BAB II Tinjauan Pustaka_2

10
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Turbulensi (Olakan) Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart, 2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007). Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu : a. Turbulensi skala meso Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak antara 10100 km. b. Turbulensi skala mikro Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,0011 m serta terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta mengontrol interaksi udara-laut. Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov, 1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ): dimana adalah tipikal velositas aliran (m s -1 ), adalah tipikal panjang (m) yang menggambarkan aliran dan adalah kinematik molekuler viskositas (nilai untuk

description

lesson

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka_2

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka_2

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Turbulensi (Olakan)

Turbulen adalah proses fisik yang dominan pada fluida yang

pergerakannya bersifat energetic, rotasional, eddies, dan irreguler (Stewart,

2002; Thorpe, 2007). Turbulensi di dekat permukaan laut biasanya digerakkan

oleh angin dan berfungsi untuk mentransmisikan bahang ke dalam dan ke luar

laut (Neumann dan Pierson, 1966). Turbulensi di dekat dasar laut mempengaruhi

deposisi, transfer momentum, resuspensi partikel organik dan inorganik dan

pergerakan sedimen. Air laut umumnya bergerak dalam aliran turbulen dan

jarang sekali dalam aliran laminar (bersifat teratur) (Thorpe, 2007).

Menurut Monin dan Ozmidov (1985) berdasarkan sifat alamiahnya, skala

spasial-temporal, arah percampuran, dan intensitas, gerakan turbulensi di laut

diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu :

a. Turbulensi skala meso

Pada skala ini turbulensi diciptakan oleh ketidakstabilan (misalnya

ketidakstabilan baroklinik, barotropik, dll) dan biasanya terjadi di

sepanjang permukaan dengan densitas konstan (isopiknal). Turbulensi ini

sering disebut turbulensi skala Rosbby karena mempunyai dimensi jarak

antara 10–100 km.

b. Turbulensi skala mikro

Pada skala ini turbulensi terutama diciptakan oleh shear dan pecahnya

gelombang internal dan mempunyai skala dimensi jarak 0,001–1 m serta

terjadi dalam arah vertikal. Pergerakan turbulensi skala mikro terjadi

dalam arah vertikal sehingga turbulensi ini mengontrol dinamika arus

serta pertukaran vertikal dalam sirkulasi di estuari dan pesisir serta

mengontrol interaksi udara-laut.

Pergerakan massa air yang bersifat turbulen atau laminar diketahui dengan

menggunakan Bilangan Reynolds dengan persamaan (Monin dan Ozmidov,

1985; Lesieur, 1997; Stewart, 2002; Thorpe, 2007; ):

dimana adalah tipikal velositas aliran (m s-1), adalah tipikal panjang (m) yang

menggambarkan aliran dan adalah kinematik molekuler viskositas (nilai untuk

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka_2

8

air adalah 10-6 m2 s-1). Jika nilai kurang dari 10-3 maka dikatakan aliran bersifat

laminar dan jika lebih dari 105 maka aliran bersifat turbulen.

Menurut Thorpe (2007), pergerakan air yang bersifat turbulen merupakan

pergerakan air yang memiliki nilai energi kinetik yang berasal dari pecahnya

gelombang baik gelombang internal maupun gelombang permukaan. Energi

kinetik yang berada dalam aliran tubulen akan mengalami pemecahan menjadi

bentuk yang lebih kecil (dissipation) yang nantinya berfungsi untuk mentransfer

bahang atau energi ke media yang lain. Contoh proses transfer energi ke media

yang lain misalnya proses turbulen dapat mengikis sedimen yang ada di dasar

perairan, membawa sedimen ini ke kolom perairan, dll. Menurut Ozmidov (1965)

in Park et al., (2008) besarnya energi kinetik yang mengalami proses disipasi

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

dimana adalah skala panjang Ozmidov (m), adalah frekuensi apung atau

frekuensi Brunt Vaisala (s-1). persamaan ini sangat penting karena

menggambarkan besar energi kinetik yang hilang dan bersifat irrevesible di

lautan.

Salah satu metode untuk mengukur besarnya nilai turbulensi adalah

dengan melakukan kalkulasi terhadap persamaan gerak, konduksi temperatur

dan proses diffusi (Monin dan Ozmidov, 1985). Menurut Thorpe (2007) proses

turbulensi merupakan konsekuensi dari adanya dispersi suatu partikel material

melalui difusi, sehingga untuk mengetahui besar kecilnya turbulensi vertikal suatu

fluida (air dan atmosfer), dapat dilakukan dengan menghitung nilai difusivitas

eddy dengan persamaan:

dimana adalah konstanta efisiensi mixing yang memiliki nilai 0,2 dan adalah

frekuensi Brunt Vaisala (s-1).

2.2 Ketidakstabilan Massa Air

Secara vertikal, massa air memiliki lapisan-lapisan yang terbentuk dari

berbagai parameter oseanografi yang ada. Parameter ini meliputi temperatur,

salinitas, densitas, tekanan, cahaya, nutrien, dll yang memiliki nilai yang berbeda-

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka_2

9

beda tergantung dari tekanan. Adanya fenomena pelapisan massa air ini akan

mempengaruhi kestabilan massa air tersebut (Pond dan Pickard, 1983).

Densitas suatu perairan akan sangat mempengaruhi kestabilan perairan

yang ada. Densitas akan meningkat seiring dengan bertambahnya tekanan.

Pada kondisi ideal atau dalam kondisi tidak ada ganguan, massa air yang

memiliki densitas rendah akan selalu berada di atas massa air yang berdensitas

tinggi. Namun pada kondisi nyata densitas tidak selalu tersusun seperti kondisi

tersebut. Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakstabilan massa air karena

massa air ini akan berosilasi atau bergerak secara vertikal (naik/turun) untuk

mencari posisi stabil (Pickard dan Emery, 1990).

Pengujian gradien temperatur (untuk air tawar) dan densitas (untuk air laut)

secara vertikal merupakan teknik yang umum digunakan untuk melihat apakah

suatu lapisan perairan dalam kondisi stabil atau tidak. Fluida dikatakan tidak

stabil apabila terjadi kecenderungan pergerakan atau perubahan posisi massa air

secara vertikal dari kedudukan awalnya tanpa kembali lagi ke posisi awalnya.

Jika fluida tidak memberikan hambatan secara berarti terhadap gerakan secara

vertikal maka fluida dikatakan tetap netral. Fluida akan dikatakan stabil jika fluida

tersebut memberikan perlawanan gerak secara vertikal (Pond dan Pickard,

1983).

Kestabilan massa air ini dapat ditentukan dengan persamaan stabilitas ( )

(Pond dan Pickard, 1983; Stewart, 2002; Emery et al., 2007):

dimana adalah densitas perairan (kg m-3) dan adalah kedalaman (m). Fluida

dikatakan stabil jika > 0, netral jika = 0 dan tidak stabil jika < 0. Jika

perbedaan nilai densitas terhadap kedalaman semakin besar, maka lapisan

perairan akan semakin stabil.

Menurut Stewart (2002) kondisi perairan laut yang berkaitan dengan stabil

tidaknya suatu massa perairan dapat dikatagorikan menjadi 4 jenis:

a. Air yang hangat dan kurang asin berada di atas air dingin dan asin. Air

dalam kondisi ini selalu bersifat stabil

b. Air yang dingin dan asin berada di atas air yang hangat dan kurang asin.

Air dalam kondisi ini selalu tidak stabil

c. Air yang hangat dan asin berada di atas air yang dingin dan kurang asin.

Proses ini biasa disebut salt fingering. Kondisi ini terjadi pada pusat

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka_2

10

daerah sub-tropical gyre, tropis barat Atlantik Utara, dan barat laut

Atlantik.

d. Air yang dingin dan kurang asin berada di atas air yang hangat dan asin.

Proses ini disebut konveksi difusi. Kondisi ini tidak sebanyak proses salt

finger dan biasanya terjadi pada daerah lintang tinggi.

2.3 Percampuran (Mixing)

Kondisi fluida yang tidak stabil di laut akan menyebabkan fluida mengalami

proses percampuran (Stewart, 2002). Menurut Pond dan Pickard (1983) pada

saat fluida berdensitas tinggi berada di atas fluida berdensitas rendah, maka

akan terjadi pergerakan secara vertikal untuk mencari posisi stabil. Fluida yang

berdensitas tinggi akan tenggelam akibat adanya gaya gravitasi sedangkan yang

berdensitas rendah akan naik karena adanya daya apung. Gerakan naik turun

fluida untuk mencari posisi stabil dikenal dengan bouyancy frequency atau

frekuensi Brunt Vaisala ( ) yang secara matematik ditulis dengan :

dimana adalah percepatan gravitasi bumi (9,8 m s-2), adalah background

density yaitu densitas rata-rata dari hasil pengukuran (kg m-3).

Jarak perpindahan massa air dalam kondisi tidak stabil dapat diketahui

dengan menggunakan skala panjang pada turbulen eddy (Dillon, 1982). Thorpe

(1977) mengembangkan metode empirik untuk memperkirakan skala panjang

turbulen eddy pada aliran horizontal yang bersifat homogen dan pembalikan

densitas yang disebabkan oleh pengadukan turbulen. Dillon (1982)

menambahkan skala panjang yang dikembangkan Thorpe lebih dikenal dengan

skala Thorpe . Secara matematis, dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan:

dimana adalah nilai Thorpe displacement (m) pada sample ke dan adalah

jumlah sampel.

Daerah pycnocline merupakan daerah yang paling stabil diantara semua

lapisan perairan, sehingga daerah ini membutuhkan energi yang lebih besar

untuk terjadinya pemindahan (displacement) massa air. Umumnya proses

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka_2

11

percampuran terjadi pada lapisan tercampur dan lapisan bawah yang hampir

homogen (Pickard dan Emery, 1990). Proses percampuran dapat dibagi menjadi

percampuran horizontal dan vertikal. Energi yang dibutuhkan untuk melakukan

percampuran vertikal jauh lebih besar dibandingkan dengan percampuran

horizontal. Energi percampuran vertikal akan semakin besar dibutuhkan dengan

semakin stabil pelapisan massa air (Stewart, 2002).

Komponen percampuran vertikal dan horizontal memiliki perbedaan dalam

skala dan intensitas. Percampuran turbulen secara vertikal jauh lebih kecil

dibandingkan percampuran turbulen horizontal. Perbedaan ini disebabkan oleh

dimensi vertikal massa air yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan dimensi

horizontal sedangkan gradien (misalnya gradien temperatur, densitas, tekanan,

dll) horizontal lebih kecil dibandingkan gradien vertikal. Secara horizontal

temperatur air laut dapat berubah 10o C atau lebih pada jarak ribuan kilometer,

namun secara vertikal perubahan ini terjadi pada selang hanya 1 km saja.

Adanya lapisan-lapisan air karena perbedaan densitas secara vertikal

merupakan faktor utama yang menghalangi proses percampuran vertikal (Brown

et al., 1993).

Pergerakan fluida secara vertikal, mengakibatkan fluks nutrien dari lapisan

bawah ke lapisan yang lebih atas. Hal ini menyebabkan proses percampuran

memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan fitoplankton untuk

menopang pasokan nutrien yang sangat dibutuhkan untuk melakukan proses

fotosintesis (Thorpe, 2007). Fluks nutrien yang ditimbulkan oleh proses

percampuran dapat dihitung dengan menggunakan persaman (Horne et al.,

1996; Law et al., 2003):

dimana merupakan perbedaan konsentrasi nutrien pada selang kedalaman

(m). Selain berperan dalam fluks nutrien, percampuran juga memiliki peranan

penting dalam mempelajari perubahan iklim, dispersi polutan di lautan, dinamika

arus secara global, dan perubahan komposisi massa air.

2.4 Pasang Surut Internal

Gelombang internal merupakan gelombang yang terbentuk di bawah

permukaan perairan. Pada umumnya gelombang ini berada di lapisan interface

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka_2

12

antara dua lapisan yang memiliki gradien densitas yang tinggi, seperti antara

lapisan tercampur dengan lapisan termoklin. Bila lapisan interface mengalami

gangguan (misalnya oleh arus menabrak/melintasi daerah ambang atau perairan

dangkal) maka massa air menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan disebabkan massa

air desitas tinggi berada di atas massa air densitas rendah. Adanya gravitasi

bumi dan gaya apung mengakibatkan massa air akan bergerak vertikal menuju

posisi stabil. Namun akibat adanya sifat kelembaman, maka massa air ini

bergerak melewati posisi stabilnya. Proses ini terus berulang sehingga akan

menghasilkan osilasi dalam kolom perairan. Pergerakan massa air secara terus

menurus ini akan mengakibatkan terbentuknya gelombang internal. Gelombang

internal yang memiliki periode sama dengan periode pasang surut dinamakan

pasang surut (pasut) internal. Pasut internal merupakan salah satu energi utama

proses percampuran di laut.

Perairan Indonesia merupakan perairan yang memiliki energi pasut internal

yang tinggi. Hampir sekitar 10% transfer energi global dari pasut barotropik ke

pasut baroklinik ditemukan di perairan semi tertutup Indonesia. Nilai transfer

energi di perairan Indonesia terutama tinggi pada basin semi tertutup, ambang

(sill), dan selat (Gambar 2) (Carrere dan Lyard, 2003; Koch-Larrouy et al., 2007).

Adanya gelombang internal yang terperangkap pada daerah ambang membuat

daerah ambang merupakan daerah yang memiliki energi pasut internal yang

tinggi, seperti yang terjadi di Ambang Dewakang. Semakin tinggi energi pasut

internal maka proses percampuran vertikal akan semakin tinggi pula (Hatayama,

2004).

Pemodelan gelombang internal di perairan Indonesia yang menggunakan

Regional Ocean Model System (ROMS) dengan data yang berasal dari mooring

dan satelit TOPEX/Poseidon (T/P) menunjukkan energi terbesar untuk pasut

internal terdapat pada perairan selat dan perairan yang memiliki topografi kasar.

Selat Ombai dan Laut Seram memiliki energi pasut internal (M2) yang paling

tinggi dengan kecepatan arus maksimum 50 cm s-1 (Robertson dan Ffield, 2005).

Peningkatan kecepatan arus pada Selat Ombai disebabkan oleh penyempitan

jalur aliran. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai rata-rata fluks energi

barotropik dari pasut M2 di sekitar Selat Ombai mencapai 500 kW m-1 ( Ray et al.,

2005).

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka_2

13

Gambar 2 Transfer energi dari pasut barotropik ke baroklinik (Carrere dan Lyard, 2003 in Koch-Larrouy et al., 2007).

2.5 Nutrien di Perairan

Nutrien merupakan unsur esensial selain cahaya yang sangat dibutuhkan

mahluk hidup yang mampu melakukan fotosintesis. Di daerah tropis, cahaya

selalu tersedia sepanjang tahun sehingga nutrien menjadi faktor pembatas bagi

perkembangan mahluk hidup di lapisan permukaan. Nutrien yang sangat

dibutuhkan untuk proses fotosintesis adalah nitrat dan fosfat, sedangkan silikat

digunakan oleh mahluk hidup untuk membentuk cangkang (misalnya Radiolaria,

Abalone, dll.) (Lalli dan Parsons, 2006). Sumber utama nutrien di lautan ada dua

yaitu dari proses autotonus (berasal dari dalam sistem, misalnya upwelling) dan

allotonus (berasal dari luar sistem, misalnya dari transport sungai) (Riley dan

Chester, 1971).

Konsentrasi nutrien di perairan akan berbeda-beda baik secara horizontal

maupun vertikal. Secara horizontal, konsentrasi nutrien tinggi di daerah pantai

dan rendah di laut lepas. Hal ini disebabkan suplai nutrien berasal dari daratan

utama yang masuk ke daerah pantai melalui aliran sungai. Secara vertikal,

Skala Logaritmik (TW/m

2)

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka_2

14

konsentrasi nutrien rendah di bagian permukaan dan tinggi di lapisan dalam

(Riley dan Chester, 1971). Hal yang sama didapatkan oleh Wetsteyn et al. (1990)

bahwa secara verikal konsentrasi nitrat (NO3) pada musim kemarau di laut

Banda dan Laut Arafura meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman

(Gambar 3). Hal ini disebabkan karena pada bagian permukaan nutrien banyak

digunakan untuk proses fotosintesis, sedangkan pada lapisan dalam fotosintesis

tidak berlangsung karena ketidaktersediaan cahaya (Lalli dan Parsons, 2006).

Ketersediaan dan transport nutrien di kolom perairan sangat dipengaruhi

oleh proses fisik seperti transport dari sungai, upwelling, dan percampuran

vertikal (Gambar 4). Percampuran vertikal memegang peranan penting untuk

mensuplai kebutuhan nutrien terutama pada daerah sill atau selat yang memiliki

nilai percampuran yang tinggi (Liu et al., 2010). Law et al. (2003) menambahkan

adanya korelasi linier antara nilai percampuran dengan tinggi rendahnya fluks

nutrien pada kolom perairan.

2.6 Pelayaran INDOMIX 2010

Pelayaran INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The Indonesian

Throughflow) merupakan riset kerjasama antara Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan LEGOS dan LOCEAN

Prancis. Pelayaran ini menggunakan Kapal Riset Marion Dufresne dan diikuti

oleh 43 peserta yaitu 20 orang peneliti Perancis dan 23 orang peneliti Indonesia.

Gambar 3 Profil nutrien di Laut Banda (I), kedalaman Weber (II), dan Laut Arafura (III) (Wetsteyn et al., 1990).

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka_2

15

Gambar 4 Proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrien di kolom perairan (Liu et al., 2010)

Tujuan utama dari penelitian ini adalah :

a. Mengkarakterisasi pasut internal dengan menggunakan CTD/LADCP

b. Pengukuran langsung disipasi dan percampuran turbulent

c. Mengukur kontribusi pasut internal terhadap percampuran turbulen

menggunakan data CTD/LADCP dan Mikrostruktur

d. Investigasi dampak percampuran turbulen terhadap distribusi bio-

geokimia dan phytoplankton

e. Pengamatan burung dan mamalia laut.

Pelayaran ini dilakukan dari tangal 9 -22 juli 2010 dengan rute pelayaran

mulai dari Papua, Laut Halmahera, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat

Lombok dan berakhir di Surabaya (Gambar 5). Selama perlayaran berlangsung,

dilakukan pengukuran berbagai parameter. Pengukuran parameter oseanografi

fisika dilakukan dengan menggunakan Vertical Microstructure Profiler (VMP),

Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature

Depth (XCTD), dan Lowered Acoustic Doppler Current Profiler (LADCP). Di Laut

Halmahera dilakukan pelepasan mooring untuk mengukur transport Arlindo yang

melalui lintasan timur. Pengukuran parameter atmosfer dilakukan dengan

menggunakan Radiosonde. Pada pelayaran ini juga dilakukan perekaman data

oleh Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan nutrien

(nitrat, posfat, silikat), klorofil-a, dan tracer (radio isotop) pada beberapa

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka_2

16

kedalaman serta pengamatan nekton, burung dan mamalia laut selama

pelayaran.

Gambar 5 Rute pelayaran Indomix 2010, dimulai dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010.