Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003)....

44
7 Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Stabilitas Termal Protein Beberapa organisme telah teridentifikasi memiliki kemampuan untuk dapat bertahan hidup pada lingkungan ekstrim (Lowe dkk., 1993; Adams dkk., 1995) seperti pada palung bawah laut yang memiliki tekanan tinggi (Purcarea dkk., 1999), daerah kontinental dan geotermal bertemperatur tinggi (Bonc- Osmolovskaya dkk., 2003), daerah Antartika dengan temperatur yang sangat rendah (Saunders dkk., 2003) dan daerah Laut Mati yang memiliki kadar garam sangat tinggi (Ventosa dkk., 1998). Salah satu organisme yang paling banyak diteliti pada saat ini adalah organisme termofilik yang umum dijumpai pada daerah bertemperatur tinggi. Kemampuan termofil untuk dapat tumbuh pada temperatur tinggi karena sistem selnya, mulai dari tingkat makromolekul hingga organel (Tolner dkk., 1997) relatif lebih stabil terhadap denaturasi panas dibandingkan padanan mesofilnya (Vieille dkk., 1996; Daniel dan Cowan, 2000). Pada tingkat makromolekul, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil memiliki kestabilan dan fungsi yang optimal pada temperatur tinggi (Jaenicke dan Zàvodszky, 1990). Sifat stabilitas termal dari enzim atau protein telah menjadi isu penting dalam penelitian struktur protein (Kumar dkk., 2000), terutama untuk mendapatkan pemahaman keterkaitan antara pelipatan (folding) protein dan stabilitasnya serta untuk keperluan rekayasa enzim sehingga dapat bekerja lebih optimal pada temperatur tinggi (Vieille dkk., 1996; Vieille dan Zeikus, 2001; Liu dan Wang, 2003). Stabilitas termal protein didefinisikan sebagai ketahanan suatu protein untuk tetap dalam struktur alaminya (folded state) sedemikian rupa sebagai respon terhadap energi termal (temperatur tinggi) sehingga tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik (Zhang dkk., 2004). Penelitian melalui berbagai pendekatan baik eksperimen (Bosshard dkk., 2004; Emond dkk., 2008), bioinformatik (Das dan Gerstein, 2000; Kumar dkk., 2000) maupun komputasi (Liu dan Wang, 2003; Zhang dkk., 2004) telah berusaha untuk mengelusidasi faktor penentu stabilitas termal protein. Hasilnya mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan baku

Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003)....

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

7

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Stabilitas Termal Protein

Beberapa organisme telah teridentifikasi memiliki kemampuan untuk dapat

bertahan hidup pada lingkungan ekstrim (Lowe dkk., 1993; Adams dkk., 1995)

seperti pada palung bawah laut yang memiliki tekanan tinggi (Purcarea dkk.,

1999), daerah kontinental dan geotermal bertemperatur tinggi (Bonc-

Osmolovskaya dkk., 2003), daerah Antartika dengan temperatur yang sangat

rendah (Saunders dkk., 2003) dan daerah Laut Mati yang memiliki kadar garam

sangat tinggi (Ventosa dkk., 1998). Salah satu organisme yang paling banyak

diteliti pada saat ini adalah organisme termofilik yang umum dijumpai pada

daerah bertemperatur tinggi. Kemampuan termofil untuk dapat tumbuh pada

temperatur tinggi karena sistem selnya, mulai dari tingkat makromolekul hingga

organel (Tolner dkk., 1997) relatif lebih stabil terhadap denaturasi panas

dibandingkan padanan mesofilnya (Vieille dkk., 1996; Daniel dan Cowan, 2000).

Pada tingkat makromolekul, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil

memiliki kestabilan dan fungsi yang optimal pada temperatur tinggi (Jaenicke dan

Zàvodszky, 1990). Sifat stabilitas termal dari enzim atau protein telah menjadi isu

penting dalam penelitian struktur protein (Kumar dkk., 2000), terutama untuk

mendapatkan pemahaman keterkaitan antara pelipatan (folding) protein dan

stabilitasnya serta untuk keperluan rekayasa enzim sehingga dapat bekerja lebih

optimal pada temperatur tinggi (Vieille dkk., 1996; Vieille dan Zeikus, 2001; Liu

dan Wang, 2003).

Stabilitas termal protein didefinisikan sebagai ketahanan suatu protein untuk tetap

dalam struktur alaminya (folded state) sedemikian rupa sebagai respon terhadap

energi termal (temperatur tinggi) sehingga tetap dapat menjalankan fungsinya

dengan baik (Zhang dkk., 2004). Penelitian melalui berbagai pendekatan baik

eksperimen (Bosshard dkk., 2004; Emond dkk., 2008), bioinformatik (Das dan

Gerstein, 2000; Kumar dkk., 2000) maupun komputasi (Liu dan Wang, 2003;

Zhang dkk., 2004) telah berusaha untuk mengelusidasi faktor penentu stabilitas

termal protein. Hasilnya mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan baku

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

8

terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus

pada satu jenis interaksi intramolekul dalam protein. Hasil penelitian

menyarankan bahwa mekanisme umum untuk menjelaskan sifat stabilitas enzim

ataupun protein hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti, karena sifat

tersebut dapat dipengaruhi parameter internal seperti komposisi asam amino,

ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, interaksi aromatik dan ikatan hidrogen

maupun parameter ekstrinsik seperti garam, substrat maupun pengaruh tekanan

(Kumar dan Nussinov, 2001; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi, 2006).

II.1.1 Komposisi Asam Amino

Penelitian terhadap enzim yang sama namun berasal dari dua kelompok

mikroorganisme yang berbeda, mesofil dan termofil menunjukkan bahwa enzim

yang dihasilkan oleh mikroorganisme termofilik umumnya memiliki ketahanan

dan kestabilan yang cukup besar pada temperatur tinggi, baik dalam hal

penyimpanan maupun pemakaian, dimana sifat ini tidak dimiliki oleh enzim dari

mikroorganisme mesofilik. Walaupun demikian, enzim termostabil memiliki

mekanisme katalitik yang sama dengan padanan enzim mesofilnya (Vieille dan

Zeikus, 2001) dengan adanya sedikit perbedaan pada urutan asam aminonya.

Perubahan substituen asam amino di satu atau lebih lokasi dapat menghasilkan

konformasi enzim yang berlainan, akibatnya pengaruh panas terhadap denaturasi

enzim berbeda (Kumar dan Nussinov, 2001).

Analisis statistik terhadap komposisi asam amino dari mesofil dan termofil

pertama kali dilakukan oleh Argos dkk. (1979), hasilnya mengindikasikan adanya

kecenderungan substitusi Gly�Ala dan Lys�Arg pada termofil. Meruahnya

komposisi Ala pada protein dari termofil diduga karena residu Ala bersifat sebagai

pembentuk helix. Dengan semakin lengkapnya koleksi genom mesofil maupun

termofil analisis komposisi asam amino dapat dilakukan lebih komprehensif.

Secara umum, enzim atau protein yang berasal dari mikroorganisme termofilik

memiliki persentase asam amino bermuatan (Lys, Arg, Glu dan Asp) yang lebih

tinggi dibandingkan padanan mesofilnya (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000; Farias

dan Bonato, 2003; Fukuchi dan Nishikawa, 2001; Nakashima dkk., 2003;

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

9

Saunders dkk., 2003; Tanaka dkk., 2004). Perbandingan komposisi asam amino

dari termofil dan mesofil (Gambar II.1) menyarankan bahwa beberapa asam

amino seperti Glu, Arg, Tyr, Asp, dan Lys terdapat dalam jumlah lebih banyak

pada termofil dibandingkan Ala, Asn, Gln, Thr, Ser dan Val (Szilàgyi dan

Zàvodszky, 2000). Ada dugaan bahwa rasio (perbandingan) asam amino tersebut

memainkan peranan terhadap fleksibilitas protein. Sedangkan komparasi antara

termofil dan hipertermofil, mengindikasikan bahwa jumlah asam amino

bermuatan (terutama Lys) pada hipertermofil jauh lebih tinggi, disamping itu

termofil umumnya lebih menyukai Arg dibandingkan Lys. Namun Vieille dan

Zeikus (2001) melaporkan sebaliknya, bahwa residu Arg memiliki peran

signifikan terhadap stabilitas protein yang diisolasi dari hipertermofil, karena

kemampuan Arg untuk membentuk multipel interaksi nonkovalen lebih tinggi

dibandingkan Lys. Selain itu, rantai samping Arg memiliki gugus metil yang lebih

pendek daripada Lys sehingga kontak yang tidak sesuai (unfavorable) dengan

pelarut dapat lebih diminimalkan.

Persentase asam amino Asp dan Met umumnya menurun pada hipertermofil

karena asam amino tersebut tidak stabil pada temperatur tinggi (Szilàgyi dan

Zàvodszky, 2000). Namun, hasil ini juga berlawanan dengan apa yang dilaporkan

oleh Tanaka dkk. (2004) yang menerangkan bahwa Tyr dan Asp berperan penting

terhadap stabilitas termal hipertermofil. Studi yang dilakukan terhadap protein

hipertemofil Aeropyrum pernix menunjukkan hasil yang menguatkan hipotesis

bahwa tidak ada aturan baku terhadap stabilitas termal karena ternyata asam

amino bermuatan (23.64%), residu hidrofobik (27.29%) dan aromatiknya (7.42%)

lebih sedikit dibandingkan padanan mesofilnya. Sehingga kemungkinan besar,

distribusi asam amino serta interaksinya memainkan peranan lebih penting

terhadap stabilitas termal dibandingkan hanya sekedar komposisi asam amino.

Dua jenis protease homolog subtilisin Bacillus amyloliquefaciens dan termitase

Thermoactinomyces vulgaris memiliki kesamaan dalam jumlah residu asam

amino bermuatan, namun enzim termitase termofil memiliki 8 interaksi

elektrostatik lebih banyak dibandingkan subtisilin (Teplyakov dkk., 1990).

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

10

Gambar II.1. Perbandingan komposisi asam amino protein yang diisolasi dari mikroorganisme mesofil (hijau) dan termofil (merah). (a) mesofil versus moderat termofil dan (b) mesofil versus hipertermofil. Warna kode asam amino satu huruf berdasarkan atas karakteristik fisikokimia asam amino, KRED : asam amino bermuatan; QNHST : asam amino polar; FYW : asam amino aromatik; PG : asam amino yang mempengaruhi fleksibilitas; AVLI : asam amino hidrofobik dan CM : asam amino yang mengandung atom Sulfur (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000).

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

11

II.1.2 Interaksi Elektrostatik

Interaksi elektrostatik yang sering disebut sebagai interaksi pasangan ion (ion

pairs interaction) (Vieille dan Zeikus, 2001) atau jembatan garam (salt bridge)

(Tomazic dan Klibanov, 1988) merupakan interaksi antara residu-residu asam

amino bermuatan. Penelitian mengenai pentingnya interaksi elektrostatik pertama

kali dilaporkan oleh Perutz (1978) yang menyatakan bahwa interaksi ini memiliki

kontribusi signifikan untuk menstabilkan protein. Namun karena rendahnya

tingkat lestari (not highly conserved) interaksi elektrostatik pada setiap protein,

menyebabkan interaksi tersebut akhirnya dianggap tidak memberikan kontribusi

terhadap stabilitas termal protein (Dill, 1990).

Secara kuantitatif, penelitian yang dilakukan terhadap enzim lisozim dari T4

bakteriofaga mengindikasikan bahwa satu pasang interaksi elektrostatik

menyumbang setidaknya 3-5 kkal/mol terhadap stabilitas enzim (Anderson dkk.,

1990). Meskipun tidak terlalu memberikan efek signifikan terhadap protein

mesofil -bahkan diduga memberikan efek destabilisasi- namun interaksi ini

memainkan peran sangat penting dalam menstabilkan protein-protein termofil dan

hipertermofil (Yip dkk., 1995; Karshikoff dan Ladenstein, 2001; Vieille dan

Zeikus, 2001). Studi denaturasi termal terhadap enzim amilase yang diisolasi dari

B.licheniformis, B.amyloliquefaciens dan B.stearothermophilus oleh Tomazic dan

Klibanov (1988) menyarankan bahwa enzim dari B.licheniformis memiliki

stabilitas termal yang lebih tinggi dibandingkan padanan lainnya karena adanya

interaksi elektrostatik terutama antara residu Lys dengan residu karboksilat

lainnya. Selain itu, interaksi elektrostatik juga memainkan peran penting terhadap

stabilitas termal beberapa enzim lain seperti O-metilguanin-DNA metiltransferase

dari Pyrococcus kodakaraensis (Hashimoto dkk., 1999), karboksipeptidase

Sulfolobus solfataricus (Villa dkk., 1993) dan β-glikosidase Thermosphaera

aggregans (Chi dkk., 1999).

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

12

Tabel II.1. Komparasi komposisi interaksi elektrostatik pada enzim GDH Clostridium symbiosum dan P.furiosus (Yip dkk., 1998)

Nilai Karakteristik

C.symbiosum P.furiosus Jumlah IE per subunit Jumlah IE per residu % residu bermuatan membentuk IE % IE dibentuk oleh Arg/Lys/His % IE dibentuk oleh Asp/Glu % Arg membentuk IE Jumlah residu membentuk 2 IE Jumlah residu membentuk 3 IE Jumlah 2/3/4 residu membentuk networks Jumlah 5/6/18 residu membentuk networks % networks IE > 3 residu Jumlah IE intersubunit Jumlah IE antardomain

26 0.06 40

46/31/23 46/54

55 6 1

72/24/12 0/0/0 23 30 1

45 0.11 54

64/27/9 47/53

90 17 5

54/24/12 12/6/3

62 54 7

IP = ion pairs /interaksi elektrostatik

Gambar II.2. Representasi jaringan interaksi elektrostatik pada antarmuka subunit GDH P.furiosus (Yip dkk., 1998).

Komparasi terhadap struktur enzim heksamerik glutamat dehidrogenase (GDH)

yang berasal dari mesofil Clostridium symbiosum, dan hipertermofil

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

13

Thermococcus litoralis dan P.furiosus menunjukkan adanya perbedaan utama

pada komposisi interaksi elektrostatik (Tabel II.1). 90% residu Arg pada GDH

P.furiosus membentuk interaksi elektrostatik dengan residu karboksilat. Interaksi

ionik pada GDH P.furiosus, tidak hanya pada permukaan protein namun juga

bersilangan pada antarmuka subunit (subunit interfaces) menghasilkan suatu

jaringan (network) interaksi (Gambar II.2) yang tersusun atas 24 residu protein

terhubung melalui 18 interaksi elektrostatik (Yip dkk., 1998). Secara khusus

disarankan bahwa jaringan interaksi ionik merupakan suatu cara enzim

multisubunit untuk mempertahankan sifat stabilitas termalnya (Vetriani

dkk., 1998).

II.1.3 Ikatan Disulfida

Ikatan disulfida (jembatan disulfida) dipercaya mampu menstabilkan protein

hingga temperatur di atas 100oC (Kumar dkk., 2000) yaitu dengan menurunkan

entropi keadaan acak (unfolded state) protein, biasa disebut sebagai efek entropi

(Matsumura dkk., 1989). Hipotesis ini didasarkan pada pengamatan bahwa

putusnya jembatan disulfida seringkali diikuti dengan penurunan stabilitas

termodinamik, yaitu stabilitas suatu protein untuk mengalami denaturasi dapat

balik (reversible denaturation), yang akhirnya menyebabkan enzim atau protein

tersebut mengalami denaturasi irreversible (irreversible denaturation) (Wetzel

dkk., 1988). Pada umumnya, arkhea termofilik dan hipertermofilik memiliki

jembatan disulfida yang lebih banyak dibandingkan eubakteri termofilik.

Sedangkan termofil pada umumnya juga mempunyai jembatan disulfida yang

lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Mallick dkk., 2002). Sebagai

contoh serin protease dari arkhea hipertermofil Aquifex pyrohilus memiliki

delapan ikatan disulfida dibandingkan padanan mesofilnya yang sama sekali tidak

memiliki ikatan tersebut (Choi dkk., 1999). Sebagaimana halnya dengan

komposisi asam amino yang menimbulkan kontradiksi, beberapa peneliti lain

melaporkan bahwa ikatan disulfida tidak terlalu memainkan peran penting

terhadap stabilitas beberapa protein (Legio dkk., 1999; Tanaka dkk., 2004).

Setelah dilakukan komparasi, disarankan bahwa selain jumlah ikatan disulfida,

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

14

posisi atau lokasi ikatan disulfida turut berperan serta terhadap stabilitas termal

protein. Secara umum ikatan disulfida yang terkubur (burried) di dalam protein

lebih memiliki efek stabilisasi dibandingkan yang terekspos ke permukaan

(Kumar and Nussinov, 2001).

II.1.4 Interaksi Hidrofob

Di antara sekian banyak faktor penentu stabilitas termal protein, interaksi hidrofob

dipertimbangkan sebagai faktor dominan penentu kestabilan protein (Matthews,

1993). Hal ini didasari atas fenomena bahwa ketika protein melipat (folded)

sebagian besar residu non polar (~80%) akan terkubur di dalam interior protein,

terlindungi dari pelarut sehingga menyebabkan suatu protein dapat

mempertahankan integritasnya (Klapper, 1971). Fenomena tersebut dikenal

sebagai pengaruh hidrofobik (hydrophobic effect). Energi rata-rata untuk setiap

penambahan 1 gugus metil (-CH2-) yang terkubur di dalam protein menyebabkan

peningkatan energi stabilitas sebesar 1.3 ± 0.5 kkal/mol (Pace, 1992). Analisis

biokimia dengan menggunakan gel poliakrilamid yang mengandung urea pada

protein dimer WT maupun mutan-mutan 3-isopropilmalat dehidrogenase dari

E.coli dan T.thermophilus menyarankan bahwa interaksi hidrofobik menyebabkan

protein lebih sukar terdisosiasi karenanya interaksi tersebut berkontribusi terhadap

stabilitas protein (Kirino dkk., 1994). Studi mutagenesis acak maupun terarah

menunjukkan interaksi hidrofob memainkan peran penting terhadap stabilitas

termal chloramphenicol acetyltransferase (CAT-86) (Turner dkk., 1992; Chirakkal

dkk., 2001) dan RNase HI (Ishikawa dkk., 1993).

II.1.5 Interaksi Aromatik

Interaksi aromatik diketahui turut memiliki peran dalam menstabilkan protein

(Burley dan Petsko, 1985). Interaksi aromatik didefinisikan sebagai interaksi

cincin (ring interaction) antar centroid fenil dengan jarak 4.5-7.0 Å dan sudut

dihedral yang dibentuk ada pada kisaran 90o (Vieille dan Zeikus, 2001). Pada

umumnya, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil akan memiliki jumlah

interaksi aromatik yang lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya dimana

lokasi interaksi aromatik tersebut turut berkontribusi terhadap stabilitas termal

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

15

protein (Kannan dan Vishveshwara, 2000). Besar energi bebas yang

disumbangkan terhadap stabilitas protein sangat tergantung pada lingkungan

disekitar residu aromatik tersebut. Interaksi aromatik yang terkubur di dalam

protein pada umumnya menyumbang sebesar -0.6 s/d -1.3 kkal/mol terhadap

stabilitas protein, 80% di antaranya mempengaruhi stabilitas struktur tersier

sedangkan 20% nya menstabilkan struktur sekunder protein (Serrano dkk., 1991).

Gambar II.3. Klaster aromatik yang teridentifikasi pada protein RnaseH dari termofil T.thermofilus HB8 (Kode PDB : 1RIL). (Ishikawa dkk., 1993; Kannan dan Vishveshwara, 2000)

Enzim termitase dari keluarga serin protease yang diisolasi dari

Thermoactinomyces vulgaris memiliki 16 residu aromatik saling berinteraksi

sedangkan homolog mesofilnya yaitu subtilisin dari B.amyloliquefaciens hanya

memiliki 6 pasang interaksi aromatik (Teplyakov dkk., 1990). Dua klaster

interaksi aromatik ditemui pada RNase H termostabil dari T. thermophilus HB8

(Gambar II.3), sedangkan padanan mesofilnya yang diisolasi dari E.coli tidak

memiliki klaster interaksi aromatik sama sekali (Ishikawa dkk.,1993). Rekayasa

protein juga menunjukkan bahwa penambahan interaksi aromatik serta klaster

aromatik mengakibatkan stabilitas termal protein meningkat (Serrano dkk., 1991).

Peningkatan stabilitas termal xylanase termolabil yang berasal dari mesofil

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

16

Streptomyces sp. S38 misalnya, dapat direkayasa melalui penambahan interaksi

aromatik terhadap enzim tersebut berdasarkan data interaksi aromatik padanan

termofilnya (Georis dkk., 2000).

II.1.6 Ikatan Hidrogen

Sebagian besar residu polar dalam keadaan tidak terlipat (unfolded state) akan

dikelilingi dan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air (Myers dan Pace,

1996). Pada saat proses pelipatan (folding), sebagian besar residu polar (~65%)

dapat berada di dalam interior protein, umumnya antar residu polar tersebut akan

berinteraksi membentuk ikatan hidrogen intermolekul. Ikatan hidrogen

didefinisikan sebagai gaya intermolekul/intramolekul yang terjadi antara atom

yang memiliki keelektronegatifan tinggi dengan atom hidrogen yang terikat secara

kovalen pada suatu atom elektronegatif. Studi yang dilakukan oleh Stickle

dkk. (1992) menyarankan bahwa dominasi ikatan hidrogen umumnya dibentuk

oleh tulang punggung protein >C=O---H-N< (68.1%), sedangkan sisanya oleh

>C=O---rantai samping (10.9%), >N-H---rantai samping (10.4%), dan antar rantai

samping (10.6%) (Stickle dkk., 1992).

Gambar II.4. Normalisasi jumlah ikatan hidrogen pada sejumlah protein yang berasal dari mesofil, termofil dan hipertermofil (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000).

Selama hampir 40 tahun, ikatan hidrogen dipercaya hanya memberikan

sumbangan kecil terhadap stabilitas protein. Penelitian yang dilakukan terhadap

RNase T1 (Shirley dkk., 1992) menunjukkan bahwa ikatan hidrogen memainkan

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

17

peran yang setara dengan interaksi hidrofob terhadap stabilitas protein. RNase T1

memiliki 86 ikatan hidrogen intramolekul dengan panjang rata-rata setiap ikatan

sebesar 2.95Å. Melalui studi unfolding dan mutagenesis, keseluruhan ikatan

hidrogen yang terdapat pada RNase T1 berkontribusi sebesar 110 kkal/mol atau

rata-rata sebesar 1.3 ± 0.6 kkal/mol. Suatu nilai yang setara dengan kontribusi

interaksi hidrofob. Namun demikian, studi komparasi yang telah dilakukan

terhadap protein yang berasal dari mikroorganisme mesofil, termofil dan

hipertermofil (Gambar II.4) mengindikasikan bahwa belum adanya keterkaitan

antara jumlah ikatan hidrogen terhadap stabilitas termal protein (Szilàgyi dan

Zàvodszky, 2000).

II.1.7 Interaksi Antardomain

Studi terhadap enzim dan protein yang berasal dari hipertermofil mengindikasikan

bahwa pada umumnya enzim hipertermofil memiliki subunit yang lebih banyak

daripada padanan mesofilnya (Tabel II.2). Hal ini menyebabkan interaksi

antardomain atau intersubunit memainkan peran cukup signifikan terhadap

stabilitas termal enzim-enzim tersebut (Vieille dan Zeikus, 2001). Interaksi

antardomain atau intersubunit dapat berupa interaksi elektrostatik, interaksi

hidrofobik maupun interaksi-interaksi lain yang sudah disebutkan di atas. Jaringan

interaksi elektrostatik intersubunit dijumpai pada keseluruhan enzim GDH yang

berasal dari hipertermofil P.furiosus, P.kodakaraensis dan T.litoralis (Rahman

dkk., 1998; Vetriani dkk., 1998). Pentingnya interaksi subunit tersebut dievaluasi

melalui studi mutagenesis terarah (Rahman dkk., 1998; Lebbink dkk., 1999).

Studi mutagenesis yang sama dilakukan terhadap gliseragdehid 3-fosfat

dehidrogenase (GADPH) dari B.subtilis yang didasarkan atas urutan asam amino

yang dimiliki oleh GADPH termostabil dari B.stearothermophilus. Mutasi

Gly281Arg pada enzim GADPH dari B.subtilis menyebabkan stabilitas termal

enzim meningkat karena terbentuknya interaksi elektrostatik intersubunit

sebagaimana yang dimiliki oleh padanan termofilnya (Mrabet dkk., 1992).

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

18

Studi komparasi terhadap 3-isopropilmalat dehidrogenase dari E.coli dan

T.thermophilus mengindikasikan bahwa interaksi hidrofobik pada antarmuka

subunit enzim termofil lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Kirino

dkk., 1994; Moriyama dkk., 1995) sehingga menyebabkan dimer enzim termofil

lebih tahan terhadap denaturasi. Studi mutasi yang dilakukan terhadap faktor

elongasi EF-Ts dari T.thermofilus mengindikasikan bahwa inti hidrofob

(hydrophobic core) pada antarmuka subunit berperan dalam menstabilkan dimer

enzim sehingga stabilitas termal enzim meningkat (Nesper dkk., 1998).

Tabel II.2. Komparasi jumlah subunit pada enzim hipertermofil dengan mesofil (diambil dari : Vieille dan Zeikus, 2001)

Jumlah subunit

Sumber Enzim Hipertermofil enzim

Mesofil enzim

Pyrococcus woesei Methanothermus fervidus Pyrococcus furiosus S.solfataricus Thermotoga maritima T. maritima T. maritima T. maritima S. solfataricus Thermosphaera aggregans Methanopyrus kandleri

PGK PGK β-Glucosidase β-Glucosidase β-Glucosidase Anthranilate synthase Dihydrofolate reductase Phosphoribosyl-anthranilate isomerase β-Glycosidase β-Glycosidase MkCH

2 2 4 4 2 2

1 atau 2 2 4 4 3

1 1 1 1 1 2 2

II.1.8 Parameter Ekstrinsik

Sebagian besar sifat stabilitas termal enzim atau protein termofil dan hipertermofil

sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik / internal enzim itu sendiri. Namun

stabilitas termal beberapa protein hipertermofil intrasel dipengaruhi oleh faktor

lingkungan intrasel tersebut seperti konsentrasi garam, koenzim, substrat, keadaan

lingkungan, interaksi dengan medium maupun modifikasi pascatranslasi seperti

glikosilasi (Jaenicke dan Zàvodszky, 1990; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi,

2006).

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

19

II.1.8.1 Stabilisasi oleh garam

Dua mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan pengaruh garam terhadap

stabilitas termal enzim atau protein, yaitu (i) melalui pengaruh khusus (specific

effect) dimana ion logam dari garam akan berinteraksi dengan protein sehingga

mempengaruhi stabilitas konformasi protein tersebut dan (ii) melalui pengaruh

umum (general effect) yang terkait dengan aktivitas pelarut (air).

Enzim xylosa isomerase, misalnya, mengikat dua ion logam (Co2+ atau Mg2+ atau

Mn2+). Satu kation dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas sedangkan kation

lainnya untuk mempertahankan konformasi struktur (Marg dan Clark, 1990;

Whitlow dkk., 1990). Studi terhadap xylosa isomerase B.licheniformis

menunjukkan bahwa pengikatan terhadap ion logam (Tabel II.3) berkontribusi

meningkatkan stabilitas termal enzim (Vieille dan Zeikus, 2001).

Feredoxin dari Sulfolobus sp. memiliki 40 residu tambahan pada ujung-N yang

membentuk link dengan inti (core) protein yaitu sisi pengikatan Zn sehingga ion

Zn2+ akan terikat oleh 3 residu His yang terdapat pada ujung-N tambahan dan 1

residu Asp yang terdapat pada inti protein. Struktur tambahan ujung-N ini tidak

dijumpai pada protein yang sama dari eubakteria, namun hampir dimiliki oleh

semua mikroorganisme termoasidofil (Fujii dkk., 1997).

Tabel II.3. Pengaruh garam klorida terhadap kinetika dan stabilitas termal xylosa isomerase B.licheniformis. (Vieille dan Zeikus, 2001)

Logam t½

(menit) Ea inaktivasi (kkal/mol)

Tm(oC)

-

Mg2+

Co2+

Mn2+

24 (40oC)

35 (56oC)

18 (70.5oC)

50 (71.5oC)

92

144

279

257

50.3

53.3

73.4

73.6

Sejumlah peneliti mempelajari pengaruh garam terhadap aktivitas dan stabilitas

termal 5 metanogenik enzim yang berasal dari Methanopyrus kandleri,

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

20

salah satunya adalah formiltransferase (MkFT). Hasilnya mengindikasikan bahwa

ion-ion logam pada garam terutama K+ dan NH4+ menstabilkan enzim baik secara

kinetik maupun termal (Breitung dkk., 1992; Ermler dkk., 1997). Kajian struktur

terhadap MkFT menunjukkan bahwa permukaan tetramer enzim didominasi oleh

muatan negatif (48 residu asam versus 24 residu basa). Dari ke 48 residu asam

tersebut, 33 di antaranya adalah Glu dan sisanya adalah Asp. Residu-residu asam

di atas dapat membentuk ikatan hidrogen tunggal maupun jaringan ikatan

hidrogen dengan molekul air. Peningkatan konsentrasi NaCl di dalam larutan

enzim ternyata meningkatkan stabilitas termal MkFT. Hal ini diduga karena ion-

ion logam pada garam dapat menstabilkan muatan pada permukaan protein yang

didominasi oleh muatan negatif sebagaimana tersebut di atas (Ermler dkk., 1997).

II.1.8.2 Stabilisasi oleh substrat

Beberapa enzim distabilkan oleh substrat ataupun molekul efektor, terutama

menstabilkan sisi aktif enzim tersebut (Fabry dan Hensel, 1987; Koch dkk., 1997;

Andreotti dkk., 1995; Klingeberg dkk., 1995). Glutamat sintetase dari

B.stearothermophilus distabilkan dengan kehadiran ammonia, glutamat dan

adenosin trifosfat (ATP) pada temperatur 65oC, temperatur pada keadaan normal

dimana enzim ini menjadi tidak aktif. Dihidrofolat reduktase T.maritima dengan

kehadiran substrat NADPH menunjukkan peningkatan stabilitas termal 6x lipat

dibandingkan tanpa substrat (Wilquet dkk., 1998).

II.2 Simulasi Dinamika Molekul

Biomolekul seperti halnya protein dan asam nukleat merupakan sistem yang

dinamis. Pergerakan biomolekul tergantung pada orde waktu yang diamati, seperti

pergerakan lokal (local motion) meliputi fluktuasi atom, pergerakan rantai

samping dan loop dengan deviasi jarak antara 0.01 hingga 5 Å dan berlangsung

pada orde 10-15 hingga 10-1 detik; pergerakan tulang punggung yang relatif kaku

(rigid body motion) meliputi pergerakan untaian α-helix dan pergerakan domain

maupun subunitnya terjadi pada rentang waktu 10-9 hingga 1 detik dengan deviasi

pergerakan sebesar 1 hingga 10 Å dan pergerakan skala besar (large-scale motion)

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

21

dengan deviasi jarak di atas 5 Å dan berlangsung pada skala waktu 10-7 hingga

104 detik seperti transisi helix-coil, proses disosiasi dan asosiasi serta pelipatan

dan pembukaan lipatan biomolekul (folding and unfolding). Simulasi dinamika

molekul merupakan salah satu bagian dari pendekatan komputasi dimana atom

dan molekul dibiarkan saling berinteraksi selama periode waktu tertentu sehingga

tingkah laku sistem dapat teramati. Teknik ini secara meluas digunakan dalam

biologi struktur karena mampu memberikan informasi detail mengenai fluktuasi

dan perubahan konformasi biomolekul sampai ke tingkat atom. Teknik ini

dikembangkan untuk mempelajari stabilitas protein, perubahan konformasi,

pelipatan protein, pengangkutan ion pada sistem biologi, evaluasi struktur hasil

kristalografi sinar-X maupun NMR hingga perancangan obat (drug desain)

sehingga teknik ini berperan sebagai “jembatan” antara eksperimen dengan teori

(Roux dkk., 2004).

Metode dinamika molekul pertama kali diperkenalkan oleh Alder dan Wainwright

pada akhir tahun 1950. Pada awalnya digunakan untuk mempelajari permukaan

keras (hard spheres) (Alder dan Wainwright, 1957). Kemudian metode ini

digunakan untuk mempelajari argon cair dengan menggunakan potensial nyata

(realistic potential) (Rahman, 1964). Sedangkan simulasi dinamika molekul

terhadap sistem nyata baru dilakukan pada tahun 1974 (Rahman dan Stilinger,

1974) dan pada tahun 1977 teknik ini pertama kali digunakan untuk kajian

biomolekul dengan menggunakan bovine pancreatic trypsin inhibitor (BPTI)

(McCammon dkk., 1977).

Secara umum, simulasi dinamika molekul didasarkan atas integrasi numerik

terhadap persamaan Newton tentang gerak (F = ma). Gaya interaksi antar atom

dalam simulasi dinamika molekul hanya tergantung pada posisi atom dan tidak

bergantung kepada kecepatannya yang diekspresikan sebagai gradien dari energi

potensial.

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

22

II.2.1 Gaya Intramolekul

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa stabilitas protein dipengaruhi oleh

berbagai tipe interaksi intramolekul antar atom penyusunnya. Secara umum,

interaksi intramolekul diekspresikan sebagai gradien energi potensial (notasi V)

yang bekerja pada atom-atom dalam struktur ruang 3D (notasi R) (Becker dkk.,

2001). Dua kelompok interaksi dapat memberikan pengaruh terhadap energi

potensial molekul yaitu interaksi internal dan eksternal (Persamaan 1 dan Gambar

II.5). Interaksi internal didefinisikan sebagai interaksi kovalen antar atom yang

selanjutnya disebut sebagai interaksi ikatan (bonded interaction), meliputi uluran

ikatan, sudut ikatan dan sudut dihedral (Persamaan 2), sedangkan interaksi

eksternal merepresentasikan interaksi non-kovalen atau non-ikatan (non-bonded

interaction) (Persamaan 3). Interaksi non-ikatan merepresentasikan interaksi

fleksibel di antara pasangan atom/partikel. Dua jenis interaksi non-ikatan paling

umum yang dapat mengakibatkan perubahan energi potensial adalah interaksi

elektrostatik (potensial Coloumb) dan interaksi van der Waals (potensial Lennard-

Jones).

dengan nilai b adalah panjang ikatan, θ adalah sudut valensi, χ merupakan sudut

dihedral atau sudut torsi sedangkan rij merepresentasikan jarak antara atom i dan

atom j.

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

23

Gambar II.5. Model hipotetik untuk mengilustrasikan energi potensial pada persamaan di atas. Molekul A terdiri atas atom 1, 2, 3 dan 4 sedangkan molekul B terdiri atas atom 5. Interaksi internal pada atom A meliputi uluran ikatan (panjang ikatan b) antara atom 1 dengan 2, atom 2 dengan 3 dan atom 3 dengan 4 ; sudut ikatan (θ) yang melibatkan atom 1-2-3 dan atom 2-3-4 ; sudut dihedral atau torsi (χ) melibatkan atom 1-2-3-4. Interaksi ikatan seringkali disebut sebagai interaksi 1,2 ; sudut ikatan disebut sebagai interaksi 1,3 ; dan sudut dihedral disebut sebagai interaksi 1,4. Sedangkan molekul B akan berinteraksi eksternal dengan ke empat atom A didasarkan atas jarak yang terbentuk antara kedua molekul A dan B tersebut. Interaksi eksternal juga dapat terjadi di antara ke empat atom A (Becker dkk., 2001)

II.2.1.1 Uluran Ikatan (Bond Streching)

Gambar II.6. Uluran ikatan antara atom i dan j Uluran ikatan didefinisikan sebagai interaksi kovalen antara dua atom pada jarak

kesetimbangan tertentu yang dapat digambarkan sebagai hubungan lurus antara

atom i dan j dengan bo adalah panjang ikatan pada nilai kesetimbangan, b panjang

ikatan pada waktu tertentu dan Kb merupakan konstanta (Gambar II.6). Persamaan

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

24

energi potensial ikatan sebagaimana tertulis pada Persamaan (2) yang diturunkan

dari persamaan gaya harmonik (hukum Hooke) yaitu :

20

202

1 )()(

.

.

bbKllk

kldldVV

ldlkFdldV

lkF

b −=−=

==

===

∫ ∫

(4)

Uluran ikatan dapat berubah setiap saat yaitu dapat memanjang ataupun

memendek. Ketika uluran tersebut menjauhi nilai kesetimbangan (memanjang

atau memendek) maka nilai energi potensial ikatannya akan meningkat.

Sedangkan energi potensial terendah akan dicapai pada nilai jarak kesetimbangan.

Nilai konstanta Kb merepresentasikan jenis interaksi ikatan, semakin besar nilai

tersebut maka energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan juga semakin

besar, demikian sebaliknya. Jenis ikatan C-C misalnya memiliki nilai Kb sebesar

450 kkal/mol.Å2, sedangkan nilai Kb ikatan S-S sebesar 500 kkal/mol.Å2 (Brooks

dkk., 1983).

II.2.1.2 Sudut Ikatan

Interaksi sudut ikatan merupakan interaksi antara 3 atom i, j dan k (Becker dkk.,

2001) dimana setiap atom tersebut terhubung melalui ikatan kovalen (Gambar

II.7). Seperti halnya uluran ikatan, sudut ikatan dapat memanjang ataupun

memendek dengan energi potensial terendah terdapat pada suatu nilai

kesetimbangan. Persamaan energi potensial sudut ikatan (Persamaan 2)

diturunkan dari gaya harmonik (hukum Hooke) (Persamaan 5) dengan nilai θ

merupakan besar sudut pada setiap saat, θ0 adalah besar sudut pada posisi

kesetimbangan dan nilai Kθ merupakan suatu tetapan. Nilai θ0 dan Kθ tergantung

pada jenis atom yang menyusun sudut ikatan.

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

25

Gambar II.7. Interaksi sudut ikatan yang dibentuk antara atom i, j dan k

20

202

1 )()(

.

.

θθθθ

θθθθθ

θ

θ −=−=

==

===

∫ ∫Kk

dkdVV

dkFddV

kF

(5)

II.2.1.3 Sudut Dihedral

Interaksi sudut dihedral seringkali disebut juga sebagai rotasi ikatan (bond

rotation) yang terjadi akibat interaksi 4 atom yaitu i, j, k dan l. Potensial interaksi

sudut dihedral dituliskan pada persamaan (2) dengan nilai χ merupakan sudut

dihedral, Kχ adalah tetapan sudut dihedral, n merepresentasikan periodesitas atau

multiplisitas dan σ menunjukkan fasa. Nilai tetapan Kχ menunjukkan besarnya

halangan untuk melakukan rotasi, Kχ ikatan rangkap akan memiliki nilai yang

lebih besar daripada ikatan tunggal. Periodesitas n mengindikasikan jumlah siklus

rotasi dihedral per 360o. Untuk ikatan sp3-sp3 pada etana misalnya, nilai n adalah 3

sedangkan ikatan sp2-sp2 pada ikatan C=C akan memiliki nilai n sebesar 2 (Becker

dkk., 2001). Sedangkan nilai fasa σ menunjukkan kapan suatu sudut dihedral

mengalami nilai maksimum dan minimum.

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

26

II.2.1.4 Interaksi van der Waals (Potensial Lennard-Jones)

Interaksi van der Waals dapat terjadi antara dipol-dipol parsial yang terbentuk

akibat awan elektron yang tersebar acak di sekitar atom menyebabkan distribusi

muatan tidak merata (Gambar II.8). Ketika dipol-dipol parsial tersebut saling

mendekat maka akan terjadi tumpangsuh orbital elektron terakhir menyebabkan

gaya tolak antar atom menjadi dominan. Pengaruh tolakan ini merupakan fungsi

dari jarak antara kedua atom tersebut (r) dengan nilai sebanding 1/r12. Sebaliknya,

ketika dipol-dipol parsial tersebut menjauh, maka gaya tarik antar atom menjadi

dominan. Gaya tarik ini juga merupakan fungsi dari jarak antara kedua atom yang

nilainya sebanding dengan 1/r6. Karenanya interaksi van der Waals sering

dinyatakan sebagai potensial Lennard-Jones (LJ)6-12. Nilai energi ini akan

mencapai suatu nilai maksimal pada jarak tertentu. Persamaan LJ6-12 dituliskan

pada persamaan (3) dengan rij merepresentasikan jarak antara atom i dan atom j,

εij merupakan suatu konstanta yang menggambarkan kedalaman sumur potensial

(besarnya interaksi dispersi antara atom i dan j), Rminij merupakan jari-jari atom

van der Waals.

Gambar II.8. Salah satu jeni interaksi van der Waals dimana suatu molekul menginduksi pembentukan dipol molekul lain (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996).

II.2.1.5 Interaksi Elektrostatik (Potensial Couloumb)

Interaksi elektrostatik terjadi akibat adanya distribusi muatan yang tidak merata

pada suatu atom (Gambar II.9) mengakibatkan dapat terjadinya tarik menarik

antar atom ataupun saling tolak menolak. Besarnya energi interaksi ini dinyatakan

oleh persamaan potensial Coulomb (Persamaan 3) dengan rij merupakan jarak

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

27

antara atom i dan j, qi dan qj merupakan muatan partikel i dan j dan ε merupakan

kontansta dielektrik media.

Gambar II.9. Interaksi elektrostatik antara partikel i dan j (Modifikasi dari

Matthew dan van Holde, 1996). II.2.2 Parameter Simulasi

Dalam suatu sistem simulasi diasumsikan bahwa sistem awal didefinisikan

sebagai S(t0) dengan posisi setiap atom adalah r dan kecepatan v pada waktu t0

tersebut. Untuk setiap keadaan sistem S(t0 + ∆t), S(t0 + 2∆t), ..., S(t0 + n∆t)

dilakukan perhitungan gaya total setiap atom i (Fi(t0 + n∆t)) berdasarkan hukum

Newton I yang merupakan penjumlahan interaksi suatu atom dengan atom

lainnya. Setiap gaya atom i (Fi(t0 + n∆t)) kemudian diintegralkan sehingga

diperoleh nilai kecepatan vi yang baru vi(t0 + n∆t). Dengan menggunakan nilai

kecepatan yang baru maka posisi atom dapat ditentukan ri(t0 + (n+1)∆t).

Pemilihan tahapan waktu (timestep) ∆t pada proses simulasi didasarkan atas

pertimbangan akurasi dan ekonomis dimana nilai ∆t dapat mempengaruhi

kesalahan (error) yang terkait dengan algoritma integrasi di atas. Nilai ∆t besar

menyebabkan proses simulasi berjalan lebih cepat dengan tingkat kesalahan lebih

besar, demikian sebaliknya nilai ∆t kecil akan mengurangi tingkat kesalahan

perhitungan integrasi namun menyebabkan simulasi berjalan lebih lambat.

Terdapat banyak interaksi yang harus di evaluasi pada saat dilakukan perhitungan

gaya total setiap atom i (Fi(t0 + n∆t)). Pada prinsipnya, interaksi non-ikatan terjadi

untuk setiap pasangan atom. Waktu simulasi yang dibutuhkan untuk menghitung

interaksi non-ikatan akan sangat besar karenanya dilakukan efisiensi perhitungan

dengan menggunakan parameter jari-jari cutoff (radius cutoff) dan daftar tetangga

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

28

(neighbour list). Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa kontribusi terbesar

terhadap gaya total atom i berasal dari atom tetangganya. Jari-jari cutoff Rco

merupakan suatu nilai batas bagi partikel agar masuk ke dalam perhitungan gaya

total atom i (Fi(t0 + n∆t)) (Gambar II.10). Ketika cutoff digunakan maka setiap

pasangan atom harus diamati seberapa jauh terpisah dari Rco. Hal ini dinamakan

sebagai daftar tetangga yaitu suatu daftar yang memuat informasi semua atom

dalam lingkup cutoff dan juga atom-atom yang sedikit lebih jauh dari cutoff yang

akan diperbaharui setiap 10-20 tahap selanjutnya. Dengan metode ini, pencarian

pasangan-pasangan atom tidak dilakukan setiap tahapan waktu ∆t sehingga

mengurangi beban perhitungan.

Gambar II.10. Representasi jari-jari cutoff Rco suatu sistem dalam simulasi dinamika molekul (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).

II.2.2.1 Sistem Protein-Pelarut

Proses solvasi / pelarutan biomolekul yang akan disimulasikan bertujuan agar

proses simulasi mendekati sistem nyata. Dua jenis sistem solvasi yang biasa

dipergunakan yaitu implisit dan eksplisit (Becker dkk., 2001). Pada sistem solvasi

implisit (Onufriev dkk., 2000; Onufriev dkk., 2004), molekul pelarut hanya

berperan sebagai medium dan tidak terlalu terlibat dalam suatu proses simulasi.

Pada sistem ini pengaruh pelarut dimodelkan dengan menggunakan pelarut

kontinyu (continum solvent model) dimana pelarut diganti dengan suatu tetapan

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

29

dielektrik kontinyu yang dirumuskan sebagai Persamaan Generalized Born (GB)

yaitu :

(6)

dengan rij adalah jarak antara partikel i dan j, qi dan qj merupakan muatan partikel

tersebut dan f(rij,aij) merupakan suatu fungsi yang bergantung pada jarak antar

partikel dan jari-jari Born aij.

Sedangkan pada sistem solvasi eksplisit, molekul protein secara nyata dikelilingi

oleh molekul air. Untuk mensimulasikan keadaan tersebut, proses simulasi

melibatkan jumlah atom yang tidak sedikit setidaknya sekitar 103-105 atom

bahkan lebih. Sistem tunggal dengan partikel atom sebanyak ini akan merasakan

pengaruh lingkungan terbatas. Karenanya, hampir keseluruhan simulasi dilakukan

dengan menerapkan kondisi batasan berkala (Periodic Boundary Condition/PBC)

(Leeuw dkk., 1980a). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, proses simulasi

dilakukan dalam suatu kotak komputasi, dimana kotak tersebut secara virtual akan

dikelilingi oleh kotak-kotak replika dengan ukuran yang sama (Gambar II.11).

Hanya satu kotak saja yaitu ”kotak pusat” (ditandai dengan garis biru pada

Gambar II.11) yang akan disimulasikan karena kotak-kotak yang lain akan

memiliki tingkah laku yang sama. Dengan diterapkannya kondisi batasan berkala,

partikel-partikel dapat secara bebas berpindah dari satu kotak ke kotak lainnya

(Leeuw dkk., 1980b). Dalam suatu simulasi dengan kondisi batasan berkala setiap

partikel dipengaruhi oleh partikel-partikel lain yang terdapat dalam kotak yang

sama dan juga partikel-partikel lain disekitar kotak utama tersebut. Bentuk kotak

komputasi yang dapat digunakan adalah sedemikian rupa sehingga kotak tersebut

dapat ditumpuk di berbagai sisi. Untuk alasan efisiensi hanya kotak cembung

yang digunakan. Dalam ruang 3D terdapat lima tipe kotak yang memenuhi sifat-

(((( ))))

2

1 1 1

1 1

1 1 11 1

2

1 11

2 ,

N N Ni j i

elecij ii j i i

N Ni j

i i ij ij

q q qG

r a

q q

f r a

ε εε εε εε ε

εεεε

= = + == = + == = + == = + =

= == == == =

∆ = − − − −∆ = − − − −∆ = − − − −∆ = − − − −

= − −= − −= − −= − −

∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑

∑∑∑∑∑∑∑∑

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

30

sifat di atas yaitu : kotak triklinik, prisma segi enam, 2 tipe dodekahedron dan

oktahedron terpotong (truncated).

Gambar II.11. Kondisi batasan berkala dalam penggambaran 2 dimensi (2D) pada proses simulasi (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).

II.2.2.2 Parameter Temperatur dan Tekanan

Selain mengatur parameter solvasi, ditentukan pula parameter temperatur dan

tekanan ke dalam sistem yang akan disimulasikan sehingga mendekati keadaan

nyata. Sebagian besar pengukuran eksperimen dilakukan pada tekanan maupun

temperatur tetap, sehingga simulasi yang dilakukan pada isoterm-isobar akan

lebih relevan dengan data eksperimen. Kondisi ini disyaratkan dengan

mempertahankan secara tetap hubungan antara jumlah atom/partikel N, tekanan P

dan temperatur T; disebut sebagai NPT ansambel (ensemble). Sedangkan kondisi

lainnya dimana volume sistem dibuat tetap demikian juga dengan jumlah atom N,

dan temperatur T disebut sebagai NVT atau kanonikal ansambel.

II.2.2.2.1 Kontrol Temperatur dengan Metode Berendsen

Pada SDM, nilai temperatur dapat diketahui dari kecepatan pergerakan partikel

atom-atom di dalam sistem, sehingga untuk mengatur temperatur sistem maka

kecepatan pergerakan atom harus diatur dan dibatasi pada nilai tertentu. Untuk

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

31

mencapai kondisi tersebut, salah satu persamaan yang dapat digunakan untuk

mengatur temperatur adalah metode Berendsen (Berendsen dkk., 1984) dengan

cara memasang termostat pada sistem yang diset pada temperatur yang

diinginkan. Temperatur dijaga dengan mengalikan kecepatan dengan suatu faktor

λ sehingga sistem berfluktuasi pada T yang diinginkan. Besaran ∆t merupakan

tahapan waktu sedangkan parameter kopling τ merupakan besaran yang

menentukan seberapa kuat perbedaan antara temperatur termostat dan sistem

dikendalikan. Nilai τ besar menunjukkan kopling lemah sedangkan τ kecil

mengindikasikan kopling kuat (Persamaan 7).

(7)

II.2.2.2.2 Kontrol Temperatur dengan Metode Langevin Dynamics

Persamaan lain yang dapat digunakan untuk mengontrol temperatur sistem adalah

metode dinamika Langevin (Langevin dynamics) (Barth dan Schlick, 1998).

Metode ini didasarkan atas fenomena bahwa atom-atom pelarut dan zat terlarut

yang saling bergesekan dapat menyebabkan pergerakan acak yang dapat

mengganggu sistem. Karenanya persamaan Langevin (Persamaan 8) merupakan

koreksian atas hukum Newton kedua dengan adanya penambahan dua besaran

gaya yaitu gaya gesek dengan koefisien gesek γivi dan gaya acak iR yang

merupakan gambaran sifat acak dari pergerakan molekul pelarut pada temperatur

tertentu. Hubungan antara gaya gesek, gaya acak dan gaya internal partikel i dapat

dinyatakan sebagai berikut :

( )ti i i i i iF R m aγ ν− + = (8)

II.2.2.2.3 Kotrol Temperatur dengan Metode Noose-Hover

λτ

∆ = + −

12

bath1 1( )

TtT t

Page 26: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

32

Mode Noose-Hover didasarkan atas fenomena bahwa kenaikan temperatur sistem

pada tekanan tetap akan menyebabkan sistem mengembang karenanya metode ini

disebut juga sebagai metode extended system (Ziff, 1998). Untuk mengurangi

pengaruh eksternal di luar sistem, maka sistem ditempatkan dalam suatu reservoir

panas (heat reservoir) yang diwakili sebagai derajat kebebasan tambahan s.

Reservoir panas tersebut akan mengatur temperatur T sistem sehingga nilainya

berfluktuasi disekitaran nilai target T tertentu. Adanya interaksi termal antara

reservoir dan sistem menghasilkan pertukaran energi kinetik di antara keduanya.

Sehingga reservoir akan memiliki energi potensial (Persamaan 9) dan juga energi

kinetik (Persamaan 10).

(f + 1)kBT ln s (9)

K = ½ Q (ds/dt)2 (10)

dengan f menyatakan jumlah derajat kebebasan dalam sistem, T adalah temperatur

yang diinginkan dan Q merupakan suatu parameter dengan dimensi energi x

waktu2. Parameter Q menentukan besarnya kopling antara sistem dengan reservoir

sehingga mempengaruhi fluktuasi temperatur dan aliran energi antara sistem dan

reservoir.

II.2.2.2.3 Kontrol Tekanan dengan Metode Berendsen

Pengaturan tekanan dilakukan pada sistem yang akan disimulasikan dengan tujuan

untuk menyamakan kerapatan molekul disemua bagian sistem khususnya simulasi

dengan kondisi PBC. Metode Berendsen disebut juga sebagai weak coupling,

dimana tekanan sistem dikendalikan dengan memasang pressure bath yang

identik dengan termostat (Berendsen dkk., 1984). Pada metode ini tekanan diatur

dengan faktor λ (Persamaan 11).

(11)

λ κτ∆= − −1 ( )bath

P

tP P

Page 27: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

33

II.2.2.3 Minimisasi

Koordinat awal suatu biomolekul yang akan dipelajari umumnya diperoleh dari

hasil kristalografi sinar-X ataupun pemodelan struktur 3D, yang jarak antar satu

atom dengan yang lainnya terkadang sangat dekat ataupun sangat jauh dari posisi

kesetimbangan. Ketidaksesuaian geometri ini menyebabkan terjadinya interaksi

yang tidak disukai (bad van der Waals contact) maupun efek-efek sterik berenergi

tinggi yang nantinya mengakibatkan sistem yang disimulasikan menjadi tidak

stabil. Karenanya setelah parameter simulasi sistem disesuaikan sehingga

mendekati keadaan nyata, dilakukan proses minimisasi sehingga posisi geometri

atom yang tidak sesuai dapat dikembalikan sedemikian rupa menghasilkan energi

potensial terendah bagi sistem.

Gambar II.12. Permukaan energi potensial suatu protein (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996).

Berdasarkan tinjauan entropi (Gambar II.12), energi potensial permukaan protein

memiliki banyak sekali daerah minimum lokal (local minima), sehingga proses

minimisasi energi untuk mencari minimum global (global minima) merupakan

suatu proses yang tidak sederhana. Beberapa algoritma minimisasi telah

Page 28: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

34

dikembangkan untuk mencari posisi geometri atom yang paling sesuai dengan

tingkat energi terendah. Namun karena proses melokalisasi minimum global

merupakan proses yang rumit sehingga pengembangan algoritma minimisasi

hingga saat ini hanya diarahkan pada pencarian minimum lokal terdekat. Secara

umum, terdapat 2 jenis algoritma minimisasi yaitu (i) yang tidak melibatkan

proses derivatif disebut sebagai algoritma orde ke 0 dan (ii) yang melibatkan

proses derivatif, terdiri atas algoritma orde pertama seperti metode steepest

descent (SD) dan conjugate gradient (CG) dan algoritma orde kedua misalnya

metode Newton Raphson. Adapun algoritma minimisasi yang paling banyak

digunakan dalam simulasi biomolekul adalah metode SD dan CG.

II.2.2.3.1 Metode Steepest Descent (SD)

Metode ini merupakan algoritma minimisasi yang paling sederhana (Deift dan

Zhou, 1993) yaitu dengan menggunakan turunan pertama untuk mencari

minimum lokal. Algoritma ini seringkali disebut sebagai perkiraan titik-pelana

(saddle-point approximation) dan memanfaatkan informasi tentang kemiringan

tetapi tidak bentuk kurva/kontur energi permukaan protein. Dalam melakukan

minimisasi, metode ini melakukan perulangan (iterasi) dimana posisi atom yang

baru pada langkah ke k (Rk) merupakan penjumlahan dari posisi sebelumnya Rk-1

dengan ukuran langkah yang diambil dan arah dari langkah ke k tersebut (IkSk).

Arah dari setiap langkah ke k yang dipilih (Sk) merupakan gradien dari energi

potensial (gk) namun dengan nilai berlawanan yang dapat dituliskan sebagai

berikut :

Sk = - gk (12)

Apabila konformasi / posisi geometri atom yang baru memiliki energi yang lebih

rendah dari sebelumnya, maka diasumsikan pendekatan arah langkah Sk yang

dipilih adalah benar dan ukuran langkah Ik kemudian diperbesar (biasanya 1.2

kalinya) untuk meningkatkan efisiensi algoritma. Sebaliknya, bila konformasi

terbaru memiliki energi yang lebih tinggi, mengindikasikan arah langkah Sk yang

dipilih menjauhi nilai minimum karenanya ukuran langkah Ik tersebut kemudian

Page 29: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

35

diperkecil (umumnya 0.5 kalinya) sehingga algoritma minimisasi dapat

diperbaiki. Karena metode ini menggunakan ukuran langkah Ik yang terbatas

(finite) maka proses pencarian minimum lokal umumnya tidak pernah mendekati

nilai sebenarnya namun hanya berada pada batas kisaran nilai minimum saja.

Namun demikian algoritma SD ini cocok untuk mengendurkan konfigurasi awal

dengan banyak kontak buruk (bad contact) yg berenergi tinggi

II.2.2.3.2 Metode Conjugate Gradient (CG)

Sama halnya dengan SD, algoritma CG juga menggunakan turunan pertama untuk

mencari minimum lokal. Langkah awal CG sama seperti SD (Persamaan 12)

namun algoritma CG memperhitungkan langkah sebelumnya untuk melangkah

pada tahap berikutnya (Gambar II.13) karenanya metode ini dapat mengatasi

kekurangan metode SD dalam mengenali informasi bentuk kurva energi potensial

permukaan (Becker dkk., 2001). Untuk setiap iterasi berikutnya (k > 1), arah

langkah Sk diberi bobot rata-rata bk terhadap arah langkah sebelumnya Sk-1

(Persamaan 13).

Sk = - gk + bk Sk-1 (13)

Bobot rata-rata bk merupakan rasio kuadrat antara gradien saat ini gk dengan

gradien sebelumnya gk-1 yang dinotasikan sebagai berikut :

(14)

Dengan demikian metode CG lebih efisien dan lebih cepat mencapai minimum

lokal dibandingkan metode SD (Gambar II.13)

II.2.2.4 Ekuilibrasi

Ekulibrasi merupakan proses pemerataan kerapatan posisi atom di semua bagian

sistem sekaligus memberikan kondisi rileks pada molekul akibat pengekangan

ketika sistem dipanaskan. Tahapan ini umum dilakukan sebelum proses simulasi

dinamika molekul dilakukan pada temperatur tertentu.

1 1

.

.

k kk

k k

g gb

g g− −− −− −− −====

Page 30: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

36

Gambar II.13. Representasi perbedaan algoritma minimisasi antara metode SD dan CG. Berdasarkan algoritma yang dikembangkan dalam mencari minimum lokal maka metode SD akan memilih jalur A-B-C atau A-D-E yang dapat mengakibatkan konformasi yang baru memiliki energi potensial yang lebih tinggi dibandingkan konformasi sebelumnya. Sedangkan jalur yang dipilih oleh metode CG dalam menentukan minimum lokal adalah A-B-O (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).

II.2.3 Simulasi Dinamika Molekul Untuk Mempelajari Stabilitas Protein

Penggunaan SDM pertama kali untuk memberikan gambaran pergerakan dinamis

protein dilakukan oleh McCammon dkk. (1977) terhadap BPTI. Namun, teknik

SDM baru digunakan secara meluas dalam dua dekade terakhir untuk mempelajari

keterkaitan akan struktur fungsi protein dengan stabilitas termalnya (Bartolucci

dkk., 2003) karena metode ini dapat memberikan gambaran hingga ke tingkat

atom terhadap pergerakan dinamik protein (Pikkemaat dkk., 2002). Wampler dkk.

(1993) menggunakan pendekatan ini untuk mempelajari stabilitas termal

rubredoksin (Rd) dengan melakukan komparasi antara hipertermostabil Rd dari

P.furiosus dengan pedanan mesofilnya. Hasilnya menyarankan bahwa dinamika

Page 31: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

37

mesofilik dan hipertermofilik Rd sangat berbeda dan stabilitas termal Rd

hipertermofil diduga karena kekompakkan (compactness) pada penataan

konformasi strukturnya. Stabilitas termal dan mekanisme unfolding dihidrofolat

reduktase dari E.coli dipelajari dengan melakukan simulasi pada temperatur tinggi

(Sham dkk., 2002). Studi dengan pendekatan yang sama dilakukan pula terhadap

faktor elongasi Tu dari mesofil dan termofil (Melchionna dkk., 2006) yang

memiliki penataan molekul yang sama. Hasil SDM menyarankan bahwa faktor

elongasi Tu dari termofil memiliki ikatan hidrogen intramolekul lebih banyak

serta interaksi elektrostatik lebih kuat daripada padanan mesofilnya. Pentingnya

interaksi elektrostatik terhadap stabilitas β-hairpin pada domain B1 protein G

turut dipelajari melalui pendekatan SDM (Tsai dan Levitt, 2002).

Selain itu, SDM digunakan secara meluas untuk menentukan residu-residu

potensial untuk dimutasi sehingga stabilitas termal protein dapat ditingkatkan.

Dengan demikian kesalahan rekayasa protein akibat mutasi acak dapat

diminimalkan (Pikkemaat dkk., 2002). Termostabilitas glukoamilase dari

A.awamori dapat ditingkatkan dengan menambahkan ikatan disulfida pada daerah

flexibel enzim maupun dengan mengganti residu Gly�Ala pada daerah

hidrofobik enzim tersebut. Rekayasa enzim ini dilakukan berdasarkan hasil yang

diperoleh dari simulasi dinamika molekul menggunakan software INSIGHT II

(Liu dan Wang, 2003). Perangkat lunak Amber versi 6.0 digunakan untuk

merekayasa termostabilitas thioredoksin dengan melakukan mutasi titik terhadap

residu asam amino bermuatan yang akan menstabilkan interaksi elektrostatik jarak

jauh pada permukaan protein (Bartolucci dkk., 2003).

II.3 DNA Polimerase

Transmisi materi genetik (DNA) dari satu generasi ke generasi berikutnya

merupakan suatu proses kompleks yang membutuhkan keakuratan tinggi dalam

upaya sel atau organisme untuk mempertahankan hidup. Keluarga DNA Pol

merupakan salah satu enzim penting yang terlibat dalam proses replikasi genom,

rekombinasi maupun perbaikan DNA (Albà, 2001) dengan tingkat fidelitas yang

tinggi dimana rata-rata frekuensi kesalahan sebesar 10-5 per nukleotida (Kunkel

Page 32: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

38

dan Loeb, 1981; Kunkel dkk., 1994; Echols dan Goodman, 2003). Gen pengkode

enzim DNA Pol merupakan suatu housekeeping gene yang aktivitasnya diatur

sesuai dengan siklus hidup suatu sel ataupun melalui respon terhadap kondisi

lingkungan yang beragam yang akhirnya menyebabkan suatu sel dapat memiliki

beragam tipe DNA Pol (Friedberg dkk., 2000). DNA Pol E.coli merupakan enzim

Pol yang pertama kali ditemukan (Kornberg dkk., 1955) yang kemudian

terkarakterisasi ke dalam keluarga Pol I serta paling banyak dipelajari hingga saat

ini sebagai prototipe untuk reaksi polimerisasi di dalam sel (in vivo) (Joyce dan

Steitz, 1994; Patel dkk., 2001).

II.3.1 Klasifikasi DNA Polimerase

Klasifikasi enzim pada mulanya didasarkan pada analisis biokimia dengan

membandingkan kesamaannya dengan keluarga Pol yang terdapat di E.coli yaitu

kelompok Pol I, Pol II dan Pol III (Delarue dkk., 1990; Ito dan Braithwaite, 1991).

Analisis biokimia (Tabel II.4) yang dilakukan untuk proses pengklasifikasian

meliputi kemampuan melakukan reaksi polimerisasi terhadap berbagai substrat

seperti dNTP dan dideoksinukleotida (ddNTP), maupun sensitifitas terhadap

inhibitor seperti afidikolin dan N-ethylmaleimide (Perler dkk., 1996). Pada

kingdom eubakteria, Pol III merupakan enzim replikatif utama. Pol I berperan

dalam pemrosesan fragmen Okazaki pada untai DNA lagging serta perbaikan dan

pemotongan nukleotida (Kornberg dan Baker, 2005), sedangkan Pol II terlibat

dalam perbaikan cross-link DNA setelah teradiasi sinar ultra violet (UV)

(Rangarajan dkk., 1999).

Saat ini, setelah kloning gen telah dilakukan dengan baik, proses

pengklasifikasian enzim DNA Pol didasarkan atas kesamaan urutan asam amino

penyusunnya. DNA Pol dikelompokkan ke dalam tujuh keluarga yaitu A, B, C, D,

X, Y dan RT (Ito dan Braithwaite, 1991; Rothwell dan Waksman, 2005).

Klasifikasi keluarga A, B dan C secara berurutan didasarkan atas kesamaan urutan

asam amino yang dikode oleh gen polA (produknya adalah DNA Pol I), polB

(DNA Pol II) dan polC (DNA Pol III subunit α) dari E.coli (Braithwaite dan Ito,

1993).

Page 33: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

39

Tabel II.4. Karakteristik klasifikasi DNA Polimerase (Perler dkk., 1996)

Sifat Pol I Pol II Pol III

Struktur protein

BM (kDa)

Subunit (kDa)

Jumlah molekul/sel

103

-

400

90

27.5 ; 10

130

Banyak

10-20

Aktivitas

Replikasi

Perbaikan DNA

3’�5’ eksonuklease

5’�3’ eksonuklease

Km dNTP

Inhibisi oleh ddNTP

Inhibisi oleh afidikolin

+

+

+

+

Rendah

-

-

-

+

+

-

Rendah

+

+

+

-

+

-

Tinggi

+

Keterangan : (+) ada aktivitas, (-) tidak ada aktivitas / tidak memiliki subunit

Pol I E.coli, Pol I Bacillus, Pol I T.aquaticus, Pol γ mitokondria, T5 (Delarue

dkk., 1990) dan T7 DNA polimerase (Doublie dkk., 1998) termasuk ke dalam

keluarga Pol A (Braithwaite dan Ito, 1993). Keluarga Pol A memiliki tiga

kelompok residu asam amino lestari yang disebut sebagai motif, yaitu motif A, B

dan C. Motif A dengan urutan asam amino DYSQIELR dan motif C (QVHDEL)

terdapat pada subdomain telapak yang merupakan sisi katalitik (Albà, 2001),

sedangkan motif B yang memiliki residu lestari lisin berperan dalam pengikatan

dNTP. Motif ini terletak pada subdomain jemari (Pandey dkk., 1994; Astatke

dkk., 1998). Motif A tersusun atas anti-paralel β-sheet diikuti dengan α-helix

dengan konstituen utama merupakan asam amino hidrofobik, sedangkan motif B

tersusun atas α-helix dan motif C pada umumnya berbentuk dua anti-paralel β-

sheet (Patel dkk., 2001)

Page 34: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

40

Keluarga Pol B diwakili oleh DNA Pol eukarya meliputi pol α, pol δ, dan pol ε

(Hubscher dkk., 2002), DNA Pol virus, DNA Pol bakteriofaga T4 (Wang

dkk., 1996) dan RB69 (Wang dkk., 1997). Analisis homologi asam amino

menunjukkan bahwa keluarga Pol B memiliki 6 daerah lestari. Daerah I (motif

YGDTDS) dan II (DxxSLYPS), yang juga terletak pada sisi aktif enzim,

diasumsikan ekivalen dengan motif A dan C keluarga Pol A (Patel dan Loeb,

2000). Daerah III merupakan daerah dengan residu asam amino lestari yang

berperan penting dalam pengikatan dNTP yang terletak pada subdomain jemari.

Daerah IV terletak pada ujung-N yang merupakan bagian dari sisi aktif

eksonuklease 3’�5’. Dua daerah lestari lainnya yaitu V dan VI, terletak pada

subdomain ibu jari dan jemari (Hubscher dkk., 2002).

Berdasarkan perbandingan urutan asam amino, keseluruhan DNA Pol III

eubakteria dikelompokkan ke dalam keluarga polimerase C (Steitz, 1999) di

antaranya E.coli DNA Pol III, Salmonella typhimurium DNA polymerase III α

subunit (Lancy dkk., 1989) dan B.subtilis DNA polymerase III (Hammond dkk.,

1991). Keluarga Pol C ini merupakan enzim replikasi utama, karenanya

membutuhkan interaksi dengan berbagai protein lain yang terlibat dalam proses

replikasi. Holoenzim tersebut akan membentuk kompleks enzim yang terdiri atas

~10 subunit di antaranya subunit α, ε, θ, γ, dan δ (Maki and Kornberg, 1988).

Subunit α merupakan subunit enzim yang memiliki aktivitas polimerisasi dan

berinteraksi secara kuat dengan subunit ε yang mempunyai aktivitas eksonuklease

3’�5’ (Kelman dan O’Donnell, 1995).

Sedangkan keluarga D didasarkan pada kesamaan dengan urutan asam amino

dengan Pol II arkea (Pol D). Keluarga Pol D terkarakterisasi sebagai enzim

heterodimer. Subunit terkecilnya menunjukkan homologi tinggi dengan DNA Pol

δ, sedangkan subunit terbesarnya diduga sebagai pusat aktif enzim (Cann dkk.,

1998). Karakterisasi DNA Pol D dari P.furiosus menunjukkan bahwa enzim ini

memiliki aktivitas polimerase serta eksonuklease 3’�5’ (Uemori dkk., 1997).

Page 35: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

41

Polimerase σ eukarya (Burgers dkk., 2001), terminal deoksinukleotidiltransferase

(TdT) DNA Pol (Delarue dkk., 2002) dan Pol X dari virus demam swine Afrika

(Martins dkk., 1994) menunjukkan adanya kesamaan struktur, namun berbeda

dengan keluarga Pol yang lain karenanya dikelompokkan keluarga DNA Pol X

(pol β eukariot) (Ito dan Braithwaite, 1991). Keluarga DNA Pol X ini merupakan

bagian dari superkeluarga (superfamily) nukleotidiltransferase (Aravind dan

Koonin, 1998). Keluarga Pol X berperan dalam pemotongan perbaikan basa (base

excision repair / BER). Enzim ini terorganisasi sedemikian rupa sehingga domain

ujung-N (8kDa) terhubung dengan domain ujung-C (31 kDa) melalui suatu hinge

yang hipersensitif terhadap protease. Domain ujung-N ini memiliki aktivitas 5’-

deoksiribosa fosfatase (dRP) yang dibutuhkan untuk proses BER, sedangkan

domain besar ujung-C memiliki aktivitas polimerisasi (Matsumoto dan

Bogenhagen, 1991).

Radiasi UV dan juga mutagen lainnya dapat menyebabkan kerusakan pada DNA

seperti hilangnya basa nukleotida maupun terjadinya silang-jalur DNA. Keluarga

Pol Y merupakan keluarga Pol terbaru yang ditemukan di berbagai organisme

mulai dari E.coli hingga manusia yang berfungsi untuk mengenali berbagai

kerusakan DNA dan kemudian mem-bypass-nya dengan memperlambat garpu

replikasi (Johnson dkk., 1999). Sebagian besar daripadanya merupakan error-

prone seperti UmuC/UmuD (DNA Pol IV dan V) dan DinX (damage-induced)

dari E.coli (Tang dkk., 1999) serta Rad30, DinB, REV1 dari eukarya (Friedberg

dkk., 2000).

Pada mulanya Reverse Transcriptase (RT), RNA-dependent RNA polimerase dan

eukarya telomerase dikelompokkan ke dalam keluarga pol X (Ito dan Braithwaite,

1991). Bertambah banyaknya RT yang berhasil diisolasi dan kemampuannya

untuk menggunakan substrat yang bervariasi (RNA/RNA, DNA/RNA,

RNA/DNA, DNA/DNA, pengklasifikasian DNA Pol terkini mengkelompokannya

ke dalam keluarga tersendiri yaitu keluarga RT (Rothwell dan Waksman, 2005).

Struktur protein keluarga RT bervariasi, virus human immunodeficiency (HIV) RT

misalnya merupakan suatu protein dimer yang terdiri atas subunit 1 dan 2,

Page 36: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

42

sedangkan Moloney murine leukemia (MULV) RT merupakan suatu monomer.

Keseluruhan keluarga RT ini memiliki domain polimerase dan juga domain

RnaseH yang diperlukan untuk memotong RNA virus selama proses sintesis

DNA.

II.3.2 Struktur dan Fungsi DNA Polimerase

Fragmen Klenow (KF) Pol I E.coli merupakan struktur kristal DNA Pol yang

pertama kali ditentukan (Ollis dkk., 1985) dan setelah itu struktur DNA Pol

lainnya telah berhasil ditentukan seperti DNA Pol I Taq (Eom dkk., 1996), T7

DNA Pol (Sousa dkk., 1993), RB69 DNA Pol B (Wang dkk., 1997), DNA Pol

dari spesies Thermococcus (Hopfner dkk., 1999; Rodriguez dkk., 2000), DNA Pol

dari hipertermofil arkhea (Hashimoto dkk., 2001). Hingga saat ini, koleksi

struktur kristal DNA Pol yang tersimpan di PDB telah mencapai 274 buah kristal.

Secara umum, selain memiliki aktifitas polimerisasi yang terdapat pada domain

polimerase, enzim ini juga memiliki aktivitas lain seperti perbaikan DNA dan

pelepasan primer Okazaki yang biasanya terdapat pada domain berbeda.

Keseluruhan studi struktur kristal ditunjang dengan analisis biokimia

menunjukkan bahwa DNA Pol selain memiliki domain polimerase 5’�3’, juga

memiliki domain eksonuklease 3’�5’ dan atau eksonuklease 5’�3’. Jika kedua

aktivitas ini dimiliki, maka domain eksonuklease 5’�3’ akan terdapat pada

daerah ujung-N (N-terminal), domain polimerase 5’�3’ akan terdapat pada

daerah ujung-C (C-terminal), sedangkan domain eksonuklease 3’�5’ akan

terletak di antaranya sehingga disebut sebagai domain penghubung (intervening)

(Joyce dan Steitz, 1994). Gambar II.14 menunjukkan struktur kristal Taq Pol I

dengan ketiga domain yang dimilikinya dalam dua orientasi posisi domain

eksonuklease 5’�3’ (Kim dkk., 1995; Urs dkk., 1999). Beberapa Pol lainnya

memiliki domain tertentu yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sub unit

lain, seperti Pol α eukarya yang juga memiliki sub domain zinc finger untuk

berinteraksi dengan kompleks polimerase-primase (Albà, 2001).

Page 37: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

43

Gambar II.14. Struktur Kristal 3D dari Taq Pol I. Enzim ini merupakan enzim multifungsi dan multidomain yang terdiri atas : domain eksonuklease 5’�3`, domain eksonuklease 3’�5’ dan domain polimerase 5’�3’. Pada domain polimerase terdapat tiga subdomain yaitu: ibu jari (thumb), jemari (fingers), dan telapak (palm). Visualisasi dilakukan dengan perangkat lunak VMD terhadap 1TAQ (Kim dkk., 1995) dan 1CMW (Urs dkk., 1999). α-helix digambarkan dalam bentuk helix berwarna ungu dan β-sheet dalam bentuk anak panah berwarna kuning.

II.3.2.1 Aktivitas dan Domain Eksonuklease 5’�3’

Aktivitas ini sering disebut juga sebagai 5’nuklease dan diperlukan untuk proses

translasi celah (nick translation) yaitu terputusnya ikatan fosfodiester pada salah

satu untai DNA yang menyebabkan kerusakan DNA, maupun proses

pendegradasian RNA primer pada fragmen Okazaki (Kaiser dkk., 1999).

Penjajaran urutan asam amino pada daerah eksonuklease 5’�3’ dari beberapa

kelas polimerase eubakteri dan bakteriofaga, serta komparasi data struktur domain

ini dari T5 (Ceska dan Sayers, 1998), Taq Pol I (Kim dkk., 1995) dan T4 RNase H

(Mueser dkk., 1996), menunjukkan adanya enam motif lestari yaitu motif A, B, C,

D, E dan F (Joyce dkk., 1982; Perler dkk., 1995) sebagaimana terangkum pada

Tabel II.5 Sisi aktif domain ini terdiri atas sejumlah residu karboksilat yang

diduga berperan dalam pembentukan ikatan koordinasi dengan ion logam untuk

Page 38: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

44

menjalankan aktivitasnya. Sedangkan untuk kelas eukarya dan arkhea, aktivitas

5’nuklease disebut dengan flap endonuklease (FEN1) karena kesamaan struktur

dan aktivitas, namun berbeda urutan asam aminonya (Turchi dkk., 1994; Bambara

dkk., 1997).

Tabel II.5. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 5’�3’ (Perler dkk., 1996).

Motif Urutan asam amino

A

B

C

D

E

F

leu

ile

phe

GLU

ile

leu

LEU

val

ARG

ala

ile

Xaa

leu

leu

Xaa

ASP

ser

GLY

val

Xaa

GLU

ASP

Xaa

ASP

ASP

PHE

Xaa5

val

ASP

Xaa2

GLY

Xaa

TYR

Xaa

lys

ser

ASP

LYS

ala

ASP

ASP

Xaa2

Xaa

asn

ARG

leu

Asam amino yang ditulis dengan huruf kapital merupakan asam amino yang selalu ada pada posisi tersebut; asam amino yang dimulai dengan huruf kecil merupakan asam amino yang umum dijumpai pada posisi tersebut. Xaa menunjukkan asam amino lain atau tidak ada asam amino

II.3.2.2 Aktivitas dan Domain Eksonuklease 3’�5’

Pada umumnya, domain ini terdapat pada rantai polipeptida yang sama dengan

domain polimerase tetapi dengan aktivitas yang saling berlawanan dimana

aktivitas eksonuklease 3’�5’ ini dibutuhkan untuk pembacaan kesalahan

(proofreading) ketika reaksi polimerisasi berlangsung (Kroutil dkk., 1996).

Namun pada beberapa keluarga Pol, misalnya Pol C E.coli, aktivitas eksonuklease

ini terdapat pada sub unit terpisah dari enzim inti (core enzyme) (Perler dkk.,

1996). Data struktural menunjukkan bahwa jika domain ini terdapat pada

polipeptida yang sama dengan polimerase, maka sisi aktif kedua domain terpisah

sekitar 3 Å (Ollis dkk., 1985; Freemont dkk., 1988), mengindikasikan bahwa

ketika polimerisasi berlangsung terdapat 2 jenis pengikatan terhadap DNA

cetakan-primer (Gambar II.15) tergantung apakah enzim sedang melakukan

pemasangan atau pengeditan nukelotida (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999).

Page 39: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

45

Kombinasi hasil penjajaran urutan asam amino, data struktural dan mutagenesis

terhadap sejumlah DNA Pol menunjukkan adanya tiga motif lestari (Tabel II.6)

yaitu motif ExoI, ExoII dan ExoIII. Adapun mekanisme reaksi eksonuklease

3’�5’ diduga dipengaruhi oleh pembentukan ikatan koordinasi dengan dua ion

logam. Studi terhadap KF menunjukkan bahwa mutasi pada residu aspartat

(Asp355, Asp424, Asp501) menyebabkan penurunan afinitas terhadap ion logam

dan secara langsung menurunkan aktifitas eksonuklease 3’�5’ (Beese dan Steitz,

1991; Kroutil dkk., 1996).

Gambar II.15. Model yang diajukan untuk proses polimerisasi maupun pengeditan pada DNA Pol. Sisi aktif eksonuklese 3’�5’ akan mengikat DNA untai tunggal sedangkan sisi aktif polimerase akan mengikat DNA untai ganda (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999).

Tabel II.6. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 3’�5’ (Perler dkk., 1996)

Xaa menunjukkan asam amino yang lain atau tidak ada

Motif Urutan asam amino

ExoI

ExoII

ExoIII

Asp Xaa Glu

Asn Xaa2-3 (Phe/Tyr)Asp

Tyr Xaa3 Asp

Page 40: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

46

II.3.2.3 Aktivitas dan Domain Polimerase 5’�3’

Komparasi struktur 3D DNA Pol yang telah ditentukan menunjukkan bahwa

domain polimerase memiliki morfologi seperti tangan kanan, terdiri atas tiga

subdomain yaitu jemari (fingers), ibu jari (thumb) dan telapak (palm) serta terletak

pada daerah ujung-C enzim (Joyce dan Steitz, 1994). Subdomain jemari tersusun

atas struktur α-helix dan memiliki peranan untuk mengikat nukleotida serta

mengorientasikan DNA cetakan untai tunggal agar bersilangan dengan ujung

primer. Kombinasi data struktural dan studi mutagenesis menyarankan bahwa

residu Arg754, Lys758 dan Phe762 yang terdapat pada subdomain jemari pada

KF berperan penting dalam pengikatan dNTP (Joyce, 1997; Astatke dkk., 1998).

Secara umum pada subdomain ini terdapat 2 jenis struktur sekunder protein :

keseluruhan α-helix seperti pada KF (Ollis dkk., 1985), Taq Pol I (Kim dkk.,

1995), RB69 dan campuran struktur α-helix dan β-sheet yang dijumpai pada

keluarga Pol yang menggunakan RNA sebagai cetakan seperti Reverse

Transkriptase.

Subdomain ibu jari pada umumnya terdiri atas dua untai antiparalel α-helix

dimana setiap α-helix tersebut berinteraksi dengan lekuk minor (minor groove)

dari produk templat-primer. Subdomain ini berperan dalam memposisikan untai

ganda DNA, mengikat lekuk minor poduk DNA yang dihasilkan serta

menentukan prosesivitas enzim (ukuran sejumlah nukleotida yang ditambahkan

oleh DNA Pol sebelum enzim tersebut terdisosiasi dari substratnya) (Joyce dan

Steitz, 1994; Kelman dkk., 1998). Sedangkan pada subdomain telapak yang

berbentuk beberapa β-sheet anti-paralel, terdapat sisi katalitik enzim, sisi

pengikatan terhadap ujung 3’ primer serta sisi lain yang berkontribusi terhadap

pengikatan dNTP (Patel dkk., 2001).

Keseluruhan DNA polimerase mengkatalisis reaksi polimerisasi yang sama yaitu

menambahkan dNTP pada ujung 3’ primer, diringkaskan sebagai berikut :

DNAn + dNTP ↔ DNAn+1 + PPi

Page 41: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

47

Di dalam sel, reaksi di atas bersifat irreversible karena kehadiran pirofosfatase

anorganik yang akan menghidrolisis pirofosat yang dihasilkan pada proses di atas.

Reaksi polimerisasi melibatkan serangkaian tahapan meliputi pengikatan primer-

DNA cetakan, pengikatan dNTP, perubahan konformasi, tahap reaksi kimia,

perubahan konformasi tahap kedua, pelepasan pirofosfat, pelepasan primer dari

DNA cetakan ataupun terjadinya pengulangan tahapan polimerisasi (Perler dkk.,

1996). Hasil studi struktur fungsi Pol yang ada (Joyce dan Steitz, 1994; Joyce dan

Steitz, 1995; Steitz, 1999) mengindikasikan bahwa reaksi transfer fosforil

dikatalisis oleh dua ion logam. Ion logam 1 berinteraksi dengan ujung 3’ OH dari

primer sedangkan ion logam 2 memfasilitasi lepasnya gugus β- dan γ-fosfat

menghasilkan pirofosfat. Kedua ion logam ini juga diduga berperan dalam

menstabilkan struktur dan muatan keadaan transisi pentakovalen yang terjadi pada

setiap tahap reaksi polimerisasi (Gambar II.16). Dalam keluarga Pol I dan Pol X,

Mg2+ merupakan ion logam yang umum terikat pada residu asam karboksilat

lestari yang hanya terpisah pada jarak 4 Å (Joyce dan Steitz, 1995).

Gambar II.16. Mekanisme reaksi polimerisasi yang dimediasi oleh dua ion logam divalent. Kedua ion logam (Mg2+) akan terikat pada enzim melalui residu asam karboksilat lestari. (Joyce dan Steitz, 1994; Joyce dan Steitz, 1995).

Page 42: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

48

II.3.3 DNA Polimerase I (Pol I)

DNA Pol yang paling banyak diteliti hingga saat ini adalah DNA Pol dari

keluarga Pol A yaitu DNA Pol I yang memiliki kelimpahan yang meruah di dalam

sel (400 buah) serta dijadikan prototipe untuk mempelajari reaksi polimerisasi in

vivo (Joyce dkk., 1982 ; Patel dkk., 2001). Selain itu, enzim ini digunakan secara

meluas dalam riset bioteknologi di antaranya untuk pengembangan teknik PCR

yang dapat diterapkan dalam banyak bidang meliputi diagnosis medik, forensik,

biologi molekul maupun rekayasa genetika (Vieille dan Zeikus, 2001). Di antara

sejumlah DNA Pol I yang telah diisolasi dari berbagai jenis mikroorganisme, Pol I

E.coli dan Taq Pol I dari T.aquaticus merupakan Pol I yang terkarakterisasi paling

lengkap.

II.3.3.1 DNA Pol I E.coli

DNA Pol I E.coli merupakan enzim Pol yang pertama kali ditemukan dan

terkarakterisasi sebagai enzim multi fungsi dengan aktivitas eksonuklease 5’�3’,

eksonukelase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’ (Kornberg dkk., 1955). Analisis

biokimia menunjukkan bahwa setiap aktivitas terdapat pada domain tersendiri

meskipun enzim ini merupakan polipeptida tunggal. Proteolisis dengan enzim

subtilisin atau tripsin terhadap DNA Pol I E.coli menghasilkan dua fragmen yaitu

fragmen kecil yang memiliki aktivitas eksonuklease 5’�3’ dan fragmen besar

yang memiliki aktivitas eksonukelase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’ (Klenow dan

Henningsen, 1970). Fragmen besar ini selanjutnya disebut sebagai fragmen

Klenow (KF) dengan BM 68 kDa. Hingga saat ini, struktur kristal DNA Pol I utuh

dari E.coli belum berhasil ditentukan (Karantzeni dkk., 2003). Sedangkan struktur

kristal KF pertama kali ditentukan pada tahun 1985 (Ollis dkk., 1985) dengan

resolusi 3.3 Å (kode PDB : 1DPI) dan kemudian diperhalus lagi dengan resolusi

2.6 Å (kode PDB : 1KFD) (Beese dkk., 1993). Pada subdomain telapak terdapat

sisi aktif yang terdiri atas empat residu asam amino karboksilat yaitu Aspartat

pada posisi 705 dan 882 (Polesky dkk., 1990; Polesky dkk., 1992), Glutamat pada

posisi 710 dan 883 (Steitz, 1999; Gangurde dkk., 2000) serta berperan juga dalam

mengikat dNTP (Joyce dan Steitz, 1994; Patel dkk., 2001). Sebelum

Page 43: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

49

diperkenalkannya DNA Pol termostabil, KF diaplikasikan untuk reaksi PCR

(Jacobsen dkk., 1974) dengan tingkat kesalahan pemasangan nukleotida rata-rata

10-5 hingga 10-6 (Bebenek dan Kunkel, 1990). Namun aplikasi KF untuk proses

PCR rutin mengalami kendala karena enzim ini bersifat termolabil dan memiliki

aktivitas polimerase optimum pada 30-37oC, sehingga alikuot enzim harus selalu

ditambahkan untuk setiap siklus PCR (Villbrandt dkk., 2000).

II.3.3.2 DNA Pol I ITB-1

Bakteri-bakteri termofilik dari berbagai sumber alam lokal telah diisolasi

(Soeharto, 2000; Nurbaiti, 2002; Indrajaya dkk., 2003). Salah satunya adalah

bakteri termofilik yang diisolasi dari sumber air panas Cimanggu, Jawa Barat.

Dari hasil analisis 16S rRNA disarankan bahwa bakteri yang diisolasi termasuk ke

dalam kelas Geobacillus thermoleovorans (Akhmaloka dkk., 2000;

Pramono, 2004). Kloning dan ekspresi gen pengkode enzim DNA Polimerase

yang diisolasi dari bakteri tersebut telah berhasil dilakukan (Pramono, 2004;

Akhmaloka dkk., 2007). Enzim ini diberi nama DNA Pol I ITB-1. Dari studi

homologi telah diketahui bahwa enzim DNA Pol I ITB-1 memiliki homologi yang

tinggi dengan enzim DNA Pol I B.caldolyticus (99%) dan juga dengan DNA Pol I

B.stearotermophillus (89%), dimana struktur kristal dari protein ini telah

diketahui (Akhmaloka dkk., 2002). Tingginya tingkat homologi menunjukkan

adanya ekivalensi fungsi dari setiap domain dengan kedua DNA Pol I

B.caldolyticus dan B.stearotermophillus yang terkarakterisasi memiliki domain

eksonuklease 5’�3’, eksonuklease 3’�5’ dan polimerase 5’�3’. Sifat-sifat

biokimia dan kajian struktur fungsi DNA Pol I ITB-1 masih terus dipelajari. Hasil

analisis biokimia menunjukkan bahwa temperatur dan pH aktivitas polimerase

optimum enzim ini sebesar 65oC dan pH 7.4 (Akhmaloka dkk., 2007). Struktur 3D

DNA Pol I ITB-1 telah diramalkan menggunakan program Predict Protein dan

SWISS-MODEL, dengan memanfaatkan struktur kristal BF B.stearotermophillus

sebagai cetak biru (Kiefer dkk., 1997).

Page 44: Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus pada satu jenis interaksi intramolekul dalam

50

II.3.3.3 DNA Pol I T.aquaticus

Enzim DNA Pol I dari termofil T.aquaticus (Taq Pol I) pertama kali diisolasi pada

tahun 1980 oleh Kaledin dkk., selanjutnya gen pengkode enzim tersebut diklon

dan diekspresikan di E.coli, dan bentuk aktif enzim ini merupakan polipeptida

tunggal dengan BM 93.9 kDa (Kaledin dkk., 1982; Lawyer dkk., 1989). Hasil

homologi asam amino menunjukkan bahwa enzim Taq Pol I memiliki identitas

38% dengan padanan E.coli Pol I (Suzuki dkk., 2000). Berdasarkan analisis

biokimia dan studi struktur 3D Taq Pol I, enzim ini terkarakterisasi atas 3 domain

yaitu domain eksonuklease 5’�3’, eksonuklase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’

(Kim dkk., 1995; Eom dkk., 1996; Li dkk., 1998). Komparasi struktur 3D Pol I

E.coli dengan Taq Pol I menunjukkan adanya kesamaan struktur terutama pada

domain polimerase dengan struktur serupa tangan kanan dan terdiri atas

subdomain jemari, ibu jari dan telapak (Ollis dkk., 1985; Korolev dkk., 1995).

Perbedaan secara signifikan ditemui pada domain eksonuklease 3’�5’ yang

merupakan domain penghubung (intervening domain) dan sebagai

konsekuensinya aktivitas pembacaan kesalahan eksonuklease 3’�5’ pada enzim

Taq Pol I menjadi tidak aktif (Lawyer dkk., 1989; Kim dkk., 1995 ; Korolev dkk.,

1995). Proteolisis terhadap Taq Pol I menunjukkan hasil yang serupa dengan Pol I

dari E.coli, yaitu dihasilkannya fragmen ujung-N kecil dan fragmen besar yang

terdiri atas 2 domain yaitu domain eksonuklease 3’�5’ dan polimerase 5’�3’.

Fragmen besar ini disebut sebagai fragmen Stoffel atau Klenow Taq I (Klentaq)

(Barnes, 1994; Korolev dkk, 1995). Stabilitas termal Taq Pol I maupun Klentaq

yang lebih tinggi daripada Pol I E.coli menyebabkan enzim ini dipergunakan

secara meluas dalam bidang bioteknologi seperti pengembangan teknik PCR dan

penentuan urutan nukleotida (Barnes, 1994; Kermekchiev dkk., 2003). Hanya

saja, tingkat kesalahan pemasangan nukleotida enzim ini relatif lebih tinggi yaitu

sekitar 2 x 10-4 hingga 1.2 x 10-5 (Eckert dan Kunkel, 1990) karena tidak aktifnya

aktivitas eksonuklease 3’�5’. Namun, studi mutagenesis yang dilakukan oleh

Suzuki dkk. (2000) menyarankan bahwa asam amino Phe667, yang terdapat di O-

helix subdomain jemari, ikut berkontribusi terhadap fidelitas enzim yaitu untuk

membedakan nukleotida yang masuk.