BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Stres Kerja 2.1.1 ... - UMM

27
9 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Stres Kerja 2.1.1 Definisi Stres Kerja Definisi stres kerja yang dikemukakan Brousseadua n Prince (Sarwono, 2006) keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena merasa terancam dilingkungan kerjanya. Sementara menurut Arseriault dan Dolan (Sarwono, 2006) stres kerja itu adalah kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena karyawan merasa terancam yang menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dengan tuntutan pekerjaan. Stres kerja adalah suatu reaksi seseorang sebagai respon penyesuaian terhadap berbagai tuntutan baik yang bersumber dari dalam ataupun dari luar organisasi yang dirasakannya sebagai peluang dan ancaman yang dapat diukur melalui (1) stress reaction dan (2) demands (Nur, 2013). Stress kerja adalah suatu bentuk reaksi fisik dan emosional yang terjadi karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja, sumber daya, atau kebutuhan pekerja (NIOSH dalam Zahra, 2015). Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku (Sartika, 2016). Berdasarkan beberapa definisi stres kerja di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa stres kerja pada dasarnya adalah stres yang timbul oleh karena adanya perasaan terancam akibat ketidaksesuaian dalam

Transcript of BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Stres Kerja 2.1.1 ... - UMM

9

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Stres Kerja

2.1.1 Definisi Stres Kerja

Definisi stres kerja yang dikemukakan Brousseadua n Prince

(Sarwono, 2006) keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan

untuk bekerja karena merasa terancam dilingkungan kerjanya. Sementara

menurut Arseriault dan Dolan (Sarwono, 2006) stres kerja itu adalah

kondisi psikologis yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena

karyawan merasa terancam yang menunjukkan ketidaksesuaian antara

individu dengan tuntutan pekerjaan.

Stres kerja adalah suatu reaksi seseorang sebagai respon penyesuaian

terhadap berbagai tuntutan baik yang bersumber dari dalam ataupun dari

luar organisasi yang dirasakannya sebagai peluang dan ancaman yang dapat

diukur melalui (1) stress reaction dan (2) demands (Nur, 2013).

Stress kerja adalah suatu bentuk reaksi fisik dan emosional yang

terjadi karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja,

sumber daya, atau kebutuhan pekerja (NIOSH dalam Zahra, 2015).

Stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang

menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan

perilaku (Sartika, 2016).

Berdasarkan beberapa definisi stres kerja di atas maka dapat diambil

suatu kesimpulan bahwa stres kerja pada dasarnya adalah stres yang timbul

oleh karena adanya perasaan terancam akibat ketidaksesuaian dalam

10

berinteraksi dengan aspek pekerjaannya. Bisa dipahami juga bahwa stres

kerja merupakan kondisi yang tidak menyenangkan di tempat kerja sebagai

hasil dari interaksi antara karyawan dengan tempat kerjanya.

2.1.2 Gejala Stres Kerja

Proses stres dimulai dari berbagai faktor pemicu stress Respon umum /

general adaptation syndrome dikendalikan oleh hipotalamus, hipotalamus

menerima masukan mengenai stresor fisik dan psikologis dari hampir semua

daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Stres oleh tubuh

direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sistem locus ceruleus

(LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas &

Pavlatou, 2005, dalam Sugihato, 2012).

Aktifnya hipotalamus–puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan

conditioning stimuli pada alur limbic–hipotalamus–puitutary-adrenal Axis (LHPA

axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebabkan disekresinya hormon

corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk sekresi

ACTH. Peningkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya sekresi, kortisol

(Usui et al., 2012). Hormon tersebut dikeluarkan untuk menjaga homeostatis dalam

menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis (Fatouros et al., 2010 dalam

Sugihato, 2012). Menurut Rimmele et al (2007 dalam Sugihato, 2012) baik stresor

fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan sistem kardiorespirasi dan

neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf otonomi (autonomic

nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous

system/SNS).

11

Ada tiga kategori umum sebagai konsekuensi dari stres yaitu gejala

fisiologis, psikologis dan perilaku.

a. Gejala fisiologis

Gejala ini terkait dengan aspek kesehatan dan medis yang

menunjukkan bahwa stres dapat menciptakan perubahan

metabolis, meningkatkan laju detak jantung dan pernafasan,

meningkatnya tekanan darah, menimbulkan sakit kepala dan

menyebabkan terjadinya serangan jantung.

b. Gejala psikologis

Gejala psikologis terkait dengan ketidakpuasan terutama yang

berkaitan dengan pekerjaan. Disamping itu stres juga muncul

dalam bentuk keadaan psikologis lain seperti ketegangan,

kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-nunda.

c. Gejala perilaku

Gejala perilaku terkait dengan perubahan produktivitas, absensi,

tingkat keluar masuknya, perubahan kebiasaan makan,

meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, bicara cepat, gelisah

dan gangguan tidur (Sartika, 2016).

Stres kerja yang dialami oleh pegawai dapat terlihat dari gejala

yang dirasakan oleh pegawai seperti sering merasakan kulit pucat dan

terasa dingin saat bekerja, aliran darah sangat cepat saat bekerja,

pernafasan meningkat saat bekerja, otot tegang saat bekerja, merasa cepat

marah, merasa tegang saat bekerja, merasa cemas saat bekerja, sukar

berkonsentrasi dalam bekerja, sulit tidur setelah bekerja dan cepat merasa

letih setelah bekerja (Sartika, 2016).

12

2.1.3 Tahap Stres Kerja

Menurut Golizek (Sarwono, 2006) ada empat tahap stress kerja,

yaitu :

a. Stres kerja yang dapat teratasi

Ditandai adanya harapan meningkatnya idealisme, antusias,

dedikasi, komitmen terhadap stress kerja serta memperlihatkatn

tingkat energi yang tinggi dan sikap positif terhadap kerja.

b. Stres kerja ringan

Ditandai adanya rasa pesimis dan ketidakpuasan kerja, frustasi,

kecewa, bosan, jemu dengan kerja, individu mulai memperlihatkan

gejala fisik dan psikologis terhadap stress kerja.

c. Stres kerja sedang

Ditandai dengan menarik diri dan isolasi. Seseorang mulai mudah

marah, bermusuhan, selalu negatif. Timbul gejala stres fisik dan

psikologis, bila lebih buruk akan terjadi perubahan sederhana

dalam tujuan kerja, sikap dan perilaku selanjutnya terjadi

kemunduran.

d. Stres kerja yang berat

Terjadi kerusakan menetap dan hilangnya minat kerja. Timbul

gejala stres kerja berat, harga diri rendah, absen yang kronis, sinis

dan negatifism total, tirnbul kematian kerja dan kelelahan berat.

13

2.1.4 Penyebab Stres Kerja

Menurut Losyk (2007), ada banyak penyebab meningkatnya stres

kerja :

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik tempat kerja memiliki pengaruh besar terhadap

tingkat stres. Suhu, cahaya, suara, kualitas udara, kepadatan, isolasi,

keamanan, dan kualitas ergonomis, semuanya menentukan

bagaimana seseorang menjalani hari kerjanya. Bekerja didalam

sebuah ruangan yang kecil, dengan beberapa orang didalamnya,

serta tempat duduk tidak nyaman hanya menambah stres kerja.

Dihadapkan pada suasana yang tidak menyenangkan setiap hari

akan menimbulkan perusakan secara traumatis terhadap energi,

motivasi, dan kesehatan secara meyeluruh.

b. Rancangan pekerjaan

Banyak pekerja yang di PHK atau dirumahkan tidak lagi dicarikan

pengganti nya. Namun demikian, deskripsi pekerjaan tidaklah

dirancang untuk mengambil alih semua tugas dari mereka yang

meninggalkan tempat kerja. Akibatnya, terlalu banyak beban dan

tuntutan pekerjaan yang harus ditanggung oleh mereka yang

tinggal, dan banyak pekerja tidak mampu mengatasinya.

Kebanyakan pekerjaan tidak dirancang dengan mempertimbangkan

tinggkta stres pekerjaannya.

c. Peran dalam pekerjaan

Peran pekerja tidak sepenuhnya diutarakan, para pekerja tidak

merasa akan tanggung jawabnya dari keseluruhan pekerjaan. Peran

14

mereka menjadi konflik antara apa yang menurut mereka harapkan

dan apa yang sesungguhnya diharapkan atasan. Peran mereka

mungkin tumpang tindih dengan pekerja lain, menimbulkan

perselisihan antar sesama pekerja. Ketika pekerja tidak yakin akan

prioritas peran mereka, mereka bisa saja melakukan apa yang

terbaik menurutnya, atau bekerja dalam keadaan bingung. Berada

dibawah tekanan seperti itu terus menerus membuat mereka takut

telah melakukan pekerjaan yang salah, atau melakukan pekerjaan

yang benar dengan cara yang salah. Waktu dan tenaga yang

dikeluarkan menimbulkan kelelahan dan frustasi setiap hari.

d. Teknologi

Komputer, telepon genggam, faksimile, dan internet telah

meningkatkan kecepatan. Namun bersamaan dengan munculnya

teknologi baru, muncul pula penyebab stres yang baru. Orang

harus terus menerus mempelajari teknologi dan perangkat lunak

baru. Kadang kadang, pelatihan untuk hal itu tidak mencukupi,

sebaliknya kadang-kadang teknologinya yang justru tidak memadai.

Ketika teknologi tidak bekerja semestinya, atau perlengkapan tiba

tiba rusak, banyak pekerja tidak dapat menyelasaikan tugas mereka

dan mulailah muncul rasa stres.

e. Menajemen

Gaya manajemen merupakan salah satu peyumbang stres terbesar

ditempat kerja. Atasan yang selalu mengatur, tidak mau mengubah

pola pikir lama, yang selalu menyetir bawahan, hanya akan

menciptkan stres, kehabisan tenaga, dan pengunduran diri dari

15

pekerjaan. Hampir semua penelitian menunjukan alasan nomor

satu pengunduran diri adalah manajemen atasan langsung. Indikasi

langsung dari hal adalah stres yang sebenarnya tak perlu diciptakan

atasan.

Stress kerja dapat terjadi karena adanya faktor pemicu diantaranya

hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan atasan, pengembangan karir.

Tingkat stress bagi tiap individu juga berbeda tergantung dari karakteristik individu

(Zahra, 2015).

Menurut Munandar (Zahra, 2015), bekerja pada saat malam hari memiliki

risiko mengalami tingkat stress kerja lebih tinggi daripada bekerja pada saat pagi

ataupun sore hari dan merupakan sumber utama stress bagi para pekerja pabrik.

Menurut Hasibuan (Sarwono, 2006) menyebutkan faktor yang menjadi

penyebab stres kerja adalah :

a. Beban kerja yang sulit dan berlebihan.

b. Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar.

c. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.

d. Konflik antar pribadi dengan pimpinan atau dengan kelompok kerja.

e. Balas jasa yang terlalu rendah.

f. Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua dan lain-lain.

Menurut Patton (Sartika, 2016) perbedaan reaksi antara individu satu dengan

yang lain terhadap stresor sering disebabkan faktor psikologis sosial yang dapat

merubah dampak stressor bagi dirinya. Faktor tersebut adalah: (1) kondisi individu

seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik, intelegensia, pendidikan,

kebudayaan, dan lainnya, (2) ciri kepribadian, seperti: introvert atau extrovert, tingkat

emosional, kepasrahan, kepercayaan diri, dan lainnya, (3) sosial-kognitif, seperti;

16

dukungan sosial, hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya, (4) strategi untuk

menghadapi setiap stres yang muncul. Secara umum meliputi :

a. Internal

Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri pekerja itu sendiri yang

bisia mendatangkan stres misalnya kurang percaya diri dalam melakukan

pekerjaan, kurangnya kemampuan atau keterampilan dalam melakukan

pekerjaan dan sebagainya.

b. Eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari lingkungan kerja dari pekerja.

Lingkungan kerja ini mencakup lingkungan fisik dan lingkungan (masyarakat).

Disamping berbagai faktor penyebab stres kerja di atas, juga bisa berkaitan

dengan karakteristik pekerja diantaranya :

a. Usia

Usia juga bisa berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang

termasuk stres kerja. Levinson dkk. (Sarwono, 2006) mempelajari fase- hidup

manusia. Levinson membedakan empat periode kehidupan yaitu : (1) Masa

anak dan masa remaja (0-22 tahun), (2) Masa dewasa awal (17-45 tahun), (3)

Masa dewasa madya (40-65 tahun), dan (4) Masa dewasa akhir (60 tahun

keatas).

Pada usia antara 33-40 tahun adalah fase kemantapan dan keyakinan

orang untuk menemukan tempatnya dalam masyarakat dan berusaha untuk

memajukan karir sebaik-baiknya. Impian yang ada dalam fase sebelumnya (11-

45 tahun) mulai menjadi kenyataan. Pekerjaan dan kehidupan keluarga

membentuk aspek kepribadian yang diperlukan dalam fase tersebut. Pada usia

17

40 tahun tercapai puncak masa dewasa. Sesudah itu mulai peralihan ke arah

dewasa madya (tengah baya antara 40-45 tahun). Dalam masa ini seseorang

menghadapi tiga macam tugas yaitu penilaian masa lalu merubah struktur

kehidupan proses individualisasi.

Khaidir & Maulina (2018), mengemukakan bahwa menua atau menjadi

tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Apabila

seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang

bersifat fisik, mental, maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut akan

menempatkan individu usia ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya

menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka.

Karepowan, Wowor & Katuuk (2018), mengatakan bahwa lanjut usia

adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Semakin

bertambahnya usia perubahan kondisi fisik pada lanjut usia akan terjadi

penurunan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh. Salah satunya

perubahan psikososial yaitu stres. Semakin lanjut usia seseorang makan akan

mengalami kemunduran terutama dibidang kemampuan fisik, yang

mengakibatkan penurunan peranan-peranan sosialnya.

b. Jenis Kelamin

Baik pria maupun wanita dapat mengalami stres. Diduga lebih banyak

wanita daripada pria yang mengalami stres. Pada wanita stres dapat muncul

akibat kewanitaannya secara umum sebagai akibat sampingan dari keadaan dan

perubahan biologis, psikologis dan sosialnya (Darmono dalam Sarwono, 2006).

Anoraga (dalam Sarwono, 2006) menambahkan bahwa wanita yang bekerja

bagaimanapun juga adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari

lingkungan keluarga. Karenanya dalam meniti karier wanita mempunyai beban

18

dan hambatan yang lebih berat dibanding rekan prianya. Dalam arti wanita

wanita juga harus menyelesaikan dahulu tugas-tugas rumah tangganya. Pada

kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mampu mengatasi

hambatan ini sekalipun dia memiliki kemampuan teknis yang tinggi. Hal

seperti ini biasanya akan menimbulkan dilema pada wanita yang bekerja dan

bukan tidak mungkin ikut berpengaruh pada timbulnya stres kerja.

c. Masa Kerja

Masa kerja bisa dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu :

kelompok masa kerja kurang dari 6 tahun, 6-12 tahun, 13-18 tahun, dan masa

kerja lebih dari l8 tahun (Sarwono, 2006). Orang yang bekerja lebih lama gairah

untuk pencapaian pekerjaan mungkin berkurang. Hal baru dan perubahan yang

terjadi cenderung tidak menghargai penumpukan pengalaman. Pada saat yang

sama pekerjaan menuntut peningkatan usaha dan kualitas untuk dapat

bersaing. Perasaan tidak terjamin meningkat dan sikap tidak peduli pada

pensiun yang dulu masih jauh sekarang terasa di depan mata. Timpe (dalam

Sarwono, 2006) mengatakan orang yang telah lama bekerja dan memiliki usia

yang tua sering muncul gejala kehilangan minat, tidak partisipasif dan bahkan

menyendiri.

d. Faktor Organisasi

Faktor organisasi yang menjadi potensi sumber stres antara lain (1)

tuntutan tugas dalam hal desain pekerjaan individu, kondisi kerja dan tata letak

fisik, (2) tuntutan peran yang berhubungan dengan tekanan yang diberikan

pada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam

sebuah organisasi, (3) tuntutan antar pribadi, yang merupakan tekanan yang

diciptakan oleh karyawan lain seperti kurangnya dukungan sosial dan buruknya

19

hubungan antar pribadi para karyawan, (4) struktur organisasi yang

menentukan diferensiasi dalam organisasi, tingkat aturan dan peraturan, dan

dimana keputusan diambil. Aturan yang berlebihan dan kurangnya partisipasi

individu dalam pengambilan keputusan merupakan potensi sumber stres, (5)

kepemimpinan organisasi yang terkait dengan gaya kepemimpinan atau

manajerial dari eksekutif senior organisasi. Gaya kepemimpinan tertentu dapat

menciptakan budaya yang menjadi potensi sumber stres (Sentot Imam

Wahjono dalam Sartika, 2016).

Menurut (S. Islam, 2014), Stres kerja didefinisikan sebagai respons fisik

dan emosional yang berbahaya yang bias terjadi saat bekerja, Stres kerja dapat

berasal dari berbagai sumber diantara nya:

1. Beban kerja berlebih , pekerjaan menciptakan stres ketika melampaui tingkat

kapasitas individu. beban kerja yang tinggi adalah pemandangan umum yang

sering dijumpai.

2. Target yang lebih tinggi, target yang lebih tinggi adalah salah satu faktor yang

menyebabkan stres dan berdampak pada kinerja .

3. Masalah teknologi / system , teknologi dan system yang tidak memadai

membuat kerja Menjadi sulit.

4. Gaji rendah, Gaji yang buruk dibandingkan dengan beban kerja yang tinggi

merupakan faktor penting yang menyebabkan stress.

5. Waktu kerja yang lama.

6. Tugas yang membosankan atau tidak berarti.

20

2.1.5 Pengukuran Stres Kerja

Tingkat stres kerja dibedakan menjadi 4 tingkat yaitu stres kerja

teratasi/tidaks tresk erja dengans kor 0 18, stres kerja ringan dengan skor

19-36, stres kerja sedang dengan skor 37-54 dan stres kerja berat dengan

skor 55-12 (Sarwono, 2006).

2.1.6 Dampak Stres Kerja

Menurut Jacinta sebagaimana dikutip Prasetyo dan Nurtjahjanti

(2012), stress kerja dapat mengakibatkan berbagai hal atau memiliki

dampak sebagai berikut :

a. Dampak terhadap perusahaan yaitu terjadinya kekacauan, hambatan

baik dalam manajemen maupun operasional kerja, menggangu

kenormalan aktivitas kerja, menurunnya tingkat produktivitas,

menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.

b. Dampak terhadap individu

1) Dampak terhadap Kesehatan

Seperti penyakit jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, dan

beberapa penyakit lainnya.

2) Dampak terhadap Psikologis

Stress berkepanjangan akan menyebabkan ketengan dan kekuatiran

yang terus menerus yang disebut stress kronis. Stress kronis bersifat

menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh

kehidupan penderita secara perlahan-lahan.

3) Dampak terhadap interakasi interpersonal

21

Individu yang sedang stress akan lebih sensitive dibandingkan

dengan yang tidak, seperti meyalah artikan sesuatu keadaan,

pendapat dan penilaian, kritik, nasehat, bahkan perilaku orang lain

sehingga memunculkan depresi, kehilangan rasa percaya diri dan

harga diri.

Menurut Northwestern Nasional Life Insurance dalam Losyk (2007),

dampak dari stres kerja adalah sebagai berikut:

1) Sejumlah kasus absensi di tempat kerja berkaitan dengan masalah stres.

2) Sebesar 27% mengatakan bahwa aspek pekerjaan menimbulkan stres

paling tinggi dalam hidup mereka.

3) Sebesar 46% menganggap tingkat stres kerja sebagai tingkat stres yang

sangat atau luar biasa tinggi.

4) Satu pertiga pekerja berniat untuk langsung mengundurkan diri karena

stres dalam pekerjaan.

5) Sebesar 70% berkata stres kerja telah merusak kesehatan fisik dan

mental.

Stress kerja dapat berdampak positif dan negatif bagi individu

tergantung bagaimana individu meresponnya. Stress kerja berdampak positif

bagi individu karena adanya stress memacu seseorang untuk bekerja dan

menyelesaikan tugas dengan baik sehingga stress bersifat membangun atau

yang disebut dengan eustres. Stress kerja berdampak negatif ketika seseorang

tidak mampu untuk mengatasinya sehingga bersifat merusak atau disebut

dengan distress, serta berakibat pada penurunan kinerja, tingkat absensi tinggi,

munculnya penyakit dan sebagainya (Walker dalam Zahra, 2013). Stress kerja

juga berdampak pada perusahaan atau organisasi, salah satunya menyebabkan

22

kerugian finansial yang jumlahnya tidak sedikit (Saragih dalam Zahra, 2013).

Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan

seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam

lingkungan pekerjaan maupun di luar pekerjaan (Sartika, 2016).

2.2 Konsep Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

Pengertian hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang

mengalami peningkatan darah diatas normal yang menigkatkan angka

kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas). Tekanan darah

140/90 mmHg didasarkan dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu fase

sistolik 140 menunjukan fase darah sedang dipompa oleh jantung dan fase

diastolik 90 menunjukan fase darah yang kembali ke jantung. Menurut

WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang

dari 130/90 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan

sebagai hipertensi (Trihono, 2013).

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di

pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena

jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan

oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu

fungsi organ-organ lain, terutama organ vital seperti jantung dan ginjal.

Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita

hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan

(dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita

hipertensi tetapi saat diwawancara sedang minum obat medis untuk

tekanan darah tinggi (minum obat sendiri).

23

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

Menurut American Heart Association (2017), Target tekanan darah baru

dan rekomendasi pengobatan: Selama bertahun-tahun, hipertensi

diklasifikasikan sebagai pembacaan tekanan darah (BP) 140/90 mm Hg

atau lebih tinggi, tetapi pedoman yang diperbarui mengklasifikasikan

hipertensi sebagai pembacaan BP 130/80 mm Hg atau lebih tinggi.

Pedoman yang diperbarui juga memberikan rekomendasi perawatan baru,

yang meliputi perubahan gaya hidup serta obat penurun BP, berdasarkan

tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut American Heart Association, 2017

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistolik (mmHg) Diastolik(mmHg)

Normal 120 < 80

Elevated 120 –129 <80

Hypertension : Stage I 130 –139 80 – 89

Hypertension : Stage II ≥ 140 ≥ 90

(AHA, 2017)

2.2.3 Penyebab Hipertensi

Menurut Triyanto (2014) penyebab hipertensi sering kambuh

dibagi 2 :

1. Hipertensi Eesensial atau primer

Penyebab pasti hipertensi esensial sampai saat ini belum diketahui.

Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi esensial

dan 10% hipertensi sekunder. Onset hipertensi primer terjadi usia 30-

35 tahun. Hipertensi primer adalah kondisi hipertensi dimana

penyebab sekunder tidak ditemukan. Pada hipertensi primer tidak

ditemukan penyakit renovaskular, aldosteronism, pheochro-mocytoma, gagal

24

ginjal dan penyakit lainnya. Genetik dan ras merupakan penyebab

hipertensi primer, termasuk faktor lain diantaranya stres, intake

alkohol moderat, merokok, lingkungan, demografi dan gaya hidup.

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat

diketahui, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, ganguan

kelenjar tiroid (hipertiriod), penyakit kelenjar adrenal

(hiperaldosteronisme). Golongan terbesar penderita hipertensi adalah

hipertensi esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak

ditujukan ke penderita hipertensi esensial.

2.2.4 Faktor Resiko Hipertensi

Menurut Triyanto (2014), faktor resiko penderita hipertensi sering

kambuh atau mengalami kenaikan tekanan darah secara berulang adalah

sebagai berikut :

1. Riwayat hipertensi di dalam keluarga

Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi

di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua

orangtua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga

banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur),

apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini mendukung

bahwa faktor genetika mempunyai peran didalam terjadinya

hipertensi. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu

masalah terjadinya hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan

penyakit keturunan. Jika seorang orangtua kita memiliki riwayat

25

hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25%

terkena hipertensi.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin juga sangt erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi

dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit

hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55

tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. Perbandingan

laki-laki dan perempuan, ternyata perempuan lebih banyak menderita

hipertensi. Laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka

prevalensi 6% dari laki-laki dan 11% pada perempuan. Laporan dari

Sumatera Barat menunjukan 18,6% didapatkan 7,5% pada laki-laki

dan 10,9% pada perempuan. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta

didapatkan 14,6% pada laki-laki dan 13,7% pada perempuan.

3. Faktor usia

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan

bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapatkan resiko

hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan

meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di

dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan

hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan

menaikan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur

(Julianti, 2005).

26

4. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan seperti stres berpengaruh terhadap timbulnya

hipertensi esensial. Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga

melalui aktifasi saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja

pada saat kita beraktifitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja

pada saat kita tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas saraf simpatis

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak

menentu). Apabila stres berkepanjangan, dapat mengakibatkan

tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi

angka kejadian dimasyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan

dengan pedesaan. Hal ini dapat dihubugkan dengan pengaruh stres

yang yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal dikota.

Peningkatan tekanan darah sering intermitten pada awal perjalanan

penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah tegak diagnosanya, sangat

berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap stres emosional dan

aktivitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stres tekanan arteri

sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal dalam waktu

beberapa detik.

5. Obesitas

Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari

populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai

kaitan yang erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari.

Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan

hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya

pompa jantung dan sikulasi volume darah penderita obesitas dengan

27

hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang

mempunyai berat badan normal. Terbukti bahwa daya pompa jantung

dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih

tinggi dari pada penderita hipertensi dengan berat badan normal.

Menurut JNC-8 (2015), berbagai faktor meningkatkan risiko

seseorang terkena hipertensi. Faktor risiko termasuk kondisi kesehatan, gaya

hidup, dan riwayat keluarga. Beberapa faktor risiko, seperti riwayat keluarga

merupakan faktor resiko yang tidak bisa dikontrol. Namun, ada faktor risiko

seperti aktivitas fisik dan diet yang dapat dikendalikan untuk mengurangi

faktor resiko terkena hipertensi. Faktor resiko yang dapat dikontrol

diantaranya kegemukan dan obesitas, gaya hidup, pengguna tembakau, diet

yang tidak sehat, penggunaan alkohol yang berlebihan, stress, Kurang tidur

atau kurang istirahat, Penyakit diabetes sedangkan faktor resiko yang tidak

dapat dikontrol usia, ras, dan riwayat keluarga.

2.2.5 Patofisiologi Hipertensi

Meningkatnya tekanan darah didalam arteri bisa terjadi melalui

beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan

lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri mengalirkan lebih banyak

cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturannya dan

menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat jantung

memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung

dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit dari pada biasanya dan

menyebabkan naiknya tekanan.Dengan cara yang sama, tekanan darah juga

28

meningkat pada saat terjadi vasokonstriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola)

untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon

didalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan

meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi

ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam

tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat sehinga tekanan darah juga

meningkat (Triyanto,2014).

Sebaliknya, jika ativitas memompa jantung berkurang, arteri

mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sikulasi, maka tekanan

darah akan menurun. Penyesuaian terdahap faktor tersebut dilaksanakan

oleh perubahan didalam fungsi gingal dan sistem saraf otonom (bagian

sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis).

Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui

beberapa cara : jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah

pengeluaran garam dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume

darah dan mengembalikan darah ke posisi normal. Jika tekanan darah

menurunn, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air, sehingga

volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal

juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang

disebut renin yang selanjut nya akan memicu hormon aldosteron. ginjal

merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah kerena itu

berbagai penyakit kelainan pada ginjal dapat menyebakan terjadi tekanan

darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju kesalah satu gingal

(stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan

cidera pada salah saru atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya

29

tekanan darah. Aktifitas Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari

sistem saraf otonom yang juga berperan penting dalam proses peningkatan

tekanan darah (Triyanto,2014).

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya

tekanan darah ada dua faktor utama diantaranya masalah hormonal atau

gangguan hormon (renin, sistem agiotensin, aldosteron) dan mekanisme

gangguan elektrolit (natrium, klorida, kalium). Hormon menyebabkan

peningkatan konsentrasi natrium dalam sel yang menyebabkan

peningkatan tekanan darah. Regulasi sodium, kalium dan volume darah,

akhirnya akan mengatur tekanan darah di arteri (pembuluh darah yang

membawa darah dari jantung). Angiotensin dan aldosteron termasuk dua

hormon yang terlibat dalam sistem ini. Angiotensin menyebabkan

penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan bahan kimia yang

meningkatkan tekanan darah, meningkatkan produksi aldosteron dan

penyempitan pembuluh darah sehingga memingkatkan tekanan darah

(ruang kurang, jumlah yang sama dari darah), yang juga menempatkan

tekanan pada jantung.

Sedang hormon aldosteron menyebabkan natrium dan air

tertinggal dalam darah. Akibatnya, ada volume yang lebih besar dalam

darah yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan meningkatkan

tekanan darah ( JNC-8 2015).Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari

perkalian cardiac output (curah jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac

output (curah jantung) diperoleh dari perkalian antara stroke volume

dengan heart rate ( denyut jantung. Pengaturan tahanan perifer

dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon.

30

2.2.6 Penatalaksanaan Hipertensi

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan

obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya

hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼

sampai ½ sendok teh (6 gram/hari), menurunkan berat badan,

menghindari minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olah

raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari,

jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu.

Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stres.

kemampuan mengelola diri merupakan suatu proses berkesinambungan

yang memerlukan adanya kemauan untuk mengubah baik prilaku atau

kebiasaan, Mengurangi stres dapat dilakukan dengan berbagai macam cara

seperti indentifikasi penyebab stres, manajemen waktu yang baik,

melakukan relaksasi dengan teknik yang sederhana, mengatasi rasa takut

akan kegagalan, makanan yang sehat dan olahraga yang teratur (Nasir &

Muhith, 2011)

Menurut Bell (2015), penatalaksanaan hipertensi yaitu famakologis dan

nonfamakologis

1. Farmokologis

Menurut Eighth Joint National Committee (JNC-8), bukti dari

uji klinis menunjukkan bahwa obat antihipertensi harus dimulai

pada pasien berusia kurang dari 60 tahun jika tekanan darah sistolik

secara terus menerus meningkat > 140 mmHg dan tekanan darah

secara terus menerus meningkat >90 mmHg termasuk juga terapi

nonfarmakologis, namun jika seorang pasien berusia 60 tahun dan

31

lebih tua, terapi antihipertensi harus dimulai jika tekanan darah

sistolik adalah >150 mmHg dan tekanan darah diastolik adalah>

90 mmHg. Terapi farmakologi awal untuk HTN termasuk diuretik

thiazide, longacting Calcium Channel Blockers (CCB), angiotensin-

converting enzyme (ACE) inhibitor, dan angiotensin II receptor blocker

(ARB). tujuan tekanan darah untuk HTN spesifik untuk usia dan

komorbiditas penyakit pasien (lihat Tabel 4). Penting untuk dicatat

bahwa tujuan-tujuan ini diperbarui dari yang sebelumnya

direkomendasikan dalam pedoman masa lalu (Seventh Joint

Pedoman Komite Nasional). Pedoman HTN masa lalu (JNC-7

guidelines) lima kelas obat untuk pengobatan HTN pada populasi

umum dengan thiazide, jenis diuretik menjadi terapi lini pertama.

Lima kelas obat yang direkomendasikan untuk HTN adalah thizide

tipe diuretik, calcium channel blockers, angiotensin-meliputi inhibitor enzim,

angiotensin receptor blockers, dan beta-blocker. Namun, diperbarui

pedoman JNC-8 tidak termasuk betablockers sebagai pengobatan

dan perawatan awal ditujukan secara terpisah berdasarkan etnis

2. Non Farmakologis

Selain manajemen stres pasien hipertensi harus diberi

konseling tentang perubahan gaya hidup yang sesuai yang

diperlukan untuk membantu menurunkan tekanan darah, salah

satunya yaitu:

a. Diet

Bukti menunjukkan bahwa masyarakat di mana asupan

natrium rata-rata tinggi (lebih dari 2,3 gram per hari)

32

memiliki jumlah yang lebih besar dari pasien yang

didiagnosis dengan HTN. Jumlah asupan tinggi natrium

menyebabkan peningkatan volume dalam aliran darah

sehingga dapat meningkatkan tekanan pada jantung untuk

memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, tekanan

darah bisa menjadi tinggi. The American Heart Association

(AHA) merekomendasikan membatasi asupan

sodium/natrium kurang dari 1500 mg per hari (1,5 gram).

Karena kebanyakan diet garamditemukan dalam makanan

kemasan danolahan,membatasi asupan mereka dan

menemukan alternatif sehat yang bermanfaat untuk

mengurangi tekanan darah. Diet ketat, seperti Dietary

Approaches to Stop Hypertension (DASH) diet, telah

ditemukan untuk membantu menurunkan tekanan darah.

Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) menekankan

rencana makanan tinggi dalam buah-buahan, sayuran, biji-

bijian, unggas, dan ikan sementara membatasi permen,

minuman manis, dan daging merah. Selain itu, Dietary

Approaches to Stop Hypertension (DASH) merekomendasikan

bahwa laki-laki membatasi asupan alkohol untuk dua atau

lebih sedikit minuman sehari dan perempuan untuk satu

atau kurang. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti yang

menunjukkan bahwa pasien yang berlebihan minum

alkohol memiliki insiden yang lebih tinggi dari tekanan

33

darah tinggi dibandingkan dengan mereka yang minum

alkohol dalam jumlah sedang.

b. Olahraga

olahraga adalah recommended.10 Kedua latihan aerobik dan

resistensi pelatihan telah terbukti menurunkan tekanan

darah dan meningkatkan kesehatan jantung secara

keseluruhan. Contoh latihan aerobik meliputi berjalan,

jogging, berenang, dan bersepeda. AHA

merekomendasikan rata-rata 40 menit intensitas sedang

hingga kuat latihan aerobik tiga sampai empat kali

seminggu untuk membantu menurunkan tekanan darah.

2.2.7 Hubungan Stres Kerja dengan Hipertensi

Stres sudah lama terdaftar sebagai potensi dan penyebab

hipertensi. Faktor lain seperti Kegemukan atau obesitas, dan kurangnya

aktivitas fisik yang memadai juga ditemukan berhubungan dengan

hipertensi. Stress ditemukan menjadi faktor risiko independen untuk

hipertensi. Stres yang tinggi sangat besar kaitan nya dengan hipertensi,

Kasus dengan stres yang tinggi memiliki 2,52 kali Kemungkinan

mengakibatkan terjadinya hipertensi lebih tinggi. (Sandip Bhelkar¸et al,

2018)

Sistem kardiovaskular banyak dipengaruhi oleh serabut saraf

otonom. Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang

selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem

simpatis dan sistem korteks adrenal. Serabut Sistem saraf simpatis

34

menyebar keseluruh induksi dan miokardium yang berespons terhadap

impuls saraf dari hipotalamus dengan mengaktivasi berbagai organ dan

otot polos pembuluh darah. Neurotransmiter saraf simpatis adalah

norepinefrin yang menyebabkan terlepasnya epinefrin dari medula adrenal

ke aliran darah. Sehingga meningkatkan kecepatan denyut jantung dan

peningkatan kontaksi miokardium (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson,

2006).

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivasi

saraf simpatis. Saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita

beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita

tidak beraktivitas. Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan

tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stres

berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.

Walaupun hal ini belum terbukti, tetapi angka kejadian dimasyarakat

perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Hal ini dapat

dihubugkan dengan pengaruh stres yang yang dialami kelompok

masyarakat yang tinggal dikota. Peningkatan tekanan darah sering

intermitten pada awal perjalanan penyakit. Bahkan pada kasus yang sudah

tegak diagnosanya, sangat berfluktuasi sebagai akibat dari respon terhadap

stres emosional dan aktivitas fisik. Selama terjadi rasa takut ataupun stres

tekanan arteri sering kali meningkat sampai setinggi dua kali normal dalam

waktu beberapa detik (Triyanto, 2014 ).

35

Stres adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak bisa dihindari,

stres atau ketegangan emosional dapat mempengaruhi sistem

kardiovaskuler, khususnya hipertensi, dan stres dipercaya sebagai faktor

psikologis yang dapat meningkatkan tekanan darah. Klien hipertensi

dianjurkan sedapat mungkin menghindar isi sikap tegang dan berlatih agar

dapat bersikap sabar, ikhlas dan mensyukuri segala hal yang mampu

dicapai, dan hal ini dapat dilakukan terlalu berat. Di dalam dinding

jantung dan beberapa pembuluh darah terdapat suatu reseptor yang selalu

memantau perubahan, reseptor ini akan mengirim sinyal ke otak agar

tekanan darah kembali normal, otak menanggapi sinyal tersebut dengan

dilepaskanya hormon dan enzim yang mempengaruhi kerja jantung,

pembuluh darah dan ginjal (Marliani, 2007)

Sebuah penelitian studi kasuskontrol yang dilakukan di Cina

menemukan bahwastres memberikan kontribusi sekitar 9% risiko

kekambuhan hipertensi, 52 negara 35 diantaranya melaporkan bahwa ada

hubunganyang kuat antara stres dengan penyakit kardiovaskular

khususnya hipertensi. Pengaruh stres pada kesehatan mungkin menjadi

hal lebih mencolok dalam kehidupan seseorang, secara tidak langsung

stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya

penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Sufeng Yin et al,

2015)