baik nampak pada

tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan

sebagai pelaksanaan perjanjian. Dalam melakukan tindakan inilah itikad baik

harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa manusia

itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak

lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada

mulai orang membentuk suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu

memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk

menguntungkan diri sendiri. Dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan

hak dan kewajiban pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat

dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.87

Dalam hal suatu perjanjian dianggap melanggar asas itikad baik, hukum

memberikan kewenangan kepada hakim untuk mengubah atau bahkan menghapus

sebagian atau keseluruhan perjanjian. Asas itikad baik juga memberikan petunjuk

bahwa dalam melaksanakan perjanjian hendaknya masing-masing pihak berlaku

adil kepada pihak lainnya.

Itikad baik merupakan pengertian hubungan (Relatie begrip) asas itu

selanjutnya akan berlaku di dalam suatu hubungan Kontraktual, sedangkan

kecermatan kemasyarakatan merupakan suatu pengertian (Begrip) yang umum

jadi tidak didasarkan pada adanya hubungan Kontraktual.88 Itikad baik dalam arti

obyektif merupakan suatu relatie (Begrip) dipegang teguh pada masa-masa

87 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62. 88 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 61-62.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

56

sebelum perang dunia selanjutnya yurisprudensi juga menetapkan berlakunya atas

itikad baik di dalam beberapa lembaga hukum yaitu:

a. Keputusan para pihak (Partij Beslissing)

Lembaga ini dimaksud guna menyelesaikan sengketa yang mungkin

timbul diatara para pihak yang membuat suatu perjanjian, di mana para

pihak berjanjian bahwa jika terjadi perselisihan diantara para pihak. Dalam

hal ini, maka dalam melaksanakan keputusan ini harus diindahkan asas

itikad baik. Penerapan asas ini dimaksudkan sebagai suatu pengawasan

dalam pengambilan keputusan tersebut.

b. Nasihat yang mengikat (Bindend Advies)

Lembaga ini juga timbul untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Dalam

lembaga Bindend Advies ini para pihak memperjanjikan bahwa

perselisihan yang mungkin terjadi diantara mereka, akan dimintakan

penyelesaiannya pada pihak III, dan nasihat/pertimbangan pihak III ini

mengikat para pihak yang brsengketa itu. Di dalam mengambil keputusan

berkenan denga sengketa tersebut pihak ke III tersebut harus

mengindahkan asas itikad baik (kepatutan) supaya ia tidak berlaku tidak

adil terhadap para pihak.

c. Perubahan Anggaran Dasar (Statuten Wijziging)

Keputusan suatu badan hukum terurtama yang berkenaan dengan

perubahan anggaran dasar badan hukum tersebut harus didasarkan pada

itikad baik (Kepatutan), supaya perubahan itu masih merupakan

pelaksanaan yang patut dari perjanjian semula.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

57

Setelah Perang Dunia II, terjadi perkembangan yang penting dari asas

itikad baik ini. Asas ini yang pada mulanya merupakan suatu pengertian

hubungan, yang karenanya senantiasa berlaku dalam suatu hubungan kontraktual,

kemudian dinyatakan berlaku dalam hal-hal lain yag tidak didasarkan suatu

hubungan kontraktual. Arest H.R. tanggal 15 Nopember 1957 menetapkan bahwa:

Para pihak yang sedang berarda dalam tahap pra kontraktual dan sedang

bernegosiasi yuntuk memperoleh kata sepakat, masing-masing mempunyai

kewajiban-kewjiban yang didasarkan pada itikad baik (kepatutan), kewajiban itu

adalah:

a. Kewajiban untuk mmeriksa (Onderzoekplicht)

b. Kewajiban untuk memberitahukan (Mededeling plicht)89.

Misalkan saja dalam perjanjian jual beli, Si penjual berkewajiban untuk

memberikan informasi mengenai segala sesuatu yang penting berkenan dengan

obyek/perjanjian itu, yang dapat membantu pembeli untuk mengambil keputusan

untuk membeli benda tersebutm sedangkan pembeli berkewajiban untuk

memeriksa obyek perjanjian tersebut apakah ada cacatnya atau tidak, apakah ada

rencana pemerintah yang akan berpengaruh terhadap benda tersebut. Kewajiban

untuk memberitahukan dan memeriksa itu harus diladasi itikad baik.

Menurut Sudikno90 asas hukum itu bersifat dinamis, ia berkembang

mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti

kaedah hukumnya, sedangkan kaedah hukum akan berubah mengikuti

perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (Historich

89 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 70. 90 Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 9.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

58

Bestimmt). Di atas telah diuraikan bahwa asas itikad baik telah mengalami

perkembangan dari suatu pengertian hubungan (Relatie Begrip) menjadi suatu

asas hukum antara para pihak. Di bawah ini akan diterangkan perkembangan

selanjutnya, untuk melihat apakah asas itikad baik itu masih tetap merupakan

suatu asas yang belaku di bidang hukum perjanjian saja atau telah berkambang

menjadi asas yang berlaku juga dibidang hukum lain.

Asas itikad baik yang hanya merupakan suatu asas yang berlaku dibidang

hukum perjanjian telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang

atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privaat

maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dengan lain perkataan, asas

itikad baik itu telah berkembang dari asas hukum khusus menjadi asas hukum

umum.

Perkembangan yang demikian ini menurut hemat penulis sesungguhnya

merupakan sesuatu keniscayaan, mengingat bahwa asas itikad baik ini adalah

perwujudan dari suatu asas yang bersifat universal yaitu asas penilaian baik dan

buruk sebagai dikemukakan oleh Scholten91, di dalam tataran dogmatik hukum.

Sebagai suatu asas yang universal, ia berlaku kapan dan dimana saja, tidak

tergantung oleh waktu dan tempat. Hal ini juga dibuktikan dari kenyataan bahwa

asas itikad baik ini diadopsi pula di dalam Pasal 2 ayat (2) piagam PBB, yang

menyebutkan bahwa:

All members, in order to ensure to all of them the right and benefit resulting from membership, shall fulfill in good Faith the obligation assumed by them in accordance with the persent charter.

91 Ibid, hal. 11.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

59

Serta di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969, yang menyebutkan bahwa:

Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.

Pengakuan yang lebih jelas lagi bahwa asas itikad baik itu merupakan

suatu asas yang bersifat universal dapat ditemukan di dalam considerans Konvensi

Wina 1969 tersebut sebagai berikut:

The principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized.

Dari berbagai kenyataan tersebut di atas tidak salah kiranya jika penulis

berpendapat bahwa asas itikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum

khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum, yang seyogyanya

menjadi salah satu pedoman di dalam penyelesaian berbagai masalah hukum yang

timbul di tanah air ini.

2.2 Itikad Baik dalam BW (Indonesia)

Salah satu asas hukum khusus sebagaimana disebutkan di muka adalah

asas itikad baik. Asas ini adalah asas hukum khusus karena merupakan asas

hukum yang hanya berlaku dibidang hukum perdata saja. Kebanyakan ahli hukum

mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, yang mengatur

bahwa: “Persetujuan-persetujuan (perjanjian) harus dilaksanakan dengan itikad

baik.” Namun demikian, ayat ini sebenarnya bukan satu-satunya ketentuan dalam

BW yang mengatur mengenai itikad baik. Di samping itu, BW sebenarnya

memahami itikad baik dalam berbagai bentuk; tidak hanya itikad baik yang

dikenal dalam Pasal 1338 ayat (3) BW tersebut saja.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

60

Asas itikad baik ini sesungguhnya berasal dari hukum romawi. Di dalam

hukum Romawi asas ini disebut asas Bonafides. BW mempergunakan istilah

itikad baik dalam 2 pengertian. Pengertian itikad baik yang pertama adalah

pengertian itikad baik dalam arti subyektif itu disebut kejujuran. Pengertian itikad

baik dalam artian subyektif/kejujuran terdapat dalam Pasal 530 BW dan

seterusnya yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dala,

arti subyektif merupakan sikap batin atau suatu keadaan jiwa.92

Djaja S. Meliala, dalam bukunya yang berjudul Masalah Itikad Baik

dalam KUH Perdata, berpendapat bahwa itikad baik memiliki peranan yang amat

penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak kebendaan (zakenrecht)

sebagaimana diatur dalam Buku II BW, maupun hak perorangan

(persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III BW; bahkan, tidak dapat

pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum perorangan dan keluarga

dalam Buku I BW.93 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itikad baik

sesungguhnya tidak hanya ada dalam ranah Buku III BW semata, melainkan

terkandung pula dalam Buku II dan Buku IV serta secara implisit dalam Buku I

BW.

Pada Pasal 529 BW diterangkan tentang pengertian kedudukan berkuasa

(bezit) selanjutnya pada Pasal 530 BW dikatakan bahwa: kedudukan demikian

(bezit) itu ada yang beritikad baik dan ada yang buruk.

92 P.L. Wery, 1990, Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Nederland, Percetakan

Negara RI, Jakarta, hal. 10. 93 Djaja S. Meliala, 1987, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, cet. 1, Binacipta,

Bandung, hal. 6.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

61

Seorang bezitter dianggap beritikad baik apabila ia tidak mengetahui

adanya cacat pada ”kepemilikannya”. Dalam hal ini keadaan jiwa yang demikian

itu dilindungi oleh undang-undang94. Dalam hal ini itikad baik (kejujuran)

dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang memegang atau

menguasai barang pada waktu ia mulai menguasai barang itu bahwa syarat-syarat

yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi, jadi

menurut Wiryono Prodjodikoro95 kejujuran yang bersifat statis.

Hal ini ditegaskan juga oleh Subekti96 yang menyatakan bahwa: “Dalam

hukum benda itu itikad baik berarti kejujuran atau kebersihan”. Selanjutnya

dinyatakan ”Kedudukan itu (bezit) beritikad baik, manakala si yang memegang

memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak

tahulah dia akan cacat-cela yang terkandung di dalamnya” (Pasal 531 BW).

Selanjutnya Pasal 548 BW mengatur ”Tiap-tiap kedudukan berkuasa yang

beritikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas keberadaan

yang dikuasai, sebagai berikut:

1. bahwa ia sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka hakim,

sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan;

2. bahwa ia karena daluwarsa dapat memperoleh hak milik atas kebendaan

itu;

3. bahwa ia sampai pada saat penuntutan kembali akan kebendaan itu di

muka hakim, berhak menikmati segala hasilnya;

94 Ibid. 95Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 96Subekti, Op.Cit, hal. 49.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

62

4. bahwa ia harus dipertahankan dalam kedudukannya, bilamana diganggu

dalam memangkunya, ataupun dipulihkan kembali dalam itu, bilamana

kehilangan kedudukannya.”

Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW

dalam pasal tersebut menentkan bahwa: “Pembayaran yang dengan itikad baik

dilakukan pada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Arti

itikad baik di sini adalah bahwa Si Pembayar utang tidak mengetahui bahwa pihak

yang menerima pembayaran itu bukan krediturnya, keadaan jiwa yang demikian

itulah yang dilindungi oleh undang-undang sehingga meskipun pembayaran itu

diterima oleh orang yang bukan krediturnya tetapi pembayaran itu dianggap sah.

Selanjutnya menurut PL Wery97 “tidak mengetahui adanya cacat itu meliputi juga

tidak usah mengetahui”.

Pengertian itikad baik yang kedua adalah itikad baik dalam artian obyektif.

Di dalam Bahasa Indonesia pengertian itikad baik dalam artian obyektif itu

disebut juga dengan istilah kepatutan. Itikad baik dalam artian obyektif itu

dirumuskan dalam ayat (3) Pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi “suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Apa yang dimaksud dengan pelaksanaan dengan itikad baik (uitvoering te

goeder Trouw) itu?. Menurut Wery:98

“Kedua pihak harus berlaku yang satu dengan yang lain seperti patutnya diantara orang-orang yang sopan tanpa tipu daya tanpa tipu muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak melihat kepentingannya sendiri saja tetapi juga dengan melihat kepentingan pihak lain”.

97 Ibid. 98 Ibid.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

63

Hal serupa juga dikemukakan oleh Aser Rutten99 sebagai berikut:

“Melaksanakan perjanjian berdasarkan itikad baik berarti bahwa Sikreditur dalam pelaksanaan haknya dan debitur di dalam pemenuhan kewajibannya harus beriktikad sesuai dengan prsyaratan “Redelijkheid en billijkheid, artinya para pihak harus melaksanakan perjanjian itu sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beradab”.

Selanjutnya melaksanakan suatu perjanjian, perilaku para pihak, baik

debitur maupun kreditur harus diuji atas dasar norma-norma objektif yag tidak

tertulis. Oleh karena itu pula itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW itu disebut

itikad baik dalam arti obyektif. Obyektif di sini menunjuk kepada kenyataan

bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad

baik dan tidak semata-mata berdasrkan pada anggapan para pihak sendiri. Hal ini

lebih ditegaskan oleh Wiryono Prodjodikoro100 yang menyatakan bahwa:

Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatya tidak diperbolehkan kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang. Pandapat ini sejalan pula dengan pendapat Subekti101 yang menyatakan

bahwa: ”Yang dimaksud dengan melaksanakan perjanjian dengan itikad baik

adalah melaksanakan perjajian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan

kesusilaan. Jadi pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif

atau dengan lain perkataan”. Pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang

99 Asser Rutten, dalam Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya Bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20, No. 2 hal. 222.

100 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 87. 101 Subekti II, Op.Cit, hal. 49.

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

64

benar selanjutnya menurut Subekti102 Pasal 1338 BW itu memberikan kekuasaan

pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu pernajian agar jangan sampai

pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Oleh karena itu hakim

berkuasa untuk menyimpang dari ssi perjanjian menurut hurufnya, manakala

pelaksanaan menurut huruf itu akan bertentangan dengan itikad baik.

Itikad dalam arti kepatutan itu dipergunakan pula di dalam Pasal 1339 BW

yang menyebutkan:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang”.

Menurut Houwing103 itikad baik dan kepatutan dalam kedua pasal itu

sama. Istilah kepatutan dalam Pasal 1339 BW diambil dari Domat dan istilah

itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (8) BW diambil dari Pothier. Selanjutnya Pasal

Pasal 1965 BW mengatur ”Itikad baik selamanya harus dianggap ada, sedangkan

siapa yang menunjuk kepada suatu itikad buruk diwajibkan membuktikannya.”

Pasal 1966 BW adalah cukup bahwa pada waktu benda atau piutang diperoleh,

itikad baik itu ada. Kemudian, secara eksplisit melindungi seorang pembeli benda

bergerak beritikad baik dalam Pasal 1977 ayat (1) BW yang mengatur ”terhadap

benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus dibayar

kepada si pembawa maka barang siapa yang menguasainya (dengan itikad baik)

dianggap sebagai pemiliknya.”

Menurut Subekti, itikad baik yang dipergunakan dalam pasal-pasal

tersebut berbeda maknanya. Itikad baik yang digunakan dalam istilah “pemegang

102 Subekti II, Op.Cit, hal. 51. 103 Wiryono Prodjodikoro II, Op.Cit, hal. 86.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

65

barang (bezitter)” dan “pembeli barang” berbeda dengan itikad baik dalam hukum

perjanjian atau sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Itikad baik

yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (3) BW mengandung pengertian bahwa

pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma

kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik yang pertama mengandung unsur subjektif,

sedangkan yang kedua mengandung unsur objektif.104

2.3 Itikad Baik dalam Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan hak atas tanah melalui jual beli mengandung pengertian yaitu

perbuatan hukum pemindahan hak selama-lamanya dari si penjual kepada pembeli

dan pembayaran harga baik seluruhnya maupun sebagian dari pembeli dilakukan

dengan syarat terang dan tunai.

Pengaturan jual beli di Indonesia secara umum masih bersifat jamak

karena jual beli dalam masyarakat masih mendasarkan pada 3 (tiga) hukum yang

berbeda sesuai dengan kesepakatan darin masing-masing pihak 3 (tiga) hukum

yang berlaku dalam jual beli yaitu:

a. Ketentuan Hukum Adat mengenai jual beli benda bergerak dan tidak

bergerak termasuk tanah (Ketentuan Hukum Adat);

b. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) mengenai benda tidak bergerak khususnya tanah

(Ketentuan Hukum Agraria);

c. Ketentuan BW mengenai jual beli benda bergerak dan benda tidak

bergerak sepanjang bukan mengenai tanah (Ketentuan BW).

104 Subekti II, Op.Cit, hal. 41.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

66

Bahasan berikut akan menguraikan ketentuan Hukum Adat, Ketentuan

Hukum Agraria dan Ketentuan BW.

2.3.1 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Adat

Hukum adat merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum yang

menjadi pegangan bersama dalam kehidupan masyarakat. Berbeda dengan norma-

norma hukum tertulis yang dituangkan dalam kehidupan bermasyarakat yang

secara tegas dibuat oleh penguasa legislatif dalam bentuk perundang-undangan

dimana norma-norma hukum adat tidak tertulis.105

Jual beli tanah dalam hokum adat adalah salah satu bentukperalihan hak

tas tanah. Menurut pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu

perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang. dijualnya

kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga

(walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu hak atas tanah

telah beralih dari penjual kepada pembeli.

Dari sini dapat disimpulkan pembeli telah mendapat hak milik atas tanah,

sejak saat, terjadi jual beli. Jadi jual beli menurut hukum adat adalah suatu

perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Dalam hal jual beli

yang pembayarannya belum lunas (baru dibayar sebagian), sisa harganya itu

merupakan hutang pembeli kepada campur tangan pihak resmi, tidak perlu terjadi

dihadapan pejabat, cukup dilakukan dengan lisan. Hal ini tentunya tidak termasuk

didalam jual beli, benda-benda tertentu, terutama mengenai obyek benda-benda

tidak bergerak yang pada umumnya memerlukan suatu akta jual beli yang resmi.

105Boedi Harsono, 1999, Sejarah pembentukan UUPA, Isi dan pelaksanaannya,

Djambatan, Jakarta, hal.179. (selanjutnya disebut Boedi Harsono III).

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

67

Berlakunya hukum adat dalam masyarakat merupakan manifestasi aspirasi

yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan hukum adat sebagai hukum

yang hidup dalam masyarakat sangat tergantung pada basis social yang

mendukungnya yaitu masyarakat adat itu sendiri. Namun demikian berlakunya

hukum adat tidak terlepas dari berbagai pengaruh dari kekuatan yang ada dalam

masyarakat termasuk pengaruh dari berbagai kekuatan politik dimana sebagian

diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan perundang-

undangan.106 Dalam penyusunan hukum tanah nasional hukum adat diberi

kedudukan yang istimewa yaitu dengan menjadikan hukum adat sebagai dasar

pembentukannya.

Semua hukum tanah mempunyai obyek pengaturan yang sama yaitu hak-

hak penguasaan atas tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah macamnya beragam

yang disebabkan karena perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang

bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Pembangunan hukum tanah nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yaitu

komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,

dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung

kebersamaan. Menurut UUPA semua tanah dalam wilayah RI adalah tanah

bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.

Setiap WNI sebagai anggota bangsa Indonesia, mempunyai hak untuk menguasai

dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan

pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara, sampai dengan

106Abdurrahman, 1994, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan agraria

Indonesia, Akademika Presindo, Jakarta, hal.10.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

68

hak yang tanpa batas (hak milik). Pengggunaan tanah tersebut tidak boleh hanya

berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat

kepentingan bersama yaitu kepentingan bangsa Indonesia.107

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan

pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa

penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat

riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah

terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No.

840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual

beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun

tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat terang

dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh

Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan

kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut. Sekarang sifat

terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku.108

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual

beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya.

Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan

perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta

jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan

107 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djambatan, Jakarta, hal. 236. (selanjutnya disebut Boedi Harsono IV)

108 Boedi Harsono, “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977, hal. 50.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

69

hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah

memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan

hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut

membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak

untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang

dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut

membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya

yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya,

karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi

PPAT sifatnya tertutup bagi umum.109

Bentuk-bentuk jual bell tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:

a. Jual lepas

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang

bersifat terang dan tunai, di mana semua ikatan antara bekas penjual

dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.110 Biasanya, pada jual lepas,

calon pembeli memberikan sesuatu tanda jadi sebagai pengikat yang

disebut uang sebagai jaminan. Meskipun telah ada jaminan uang di muka,

perjanjian pokok belum terlaksana hanya dengan uang sebagai jaminan

semata-mata. Dengan demikian uang sebagai jaminan di sini fungsinya

hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Apabila telah ada

panjer, konsekuensinya manakala jual beli tidak jadi dilaksanakan, akan

ada dua kemungkinan, yaitu bila yang ingkar si calon pembeli, maka uang

109 Ibid, hal. 296. 110 Soerjono Soekanto, 1983, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, hal. 212.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

70

sebagai jaminan tersebut menetap pada si calon penjual, bila keingkaran

itu ada pada pihak si calon penjual, maka ia harus mengembalikan

panjernya pada si calon pembeli, adakalanya bahkan dua kali lipat nilainya

dari uang muka semula. Fungsi uang sebagai jaminan itu sendiri dalam

jual lepas adalah :

1) Pembicaraan yang mengandung janji saja tidak mengakibatkan suatu

kewajiban. Tetapi adakalanya janji lisan yang diikuti dengan

pembayaran sesuatu (uang/benda) dapat menimbulkan suatu

kewajiban, namun hanya ikatan moral untuk berbuat sesuatu, misalnya

untuk menjual atau untuk membeli.

2) Tanpa jaminan uang, orang tidak merasa terikat. Sebaliknya dengan

uang sebagai jaminan orang merasa mempunyai ikatan moral untuk

melaksanakan apa yang ditentukan dalam janji tersebut (pada angka 1

diatas).

3) Perjanjian pokok (jual beli) belum terlaksana hanya dengan pemberian

uang sebagai jaminan. Setelah tidak digunakannya hak ingkar oleh

para pihak, jual beli baru dapat dilaksanakan.

b. Jual gadai

Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak secara

sementara atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan

tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak

mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian,

maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara,

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

71

walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat

sementara waktu tersebut.111

Dengan penerimaan tanah itu, si pembeli gadai (penerima gadai)

berhak :

1) Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik.

2) Mengopergadaikan atau menggadaikan kembali di bawah harga tanah

tersebut kepada orang lain jika sangat membutuhkan uang, karena ia

tidak dapat memaksa si penjual gadai untuk menebus tanahnya.

3) Mengadakan perjanjian bagi hasil.

Transaksi ini biasanya disertai dengan perjanjian tambahan seperti :

1) Kalau tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan, maka tanah menjadi

milik yang membeli gadai.

2) Tanah tidak boleh ditebus sebelum satu, dua atau beberapa tahun

dalam tangan pembeli gadai.

c. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan

penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subjek hukum lain,

dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa sesudah

jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan

sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. Dalam hal ini, terjadi

peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu. Kewenangan yang

diperoleh si pembeli tahunan adalah mengolah tanah, menanami dan

111 Ibid, hal. 214.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

72

memetik hasilnya, dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan miliknya

sendiri dalam jangka waktu yang diperjanjikan.112

d. Jual Gangsur.

Menurut Soerjono Soekanto pada jual gangsur ini, walaupun telah

terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih

tetap berada di tangan penjual. Artinya, bekas penjual masih tetap

mempunyai hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati

oleh penjual dengan pembeli.113

e. Jual beli dengan cicilan

Menurut M. Yahya Harahap jual beli cicilan, merupakan salah satu

bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein

atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik

barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat

waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”.114

Sementara itu jual beli menurut hukum pertanahan nasional adalah

perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu:

1. Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

2. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

3. Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.115

112 Ibid, hal. 216. 113 Ibid, hal. 217. 114 M. Harahap Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 26. 115 Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 330.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

73

Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat

terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik

tercapainya kata “sepakat“ mengenai barang dan harga. Dengan kesepakatan

tersebut berarti perjanjian jual beli, tersebut menganut asas konsessualisme yang

ditentukan dalam, Pasal 1458 BW, yang berbunyi : “Jual-beli itu dianggap telah

mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan

itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”

2.3.2 Itikad Baik dalam Ketentuan Hukum Agraria

Pengaturan mengenai Hukum Pertanahan di Indonesia diatur dalam

UUPA. Namun sebelum berlakunya UUPA hukum tanah di Indonesia bersifat

dualisme, artinya selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber dari

hukum adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan atas

hukum barat.116 Dengan dikeluarkannya UUPA yang disahkan pada tanggal 24

September tahun 1960, maka berakhirlah masa dualisme hukum tanah yang

berlaku di Indonesia yang menjadi unifikasi hukum tanah.

UUPA bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria, tetapi juga

unifikasi hak-hak atas tanah.117 Hukum agraria sesudah berlakunya UUPA

melahirkan hak atas tanah.118 UUPA mengatur secara tegas konversi hak-hak atas

tanah yang bersumber pada hukum adat dan hukum barat menjadi hak-hak atas

tanah menurut ketentuan UUPA. Namun demikian, konvensi ini tidak menghapus

akan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum yang diberikan oleh

Pemerintah bagi pemegang hak atas tanah.

116 Ibid, hal.1 117 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Grafikatama, Jakarta, hal.146.

(selanjutnya disebut Effendi Perangin I). 118 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, 1985, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia

Indonesia, Jakarta Timur, hal. 23.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

74

Tujuan pokok dari UUPA tidak hanya untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan hukum mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi

rakyat, tetapi UUPA juga mengatur mengenai macam-macam hak atas tanah yang

dapat diberikan dan dipunyai oleh perseorangan, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Hak atas tanah yang dapat

dipunyai dan diberikan kepada perseorangan dan badan hukum diatur dalam

ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA yakni: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil

hutan, hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai

yang disebutkan dalam Pasal 53.119.

Dengan berlakunya UUPA, maka berakhirlah pluralisme di bidang hukum

tanah Indonesia. UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum tanah yang

didasarkan pada hukum adat. Seiring dengan perkembangan hukum di bidang

pertanahan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah dipandang tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang

lebih nyata pada pembangunan nasional terutama dalam rangka memberikan

kepastian hukum kepada masyarakat, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan,

maka oleh Pemerintah telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961, dalam Pasal 37 ayat (1) mengatur tentang cara pengalihan hak

atas tanah yang dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT.

119 Pasal 53 UUPA : Ayat (1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Ayat (2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat 2 dan 3 berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

75

UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria

menggunakan sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah

sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan

hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh Penjual kepada

Pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada Penjual, yaitu

menurut pengertian hukum adat.120

Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan Hak Milik adalah: “Hak

turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan

mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai

orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan

hak “mutlak”, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak

Eigendom. Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut:121

1. Turun-temurun; Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih

karena hukum dari seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada

ahli warisnya.

2. Terkuat; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat

diantara Hak-hak atas tanah yang lain.

3. Terpenuh; Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan

untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.

120 Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 10. 121 Ali Achmad Chomzah, 2002, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara,

Sertipikat Dan Permasalahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 5-6

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

76

4. Dapat beralih dan dialihkan.

5. Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan.

6. Jangka waktu tidak terbatas

Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat

mempunyai Hak Milik adalah :

1. Warga Negara Indonesia;

2. Badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan

Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang

dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yang

meliputi:

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;

b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi Pertanian yang didirikan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;

c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria

setelah mendengar Menteri Agama;

d. Badan Hukum Sosial Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA,

menentukan bahwa;

“Orang asing yang sesudah berlakunyaundang-undang inimemperoleh Hak Milik, karena pewarisan tanpawasiat atau percampuran harta karenaperkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia kehilangankewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnyahak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu,Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum,dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang membebaninyatetap berlangsung”. Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal

21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa:“selama seseorang disamping

kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

77

dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam

ayat 3 Pasal ini”. Dengan demikian yang berhak memilik hak atas tanah dengan

Hak Milik adalah hanya Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang

ditunjuk oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.

Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa “Terjadinya Hak

Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sedangkan

dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara sebagaimana diatur dalam ayat (1),

Hak Milik dapat terjadi karena:

1. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan

denganPeraturan Pemerintah;

2. Ketentuan Undang-Undang.

Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan

kepentingan umum dan Negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang

menyatakan bahwa:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas peraturan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan Peraturan Perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama”. Betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title

“Hak Milik”, yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh

sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapa pun. Namun

demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak

milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat

diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula

dibatasi.

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

78

Peralihan hak atau pemindahan hak adalah perbuatan hukum yang

tujuannya untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain (penerima hak).

Peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan

perbuatan hukum yaitu pemindahan hak.122 Yang dimaksud dengan Peralihan Hak

karena pewarisan tanpa wasiat adalah peralihan hak atas tanah yang terjadi

dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka

haknya itu dengan sendirinya menjadi hak ahli warisnya. Berbeda dengan

perbuatan hukum pemindahan hak dimana peralihan hak dilakukan dengan

sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi

hak pihak lain.123

Perbuatan hukum Peralihan Hak untuk memindahkan hak atas tanah yang

dimiliki kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara:

1. Jual beli.

Pasal 1457 BW menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian,

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan.

2. Pemasukkan dalam Perusahaan atau Inbreng.

3. Tukar-menukar.

Pasal 1541 BW menyatakan bahwa tukar-menukar ialah suatu perjanjian,

dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling

memberikan suatu barang secara bertimbal-balik, sebagai gantinya suatu

barang lain.

122 Boedi Harsono IV, Op.Cit., hal. 333. 123 Effendi Perangin I, Op.Cit, hal. 6.

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

79

4. Hibah.

Pasal 1666 BW menyatakan bahwa hibah adalah suatu perjanjian dengan

mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan

tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si

penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

5. Hibah wasiat (legaat).

Hibah wasiat adalah suatu pemberian yang dinyatakan ketika yang

memberi itu masih hidup tetapi pelaksanaannya setelah yang memberi itu

meninggal dunia.124

Prosedur pemindahan hak milik atas tanah karena jual beli, tukar menukar,

hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 37

sampai dengan Pasal 40 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai dengan Pasal

106 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Prosedur pemindahan hak

karena lelang diatur dalam Pasal 41 PP No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai

dengan Pasal 110 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.125

Syarat Jual Beli Tanah ada 2, yaitu: Syarat Materiil dan Syarat Formil.126

1) Syarat Materiil

Syarat ini sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut,

antara lain sebagai berikut:

a) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi

syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan

124 K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Atas Tanah, cet. 5, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 35. 125 Urip Santoso, 2011, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana, Ed. 1, Cet,

2, Jakarta, hal. 90-92. 126 Effendi Perangin, 1994, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.

2. (selanjutnya disebut Effendi Perangin II).

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

80

berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang

dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut,

apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai. Menurut

UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga

Negara Indonesia tungal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh

Pemerintah (Pasal 21 UUPA).

b) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang

sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik

sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri

tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah adalah 2 orang, maka yang

berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak

boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.

c) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang

dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah

ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha

(Pasal 28), hak guna bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika

salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan

merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli

tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau

tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan

tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

81

adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak

adalah batal demi hukum, yang artinya sejak semula hukum

menganggap tidak pernah terjadi jual beli.

2) Syarat Formil.

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat

akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24 /97 harus dibuat

oleh PPAT.

Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA

berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat

sistem yang dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/riil/nyata. Kendatipun

demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap

peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai Peraturan Pelaksana dari

UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan

hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan

PPAT.127

Setelah dilakukannya Jual Beli atas sebidang tanah, masih ada 1 kegiatan

lain yang memang harus dilakukan oleh PPAT ataupun dapat dilakukan sendiri

oleh Pihak Pembeli, yaitu kegiatan Pemeliharaan Data. Yang dimaksud dalam hal

ini yaitu: Kegiatan untuk mendaftarkan dan mencatatkan bahwa telah terjadinya

suatu Peralihan Hak atas Tanah, dan meminta agar Kantor Pertanahan segera

mencoret nama Pemegang Hak yang lama menjadi Pemegang Hak yang baru,

yaitu: Pihak Pembeli yang baru saja membeli sebidang tanah tersebut dalam Buku

Tanah dan Sertifikat yang bersangkutan.

127 Bachtiar Effendi, Op.Cit, hal. 23.

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

82

Di daftar maksudnya dibukukan dan diterbitkan tanda bukti haknya. Tanda

bukti hak itu disebut sertifikat tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat

ukur yang dijilid menjadi satu dalam satu sampul. Sertifikat itu merupakan alat

pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa keterangan-keterangan yang tercantum

didalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan

yang benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang

membuktikan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat

bukti sebagaimana penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang

menyebutkan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat

dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya

harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis

tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang

bersangkutan.128

Bagi tanah-tanah yang telah bersertifikat, proses pendaftaran peralihan

hanyalah dengan cara membubuhkan catatan pada lajur-lajur yang terdapat pada

halaman ketiga dari buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya. Kalau peralihan

hak itu untuk pertama kali, maka selain mencatat peralihan hak itu, nama

pemegang hak yang tertulis pada halaman dua dicoret. Proses pendaftaran bagi

tanah yang belum bersertifikat tentunya memakan waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan proses pendaftaran tanah yang sudah bersertifikat karena

diperlukan penerbitan sertifikatnya dulu sebleum mencatat peralihan haknya.

128 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Pertanahan, Prestasi Pusaka, Jakarta, hal. 91.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

83

Adapun untuk menerbitkan sertiikatnya itu harus melalui proses seperti

pengumuman, pengukuran tanahnya, dan sebagainya.129

Sertipikat Hak atas Tanah tersebut akan diterbitkan oleh Badan Pertanahan

Nasional (BPN) setelah pihak yang bersangkutan (dalam hal ini Pihak Pembeli)

membawa persyaratan tertentu dan menjalani prosedur pendaftaran yang benar.

Secara hierarkis, pendaftaran bisa dilakukan di Kantor Pertanahan di tingkat kota

atau kabupaten setempat. Penerbitan bukti kepemilikan hak atas tanah ini

merupakan bagian dari proses pendaftaran tanah yang dijalankan oleh Kantor

Pertanahan.130

Di dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

disebutkan bahwa :

“Untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti dengan adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam Pendaftaran Tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”. Sesuai isi Pasal 24 ayat (1) tersebut, bahwa bukti tertulis seperti : sertipikat

hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agararia

Nomor 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang

berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai

kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua

kewajiban yang disebut didalamnya, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah

129 Sunaryo Basuki, 2005, “Landasan Hukum Penguasaan dan Penggunaan Tanah”, Makalah, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, hal. 2.

130 Kian Goenawan, 2009, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah dan Properti, Best Publisher, Yogyakarta, hal. 26.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

84

tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan

yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh

PPAT, yang tanahnya belum dibukukan, dan lain sebagainya.131 Alat bukti tertulis

tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting untuk pendaftaran hak-

hak atas tanah yang berasal dari konversi dari hak-hak lama. Selanjutnya di dalam

Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :

“Alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah, berupa alat bukti untuk

pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama sebagaimana

dimaksud masing-masing dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”.

Dengan demikian, alat bukti tertulis yang dimaksud berdasarkan Pasal 24

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Jo Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997 merupakan bukti tertulis yang diperlukan dalam

proses pendaftaran tanah hak-hak lama. Untuk hak-hak lama atas tanah apabila

pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan hak atas tanah

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, baik yang berupa bukti tertulis maupun

bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembuktian hak dapat

131 Muhammad Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah,

Mandar Maju, Bandung, hal. 126.

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

85

dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti

penguasaan fisik yang telah dilakukan pemohon dan pendahulunya selama 20

tahun atau lebih secara berturut-turut, sedangkan untuk alat bukti tertulis

pendaftaran tanah hak baru yang berasal dari tanah Negara diatur dalam Pasal 23

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Baik

bukti-bukti lama maupun bukti baru yang pada akhirnya bertujuan untuk

penerbitan sertipikat bukti hak atas tanah yang memiliki kekuatan otentik.132

Hal ini juga diatur dalam Pasal 61 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa dalam hal kepemilikan atas sebidang

tanah tidak dapat dibuktikan dengan alat pembuktian, maka penguasaan secara

fisik atas bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih

secara berturut-turut oleh yang bersangkutan dan para pendahulu-pendahulunya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 dapat digunakan sebagai dasar untuk pembukuan tanah tersebut

sebagai milik yang bersangkutan.

2.3.3 Ketentuan BW

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) BW yang

berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik

merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan substansi

kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari

para pihak.

132 Ibid,

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

86

Asas itikad baik dibagi menjadi dua, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik

mutlak. Dalam itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku

yang nyata dari subjek, sedang itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal

sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan. Asas

itikad baik merupakan asas dimana para pihak dalam kontrak harus melaksanakan

substansi kontrak berdasarakan kepercayaan atau keyakinan teguh atau kemauan

baik dari para pihak. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum yang

berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil law. Dalam

perkembangannya diserap pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang

menganut Common La w System, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia

Baru, dan Kanada. Amerika Serikat telah menerima asas itikad baik dalam

Uniform Commercial Code (UCC) maupun dalam putusan pengadilan. UCC

menentukan : ”Every contract or duty within this Act imposes an obligation of

good faith in its perfomances adn enforcement”

BW mempergunakan istilah itikad baik dalam dua pengertian, pengertian

yang pertama adalah itikad baik dalam pengertian subyektif, di dalam bahasa

Indonesia disebut dengan kejujuran, pengertian tersebut terdapat dalam Pasal 530

BW yang mengatur mengenai kedudukan berkuasa (bezit). Itikad baik dalam arti

subyektif merupakan sikap bathin atau suatu keadaan jiwa.133

Itikad baik yang berarti kejujuran ini juga diatur dalam Pasal 1386 BW

dalam pasal tersebut diatur ”Pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan

kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah” Pengertian itikad

133 Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik Perkembangan dari Asas Hukum Khusus

Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=927, diakses tanggal 11 Juni 2015.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

87

baik yang kedua adalah itikad baik dalam arti obyektif. Didalam bahasa Indonesia

itikad baik dalam pengertian ini disebut juga dengan istilah kepatutan. Obyektif

disini menunjuk kepada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai

dengan anggapn umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata pada anggapan

para pihak sendiri.134

Sampai saat ini tidak ada makna tunggal itikad baik dan masih menjadi

perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna itikad baik tersebut. Amerika

Serikat telah sejak lama menerima doktrin itikad baik dalam kontrak yang

terefleksi dalam Uniform Commercial Codes (UCC), Restatement of Contract,

maupun putusan-putusan pengadilan. Hakim-hakim di Selandia Baru, Kanada,

Australia belum begitu lama mengenal doktrin itikad baik sebagai bagian hukum

mereka. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di

berbagai sistem hukum, namun asas itikad baik tersebut masih menimbulkan

permasalahan berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik, sehingga timbul

pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari persepektif waktu, tempat serta

subyeknya.

Menurut ketentuan dari Pasal 1457 BW, yang dimaksud dengan jual beli

adalah :

”Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar hargayang telah dijanjikan”. Sedangkan menurut Pasal 1320 BW untuk sahnya suatu perjanjian harus

memenuhi 4 syarat, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

134 Ibid.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

88

c. Suatu hal tertentu.

d. Suatu sebab yang halal

Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun tanah

belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan hak itu masih

diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahkan yang caranya

ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.

Penyerahan hak itu dalam istiliah hukumnya biasa disebut Juridische

levering (penyerahan menurut hukum) yang harus dilakukan dengan akta dimuka

dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi Balik Nama Stbid No. 27

Tahun 1834.135 Untuk terjadinya perjanjian jual-beli ini cukup jika kedua belah

pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga sebagaimana diatur

dalam Pasal 1458 BW yang berbunyi:

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelahnya

orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya,

meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.

Jadi suatu persetujuan jual beli itu baru terjadi, jika antara kedua pihak itu

terdapat kata sepakat tentang benda dan harganya. Mengenai benda setidaknya

harus ditentukan macamnya (kualitas) dahulu. Mengenai harganya mesti

ditentukan dengan uang, sebab kalau pembayaran itu dilakukan dengan benda

lain, maka undang-undang menetapkan bahwa hal itu dinamakan penukaran.

Untuk sahnya persetujuan jual beli itu tidak diperlukan bahwa benda itu telah

diserahkan atau harga itu telah dibayar. Perbuatan-perbuatan ini akibat dari

terjadinya persetujuan itu, dan dapat dilakukan kemudian.136

135 K.Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 31. 136 Subekti, 1981, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 69. . (Selanjutnya disebut

Subekti IV)

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM ASAS ITIKAD BAIK DAN …erepo.unud.ac.id/11623/3/fc96db8fc232e2314338d491ab271ac2.pdf · 50 untuk mengetahui bagaimana melaksanakan kehendak bebasnya. Hal penting

89

Menurut undang-undang, sejalan saat ditutupnya perjanjian risiko

mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu

rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini harus tetap

membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu si penjual harus

merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan kewajibannya, misalnya pada

waktu yang telah ditentukan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu

ia memikul risiko terhadap barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan

pembayaran kerugian atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.137

Sebaliknya jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang

ditentukan si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang jika ada alasan dapat

disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan

perjanjian dengan pemberian kerugian juga barang yang belum dibayar itu dapat

diminta kembali. Jual beli yang diatur dalam BW ini bersifat obligatoir, yanq

artinya bahwa perjanjian jual be1i baru meletakkan hak dan kewajiban timbal

balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada

penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya

sekaligus memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang

telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli untuk

membayar harga barang sesuai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak

milik atas barang yang dibelinya atau dengan perkataan lain bahwa jual beli yang

dianut Hukum Perdata jual beli belum memisahkan hak milik.138

137 Sudaryo Soimin, 1994, Status Tanah Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 94- 95. 138 Ibid.