BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

16
II-1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Pelumas Minyak pelumas adalah salah satu produk minyak bumi yang masih mengandung senyawa-senyawa aromatik dengan indek viskositas yang rendah. Hampir semua mesin-mesin dipastikan menggunakan minyak pelumas. Fungsi minyak pelumas adalah mencegah kontak langsung antara dua permukaan yang saling bergesekan. Minyak pelumas yang digunakan mempunyai jangka waktu pemakaian tertentu, tergantung dari kerja mesin, minyak pelumas merupakan sarana pokok dari suatu mesin untuk dapat beroperasi secara optimal. Dengan demikian pelumas mempunyai peranan yang besar terhadap operasi mesin, untuk dapat menentukan jenis pelumas yang tepat digunakan pada suatu sistem mesin, perlu diketahui beberapa parameter mesin yang antara lain: kondisi kerja, suhu, dan tekanan di daerah yang memerlukan pelumasan. Daerah yang bersuhu rendah tentu akan menggunakan pelumas yang lain dengan daerah yang bersuhu tinggi, demikian pula dengan daerah yang berkondisi kerja berat akan menggunakan pelumas yang lain pula dengan daerah yang berkondisi kerja ringan (Anton. L, 1985). Karena minyak pelumas merupakan campuran hidrokarbon maka untuk mengetahui sifatnya kita dapat melihat dari sifat parafin, naften, dan aromatik. Adapun sifat-sifat minyak pelumas tersebut adalah sebagai berikut : 1. Parafin Mempunyai viskositas paling rendah dari ketiganya untuk boiling range yang sama, tetapi viscositas indeksnya paling tinggi. Normal parafin dan parafin dengan sedikit cabang, mempunyai titik beku tinggi ditinjau dari kestabilannya terhadap panas dan oksidasi tinggi. 2. Naften Mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari parafin untuk boiling range, tetapi viskositas indeksnya lebih rendah dari parafin. Naften rantai panjang

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Pelumas

Minyak pelumas adalah salah satu produk minyak bumi yang masih

mengandung senyawa-senyawa aromatik dengan indek viskositas yang rendah.

Hampir semua mesin-mesin dipastikan menggunakan minyak pelumas. Fungsi

minyak pelumas adalah mencegah kontak langsung antara dua permukaan yang

saling bergesekan. Minyak pelumas yang digunakan mempunyai jangka waktu

pemakaian tertentu, tergantung dari kerja mesin, minyak pelumas merupakan

sarana pokok dari suatu mesin untuk dapat beroperasi secara optimal. Dengan

demikian pelumas mempunyai peranan yang besar terhadap operasi mesin, untuk

dapat menentukan jenis pelumas yang tepat digunakan pada suatu sistem mesin,

perlu diketahui beberapa parameter mesin yang antara lain: kondisi kerja, suhu,

dan tekanan di daerah yang memerlukan pelumasan. Daerah yang bersuhu rendah

tentu akan menggunakan pelumas yang lain dengan daerah yang bersuhu tinggi,

demikian pula dengan daerah yang berkondisi kerja berat akan menggunakan

pelumas yang lain pula dengan daerah yang berkondisi kerja ringan (Anton. L,

1985).

Karena minyak pelumas merupakan campuran hidrokarbon maka untuk

mengetahui sifatnya kita dapat melihat dari sifat parafin, naften, dan aromatik.

Adapun sifat-sifat minyak pelumas tersebut adalah sebagai berikut :

1. Parafin

Mempunyai viskositas paling rendah dari ketiganya untuk boiling range

yang sama, tetapi viscositas indeksnya paling tinggi. Normal parafin dan parafin

dengan sedikit cabang, mempunyai titik beku tinggi ditinjau dari kestabilannya

terhadap panas dan oksidasi tinggi.

2. Naften

Mempunyai viskositas yang lebih tinggi dari parafin untuk boiling range,

tetapi viskositas indeksnya lebih rendah dari parafin. Naften rantai panjang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-2

mempunyai viskositas medium sedangkan rantai pendek viskositas indeksnya

rendah. Senyawa naften mempunyai titik beku rendah dan daya oksidasi baik.

3. Aromatik

Mempunyai viskositas paling tinggi, tetapi viskositas indeksnya rendah

terutama senyawa aromatik dengan rantai alkali pendek, sehingga dalam

pengolahannya harus dihilangkan. Senyawa aromatik umumnya mempunyai titik

beku yang rendah tetapi daya tahan terhadap oksidasi kurang baik. Untuk

memperbaiki kualitas minyak pelumas tidak saja dengan pemurnian dan proses

pengolahan, melainkan juga karena penambahan bahan kimia yang disebut aditif,

yang biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil (Hardjono, 1985).

2.2 Bensin

Bensin merupakan bahan bakar yang dihasilkan dari pengolahan minyak

bumi yang digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin. Bensin merupakan

cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan. Bensin merupakan hidrokarbon

yang berarti molekul-molekulnya hanya terbuat dari molekul hidrogen dan karbon

yang terikat satu sama lain sehingga membentuk rantai hidrokarbon, sebagian

besar bensin tersusun dari heptana sampai dengan undekana. Bensin juga dapat

dicampur dengan etanol untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Saat ini

bensin sudah menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat karena alat

transportasi yang biasa digunakan secara umum menggunakan bensin sebagai

bahan bakar. Di Indonesia sendiri, bensin dibagi menjadi beberapa kelompok

yang saling berbeda angka oktananya atau kadar oktana yang ada dalam bensin

tersebut, seperti premium, pertalite dan pertamax.

Senyawa Pb/timbal seperti TEL (Tetra Ethyl Lead) dan MTBE (Methyl

Tertiary Butyl Eter) dapat digunakan sebagai zat aditif dalam bensin karena dapat

menaikan angka oktana dari bensin. Namun karena timbal bersifat racun, maka

sudah tidak boleh digunakan lagi sehingga diganti dengan senyawa organik

seperti etanol. Zat aditif lainnya yang ditambahkan kedalam bensin adalah zat

yang bersifat antioksidan seperti alkil fenol karena dapat menghambat munculnya

kerak yang dapat membuat saringan dan saluran bensin tersumbat. Pada bensin

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-3

juga diperlukan zat aditif yang bersifat antikorosi seperti asam karboksilat untuk

mencegah korosi yang terjadi pada mesin dan logam-logam lainnya yang terdapat

dalam mesin, seperti logam tangki (Collins, 2007).

2.3 Katalis

Menurut Sukarjo (1997) dan Wilkinson (1989), katalis merupakan zat

yang akan mempercepat laju reaksi tetapi zat tersebut tidak akan mengalami

perubahan kimia. Sedangkan menurut Gates (1992), katalis merupakan substansi

atau zat yang dapat meningkatkan tercapainya kesetimbangan suatu reaksi kimia

namun substansi tersebut tidak ikut bereaksi.

Berdasarkan fase-fasenya, katalis dibedakan menjadi katalis homogen dan

katalis heterogen. Pada katalis homogen, fasa dari katalis sama dengan fasa

campuran reaksinya, sedangkan pada katalis homogen, fasa dari katalis berbeda

dengan fasa campuran reaksinya. Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan

aktivitas dari katalis yaitu sisi aktif katalis itu sendiri. Pada umumnya katalis

bekerja dengan membentuk ikatan kimia dengan reaktan yang ada dalam

campuran reaksi.

Luas permukaan katalis yang berfungsi sebagai pusat adsorpsi sangat

berhubungan dengan proses katalisis, semakin besar luas permukaan dari katalis

maka proses katalisis akan semakin maksimal. Secara umum katalis heterogen

lebih banyak digunakan daripada katalis homogen karena pada katalis heterogen

dapat dilakukan pemisahan dan penggunaan kembali katalis dengan cukup mudah

(Triyono, 1994).

2.4 Bentonit

Berdasarkan kandungan mineralnya, tanah lempung dibedakan menjadi

bentonit, kaolinit, haloisit, klorit dan ilit. Bentonit merupakan nama dagang dari

tanah lempung yang mengandung lebih dari 80 % mineral montmorillonit.

Bentonit merupakan tanah lempung yang banyak digunakan dan penyebarannya

luas karena memliki sifat dengan kemampuan mengembang dan daya tukar kation

yang tinggi sehingga cocok digunakan sebagai katalis. Dengan sifatnya yang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-4

memiliki daya tukar kation yang tinggi membuat bentonit dapat dimodifikasi

untuk memperoleh produk yang lebih baik dari sebelumnya (Widihati, 2012).

Komposisi utama bentonit adalah mineral montmorillonit dan sedikit

mineral-mineral lainnya seperti orthoklas, oligoklas biotit, pyroxen, tirkon dan

kwarsa. Rumus empiris molekul bentonit dinyatakan dengan rumus

Si8(AlMg)4O20(OH)4 (Karimah, 2006).

Meskipun bentonit memiliki kemampuan mengembang dan daya tukar kation

yang baik, tetapi bentonit memiliki kemampuan adsorpsi yang terbatas sehingga

kelemahan tersebut dapat diatasi dengan proses aktivasi menggunakan asam

seperti HCl dan H2SO4 yang membuat sisi aktif dari bentonit menjadi lebih besar

sehingga akan dihasilkan bentonit yang memiliki daya adsorpsi yang lebih baik

dibandingkan dengan bentonit yang belum diaktivasi secara asam (Bath dkk,

2012).

Perlakuan asam juga dapat melarutkan pengotor dan menggantikan kation yang

dapat ditukar dengan ion H+. Perlakuan asam juga dapat membuka ujung layer,

sehingga luas permukaan dan diameter pori-pori meningkat. Biasanya 80% atau

lebih, permukaan pori berdiameter antara 2,0-6,0 nm dan luas permukaan tersebut

dapat ditingkatkan dengan perlakuan asam sampai 200-400 m2/g (Karimah, 2006).

2.5 Perekahan Katalitik (Catalytic Cracking)

Reaksi perekahan adalah proses pemutusan ikatan hidrokarbon rantai

panjang menjadi rantai pendek yang lebih berguna (Olah dkk, 1995). Berbeda

dengan perekahan termal yang hanya memanfaatkan suhu untuk memutus ikatan

hidrokarbon, pada perekahan katalitik pemutusan ikatan hidrokarbon terjadi

karena adanya ion karbonium yang dihasilkan dari interaksi antara asam kuat

yang ada dalam katalis dengan alkana/olefin (Gates, 1979). Persamaan reaksi

sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-5

Kestabilan karbonium akan meningkat seiring dengan urutan karbonium tersier >

sekunder > primer > metil, yang menyebabkan karbonium primer memiliki

kecenderungan untuk berisomerisasi menjadi karbonium sekunder atau tersier

melalui penataan ulang yang melibatkan pergeseran hidrogen maupun pergeseran

metil (Gates, 1992).

Pada metode ini biasanya digunakan katalis heterogen seperti zeolit dan bentonit

yang telah diaktivasi secara asam. Selama reaksi antara reaktan dengan katalis

berlangsung, kemampuan katalisis dari katalis akan berkurang dikarenakan

dengan terbentuknya karbon yang terakumulasi pada sisi aktif katalis atau yang

biasa disebut dengan kokas, sehingga regenerasi katalis perlu dilakukan.

2.6 Kromatografi Gas – Spektrometer Massa (GC-MS)

Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) adalah metode yang

mengombinasikan 2 alat yaitu kromatografi gas dan spektrometri massa untuk

mengidentifikasi keberadaan berbagai senyawa yang mungkin ada dalam sampel.

Alat ini dapat memberikan informasi produk secara kualitatif yang berupa

spektrum massa dari masing-masing senyawa yang terkandung dalam produk

sehingga dapat mengetahui senyawa-senyawa yang terdapat dalam produk, bobot

molekul senyawa-senyawa yang terdapat dalam produk dan juga dapat memberi

informasi produk secara kuantitatif yang dapat dilihat dari % Area puncak pada

kromatogram yang berbanding lurus dengan kadar masing-masing

senyawa/komponen dalam produk. Kromatografi gas juga akan memberikan

informasi waktu retensi dari masing-masing komponen yang terdapat dalam

sampel.

Prinsip pengukuran menggunakan alat GC-MS adalah terjadinya

pemisahan dalam alat kromatografi gas yang disebabkan oleh daya

afinitas/ketertarikan suatu sampel terhadap fasa diam yang terdapat dalam kolom

yang ditunjukkan dengan waktu retensi dari masing-masing komponen, setelah

komponen tersebut terpisah didalam kromatografi gas, komponen tersebut akan

diteruskan kedalam alat spektrometer massa. Selanjutnya, didalam spektrometer

massa akan terjadi pengionan senyawa-senyawa kimia untuk menghasilkan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-6

molekul berumuatan atau fragmen molekul. Molekul yang terionisasi tersebut

akan menghasilkan ion dengan muatan positif, kemudian ion tersebut diarahkan

menuju medan magnet atau medan listrik agar dapat menentukan bobot molekul

semua fragmen yang dihasilkan (David, 2015).

Gambar II.1 Rangkaian Alat Kromatografi Gas Spektrometri Massa

(Sumber : LC GC’S CHROMacademy)

Adapun komponen-komponen dalam kromatografi gas adalah sebagai berikut:

1. Gas Pembawa

Syarat utama dari gas pembawa adalah harus bersifat inert sehingga gas

pembawa tidak akan bereaksi dengan sampel maupun dengan fasa diamnya. Gas

pembawa harus dapat mengalir dengan cepat agar proses pemisahan akan

berlangsung dnegan cepat sehingga gas ini harus disimpan dalam silinder baja

bertekanan tinggi. Jenis-jenis gas pembawa yang biasa digunakan adalah gas

argon, helium, hidrogen dan nitrogen. Gas pembawa harus memiliki kemurnian

yang tinggi atau pengotor yang sangat sedikit karena apabila terdapat pengotor

dalam gas pembawa akan menyebabkan fasa diam/kolom menjadi mudah rusak

karena tersumbat dengan pengotor yang terakumulasi dari gas pembawa.

2. Sistem Injeksi Sampel

Sampel yang diuji dapat berupa gas atau cair dengan syarat sampel harus

memiliki volatilitas yang tinggi dan dapat stabil pada suhu operasional. Injektor

berada dalam oven yang suhunya dapat diatur, sebaiknya suhu injektor diatur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-7

50oC diatas titik didih sampel. Jumlah cuplikan yang diinjeksikan biasanya sekitar

5 µL.

3. Oven

Oven berfungsi untuk memanaskan kolom dan injektor pada suhu tertentu

sehingga semua komponen dalam sampel dapat menguap pada suhu yang

ditentukan.

4. Kolom

Kolom merupakan tempat mengalirnya sampel yang akan dibantu oleh gas

pembawa. Didalam kolom berisi fasa diam seperti polysiloxanes untuk sampel

yang bersifat non polar dan polyethylene glycol untuk sampel yang bersifat polar

(Skoog dkk, 1991). Kolom terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:

A. Packed column

Kolom yang secara umum terbuat dari glass atau stainless steel coil yang

memiliki panjang 1 – 5 m dan diameter sekitar 5 mm.

B. Capillary column

Kolom yang secara umum terbuat dari purified silicate glass yang

memiliki panjang 10-100 m dan diameter sekitar 250 mm.

5. Detektor

Detektor berfungsi untuk mendeteksi adanya komponen yang keluar dari

kolom. Ada beberapa jenis detector, yaitu:

1. Atomic-Emission Spectroscopy (AES)

Cara kerjanya adalah campuran sampel gas yang keluar dari kolom diberi

tambahan energi sehingga atom-atomnya bereksitasi, sumber energi tambahan ini

terdiri dari beberapa jenis yaitu direct-current-plasma (DCP), inductively-coupled

plasma (ICP) dan laser-induced breakdown (LIBS). Sinar eksitasi dari berbagai

atom ini kemudian diukur secara simultan oleh polikromator dan multiple

detector; polikromator disini berfungsi sebagai wavelength selector.

2. Electron Capture Detector (ECD)

Menggunakan radioaktif beta emitter (elektron) untuk mengionisasi

sebagian gas (carrier gas) dan menghasilkan arus antara biased pair of electron;

ketika molekul organik yang mengandung elektronegatif gugus fungsi seperti

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-8

halogen, phosphorous dan nitro melewati detektor, mereka akan menangkap

sebagian elektron sehingga mengurangi arus yang diukur antara elektroda.

3. Flame Ionization Detector (FID)

Terdiri dari hydrogen/air flame dan collector plate. Sample yang keluar

dari kolom dilewatkan ke flame yang akan menguraikan molekul organik dan

menghasilkan ion-ion. Ion-ion tersebut dihimpun pada biased electrode (collector

plate) dan menghasilkan sinyal elektrik.

4. Mass Spectrometry (MS)

Mengukur perbedaan mass-to-charge ratio (m/e) dari ionisasi atom atau

molekul untuk menentukan kuantitas atom atau molekul tersebut.

5. Thermal Conductivity Detector (TCD)

Detektor ini bekerja dengan cara membandingkan konduktivitas panas dua

aliran gas-gas pembawa murni (rujukan) dan sampel. Perubahan suhu pada kabel

yang dipanaskan oleh listrik di dalam detektor dipengaruhi oleh konduktivitas

panas gas yang mengalir di sekelilingnya. Perubahan dalam konduktivitas panas

ini dideteksi sebagai perubahan resistansi listrik dan diukur (Nancy, 2000).

2.7 Viskositas

Viskositas dapat diartikan sebagai besarnya tahanan suatu zat cair pada

saat dia mengalir. Rheologi, istilah ini berasal dari bahasa Yunani rheo (mengalir)

dan logos (ilmu pengetahuan), digunakan oleh Bingham dan Crawford untuk

memberikan aliran zat cair dan deformasi zat padat. Rheologi erat kaitannya

dengan viskositas. Viskositas adalah suatu ungkapan untuk menyatakan tahanan

yang mencegah zat cair untuk mengalir; semakin tinggi viskositas, semakin besar

tahanannya untuk mengalir. Zat cair sederhana dapat diberikan dengan viskositas

absolut, sedangkan untuk zat yang terdispersi heterogen tidak dapat langsung

dinyatakan dengan satuan tunggal (Ginting, 2011).

Metode Ostwald

Menghitung viskositas dengan metode ostwald dilakukan dengan cara

mengukur waktu yang dibutuhkan pada saat sampel mengalir dari batas atas

sampai batas bawah dan membandingkan dengan waktu yang dibutuhkan oleh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-9

larutan pembanding (dalam penelitian ini adalah air) dan berat jenis dari masing-

masing larutan sehingga sebelum dilakukan pengukuran viskositas, terlebih

dahulu dilakukan pengukuran dari berat jenis sampel dan pembanding..

Gambar II.2 Viscometer Ostwald

(Sumber : Chavez, 2014)

Seperti dilihat pada persamaan poisseulle, dengan cara membandingkan

waktu alir cairan sampel dan cairan pembanding menggunakan alat yang sama

(Sarojo, 2006). Persamaan poisseulle dapat dilihat dibawah ini:

Ƞ = ƞo 𝑡 . 𝜌

𝑡𝑜 . 𝜌𝑜

Keterangan : ƞ = viskositas cairan sampel

Ƞo = viskositas cairan pembanding

T = waktu aliran cairan sampel

To = waktu aliran cairan pembanding

𝜌 = massa jenis cairan sampel

𝜌o = massa jenis cairan sampel

Viskositas suatu fluida dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan.

Viskositas zat cair sangat dipengaruhi oleh temperatur, semakin tinggi temperatur

maka semakin rendah koefisien viskositas.

Selain itu viskositas juga dipengaruhi oleh zat – zat yang terlarut dalam

cairan tersebut. Penambahan koloid pada cairan dapat mengubah viskositas.

Penambahan polimer juga dapat meningkatkan viskositas karena bentuk

molekulnya yang berupa batang atau benang – benang yang cukup panjang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-10

Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas antara lain:

1. Suhu

Viskositas akan berkurang seiring dengan bertambahnya suhu, begitupula

sebaliknya, hal ini terjadi karena pada suhu yang tinggi pergerakan partikel dalam

zat cair akan semakin cepat sehingga menyebabkan viskositas akan menurun.

2. Konsentrasi larutan

Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi

larutan, hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi konsentrasi larutan akan

menunjukan semakin banyaknya partikel zat yang terlarut dalam larutan sehingga

gesekan antara partikel semakin tinggi yang menyebabkan viskositas menjadi

tinggi.

3. Berat molekul zat terlarut

Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya berat molekul zat

terlarut, hal ini dapat terjadi karena dengan adanya zat terlarut dengan berat

molekul yang tinggi akan memberi beban yang tinggi juga pada cairan sehingga

akan menyebabkan viskositas menjadi tinggi.

4. Tekanan

Viskositas akan bertambah seiring dengan bertambahnya tekanan, hal ini

dapat terjadi karena semakin tinggi tekanan, cairan akan semakin sulit untuk

mengalir karena adanya beban yang dikenakan cairan tersebut (Kanginan, 2006).

2.8 Indek bias

Indeks bias merupakan perbandingan kecepatan cahaya dalam ruang

hampa dengan kecepatan cahaya pada suatu medium (Huygens, TT). Pengukuran

indeks bias dalam industri dapat digunakan untuk menemukan parameter fisik

berupa konsentrasi, suhu, tekanan dan lain-lain. Indeks bias larutan adalah

parameter karakteristik yang sangat penting dan beberapa parameter terkait seperti

suhu, konsentrasi, dan lain-lain. Indeks bias dan viskositas memiliki banyak

manfaat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai parameter kualitas minyak

goreng dimana minyak yang memiliki kualitas paling baik yaitu minyak yang

memiliki indeks bias dan viskositas yang tinggi (Raymond, 2003).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-11

Cepat rambat gelombang cahaya di ruang hampa sebesar c. Jika melalui

suatu medium maka cahaya tersebut akan mengalami perubahan kecepatan

menjadi v. Perubahan kecepatan tersebut ditentukan oleh karakteristik suatu bahan

yang dinamakan indeks bias (n). Pernyataan tersebut dapat dituliskan dalam

persamaan berikut:

n = 𝑐𝑣

Keterangan : n = indeks bias (nD)

c = Laju cahaya dalam ruang hampa (3x m/s)

v = Laju cahaya dalam zat

Nilai indeks bias suatu bahan/zat selalu ≥ 1 (Tuti, 2011). Di bawah ini adalah nilai

indeks bias beberapa medium:

Tabel II.1 Literatur Nilai Indeks Bias

Medium Indeks Bias (nD)

Udara hampa 1,000

Udara pada STP 1,0003

Karbondioksida 1,00045

Helium 1,000036

Hidrogen 1,000132

Air 1,333

Es 1,31

Alkohol 1,36

Etil 1,48

Gliserol 1,50

Benzena 1,46

Kaca 1,52 (Sumber : Jurnal Fisika Vol. 3 No. 2, Nopember 2013)

Prinsip Pengukuran dari indeks bias yaitu ketika seberkas cahaya

monokromatik datang dari ruang hampa udara (medium A) dan mengenai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-12

permukaan batas suatu cairan atau zat padat (medium B), maka cahaya ini akan

dibelokkan, sudut datang a akan lebih besar dari sudut b.

Gambar II.3 Prinsip Indeks Bias (Sumber : Dharmawangsa, 1986)

Alat yang digunakan untuk mengukur indeks bias suatu zat yaitu

refraktometer yang metode kerjanya memanfaatkan teori refraksi cahaya

(Dharmawangsa, 1986).

2.9 Bobot Jenis

Bobot jenis merupakan ukuran berat suatu zat per satuan volume.

Secara umum terdapat beberapa alat yang dapat digunakan untuk menentukan

bobot jenis sebagai berikut:

1. Aerometer

Prinsip penentuan bobot jenis dengan aerometer adalah dengan hukum

Archimedes yang berbunyi: “Setiap benda yang dicelupkan ke dalam suatu cairan

akan mengalami gaya angkat yang besarnya sama dengan berat zat cair yang

dipindahkan”.

Aerometer berbentuk sebuah silinder yang memiliki ukuran masing-

masing yang disesuaikan dengan bobot jenis sampel yang akan diuji. Pada alat

aerometer terdapat skala yang menunjukan bobot jenis cairan, semakin kecil berat

jenis cairan maka aerometer akan semakin tercelup sehingga skala pada aerometer

dimulai dari angka yang kecil sampai yang besar dari atas ke bawah (Voigt,

1994).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-13

2. Piknometer

Prinsip dari pengukuran bobot jenis menggunakan piknometer adalah

dengan cara mengukur berat zat cair secara langsung yang dibandingkan dengan

volume dari piknometer tersebut. Volume piknometer ditentukan dengan cara

mengukur berat air (pembanding) yang berada dalam piknometer yang terisi

penuh, kemudian menetapkan suhu air sehingga didapatkan bobot jenis air pada

suhu 25 oC dan melakukan perhitungan volume piknometer yang sesungguhnya.

Kemudian mengukur bobot jenis masing-masing produk dengan menggunakan

volume piknometer yang telah diketahui sebelumnya. Rumusnya sebagai berikut:

Bobot jenis zat cair = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑧𝑎𝑡 𝑐𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑧𝑎𝑡 𝑐𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟

2.10 Kepolaran

Setiap unsur mempunyai bermacam- macam muatan inti dan konfigurasi

elektron yang berlainan sehingga atom-atom dari unsur yang berbeda mempunyai

kemampuan yang berbeda pula untuk menarik elektron apabila atom-atom ini

membentuk ikatan kimia. Dua buah atom atau lebih yang terikat secara kovalen

namun kedua atom tersebut memiliki perbedaan keelektronegatifan yang cukup

besar, maka pasangan elektron yang berikatan akan berada lebih dekat dengan

atom yang lebih elektronegatif.

Ikatan yang terbentuk dari pemakaian bersama sepasang elektron (atau

lebih dari satu pasang) antara dua atom disebut ikatan kovalen (David, 2003).

Senyawa kovalen merupakan senyawa yang terjadi antara unsur-unsur nonlogam

dengan unsur-unsur nonlogam melalui penggunaan elektron bersama.

Perbedaan keelektronegatifan dan bentuk molekul yang tidak simetri pada

senyawa kovalen mengakibatkan senyawa tersebut memiliki sifat polar. Pada

senyawa kovaken polar tejadi pengkutuban, artinya ada bagian yang bersifat lebih

negatif dan ada bagian yang bersifat lebih positif (Golberg, 2003).

Elektronegativitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya

tarik – menarik atom pada elektron dalam suatu ikatan (James, 1994). Sedangkan

menurut David E. Golberg (2003), elektronegativitas adalah ukuran

semikuantitatif terhadap kemampuan sebuah atom untuk menarik elektron yang

terlibat dalam ikatan kovalen.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-14

2.11 Limbah B3

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001

bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah limbah yang mengandung bahan

berbahaya dan beracun yang karena sifatnya dan atau konsentrasinya dan atau

jumlah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan

atau merusak lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup,

kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.

Menurut peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2001 tentang karakteristik

bahan berbahaya dan beracun pasal 5 ayat 1 adalah sebagai berikut:

1. Mudah meledak (explosive)

Bahan dapat dikatakan mudah meledak (explosive) apabila pada suhu dan

tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak.

2. Pengoksidasi (oxidizing)

Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi

dapat dilakukan dengan metode uji pembakaran menggunakan ammonium

persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cair senyawa

standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat.

3. Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable)

Baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala di bawah

0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 350C.

4. Sangat mudah menyala (highly flammable)

Baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 0-210C.

5. Mudah menyala (flammable)

Mempunyai salah satu dari sifat berikut:

A. Berupa cairan

Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume

dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600C (1400F) akan menyala

apabila tidak terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada

tekanan udara 760 mmHg.

B. Berupa padatan

B3 yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C,

760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan,

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-15

penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar

dapat menyebabkan kebakaran yang terus-menerus dalam 10 detik.

6. Amat sangat beracun (extremely toxic)

Apabila memiliki LD50 kurang atau sama dengan 1 mg/kg. Yang dimaksud

dengan LD50 adalah perhitungan dosis (gram pencemar per kilogram) yang dapat

menyebabkan kematian 50% populasi mahluk hidup yang dijadikan percobaan.

Apabila LD50 lebih besar dari 15 gram per kilogram berat badan maka limbah

tersebut bukan limbah B3.

7. Sangat beracun (highly toxic)

Bahan yang dapat menyebabkan kerusakan kesehatan akut dan kronis dan

bahkan kematian pada konsentrasi sangat rendah jika masuk ke tubuh melalui

inhalasi atau kontak dengan kulit.

8. Beracun (Moderate toxic)

B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau

sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit.

9. Berbahaya (Harmful)

Bahan baik padatan, cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau

melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan

sampai ke tingkat tertentu.

10. Korosif (corrosive)

B3 yang memiliki sifat korosif memiliki sifat antara lain:

A. Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit.

B. Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020

dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur

pengujian 550C.

C. Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan

sama atau lebih besar dari 11, 25 untuk yang bersifat basa.

11. Bersifat iritan (Iritant)

Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara

langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput

lendir dapat menyebabkan peradangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - POLBAN

II-16

12. Berbahaya bagi lingkungan (Dangerous to the Environment)

Bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan dapat merusak lapisan ozon

(misalnya CFC) dan sulit diurai di lingkungan.