BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres dan Stres Kerja Stres dapat ...
2. LANDASAN TEORI 2.1. Nalar Tiap Konsep 2.1.1. Stres · 2.1. Nalar Tiap Konsep 2.1.1. Stres Dalam...
Transcript of 2. LANDASAN TEORI 2.1. Nalar Tiap Konsep 2.1.1. Stres · 2.1. Nalar Tiap Konsep 2.1.1. Stres Dalam...
6 Universitas Kristen Petra
2. LANDASAN TEORI
2.1. Nalar Tiap Konsep
2.1.1. Stres
Dalam sub bab ini akan dijelaskan pengertian stres (stress), indikasi
terjadinya stres, konseptualisasi stres kerja, sebab-sebab terjadinya stress, reaksi
orang terhadap stres, dan cara menanggulangi stres karyawan.
2.1.1.1. Pengertian Stres (Stress)
Setiap orang mengenal stres dan hampir dapat dikatakan setiap orang pernah
mengalami stres. Perbedaannya, hanya terletak pada intensitasnya, yaitu berat dan
ringannya stres yang dialami seseorang. Stres melanda hampir pada setiap jiwa tanpa
memandang jenis kelamin, usia, latar belakang sosial, pendidikan, kepercayaan, dan
budaya. Berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) di dalam perusahaan, stres
kerja menjadi sangat penting untuk dipelajari dan dianalisis. Hal ini dikarenakan,
sumber daya manusia yang bekerja dalam perusahaan membahwa seluruh atributnya
di tempat kerja tidak pernah terlepas dari stres, yang dapat disebabkan oleh pekerjaan
yang dihadapi, tekanan dari atasan, dan konflik antar pribadi dan antar kelompok di
dalam perusahaan. Stres karyawan timbul akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari
pekerjaannya (Hasibuan, 1995:224).
Stres adalah suatu kondisi ketegangan seseorang dalam menghadapi
pekerjaan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang
(Handoko, 1992:200). Sedangkan menurut Beerhs dan Newman (1996), stres kerja
sebagai suatu kondisi yang timbul karena adanya interaksi antara individu dan
pekerjaan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam diri individu yang
mendorong individu melakukan penyimpangan (tidak dapat berfungsi secara normal)
(Widyantoro, 2001:55).
Berdasarkan dua definisi tersebut dapat dikatakan, bahwa stres adalah
ketegangan psikologis yang terjadi karena adanya interaksi seseorang dengan
pekerjaan yang cenderung menekan seseorang, yang dapat berpengaruh terhadap
perasaan seseorang (afeksi), cara berpikir (kognitif), dan kondisi fisik serta mental
seseorang. Intensitas stres yang ada pada seseorang tidak sama. Orang yang
Universitas Kristen Petra
7
mengalami stres ringan akan cepat kembali normal bila mampu mengatasinya
dengan baik, sebaliknya, stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungan (Handoko, 1992:203). Sebagai hasilnya,
pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat
mengganggu pelaksanaan kerja.
2.1.1.2. Indikasi Terjadinya Stres
Stres mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang
(Handoko, 1992:200), atau perubahan dalam diri individu yang mendorong individu
melakukan penyimpangan (tidak dapat berfungsi secara normal) (Widyantoro,
2001:55). Orang yang mengalami stres akan nervous dan merasakan kekuatiran
kronis (Hasibuan, 1995:224), mudah marah (emosi), pikirannya kalut, fisiknya lemah
dan mudah terserang penyakit, misalnya penyakit pencernaan, tekanan darah tinggi,
dan sulit tidur (Handoko, 1992:200). Orang yang mengalami stres juga juga tidak
dapat rileks dan bersikap tidak kooperatif serta cenderung melarikan diri dengan
minum minuman keras dan/atau merokok secara berlebihan.
Secara rinci Higgins (1992:431) mengetengahkan 25 indikasi stres yang
terjadi pada seseorang, yaitu:
1. Penggunaan alkohol yang berlebihan.
2. Penggunaan obat bius.
3. Tekanan darah menjadi tinggi.
4. Sering sakit kepala.
5. Nyeri lambung.
6. Ucapan yang ‘pedas’ dan ‘dingin’.
7. Tidak dapat tidur.
8. Nyeri dada.
9. Jantung berdebar atau berpacu keras.
10. Susah nafas karena emosi.
11. Penggunaan obat tidur yang berlebihan.
12. Sering terbangun pada waktu malam hari.
13. Keletihan atau kehilangan tenaga.
14. Kehilangan nafsu makan.
Universitas Kristen Petra
8
15. Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur.
16. Perasaan ketakutan yang berlebihan.
17. Mudah marah.
18. Keinginan untuk merubah suasana.
19. Merasa kehilangan waktu kerja.
20. Perasaan yang semakin kritis.
21. Perasaan yang diperbudak oleh pekerjaan.
22. Sering mengalami kecelakaan.
23. Kehilangan kepercayaan diri.
24. Merasa bosan terhadap pekerjaan.
25. Kehilangan kepercayaan kepada perusahaan.
Menurut Higgins (1992:431), seseorang apabila merasa sedikitnya tiga dari
indikasi-indikasi stres di atas, maka seseorang tersebut telah mengalami stres.
Semakin banyak indikasi-indikasi stres yang ada pasa seseorang, maka seseorang
tersebut semakin akut mengalami stres dalam hidupnya (Gustendi, 1999).
2.1.1.3. Konseptualisasi Stres Kerja
Kreitner (1995) berpendapat, stres kerja dapat dikonseptualisasikan dari
tiga titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respon, dan stres
sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan (Widyantoro, 2001:55).
Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Stres sebagai stimulus
Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan
pada lingkungan dan menggambarkan stres sebagai variabel bebas. Sebagai
contoh, keadaan seseorang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat stres yang
tinggi, seseorang tersebut selalu dalam keadaan tegang dan tidak menyenangkan.
Peristiwa atau lingkungan yang menimbulkan perasaan tegang itu disebut sebagai
stressor. Gibson (1994) mengemukakan, definisi stimulus melihat stres sebagai
suatu kekuatan atau perangsang yang menekan individu yang menimbulkan
respon terhadap ketegangan (Widyantoro, 2001:55).
2. Stres sebagai respon
Stres sebagai respon, menitik beratkan pada reaksi seseorang terhadap
Universitas Kristen Petra
9
stressor dan menggambarkan stres sebagai variabel terikat. Sebagai contoh,
seseorang merasa stres atau tertekan bila diminta untuk memberikan sambutan di
depan suatu pertemuan. Respon yang dialami itu mengandung dua komponen,
yaitu: (a) komponen psikologis, yang meliputi tingkah laku, pola pikir, emosi
serta perasaan tertekan, dan (b) komponen fisiologis, berupa rangsangan-
rangsangan fisik, seperti jantung berdebar-debar, mulut kering, tubuh berkeringan
atau perut mules. Respon psikologi dan fisiologis terhadap stressor ini disebut
strain atau ketegangan. Definisi respon memandang stres sebagai tanggapan
fisiologis atau psikologis dari seseorang terhadap tekanan lingkungannya, di
mana stres tersebut kebanyakan berasal dari lingkungan di luar individu.
3. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan
Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan penekanannya
terletak pada interaksi individu dengan lingkungan sekitar individu tersebut.
Robbins (1996) mendefinisikan stres sebagai interaksi adalah suatu kondisi
dinamik dalam mana seseorang individu dikonfrontasikan dengan sesuatu
peluang, kendala atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkan
dan yang dihasilkan, dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Stres dalam
definisi ini tidak dengan sendirinya harus buruk. Walaupun stres lazimnya
dibahas dalam konteks negatif, stres juga mempunyai nilai positif. Stres
merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan perolehan yang potensial.
Douglas (1996) menyebut hal ini sebagai stres kerja negatif dan stres kerja
positif. Stres negatif disebut distress dan seringkali menghasilkan perilaku
karyawan yang disfungsional seperti sering melakukan kesalahan, moral yang
rendah, bersikap masa bodoh, dan absen kerja tanpa alasan. Di sisi lain, stres
positif atau biasa disebut eustress menciptakan tantangan dan perasaan untuk
selalu berprestasi serta berperan sebagai faktor motivator yang kritis bagi banyak
karyawan (Widyantoro, 2001:56).
2.1.1.4. Sebab-Sebab Terjadinya Stres
Stres merupakan suatu keadaan seseorang mengalami ketegangan karena
adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi dirinya. Kondisi-kondisi tersebut dapat
berasal dari dalam diri seseorang maupun dari lingkungan di luar diri seseorang
Universitas Kristen Petra
10
(Widyantoro, 2001:54). Hasibuan (1992:200) menjelaskan bahwa:
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut stressor.
Seseorang yang mengalami stres dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors,
tetapi biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi stressors. Ada dua
kategori penyebab stres, yaitu on-the-job stressor (stressor intern) dan off-the-
job stressor (stressor ekstern).
Kedua stressor (penyebab timbulnya stres) tersebut secara singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Stressor Intern
Stressor intern (on-the-job stressor), yaitu penyebab stres yang berasal
dari dalam lingkungan pekerjaan di tempat karyawan bekerja
(Handoko, 1992:201). Douglass (1996) menyebutkan tiga hal, yang seringkali
menjadi sumber timbulan distress, yaitu: konflik peran (role conflict), ambiguitas
peran (role ambiguity), dan perbedaan beban kerja (work load variance)
(Widyantoro, 2001:56).
a. Konflik peran (role conflict)
Konflik peran terjadi ketika karyawan sebagai bawahan merasa
adanya persaingan dan kemungkinan akan timbulnya konflik dengan yang
lain. Sebagai contoh, karyawan mungkin merasa bingung antara memenuhi
harapan atasan dengan harapan yang diinginkan rekan sekerja. Konflik juga
sering muncul sebagai akibat tekanan yang datang dari organisasi informal,
bahkan dilema etika juga akan memperbesar konflik peran, bila tujuan
organisasi bertentangan dengan sistem nilai yang dianut karyawan.
b. Ambiguitas peran (role ambiguity)
Terjadinya ambiguitas peran ini adalah sebagai akibat dari
ketidakjelasan harapan, tujuan organisasi, dan deskripsi pekerjaan yang
kabur. Harapan akan peran suatu jabatan yang tidak sejalan dengan diskripsi
jabatan yang diterima karyawan dapat memperbesar terjadinya ambiguitas
peran, bahkan kesalahpahaman akan tujuan yang harus dicapai karyawan,
juga memberikan kontribusi terhadap ketidaknyamanan dan menurunnya
prestasi kerja karyawan (kinerja karyawan).
Universitas Kristen Petra
11
c. Perbedaan beban kerja (work load variance)
Beban kerja lebih menimbulkan peran yang berlebihan. Hal ini berarti
bahwa karyawan mempunyai harapan lebih dari pada yang dapat dipenuhi.
Perasaan menanggung beban kerja yang lebih banyak dibandingkan yang
lainnya, dapat menyebabkan permasalahan emosional dan fisik yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap prestasi karyawan. Di sisi lain, kurangnya
peran dapat juga menjadi sumber terjadinya stres (distress). Meningkatnya
persaingan di antara organisasi, menjadi tantangan bagi organisasi untuk
menjadi lebih profesional. Hal ini akan menyebabkan banyak karyawan akan
bekerja dalam kapasitas yang tidak optimal. Karyawan dengan tingkat
kompensasi tinggi akan merasakan distress yang tinggi, karena penugasan
yang diterima menjadi membosankan dan tidak menantang.
Handoko (1992:201) memerinci faktor-faktor stressor intern (on-the-job
stress), yang ada di dalam perusahaan antara lain:
a. Beban kerja yang berlebihan.
b. Tekanan atau desakan waktu.
c. Kualitas supervisi yang kurang baik.
d. Iklim kerja yang kurang aman.
e. Umpan balik tentang pelasanaan kerja yang tidak memadai.
f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab.
g. Kemenduaan peran (role ambiguitas).
h. Konflik antar pribadi dan antar kelompok (tim).
i. Berbagai bentuk perusahaan yang terjadi di perusahaan.
Ditambahkan oleh Hasibuan (1992:225), yang termasuk stressor intern
juga: sikap pimpinan yang kurang adil, peralatan atau fasilitas kerja yang kurang
memadai, balas jasa (gaji dan tunjangan kesejahteraan) yang kurang memadai.
2. Stressor Ekstern
Stressor ekstern (off-the-job stressor), yaitu penyebab stres yang berasal
dari luar lingkungan pekerjaan tempat karyawan bekerja (Handoko, 1992:201).
Menurut Handoko (1992:201) dan Hasibuan (1995:225), stressor ekstern
meliputi antara lain:
Universitas Kristen Petra
12
a. Kekuatiran finansial.
b. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak.
c. Masalah-masalah phisik (kesehatan).
d. Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian).
e. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal.
f. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian anak, saudara.
Widyantoro (2001:54) menjelaskan, bahwa suatu kondisi yang membuat
stres seorang karyawan, belum tentu akan dapat membuat stres karyawan lainnya.
Demikian juga, konflik yang terjadi di antara sesama karyawan mungkin akan
menimbulkan stres pada salah seorang karyawan, sedangkan yang lainnya tidak
mengalaminya.
2.1.1.5. Reaksi Orang terhadap Stres
Orang-orang mempunyai toleransi yang berbeda terhadap berbagai situasi
stres. Banyak orang mudah sedih hanya karena menghadapi peristiwa ringan. Di lain
pihak, banyak orang lain yang dingin dan tenang (calm) menghadapi masalah,
terutama karena mereka mempunyai kepercayaan dari atas kemampuannya untuk
menghadapi stres.
Menurut Handoko (1992:203), berdasarkan reaksi terhadap situasi stres, tipe
orang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tipe A dan tipe B, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Orang-Orang Tipe A
Orang-orang tipe A adalah orang-orang yang agresif dan
kompetitif, menetapkan standar-standar tinggi dan menempatkan diri di
bawah tekanan waktu yang ajeg (konstan). Giat dalam kegiatan-kegiatan
olah raga yang bersifat rekreasi dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Orang
tipe A sering tidak menyadari bahwa banyak tekanan yang dirasakan lebih
disebabkan oleh perbuatannya sendiri dari pada lingkungan, karena mereka
merasakan tingkat stres yang ajeg. Gangguan phisik yang sering dialamai
oleh orang-orang tipe A akibat stres, seperti serangan jantung, penyakit
lever, dan sejenisnya.
Universitas Kristen Petra
13
2. Orang-Orang Tipe B
Orang-orang tipe B adalah orang lebih rileks dan tidak suka
menghadapi ‘masalah’ atau ‘ easygoing’. Mereka menerima situasi-situasi
yang ada dan bekerja di dalamnya, serta tidak senang bersaing. Orang-
orang tipe B terutama rileks dalam kaitannya dengan tekanan waktu,
sehingga mereka lebih kecil kemungkinannya untuk menghadapi masalah-
masalah yang berhubungan dengan stres.
Di samping itu, orang-orang juga mempunyai perbedaan dalam memulihkan
kondisi dari situasi stres. Ada orang-orang yang dengan mudah dan cepat pulih
kembali, tetapi banyak orang sulit melupakan dan melepaskan diri dari situasi yang
baru saja dialami. Orang-orang terakhir inilah yang harus diperhatikan oleh
departemen sumber daya manusia (Handoko, 1992:203).
2.1.1.6. Cara Menanggulangi Stres Karyawan
Kebanyakan pimpinan organisasi memandang dirinya sebagai seorang
delegator yang efektif, tetapi sering perilakunya mencerminkan tindakan yang
sebaliknya, yang dapat menimbulkan distress (stres negatif) bagi karyawan, seperti
membatasi otoritas karyawan, pendelegasian tugas yang tidak jelas, dan penugasan-
penugasan yang tidak menantang (Widyantoro, 2001:57). Hal ini apabila dibiarkan
terus-menerus terjadi, akan berakibat negatif terhadap prestasi kerja. Itulah sebabnya,
departemen sumber daya manusia harus berusaha mengurangi stres
karyawan.
Secara konseptual Widyantoro (2001:57) menawarkan solusi untuk
mengurangi stres karyawan, yaitu dengan jalan menciptakan eustress (stres positif),
yang dapat menciptakan tantangan dan menjadi faktor motivator bagi karyawan
untuk selalu meningkatkan kemampuan. Langkah-langkah yang ditawarkan untuk
menciptakan eustres atau mengurangi stres di tempat kerja, yaitu:
1. Sesuaikan kemampuan karyawan dengan suatu tugas yang sesuai
Pimpinan organisasi (perusahaan) seharusnya memulai dengan
mendelegasikan suatu tugas yang sesuai dengan persiapan dan kemampuan
karyawan, jika karyawan telah membuktikan kemampuaannya, baru
kemudian ditambahkan tugas-tugas lain yang lebih kompleks.
Universitas Kristen Petra
14
2. Yakinkan bahwa batasan kewenangan sebanding dengan besarnya tanggung
jawab
Pimpinan organisasi (perusahaan) seringkali ingin mempertahankan
kewenangan dan tanggung jawab yang dimiliki. Oleh karena itu, harus
dapat didefinisikan secara jelas batasan kewenangan pembuatan keputusan
pada masing-masing bawahan, sehingga mereka dapat melaksanakan
tugasnya tanpa merasa bersalah, karena melampaui kewenangan yang
dimiliki.
3. Pemberian tugas yang jelas
Pimpinan organisasi (perusahaan) harus memberikan tugas kepada
karyawan sesuai dengan deskripsi tugas yang telah ditetapkan. Apabila,
pimpinan ingin menambah beban kerja karyawan, maka terlebih dahulu
pekerjaan didesain ulang, dan hasil desain tersebut harus dikomunikasikan
kepada karyawan yang bersangkutan, untuk mempertanyakan kesiapannya.
Handoko (1992:203-204) secara sistematis mengusulkan beberapa alternatif
yang dapat digunakan untuk mengurangi stres karyawan, yaitu:
1. Memindahkan karyawan ke tempat pekerjaan lain (transfer).
2. Mengganti penyelia yang berbeda.
3. Menyediakan lingkungan kerja yang baru.
4. Memberikan pelatihan dan pengembangan karier agar karyawan mampu
melaksanakan pekerjaan yang baru.
5. Merancang kembali pekerjaan-pekerjaan, sehingga karyawan mempunyai
pilihan keputusan lebih banyak dan wewenang untuk melaksanakan
tanggung jawab. Desain pekerjaan juga dapat mengurangi beban kerja,
tekanan waktu dan kemenduaan peranan (role ambiguity).
6. Menerapkan komunikasi dua arah untuk memberikan umpan balik
pelaksanaan kerja dan partisipasi karyawan dapat ditingkatkan.
7. Pelayanan konseling.
Keberhasilan mengatasi stres kuncinya terletak di tangan pimpinan
organisasi atau perusahaan. Widyantoro (2001:58) menyatakan bahwa:
Kunci dari semua cara untuk mengatasi stres berada di tangan pimpinan
perusahaan. Atasan langsung maupun atasan yang lebih tinggi sebagai pembuat
Universitas Kristen Petra
15
kebijakan dalam organisasi harus mempunyai kemauan untuk memberikan
stimuli (rangsangan) yang dapat mencorong terciptanya eustress, sehingga akan
dapat memotivasi karyawan untuk meningkatkan prestasi kerjanya.
Jadi, peranan manajemen puncak sangat menentukan keberhasilan dalam
mengeliminir stres yang ada pada karyawan, terutama stressor yang ada di
lingkungan perusahaan.
2.1.1.7. Konseling Stres Karyawan
Pelayanan konseling, merupakan cara yang paling efektif untuk membantu
para karyawan mengadapi stres. Menurut Hasibuan (1995:225), “Konseling adalah
pembahasan suatu masalah dengan seorang karyawan, dengan maksud pokok untuk
membantu karyawan tersebut, agar dapat mengatasi masalah secara lebih baik.”
Konseling bertujuan untuk membuat orang-orang menjadi lebih efektif dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Menurut Handoko (1992:204-205), pengertian konseling menyangkut
sejumlah karakteristik yang membuat kegiatan ini berguna dalam departemen sumber
daya manusia, yaitu:
1. Kegiatan konseling memerlukan dua orang, orang yang membimbing
(counselor) dan orang yang dibimbing (counselee). Pertukaran gagasan
keduanya menciptakan hubungan konseling, dan oleh karena itu konseling
merupakan suatu kegiatan komunikasi.
2. Konseling dapat memperbaiki prestasi kerja organisasi, karena karyawan
menjadi lebih kooperatif, berkurang kekuatirannya terhadap masalah-
masalah pribadi atau berkurang kesedihan emosionalnya, atau membuat
kemajuan di bidang tertentu.
3. Konseling bisa dilaksanakan, baik oleh para profesional maupun bukan
profesional.
4. Konseling biasanya bersifat rahasia agar para karyawan merasa bebas untuk
mengemukakan berbagai masalah secara bebas.
5. Konseling mencakup, baik masalah-masalah pribadi maupun pekerjaan,
karena kedua tipe masalah tersebut bisa mempengaruhi prestasi kerja
karyawan.
Universitas Kristen Petra
16
2.1.2. Prestasi Kerja
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai pengertian prestasi kerja, penilaian
prestasi kerja, manfaat penilaian prestasi kerja, metode penilaian prestasi kerja, dan
faktor-faktor prestasi kerja karyawan yang dinilai.
2.1.2.1. Pengertian Prestasi Kerja
Salah satu tujuan manajemen SDM, yaitu memberikan saran kepada
manajemen tentang kebijakan manajemen SDM guna memastikan organisasi
memiliki tenaga kerja yang bermotivasi tinggi dan berprestasi (Cushway, 1996:6).
Mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa prestasi kerja
karyawan menjadi prioritas dari aktivitas manajemen SDM. Hal ini dikarenakan,
karyawan yang berprestasi tinggi dapat mengerjakan pekerjaan dengan cepat, dengan
hasil yang baik, dengan waktu yang relatif singkat, disiplin, dapat diandalkan,
mempunyai sikap baik, dan mempunyai potensi untuk maju (Bittel & Newstrom,
1994:218). Perusahaan yang memiliki karyawan berprestasi tinggi, akan dapat
mencapai tujuan dengan mudah dalam memperoleh laba yang optimal seperti yang
ditetapkan. Prestasi menjadi sarana penting untuk mencapai tujuan perusahaan.
Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang karyawan
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan, didasarkan atas kecakapan,
pengalaman, dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan, 1995:105). Pendapat Maier
mengenai prestasi kerja adalah “kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu
pekerjaan” (As'ad, 1995:47). Lebih tegas lagi arti prestasi kerja diungkapkan oleh
Lawler dan Porter, yaitu “succesful role achievement yang diperoleh seseorang dari
perbuatan-perbuatan yang dilakukan” (As'ad, 1995:47).
Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa prestasi kerja
adalah hasil kerja yang dicapai oleh tenaga kerja atau karyawan, yang didasarkan
atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan dan waktu yang diperlukan. Karyawan
dengan prestasi kerja yang baik menjadi keinginan banyak perusahaan untuk
mendukung pencapaian tujuan yang ditetapkan. Dalam realitasnya, tidak semua
karyawan memiliki kinerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan. Hal ini
dikarenakan banyak hal yang harus diperhatikan dalam mendukung prestasi kerja
karyawan, misalnya stres.
Universitas Kristen Petra
17
2.1.2.2. Penilaian Prestasi Kerja
Setiap perusahaan perlu mengambil keputusan, dan keputusan itu akan
semakin tepat apabila informasi yang diperoleh juga tepat. Salah satu cara untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kemampuan karyawan dalam
melaksanakan pekerjaan adalah penilaian prestasi kerja (Panggabean, 2002:66).
Itulah sebabnya, penilaian prestasi kerja itu sendiri harus benar atau obyektif agar
informasi yang diperoleh juga benar dan pengambilan keputusan-keputusan
manajemen selanjutnya juga benar.
Adapun yang dimaksud dengan penilaian prestasi kerja atau performance
appraisal is a formal system of periodic review and evaluation of an individual’s job
performance” (Mondy, Noe, & Premeaux., 1993:394). Maksudnya, penilaian prestasi
kerja adalah sistem pengamatan dan penilaian prestasi individu karyawan secara
periodik atau berkala dan bersifat formal.
Penilaian prestasi kerja adalah suatu proses yang digunakan atasan untuk
menilai apakah seseorang karyawan (bawahan) melakukan pekerjaan sesuai dengan
yang diharapkan (Mangkunegara, 2000:126).
Berdasarkan dua definisi di atas disimpulkan bahwa, penilaian prestasi kerja
adalah suatu proses formal yang digunakan oleh atasan secara periodik untuk menilai
prestasi kerja karyawan yang dipekerjakan, apakah para karyawan sudah melakukan
pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan. Periode penilaian prestasi kerja karyawan
sebaiknya adalah “setahun dua kali” (Bittel & Newstrom, 1994:214). Penilaian
prestasi kerja yang terlalu sering (lebih dari 2 kali dalam setahun), membuat
pimpinan atau atasan akan merasa terganggu oleh kejadian sehari-hari. Sebaliknya,
apabila penilaian prestasi kerja jarang dilakukan, maka atasan (pimpinan) akan
melupakan banyak hal yang sesungguhnya mempengaruhi penilaian.
2.1.2.3. Manfaat Penilaian Prestasi Kerja
Setiap aktivitas manajemen di dalam suatu perusahaan mengandung manfaat
yang dapat diperoleh, demikian halnya dengan aktivitas penilaian prestasi kerja
karyawan. Ada 2 (dua) manfaat dari penilaian prestasi kerja karyawan, yaitu: (1)
Memberikan informasi sebagai dasar promosi dan penetapan gaji. (2) Memberikan
Universitas Kristen Petra
18
satu peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau kembali perilaku yang
berhubungan dengan pekerjaan bawahan (Dessler, 1997:2).
Penilaian prestasi kerja memberi keuntungan, baik kepada para karyawan
maupun kepada perusahaan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bagi para karyawan, dapat menimbulkan perasaan puas. Karyawan merasa
bahwa hasil kerja dinilai oleh perusahaan dengan wajar dan sekaligus
kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri individu karyawan dapat
diketahui.
2. Bagi perusahaan, penilaian prestasi kerja memberikan faedah bagi perusahaan
karena dengan cara ini dapat diwujudkan semboyan ‘orang yang tepat pada
jabatan yang tepat’ (Hasibuan, 1995:101).
Jadi, melalui penilaian prestasi kerja akan dapat diketahui prestasi kerja
karyawan, baik kelebihan maupun kekurangan karyawan. Karyawan yang memiliki
prestasi kerja yang baik, memungkinkan untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih
tinggi, sebaliknya karyawan yang memiliki prestasi kerja kurang baik dapat
diperbaiki dengan cara memindahkan karyawan yang bersangkutan ke bagian
lain yang lebih sesuai dengan kecakapan (keahlian) karyawan, ataupun melalui
pemberian pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan kecakapan dan
keterampilan karyawan.
2.1.2.4. Metode Penilaian Prestasi Kerja Karyawan
Setiap bentuk penilaian membutuhkan suatu metode yang dapat dipakai
sebagai alat yang obyektif, demikian halnya dengan penilaian prestasi kerja.
Ketepatan hasil penilaian prestasi kerja banyak tergantung pada metode yang
digunakan.
Metode penilaian prestasi kerja yang paling banyak digunakan dan memiliki
hasil relatif tepat adalah ‘graphic rating scale’ , yaitu memberikan angka berurutan
dari kecil ke besar atau sebaliknya (Handoko, 1992:143). Pada metode ini, evaluasi
yang dilakukan oleh penilai terhadap prestasi kerja karyawan dengan skala tertentu
dari rendah sampai tinggi atau sebaliknya.
Skala pengukuran dapat menggunakan skala ordinal atau skala interval,
sedangkan metode penyusunan skala dapat menggunakan skala Likert atau skala
Universitas Kristen Petra
19
perbedaan semantik (As’ad, 1995:29). Perolehan angka dari masing -masing jawaban
kuesioner, kemudian dijumlah (total) dan dihitung nilai rata-rata (mean).
Berdasarkan hasil mean tersebut akan dapat interpretasikan prestasi kerja dari setiap
karyawan yang dinilai, apakah baik atau sebaliknya, sehingga pada akhirnya dapat
ditindaklanjuti.
Penilaian prestasi kerja karyawan menggunakan formulir atau blanko isian
untuk materi-materi yang telah ditentukan. Formulir penilaian biasanya diisi oleh
atasan langsung dengan menandai tanggapan yang paling sesuai untuk setiap dimensi
pelaksanaan kerja (Handoko, 1992:144). Atasan langsung (supervisor atau kepala
bagian) ditetapkan sebagai penilai, diasumsikan mengetahui dengan tepat hasil kerja
dan perilaku para karyawan yang dibawahi, walaupun dalam implementasi masih
terdapat unsur subyektivitas. Jadi, yang menilai prestasi kerja karyawan bukan
karyawan yang bersangkutan melainkan atasan, misalnya manajer atau pengawas
(Panggabean, 2002:72).
2.1.2.5. Faktor-Faktor Prestasi Kerja Karyawan yang Dinilai
Dalam usaha menilai prestasi kerja karyawan dengan benar dan obyektif,
pimpinan perusahaan atau atasan perlu mengetahui faktor-faktor prestasi kerja
karyawan yang harus dinilai. Faktor-faktor prestasi kerja yang dinilai,
dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
1. Faktor obyektif, yaitu faktor yang menfokuskan pada fakta yang bersifat nyata
dan hasil-hasil yang dapat diukur, misal kuantitas, kualitas, dan kehadiran.
2. Faktor subyektif, yaitu faktor yang cenderung berupa opini, seperti sikap,
keandalan, dan kreativitas (Bittel & Newstrom, 1994:219).
Lebih jauh Bittel dan Newstrom (1994:223) menjelaskan bahwa penilaian
prestasi kerja atas dua kategori di atas, secara operasional dapat diimplementasikan
melalui sembilan parameter, yaitu:
1. Mutu pekerjaan (kualitas kerja)
Mutu pekerjaan adalah kualitas hasil kerja yang didasarkan pada standar
atau spesifikasi yang ditetapkan. Kualitas pekerjaan mengevaluasi ketepatan,
kelengkapan dan kerapian pekerjaan yang diselesaikan, tanpa melihat/
memperhatikan kuantitas (jumlah).
Universitas Kristen Petra
20
2. Kuantitas pekerjaan
Kualitas pekerjaan adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan karyawan
sesuai dengan waktu kerja yang ada (tersedia). Kuantitas pekerjaan mengevaluasi
jumlah pekerjaan yang dilakukan dan/atau jumlah tugas yang dapat diselesaikan
dalam periode waktu tertentu, tanpa memperhatikan mutu atau kualitas.
3. Keandalan
Keandalan adalah kemampuan memenuhi atau mengikuti instruksi,
inisiatif, hati-hati, kerajinan, dan kerja-sama walaupun tanpa diawasi langsung
oleh atasan atau pimpinan. Keandalan mengevaluasi kemampuan memenuhi
komitmen dan batas waktu dan luasnya penyeliaan (supervisi) yang diperlukan.
4. Sikap
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan seseorang
karyawan terhadap suatu obyek. Sikap mengevaluasi evaluasi atau reaksi umum
karyawan terhadap pekerjaan, teman sekerja, penyeliaan, dan perusahaan.
5. Inisiatif
Inisiatif adalah tindakan korektif yang muncul dalam diri karyawan
apabila melihat permasalahan. Inisiatif mengevaluasi kemampuan karyawan
dalam menangani masalah dan mengambil tindakan korektif, memberikan saran-
saran untuk peningkatan, dan menerima tanggung jawab untuk menyelesaikan
tugas-tugas yang belum diberikan.
6. Kerumahtanggaan (kerajinan)
Kerumahtanggan adalah melakukan pekerjaan dengan tekun walaupun
tanpa diperintah oleh atasan. Kerumahtanggaan mengevaluasi kebersihan dan
ketertataan tempat kerja dan tempat penyimpanan (gudang) serta keadaan lokasi
kerja sesudah selesai bekerja.
7. Kehadiran
Kehadiran adalah keberadaan karyawan di tempat kerja sesuai dengan
waktu atau jam kerja yang telah ditentukan. Kehadiran mengevaluasi kehadiran
dan kemangkiran karyawan dalam suatu periode tertentu.
8. Potensi pertumbuhan dan kemajuan
Potensi pertumbuhan dan kemajuan adalah kemampuan seseorang
karyawan bertumbuh dan mencapai kemajuan. Potensi pertumbuhan dan
Universitas Kristen Petra
21
kemajuan mengevaluasi potensi meningkatkan pengetahuan tentang pekerjaan
dan untuk meningkatkan ke pekerjaan lain dalam bagian atau dalam organisasi.
9. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah suatu bentuk pelaporan kepada atasan dari segala
sesuatu yang telah dikerjakan, yang didasarkan pada tugas dan wewenang yang
diberikan oleh atasan. Tanggung jawab mengevaluasi sejauhmana sesuatu yang
telah dikerjakan bila dibandingkan dengan tugas dan wewenang yang diberikan.
Menurut Richard R. Still dkk. (1977), beberapa faktor yang perlu
dimasukkan untuk mengadakan penilaian karyawan bagian pemasaran/penjualan
antara lain:
1. Kondisi fisik dan mental karyawan.
2. Kerja sama.
3. Pengetahuan tentang produk yang ditawarkan dan kebijaksanaan perusahaan.
4. Suka menjual.
5. Ambisius dan agresif.
6. Merencanakan pekerjaan dan waktu.
7. Memiliki hubungan baik.
8. Berbakat dan kreatif (Swastha & Irawan, 1997:436-437).
Kedelapan faktor di atas secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kondisi fisik dan mental karyawan
Seorang tenaga pemasar/penjualan yang ingin berhasil dalam menjual
produk di pasar hendaknya memiliki kondisi fisik dan mental yang baik. Kondisi
fisik yang baik dapat menunjang aktivitas penjualan yang sangat tinggi
mobilisasinya, sedangkan mental yang baik dibutuhkan untuk mendukung
pembawaan tenaga penjualan yang harus dapat menyakinkan calon konsumen dan
tidak kenal putus asa.
2. Kerja sama
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya mampu menjalin kerja sama (cooperating) yang baik dengan
teman sekerja atau teman seprofesi. Dengan kerja sama yang baik, maka
tambahan informasi-informasi prospek akan mudah diperoleh ketika tenaga
Universitas Kristen Petra
22
penjualan sedang membutuhkannya, sedangkan adanya kesulitan-kesulitan dalam
menutup transaksi (clossing) dapat diatasi bersama-sama.
3. Pengetahuan tentang produk yang ditawarkan dan kebijaksanaan perusahaan
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai mengenai produk yang
dijualnya demikian juga dengan pengetahuan kebijaksanaan perusahaan yang
berlaku. Hal ini sangat dibutuhkan apabila calon konsumen menanyakan tentang
karakteristik produk dan keunggulannya serta sistem penjualan yang diterapkan
perusahaan, berikut pelayanan purna jual.
4. Suka menjual
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya memiliki perasaan suka atau hobby dalam menjual. Tenaga
penjualan yang memiliki hobby dalam menjual, maka dalam menjalankan tugas
penjualannya sehari-hari akan dihadapi dengan senang hati tanpa ada beban yang
berarti.
5. Ambisius dan agresif
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya memiliki ambisi dan berperilaku agresif. Ambisi adalah hasrat
yang kuat untuk mencapai tujuan, yaitu tujuan untuk berhasil dalam menjual
produk. Sedangkan agresif adalah bernafsu dalam menyerang prospek dan tak
kenal putus asa sebelum berhasil.
6. Merencanakan pekerjaan dan waktu
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya dapat membuat perencanaan (planning) pekerjaan dengan baik,
demikian halnya dengan perencanaan waktu. Sebelum memulai kerja, maka
segala sesuatu harus direncanakan dengan baik, kemudian diorganizing,
diimplementasikan atau dioperasionalkan, dan pada sore hari atau akhir setiap
periode dilakukan kontrol (controlling) atas segala aktivitas yang telah
dikerjakan.
7. Memiliki hubungan baik
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya memiliki hubungan yang baik dan luas. Tenaga penjualan
Universitas Kristen Petra
23
berhadapan dengan banyak anggota masyarakat dengan berbagai tingkat
pendidikan dan sosial-ekonomi. Siapapun tenaga penjual harus dapat menjalin
komunikasi dua arah, karena setiap individu yang dihargai akan memberikan
kontribusi positif bagi tenaga penjual di waktu-waktu yang datang.
8. Berbakat dan kreatif
Seorang tenaga penjualan yang ingin berhasil dalam menjual produk di
pasar hendaknya memiliki bakat dan kreatif. Bakat adalah sesuatu ketrampilan
yang sudah ada di dalam diri manusia ketika dilahirkan. Bakat menjual berarti
memiliki ketrampilan menjual yang sudah ada di dalam jiwa seseorang, sehingga
tidak terlampau sulit bagi tenaga penjualan untuk meyakinkan seseorang
(prospek) akan produk yang ditawarkan agar bersedia membelinya. Sedangkan
kreatif adalah mempunyai kemampuan untuk mencipta atau banyak akal. Hal ini
sangat dibutuhkan apabila tenaga penjual menghadapi banyak masalah yang tak
kunjung dapat dipecahkan. Tenaga penjualan yang kreatif akan mampu mencari
jalan keluar atau memecahkan masalah dengan kemampuan daya pikirnya.
2.2. Kaitan antar Konsep: Hubungan Stres dengan Prestasi Kerja Karyawan
Stres kerja sebagai suatu kondisi yang timbul karena adanya interaksi antara
individu dan pekerjaan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam diri individu
yang mendorong individu melakukan penyimpangan (tidak dapat berfungsi secara
normal) (Widyantoro, 2001:55).
Stres dibedakan menjadi dua, yaitu stres positif (eustress) dan stres negatif
(distress) atau yang lazim disebut stres saja (Widyantoro, 2001:56). Stres positif
menawarkan perolehan yang potensial, sedangkan stres negatif (distress) seringkali
menghasilkan perilaku karyawan yang disfungsional, seperti sering melakukan
kesalahan, moral yang rendah, bersikap masa bodoh, dan absen kerja tanpa alasan
(Widyantoro, 2001:56). Orang yang mengalami stres juga juga tidak dapat rileks dan
bersikap tidak kooperatif, sehingga tidak dapat bekerja seperti yang diharapkan
perusahaan (Handoko, 1992:200; Hasibuan, 1995:224). Hubungan stres dengan
prestasi kerja karyawan dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 di halaman berikut
ini.
Universitas Kristen Petra
24
Gambar 2.1. Model Hubungan Stres – Prestasi Kerja
2.3.
Gambar 2.1. Model Hubungan Stres dengan Prestasi Kerja Sumber: Handoko (1992:202).
Gambar 2.1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam kondisi tidak
ada stres, tantangan-tantangan kerja juag tidak ada, dan prestasi kerja karyawan
cenderung rendah. Sejalan dengan meningkatnya stres, prestasi kerja karyawan
cenderung naik, karena stres membantu karyawan untuk mengerahkan segala sumber
daya dalam memenuhi berbagai bersyaratan atau kebutuhan kerja. Adalah suatu
rangsangan sehat untuk mendorong para karyawan agar memberikan tanggapan
terhadap tantangan-tantangan pekerjaan. Stres apabila telah mencapai “puncak”
(optimum stres), maka kemampuan pelaksanaan kerja (prestasi kerja) karyawan
berada pada posisi yang tinggi. Penambahan stres setelah optimum stres, dapat
menurunkan prestasi kerja karyawan. Stres semakin bertambah tinggi, maka prestasi
kerja semakin menurun. Hal ini dikarenakan stres tidak lagi sebagai motivator dalam
mengerahkan segala sumber daya, melainkan sebagai beban psikologis dan phisik
yang dapat menggangu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan
untuk mengendalikan-nya, menjadi tidak mampu untuk bekerja dengan baik,
mengambil keputusan-keputusan dengan benar, dan perilakunya menjadi tidak
teratur. Akibat paling ekstrim, adalah prestasi kerja menjadi nol, karena karyawan
menjadi sakit atau tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau melarikan diri dari
pekerjaan dan mungkin diberhentikan.
Tinggi Optimum Stres Prestasi Kerja Rendah Rendah Stres Tinggi
Universitas Kristen Petra
25
2.3. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara atas masalah yang ada, yang harus diuji
kebenarannya (Arcana, 1996:66).
1. Berdasarkan fenomena bahwa volume penjualan yang ditetapkan P.T. Waxco
Pratama di Surabaya selama kurun waktu 5 semester terakhir (semester II/2002-
II/2004) menurun. Prestasi penjualan karyawan bagian pemasaran rendah, maka
diajukan hipotesis:
H1: Tingkat prestasi kerja karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco Pratama di
Surabaya adalah rendah.
2. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa karyawan bagian pemasaran, dan
teori mengenai penyebab stres yang terdiri stressor intern dan stressor ekstern
(Hasibuan, 1992:200), maka diajukan hipotesis:
Pengaruh Stres terhadap Prestasi Kerja 1. Positif, karena stres dianggap sebagai motivator karyawan 2. Negatif, karena stres melebihi kemampuan psikologi karyawan
Prestasi Kerja Karyawan
Stres
Penyebab Stres: Stressor Internal Penyebab Stres: Stressor Eksternal
Indikasi Stres
Universitas Kristen Petra
26
H2: Tingkat stres karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco Pratama di Surabaya,
ditinjau dari stressor intern dan stressor ekstern adalah tinggi.
3. Penyebab stres adalah stressor intern dan stressor ekstern (Hasibuan, 1992:200).
Orang yang mengalamai stres tidak dapat rileks dan bersikap tidak kooperatif,
sehingga tidak dapat bekerja seperti yang diharapkan perusahaan (Handoko,
1992:200; Hasibuan, 1995:224). Berdasarkan kedua pendapat di atas maka
diajukan hipotesis:
H3: Terdapat hubungan kuat antara stressor intern dan stressor ekstern secara
simultan dengan prestasi kerja karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco
Pratama di Surabaya.
H4: Kontribusi stressor intern dan stressor ekstern secara simultan terhadap
prestasi kerja karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco Pratama di Surabaya
adalah relatif besar.
H5: Terdapat hubungan negatif antara stressor intern secara parsial dengan
prestasi kerja karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco Pratama di
Surabaya.
H6: Terdapat hubungan negatif antara stressor ekstern secara parsial dengan
prestasi kerja karyawan bagian pemasaran P.T. Waxco Pratama di
Surabaya.