BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP Konsep Fraktur A. …
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP Konsep Fraktur A. …
1
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN KONSEP
A. Konsep Fraktur
A. Definisi
Menurut Sjamsuhidayat tahun 2005 Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur adalah setiap
retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Hidayat,2008). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
B. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum dibedakan menjadi beberapa
macam yaitu:
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula,
ulna, radius dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
2
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui
seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih
dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih
dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah
lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum
masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser) : terjadi pergeseran
fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen.
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma,
yaitu:
3
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa
cidera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau
memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan
kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
4) Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan
jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat
hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka
dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1
cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan
mekanisme trauma :
4
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya
melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya
membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan
akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena
trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah
permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena
trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada
tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut.
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal : berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan
memendek.
5
8. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang
berulang-ulang.
10. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena
proses patologis tulang
C. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu :
A. Cidera atau Benturan :
a) Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat
dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
(misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan
patah tulang).
b) Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada
pergelangan tangan.
6
c) Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya
fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya
penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan
fraktur patologis.
d) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
B. Fraktur Patologi
Fraktur patologi terjadi pada daerah-daerah tulang
yang telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan
osteoporosis.
C. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan sering terjadi
pada orang yang baru saja menambah beban aktivitasnya,
seperti baru diterima dalam angkatan bersenjata atau orang-
orang yang baru mulai latihan lari dll (Price & Wilson,
2005).
7
D. ANATOMI FISIOLOGI FRAKTUR
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui
proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh
sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang
akibat penimbunan garam kalsium.
GambGambar 2.1 Anatomi Kerangka Manusia.
8
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal
panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis.
Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara
epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh,
yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng
epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang
dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk
oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang
rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti
tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan
testosteron merangsang pertumbuhan tulang
panjang. Estrogen bersama dengan testosteron merangsang fusi
lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga
yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum
tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang
padat.
9
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan
tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti
dengan tulang pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di
sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung
oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit
mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit
dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun
atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam
polisakarida, dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka
dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah
sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan
terletak dalam osteon (unit matriks tulang). Osteoklas adalah
sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang
dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler
tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella.
Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
10
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus
(kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak
sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat
dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan
memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan
tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang
mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi
rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast yang melarutkan tulang untuk memelihara
rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam
lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik
(hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks,
dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 %
proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama
adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium
karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan
berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya
bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif
11
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-
garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi
(kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan
dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan
pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan
tulang ditentukan oleh rangsangan hormon, faktor makanan, dan
jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat
aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang.
Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk
menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali
dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari
garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan
mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya.
Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut
osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang,
osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang
menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk
suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan
terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalami
12
kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang
dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara
tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi
secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang
terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas
adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel
mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya
mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan
memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya
sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit
demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang
dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang
kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan
tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang
lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas
menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau
mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas
melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih
panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas
osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa
13
muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga
jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas
osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai
berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang
yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau
kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan
tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas
dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas
dirangsang oleh fungsi hormon dan stres beban akibat arus listrik
yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang
secara drastis akan merangsang aktivitas osteoblas namun
mekanisme pastinya belum jelas. Pada hormon estrogen,
testosteron, dan hormon pertumbuhan adalah promotor kuat bagi
aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang
dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-
hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan
tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu
kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas
berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu
pertumbuhan tulang.
14
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi
tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara
tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus.
Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong
kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar
meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan
penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah
besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan
menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas
terutama dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon paratiroid
dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang
kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai
respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon
paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan
merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke
dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan
balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid
lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon
paratiroid pada osteoklas.
Efek lain hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium
serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon
15
paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga
menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal
bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah
suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai
respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin
memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan
osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga
menurunkan kadar kalsium serum.
2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-
paru) dan jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan
kontraksi dan pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum
tulang belakang (hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral misalnya kalsium, fosfor.
(Mansjoer, 2007)
16
E. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Namun apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Pada dasarnya sel sel darah putih dan sel anast akan berakumulasi
yang akan menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat osteoblas
terangsang dan membentuk tulang baru yang umatur yang disebut
dengan callus.
17
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang
yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan
yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang
menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti
kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang
akan menderita komplikasi yang mungkin muncul antara
lain yaitu : nyeri, iritasi pada sel kulit, dan penurunan
kekuatan otot ektremitas, juga dapat terjadi defisit
perawatan diri oleh pasien yang mengalami fraktur, dari
situlah akan menimbulkan dampak berkurangnya aktivitas
dan kemampuan dalam merawat diri sendiri. (Carpenito,
2007). Dan pada umumnya pada pasien dengan fraktur
tertutup maupun terbuka dilakukan imobilisasi yang
bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
terputus dihubungkan ke fragmen seperti semula sampai
sembuh. (Price, 2006)
18
F. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Smeltzer & Bare tahun 2002 mengatakan bahwa
manifestasi klinis pada pasien fraktur adalah nyeri, hilangya fungsi
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal,
perubahan posisi tulang, dan perubahan warna. Manifestasi yang
lainnya sebagai berikut :
– Edema/pembengkakan.
– Nyeri: spasme otot akibat reflek involunter pada otot, trauma
langsung pada jaringan, peningkatan tekanan pada saraf sensori,
pergerakan pada daerah fraktur.
– Spasme otot: respon perlindungan terhadap injuri dan fraktur
– Deformitas : perpindahan struktur tulang dari posisi yang semula
– Echimosis: ekstravasasi darah didalam jaringan subkutan
– Kehilangan fungsi tubuh dan penurunan citra tubuh.
– Crepitasi: pada palpasi adanya udara pada jaringan akibat trauma
terbuka
Tidak semua manifestasi diatas ada pada setiap kejadian fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linier atau fisur atau
impaksi. Diagnosa fraktur tergantung dari apa yang ada pada tanda
dan gejala yang timbul pada pasien, dan juga dapat muncul dari
pembacaan hasil laboratorium dan hadil pemeriksaan sinar-x
(Smeltzer & Bare, 2002).
19
G. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan Kegawat Daruratan
Pada saat segera seteah terjadi cidera, pasien berada dalam
keadaan yang bingung, tidak menyadari adanya fraktur, dan
berusaha berjalan dengan tungkai yang terjadi patahan. Jika
dicurigai pasein mengalami fraktur maka pasien segera
dilakukannya imobilisasi pada bagian tubuh segera sebelum pasien
dipindahkan ketempat yang lebih aman. Daerah yang diimobilisasi
dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai,
yang kemudian dibebat dengan kencang dengan tali. Jika fraktur
terjadi pada tulang panjang ekstremitas bawah dapa dilakukan
dengan mengikat kedua tungkai dengan bersamaan, dengan
ekstremitas yang sehat tertindak sebagai bidai pada bagian yang
sehat. Pada keadaan fraktur yang terbuka, penanganan yang
pertama dengan menutup luka dengan kain bersih untuk
menanggulangi terjadinya kontaminasi dengan bagian jaringan
yang lebih dalam, dan jangan melakukan reduksi fraktur terbuka,
namun cukup dengan menutup luka dan membidai sesuai dengan
keadan fraktur yang ada.
20
B. Penatalaksanaan Fraktur
Ada empat konsep dasar yang harus
diperhatikan/pertimbangkan pada waktu menangani fraktur:
1. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat
kejadian kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
– Riwayat kecelakaan
– Parah tidaknya luka
– Diskripsi kejadian oleh pasien
– Menentukan kemungkinan tulang yang patah
– krepitus
2. Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin
dengan letak normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
– Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara
manual dengan traksi atau gips
– Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan
diluruskan melalui pembedahan, biasanya melalui internal
fiksasi dengan alat misalnya pin atau plat yang langsung
kedalam medula tulang.
3. Immobilisasi:Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang
harus dimobilisasi untuk membantu tulang pada posisi yang
benar hingga menyambung kembali.
21
4. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan
untuk mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama
penyembuhan (gips/traksi)
5. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah
dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan fraktur karena
sering kali pengaruh cidera dan program pengobatan hasilnya
kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck) (Smeltzer &
Bare, 2002).
H. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal
– Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, dan femur) akan terjadi
perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
akan mengakibatkan terjadinya shock hipovolemi.
– Emboli lemak
– Trombo emboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest
– Infeksi
Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor
tanda infeksi dan terapi antibiotik
2. Komplikasi lambat
– Delayed union
22
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan
biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses
infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang
– Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi
pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fobrous union atau
pseudoarthrosis
– Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada
perubahan bentuk)
– Nekrosis avaskuler di tulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang .
B. Konsep Dasar Nyeri
1. Definisi
Nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. Pada
pasien post operasi fraktur akan muncul masalah keperawatan yaitu nyeri
akut. Menurut Smeltzer & Bare tahun 2002 nyeri akut adalah nyeri yang
biasanya awitannya muncul secara tiba tiba dan umumnya berkaitan
dengan cidera spesifik. Nyeri akut biasanya mengindifikasikan bahwa
terjadi kerusakan atau cidera telah terjadi atau berlangsung.
23
Pada pasien dengan trauma fraktur penatalaksanaan utama adalah
operasi atau pembedahan, pembedahan atau operasi merupakan tindakan
pengobatan yang menggunakan suatu cara invasif dengan cara membuka
bagian tubuh yang akan dilakukan tindakan. Tindakan pembedahan
merupakan salah satu cara untuk menyatukan kontinuitas tulang yang telah
terputus menjadi tersambung kembali. Pada dasarnya penyambungan
tulang dapat dilakukan dengan cara pemasangan plat yang disebut dengan
ORIF. Setelah tindakan post operasi maka pasien akan muncul suatu
masalah yang lain yaitu nyeri. Nyeri setelah pembedahan atau operasi
akan timbul setelah efek pembiusan itu habis.
Nyeri akut tanpa melihat dari sifatnya, pola atau penyebabnya
nyeri yang tidak ditangani dengan adekuat akan mempunyai efek yang
membahayakan diluar dari ketidak nyamanan yang timbul. Selain
merasakan ketidak nyamanan dan mengganggu nyeri akut yang tidak
kunjung reda akan berdampak pada pulmonari, kardiovaskular,
gastroentrinal, endokrin dan immunorologi. Pengkajian keperawatan pada
pasien (Smeltzer & Bare, 2002).
Tanpa melihat sifat, pola dan penyebabnya nyeri , nyeri akut yang
tidak ditangani secara adekuat dapat menimbulkan efek membahayakan
diluar dari ketidak nyamanan yang di sebabkan dari timbulnya nyeri akut
yang berkelanjutan. Selain efek ketidak nyamanan dan mengganggu nyeri
24
akut dapat menimbulkan pengaruh terhadap kondisi paru, jantung,
pembuluh darah, lambung, endokrin, dan sistem imun (Smeltzer & Bare,
2002).
2. Fisiologi Nyeri
Proses nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat
proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi,
dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di
susunan saraf pusat (cortex cerebri).
1) Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung
saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah
menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve
ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini,
golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah
yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan
menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2) Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
25
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis,
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih
dalam dan viseral serta berhubunga dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan
emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls
disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri
3) Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik
endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu
posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak.
Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, dan noradrenalin) dapat
menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu
posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi
nyeri sangat subjektif pada setiap orang
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses
subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada
26
thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensori.
Nyeri di anggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber
yang dapat di identifikasikan secara detail. Meskipun beberapa sensasi nyeri
dihubungkan dengan status mental atau status emosial. Oleh karena itu, mengkaji
nyeri individu menggunakan pengumpulan informasi tentang penyebab fisik dari
nyeri juga faktor mental dan emosional yang mempengaruhi persepsi individu
terhadap nyeri. Intervensi keperawatan di arahkan kepada 2 komponen.
Pokok penting yang perlu diingat adalah apa yang “dikeluhkan” pasien
tentang nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa klien
mengungkapkan respon nyeri tidak mengungkapkan secara verbal bahwa klien
mengalami ketidak nyamanan berupa nyeri. Maka dari itu perawat harus mampu
mengamati respon nyeri pada pasien dengan cara melihat dari perilaku non verbal
yang muncul karena adanya respon suatu nyeri. Meskipun pada dasarnya penting
artinya untuk mempercayai pasien yang melaporkan nyeri yang juga sama
pentingnya adalah untuk waspada terhadap pasien yang mengabaikan nyeri saat
nyeri muncul. Seorang perawat yang menduga nyeri pada pasien yang
menyangkal nyeri harus menggali informasi nyeri yang dirasakan oleh pasien
bersama dengan pasien, dugaan nyeri seperti kenyataan bahwa gangguan atau
prosedur biasanya menimbulkan nyeri, atau bahwa pasien meringis saat bergerak
atau menghindari dari gerakan. Alasan mengapa pasien mengabaikan rangsang
nyeri yang dialami oleh pasien tersebut adalah data yang sangat
27
membatu untuk mendukung pengkajian skala nyeri yang dialami pasien (Smeltzer
& Bare, 2002).
3. Patofisiologi Nyeri
Pada saat sel syaraf rusak akibat terkena trauma jaringan, maka
akan terbentuk zat zat kimia seperti bradikinin, serotonin, dan enzim
proteotik. Kemudian zat zat tersebut merangsang dan merusak ujung
syaraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan di lajutkan menuju
hypotalamus melalui syaraf asenden. Sedangkan di kortek nyeri akan di
siapkan sehingga individu mengalami reaksi nyeri. Selain dilanjutkan ke
hypotalamus nyeri dapat menimbulkan turunnya stimulus terhadap
reseptor mekanik sensitive pada termosensitif sehingga dapat
menyebabkan atau menimbulkan reaksi nyeri (Chayatin & Mubarak,
2007).
4. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan sensivitas
nyeri
Menurut Smeltzer (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi respon
nyeri adalah :
a. Pengalaman masa lalu
Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple
dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan
lebih toleran terhadap nyeri dibanding dengan orang yang hanya
mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang,
28
bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih
berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang
akan diakibatkan.
b. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri
juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola
bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Sulit
untuk memisahkan suatu sensasi. melaporkan suatu bukti
bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik yang
diyakini mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas.
Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri,
yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.
Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada
perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan nyeri diberbagai
kelompok budaya. Suatu pemahaman tentang nyeri dari segi
makna budaya akan membantu perawat dalam merancang
29
asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami
nyeri.
d. Usia
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi
nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan,
yang ditemukan diantara kelompok usia ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak-nak dan lansia bereaksi
terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan
mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
e. Efek Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik
dalam bentuk tablet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
Plasebo umumnya terdiri atas gula,larutan salin normal, dan
atau air biasa. Karena plasebo tidak memiliki efek
farmakologis, obat ini hanya memberikan efek dikeluarkannya
produk ilmiah (endogen) endorfin dalam sistem kontrol
desenden, sehingga menimbulkan efek penurunan nyeri
(Tamzuri, 2007).
5. Pengukuran Nyeri
Dalam melakukan pengkajian nyeri pada pasien dapat
menggunakan alat pengkajian nyeri yang memenuhi riteria seperti : 1)
mudah dimengerti, 2) memerlukan sedikit upaya pada pasien, 3)
30
mudah dinilai, 4) sensistif dalam intensitas nyeri. Alat pengkajian
nyeri yang dapat digunakan seperti skala numerik atau skala wajah.
Gambar : 2.2 Gambar Skala Numerik (Smeltzer & Bare, 2002).
Gambar 2.3 Skala Wajah (Smeltzer & Bare, 2002).
31
6. Pengkajian sekala nyeri
Pengkajian skala nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan 5
rumusan masalah yaitu PQRST. Arti dari PQRST sebagai berikut :
P : provokatif, penyebab timbulnya suatu rangsang nyeri.
Q : quality / qualitas yang berarti qualitas yang di rasakan oleh
seorang pasien seperti di sayat, di remas remas, ditusuk tusuk,
terbakar dll.
R : region, lokasi dimana terjadinya nyeri.
S : skalanya nyeri berapa yang di rasakan oleh pasien,
pengukurannya dengan alat pengukuran skala nyeri.
T : time / waktu munculnya nyeri yang dirasakan oleh pasien.
C. Konsep Teknik Relaksasi Nafas Dalam
a. Definisi
Teknik nafas dalam adalah sebuah bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada
klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat, dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan
Selain dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien,
teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi
paru dan menigkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
32
b. Tujuan
Tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk
meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas,
mencegah retraksi paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi
stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri
dan kecemasan pada pasien (Smeltzer & Bare, 2002 ).
c. Manfaat
Manfaat dari teknik nafas dalam:
1) Ketentraman hati
2) Berkurangnya rasa cemas
3) Menurunkan tekanan darah
4) Menurunkan intensitas nyeri
5) Menurunkan kerja jantung
6) Meningkatkan daya pikir
7) Menurunkan emosional
d. Mekanisme yang mempengaruhi teknik nafas dalam
Teknik nafas dalam di percaya dapat menurunkan intensitas
nyeri melalui mekanisme :
1) Dengan merelaksasikan otot-oto skelet yang mengalami
spasme yang disebabkan oelh peningkatan prostaglandin
sehingga terjadi vaodilatasi pembuluh darah dan akan
33
meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami
spasme dan iskemik.
2) Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu
merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu
endhorphin.
3) Mudah dilakukan dan tidak menggunakan alat dan mudah
digunakan dimanasaja dan kapan saja.
e. Langkah-langkah melakukan teknik relaksasi
1) Ciptakan lingkungan yang tenang.
2) Usahakan tetap rileks dan tenang.
3) Menarik nafas dari hidung dan mengisi paru paru dengan
udara melalui hitungan 1,2,3.
4) Perlahan lahan udara di hembuskan melalui mulut sambil
merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks.
5) Anjurkan bernafas dngan irama normal sebanyak 3x.
6) Manarik nafas lagi dari hidung dan mengisi paru paru
dengan udara melalui hitungan 1,2,3
7) Perlahan lahan udara di hembuskan melalui mulut sambil
merasakan ekstremitas atas dan bawah rileks.
8) Usahakan tetap konsentrasi atau mata tetap terpejam.
9) Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri.
34
10) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri
berkurang.
11) Ulangi hingga 15x dengan taiming istirhat setiap 5 detik.
12) Bila nyeri hebat, seseorang dapat bernafas secara
dangkal dan cepat (Priharjo, 2003).
Menurut Mulyono (2008) dalam penelitian Nurdin, dkk (2013),
hasil penelitian yang dilakukan terhadap 20 responden, diketahui
tingkat nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi yaitu nyeri hebat
terkontrol 11 orang (55,0 %),nyeri sedang 8 orang (40,0 %), dan nyeri
ringan 1 orang (5,0 %). Pada penelitian ini, sesudah dilakukan teknik
relaksasi terjadi perubahan intensitas nyeri. Hal ini dapat diketahui dari 11
orang (55,0 %) dengan intensitas nyeri hebat terkontrol berkurang menjadi
10 orang dengan intensitas nyeri sedang dan 1 orang dengan intensitas
tidak nyeri. Hal yang sama juga terjadi pada 8 orang (40,0 %) dengan
intensitas nyeri sedang berkurang menjadi intensitas nyeri ringan.
Intensitas nyeri ringan 1 orang (5,0 %) berkurang menjadi tidak nyeri.
Adapun prosedur pemberian teknik relaksasi sebagai berikut :
ciptakan lingkungan yang tenang,jaga privasi pasien, usahakan pasien
dalam keadaan rileks, minta pasien memejamkan mata dan usahakan agar
konsentrasi, menarik nafas dari dalam hidung secara perlahan-lahan
sambil menghitung dalam hati,”hirup, dua,tiga “,hembuskan udara melalui
mulut sambil menghitung dalam hati “hembuskan,dua,tiga”,menarik nafas
lagi dari dalam hidung dan hembuskan melalui mulut secara perlahan
35
lahan sama seperti prosedur sebelumnya, ulangi lagi dengan selingi
istirahat yang singkat.
Dari teknik relaksasi nafas dalam yang di paparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara teori dan penelitian yang di
angkat oleh penulis dalam cara pemberian teknik relaksasi kepada pasien,
dalam hal ini penulis menggunakan cara pemberian nafas dalam yang di
kemukakan oleh Priharjo tahun (2003). Penulis menggunakan teknik
relaksasi yang dikemukakan oleh Priharjo di karenakan cara pemberiannya
yang lebih efisien dalam pengaplikasian kepada pasien.
D. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap
ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
36
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
37
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
38
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang dapat mengganggu keseimbangan
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak?.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
39
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
40
ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak dan
lamanya perkawinan.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
41
8. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, dan
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin.
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, dan nyeri tekan.
42
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, dan tidak ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, dan reflek
menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, dan tidak terdapat oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan).
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, dan
mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
43
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak terdengar wheezing atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defense muskuler, hepar tidak teraba.
44
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler ada 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, dan
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
45
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa).
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal > 3 detik.
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
46
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
47
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat
Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), dan
Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
48
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi
infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
E. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik ( biologi, kimia,
fisik, psikologis ), kerusakan jaringan.
F. Rencana Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
Tujuan Dan Kriteria
Hasil
Intervensi
Nyeri akut
berhubungan dengan
agen injuri fisik
NOC :
1. Paint level
2. Paint control
Lakukan
pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk
49
(biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan
jaringan.
DS : Laporan secara
verbal
DO :
Posisi untuk
menahan nyeri
Tingkah laku
berhati hati
Gangguan tidur
(mata sayu, tampak
capek)
Terfokus pada
diri sendiri
Tingkah laku
ekspresif (gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritable, nafas
panjang)
Perubahan
3. Comfort level
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama 3x 30 menit
diharapkan klien :
Mampu
mengontrol nyeri
Melaporkan
bahwa nyeri berkurang
dengan menggunakan
menejemen nyeri
Mampu mengenali
nyeri
Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang
Tanda tanda vital
dalam rentang normal
Tidak mengalami
gangguan tidur
lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas, dan faktir
presipitasi
Observasi reaksi
nonverbal klien
Observasi tanda
tanda vital
Mengajarkan
teknik relaksasi nafas
dalam dengan cara yang
baik dan benar
Observasi tanda
tanda vital sesudah
dilakukan teknik
relaksasi nafas dalam
50
nafsu makan dan
minum
( NANDA, 2012 )