Bab II Tinjauan Pustaka_2

23
5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sestoda (cacing pita) Mula-mula sestoda dianggap sebagai suatu koloni organisme yang beranggota segmen-segmen atau ruas-ruas (proglotida) sebagai individu yang masing-masing dilengkapi dengan seperangkat organ reproduksi jantan maupun betina. Sejak diketahuinya bahwa sestoda memiliki siklus hidup kompleks dengan beberapa stadium perkembangan maka dikenal dua kelompok besar sestoda yaitu cacing pita sejati (bentuk sestoda, sebagian besar polyzoic) dan cacing pita tidak sejati (bentuk sestodarian, monozoic). Istilah maupun pengelompokan antara sestoda dan sestodarian mengalami beberapa perubahan klasifikasi seiring dengan berjalannya waktu (Yamaguti 1959; Wardle & McLeod 1952). Pada kurun waktu dua puluh tahun kemudian, beberapa taksonom sestoda membuat revisi klasifikasi terutama pada tingkat famili dan genus, dari 14 ordo (Khalil et al. 1994) diantaranya adalah ordo Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Beberapa spesies dalam kedua ordo tersebut merupakan sestoda parasitik pada unggas dan mamalia. Oleh karena itu penjelasan morfologi dan siklus hidup pada tulisan ini lebih ditekankan pada kedua kelompok ini. 2.1.1 Morfologi Ciri umum Cyclophyllidea bertubuh pipih panjang, beruas-ruas, biasanya berwarna putih susu dalam keadaan hidup. Karakter sestoda yang paling menonjol adalah tidak adanya usus. Oleh karena itu penyerapan nutrisinya berlangsung melalui seluruh permukaan tubuhnya yang disebut tegumen. Di bawah lapisan tegumen terdapat beberapa lapisan otot yang menunjang aktivitas gerakannya. Seluruh organ terletak di dalam lapisan paling dalam berupa sel-sel parensim. Sistem syaraf pusat yang disebut cincin rostelar terletak di skoleks berupa pasangan ganglia yang menginervasi sepanjang strobila melalui syaraf longitudinal posterior dan anterior. Sistem ekskretori meliputi sel-sel api yang tersebar dalam parensim.

description

21

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka_2

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka_2

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sestoda (cacing pita)

Mula-mula sestoda dianggap sebagai suatu koloni organisme yang

beranggota segmen-segmen atau ruas-ruas (proglotida) sebagai individu yang

masing-masing dilengkapi dengan seperangkat organ reproduksi jantan maupun

betina. Sejak diketahuinya bahwa sestoda memiliki siklus hidup kompleks dengan

beberapa stadium perkembangan maka dikenal dua kelompok besar sestoda yaitu

cacing pita sejati (bentuk sestoda, sebagian besar polyzoic) dan cacing pita tidak

sejati (bentuk sestodarian, monozoic). Istilah maupun pengelompokan antara

sestoda dan sestodarian mengalami beberapa perubahan klasifikasi seiring dengan

berjalannya waktu (Yamaguti 1959; Wardle & McLeod 1952). Pada kurun waktu

dua puluh tahun kemudian, beberapa taksonom sestoda membuat revisi klasifikasi

terutama pada tingkat famili dan genus, dari 14 ordo (Khalil et al. 1994)

diantaranya adalah ordo Pseudophyllidea dan Cyclophyllidea. Beberapa spesies

dalam kedua ordo tersebut merupakan sestoda parasitik pada unggas dan mamalia.

Oleh karena itu penjelasan morfologi dan siklus hidup pada tulisan ini lebih

ditekankan pada kedua kelompok ini.

2.1.1 Morfologi

Ciri umum Cyclophyllidea bertubuh pipih panjang, beruas-ruas, biasanya

berwarna putih susu dalam keadaan hidup. Karakter sestoda yang paling menonjol

adalah tidak adanya usus. Oleh karena itu penyerapan nutrisinya berlangsung

melalui seluruh permukaan tubuhnya yang disebut tegumen. Di bawah lapisan

tegumen terdapat beberapa lapisan otot yang menunjang aktivitas gerakannya.

Seluruh organ terletak di dalam lapisan paling dalam berupa sel-sel parensim.

Sistem syaraf pusat yang disebut cincin rostelar terletak di skoleks berupa

pasangan ganglia yang menginervasi sepanjang strobila melalui syaraf

longitudinal posterior dan anterior. Sistem ekskretori meliputi sel-sel api yang

tersebar dalam parensim.

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka_2

6

Panjang tubuh sestoda bervariasi, dari beberapa milimeter hingga beberapa

meter. Bagian-bagian tubuh terdiri dari skoleks, leher, dan strobila. Skoleks

adalah bagian tubuh yang menempel pada mukosa usus inang sebagai habitatnya,

terletak di bagian anterior tubuh. Oleh karena itu dilengkapi dengan dua atau

empat batil hisap dengan ciri khas masing-masing jenis cacingnya. Pada

umumnya batil hisap yang berjumlah empat (acetabula) berbentuk mirip setengah

bola, yaitu masing-masing dua terletak di bagian dorsal dan ventral tubuh,

didukung oleh muskular yang kuat dan kadang-kadang juga terdapat deretan kait

(hook) untuk menempel. Struktur organ apikal pada ordo Cyclophyllidea disebut

rostelum. Rostelum ini dapat disembulkan atau ditarik dari dan ke dalam kantung

rostelar (protrusible), menyerupai bentuk kubah di ujung apikal skoleks, kadang-

kadang dilengkapi dengan deretan kait. Kait-kait rostelum digunakan untuk

memfiksir ketika melakukan penetrasi jauh ke dalam mukosa usus inang.

Leher adalah bagian sangat sempit dan pendek di antara skoleks dan

strobila yang mengandung sel kecambah, dan merupakan zona proliferatif yang

membentuk rantai proglotida. Strobila adalah bagian tubuh sestoda paling besar

berupa rantai proglotida yang tersusun secara linier. Pertumbuhan proglotida

terjadi secara bertahap dan kontinyu selama kelangsungan hidupnya dalam tubuh

inang definitif. Pada proglotida yang baru tumbuh belum terjadi diferensiasi sel,

sehingga berukuran lebih pendek dan sempit dibandingkan dengan yang tumbuh

lebih dahulu. Berlanjut dengan pertumbuhan proglotida berikutnya akan

mendorong proglotida sebelumnya kearah posterior. Secara bersamaan juga

terjadi pertumbuhan menjadi lebih besar ukurannya dan perkembangan organ

reproduksi yang berangsur-angsur menjadi dewasa sampai gravid. Satu individu

sestoda yang tumbuh normal memiliki tiga stadium perkembangan proglotida

yaitu proglotida muda (immature), dewasa (mature), dan matang (gravid).

Morfologi proglotida dewasa digunakan sebagai sebagian kriteria pengenalan

jenis-jenis sestoda.

Organ reproduksi jantan terdiri atas testes yang berjumlah satu atau lebih

hingga ratusan menurut jenis sestoda. Setiap butir testes dihubungkan melalui

saluran kecil (vas efferens) menuju saluran yang lebih besar (vas deferens) sebagai

tempat transportasi sperma menuju organ kopulatoris (cirrus) yang biasanya

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka_2

7

terbungkus oleh kantung sirus (cirrus pouch). Sistem organ reproduksi betina

terdiri dari ovarium, vitelaria, ootipe, uterus, vagina, reseptakulum seminalis, dan

saluran-saluran yang menghubungkan diantaranya. Bentuk, ukuran, dan letak

ovarium bervariasi menurut jenis sestoda. Setelah mengalami proses pematangan,

telur muda selanjutnya keluar dari ootipe menuju uterus hingga berkembang

menjadi telur yang matang dan siap dibebaskan bersama-sama dengan proglotida

gravid. Ketika dikeluarkan dari tubuh inang definitif biasanya telur telah

berembrio yang disebut onkosfer. Onkosfer berbentuk bulat atau lonjong, simetris

bilateral, dan dipersenjatai dengan tiga pasang kait (hooks). Stadium sejak

onkosfer bebas dari proglotida gravid sampai menjadi larva infektif dalam tubuh

inang antara disebut metasestoda (Noble et al. 1989). Telah dikenal beberapa tipe

metasestoda yang berbeda dalam ukuran, adanya gelembung yang berisi cairan

atau dalam bentuk padat yang mengandung protoskoleks dalam jumlah tertentu.

Beberapa tipe metasestoda yang umum dikenal adalah proserkoid, pleroserkoid,

sistiserkoid, sistiserkus, koenurus, dan hidatida. Sistiserkoid adalah tipe

metasestoda yang ditemukan dalam rongga tubuh serangga inang antara yang

memiliki ciri protoskoleks tunggal dengan posisi evaginasi, dan gelembung padat

(kadang-kadang disertai dengan serkomer) (Soulsby 1982; Wardle & McLeod

1951).

2.1.2 Siklus hidup

Siklus hidup sestoda meliputi tiga stadium perkembangan yaitu cacing

dewasa (sestoda), telur (onkosfer), dan larva (metasestoda) (Gambar 1). Stadium

sestoda adalah stadium parasitik dalam usus halus vertebrata sebagai inang

definitif. Stadium telur merupakan stadium bebas dengan catatan sebelum

onkosfer atau embrio dalam telur infektif teraktivasi untuk siklus berikutnya.

Stadium metasestoda adalah stadium larva parasitik yang bersifat non-aktif dalam

berbagai jaringan hewan vertebrata atau rongga tubuh invertebrata sebagai inang

antara. Jaringan yang tersusun dari sel-sel germinatif, dan asesori jaringan

lainnya, serta protoskoleks merupakan bagian-bagian metasestoda yang sangat

menentukan perkembangan berikutnya. Dari segi morfologi metasestoda memiliki

tipe-tipe yang unik tergantung dari jenis cacing dan inang antaranya. Sestoda

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka_2

8

Gambar 1 Siklus hidup sestoda ayam. A. Inang antara dimakan ayam.

B. Proglotida gravid keluar melalui anus. C. Proglotida gravid dimakan inang antara. a Lumen usus inang antara. b Onkosfer. c Lumen usus inang definitif. d Sistiserkoid. e Sestoda dewasa. f Destrobilisasi proglotida gravid (Modifikasi: Calentine 1985, Dunford & Kaufman 2006; Schwartz 1994; Moorman 2004).

memerlukan sekurang-kurangnya dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu inang

antara sebagai habitat berkembang metasestoda yang infektif bagi inang definitif.

Inang definitif adalah habitat sestoda dewasa yang menghasilkan telur. Rantai

makanan merupakan faktor utama dalam transmisi sestoda. Oleh karena itu

kelangsungan hidup jenis sestoda apapun pada suatu tempat tertentu ditunjang

oleh adanya peran dan perilaku dua inang yang umumnya berhubungan erat secara

ekologik. Sejumlah besar telur yang bebas maupun yang tetap berada dalam

proglotida gravid adalah sumber infeksi yang sangat potensial di lingkungan luar

inang. Proglotida gravid lepas (destrobilisasi) secara tunggal atau dalam bentuk

rantai dari rangkaian strobila dan secara aktif atau pasif keluar bersama-sama tinja

inang. Telah dibuktikan bahwa sepanjang 25% posterior strobila bersifat infektif

terhadap inang antara maupun inang definitifnya (Retnani et al. 1993; 1995).

A

B

a b

c

d

e

f C

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka_2

9

Ayam terinfeksi merupakan sumber infeksi bagi serangga inang antara di

lingkungan peternakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah

telur/proglotida gravid adalah populasi ayam terinfeksi, derajat infeksi setiap ekor

ayam, serta status kekebalan inang (Kano & Ito 1983; Wakelin 1984; Sukhideo &

Mettrick 1987). Gray (1972a; 1973) dalam: Kennedy (1975) mengamati

penglepasan proglotida pada ayam yang diinfeksi 100 ekor sistiserkoid

Raillietina cesticillus. Pada hari ke 28 hingga hari ke 70 setelah infeksi terjadi

destrobilisasi terus-menerus namun skoleks persisten. Pengamatan pada hari ke 20

sebanyak 120-200 proglotida keluar/ayam/hari, berikutnya pada hari ke 39 jumlah

yang dikeluarkan menurun perlahan hingga skoleks mulai gugur pada hari ke 56.

Penelitian tersebut juga mengamati manifestasi respon kebal ayam terhadap

infeksi R. cesticillus yaitu terjadi penurunan pemapanan (establishment) dan

pertumbuhan, destrobilisasi dan gugurnya skoleks berlangsung lebih cepat.

Kinetik pembentukan, pematangan, dan periodisasi penglepasan proglotida gravid

telah dipelajari pada jenis sestoda mamalia yaitu Taenia (Silverman 1954) dan

Hymenolepis (Kumazawa & Suzuki 1982). Proglotidisasi, pematangan, dan

penglepasan proglotida tidak konstan selama proses perkembangan sestoda

(Silverman 1954; Kumazawa & Suzuki 1982) dan tidak semua telur di dalamnya

fertil (Silverman 1954; Loos-Frank 1987). Proporsi proglotida dewasa:gravid

pada individu sestoda berubah menurut penurunan laju proglotidisai dan

bertambahnya umur cacing. Setelah perkembangan maksimum dicapai, laju

proglotidisasi berangsur menurun namun kecepatan diferensiasi tetap sama

(Kumazawa & Suzuki 1982).

Pembebasan telur dari proglotida gravid dapat terjadi melalui beberapa

mekanisme. Proglotida gravid segera berdegenerasi setelah lepas dari strobila

(apolisis) kemudian telur di dalamnya bebas. Kemungkinan lain proglotida gravid

aktif merayap sebelum membebaskan telurnya (euapolisis). Mekanisme keluarnya

telur pada euapolisis tidak dijelaskan, namun mirip yang yang diuraikan oleh

Soulsby (1982), terbentuk suatu lubang thysanus pada uterus setelah destrobilisasi

dan telur akan keluar dengan bantuan aktivitas muskuler proglotida. Hiperapolisis

terjadi pada proglotida gravid yang perkembangannya belum sempurna namun

prosesnya tetap berlangsung hingga matang walaupun telah destrobilisasi

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka_2

10

(Pintner 1913 dalam: Wardle & McLeod 1951). Pseudoapolisis terjadi pada

kelompok sestoda yang memiliki porus uteri. Telur yang telah matang dikeluarkan

melalui porus uteri ketika cacing masih berada dalam usus inang tanpa

destrobilisasi terlebih dahulu kecuali setelah uterusnya relatif kosong.

Siklus berikutnya adalah tertelannya telur sestoda oleh inang antara

kemudian menetas di dalam usus membebaskan onkosfer. Aktivasi penetasan

dipengaruhi oleh aktivitas muskular untuk menggerakkan kait-kait embrio secara

mekanik merobek lapisan dinding telur. Mekanisme penetasan ini juga

dipengaruhi secara kimiawi, umumnya reaksi ensimatik baik yang berasal dari

inang antara maupun parasit itu sendiri (Silverman 1954; Smyth & McManus

1989; Read et al. 1951; Heyneman 1959). Onkosfer yang telah bebas akan

melakukan penetrasi ke dalam mukosa usus inang antara kemudian bermigrasi

melalui sistem sirkulasi disertai perkembangan yang progresif hingga menjadi

larva infektif bagi inang definitif. Tempat terakhir larva infektif adalah jaringan

organ atau bagian tubuh lainnya pada inang antara vertebrata atau rongga tubuh

inang antara invertebrata. Kelangsungan hidup selanjutnya adalah transmisi pasif

melalui inang definitif yang menelan jaringan/organ inang antara yang

mengandung metasestoda. Seperti halnya proses penetasan telurnya, faktor-faktor

fisikokimiawi yang khas pada setiap jenis inang definitif akan mempengaruhi

keberhasilan evaginasi protoskoleks metasestoda (ekskistasi) hingga menempel

pada mukosa usus, proglotidisasi, tumbuh dan berkembang menjadi sestoda

dewasa.

2.2 Sestoda Parasitik pada Ayam Ternak

2.2.1 Jenis-jenis sestoda

Sekurang-kurangnya 10 famili sestoda diketahui dapat menginfeksi

berbagai jenis unggas (Wardle & McLeod 1952; Yamaguti 1959). Telah dikenal

sekitar 1400 spesies sestoda menginfeksi unggas liar maupun domestik (Junker &

Boomker 2007). Sestoda yang sering ditemukan pada ayam ternak tergolong

dalam famili Davaineidae, Paruterinidae, Dilepididae, dan Hymenolepididae

(Tabel 1). Spesies dari Famili Anoplocephalidae pernah ditemukan pada burung

merpati (Dehlawi 2006). Telah dilaporkan 10 genus, diantaranya Raillietina dari

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka_2

11

Tabel 1 Spesies sestoda yang umum ditemukan pada ayam ternak.

No Famili Spesies Inang antara

1 Hymenolepididae Hymenolepis carioca Lalat, kumbang

H. cantaniana Kumbang

Fimbriaria fasciolaris Kopepoda

2 Davaineidae Davainea proglottina Siput

Raillietina echinobothrida Semut

R. tetragona Lalat, semut

R. cesticillus Lalat, kumbang

R. magninumida Semut

Cotugnia digonopora Tidak diketahui

3 Dilepididae Choanotaenia infundibulum Lalat, kumbang

Amoebotaenia cuneata Cacing tanah

4 Paruterinidae Metroalisthes lucida Belalang Sumber: Permin & Hansen (1998).

famili Davaineidae paling sering ditemukan dan merupakan sestoda yang dominan

menginfeksi unggas liar maupun piaraan termasuk ayam ternak (Abdelqader et al.

2008; Adang et al. 2008; Ahmed & Sinha et al. 1993; Amr et al. 1988; Hassouni

dan Belghyti 2006; Irungu et al. 2004; Ketaren 1992; Kuney 1997; Kurkure et al.

1998; Luka & Ndams 2007; Magwisha et al. 2002; Mcjunkin et al. 2003;

Mpoame 1995; Muhaerwa et al. 2007; Mungube 2007; Mushi et al. 2000; Poulsen

et al.2000; Samad et al. 1986; Schou et al. 2007; Siahaan 1993; Terregino et al.

1999; Wilson et al. 1994; Yadav & Tandon 1991). Seperti disajikan pada Tabel 1

bahwa kisaran jenis inang antara sestoda ayam cukup luas tergantung pada spesies

sestoda. Serangga adalah jenis inang antara yang lebih dominan berperanan

(Gabrion et al. 1976; Soulsby 1982; Gordon & Whitfield 1984; Merzaakhmedov

1985; Mohammed et al. 1988; Adams 1996; Kuney 1997; Permin & Hansen

1998; O’Callaghan et al. 2003). Proglotida gravid yang keluar bersama tinja ayam

akan tertelan oleh inang antara stadium dewasa atau larva yang cocok, dan

selanjutnya berkembang menjadi larva infektif (sistiserkoid). Ayam terinfeksi

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka_2

12

setelah menelan inang antara yang mengandung sistiserkoid. Diawali dengan

penempelan bagian skoleksnya (attachment) pada mukosa intestin ayam,

selanjutnya tumbuh (proglotidisasi) dan berkembang menjadi cacing pita dewasa.

2.2.2 Patofisiologi infeksi dan gejala klinis

Derajat infeksi ringan oleh nematoda gastrointestinal pada ayam dapat

ditolerir tubuh tanpa mempengaruhi kesehatannya. Sebaliknya jika terinfeksi berat

akan terjadi kompetisi dalam pemenuhan kebutuhan standar nutrisi untuk

kelangsungan hidup inang-parasit (Smith et al. 2005). Dampak yang lain adalah

kelemahan umum dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit

lain (Small 1996). Sebagian besar tulisan menganggap bahwa infeksi oleh sestoda

sangat sedikit mempengaruhi kesehatan hewan bahkan terabaikan. Sejumlah

sestoda yang berukuran besar dapat menyebabkan penyumbatan lumen usus

inang. Variasi spesies sestoda menunjukkan perbedaan patogenitasnya.

Studi yang berkaitan dengan patofisiologi sestodosis secara tepat

khususnya pada unggas masih belum banyak dilaporkan. Ketepatan studi tersebut

mutlak harus didukung oleh infeksi eksperimental, sedangkan selama ini hanya

berdasarkan kajian infeksi alami di lapangan yang merupakan infeksi campuran

baik cacing jenis lain maupun kausa selain cacing. Kesulitannya adalah

beragamnya jenis sestoda yang dapat menginfeksi ayam disertai dengan

kespesifikan inang antaranya. Kerusakan patologis yang umum ditemukan pada

infeksi cacing secara alami adalah enteritis yang bersifat akut sampai kronis

tergantung derajat infeksinya (Fischer & Say 1989). Perlukaan awal oleh infeksi

sestoda karena penempelan skoleks dengan kait-kaitnya baik pada bagian

rostelum maupun batil hisapnya bahkan penetrasi jauh ke dalam kripta mukosa

usus. Davaineidae adalah famili yang dominan menginfeksi ayam. Ciri umum

yang mudah untuk mengenal famili ini adalah adanya kait-kait pada rostellum

maupun batil hisapnya. Infeksi berat oleh kelompok ini menyebabkan peradangan

hemoragis disertai nekrosa mukosa usus, kadang-kadang meninggalkan nodul-

nodul perkejuan yang tampak dari permukaan serosa apabila ayam dinekropsi.

Nodul-nodul intestinal tersebut tampak enam bulan setelah ayam diinfeksi dengan

200 sistiserkoid R. echinobothrida. Perubahan nyata gambaran histopatologi

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka_2

13

akibat infeksi R. echinobothrida adalah enteritis hiperplastik kataral dengan

pembentukan granuloma pada area penempelan skoleks (Nadakal et al. 1973)

terutama pada kasus infeksi berat. Enteritis bisa meluas, diikuti dengan diare,

kurus, gejala paling umum lesu dan nafsu makan menurun. Infeksi oleh tiga ekor

R. tetragona pada ayam petelur berumur tiga minggu menunjukkan adanya lesi di

intestin, fokal erosi pada epitel, enteritis, dan akumulasi limfosit terutama di

sekitar skoleks yang masuk ke dalam lamina propria (Saeed 2007, Salam et al.

2009).

Dari gambaran klinis dan patologinya, sekurang-kurangnya sestodosis

menimbulkan gangguan fungsi penyerapan nutrisi yang dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan, penurunan berat karkas maupun produktivitas termasuk

produksi telur. Defisiensi nutrien terutama protein menyebabkan gangguan

pertahanan tubuh sehingga inang lebih rentan terhadap infeksi. Pada ayam muda

menyebabkan kekerdilan dan kematian tinggi (Dharmendra & Pande 1963 dalam:

Wasito et al. 1994). Infeksi oleh spesies R. echinobothrida menyebabkan

penurunan haemoglobin, hematokrit, jumlah butir sel darah merah, protein serum,

serta peningkatan butir sel darah putih (Samad et al. 1986).

2.2.3 Prevalensi sestodosis pada ayam ternak

Kejadian sestodosis pada unggas banyak dilaporkan dari beberapa wilayah

di Indonesia pada ayam buras yang dipelihara secara tradisional. Selama kurun

waktu lebih dari tiga dasawarsa terakhir prevalensinya mencapai 100%. Pada

tahun 1973 telah dilaporkan tingginya tingkat kejadian sestodosis di beberapa

wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (masing-masing delapan kabupaten)

sebesar 36-100% (Kusumamiharja 1973). Pengamatan pada 216 ekor ayam

kampung di Surabaya terinfeksi sestoda sebanyak 89,35% (Sasmita 1980).

Kejadian yang tinggi di luar Jawa telah dilaporkan oleh Ketaren dan Arif (1988)

yaitu di kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba di Sulawesi

Selatan. Sedangkan kejadian di wilayah Sumatera sebesar 81,72% di Medan

(Siahaan 1993) dan 100% di kecamatan Kotabumi kabupaten Lampung Utara,

Lampung (Inbandiah 1995). Khusus di wilayah Bogor, tingkat kejadian sestodosis

konstan relatif tetap tinggi sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1973 sebesar

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka_2

14

96 % (Kusumamiharja 1973) hingga penelitian-penelitian berikutnya. Susilowati

(1990), He et al. (1991), dan Retnani et al. (2000; 2001) melaporkan dari wilayah

yang sama dengan jumlah kejadian berturut-turut sebesar 91% dan 89,7% (dari 74

ekor ayam kampung) dan 67,49% dari total 168 ekor ayam kampung yang

dikandangkan dan diumbar di pekarangan). Berbagai jenis sestoda yang

menyerang ternak ayam yang dominan di daerah Surabaya, Sulawesi Selatan,

Kota Padang, dan Bogor adalah dari genus Raillietina (Budiarti 1985; Samad et

al. 1986; Ketaren & Arif 1988; Purwati 1989; Suwarti 1992).

Kejadian sestodosis pada ayam ternak dengan sistem pemeliharaan secara

tradisional juga banyak dilaporkan di negara lain. Di negara tetangga Malaysia

sestodosis memiliki prevalensi tertinggi dari infeksi cacing saluran pencernaan

pada 60 ekor ayam Gallus domesticus yang diumbar di beberapa desa di Penang,

Malaysia. Secara kuantitatif R. echinobothrida paling banyak ditemukan namun

prevalensinya sama besarnya dengan R. tetragona yaitu 93,3%, sedangkan jenis

yang lain yaitu H. carioca 70%, dan R. cesticillus 48,33% (Rahman et al. 2009).

Beralih ke negara lain yaitu di wilayah Jordania Utara, 208 ekor ayam betina dan

jantan lokal, terinfeksi Genus Amoebotaenia, Davainea, Raillietina, dan

Hymenolepis dengan kisaran prevalensi paling rendah 1,4% (Davainea) dan

tertinggi 35% (Hymenolepis) (Abdelqader et al. 2008).

Masalah endoparasitosis khususnya kecacingan juga banyak dilaporkan

di berbagai negara Afrika. Total prevalensi sestodosis dari 351 ekor ayam ras

lokal yang dikumpulkan dari pasar hewan Dschang, Kamerun Barat, H. carioca

48,43%, A. cuneata 15,10%, R. tetragona 14,53%, dan H. cantaniana 5,70%

(Mpoame & Agbede 1995). Sebanyak 100 ekor ayam yang dipelihara dengan

sistem umbar di daerah Ghana, Afrika Barat, tingkat prevalensi setiap jenis

sestoda paling tinggi berturut-turut R. echinobothrida 81%, Hymenolepis spp.

66%, R. tetragona 59%, R. cesticillus 12% (Poulsen et al. 2000). Sestodosis di

beberapa kota di Kenya, dari 456 ekor sampel ayam local, 47,53% terinfeksi

cacing pita (Irungu et al. 2004). Demikian pula yang terjadi di Nigeria, 1080 ekor

dibeli dari pasar tradisional di Maiduguri, 56% sestodosis hanya disebabkan oleh

satu Genus Raillietina dengan rincian R. echinobothrida 52,8 %, R. cesticillus

11,3%, R. tetragona 7,4% (Ahmed & Sinha 1993). Demikian pula di Zambia

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka_2

15

Pusat, 125 ekor ayam yang diumbar hanya terinfeksi Raillietina spp. 81,6% (Phiri

et al. 2007). Di wilayah lain hanya ditemukan satu jenis sestoda yaitu R. tetragona

dengan prevalensi 92,5% pada 80 ekor Gallus gallus berumur lebih dari enam

bulan sepanjang musim hujan di Nigeria Timur (Fakae & Nwalusi 2000). Di

Samaru, Zaria Nigeria, 92 ekor sampel ayam lokal Gallus gallus domesticus yang

dipelihara di area pedesaan memiliki prevalensi H. carioca 25%, R. tetragona

23,9%, R. echinobothrida 13,0%, C. infundibulum 10,9%, R. cesticillus 9,8%

(Luka & Ndams 2007). Tingkat kejadian sestodosis pada 200 ekor sampel ayam

potong lokal di Bauch, Nigeria berturut-turut 3,3% dan 8-42% disebabkan oleh

genus Choanotaenia dan Raillietina (Yoriyo et al. 2008). Di Goromonzi,

Zimbabwe, dari 50 ekor ayam muda dan 50 ekor dewasa terinfeksi setoda dengan

masing-masing rasio sebesar 60:68 % (A. cuneata), 62:80% (Hymenolepis spp.),

66:34% (R. echinobothrida), 94:100% (R. tetragona), 50:76% (R. cesticillus)

(Permin et al. 2002). Sampel sejumlah 267 ekor ayam yang dibeli dari pasar

berdasarkan tiga wilayah agro-ekologik yang berbeda di Amhara, Ethiopia,

terinfeksi R. echinobothrida sebesar 25,84%; R. tetragona 45,69%; R. cesticillus

5,62 %; A. sphenoides 40,45%; C. infundibulum 4,49%; D. Proglottina 1,12%

(Eshetu et al. 2001).

Prevalensi masing-masing jenis sestoda bervariasi menurut karakter

agroekologik setiap wilayah. Faktor agro-ekologik yang sama juga dilakukan pada

190 ekor ayam lokal di pusat Ethiopia dengan total prevalensi sestodosis sebesar

86,32% (Ashenafi & Eshetu 2004). Pengamatan endoparasitosis pada ayam pulet

dan dewasa di pedesaan di Morogoro, Tanzania, dilakukan sejak awal dan

sepanjang musim hujan (Magwisha et al. 2002). Gambaran prevalensi

C. infundibulum (15%, 6%); D. proglottida (9%, 2%); R. tetragona (36%, 21%)

lebih tinggi pada ayam pulet. Derajat infeksi R. tetragona tinggi pada pulet.

Berturut-turut dari prevalensi tertinggi yaitu R. echinobothrida (65,3%),

H. cantaniana (53,7%), Amoebotaenia spp. 37,4%, R. tetragona 35,8%,

R. cesticillus 19,0%, dan C. infundibulum 3,2%. Penelitian di lokasi lain yaitu di

daerah Gharb, Maroko, 300 ekor ayam sampel dari 3 desa terinfeksi H. carioca

(3,7%), R. echinobothrida (5%), H. cantaniana (7%), R. tetragona (9,3%), dan

R. cesticillus (12%) (Hassouni & Belghyti 2006).

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka_2

16

Pada umumnya pemeliharaan ayam ras komersial dilakukan dengan cara

moderen. Terdapat anggapan bahwa kecacingan jarang menimbulkan kerugian

pada hewan ternak yang dipelihara dengan sistem moderen (Abebe et al. 1997).

Oleh karena itu sangat jarang laporan ilmiah tentang kecacingan pada ayam ternak

di peternakan-peternakan moderen di Indonesia. Hasil pengamatan Zalizar et al.

(2007) mengatakan bahwa kejadian sestodosis ditemukan pada enam buah

peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial

di Kabupaten Bogor, namun tidak menyebutkan angka prevalensinya. Beberapa

kasus sestodosis pada peternakan ayam modern di luar Indonesia telah dilaporkan.

Seperti yang dilakukan Abebe et al. (1997) bahwa di sekitar wilayah Addis

Ababa, Ethiopia ditemukan kasus sestodosis pada ayam ternak ras lokal dan

eksotik dengan prevalensi pada ternak yang dikandangkan 0% (98 ekor),

sedangkan pada sistem semi intensif memiliki tingkat prevalensi R. cesticillus

7,69%, R. tetragona 1,92%, C. infundibulum 4,8% (104 ekor), dan R. cesticillus

37,87%, R. tetragona 26,32%, R. echinobothrida 29,47%, C. infundibulum

22,16 %, A. shenoides 12,63%, H. carioca 5,26% (95 ekor) pada ternak yang

diumbar. Rabbi et al. (2006) menemukan R. tetragona pada ayam layer dan

A. sphenoides pada ayam yang diumbar di Mymensingh, Bangladesh. Masih

berdekatan dengan India yaitu kota Faisalabad, Pakistan, rasio prevalensi

sestodosis pada layer (lokal:luar) adalah R. echinobothrida 13,2%:2,0%,

R. tetragona 10,6%:3,0%, R. cesticillus 12,8%:3,6%, C. infundibulum

6,8%:3,4%, A. cuneata 1,8%:0%, H. cantaniana 5,2%:0%, dan H. carioca

9%:4,0% (Shah et al. 1999). Kecacingan di peternakan ayam modern juga

dilaporkan dari wilayah Eropa dan Amerika. Ayam petelur komersil yang

dipelihara dengan sistem baterai terinfeksi sestoda sebanyak 3,3% di Denmark

(Permin et al. 2002). Wilson et al. (1994) melaporkan bahwa 70% dari kejadian

sestodosis di peternakan ayam broiler di daerah Arkansas Amerika Serikat

disebabkan oleh R. cesticillus.

Beberapa jenis sestoda infeksi alami pada unggas selain ayam ternak juga

banyak ditulis. Sebanyak 50 ekor ayam hutan (A. graeca) di daerah pedesaan di

Turki terinfeksi C. infundibulum 4%, R. echinobothrida 10%, R. tetragona

6%; 50 ekor burung puyuh (Coturnix coturnix) terinfeksi C. infundibulum 39%,

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka_2

17

Fimbriaria fasciolaris 1%, Liruterina gallinarum 1%, R. echinobothrida 1%,

R. tetragona 2% (K�ro�lu dan Ta�an 1996). C. infundibulum dan Lynuterina

nigropunctata juga ditemukan menginfeksi jenis ayam hutan yang lain

(A. barbara) di Tenerife, pulau Canary (Foronda et al. 2005). M. lucida,

Raillietina sp., Choanotaenia sp., Imparmargo baileyi ditemukan pada kalkun liar

(Meleagris gallopavo) di beberapa negara Kansas Timur (McJunkin et al. 2003).

Di Abha, Saudi Arabia, lima jenis sestoda pertama kali ditemukan menginfeksi

merpati liar (Columba livia) yaitu Killigrewia delafondi (Anoplocephalidae),

Retinometra serrata (Hymenolepididae), R. perplexa, dan R. echinobothrida serta

R. dattai (Davaineidae) pada ayam (Gallus gallus domesticus) (Dehlawi 2006).

Hasil penelitian Muhairwa et al. (2007) terhadap 96 ekor itik anak (2-5 bulan) dan

96 ekor dewasa > 6 bulan yang diumbar di suatu wilayah di kota Morogoro,

Tanzania, menunjukkan bahwa R. tetragona (10,4%) dan R. echinobothrida

(0,5%) hanya ditemukan pada itik anak. Adang et al. (2008) melaporkan

beberapa jenis dalam famili yang sama pada 116 ekor merpati domestik (Columba

livia domestica) di Zaria, Nigeria Utara, dengan prevalensi R.tetragona (27,1%),

R. cesticillus (0,45%), A. cuneata (0,83%), R. echinobothrida (10,6%),

H. cantaniana (1,7%), H. carioca (1,3%). Sebanyak 250 ekor merpati dari

wilayah dan jenis yang sama hanya terinfeksi tiga spesies yaitu R. tetragona

(4,9%), R. cesticillus (3,0%), R. echinobothrida (7,6%) (Natala et al. 2009).

Senlik et al. (2005) hanya menemukan 1% R. echinobothrida dari 100 ekor jenis

merpati yang sama di Turki. Dhoot et al. (2002) mengamati kecacingan

gastrointestinal pada berbagai jenis burung liar di kebun binatang Maharajbag,

Nagpur. R. tetragona ditemukan pada burung beo (Cockatoa galierita) dengan

prevalensi 22,22% dan burung merak betina (Pava cristatus) 16,66% selain

Davainea sp. sebesar 12,5%.

2.3 Serangga sebagai Inang Antara Sestoda

Beberapa jenis serangga seperti yang tertulis pada Tabel 1 merupakan

inang antara alami bagi sestoda ayam kecuali genus tertentu dari kumbang.

Sistiserkoid adalah stadium metasestoda yang dapat ditemukan dalam rongga

tubuh serangga baik kepala, toraks, atau abdomen. Sejak 1936 telah dipelajari

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka_2

18

bahwa Musca domestica berperan dalam transmisi C. infundibulum secara alami

karena ayam memakan lalat yang mengandung sistiserkoid (Reid & Ackert 1937).

Jauh sebelumnya sistiserkoid dalam tubuh lalat ini juga ditemukan oleh Grassi

dan Rovelli di Itali pada tahun 1892, kemudian tahun 1916 Gutberlet

mendeskripsikan skoleks sistiserkoid tersebut mirip dengan skoleks

C. infundibulum. Jenis serangga lain yang dilaporkan pertama kali di Khartoum,

Sudan, sebagai inang antara C infundibulum adalah kumbang Alphitobius

diaperinus (Elowni & Elbihari 1979). Sebanyak 78 ekor (14,39%) kumbang

dewasa terinfeksi secara alami oleh sistiserkoid C. infundibulum, sedangkan

stadium larvanya terinfeksi hanya 0,75%. Pada penelitian ini juga dilakukan

infeksi coba proglotida gravid C. infundibulum namun perkembangan sistiserkoid

pada kumbang tersebut gagal. Kegagalan ini juga dialami oleh Esmaeil (2004)

yang menginfeksi A. diaperinus dan Tribolium confusum dengan proglotida

R. tetragona, R. cesticillus, A. cuneata, R. echinobothrida, H. carioca,

C. infundibulum, dan Cotugnia digonophora, namun ditemukan infeksi alami

sistiserkoid C. digonophora sebanyak 0,3% dari 2314 ekor A. diaperinus.

Menurut Adams (1996) dan Kuney (1997), A. diaperinus atau disebut juga

kumbang kotoran ayam diduga sebagai inang antara sestoda terutama bagi ayam

yang dipelihara dengan sistem liter. Kumbang Famili Carabidae sejak lama telah

dilaporkan sebagai inang antara R. cesticillus melalui infeksi coba, yaitu

Discoderus parallesus Hald, Pterostichus (Gastrostricta) ventralis (say), dan

Agonoderus comma F. (Case & Ackert 1940). Jenis serangga yang lain yaitu dua

spesies belalang Geotrupes sylvaticus dan Cratacanthus dubius juga dilaporkan

sebagai inang antara sestoda pada ayam dan kalkun serta beberapa burung di

Amerika pada tahun 1916 oleh Joyeux, namun siklus hidup secara lengkap tidak

dijelaskan (Horsfall & Jones 1937).

Jenis semut yang pertama kali dilaporkan sebagai inang antara

R. echinobothrida adalah Triglyphothrix striatidens dan Xiphomyrmex sp.

(Nadakal et al. 1973). Melalui pengamatan mikroskop cahaya dan elektron semut

Letothorax nylanderi terbukti mengandung sistiserkoid Anomotaenia brevis yaitu

sestoda yang menginfeksi beberapa spesies burung (Gabrion et al. 1976). Semut

dewasa tersebut terinfeksi selama proses metamorfosis. Sebanyak 63,3% semut

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka_2

19

Pachycondyla sennaarensis (Mayr) mengandung 1-40 sistiserkoid R. tetragona

setiap ekor semut pada ayam di Sudan (Muhammed et al. 1988). Beberapa spesies

semut dari Genus Monomorium ditemukan sebagai inang antara C. digonophora

di India. M. scabriceps ditemukan di India Utara (Chand 1964 dalam: Ponnudurai

& Chellappa 2001); M. gracilimum dan M. destructor di Kerala (Nadakal et al.

1970 dalam: Ponnudurai dan Chellappa 2001); M. floricola di Namakkal, Tamil

Nad (Ponnudurai & Chellappa 2001). Sistiserkoid dari lima spesies Raillietina

pada perusahaan peternakan di Australia juga ditemukan dalam bagian gaster

tubuh semut Pheidole sp. (O’Callaghan et al. 2003). Jenis semut sebagai inang

antara sestoda bervariasi menurut jenis sestodanya. Lasius niger dan T. sessile

spesies semut yang ditemukan sebagai inang antara pertama sestoda mamalia

Mesocestoides melalui uji DNA. Sebanyak 3,1% dari 223 sampel pul semut

(1 pul=10 ekor) L. niger dan 2,4% dari 84 sampel kelompok semut T. sessile

mengandung DNA stadium metasestoda (sistiserkoid) dari Mesocestoides

(Padgett & Boyce 2005).

2.4 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Sestoda pada Peternakan Ayam Petelur dalam Kandang Baterai Terjadinya infeksi parasit dapat digambarkan sebagai fungsi dari jumlah

dan distribusi parasit dalam populasi inang berisiko pada ruang dan waktu tertentu

(Lawson & Gemmell 1983). Transmisi berlangsung jika terjadi interaksi antara

parasit stadium infektif dengan inang yang cocok, didukung lingkungan eksternal

inang-parasit yang kondusif bagi kelangsungan hidupnya. Faktor-faktor transmisi

sestoda bersifat lebih komplek karena melibatkan dua inang atau lebih, dan yang

masing-masing memiliki biologi yang berbeda. Berkaitan dengan sestodosis pada

peternakan ayam, maka dinamika populasi sestoda dewasa pada ayam dan

metasestoda pada serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya serta

lingkungan yang mempengaruhi merupakan faktor penting. Lingkungan yang

dimaksud merupakan refleksi dari manajemen peternakan yang sedang

diberlakukan. Oleh karena itu sistem tata laksana tertentu yang diterapkan pada

praktek peternakan dapat menentukan peluang terjadinya penyakit termasuk

kecacingan.

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka_2

20

2.4.1 Kondisi Fisik Lingkungan

Mengingat bahwa sebagian besar sestoda ayam memiliki umur infeksi

relatif singkat yaitu sekitar dua bulan, maka kontinyuitas keberadaan proglotida

gravid (telur sestoda) tergantung dari lamanya ayam terinfeksi dan ketahanan

hidup telur sestoda di lingkungan eksternal inang. Ketahanan telur sestoda ayam

di lingkungan peternakan belum pernah dipelajari, walaupun terbukti bahwa

sestodosis selalu ditemukan. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa

sistiserkoid C. infundibulum hasil nekropsi M. domestica yang berasal dari

peternakan tetap hidup sampai 72 jam disimpan dalam larutan garam fisiologis

pada suhu 4 0C, namun hanya 24 jam pada suhu kamar (Ponnudurai et al. 2003).

Jenis sestoda lain, yaitu telur Taenia saginata pada manur basah tetap hidup

selama 71 hari, 16 hari di sampah kota, 33 hari di air sungai, dan 159 hari di

lapangan penggembalaan (Jepsen & Roth (1949) dalam: Soulsby (1982). Di

Australia, Seddon (1950) dalam Soulsby 1982 menemukan telur T. saginata

tetap hidup di lapangan penggembalaan sekurang-kurangnya selama delapan

minggu dan 14,5 minggu dibawah terik matahari. Ketika musim dingin (di negara

dengan empat musim) telur T. saginata tahan beberapa bulan di sampah dan

lingkungan berlumpur, serta di air payau dan air asin (Pawlawsky 1994 dalam:

Gajadhar et al. 2006). Telur Echinococcus tetap hidup diantara suhu -50 0C dan

70 0C, namun rusak dalam waktu singkat jika terpapar pada suhu antara -70 0C

dan 100 0C (Eckert et al. 2001 dalam: Gajadhar et al. 2006). Ketahanan hidup

telur H. diminuta rata-rata 11 hari jika tetap berada dalam pelet tinja tikus pada

suhu 10 0C. Namun jika disimpan dalam bentuk ekstrak tinja di kertas saring

pada suhu 30 0C hanya bertahan sekitar 30 menit (Keymer 1982). Kualitas dan

kuantitas hidup telur sestoda berperan penting dalam infektifitasnya pada inang

antara. Telur H. nana dalam pelet tinja yang langsung diambil dari rektum mencit

hingga empat jam kemudian memiliki infektifitas 60% pada Tribolium sebagai

inang antara coba (Maki & Yanagisawa 1987) dan terbukti lebih tinggi

infektifitasnya dibandingkan dengan telur yang diisolasi langsung dari cacingnya

(El-Sayad & Lotfy 2005). Pada penelitian tersebut juga menyatakan bahwa telur

H. nana tetap hidup dan infektif setelah disimpan dalam air deklorinasi pada suhu

4 0C dalam ruang gelap.

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka_2

21

2.4.2 Keberadaan inang antara

Keberhasilan transmisi sestodosis pada ayam ternak tergantung pada

keberadaan jenis serangga tertentu sebagai inang antara potensial di lingkungan

peternakan. Apabila terdapat populasi serangga jenis tertentu di area peternakan

berarti di lingkungan tersebut tersedia media perindukan bagi serangga tersebut.

Tipe produksi ternak ayam memiliki sistem manajemen yang berbeda-

beda dengan masing-masing permasalahan penyakit parasitik yang ditimbulkan.

Misalnya ayam ternak broiler dan pembibitan yang dipelihara di lantai liter

memiliki masalah kumbang (Axtell & Arends 1990), karena erat berhubungan

dengan pakan ayam (komponen biji-bijian) dan kelembaban liter. Telah diketahui

bahwa beberapa jenis kumbang yang ditemukan di peternakan ayam (Kuney

1997) merupakan vektor atau transmiter penyakit-penyakit (Dunford & Kaufman

2006) ayam. Selain sestoda, penyakit-penyakit ayam yang dapat ditularkan

misalnya nematoda ayam Subulura brumpti (Karunamoorthy et al. 1994),

protozoa (Apuya et al. 1994), bakterial (Skov et al. 2004; Bates et al. 2004),

maupun fungal (CastrilloS et al. 1998). Selain liter sebagai media hidup, stadium

pupasi kumbang lebih cenderung di dinding-dinding kandang yang terbuat dari

kayu atau bagian pangkal kandang yang menyentuh tanah. Dengan demikian

masalah gangguan kumbang tidak hanya berhubungan dengan liter, namun

terdapat juga di peternakan ayam dengan bangunan kandang yang mengandung

unsur kayu termasuk kandang baterai.

Ayam ternak petelur komersial yang dipelihara dalam kandang baterai

memiliki masalah dengan tata laksana pembuangan manur. Manur sebagai limbah

utama industri peternakan ayam merupakan material organik yang potensial untuk

perkembangbiakan berbagai jenis serangga , baik sebagai hama perusak struktur

kandang maupun vektor penyakit ayam. Jika penanganan manur tidak dilakukan

secara tepat dapat mengakibatkan masalah serius terutama masalah penyakit ayam

selain sebagai pengganggu (Sánchez-Arroyo 2008; Axtell & Arends 1990; Hall &

Jones 2005; Koehler & Oi 2005). Kelembaban yang tinggi (75%-80%) pada

manur segar merupakan media sempurna bagi perkembangbiakan lalat. Sebanyak

0,5 kg manur dengan kelembaban 50%-85% dapat menghasilkan 1000 lalat rumah

(Weaver & Novak 2006). M. domestica telah dikenal sejak lama berperan sebagai

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka_2

22

transmiter dalam berbagai penyakit yang ditularkan melalui makanan/pakan baik

pada manusia maupun hewan, termasuk penyakit bakterial saluran pencernaan

pada peternakan ayam layer (Dhillon et al. 2004; Kinde et al. 2005; Olsen &

Hammack 2000). Masalah lalat dan kumbang liter ini merupakan masalah utama

hama peternakan ayam yang sulit pengendaliannya (Kuney 1997).

2.4.3 Tata laksana peternakan

Tipe ayam pedaging dan petelur adalah jenis unggas ternak yang umum

dipelihara secara intensif dalam usaha peternakan ayam komersial menggunakan

teknik moderen. Alternatif metode pemeliharaan ayam ras petelur (Fanatico 2006)

adalah menggunakan sistem khusus seperti cages, cage-free, dan free-range. Tipe

kandang merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas telur

(Moorthy et al. 2000; Muthusamy & Viswathan 1999; Premavalli & Viswanathan

2004). Sistem cages dengan menggunakan kandang baterai adalah metode yang

umum pada peternakan-peternakan ayam ras petelur di Indonesia. Pada sistem

intensif ayam tetap berada dalam ruangan bahkan kandang individu dengan

kepadatan tinggi, sehingga penanganan manur sebagai limbah utama perlu

diperhatikan.

Pitfal adalah tempat penampungan manur di bawah kandang baterai yang

ukuran kedalamannya bervariasi. Kandang baterai merupakan deretan kandang

individu dengan alas kawat di atas pitfal sehingga manur jatuh melalui sela-sela

dasar kawat kandang. Beberapa metode penanganan manur yaitu manur dibiarkan

menumpuk, segera dikeruk, atau berupa manur basah. Pitfal yang dalam

menghasilkan manur padat jika disimpan cukup kering, sedangkan yang dangkal

sebaiknya berkonstruksi beton dengan kedalaman 7,5-20 cm dan 3-6 m di bawah

kandang baterai (Anonim 1994). Pada sistem ini manur dikeruk secara berkala.

Manur kering dapat ditimbun dalam penampungan selama sekurang-kurangnya

setahun atau lebih. Penanganan manur basah harus selalu mengosongkan

penampungan setiap hari atau minimal seminggu sekali, untuk mengurangi bau

dan masalah lalat.

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka_2

23

2.4.4 Perilaku inang

Sulit ditelaah bahwa prevalensi sestodosis yang terjadi di lapangan tinggi

namun secara logis peluang transmisinya rendah. Menurut Mackiewics (1988),

sestoda memiliki tiga strategi dasar dalam transmisinya untuk mempertahankan

kelangsungan siklus hidupnya. Pertama, dalam siklus hidupnya parasit beradaptasi

dengan biologi inang; kedua, menyajikan stadium infektif dengan meningkatkan

peluang kontak antara inang dan parasit; ketiga, meningkatkan potensi reproduksi.

Strategi ke dua adalah hal yang telah dipelajari oleh beberapa peneliti berkaitan

dengan perilaku inang. Sejumlah parasit yang daur hidupnya kompleks mungkin

memiliki umur singkat di dalam tubuh inang antaranya, terlebih transmisi ke

inang definitif bersifat pasif melalui rantai makanan atau predasi.

Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa perubahan perilaku inang

merupakan satu diantara strategi parasit untuk meningkatkan transmisi ke inang

berikutnya. Beberapa penelitian untuk membuktikan perubahan perilaku tersebut

telah dilakukan. Berhubungan dengan perilaku makan, burung Quelea quelea

menyebabkan kerugian petani karena makan biji-bijian hasil panen di Borno,

Nigeria. Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada burung-burung tersebut

rendah, namun ketika bukan saat masa panen prevalensi sestodosis relatif tinggi

bahkan terinfeksi oleh empat spesies sestoda. Diduga kuat bahwa pada masa

tersebut burung-burung mencari pakan ke tempat yang lebih luas, sehingga jenis

pakannya lebih variatif termasuk berbagai jenis serangga (Yusufu et al. 2004).

Perubahan perilaku ikan Fundulus parvipinnis (inang antara) yang terinfeksi

parasit meningkatkan kepekaannya untuk dipredasi oleh unggas air sebagai inang

definitifnya. Peningkatan kebutuhan oksigen pada ikan yang mengandung larva

sestoda menyebabkan seringnya muncul di permukaan air sebagai habitatnya

(Smith & Kramer 1987 dalam: Lafferty & Morris 1996), demikian pula jika

penyebabnya adalah ratusan metaserkaria dalam organ otak (Lafferty & Morris

1996). Dua jenis Acanthocephala yaitu Pomphorhynchus laevis (inang

definitifnya ikan) dan Polymorphus minutus (inang definitifnya unggas air)

memiliki satu jenis inang antara amphipoda Gammarus pulex. P. laevis bersifat

fototropik yang menyebabkan perubahan perilaku Gammarus muncul dari tempat

terlindung mudah dipredasi oleh ikan. Gammarus yang terinfeksi P. minutus

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka_2

24

berperilaku menyebar secara vertikal sehingga lebih mudah dipredasi oleh unggas

air. Pada penelitian ini tidak diamati pengaruh jumlah parasit yang menyebabkan

respon perilaku inang antara tersebut (Cezilly et al. 1999). Ditemukan tujuh

spesies sestoda unggas air dengan inang antara crustacean, Branchiopoda, Artemia

parthenogenetica (Sánchez et al. 2007). Artemia adalah spesies pokok dalam

habitat hipersalin yang merupakan sumber makanan terbesar bagi unggas air

(Cooper et al. 1984; Verkuil et al. 2003; Sánchez et al. 2006b dalam: Sánchez et

al. 2007).

Perilaku inang antara yang terinfeksi larva sestoda dapat mempengaruhi

dinamika dan distribusi populasi inang definitif (Wellnitz et al. 2003 dalam:

Sánchez et al. 2007). Permukaan air yang kaya alga dibutuhkan oleh inang antara

terinfeksi sebagai sumber pakan (Amat et al. 1991 dalam: Sánchez et al. 2007).

Dengan aktivitas makan di bagian permukaan air menyebabkan peningkatan risiko

termakan oleh unggas air. Masih berhubungan dengan air sebagai habitat inang,

inang antara acanthocephala Pomphorhynchus laevis adalah crustase G. pulex.

Parasit ini berwarna oranye kekuningan. Tampak warna yang menonjol melalui

kutikula yang transparan pada Gammarus yang terinfeksi parasit tersebut.

Perilaku inang antara yang terinfeksi menjadi suka cahaya sehingga muncul di

permukaan yang mempermudah dipredasi oleh ikan sebagai inang definitifnya

(Bakker et al. 1997). Perubahan warna inang yang terinfeksi juga terjadi pada

rayap pekerja Caribbean Nasutitermae acajutlae menyebabkan peningkatan

predasi oleh sejenis cicak Anolis sebagai inang definitifnya (Fuller et al. 2003).

Beberapa perilaku jenis serangga lain yang terinfeksi oleh parasit juga

banyak dipelajari dengan model hubungan inang-parasit kumbang Tenebrionidae

dengan sistiserkoid H. diminuta atau H. nana. Perilaku koprofagi Tenebrio

dipengaruhi oleh adanya proglotida H. diminuta dalam tinja (Pappas et al. 1995;

Shea 2003). Menurut hipotesis Evans et al. (1992 dalam: Pappas et al. (1995),

tinja yang berisi proglotida gravid H. diminuta mengandung atraktan bagi

Tenebrio. Atraktan ini diduga sebagai ekskretori-sekretori sestoda atau substansi

yang dihasilkan inang sebagai respon infeksi dengan menifestasi perubahan

fisiologi pencernaan. akibat adanya cacing. Belum dipelajari lebih jauh sifat dan

kandungan atraktan tersebut, namun terbukti bukan senyawa yang bersifat volatil

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka_2

25

setelah diuji dengan kering-vakum dan rehidrasi. Akibat yang ditimbulkan oleh

hubungan inang-parasit merupakan adaptasi parasit dalam lingkungan tubuh inang

atau dampak patologis inang akibat infeksi tidak mudah dijelaskan. T. confusum

yang terinfeksi H. diminuta berubah menjadi lamban dan cenderung

menyembunyikan diri. Perilaku tersebut diduga sebagai adaptasi parasit (Robb &

Reid 1996). Hipotesis ini diperkuat dengan bukti bahwa dampak patologis tidak

membedakan perilaku inang terinfeksi dan inang kontrol. Hasil penelitian Robb &

Reid 1996 berlawanan dengan Webster et al. (2000). Tenebrio yang terinfeksi

H. diminuta cenderung tidak menyembunyikan diri, namun tidak terdapat

perbedaan dalam kecepatan predasi dibandingkan dengan Tenebrio kontrol.

Perpanjangan waktu hidup inang antara yang terinfeksi stadium larva mungkin

dapat menambah kesempatan transmisi terutama yang bersifat pasif menunggu

termakan oleh inang definitif. Pengamatan membuktikan bahwa T. molitor betina

yang diinfeksi H. diminuta memiliki peningkatan waktu hidup sebesar 40% dan

yang jantan sebesar 25% (Hurd et al. 2001). Perlu dipelajari lebih mendalam,

dampak infeksi yang terjadi menguntungkan parasit atau inangnya, atau mungkin

keduanya.

2.4.5 Pengaruh musim

Musim adalah fenomena alam yang perubahannya bersifat siklik, dapat

diprediksi, dan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pola kehidupan

makhluk hidup di muka bumi (Blank 1992 dalam: Altizer et al. 2006). Banyak

contoh pola kejadian penyakit yang menonjol pada musim-musim tertentu

(seasonal). Misalnya, Altizer et al. (2006) menyatakan bahwa ledakan penyakit

musiman yang erat berhubungan dengan faktor iklim umumnya penyakit-penyakit

infeksi akut saluran pernafasan, diare, parasitik tular vektor, dan kecacingan.

Fluktuasi kondisi iklim pada lingkungan geografis tertentu secara langsung atau

tidak langsung dapat mempengaruhi dinamika populasi inang (definitif/antara)

dan parasit (terutama stadium bebas atau di dalam tubuh inang invertebrata)

termasuk cacing parasitik.

Beberapa nematoda intestinal membebaskan stadium infektifnya ke

lingkungan yang optimal pada suhu, curah hujan, dan kelembaban tertentu

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka_2

26

sebelum mencapai inang berikutnya (Gordon et al. 1934 & Gillett 1974 dalam:

Altizer et al. 2006). Pengaruh perubahan iklim tahunan terhadap intensitas

nematoda intestinal domba/sapi berdasarkan variasi musim telah banyak diteliti

sejak lama. Pengetahuan ini digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam

pengendalian nematodosis pada hewan ternak secara spesifik pada geografis

tertentu. Adapun sestodosis pada unggas yang lebih berperan dalam transmisinya

adalah pengetahuan biologi serangga inang antara. Sebagai contoh, populasi dan

aktivitas kumbang Alphitobius dan lalat M. domestica yang merupakan inang

antara sestoda cenderung meningkat pada temperatur yang relatif hangat (Goulson

et al. 2005; Salin 1998; 2000; Tardelli et al. 2004).

Studi tentang pengaruh faktor iklim dan geografi terhadap prevalensi

kecacingan saluran pencernaan ayam ternak telah dilakukan di beberapa wilayah

di luar negeri. Perbedaan infeksi cacing saluran pencernaan pada lima kelompok

umur ayam lokal di daerah dataran tinggi di Dschang, Cameroon, diamati pada

tiga musim yaitu musim hujan (curah hujan 187,2 mm-317,4 mm/bulan),

pascamusim hujan (curah hujan 45-55 mm/bulan), dan kering (curah hujan

<6,5 mm/bulan) (Mpoame & Agbede 1995). Prevalensi maupun derajat infeksi

sestoda (H. cantaniana, H. carioca, dan R. tetragona) cenderung lebih tinggi pada

ayam yang berumur >5 minggu kecuali Amoebotaenia cuneata. Secara umum

baik prevalensi maupun derajat infeksinya paling tinggi di musim hujan,

sedangkan di musin pasca-hujan dan kering tidak menunjukkan perbedaan.

Prevalensi R. tetragona dan A.cuneata tidak menunjukkan perbedaan antar

musim, sedangkan H. cantaniana dan H. carioca paling tinggi pada musim hujan.

Secara umum menunjukkan bahwa prevalensi maupun derajat infeksi cacing

saluran pencernaan paling tinggi di musim hujan (Mpoame & Agbede 1995).

Mirip dengan pengamatan tersebut juga di lakukan pada ayam yang dipelihara

secara tradisional di pedesaan Morogoro, Tanzania (Magwisha et al. 2002).

Khususnya sestodosis, prevalensi C. infundibulum, D. proglottina, dan

R. tetragona lebih tinggi pada ayam muda yang berumur 12-24 minggu

dibandingkan dengan umur >32 minggu, sedangkan prevalensi A. cuneata,

H. cantaniana, H. carioca, R. cesticillus, dan R. echinobothrida sama. Adapun

perbedaan derajat infeksi yang nyata lebih tinggi pada ayam muda hanya

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka_2

27

R. tetragona. Pengamatan berdasarkan musim hanya dilakukan terhadap derajat

infeksi yaitu rataan derajat infeksi Raillietina relatif tinggi pada awal musim hujan

dan paling rendah pada puncak musim hujan (Magwisha et al. 2002). Prevalensi

sestodosis ayam juga diamati berdasarkan perbedaan dataran rendah, sedang, dan

tinggi di pedesaan daerah Amhara, Ethiopia (Eshetu et al. 2001). Pada peneltian

tersebut menghasilkan bahwa prevalensi sestodosis paling rendah di daerah

berdataran tinggi (2500 m di atas permukaan laut) dan bersuhu rendah, demikian

sebaliknya di daerah dataran yang lebih rendah (1500 m di atas permukaan laut)

(Eshetu et al. 2001).

Fluktuasi populasi sestodosis pada ayam ternak yang dikaitkan dengan

faktor iklim di Indonesia telah ditelaah di wilayah kecamatan Kotabumi, Lampung

Selatan (Inbandiyah 1996). Populasi sestoda tertinggi pada ayam buras yang

dipelihara secara tradisional di wilayah tersebut terjadi pada bulan terkering

dengan rataan curah hujan 9,2 mm pada bulan September 1994 dengan kisaran

suhu dan kelembaban udara sebesar 17,7-36,6 0C dan 64%. Demikian pula

pengamatan di wilayah kabupaten Bogor selama bulan Juli-Desember 1997

dengan rataan curah hujan sebesar 233,24 mm di wilayah tipe iklim basah dan

174,4 di wilayah kering, kisaran suhu sebesar 23,88-26,79 0C, serta kelembaban

68,26-93,7% (Retnani et al. 2001). Walaupun populasi sestoda lebih tinggi di

daerah basah, fluktuasi populasi selama pengamatan memiliki pola yang sama.

Pada dua bulan pertama pengamatan populasi sestoda meningkat, kemudian

menurun bersama-sama hingga populasi terendah pada bulan-bulan dengan curah

hujan tinggi sebesar 236-357 mm (Retnani et al. 2001).