BAB II Tinjauan Pustaka Udang

15
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Galah Dalam bahasa ilmiah, nama Macrobrachium rosenbergii de Man mempunyai beberapa persamaan nama. Menurut Holthuis (1980) dalam Wibowo (1986) ada 6 sinonim udang tersebut, yaitu Palaemon carcinus rosenbergii (Ort- mann), Palaemon whitei Sharp, Palaemon (Eupalaemon) rosenbergii Nobili, Palaemon spinipes Schenkel, Palemon dacqueti Sunier, dan Cryphiops (Macrobrachium) rosenbergii Johnson. Udang galah juga memiliki beberapa nama lokal: misalnya giant freshwater shrimp, giant freshwater prawn di Amerika, udang satang, udang falah di Malaya dan Pulau Kalimantan. Sedangkan untuk klasifikasi udang galah menurut Pennak (1978) dalam Hadie dan Hadie (2002) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Natantia Famili : Palaemonidae Genus : Macrobrachium Spesies : Macrobrachium rosenbergii de Man Semasa hidupnya, udang galah dapat bertahan hidup pada dua habitat yang berbeda. Pada saat matang kelamin dan menetas hingga menjadi post larva hidup pada air payau, dan pada stadia selanjutnya hidup pada air tawar. Pada saat larva, udang galah terdiri dari 11 stadia yang berlangsung selama 40 hari hingga terbentuk organ yang secara morfologis sudah mirip dengan udang dewasa, di habitat alaminya senang berjalan di dasar sungai mencari makanan dan menjauhi lingkungan air payau menuju air tawar (Murtidjo 1992). Setelah berumur 5 – 6 bulan dan matang kelamin, udang galah kembali menuju air payau untuk menetaskan telurnya.

description

udang windu klasifikasi

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka Udang

  • 4

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Udang Galah Dalam bahasa ilmiah, nama Macrobrachium rosenbergii de Man mempunyai beberapa persamaan nama. Menurut Holthuis (1980) dalam Wibowo (1986) ada 6 sinonim udang tersebut, yaitu Palaemon carcinus rosenbergii (Ort-mann), Palaemon whitei Sharp, Palaemon (Eupalaemon) rosenbergii Nobili, Palaemon spinipes Schenkel, Palemon dacqueti Sunier, dan Cryphiops (Macrobrachium) rosenbergii Johnson. Udang galah juga memiliki beberapa nama lokal: misalnya giant freshwater shrimp, giant freshwater prawn di Amerika, udang satang, udang falah di Malaya dan Pulau Kalimantan. Sedangkan untuk klasifikasi udang galah menurut Pennak (1978) dalam Hadie dan Hadie (2002) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Natantia Famili : Palaemonidae Genus : Macrobrachium Spesies : Macrobrachium rosenbergii de Man

    Semasa hidupnya, udang galah dapat bertahan hidup pada dua habitat yang berbeda. Pada saat matang kelamin dan menetas hingga menjadi post larva hidup pada air payau, dan pada stadia selanjutnya hidup pada air tawar. Pada saat larva, udang galah terdiri dari 11 stadia yang berlangsung selama 40 hari hingga terbentuk organ yang secara morfologis sudah mirip dengan udang dewasa, di habitat alaminya senang berjalan di dasar sungai mencari makanan dan menjauhi lingkungan air payau menuju air tawar (Murtidjo 1992). Setelah berumur 5 6 bulan dan matang kelamin, udang galah kembali menuju air payau untuk menetaskan telurnya.

  • 5

    Seperti udang lain pada umumnya, badan udang galah terdiri dari ruas-ruas yang ditutupi dengan kulit keras. Bagian kulit tersebut cukup keras, tidak elastis dan terdiri dari zat chitin yang tidak dapat mengikuti pertumbuhan dagingnya. Badan udang galah terdiri tiga bagian, yaitu bagian kepala dan dada yang bersatu membentuk satuan kepala-dada (cephalothorax), bagian badan (abdomen), dan bagian ekor yang biasa disebut uropoda (Hadie dan Hadie 1993). Wibowo (1986) menambahkan bahwa bagian cephalothorax dibungkus oleh kulit keras yang disebut carapace. Pada bagian depan kepala terdapat tonjolan carapace yang bergerigi dan disebut rostrum. Walaupun kegunaan yang pasti belum diketahui, namun secara taksonomis rostrum tersebut mempunyai fungsi penting, yaitu sebagai penunjuk jenis (species). Dalam penentuan jenis, bentuk rostrum dan jumlah gigi yang terdapat pada rostrum merupakan petunjuk penting (Hadie dan Hadie 2002). Ciri khusus udang galah yang membedakannya dari jenis udang lainnya adalah bentuk rostrum yang panjang dan melengkung seperti pedang dengan jumlah gigi bagian atas berjumlah 11-13 gigi dan 8-14 buah gigi rostrum bagian bawah. Pada bagian dada terdapat lima pasang kaki jalan (periopoda). Pada udang jantan dewasa, pasangan kaki jalan kedua tumbuh sangat panjang dan besar, panjangnya dapat mencapai 1,5 kali panjang badannya. Ciri ini juga merupakan khas udang galah yang secara tepat dapat dikenali. Namun pada udang betina, pertumbuhan kaki jalan kedua ini tumbuh tidak begitu mencolok. Bagian badan (abdomen) terdiri dari lima ruas, masing-masing dilengkapi dengan sepasang kaki renang (pleipoda). Pada udang betina bagian ini agak melebar membentuk semacam ruangan untuk mengerami telurnya (broodchamber). Bagian ekor (uropoda) merupakan ruas terakhir dari ruas badan yang kaki renangnya berfungsi sebagai pengayuh atau yang biasa disebut ekor kipas. Uropoda terdiri dari bagian luar (exopoda) dan bagian ujungnya meruncing disebut telson. Umumnya warna kulit udang galah adalah biru kehijau-hijauan, namun kadang-kadang ditemukan pula udang galah yang warna kulitnya agak kemerah-merahan. Warna kulit udang galah dapat juga dipengaruhi oleh lingkungan setempat (Hadie dan Hadie 1993). Untuk lebih lanjut dapat di lihat pada gambar di bawah ini (Gambar 1).

  • 6

    Gambar 1. Morfologi udang galah Macrobrachium rosenbergii (Wibowo 1986)

    2.2 Ganti kulit dan Pertumbuhan Udang galah seperti pada kelompok krustacea lainnya, proses pertumbuhan diawali dengan pergantian kulit (molting). Proses ganti kulit pada krustacea terdiri dari premolt, molt, post molt, dan intermolt. Pergantian kulit adalah proses pergantian cangkang pada udang dan terjadi ketika ukuran daging udang bertambah besar sementara eksoskeleton tidak bertambah besar karena eksoskeleton yang bersifat kaku, sehingga untuk menyesuaikan keadaan ini udang akan melepaskan eksoskeleton yang lama dan membentuk kembali dengan bantuan kalsium. Saat terjadi pergantian cangkang merupakan saat rawan bagi udang galah karena ketika kulitnya terlepas tubuh yang ada didalamnya tidak memiliki pelindung lagi. Kulit tubuhnya tebal selain berfungsi sebagai pelindung juga sebagai pembatas pertumbuhan. Oleh karena itu, udang selalu berganti kulit dalam proses pertumbuhannya (Wickins dan Lee 2002). Selain itu, Hadie dan Hadie (1993) menambahkan bahwa pada saat larva mengalami pergantian kulit,

  • 7

    aktivitas larva terhenti sementara. Pada waktu itu larva udang tidak makan dan tidak banyak bergerak sebelum kulit yang baru mengeras. Wibowo (1986) menambahkan bahwa pada proses pergantian kulit, mata udang akan terlihat suram karena hormon yang mengatur pergantian kulit yang terdapat pada tangkai mata sedang aktif. Kulit yang masih baru biasanya tipis dan lembek kurang lebih 3-6 jam. Pada saat kulit baru ini masih lembek terjadilah pertumbuhan yang cepat sekali. Pertumbuhan tersebut dibantu oleh penyerapan sejumlah air. Menurut Effendie (1997) pertumbuhan merupakan proses yang terjadi dalam tubuh organisme yang menyebabkan pertambahan bobot atau protein dalam tubuh dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal meliputi sifat genetik dan kondisi fisiologis serta faktor eksternal yakni berkaitan dengan lingkungan yang menjadi media pemeliharaan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya yaitu komposisi kimia air, substrat dasar, temperatur air, dan ketersediaan pakan. Pertumbuhan terjadi pada makhluk hidup jika jumlah makanan yang dimakan melebihi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Sehingga pertumbuhan sangat bergantung pada proses pergantian kulit, tetapi pergantian kulit tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan individu. Selanjutnya menurut Ling (1964), pergantian kulit dipengaruhi oleh umur, kualitas dan kuantitas makanan. Dikatakan juga bahwa udang pada stadium muda akan lebih sering mengalami ganti kulit daripada udang dewasa. Pertumbuhan pada krustacea adalah pertambahan panjang dan berat tubuh yang terjadi secara berkala sesaat setelah pergantian kulit, sehingga adanya pertambahan panjang tubuh. Panjang tubuh tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pergantian kulit. Udang mengalami pergantian kulit beberapa kali selama hidupnya sehingga panjang tubuhnya bertambah (Hartnoll 1982 dalam Kaligis 2005). Hadie et al. dalam Putri (2009) menambahkan bahwa pertumbuhan udang berpola tidak kontinyu karena pertumbuhan akan terjadi setelah terjadinya pergantian kulit udang sehingga dibatasi oleh eksoskeleton. Hadie et al. (2001) dalam Putri (2009) menduga bahwa:

  • 8

    1. Selama proses intermolt, pertumbuhan selular terjadi secara numerik. 2. Setelah ganti kulit, udang menyerap air yang menyebabkan semua sel

    dalam keadaan torgor (turgescent), sehingga volume tubuh menjadi maksimal.

    3. Pengerasan eksoskeleton yang berlangsung 2-6 jam memungkinkan tubuh bertambah scara maksimal, sehingga eksoskeleton baru mengeras pada tubuh maksimal serta

    4. Pengisian material sel terjadi selama stadium intermolt. Proses ganti kulit pada udang terdiri dari 4 tahapan, yaitu fase intermolt, premolt, molt, dan post molt (Wickins dan Lee 2002). Dimana:

    1. Fase intermolt akhir ialah fase dimana kondisi tubuh udang berada dalam keadaan normal, dan ion kalsium terdapat pada hepatopankreas.

    2. Fase premolt yakni fase pengumpulan ion kalsium dalam lambung yang berasal dari jaringan kulit maupun dari lingkungan perairan. Akibat dari pengumpulan ion kalsium ini terbentuk kerikil kapur yang berwarna putih yang disebut dengan gastrolith.

    3. Fase molt yakni fase pelepasan cangkang dan pengangkutan ion kalsium untuk memenuhi jaringan kulit baik dari luar maupun dari dalam tubuh udang. Sehingga ketika udang mencapai fase ini, lingkungan perairan akan menjadi masam karena pengaruh dari pengangkutan ion kalsium untuk memenuhi jaringan kulit pada pembentukan eksoskeleton baru.

    4. Fase postmolt ialah fase dimana gastrolith yang terbentuk pada lambung diuraikan oleh asam lambung untuk memenuhi kalsium tubuh udang karena telah berkurang setelah digunakan untuk pembentukan eksoskeleton baru. Pada fase ini biasanya udang akan kembali memakan eksoskeleton lama yang telah ditanggalkannya untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh karena penguraian gastrolith tidak cukup.

    5. Fase intermolt awal ialah fase dimana udang akan mengalami homeostatis kalsium yakni proses yang bertujuan untuk menyeimbangkan kandungan ion kalsium tubuh dengan ion kalsium diperairan. Selain itu pada fase ini terjadi pula pertumbuhan jaringan somatik antara periode sesudah ganti kulit (postmolt) dan awal ganti kulit.

  • 9

    Menurut Passano (1960), stadia ganti kulit dapat dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Stadia ganti kulit golongan krustase menurut Passano (1960).

    Dalam pertumbuhannya, larva udang galah mengalami 11 kali ganti kulit sebelum mencapai stadia benih (post larva). Wibowo (1986) menyatakan bahwa benih udang yang sedang pesat pertumbuhannya lebih sering berganti kulit dengan selang waktu 5-10 hari sekali. Oleh karena itu apabila keadaan normal maka dalam waktu 2 bulan saja udang dapat tumbuh dari ukuran kurang dari 1 cm menjadi sekitar 5 cm. Pada pergantian kulit yang biasa, selang waktu antara

    Stadia Nama Ciri-ciri Aktivitas Makan/tidak Air (%)

    Lamanya (%)

    Stadia A

    A1 Baru ganti kulit Secara kontinyu menyerap air dan permukaan mineralisasi

    Sedikit Tidak - 0,5

    A2 Lemah Mineralisasi eksoskeleton (kulit luar) Sedikit Tidak 86 1,5 Stadia B

    B1 Kulit tipis Ekskresi dari endokutikula mulai Dipertimbangkan Tidak 85 3,0

    B2 Kilit tipis Pembentukan endokutikula mulai aktif Penuh Mulai 83 5,0

    Stadia C C1 Keras Jaringan utama tumbuh Penuh Makan 80 8,0 C2 Keras Pertumbuhan jaringan kontinyu Penuh Makan 76 13

    C3 Keras Perlengkapan eksoskeleton; lapisan membran terbentuk

    Penuh Makan 68 15

    C4 Keras intermolt penumpukan simpanan bahan organik Penuh Makan 61 30+

    Stadia D

    D0 Proecdysis Epidermis dan hepatopankreas aktif Penuh Makan 60 10+

    D1 Proecdysis Epikutikula terbentuk dan mulai terbentuk duri syaraf

    Penuh Makan - 5

    D2 Pengelupasan Eksoskeleton mulai mengeluarkan sekresi Penuh

    Menurun

    - 5

    D3 Pengelupasan Sebagian besar skeleton diserap kembali Menurun Tidak Naik 3

    D4 Menjelang ganti kulit Kulit mulai robek Sedikit Tidak Naik 1

    Stadia E

    E Ganti kulit Pengambilan air cepat Tidak Tidak Cepat naik 0,5

  • 10

    pergantian kulit yang satu dengan pergantian kulit berikutnya berkisar 20-40 hari. Berlangsungnya proses biologis ini sangat dipengaruhi oleh umur, jumlah, dan kualitas pakan serta lingkungan hidup udang galah. Semakin muda umur udang galah, semakin cepat proses pergantian kulitnya karena laju pertumbuhan udang galah muda cukup pesat. Demikian juga udang yang memperoleh makanan dengan jumlah dan kualitas yang baik akan lebih sering berganti kulit. Sering berganti kulit menandakan pertumbuhan udang ini cepat dan lebih cepat besar.

    2.3 Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme awal saat penebaran yang dinyatakan dalam bentuk persen dimana semakin besar nilai persentase menunjukkan makin banyak organisme yang hidup selama pemeliharaan (Effendie 1997). Sedangkan mortalitas adalah kematian yang terjadi dalam suatu populasi organisme yang dapat menyebabkan turunnya populasi. Musa (1982) dalam Tanribali (2007) menyatakan bahwa padat penebaran mempunyai pengaruh terhadap mortalitas, pertumbuhan serta keagresifan mencari makan. Pada tingkat padat penebaran yang tinggi udang tersebut akan lebih agresif mencari makanan. Hadie et al. (1992) dalam Putri (2009) menambahkan bahwa semakin tinggi padat penebaran semakin tinggi pula mortalitas dan semakin rendah daya kelangsungan hidupnya. Hal ini diduga karena udang bersifat bentik terotorial dan meningkatnya kanibalisme karena frekuensi ganti kulit yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian Hadie et al. (1992) dalam Putri (2009) pada padat penebaran 500 ekor/m2 adalah yang paling optimum karena menghasilkan derajat kelangsungan hidup 85,97% dan laju pertumbuhan harian sebesar 2,01% untuk masa pemeliharaan 40 hari.

    2.4 Salinitas dan Osmoregulasi Salinitas merupakan konsentrasi total ion-ion yang terlarut dalam air dan biasanya dinyatakan dalam satuan g/kg atau . Terdapat 7 ion yang sangat berpengaruh dalam salinitas perairan, yaitu Na, K, Mg, Ca, Cl, sulfat, dan bikarbonat. Salinitas menggambarkan padatan padatan total dalam air, setelah

  • 11

    semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi (Boyd 1982). Ikan dan udang air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan tubuh lebih besar (hipertonik) daripada tekanan osmotik lingkungannya, sehingga garam-garam tubuh cenderung keluar sedangkan air cenderung masuk ke dalam tubuh ikan. Keadaan hipertonik tersebut menyebabkan tubuh ikan atau udang menjadi bengkak karena air yang terus-menerus masuk ke dalam tubuh ikan hingga mencapai keseimbangan tekanan osmotik diantara keduanya. Hal ini akan menyebabkan ikan atau udang kehilangan banyak garam tubuh karena banyak mengeluarkan urin. Agar proses fisiologis dalam tubuh dapat berjalan normal, diperlukan suatu perbedaan tekanan osmotik tertentu antara lingkungan luar dengan lingkungan dalam tubuh ikan dan udang. Proses pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh agar proses-proses fisiologis tubuhnya berjalan normal disebut osmoregulasi. Peranan salinitas pada udang galah berhubungan dengan proses osmoregulasi. Salinitas diperlukan pada kehidupan larva atau juvenil karena konsentrasi ion-ion dalam tubuh larva harus mendekati konsentrasi di lingkungannya (Saputra 2000). Kinne (1964) dalam Saputra (2000) menyatakan bahwa terjadinya perubahan salinitas dapat menyebabkan perubahan laju metabolisme. Bila hewan berada di luar batas toleransi salinitas normalnya, dapat menyebabkan menurunnya laju metabolisme. Hipo atau hiper osmotik akan memerlukan ATP yang tinggi karena pada hipo diperlukan pelepasan air dan degradasi protein sehingga sel dapat terjaga konsentrasinya, sedangkan pada hiper perlu pompa untuk mengeluarkan ion terutama Na sehingga pompa ATP-ase bekerja lebih aktif dan energi yang diperlukan tinggi.

    2.5 Peranan Kalsium bagi Pertumbuhan Udang Galah Kalsium tidak terdapat dalam bentuk bebas, namun berupa kation yang bermuatan dua ion positif. Kalsium mempunyai peranan penting dalam pembentukan jaringan tubuh terutama tulang dan eksoskeleton. Hal ini disebabkan 99% kalsium dalam tubuh terdapat dalam jaringan eksoskeleton atau tulang (Piliang 2005 dalam Taqwa 2008). Beberapa jenis krustacea yang hidup di air laut

  • 12

    mungkin kehilangan sampai 90% dari kalsium tubuh mereka selama ganti kulit, dan perlu mendapatkan kalsium yang diperlukan pada saat pasca pergantian kulit dari air sekitarnya (Greenaway 1983 dan Greenaway 1985 dalam Nemoto 2009). Ordo decapoda yang termasuk di dalamnya udang galah, permukaan tubuhnya dilapisi oleh kulit yang dibentuk dari protein kompleks berupa khitin (Zaidy 2007). Hegdahl et al. (1977) dalam Nemoto (2009) melaporkan bahwa kutikula krustacea terdiri dari empat lapisan, yaitu epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan lapisan membran. Kulit krustacea tersimpan kalsium karbonat CaCO3 yang berperan sebagai pengeras kulit, selain kandungan magnesium, fosfor, dan sulfat yang proporsinya lebih sedikit. Pertumbuhan udang terjadi setelah proses ganti kulit (molting). Unsur anorganik yang paling penting dalam tubuh udang galah adalah kalsium. Penambahan kalsium pada kolam budidaya lewat pengapuran bertujuan untuk menetralkan ion Al, Fe, H dan Mn serta menambahkan unsur Ca dan Mg ke dalam perairan (Kamprath 1976 dalam Kaligis 2005). Lockwood (1967) juga menambahkan bahwa kalsium berperan sebagai pembentuk eksoskeleton, pengatur pembekuan darah, pengatur denyut jantung, pengatur fungsi tubuli ginjal, pengatur otot syaraf untuk bekerja secara normal, pengatur aktivitas beberapa enzim, dan pengatur permeabilitas sel. Selain itu juga, kalsium dalam tubuh udang berperan pula dalam memacu kerja enzim ATP-ase. Ketika proses ganti kulit maka terjadi penyesuaian konsentrasi (homeostatis) antara ion kalsium bagian dalam tubuh dengan ion kalsium perairan dengan mekanisme transport pasif (Zaidy 2007). Dick (2004) juga menyatakan bahwa proses penyerapan kalsium dari lingkungan dengan cara diangkut melintasi sel dan disimpan untuk menjaga keseimbangan ion kalsium tersebut dalam sel. Untuk melindungi gangguan-gangguan yang terjadi pada sistem penyerapan, maka sel tetap mempertahankan sejumlah kalsium dalam sitoplasmanya. Maka untuk itu proses pembentukkan cangkang pada media yang memiliki ion Ca2+ yang tinggi akan lebih efektif karena dapat membantu dalam proses homeostatis kalsium.

    Sumber kalsium bagi udang dapat berasal dari pakan dan media hidupnya (Deshimaru et al. 1978 dalam Zaidy 2007). Penyerapan kalsium dalam rongga

  • 13

    usus memerlukan energi yang bergantung pada enzim ATPase. Dalam darah, kalsium terdapat dalam (1) bentuk terikat oleh protein, terutama albumin dan dapat berdifusi, (2) bentuk ion, dan (3) bentuk ikatan kompleks, yaitu fosfat, bikarbonat dan ikatan sitrat (Djojosoebagio 1978 dalam Zaidy 2007). Rendahnya sediaan kalsium air media secara potensial akan menghambat proses ganti kulit, karena terhambatnya kalsifikasi untuk menyuplai kebutuhan kalsium untuk ganti kulit. Pada saat menjelang ganti kulit, Ca akan disimpan dalam hepatopankreas, selanjutnya disimpan dalam gastrolit. Lalu diendapkan kembali di dalam kulit sesaat setelah ganti kulit untuk pengerasan kulit baru (Passano 1960). Tseng (1987) dalam Kaligis (2005) menambahkan pula bahwa rendahnya konsentrasi kalsium di perairan tawar untuk kebutuhan udang akan dikompensasi dengan mereduksi mineral eksoskeletonnya, meskipun harus dalam kebutuhan minimal. Jika kandungan kalsium di perairan tidak mencukupi, maka tidak hanya berpengaruh terhadap pertumbuhan udang tetapi juga mekanisme osmoregulasinya akan terganggu. Zaelani (2006) melakukan penelitian pada media yang ditambahkan CaCO3 dengan dosis 0-200 mg/l, terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada lobster air tawar. Dan hasil menunjukkan bahwa pada penambahan CaCO3 dengan dosis 100 mg/l menghasilkan tingkat kelangsungan hidup, nilai laju pertumbuhan dan pertumbuhan panjang tertinggi.

    2.6 Shelter Menurut Salmon dan Hyatt (1983) dalam Tanribali (2007), teritorial atau sistem daerah teritorial merupakan ciri utama pada hewan krustacea terutama decapoda, karena pada umumnya jenis hewan ini sangat suka berkelahi. Dalam pemeliharaan hewan krustacea terutama decapoda, penggunaan pelindung (shelter) sangat diperlukan agar tingkah laku kanibal dapat ditekan. Menurut Manurung (2004) shelter berfungsi memberi tempat yang aman bagi udang dalam proses ganti kulit sehingga terhindar dari serangan udang yang lain, melindungi udang dari sinar matahari, tempat istirahat, dan tempat mencari makan. Shelter juga berperan dalam proses pertumbuhan udang karena pertumbuhan pada udang hanya akan terjadi jika udang berhasil ganti kulit, sehingga adanya shelter proses ganti kulit pada udang dapat berlangsung normal dengan variabel lingkungan dan

  • 14

    genetik dianggap normal. Menurut Smith dan Sandifer (1975) dalam Tanribali (2007), keberadaan pelindung sangat efektif untuk mengurangi frekuensi interaksi sehingga kematian akibat stress dan kanibalisme dapat ditekan. Pada kolam pembudidaya digunakan bahan-bahan seperti pipa PVC, batu koral, batu bata atau mesh. Padat penebaran yang tinggi saat pendederan, udang galah menjadi agresif dan selanjutnya udang dapat saling memakan satu sama lain. Untuk itu perlu adanya shelter untuk menghindari perilaku kanibalisme.

    2.7 Kualitas Air Air merupakan faktor penting dalam pemeliharaan udang yaitu sebagai media untuk hidup. Beberapa faktor fisika dan kimia air yang dapat mempengaruhi kehidupan udang yaitu suhu, oksigen terlarut, pH, nitrit, kesadahan kalsium, alkalinitas, dan amonia.

    2.7.1 Suhu Suhu air merupakan variabel lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi, dan kelarutan gas-gas pada lingkungan perairan. Suhu sangat berpengaruh terhadap organisme di perairan dengan perannya controlling faktor bagi perairan. Udang galah dapat hidup pada suhu 25-320C dan diluar batas ini udang akan mengalami stress. Suhu yang optimum dalam pemeliharaan udang galah adalah 26-300C (Boyd dan Zimmermann 2000 dalam Wickins dan Lee 2002). Sedangkan menurut New dan Singholka (1982) dalam Wibowo (1986), udang galah dapat dipelihara pada suhu 18-340C dan optimum pada suhu 29-310C. Nelson dan Knight (1977) menyatakan bahwa suhu media akan menaikkan laju metabolisme dan proses ganti kulit, disamping itu meningkatnya suhu sampai batas toleransi udang menyebabkan meningkatnya laju pertumbuhan. Selain itu, kenaikan suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan oksigen di perairan, daya racun nitrit dan amonia dalam media kultur. Sedangkan pada suhu relatif rendah, udang galah tidak dapat tumbuh dengan baik karena proses ganti kulit yang diperlukan supaya udang dapat tumbuh membutuhkan suhu yang cukup hangat.

  • 15

    Hadie (1993) menambahkan bahwa pada suhu yang tinggi dapat meningkatkan sifat kanibalisme udang.

    2.6.2 Oksigen terlarut Oksigen adalah salah satu gas yang ditemukan terlarut dalam perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfir (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi 2003). Stickey (1979) menyatakan bahwa kekurangan oksigen terlarut akan membahayakan organisme air karena dapat menyebabkan stress, mudah terserang penyakit dan bahkan mengalami kematian. Kandungan oksigen terlarut sangat mempengaruhi metabolisme tubuh udang. Kandungan oksigen terlarut dalam air yang dapat mendukung kehidupan udang yaitu antara 4-8 mg/l. Kebutuhan minimal oksigen terlarut adalah 4 mg/l, sedangkan kandungan optimal untuk pertumbuhan udang adalah 6-8 mg/l dan kandungan oksigen terlarut sebesar 3 mg/l merupakan konsentrasi kritis bagi udang (Wickins dan Lee 2002). Boyd dan Zimmermann (2000) dalam Wickins dan Lee (2002) menambahkan pula bahwa udang galah dapat hidup dengan konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 4,5 mg/l atau lebih dari 75% dari titik jenuh. Tetapi New dan Singholka (1982) dalam Wibowo (1986) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut terbaik untuk kehidupan udang galah adalah lebih besar dari 5 mg/l.

    2.6.3 Nilai pH Nilai pH merupakan salah satu sifat kimia yang secara langsung

    berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang galah. Mackereth (1989) dalam Effendi (2003) berpendapat bahwa pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH kurang dari 5, alkalinitas bisa mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi juga nilai alkalinitas dan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Tebbut (1992) dalam Effendi (2003) juga menambahkan bahwa toksisitas dari senyawa kimia juga dipengaruhi oleh pH. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan

  • 16

    dengan pH rendah. Pada suasana alkalin (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amonia yang tak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan amonium. Menurut Boyd dan Zimmermann (2000) dalam Wickins dan Lee (2002), bahwa pH yang ideal untuk udang galah berkisar antara 7,0-9,0. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Novotny dan Olem (1994) dalam Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7,0-8,5. Proses biokimia perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Proses nitrifikasi akan berakhir jika pH bersifat asam. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah. Putri (2009) melakukan penelitian terhadap udang galah strain Jenerik pada media ber-pH 5 dan hasilnya secara nyata menurunkan derajat kelangsungan hidup sampai nilai 50%.

    2.6.4 Kesadahan Kalsium Kesadahan adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat (Effendi 2003). Faktor kesadahan mempunyai pengaruh besar terhadap kelangsungan hidup udang galah. Hal ini disebabkan udang harus mengalami proses ganti kulit agar dapat tumbuh dan dibutuhkan nilai kesadahan yang optimal agar proses ganti kulit dapat berlangsung dengan baik. Zaelani (2006) melakukan penelitian pada lobster air tawar pada media yang ditambahkan CaCO3 dengan dosis 100 mg/l dan menghasilkan nilai laju pertumbuhan dan pertumbuhan panjang tertinggi.

    2.6.5 Alkalinitas Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau sebagai penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan (Effendi 2003). Konsentrasi total alkalinitas erat hubungannya dengan total kesadahan air, karena kesadahan atau konsentrasi ion-ion logam bervalensi dua seperti Ca2+ dan

  • 17

    Mg2+ dipasok dari lapisan tanah dengan HCO3- dan CO32- yang merupakan unsur pembentuk total alkalinitas (Kordi dan Tancung 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Arce dan Boyd (1975) dalam Boyd (2002), menjelaskan bahwa bahan pengapuran melepaskan ion-ion yang menyokong terhadap alkalinitas total dan kesadahan total dalam perbandingan yang setara dengan demikian, pengapuran biasanya menghasilkan kenaikan dalam alkalinitas total dan kesadahan total. Pada perairan dengan alkalinitas yang tinggi, apabila produktivitasnya lebih tinggi tidak diakibatkan secara langsung oleh alkalinitas tetapi lebih disebabkan kandungan fosfor, dan unsur hara lain yang meningkat bersamaan dengan alkalinitas total. Pada udang galah alkalinitas yang optimal bagi pertumbuhan udang adalah 20-60 mg/L CaCO3 (Boyd dan Zimmermann 2000 dalam Wickins dan Lee 2002). Tetapi Vera (2000) dalam Wickins dan Lee (2002) menyatakan bahwa konsentrasi alkalinitas yang optimal bagi udang galah adalah 25-100 mg/L CaCO3. Kolam dengan alkalinitas 200-300 mg/l CaCO3 masih layak untuk kehidupan udang. Selanjutnya Effendi (2003) menyatakan bahwa perairan dengan alkalinitas tinggi lebih produktif daripada kolam dengan alkalinitas rendah. Effendi (2003) juga menambahkan bahwa kondisi perairan dengan alkalinitas terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi.

    2.6.6 Amonia Amonia di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial dari senyawa nitrogen. Menurut Boyd (1982) amonia yang tidak terionisasi sangat toksik terhadap udang, tetapi ion amonium relatif tidak toksik, hal ini dipengaruhi oleh suhu dan pH perairan. Bila amonia dalam air meningkat, amonia dari ekskresi udang akan menurun sehingga kandungan amonia dalam darah dan jaringan menjadi tinggi. Amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas udang terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, sehingga meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada insang serta mengurangi kemampuan darah dalam mentranspor oksigen (Boyd 1982). Kisaran konsentrasi amonia dalam pemeliharaan udang

  • 18

    galah yaitu sebesar 0,1-0,3 mg/l tetapi akan lebih baik jika konsentrasi amonia di bawah 0,1 mg/l (Boyd dan Zimmermann 2000 dalam Wickins dan Lee 2002).

    2.6.7 Nitrit Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas hidrogen (denitrifikasi). Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil dari nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen (Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003). Smith dan Russo (1975) dalam Kordi dan Tancung (2007) juga menambahkan bahwa nitrit bersifat toksik pada udang dan ikan karena mengoksidasi Fe2+ di dalam hemoglobin. Dalam bentuk ini kemampuan darah untuk mengikat oksigen sangat menurun. Pada udang yang darahnya mengandung Cu (hemocyanin) mungkin terjadi oksidasi Cu oleh nitrit dan memberikan akibat yang sama seperti pada ikan. Menurut Boyd et al. (2000) dan Van Olst et al. (1980) dalam Wickins dan Lee (2002), konsentrsi nitrit yang diperbolehkan dalam pemeliharaan udang galah adalah kurang dari 1,4 mg/l, tetapi disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/l.