BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan...

12
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia Menjadi tua tidak dapat dicegah. Proses penuaan dapat dibagi ke dalam beberapa tingkatan yaitu optimal aging dimana performance pada orang yang menua masih sama atau bahkan lebih tinggi daripada saat ia muda; successful aging dimana orang yang menua mampu beradaptasi dengan usianya sehingga bisa tetap aktif dan memiliki kualitas hidup yang dianggap memuaskan; normal aging dimana penuaan merupakan proses yang umum terjadi di populasi atau orang yang menua terhindar dari kondisi patologis; pathological aging dimana adaptasi terhadap perubahan fisik yang kurang baik atau adanya penyakit terkait usia. Adanya perbedaan pada jenis penuaan disebabkan karena adanya perbedaan genetik, perbedaan sosial budaya, dan perbedaan kemampuan adaptasi secara biologis ataupun secara psikologis (Sidiarto & Kusumoputro, 2003). Tidak semua orang bisa mencapai usia lanjut sehingga usia lanjut dianggap sebagai usia emas (Maryam dkk, 2008). Tidak ada definisi yang yang standar untuk umur lansia. Karena setiap negara memiliki kriteria masing-masing untuk umur seseorang memasuki lansia (WHO, 2015b). Menurut Undang-undang No.13 tahun 1998 lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia ada yang potensial dan ada juga yang tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan atu jasa. Sedangkan lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sedangkan menurut WHO dalam Nugroho (2009), lansia diklasifikasikan menjadi

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

Menjadi tua tidak dapat dicegah. Proses penuaan dapat dibagi ke dalam

beberapa tingkatan yaitu optimal aging dimana performance pada orang yang menua

masih sama atau bahkan lebih tinggi daripada saat ia muda; successful aging dimana

orang yang menua mampu beradaptasi dengan usianya sehingga bisa tetap aktif dan

memiliki kualitas hidup yang dianggap memuaskan; normal aging dimana penuaan

merupakan proses yang umum terjadi di populasi atau orang yang menua terhindar

dari kondisi patologis; pathological aging dimana adaptasi terhadap perubahan fisik

yang kurang baik atau adanya penyakit terkait usia. Adanya perbedaan pada jenis

penuaan disebabkan karena adanya perbedaan genetik, perbedaan sosial budaya, dan

perbedaan kemampuan adaptasi secara biologis ataupun secara psikologis (Sidiarto

& Kusumoputro, 2003).

Tidak semua orang bisa mencapai usia lanjut sehingga usia lanjut dianggap

sebagai usia emas (Maryam dkk, 2008). Tidak ada definisi yang yang standar untuk

umur lansia. Karena setiap negara memiliki kriteria masing-masing untuk umur

seseorang memasuki lansia (WHO, 2015b). Menurut Undang-undang No.13 tahun

1998 lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia ada

yang potensial dan ada juga yang tidak potensial. Lansia potensial adalah lansia yang

masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan

barang dan atu jasa. Sedangkan lansia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak

berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Sedangkan menurut WHO dalam Nugroho (2009), lansia diklasifikasikan menjadi

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

9

empat yang meliputi usia pertengahan (45-59 tahun), lansia (60-74 tahun), lansia tua

(75-90 tahun), dan lansia sangat tua yang berumur di atas 90 tahun.

Di era ini sebagian besar negara di dunia mengalami transisi demografi yang

ditandai dengan penurunan tingkat kelahiran maupun tingkat kematian. Hal ini

menyebabkan pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Selain itu, perubahan

penting juga terjadi pada komposisi umur penduduk (Bongaarts, 2009). Hampir di

setiap negara, pertumbuhan proporsi penduduk di atas 60 tahun lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan kelompok umur lainnya. Penuaan populasi ini dapat

mencerminkan kesuksesan dalam bidang kesehatan masyarakat namun juga sebagai

tantangan kepada masyarakat untuk beradaptasi, memaksimalkan kapasitas

kesehatan maupun fungsional dari orang tua (WHO, 2015).

Indonesia merupakan salah satu negara yang berstruktur umur tua. Proporsi

lansia di Indonesia telah melebihi 7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah

penduduk lansia di Indonesia sebesar 20.04 juta jiwa sebesar 8.05% dari total seluruh

penduduk Indonesia. Jika dilihat berdasarkan umur maka lansia dibagi menjadi lansia

muda (60-69 tahun) dengan proporsi 4.91%, lansia madya (70-79 tahun) sebesar

2.31%, dan lansia tua (≥80 tahun) sebesar 0.83%. Jumlah lansia perempuan sebesar

10.67 juta orang dimana jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk lansia laki-laki

yang sebesar 9.38 juta orang (BPS, 2014).

Orang tua di Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan biasanya tinggal

dengan anak-anak mereka. Hal ini tentu menunjukkan bahwa peranan keluarga

sangat penting bagi orang tua atau lansia di Indonesia. Namun, sekarang Indonesia

berangsur mengalami perubahan di mana struktur keluarga besar telah bergeser

menjadi struktur keluarga kecil yang tentunya akan mempengaruhi persepsi

perawatan lansia dalam keluarga (Hastuti, 2003). Hal ini dikarenakan kaum muda

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

10

atau anak-anak dari orang tua tersebut cenderung mencari pekerjaan ke kota (Kadar,

Francis, & Sellick, 2013). Menurut Susenas Kor BPS (2013) di Indonesia 26.82%

lansia tinggal bersama keluarga dalam rumah tangga, 41.44% tinggal dengan tiga

generasi dalam rumah tangga, sedangkan lansia yang tinggal sendiri masih cukup

besar yaitu 9.89%.

Di Indonesia, pada tahun 2013 lansia lebih banyak yang tinggal di pedesaan

dibanding perkotaan. 8.67% lansia tinggal di pedesaan sedangkan yang tinggal di

perkotaan sebesar 7.43%. Tempat tinggal merupakan hal yang penting bagi setiap

orang tidak terkecuali lansia. Tempat tinggal yang baik adalah tempat tinggal yang

aman serta nyaman namun tidak semua orang bisa memenuhi hal itu. Jika dilihat dari

tahun 2011 hingga 2013, persentase lansia yang tinggal di tempat yang layak huni

sudah mengalami peningkatan. Dalam hal tempat tinggal, lansia di perkotaan lebih

beruntung dibandingkan lansia yang tinggal di pedesaan. 88.46% lansia di perkotaan

tinggal di rumah layak huni sedangkan lansia di pedesaan yang tinggal di tempat

layak huni hanya sebesar 76.1% (BPS, 2014).

2.2 Masalah-Masalah Pada Lansia

Pertambahan usia pada usia lanjut tentu berdampak pada fungsi fisiologisnya.

Hal ini dikarenakan adanya proses degeneratif dalam tubuh sehingga muncul

penyakit degeneratif pada usia lanjut. Selain itu kondisi atau daya tahan tubuh lansia

yang rendah juga mengakibatkan lansia mudah terkena penyakit infeksi (Kemenkes

RI, 2013). Selain itu, lansia juga menghadapi berbagai keluhan kesehatan. Menurut

data Susenas Kor BPS (2013) persentase lansia yang mengalami keluhan kesehatan

meningkat seiring peningkatan umur. Pada tahun 2013 penduduk pralansia (45-45

tahun) yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 35.18%, pada lansia (60-69

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

11

tahun) sebesar 46.71%, lansia madya (70-79 tahun) sebesar 56, 26%, dan pada lansia

tua (≥80 tahun) sebesar 61.04%. Penyakit infeksi yang menyerang lansia diantaranya

tuberkulosis, diare, pneumonia, sedangkan penyakit tidak menular pada lansia seperti

hipertensi, stroke, diabetes mellitus, dan penyakit kronis lainnya (Kemenkes RI,

2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lyons & Levine (2013) di

Amerika disebutkan bahwa seiring dengan peningkatan umur laporan tentang

penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh

Carson et al (2012) yang berjudul “Ethnic Differences in Hypertension Incidence

among Middle Aged and Older U. S. Adults: The Multi-Ethnic Study of

Atherosclerosis” yang menyatakan bahwa untuk semua etnis yang ada di Amerika,

risiko untuk mengalami hipertensi seumur hidup meningkat seiring bertambahnya

usia.

Selain hipertensi, lansia juga berisiko terhadap penyait diabetes. Sebuah

penelitian dilakukan oleh Rosyada dan Trihandini (2010) tentang “Determinan

komplikasi kronik DM Pada Usia Lanjut” menunjukkan bahwa sebagian besar

penderita diabetes mellitus di Indonesia ada pada kelompok umur 60-74 tahun

(83.3%). Data penelitian ini berasal dari data sekunder Riskesdas 2007. Sedangkan

menurut penelitian di Tanimbar tahun 2010, selain diabetes gangguan fisik lain yang

sering ditemukan pada lansia adalah katarak, gastritis kronis, altralgia genu, serta

nyeri pinggang bawah (Aswin & Cornelles, 2010).

Gangguan fisik yang juga menonjol pada lansia seperti gangguan

pengelihatan (katarak dan glaucoma), gangguan pendengaran (presbikusis, gangguan

komuikasi), gangguan sistem pernapasan, gangguan sistem hormonal, serta gangguan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

12

musculoskeletal seperti kekakuan sendi sehingga gerak menjadi terbatas

(Notoatmodjo, 2007). Selain kemunduran fisik juga terjadi kemunduran kognitif

seperti kepikunan, kemunduran terhadap orientasi waktu, ruang, tempat, dan

kesulitan dalam menerima hal baru (Maryam dkk, 2008). Seiring dengan

bertambahnya usia, seseorang akan sulit untuk meningkatkan kualitas dirinya bahkan

untuk melakukan aktivitas sehari-hari pun akan menjadi sulit dan terbatas

(Topinkova, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulsita (2010)

tentang gambaran kognitif pada lansia didapatkan hasil penurunan fungsi kognitif

pada masyarakat masih cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan di RSUP HAM dan

Puskesmas Petisah ini mendapatkan hasil bahwa 34% responden mengalami

penurunan fungsi kognitif dan penurunan ini sebagian besar terjadi pada lansia tua

(50%).

Selain perubahan secara fisik dan kognitif, lansia juga mengalami perubahan

dari segi ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari aspek ekonomi, lansia dipandang

sebagai beban dikarenakan sudah tidak produktif seperti dahulu. Produktivitas

penduduk lansia juga sudah menurun jika memasuki lapangan pekerjaan meskipun

tidak semua. Sedangkan jika dilihat dari aspek sosial anggapan tentang lansia

berbeda antara negara satu dengan negara lainnya. Di masyarakat tradisional

terutama Indonesia lansia masih sangat dihormati dan menduduki strata tinggi namun

tidak begitu halnya dengan negara barat (Notoatmodjo, 2007).

2.3 Akses Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan mencakup semua layanan yang berhubungan dengan

diagnosis penyakit dan pengobatannya, atau promosi, pemeliharaan, dan pemulihan

kesehatan (WHO, 2015). Sedangkan akses ke pelayanan kesehatan adalah peluang

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

13

atau kesempatan untuk mengonsumsi barang dan jasa kesehatan (Haddad &

Mohindra, 2002 dalam Levesque et al 2013). Sebuah artikel yang disusun oleh

Racher dan Ardene menunjukkan bahwa masalah akses itu kompleks dimana tidak

hanya menyangkut ketersediaan fasilitas namun juga bagimana penerima layanan

mampu dan mau untuk mencari layanan tersebut (Racher & Vollman, 2002). Ada

lima dimensi spesifik akses dari sisi penawaran (provider) yang disebut “The

Penchansky taxonomy” (Penchansky, 1981 dalam Clark & Coffee, 2011., Levesque

et al., 2013; Racher & Vollman, 2002) yaitu: Approachability (kedekatan) berarti

orang yang memiliki kebutuhan akan kesehatan mendapatkan pelayanan kesehatan

yang dapat diidentifikasi dalam bentuk keberadaan pelayanan, terjangkau, dan

berdampak pada kesehatan orang tersebut; Acceptability (penerimaan) berhubungan

dengan faktor sosial budaya yang memungkinkan seseorang menerima aspek layanan

kesehatan yang ditawarkan oleh provider; Availability dan acommondation

(ketersediaan dan akomodasi) yang berarti bahwa pelayanan kesehatan dapat

dijangkau kapanpun. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pelayanan

kesehatan; Affordability (keterjangkauan) mencerminkan keterjangkauan pelayanan

kesehatan dilihat dari kemampuan pengguna secara sosial ekonomi; Appropriateness

(kesesuaian) yang berarti adanya kesesuaian antara kebutuhan dengan pelayanan

yang diberikan (Racher & Vollman, 2002; Levesque et al, 2013).

Selain dari segi penyedia layanan kesehatan, akses ke layanan kesehatan juga

dipengaruhi oleh orang yang membutuhkan pelayanan tersebut. Adapun pengaruh

dari segi penerima pelayanan meliputi 1) ability to perceive (kemampuan menerima

layanan yang berhubungan dengan kesadaran akan kesehatan, kepercayaan, dan

harapan); 2) ability to seek (kemampuan untuk mencari layanan dimana hal ini

berkaitan dengan kebudayaan, status gender, maupun nilai dan norma di

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

14

masyarakat); 3) ability to reach (kemampuan untuk menjangkau dimana hal ini

terkait transportasi, tempat tinggal, maupun dukungan sosial); 4) ability to pay

(kemampuan untuk membayar yang berkaitan dengan status ekonomi seseorang); 5)

and ability to engage (kemampuan untuk berpartisipasi dalam layanan yang

berkaitan dengan pemberdayaan, keberadaan informasi, serta dukungan) (Levesque

et al., 2013).

Aday dan Adersen dalam “A Framework for the Study of Access to Medical

Care” menyebutkan bahwa tingkat penggunaan dan nilai kepuasan dari sorang

pelanggan dapat digunakan untuk mengevaluasi akses. Dengan kata lain penggunaan

atau pemanfaatan dari pelayanan kesehatan akan mencerminkan akses pelayanan

kesehatan tersebut. Pemanfaatan pelayanan kesehatan terlihat dari tujuan

pemanfaatan pelayanan kesehatan (pencegahan/pengobatan), jenis pelayanan

kesehatan yang digunakan (rumah sakit, dokter, puskesmas), tempat penerimaan

pelayanan kesehatan, dan interval waktu dari pemanfaatan pelayanan kesehatan

(Aday & Andersen, 1974).

Teori Adersen dan Newman menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang

berhubungan dengan akses dan penggunaan pelayanan kesehatan yang meliputi

predisposing factors yang merupakan karakteristik sosial budaya individu seperti

pendidikan, pekerjaan, pegetahuan, sikap, umur,jenis kelamin, dan sebagainya.

Selain predisposing factors ada enabling factors yang meliputi kepemilikan asuransi,

cara mengakses pelayanan kesehatan, ketersediaan dari fasilitas kesehatan, dan

sebagainya. Yang terakhir adalah need factors yang merupakan alasan mengapa

seseorang membutuhkan pelayanan kesehatan yang dilihat dari persepsi seseorang

tentang kesehatan dan evaluasi keadaan kesehatan yang sebenarnya dari individu

(Andersen & Newman, 1973)

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

15

Kesenjangan akses ke pelayanan kesehatan sudah tentu akan mempengaruhi

masyarakat dan individu. Terbatasnya akses layanan kesehatan berdampak negatif

pada kualitas hidup seseorang. Hambatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan

dapat meliputi biaya tinggi, kurangnya ketersediaan layanan kesehatan, dan

kurangnya cakupan asuransi. Hambatan ke pelayanan kesehatan mengakibatkan tidak

terpenuhinya kebutuhan kesehatan, tertundanya perawatan yang tepat, dan kurangnya

aspek preventif terhadap penyakit (Agency for Healthcare Research and Quality

(AHRQ) dalam Healthypeople.gov, 2015).

Lansia sangat berisiko terserang pnyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes

mielitus, arthritis, gagal jantung, dimensia, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya

(Kramarow et al, 2007 dalam Healthypeople.gov, 2015). Oleh karena itu, pelayanan

kesehatan bagi lansia sangatlah vital (Setiti, 2006). Pelayanan Kesehatan pada lansia

dilakukan secara terintegrasi dengan upaya pelayanan kesejahteraan lainnya (Hastuti,

2003).

Seiring dengan berbagai kemunduran yang dihadapi lansia tentu akan

mempengaruhi akses lansia ke pelayanan kesehatan. Orang tua yang mengalami

disabilitas baik itu secara fisik maupun mental akan mengalami kesulitan didalam

mengakses pelayanan kesehatan (Thorpe et al., 2011). Sulitnya akses terhadap

pelayanan kesehatan juga terlihat dari tempat tinggal para lansia. Lansia yang tinggal

di daerah pedesaan lebih sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan terutama rumah

sakit daripada yang tinggal di perkotaan. Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia

untuk menciptakan pelayanan kesehatan bagi lansia yang selalu tersedia, mudah

diakses, sesuai, terjangkau, dan terintegrasi (Kadar et al., 2013).

Menurut BPS (2013) lansia cenderung mengalami berbagai keluhan

kesehatan. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan oleh keluarga maupun lansia

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

16

sendiri untuk menjaga kesehatannya yang salah satunya dengan mencari pengobatan.

Lansia bisa berobat sendiri, mendatangi pelayanan kesehatan modern (rumah sakit

pemerintah, rumah sakit swasta, praktek dokter, puskesmas/pustu, dan praktek tenaga

kesehatan) ataupun dengan pengobatan tradisional.

Untuk memelihara, memberikan perlindungan, dan meningkatkan taraf

kesejahteraan serta kualitas hidup lanjut usia diperlukan suatu jaminan sosial yang

salah satunya dengan mengembangkan sistem jaminan sosial hari tua. Ini merupakan

salah satu program dari Departemen Sosial RI (Notoatmodjo, 2007). Namun,

keadaan di Indonesia masih jauh dari harapan dimanan masih banyak rumah tangga

lansia yang belum memiliki jaminan sosial. Proporsi rumah tangga lansia di

Indonesia yang mempunyai jaminan sosial hanya sebesar 6.72% dari jumlah seluruh

rumah tangga lansia tahun 2013. Dalam bidang kesehatan juga ada jaminan dalam

hal pembiayaan kesehatan/asuransi kesehatan. Sekitar 51.93% rumah tangga lansia di

Inonesia memiliki jaminan pembiayaan kesehatan, namun masih banyak yang belum

sehingga pemerintah perlu memberikan perhatian khusus (BPS, 2014).

Masih banyaknya lansia yang belum memiliki jaminan/ asuransi kesehatan

tentu harus mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan system pembiayaan

kesehatan mempengaruhi perilaku pasien di dalam mencari layanan kesehatan

tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah studi di Cina yang dilakukan oleh Hengjin

Dong tentang “Health Financing Policies: Patient Care-Seeking Behavior in Rural

China”. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa system pembiayaan kesehatan

mempengaruhi perilaku pasien. Proporsi pasien yang dirawat di rumah sakit lebih

tinggi pada kelompok yang memiliki asuransi daripada yang tidak memiliki asuransi

kesehatan dan sistem pembayaran Out of Pocket menurunkan akses pasien ke rumah

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

17

sakit. Asuransi kesehatan memberikan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih baik

(Dong, 2003).

2.4 Perilaku Pencarian Pengobatan Pada Lansia

Perilaku merupakan aktivitas dari individu yang mencakup banyak hal seperti

bereaksi, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Sedangkan respon seseorang terhadap

rangsangan yang berkaitan dengan sakit, penyakit, sistem layanan kesehatan, serta

makanan dan lingkungan disebut perilaku kesehatan. Apabila sseorang merasakan

sakit pasti dia akan merespon hingga melakukan berbagai tindakan terhadap penyakit

tersebut. Salah satu tindakan yang biasanya dilakukan adalah mencari pengobatan.

Perilaku untuk mencari pengobatan baik itu dengan mengobati sendiri maupun

mengunjungi tempat playanan kesehatan swasta atau modern disebut dengan perilaku

pencarian pengobatan (health seeking behavior) (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmojdo (2003) dalam Gaol (2013) disebutkan bahwa apabila

seseorang mengalami sakit, mereka tidak selalu mendatangi tempat pelayanan

kesehatan. Mereka bisa saja tidak melakukan sesuatu dengan alasan kondisi sakitnya

bisa hilang sendiri dan tidak mengganggu kegiatan, fasilitas kesehatan yang jauh,

ataupun karena takut. Selain itu, ada yang mengobati sendiri penyakitnya, membeli

obat diwarung, ataupun datang ke tempat pengobatan tradisional.

Perilaku pencarian pengobatan dilakukan seseorang apabila mengalami sakit

(Notoatmodjo, 2007). Hal ini tentu juga berlaku pada lansia apalagi dengan keadaan

mereka yang sudah cenderung menurun terutama dalam hal fisik yang

mempermudah mereka untuk terkena penyakit. Sebuah penelitian yang dilakukan

oleh Wameru et al yang berjudul “Health Status and Health Seeking Behaviour of

The Elderly Persons in Dagoretti Division, Nairobi” menyatakan bahwa penuaan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

18

yang dialami orang tua, status ekonomi, serta kurangnya akses ke pelayanan

kesehatan berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan lansia. Sebanyak 92.5%

dari sampel yang diwawancari mengalami sakit dalam tiga bulan terakhir. Penyakit

yang umumnya diderita seperti penyakit yang berkaitan dengan musculoskeletal

yaitu sebanyak 80%, pernapasan sebanyak 68%, dan masalah gigi (40%). Sebanyak

24.8% responden tinggal sendiri, dan sebanyak 76% dari responden memiliki rumah

yang kurang layak. Hanya 26% dari responden yang bisa mendapatakan pengobatan,

keterbatasan dana membuat 73% responden tidak dapat mengakses layanan

kesehatan (Waweru et al, 2003).

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Bourne et al di Jamaika.

Penelitian ini berjudul ”Health literacy and health seeking behavior among older men

in a middle-income nation” yang dilakukan pada tahun 2007. Penelitian ini

menunjukkan bahwa sebanyak 56.9 penduduk perkotaan dan 44.5% penduduk

pedesaan sadar akan kesehatan. Sebanyak 37% responden yang berasal dari pedesaan

mencari perawatan medis ketika sakit dibandingkan yang dari perkotaan sebesar

31.9%. Dalam waktu 6 bulan terakhir (hingga saat penelitian), ada berbagai penyakit

yang dialami responden seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan

penyakit degenerative lainnya. Kurangnya pengetahuan atau kesadaran tentang

kesehatan perlu mendapat perhatian dari pemerintah khususnya kementrian

kesehatan (Bourne et al, 2010).

Sebuah penelitian terhadap keluhan kesehatan yang dialami lansia yang

berkunjung ke pengobatan gratis di satu wilayah pedesaan di Bali juga menyangkut

perilaku pencarian pertolongan pengobatan. Penelitian ini dilakukan oleh Suyasa dkk

pada tahun 2014. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa lansia mengahadapi

berbagai keluhan kesehatan. Keluhan kesehatan yang ummum dialami oleh

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · penyakit kronis juga semakin meningkat dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini juga terlihat dari penelitian

19

responden adalah pengelihatan kabur, mata berair, nyeri sendi, nyeri tangan, dan

sebagainya. Sedangkan hipertensi, rheumatoid arthritis, dan katarak adalah diagnose

utama dari para lansia yang datang ke pengobatan gratis dan tempat pemeriksaan

kesehatan. Sebanyak 11.7% lansia penderita hipertensi memeriksakan kesehatan

secara rutin ke dokter praktek swasta dan sebanyak 8.5% tidak berobat sama sekali.

Sedangkan lansia yang menderita kencing manis, secara keseluruhan telah rutin

memeriksakan kesehatannya (Suyasa dkk., 2014).