BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Stres Kerja 2.1.1 ... - UMM
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Stres Kerja 2.1.1 ... - UMM
9
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Stres Kerja
2.1.1 Definisi Stres Kerja
Definisi stres kerja yang dikemukakan Brousseadua n Prince
(Sarwono, 2006) keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan
untuk bekerja karena merasa terancam dilingkungan kerjanya. Sementara
menurut Arseriault dan Dolan (Sarwono, 2006) stres kerja itu adalah
kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena
karyawan merasa terancam yang menunjukkan ketidaksesuaian antara
individu dengan tuntutan pekerjaan.
Stres kerja adalah suatu reaksi seseorang sebagai respon penyesuaian
terhadap berbagai tuntutan baik yang bersumber dari dalam ataupun dari
luar organisasi yang dirasakannya sebagai peluang dan ancaman yang dapat
diukur melalui (1) stress reaction dan (2) demands (Nur, 2013).
Stress kerja adalah suatu bentuk reaksi fisik dan emosional yang
terjadi karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja,
sumber daya, atau kebutuhan pekerja (NIOSH dalam Zahra, 2015).
Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang
menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan
perilaku (Sartika, 2016).
Berdasarkan beberapa definisi stres kerja di atas maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa stres kerja pada dasarnya adalah stres yang timbul
oleh karena adanya perasaan terancam akibat ketidaksesuaian dalam
10
berinteraksi dengan aspek pekerjaannya. Bisa dipahami juga bahwa stres
kerja merupakan kondisi yang tidak menyenangkan di tempat kerja sebagai
hasil dari interaksi antara karyawan dengan tempat kerjanya.
2.1.2 Gejala Stres Kerja
Proses stres dimulai dari berbagai faktor pemicu stress Respon umum /
general adaptation syndrome dikendalikan oleh hipotalamus, hipotalamus
menerima masukan mengenai stresor fisik dan psikologis dari hampir semua
daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Stres oleh tubuh
direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus
(LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas &
Pavlatou, 2005, dalam Sugihato, 2012).
Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan
conditioning stimuli pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-adrenal Axis (LHPA
axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan disekresinya hormon
corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk sekresi
ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya sekresi, kortisol
(Usui et al., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk menjaga homeostatis dalam
menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis (Fatouros et al., 2010 dalam
Sugihato, 2012). Menurut Rimmele et al (2007 dalam Sugihato, 2012) baik stresor
fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan sistem kardiorespirasi dan
neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf otonomi (autonomic
nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous
system/SNS).
11
Ada tiga kategori umum sebagai konsekuensi dari stres yaitu gejala
fisiologis, psikologis dan perilaku.
a. Gejala fisiologis
Gejala ini terkait dengan aspek kesehatan dan medis yang
menunjukkan bahwa stres dapat menciptakan perubahan
metabolis, meningkatkan laju detak jantung dan pernafasan,
meningkatnya tekanan darah, menimbulkan sakit kepala dan
menyebabkan terjadinya serangan jantung.
b. Gejala psikologis
Gejala psikologis terkait dengan ketidakpuasan terutama yang
berkaitan dengan pekerjaan. Disamping itu stres juga muncul
dalam bentuk keadaan psikologis lain seperti ketegangan,
kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-nunda.
c. Gejala perilaku
Gejala perilaku terkait dengan perubahan produktivitas, absensi,
tingkat keluar masuknya, perubahan kebiasaan makan,
meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara cepat, gelisah
dan gangguan tidur (Sartika, 2016).
Stres kerja yang dialami oleh pegawai dapat terlihat dari gejala
yang dirasakan oleh pegawai seperti sering merasakan kulit pucat dan
terasa dingin saat bekerja, aliran darah sangat cepat saat bekerja,
pernafasan meningkat saat bekerja, otot tegang saat bekerja, merasa cepat
marah, merasa tegang saat bekerja, merasa cemas saat bekerja, sukar
berkonsentrasi dalam bekerja, sulit tidur setelah bekerja dan cepat merasa
letih setelah bekerja (Sartika, 2016).
12
2.1.3 Tahap Stres Kerja
Menurut Golizek (Sarwono, 2006) ada empat tahap stress kerja,
yaitu :
a. Stres kerja yang dapat teratasi
Ditandai adanya harapan meningkatnya idealisme, antusias,
dedikasi, komitmen terhadap stress kerja serta memperlihatkatn
tingkat energi yang tinggi dan sikap positif terhadap kerja.
b. Stres kerja ringan
Ditandai adanya rasa pesimis dan ketidakpuasan kerja, frustasi,
kecewa, bosan, jemu dengan kerja, individu mulai memperlihatkan
gejala fisik dan psikologis terhadap stress kerja.
c. Stres kerja sedang
Ditandai dengan menarik diri dan isolasi. Seseorang mulai mudah
marah, bermusuhan, selalu negatif. Timbul gejala stres fisik dan
psikologis, bila lebih buruk akan terjadi perubahan sederhana
dalam tujuan kerja, sikap dan perilaku selanjutnya terjadi
kemunduran.
d. Stres kerja yang berat
Terjadi kerusakan menetap dan hilangnya minat kerja. Timbul
gejala stres kerja berat, harga diri rendah, absen yang kronis, sinis
dan negatifism total, tirnbul kematian kerja dan kelelahan berat.
13
2.1.4 Penyebab Stres Kerja
Menurut Losyk (2007), ada banyak penyebab meningkatnya stres
kerja :
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik tempat kerja memiliki pengaruh besar terhadap
tingkat stres. Suhu, cahaya, suara, kualitas udara, kepadatan, isolasi,
keamanan, dan kualitas ergonomis, semuanya menentukan
bagaimana seseorang menjalani hari kerjanya. Bekerja didalam
sebuah ruangan yang kecil, dengan beberapa orang didalamnya,
serta tempat duduk tidak nyaman hanya menambah stres kerja.
Dihadapkan pada suasana yang tidak menyenangkan setiap hari
akan menimbulkan perusakan secara traumatis terhadap energi,
motivasi, dan kesehatan secara meyeluruh.
b. Rancangan pekerjaan
Banyak pekerja yang di PHK atau dirumahkan tidak lagi dicarikan
pengganti nya. Namun demikian, deskripsi pekerjaan tidaklah
dirancang untuk mengambil alih semua tugas dari mereka yang
meninggalkan tempat kerja. Akibatnya, terlalu banyak beban dan
tuntutan pekerjaan yang harus ditanggung oleh mereka yang
tinggal, dan banyak pekerja tidak mampu mengatasinya.
Kebanyakan pekerjaan tidak dirancang dengan mempertimbangkan
tinggkta stres pekerjaannya.
c. Peran dalam pekerjaan
Peran pekerja tidak sepenuhnya diutarakan, para pekerja tidak
merasa akan tanggung jawabnya dari keseluruhan pekerjaan. Peran
14
mereka menjadi konflik antara apa yang menurut mereka harapkan
dan apa yang sesungguhnya diharapkan atasan. Peran mereka
mungkin tumpang tindih dengan pekerja lain, menimbulkan
perselisihan antar sesama pekerja. Ketika pekerja tidak yakin akan
prioritas peran mereka, mereka bisa saja melakukan apa yang
terbaik menurutnya, atau bekerja dalam keadaan bingung. Berada
dibawah tekanan seperti itu terus menerus membuat mereka takut
telah melakukan pekerjaan yang salah, atau melakukan pekerjaan
yang benar dengan cara yang salah. Waktu dan tenaga yang
dikeluarkan menimbulkan kelelahan dan frustasi setiap hari.
d. Teknologi
Komputer, telepon genggam, faksimile, dan internet telah
meningkatkan kecepatan. Namun bersamaan dengan munculnya
teknologi baru, muncul pula penyebab stres yang baru. Orang
harus terus menerus mempelajari teknologi dan perangkat lunak
baru. Kadang kadang, pelatihan untuk hal itu tidak mencukupi,
sebaliknya kadang-kadang teknologinya yang justru tidak memadai.
Ketika teknologi tidak bekerja semestinya, atau perlengkapan tiba
tiba rusak, banyak pekerja tidak dapat menyelasaikan tugas mereka
dan mulailah muncul rasa stres.
e. Menajemen
Gaya manajemen merupakan salah satu peyumbang stres terbesar
ditempat kerja. Atasan yang selalu mengatur, tidak mau mengubah
pola pikir lama, yang selalu menyetir bawahan, hanya akan
menciptkan stres, kehabisan tenaga, dan pengunduran diri dari
15
pekerjaan. Hampir semua penelitian menunjukan alasan nomor
satu pengunduran diri adalah manajemen atasan langsung. Indikasi
langsung dari hal adalah stres yang sebenarnya tak perlu diciptakan
atasan.
Stress kerja dapat terjadi karena adanya faktor pemicu diantaranya
hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan atasan, pengembangan karir.
Tingkat stress bagi tiap individu juga berbeda tergantung dari karakteristik individu
(Zahra, 2015).
Menurut Munandar (Zahra, 2015), bekerja pada saat malam hari memiliki
risiko mengalami tingkat stress kerja lebih tinggi daripada bekerja pada saat pagi
ataupun sore hari dan merupakan sumber utama stress bagi para pekerja pabrik.
Menurut Hasibuan (Sarwono, 2006) menyebutkan faktor yang menjadi
penyebab stres kerja adalah :
a. Beban kerja yang sulit dan berlebihan.
b. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar.
c. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.
d. Konflik antar pribadi dengan pimpinan atau dengan kelompok kerja.
e. Balas jasa yang terlalu rendah.
f. Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua dan lain-lain.
Menurut Patton (Sartika, 2016) perbedaan reaksi antara individu satu dengan
yang lain terhadap stresor sering disebabkan faktor psikologis sosial yang dapat
merubah dampak stressor bagi dirinya. Faktor tersebut adalah: (1) kondisi individu
seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik, intelegensia, pendidikan,
kebudayaan, dan lainnya, (2) ciri kepribadian, seperti: introvert atau extrovert, tingkat
emosional, kepasrahan, kepercayaan diri, dan lainnya, (3) sosial-kognitif, seperti;
16
dukungan sosial, hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, (4) strategi untuk
menghadapi setiap stres yang muncul. Secara umum meliputi :
a. Internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pekerja itu sendiri yang
bisia mendatangkan stres misalnya kurang percaya diri dalam melakukan
pekerjaan, kurangnya kemampuan atau keterampilan dalam melakukan
pekerjaan dan sebagainya.
b. Eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari lingkungan kerja dari pekerja.
Lingkungan kerja ini mencakup lingkungan fisik dan lingkungan (masyarakat).
Disamping berbagai faktor penyebab stres kerja di atas, juga bisa berkaitan
dengan karakteristik pekerja diantaranya :
a. Usia
Usia juga bisa berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang
termasuk stres kerja. Levinson dkk. (Sarwono, 2006) mempelajari fase- hidup
manusia. Levinson membedakan empat periode kehidupan yaitu : (1) Masa
anak dan masa remaja (0-22 tahun), (2) Masa dewasa awal (17-45 tahun), (3)
Masa dewasa madya (40-65 tahun), dan (4) Masa dewasa akhir (60 tahun
keatas).
Pada usia antara 33-40 tahun adalah fase kemantapan dan keyakinan
orang untuk menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk
memajukan karir sebaik-baiknya. Impian yang ada dalam fase sebelumnya (11-
45 tahun) mulai menjadi kenyataan. Pekerjaan dan kehidupan keluarga
membentuk aspek kepribadian yang diperlukan dalam fase tersebut. Pada usia
17
40 tahun tercapai puncak masa dewasa. Sesudah itu mulai peralihan ke arah
dewasa madya (tengah baya antara 40-45 tahun). Dalam masa ini seseorang
menghadapi tiga macam tugas yaitu penilaian masa lalu merubah struktur
kehidupan proses individualisasi.
Khaidir & Maulina (2018), mengemukakan bahwa menua atau menjadi
tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Apabila
seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang
bersifat fisik, mental, maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut akan
menempatkan individu usia ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya
menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka.
Karepowan, Wowor & Katuuk (2018), mengatakan bahwa lanjut usia
adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Semakin
bertambahnya usia perubahan kondisi fisik pada lanjut usia akan terjadi
penurunan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh. Salah satunya
perubahan psikososial yaitu stres. Semakin lanjut usia seseorang makan akan
mengalami kemunduran terutama dibidang kemampuan fisik, yang
mengakibatkan penurunan peranan-peranan sosialnya.
b. Jenis Kelamin
Baik pria maupun wanita dapat mengalami stres. Diduga lebih banyak
wanita daripada pria yang mengalami stres. Pada wanita stres dapat muncul
akibat kewanitaannya secara umum sebagai akibat sampingan dari keadaan dan
perubahan biologis, psikologis dan sosialnya (Darmono dalam Sarwono, 2006).
Anoraga (dalam Sarwono, 2006) menambahkan bahwa wanita yang bekerja
bagaimanapun juga adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari
lingkungan keluarga. Karenanya dalam meniti karier wanita mempunyai beban
18
dan hambatan yang lebih berat dibanding rekan prianya. Dalam arti wanita
wanita juga harus menyelesaikan dahulu tugas-tugas rumah tangganya. Pada
kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi
hambatan ini sekalipun dia memiliki kemampuan teknis yang tinggi. Hal
seperti ini biasanya akan menimbulkan dilema pada wanita yang bekerja dan
bukan tidak mungkin ikut berpengaruh pada timbulnya stres kerja.
c. Masa Kerja
Masa kerja bisa dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :
kelompok masa kerja kurang dari 6 tahun, 6-12 tahun, 13-18 tahun, dan masa
kerja lebih dari l8 tahun (Sarwono, 2006). Orang yang bekerja lebih lama gairah
untuk pencapaian pekerjaan mungkin berkurang. Hal baru dan perubahan yang
terjadi cenderung tidak menghargai penumpukan pengalaman. Pada saat yang
sama pekerjaan menuntut peningkatan usaha dan kualitas untuk dapat
bersaing. Perasaan tidak terjamin meningkat dan sikap tidak peduli pada
pensiun yang dulu masih jauh sekarang terasa di depan mata. Timpe (dalam
Sarwono, 2006) mengatakan orang yang telah lama bekerja dan memiliki usia
yang tua sering muncul gejala kehilangan minat, tidak partisipasif dan bahkan
menyendiri.
d. Faktor Organisasi
Faktor organisasi yang menjadi potensi sumber stres antara lain (1)
tuntutan tugas dalam hal desain pekerjaan individu, kondisi kerja dan tata letak
fisik, (2) tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan
pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam
sebuah organisasi, (3) tuntutan antar pribadi, yang merupakan tekanan yang
diciptakan oleh karyawan lain seperti kurangnya dukungan sosial dan buruknya
19
hubungan antar pribadi para karyawan, (4) struktur organisasi yang
menentukan diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan
dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi
individu dalam pengambilan keputusan merupakan potensi sumber stres, (5)
kepemimpinan organisasi yang terkait dengan gaya kepemimpinan atau
manajerial dari eksekutif senior organisasi. Gaya kepemimpinan tertentu dapat
menciptakan budaya yang menjadi potensi sumber stres (Sentot Imam
Wahjono dalam Sartika, 2016).
Menurut (S. Islam, 2014), Stres kerja didefinisikan sebagai respons fisik
dan emosional yang berbahaya yang bias terjadi saat bekerja, Stres kerja dapat
berasal dari berbagai sumber diantara nya:
1. Beban kerja berlebih , pekerjaan menciptakan stres ketika melampaui tingkat
kapasitas individu. beban kerja yang tinggi adalah pemandangan umum yang
sering dijumpai.
2. Target yang lebih tinggi, target yang lebih tinggi adalah salah satu faktor yang
menyebabkan stres dan berdampak pada kinerja .
3. Masalah teknologi / system , teknologi dan system yang tidak memadai
membuat kerja Menjadi sulit.
4. Gaji rendah, Gaji yang buruk dibandingkan dengan beban kerja yang tinggi
merupakan faktor penting yang menyebabkan stress.
5. Waktu kerja yang lama.
6. Tugas yang membosankan atau tidak berarti.
20
2.1.5 Pengukuran Stres Kerja
Tingkat stres kerja dibedakan menjadi 4 tingkat yaitu stres kerja
teratasi/tidaks tresk erja dengans kor 0 18, stres kerja ringan dengan skor
19-36, stres kerja sedang dengan skor 37-54 dan stres kerja berat dengan
skor 55-12 (Sarwono, 2006).
2.1.6 Dampak Stres Kerja
Menurut Jacinta sebagaimana dikutip Prasetyo dan Nurtjahjanti
(2012), stress kerja dapat mengakibatkan berbagai hal atau memiliki
dampak sebagai berikut :
a. Dampak terhadap perusahaan yaitu terjadinya kekacauan, hambatan
baik dalam manajemen maupun operasional kerja, menggangu
kenormalan aktivitas kerja, menurunnya tingkat produktivitas,
menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.
b. Dampak terhadap individu
1) Dampak terhadap Kesehatan
Seperti penyakit jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, dan
beberapa penyakit lainnya.
2) Dampak terhadap Psikologis
Stress berkepanjangan akan menyebabkan ketengan dan kekuatiran
yang terus menerus yang disebut stress kronis. Stress kronis bersifat
menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh
kehidupan penderita secara perlahan-lahan.
3) Dampak terhadap interakasi interpersonal
21
Individu yang sedang stress akan lebih sensitive dibandingkan
dengan yang tidak, seperti meyalah artikan sesuatu keadaan,
pendapat dan penilaian, kritik, nasehat, bahkan perilaku orang lain
sehingga memunculkan depresi, kehilangan rasa percaya diri dan
harga diri.
Menurut Northwestern Nasional Life Insurance dalam Losyk (2007),
dampak dari stres kerja adalah sebagai berikut:
1) Sejumlah kasus absensi di tempat kerja berkaitan dengan masalah stres.
2) Sebesar 27% mengatakan bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres
paling tinggi dalam hidup mereka.
3) Sebesar 46% menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang
sangat atau luar biasa tinggi.
4) Satu pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena
stres dalam pekerjaan.
5) Sebesar 70% berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan
mental.
Stress kerja dapat berdampak positif dan negatif bagi individu
tergantung bagaimana individu meresponnya. Stress kerja berdampak positif
bagi individu karena adanya stress memacu seseorang untuk bekerja dan
menyelesaikan tugas dengan baik sehingga stress bersifat membangun atau
yang disebut dengan eustres. Stress kerja berdampak negatif ketika seseorang
tidak mampu untuk mengatasinya sehingga bersifat merusak atau disebut
dengan distress, serta berakibat pada penurunan kinerja, tingkat absensi tinggi,
munculnya penyakit dan sebagainya (Walker dalam Zahra, 2013). Stress kerja
juga berdampak pada perusahaan atau organisasi, salah satunya menyebabkan
22
kerugian finansial yang jumlahnya tidak sedikit (Saragih dalam Zahra, 2013).
Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan
seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam
lingkungan pekerjaan maupun di luar pekerjaan (Sartika, 2016).
2.2 Konsep Hipertensi
2.2.1 Definisi Hipertensi
Pengertian hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan darah diatas normal yang menigkatkan angka
kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Tekanan darah
140/90 mmHg didasarkan dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase
sistolik 140 menunjukan fase darah sedang dipompa oleh jantung dan fase
diastolik 90 menunjukan fase darah yang kembali ke jantung. Menurut
WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang
dari 130/90 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi (Trihono, 2013).
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di
pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena
jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu
fungsi organ-organ lain, terutama organ vital seperti jantung dan ginjal.
Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita
hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan
(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita
hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk
tekanan darah tinggi (minum obat sendiri).
23
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi
Menurut American Heart Association (2017), Target tekanan darah baru
dan rekomendasi pengobatan: Selama bertahun-tahun, hipertensi
diklasifikasikan sebagai pembacaan tekanan darah (BP) 140/90 mm Hg
atau lebih tinggi, tetapi pedoman yang diperbarui mengklasifikasikan
hipertensi sebagai pembacaan BP 130/80 mm Hg atau lebih tinggi.
Pedoman yang diperbarui juga memberikan rekomendasi perawatan baru,
yang meliputi perubahan gaya hidup serta obat penurun BP, berdasarkan
tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut American Heart Association, 2017
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistolik (mmHg) Diastolik(mmHg)
Normal 120 < 80
Elevated 120 –129 <80
Hypertension : Stage I 130 –139 80 – 89
Hypertension : Stage II ≥ 140 ≥ 90
(AHA, 2017)
2.2.3 Penyebab Hipertensi
Menurut Triyanto (2014) penyebab hipertensi sering kambuh
dibagi 2 :
1. Hipertensi Eesensial atau primer
Penyebab pasti hipertensi esensial sampai saat ini belum diketahui.
Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi esensial
dan 10% hipertensi sekunder. Onset hipertensi primer terjadi usia 30-
35 tahun. Hipertensi primer adalah kondisi hipertensi dimana
penyebab sekunder tidak ditemukan. Pada hipertensi primer tidak
ditemukan penyakit renovaskular, aldosteronism, pheochro-mocytoma, gagal
24
ginjal dan penyakit lainnya. Genetik dan ras merupakan penyebab
hipertensi primer, termasuk faktor lain diantaranya stres, intake
alkohol moderat, merokok, lingkungan, demografi dan gaya hidup.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat
diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, ganguan
kelenjar tiroid (hipertiriod), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme). Golongan terbesar penderita hipertensi adalah
hipertensi esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak
ditujukan ke penderita hipertensi esensial.
2.2.4 Faktor Resiko Hipertensi
Menurut Triyanto (2014), faktor resiko penderita hipertensi sering
kambuh atau mengalami kenaikan tekanan darah secara berulang adalah
sebagai berikut :
1. Riwayat hipertensi di dalam keluarga
Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi
di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua
orangtua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga
banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur),
apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini mendukung
bahwa faktor genetika mempunyai peran didalam terjadinya
hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu
masalah terjadinya hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan
penyakit keturunan. Jika seorang orangtua kita memiliki riwayat
25
hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25%
terkena hipertensi.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga sangt erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi
dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit
hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55
tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. Perbandingan
laki-laki dan perempuan, ternyata perempuan lebih banyak menderita
hipertensi. Laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka
prevalensi 6% dari laki-laki dan 11% pada perempuan. Laporan dari
Sumatera Barat menunjukan 18,6% didapatkan 7,5% pada laki-laki
dan 10,9% pada perempuan. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta
didapatkan 14,6% pada laki-laki dan 13,7% pada perempuan.
3. Faktor usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapatkan resiko
hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan
meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di
dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan
hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan
menaikan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur
(Julianti, 2005).
26
4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti stres berpengaruh terhadap timbulnya
hipertensi esensial. Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga
melalui aktifasi saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja
pada saat kita beraktifitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja
pada saat kita tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas saraf simpatis
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak
menentu). Apabila stres berkepanjangan, dapat mengakibatkan
tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi
angka kejadian dimasyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan pedesaan. Hal ini dapat dihubugkan dengan pengaruh stres
yang yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal dikota.
Peningkatan tekanan darah sering intermitten pada awal perjalanan
penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah tegak diagnosanya, sangat
berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stres emosional dan
aktivitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stres tekanan arteri
sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal dalam waktu
beberapa detik.
5. Obesitas
Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari
populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai
kaitan yang erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari.
Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan
hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya
pompa jantung dan sikulasi volume darah penderita obesitas dengan
27
hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang
mempunyai berat badan normal. Terbukti bahwa daya pompa jantung
dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih
tinggi dari pada penderita hipertensi dengan berat badan normal.
Menurut JNC-8 (2015), berbagai faktor meningkatkan risiko
seseorang terkena hipertensi. Faktor risiko termasuk kondisi kesehatan, gaya
hidup, dan riwayat keluarga. Beberapa faktor risiko, seperti riwayat keluarga
merupakan faktor resiko yang tidak bisa dikontrol. Namun, ada faktor risiko
seperti aktivitas fisik dan diet yang dapat dikendalikan untuk mengurangi
faktor resiko terkena hipertensi. Faktor resiko yang dapat dikontrol
diantaranya kegemukan dan obesitas, gaya hidup, pengguna tembakau, diet
yang tidak sehat, penggunaan alkohol yang berlebihan, stress, Kurang tidur
atau kurang istirahat, Penyakit diabetes sedangkan faktor resiko yang tidak
dapat dikontrol usia, ras, dan riwayat keluarga.
2.2.5 Patofisiologi Hipertensi
Meningkatnya tekanan darah didalam arteri bisa terjadi melalui
beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan
lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri mengalirkan lebih banyak
cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturannya dan
menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung
memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung
dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit dari pada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan.Dengan cara yang sama, tekanan darah juga
28
meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola)
untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon
didalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan
meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam
tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat sehinga tekanan darah juga
meningkat (Triyanto,2014).
Sebaliknya, jika ativitas memompa jantung berkurang, arteri
mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sikulasi, maka tekanan
darah akan menurun. Penyesuaian terdahap faktor tersebut dilaksanakan
oleh perubahan didalam fungsi gingal dan sistem saraf otonom (bagian
sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis).
Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui
beberapa cara : jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah
pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume
darah dan mengembalikan darah ke posisi normal. Jika tekanan darah
menurunn, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga
volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal
juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang
disebut renin yang selanjut nya akan memicu hormon aldosteron. ginjal
merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah kerena itu
berbagai penyakit kelainan pada ginjal dapat menyebakan terjadi tekanan
darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju kesalah satu gingal
(stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan
cidera pada salah saru atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya
29
tekanan darah. Aktifitas Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari
sistem saraf otonom yang juga berperan penting dalam proses peningkatan
tekanan darah (Triyanto,2014).
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya
tekanan darah ada dua faktor utama diantaranya masalah hormonal atau
gangguan hormon (renin, sistem agiotensin, aldosteron) dan mekanisme
gangguan elektrolit (natrium, klorida, kalium). Hormon menyebabkan
peningkatan konsentrasi natrium dalam sel yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah. Regulasi sodium, kalium dan volume darah,
akhirnya akan mengatur tekanan darah di arteri (pembuluh darah yang
membawa darah dari jantung). Angiotensin dan aldosteron termasuk dua
hormon yang terlibat dalam sistem ini. Angiotensin menyebabkan
penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang
meningkatkan tekanan darah, meningkatkan produksi aldosteron dan
penyempitan pembuluh darah sehingga memingkatkan tekanan darah
(ruang kurang, jumlah yang sama dari darah), yang juga menempatkan
tekanan pada jantung.
Sedang hormon aldosteron menyebabkan natrium dan air
tertinggal dalam darah. Akibatnya, ada volume yang lebih besar dalam
darah yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan meningkatkan
tekanan darah ( JNC-8 2015).Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari
perkalian cardiac output (curah jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac
output (curah jantung) diperoleh dari perkalian antara stroke volume
dengan heart rate ( denyut jantung. Pengaturan tahanan perifer
dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.
30
2.2.6 Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan
obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya
hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼
sampai ½ sendok teh (6 gram/hari), menurunkan berat badan,
menghindari minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olah
raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari,
jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu.
Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stres.
kemampuan mengelola diri merupakan suatu proses berkesinambungan
yang memerlukan adanya kemauan untuk mengubah baik prilaku atau
kebiasaan, Mengurangi stres dapat dilakukan dengan berbagai macam cara
seperti indentifikasi penyebab stres, manajemen waktu yang baik,
melakukan relaksasi dengan teknik yang sederhana, mengatasi rasa takut
akan kegagalan, makanan yang sehat dan olahraga yang teratur (Nasir &
Muhith, 2011)
Menurut Bell (2015), penatalaksanaan hipertensi yaitu famakologis dan
nonfamakologis
1. Farmokologis
Menurut Eighth Joint National Committee (JNC-8), bukti dari
uji klinis menunjukkan bahwa obat antihipertensi harus dimulai
pada pasien berusia kurang dari 60 tahun jika tekanan darah sistolik
secara terus menerus meningkat > 140 mmHg dan tekanan darah
secara terus menerus meningkat >90 mmHg termasuk juga terapi
nonfarmakologis, namun jika seorang pasien berusia 60 tahun dan
31
lebih tua, terapi antihipertensi harus dimulai jika tekanan darah
sistolik adalah >150 mmHg dan tekanan darah diastolik adalah>
90 mmHg. Terapi farmakologi awal untuk HTN termasuk diuretik
thiazide, longacting Calcium Channel Blockers (CCB), angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor, dan angiotensin II receptor blocker
(ARB). tujuan tekanan darah untuk HTN spesifik untuk usia dan
komorbiditas penyakit pasien (lihat Tabel 4). Penting untuk dicatat
bahwa tujuan-tujuan ini diperbarui dari yang sebelumnya
direkomendasikan dalam pedoman masa lalu (Seventh Joint
Pedoman Komite Nasional). Pedoman HTN masa lalu (JNC-7
guidelines) lima kelas obat untuk pengobatan HTN pada populasi
umum dengan thiazide, jenis diuretik menjadi terapi lini pertama.
Lima kelas obat yang direkomendasikan untuk HTN adalah thizide
tipe diuretik, calcium channel blockers, angiotensin-meliputi inhibitor enzim,
angiotensin receptor blockers, dan beta-blocker. Namun, diperbarui
pedoman JNC-8 tidak termasuk betablockers sebagai pengobatan
dan perawatan awal ditujukan secara terpisah berdasarkan etnis
2. Non Farmakologis
Selain manajemen stres pasien hipertensi harus diberi
konseling tentang perubahan gaya hidup yang sesuai yang
diperlukan untuk membantu menurunkan tekanan darah, salah
satunya yaitu:
a. Diet
Bukti menunjukkan bahwa masyarakat di mana asupan
natrium rata-rata tinggi (lebih dari 2,3 gram per hari)
32
memiliki jumlah yang lebih besar dari pasien yang
didiagnosis dengan HTN. Jumlah asupan tinggi natrium
menyebabkan peningkatan volume dalam aliran darah
sehingga dapat meningkatkan tekanan pada jantung untuk
memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, tekanan
darah bisa menjadi tinggi. The American Heart Association
(AHA) merekomendasikan membatasi asupan
sodium/natrium kurang dari 1500 mg per hari (1,5 gram).
Karena kebanyakan diet garamditemukan dalam makanan
kemasan danolahan,membatasi asupan mereka dan
menemukan alternatif sehat yang bermanfaat untuk
mengurangi tekanan darah. Diet ketat, seperti Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet, telah
ditemukan untuk membantu menurunkan tekanan darah.
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) menekankan
rencana makanan tinggi dalam buah-buahan, sayuran, biji-
bijian, unggas, dan ikan sementara membatasi permen,
minuman manis, dan daging merah. Selain itu, Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) merekomendasikan
bahwa laki-laki membatasi asupan alkohol untuk dua atau
lebih sedikit minuman sehari dan perempuan untuk satu
atau kurang. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti yang
menunjukkan bahwa pasien yang berlebihan minum
alkohol memiliki insiden yang lebih tinggi dari tekanan
33
darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang minum
alkohol dalam jumlah sedang.
b. Olahraga
olahraga adalah recommended.10 Kedua latihan aerobik dan
resistensi pelatihan telah terbukti menurunkan tekanan
darah dan meningkatkan kesehatan jantung secara
keseluruhan. Contoh latihan aerobik meliputi berjalan,
jogging, berenang, dan bersepeda. AHA
merekomendasikan rata-rata 40 menit intensitas sedang
hingga kuat latihan aerobik tiga sampai empat kali
seminggu untuk membantu menurunkan tekanan darah.
2.2.7 Hubungan Stres Kerja dengan Hipertensi
Stres sudah lama terdaftar sebagai potensi dan penyebab
hipertensi. Faktor lain seperti Kegemukan atau obesitas, dan kurangnya
aktivitas fisik yang memadai juga ditemukan berhubungan dengan
hipertensi. Stress ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk
hipertensi. Stres yang tinggi sangat besar kaitan nya dengan hipertensi,
Kasus dengan stres yang tinggi memiliki 2,52 kali Kemungkinan
mengakibatkan terjadinya hipertensi lebih tinggi. (Sandip Bhelkar¸et al,
2018)
Sistem kardiovaskular banyak dipengaruhi oleh serabut saraf
otonom. Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang
selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem
simpatis dan sistem korteks adrenal. Serabut Sistem saraf simpatis
34
menyebar keseluruh induksi dan miokardium yang berespons terhadap
impuls saraf dari hipotalamus dengan mengaktivasi berbagai organ dan
otot polos pembuluh darah. Neurotransmiter saraf simpatis adalah
norepinefrin yang menyebabkan terlepasnya epinefrin dari medula adrenal
ke aliran darah. Sehingga meningkatkan kecepatan denyut jantung dan
peningkatan kontaksi miokardium (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson,
2006).
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivasi
saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita
beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita
tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan
tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stres
berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.
Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi angka kejadian dimasyarakat
perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Hal ini dapat
dihubugkan dengan pengaruh stres yang yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal dikota. Peningkatan tekanan darah sering
intermitten pada awal perjalanan penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah
tegak diagnosanya, sangat berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap
stres emosional dan aktivitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stres
tekanan arteri sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal dalam
waktu beberapa detik (Triyanto, 2014 ).
35
Stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak bisa dihindari,
stres atau ketegangan emosional dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskuler, khususnya hipertensi, dan stres dipercaya sebagai faktor
psikologis yang dapat meningkatkan tekanan darah. Klien hipertensi
dianjurkan sedapat mungkin menghindar isi sikap tegang dan berlatih agar
dapat bersikap sabar, ikhlas dan mensyukuri segala hal yang mampu
dicapai, dan hal ini dapat dilakukan terlalu berat. Di dalam dinding
jantung dan beberapa pembuluh darah terdapat suatu reseptor yang selalu
memantau perubahan, reseptor ini akan mengirim sinyal ke otak agar
tekanan darah kembali normal, otak menanggapi sinyal tersebut dengan
dilepaskanya hormon dan enzim yang mempengaruhi kerja jantung,
pembuluh darah dan ginjal (Marliani, 2007)
Sebuah penelitian studi kasuskontrol yang dilakukan di Cina
menemukan bahwastres memberikan kontribusi sekitar 9% risiko
kekambuhan hipertensi, 52 negara 35 diantaranya melaporkan bahwa ada
hubunganyang kuat antara stres dengan penyakit kardiovaskular
khususnya hipertensi. Pengaruh stres pada kesehatan mungkin menjadi
hal lebih mencolok dalam kehidupan seseorang, secara tidak langsung
stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya
penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Sufeng Yin et al,
2015)