BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.unpas.ac.id/27931/3/BAB II KAJIAN...

47
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pada sub-bab kajian pustaka ini akan disajikan teori-teori relevan dengan variabel penelitian dengan kajian dimulai dari pengungkapan teori manajemen dan teori organisasi sebagai grand theory, manajemen sumber daya manusia sebagai middle range theory, selanjutnya teori Budaya Organisasi dan Komitmen, dan Kinerja Pegawai sebagai applied theory. 2.1.1 Manajemen Para ahli manajemen telah dideskripsikan manajemen sebagai keterampilan dan ilmu. Ilmu itu sendiri bersumber dari pengatahuan yang lahir dari belajar, sedangkan seni bersumber dari jiwa yang lahir dari pengalaman, lingkungan dan keyakinan yang bentuknya tidak dapat diuraikan secara spesifik, sehingga seni ini lebih bersifat pribadi, dan setiap pribadi memiliki seni yang berbeda pula. Pengalamanpun telah membuktikan bahwa perusahaan dengan sistem yang sama pada lingkungan yang sama tetapi hasil yang dicapai seringkali berbeda, inilah bagian dari seni me-manage manajemen itu sendiri. Sebab menurut Robbin dan Coulter (2010:19): “disemua organisasi, para manajer harus menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, penataan, kepemimpinan, dan pengendalian. Namun, hal ini tidak berarti bahwa manajemen selalu dijalankan dengan cara yang sama.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.unpas.ac.id/27931/3/BAB II KAJIAN...

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

Pada sub-bab kajian pustaka ini akan disajikan teori-teori relevan dengan

variabel penelitian dengan kajian dimulai dari pengungkapan teori manajemen

dan teori organisasi sebagai grand theory, manajemen sumber daya manusia

sebagai middle range theory, selanjutnya teori Budaya Organisasi dan Komitmen,

dan Kinerja Pegawai sebagai applied theory.

2.1.1 Manajemen

Para ahli manajemen telah dideskripsikan manajemen sebagai

keterampilan dan ilmu. Ilmu itu sendiri bersumber dari pengatahuan yang lahir

dari belajar, sedangkan seni bersumber dari jiwa yang lahir dari pengalaman,

lingkungan dan keyakinan yang bentuknya tidak dapat diuraikan secara spesifik,

sehingga seni ini lebih bersifat pribadi, dan setiap pribadi memiliki seni yang

berbeda pula. Pengalamanpun telah membuktikan bahwa perusahaan dengan

sistem yang sama pada lingkungan yang sama tetapi hasil yang dicapai seringkali

berbeda, inilah bagian dari seni me-manage manajemen itu sendiri. Sebab

menurut Robbin dan Coulter (2010:19): “disemua organisasi, para manajer harus

menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, penataan, kepemimpinan, dan

pengendalian. Namun, hal ini tidak berarti bahwa manajemen selalu dijalankan

dengan cara yang sama.

16

Beberapa ahli memberikan pengertian mengenai manajemen

(management), menurut Plunket, Allen & Attner (2013:19) menyatakan :

“Definition of management states that goals are set and achieved “by

(the) exercising of related functions – planning, organizing, staffing,

leading, and controlling.”

(Manajemen menyatakan bahwa tujuan ditetapkan dan dicapai oleh yang

menjalankan fungsi-fungsi terkait - perencanaan, pengorganisasian,

staffing, memimpin, dan mengendalikan)

Menurut Montana dan Charnov (2008:2) menyebutkan bahwa

manajemen adalah:

“Management is working with and through other people to accomplish

the objectives of both the organization and its members.”

(Manajemen bekerja sama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai

tujuan baik dari organisasi dan anggotanya.)

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen

adalah proses untuk mencapai sesuatu melalui orang lain yang meliputi proses

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.

2.1.2 Fungsi Manajeman

Robbins (2009) menjelaskan fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut :

a. Perencanaan (planning)

Planning merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena

dalam perencanaan tersebut ditentukan sasaran yang ingin dicapai dan

memikirkan cara serta sarana-sarana pencapaiannya. Perencanaan memuat

tentang kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan, bagaimana cara

melakukannya dan siapa yang akan melakukan dari semua kegiatan tersebut.

17

b. Pengorganisasian (organizing)

Organizing merupakan langkah lanjutan setelah organisasi tersebut membuat

perencanaan. Dalam pengorganisasian memuat secara terperinci tentang

kewajiban dan tanggung jawab personel, melaksanakan rencana yang telah

dibuat sebelumnya, membatasi tanggung jawab dan kekuasaan, membagi-bagi

tugas, tanggung jawab dan kekuasaan. Pelaksanaan yang harus diperhatikan

adalah pembagian kerja yang jelas, sehingga tugas, fungsi dan wewenang

masing-masing unit dapat berjalan dengan lancar.

c. Pengarahan (actuating)

Actuating mempunyai arti menggerakkan, yaitu menggerakkan unit-unit

organisasi dalam rangka pencapaian suatu tujuan. Dalam proses penggerakkan

terkait dengan pemberian perintah yang bersifat membangkitkan semangat

dalam pelaksanaan tugas untuk pencapaian tujuan organisasi. Pemberian

perintah dapat dilaksanakan dengan baik, jika memenuhi persyaratan sebagai

berikut : (1) Perintah harus mempunyai latar belakang yang sesuai dengan

sarana, waktu dan kemampuan yang diperintah, (2) Perintah harus

menggunakan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti, (3) Perintah jangan

bersifat pemaksaan, tetapi harus lengkap, jelas dan konsisten, dan (4) Perintah

harus berkaitan dengan keadaan yang nyata.

d. Pengawasan (controling)

Controling merupakan fungsi manajemen untuk mengetahui apakah

pelaksanaan kerja sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya

18

atau dengan kata lain fungsi pengawasan adalah suatu tugas untuk

mengkonfirmasi sampai sejauh mana suatu program atau rencana yang telah

ditetapkan tersebut, dilaksanakan sebagaimana semestinya dan apakah telah

mencapai hasil sesuai yang diharapkan pihak manajemen.

Griffin (2004) mengemukakan tentang manajemen sebagai “ suatu

rangkaian aktivitas (perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian,

kepemimpinan dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber-sumber daya yang

dimiliki organisasi (manusia, keuangan, fisik dan informasi) dengan maksud

untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien”. Gambaran tentang

keterkaitan antara sumber-suber daya organisasi, proses manajemen dan tujuan

organisasi dapat dilihat dalam gambar 2.1.

Sumber : Griffin (2004)

Gambar 2.1

Manajemen dan Organisasi

Sumber Daya

Organisasi :

SDM

SDK

SDF

SDI

Perencanaan&

Pengambilan

Keputusan

Peng-

organisasian

Pengendalian

Tujuan :

Efektif

Efisien

Kepemimpinan

19

2.1.3 Organisasi

Organisasi merupakan sekumpulan orang yang membentuk sebuah sistem

terpadu mengenai bagaimana orang-orang dalam organisasi mencapai tujuan yang

sama. Tujuan tersebut sering dituangkan dalam wadah yaitu Visi. Orang-orang

dalam organisasi, pasti memiliki tujuan bersama yang ingin dicapai tidak bias

dilakukan sendiri-sendiri, secara individual.

Gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2004:4) menyatakan bahwa

organisasi adalah Collections of people who work together and coordinate their

actions t active a wide variety og goals, or desire future outcomes. Organisasi

merupakan kumpulan orang-orang yang bekerjasama dan mengkoordinaskan

tindakan-tindakan, atau hasil masa depan yang diinginkan.

Organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan dari para individu atau

kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk

melakukan tugas-tugas sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk

pemakaian yang efisien, sistematis, positif dan terkoordinasikan dari usaha yang

tersedia dari usaha yang tersedia dan organisasi adalah proses menggabungkan

pekerjaan yang orang-orang atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan

kekuasaan yang diperlukan untuk pelaksanaannya, sehingga kewajiban-kewajiban

yang dilaksanakan demikian itu memberikan saluran-saluran terbaik bagi

penyelenggaraan usaha yang efisien, teratur, positif dan terkoordinasikan.

(Sheldon, Pfiffner dan S. Owen dalam Harist, 2009, h. 14).

20

Sedangkan menurut Robbins (2008), menyatakan bahwa “Organization is

a consciously coordinated social unit, composed of two or more people, that

function on a relatively continous basis to achieve a common goal or set of goals

(Organisasi adalah satuan sosial yang terkoordinasi secara sadar, terdiri dari dua

orang atau lebih yang berfungsi yang relatif kontinue sebagai dasar untuk

mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama).

Lebih lanjut Winardi (2011:15) menyatakan bahwa: “…Sebuah organisasi

merupakan sebuah sistem yang terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem

manusia mungkin merupakan subsistem terpenting, dan dimana terlihat bahwa

masing-masing subsistem saling berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-

sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan”.

2.1.4 Manajemen Sumber Daya Manusia

Pada dasarnya setiap organisasi termasuk didalamnya organisasi

perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan

(environment), dan apabila organisasi ingin berhasil dengan baik untuk mencapai

tujuannya maka harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut

Robbins (2007), organisasi harus bisa beradaptasi, agar dapat mempertahankan

hidup dan juga sistem terbuka, supaya bisa berinteraksi dengan lingkungan.

Organisasi sendiri merupakan gabungan individu yang berkelompok dan

bekerjasama untuk mencapai tujuan, maka diperlukan pengelolaan sumber daya

manusia dengan memperhatikan lingkungan, agar tercapai harapan tersebut.

21

Lingkungan dimaksud dalam manajemen strategik dibagi dalam dua

kelompok yaitu lingkungan internal dan eksternal. Khusus untuk lingkungan

internal diantaranya yang terkait dengan kondisi sumber daya manusia (SDM)

yang ada, dan pendekatannya melalui manajemen sumber daya manusia.

2.1.4.1 Pengertian Sumber Daya Manusia

Manajemen sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu

atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja)

yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara

maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama organisasi, karyawan dan

masyarakat menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap

karyawan adalah manusia - bukan mesin - dan bukan semata menjadi sumber daya

bisnis. Kajian MSDM menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi,

sosiologi, dll. (Wikipedia).

Beberapa ahli memberikan pengertian mengenai manajemen sumber daya

manusia, menurut Plunket, Allen & Attner (2013:19) menyatakan manajemen

adalah:

“HRM is to develop processes in the organization that help align

individual employee performance with the organization strategic

objectives.”

(Manajemen Sumber Daya Manusia adalah untuk mengembangkan proses

dalam organisasi yang membantu kinerja individu karyawan diselaraskan

dengan tujuan strategis organisasi).

Menurut Amstrong (2008:5),

“Human resources management is defined as a strategic and coherent

approach to the management of an organization‟s most valued assets-the

22

people working there, who individually and collectively contribute to the

achievement of its objectives”.

(Manajemen sumber daya manusia didefinisikan sebagai pendekatan

strategis dan koheren untuk pengelolaan aset organisasi yang paling

berharga orang yang bekerja di sana, yang secara individu maupun

kolektif memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan).

Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006:3) menyebutkan bahwa,

Manajemen Sumber Daya Manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam

sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif

dan efisien guna mencapai tujuan organisasional (Mathis dan Jackson. 2006, h. 3).

Bahkan manajemen sumber daya manusia menyediakan rencana strategik agar

perusahaan dapat menyesuaikan kekuatan dan kelemahan internal dengan

kesempatan dan ancaman dari luar dalam rangka memelihara lingkungan.

Sedangkan salah satu perencanaan strategik di manajemen sumber daya

manusia, adalah mengatur perencanaan SDM, yang menurut Daft (2010:109),

“Perencanaan sumber daya manusia (human resource planning) adalah perkiraan

kebutuhan akan sumber daya manusia dan penyesuaian individu dengan lowongan

kerja yang diharapkan…”

2.1.4.2 Fungsi Manajerial Manajemen Sumber Daya Manusia

Pada awalnya, departemen personalia biasanya bertanggungjawab atas

seleksi pegawai, pelatihan, penyimpanan catatan, dan perundingan kolektif.

Aktifitas-aktifitas penting itu berlanjut menjadi bagian dari fungsi sumber daya

manusia, namun ditambahkan pula aktivitas lainnya. Dalam tahun-tahun terakhir,

departemen sumber daya manusia di banyak organisasi telah mulai memikul peran

23

sentral dengan bertindak sebagai pimpinan perubahan (change masters) yang

menjernihkan kultur organisasi dan membantunya beradaptasi dengan perubahan

yang senantiasa berlangsung. Beberapa faktor menyebabkan kian pentingnya

fungsi departemen sumber daya manusia (Simamora, 2004, h. 18).

Sedangkan fungsi manajemen itu sendiri menurut Noe et.al., (2010)

dalam bukunya Human Resource Management: Gaining A Competitive

Advantage, menyebutkan bahwa tanggung jawab atau fungsi manajemen SDM

terdiri dari:

Employment and recruiting, training and development, compensation,

benefits, employee services, employee and community relations, personal

records, safety and health, planning strategic. (Pekerjaan dan perekrutan,

pelatihan dan pengembangan, kompensasi, manfaat, jasa karyawan,

karyawan dan hubungan masyarakat, catatan pribadi, keselamatan dan

kesehatan, serta perencanaan strategis.

Menurut Triton PB (2010:23) fungsi manajerial dalam MSDM memiliki

keterkaitan yang erat dengan kegiatan sebagai berikut:

Perencanaan;

Pengorganisasian;

Pengarahan;

dan pengendalian.

Fungsi kedua, yaitu merupakan fungsi operasional yang meliputi:

Manajemen pengadaan;

Upaya pengembangan;

Pemberian kompensasi;

Pengintegrasian;

Pemeliharaan;

dan pemutusan hubungan kerja.

Fungsi ketiga yaitu kedudukan MSDM dalam pencapaian tujuan

organisasi perusahaan secara terpadu, merupakan upaya-upaya yang

bersifat integratif sebagai bagian dari strategi MSDM dalam rangka

untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

24

2.1.5 Perilaku Organisasi

Pengertian perilaku organisasi menurut Sunyoto dan Burhanudin (2011:3)

disebutkan bahwa, “Perilaku Organisasional/organizational behavior adalah

bidang studi yang mempelajari pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok,

dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan menerapkan

bidang ini agar organisasi menjadi lebih efektif. Perilaku organisasional

mengajarkan tiga faktor penentu perilaku dalam organisasi, yaitu individu,

kelompok, dan struktur. Perilaku organisasional juga menerapkan ilmu

pengetahuan yang diperoleh tentang individu, kelompok, dan pengaruh struktur

terhadap perilaku, dengan tujuan agar organisasi dapat bekerja secara lebih

efektif. Greenberg dan Baron (dalam Sunyoto dan Burhanudin, 2011:3)

mendifinisikan tentang perilaku organisasional, sebagai bidang

multidisipliner/multidicipnary yang mempelajari perilaku individu, kelompok, dan

proses dalam organisasi secara sistematis.

Menurut Stephen Robbins (2007:9), perilaku organisasi adaah suatu

bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok dan struktur pada

perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan untuk

memperbaiki keefektifan organisasi. Perilaku organisasi mempelajari tiga

pendekatan perilaku yakni perorangan, kelompok dan struktur. Dari pernyataan di

atas, perilaku organisasi dapat didefinisikan sebagai studi mengenai apa yang

dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku

mempengaruhi kinerja dari organisasi itu.

25

Perilaku organisasi merupakan ilmu perilaku terapan yang dibangun dan

dikontribusi dari sejumlah bidang perilaku disiplin. Bidangnya adalah psikologi,

sosiologi, psikologi sosial, antropologi. Kontribusi psikologi terutama pada

tingkat individu atau mikro; ketiga disiplin yang lain mengkontribusi pemahaman

terhadap makro.

Menurut Duncan dalam Toha (2007:5), hal-hal yang perlu

dipertimbangkan dalam suatu perilaku organisasi adalah sebagai berikut:

a) Studi perilaku organisasi termasuk di dalamnya bagian-bagian yang relevan

dari semua ilmu tingkah laku yang berusaha menjelaskan tindakan-tindakan

manusia di dalam organisasi.

b) Perilaku organisasi sebagaimana suatu disiplin ilmu mengenai bahwa

individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan diatur ada siapa yang

bertanggung jawab pelaksanaannya.

c) Walaupun dikenal adanya keunikan pada individu, namun perilaku organisasi

masih memuaskan pada kebutuhan manajer untuk menjamin bahwa

keseluruhan tugas pekerjaan yang bisa dijalankan.

2.1.6 Budaya Kerja

2.1.6.1. Pengertian Budaya Kerja

Budaya berasal dari bahasa Sansakerta “budhayah” sebagai bentuk jamak

dari kata dasar “budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan

dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental (Kep Menpan

No.25/KEP/M.PAN/04/2002). Budaya berarti memberdayakan budi sebagaimana

dalam bahasa Inggris di kenal sebagai culture (latin – cotere) yang semula artinya

26

mengolah atau mengerjakan sesuatu (mengolah tanah pertanian), kemudian

berkembang sebagai cara manusia mengaktualisasikan nilai (value), karsa

(creativity), dan hasil karyanya (performance). Budidaya dapat juga diartikan

sebagai keseluruhan usaha rohani dan materi termasuk potensi-potensi maupun

keterampilan masyarakat atau kelompok manusia. Budaya selalu bersifat sosial

dalam arti penerusan tradisi sekelompok manusia yang dari segi materialnya

dialihkan secara historis dan diserap oleh generasi-generasi menurut “nilai” yang

berlaku. Nilai disini adalah ukuran-ukuran yang tertinggi bagi perilaku manusia.

Dalam West (2000:128) mendefinisikan budaya sebagai asumsi-asumsi

dan pola-pola makna yang mendasar, yang dianggap sudah selayaknya dianut dan

dimanifestasikan oleh semua fihak yang berpartisipasi dalam organisasi. Budaya

diartikan juga sebagai seperangkat perilaku, perasaan dan kerangka psikologis

yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota

organisasi (Osborn dan Plastrik, 2000: 252). Sehingga untuk merubah sebuah

budaya harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Pada bagian lain

Sofo (2003: 384) memandang budaya sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-

nilai, keyakinan, praktek, ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi.

Dan membantu membentuk perilaku dan menyesuaikan persepsi.

Pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan satuan kerja menurut

Newstrom dan Davis (2003: 58-59); budaya memberikan identitas pegawainya,

budaya juga sebagai sumber stabilitas serta kontinyuitas organisasi yang

memberikan rasa aman bagi pegawainya, dan yang lebih penting adalah budaya

membantu merangsang pegawai untuk antusias akan tugasnya. Sedangkan tujuan

27

fundamental budaya adalah untuk membangun sumber daya manusia seutuhnya

agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran

sebagai pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif

dan efisien serta menggembirakan (Triguno, 2004:6).

Secara sederhana kerja didefiniskan sebagai segala aktivitas manusia

mengerahkan energi bio-psiko-spiritual dirinya dengan tujuan memperoleh hasil

tertentu (Sinamo. JH,. 2002:43). Menurut Hasibuan (2000:47) kerja adalah

pengorbanan jasa, jasmani, dan pikiran untuk menghasilkan barang-barang atau

jasa-jasa dengan memperoleh imbalan prestasi tertentu. Kerja perlu diartikan

sebagai kegiatan luhur manusia. Bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan

hidup tetapi juga kerja merupakan penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya

menjadi manusiawi. Dengan demikian kerja juga merupakan realisasi diri. (Sigit,

2003).

Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk

mengaktualisasikan dirinya. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai,

keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk

melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan (Kepmenpan No.

25/KEP/M.PAN/04/2002). Dalam agama Islam bekerja adalah ibadah, perintah

Tuhan atau panggilan mulia. Sinamo (2002:71) membagi kerja dalam delapan

doktrin yaitu kerja sebagai rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan,

kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah

kehormatan, kerja adalah pelayanan. Sedangkan Dostoyevsky dalam Sofo (2003:

390) mengganti istilah kerja dengan kata “pembelajaran”. Bagaimana dengan

28

budaya kerja? Sebenarnya budaya kerja sudah lama dikenal oleh manusia, namun

belum disadari bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang

dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai tersebut bermula dari

adat istiadat, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinan pada diri pelaku

kerja atau organisai. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan tersebut dinamakan

budaya dan mengingat hal ini dikaitkan dengan mutu kerja, maka dinamakan

budaya kerja. (Triguno, 2004:1)

Budaya kerja merupakan suatu falsafah yang didasari oleh pandangan

hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong,

membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang

tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan

tindakan yang terwujud sebagai “kerja atau bekerja”. (Triguno, 1996:3, dalam

Prasetya, No. 1 Januari 2001:12). Budaya kerja adalah cara kerja sehari-hari yang

bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi

motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan

bagi masyarakat yang dilayani (Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002).

Menurut Sulaksono, (2002) budaya kerja adalah „the way we are doing

here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas. Dengan

demikian, maka setiap fungsi atau proses kerja harus mempunyai perbedaan

dalam cara bekerjanya, yang mengakibatkan berbedanya pula nilai-nilai yang

sesuai untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi. Seperti nilai-nilai apa saja

yang sepatutnya dimiliki, bagaimana perilaku setiap orang akan dapat

mempengaruhi kerja mereka, kemudian falsafah yang dianutnya seperti “budaya

29

kerja” merupakan suatu proses tanpa akhir” atau “terus menerus”. Biech dalam

Triguno (2004: 31) bahwa semuanya mempunyai arti proses yang panjang yang

terus menerus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemampuan SDM itu

sendiri sesuai dengan prinsip pedoman yang diakui.

Dari berbagai pengertian tentang budaya kerja dapat disimpulkan bahwa

budaya kerja adalah cara pandang yang menumbuhkan keyakinan atas dasar nilai-

nilai yang diyakini pegawai untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik.

2.1.6.2 Terbentuknya Budaya Kerja

Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri.

“being developed as they learn to cope with problems of external adaption and

internal integration” artinya pembentukan budaya kerja terjadi tatkala lingkungan

kerja atau organisasi belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut

perubahan-perubahan ekternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan

keutuhan organisasi (Sithi- Amnuai, Ndraha, 2003:76). Perlu waktu bertahun

bahkan puluhan dan ratusan tahun untuk membentuk budaya kerja. Pembentukan

budaya di awali oleh (para) pendiri (founders) atau pimpinan paling atas (top

management) atau pejabat yang ditunjuk, di mana besarnya pengaruh yang

dimilikinya akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam

satuan kerja atau organisasi yang dipimpinnya. Robbins (1996:301-302)

menjelaskan bagaimana budaya kerja di bangun dan dipertahankan ditunjukkan

dari filsafat pendiri atau pimpinannya. Selanjutnya budaya ini sangat dipengaruhi

oleh kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan pimpinan

akan sangat berpengaruh terhadap perilaku yang dapat diterima, baik dan yang

30

tidak. Bagaimana bentuk sosialisasi akan tergantung kesuksesan yang dicapai

dalam menerapkan nilai-nilai dalam proses seleksi. Namun secara perlahan nilai-

nilai tersebut dengan sendirinya akan terseleksi untuk melakukan penyesuaian

terhadap perubahan yang pada akhirnya akan muncul budaya kerja yang

diinginkan. Meskipun perubahan budaya kerja memakan waktu lama dan mahal

(Brown;2005, Furnham dan Gunter, 2003; Scheider, Gunarson dan Nilles-Jolly,

2004 dalam Sofo, 2003: 354)

Collins dan Porras dalam Sinamo (2002:3-4) mengatakan bahwa Satuan

kerja atau organisasi akan mampu mencapai sukses tertinggi jika ia memiliki; “1)

Sasaran-sasaran dan target-target yang agung; 2) Keteguhan tetapi sekaligus

fleksibel ; 3) Budaya kerja yang dihayati secara fanatik; 4) Daya inovasi yang

kreatif; 5) Sistem pembangunan sumber daya manusia (SDM) dari dalam; 6)

Orientasi mutu pada kesempurnaan, dan 7) Kemampuan untuk terus menerus

belajar dan berubah secara damai.”

Dalam konteks organisasi birokrasi, budaya kerja sdalah sikap dan

perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang

diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam

melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diharapkan

bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, di mana secara

pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, dan dalam

kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yanag ingin

dicapai dalam penerapan dan pengembangan budaya kerja adalah

bertumbuhkembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat

31

negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan perilaku

aparat negara sehingga terhindar dari perbuatan KKN, meningkatnya kinerja

aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat

(trust).

Ada 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja yang diharapkan

dapat diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari aparat

negara. Jika nilai-nilai dasar budaya kerja ini diterapkan, dilaksanakan, dan

diamalkan, niscaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tidak

mustahil segera mencapai tata pemeritahan yang baik, bersih, dan berwibawa,

tercipta pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Sejalan dengan itu, pola pikir,

pola sikap, dan pola tindak, mind-set, cultureset, management beliefs dan values,

menemukenali karakter dan jati diri masing-masing individu, terus diupayakan

pemahaman dan pengamalannya. Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002

tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara berisi kebijakan,

nilai-nilai dasar, penerapan, dan sosialisasi pengembangan budaya kerja.

Kepmenpan ini disusul modul-modul budaya kerja, yang berisi penerapan,

mind-setting, karakter, jati diri, kerjasama dan dinamika kelompok, penerapan

dalam pelayanan publik, efektivitas, dan penegakan hukum. Penerapan dan

pengembangan budaya kerja meliputi enam upaya.

Pertama, Menerapkan Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur:

menerapkan, mengamalkan, dan menyosialisasikan 17 pasang nilai-nilai dasar

budaya kerja aparatur negara, yaitu: komitmen clan konsistensi, wewenang dan

tanggungj,awab keikhlasan dan kejujuran, integritas dan profesionalitas,

32

kreativitas dan kepekaan, kepemimpinan dan keteladanan, kebersamaan dan

dinamika kelompok kerja, ketepatan/akurasi dan kecepatan, rasionalitas dan

kecerdasan emosi, keteguhan, dan kecerdasan, disiplin dan keteraturan kerja,

keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan dan menangani konflik,

dedikasi dan loyalitas, semangat dan motivasi, ketekunan dan kesabaran, keadilan

dan keterbukaan, serta penguasaan iptek.

Kedua. Mengubah Sikap, Perilaku, dan Management Beliefs dan Values

Aparatur: sikap dan perilaku santai harus diubah ke hal-hal yang produktif,

melihat ke masa depan, kritis, kreatif, memanfaatkan informasi, rasional dan

analitik, yakin dan percaya diri, dan menghargai nilai-nilai.

Ketiga, Membangun Karakter dan Jati Diri: mulai dengan keinginan

membentuk pribadi resiko, komitmen pada hati nurani, sharing/berbagi peran,

selalu berniat dan berdoa dalam memulai pekerjaan (nawaitu), mohon perkenan

Tuhan, bersyukur atas apa yang diperoleh, menjalankan shalat, serta menjadi suri

teladan dan panutan.

Keempat, Membangun Aparat Negara sebagai Pelayan Masyarakat:

penerapan prinsip, standar, pola penyelenggaraan pelayanan publik, dan

pemberian pelayanan publik atau pelayanan prima kepada masyarakat yang

merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Kelima, Mengubah mind set, pola pikir, pola sikap, dan pola tindak:

lakukan transformasi pola pikir untuk mencapai produktivitas maksimum, atasi

pikiran terkotak-kotak dan mental blocks dalam berpikir, upayakan change

organisational dan change management, arahkan pola pikir pada kinerja

33

produktif, berkomunikasi yang baik, semangat terus belajar, dan berusaha

menterapkan dan memanfaatkan IPTEK. UU 43/1999 yang merupakan perubahan

UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, mengatur tentang profesionalitas

dan netralitas PNS serta membangun manajemen kepegawaian berbasis kinerja.

Di dalam manajemen ini kita kenal kedudukan, kewajiban, hak,

manajemen PNS, kebijaksanaan manajemen, formasi, penilaian prestasi kerja,

perpindahan jabatan, pengangkatan pemindahan, pemberhentian PNS, jiwa korps,

kode etik, pendidikan dan pelatihan, kompetensi, produktivitas, netralitas, dan

kesejahteraan. Unsur-unsur ini terkandung dalam 17 (tujuhbelas) pasang nilai-

nilai dasar budaya kerja aparat negara. Tujuhbelas Pasang Nilai-nilai Dasar

Budaya Kerja Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2002), yaitu (1)

komitrnen dan konsistensi; (2) wewenang dan tanggungiawab; (3) keikhlasan dan

kejujuran; (4) integritas dan profesionalisme; (5) kreativitas dan kepekaan; (6)

kepemimpinan dan keteladanan; (7) kebersaman dan dinamika kelompok kerja;

(8) ketepatan dan kecepatan; (9) rasionalitas dan kecerdasan emosi; (10)

keteguhan dan ketegasan; (11) disiplin dan keteraturan bekerja; (12) keberanian

dan kearifan; (13) dedikasi dan loyalitas; (14) semangat dan motivasi; (15)

ketekunan dan kesabaran; (16) keadilan dan keterbukaan; dan (17) penguasaan

ilmu pengetahuan serta penguasaan dan pengembangan teknologi.

Rincian Tujuh Belas Pasang Nilai-Nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur

Negara adalah :

1. Komitmen dan Konsisten terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi,

dalam Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan:

34

a. Keteguhan hati, tekad yang mantap ulltuk melakukan dan mewujudkan

sesuatu yang diyakini.

b Ketetapan, kesesuaian, ketaatan, kemantapan dalam bertindak sesuai visi

dan misi.

2. Wewenang dan Tanggungjawab

a. Wewenang: Hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

b. Tanggungjawab:kesediaan menanggung sesuatu. Jika salah, wajib

memperbaiki atau dapat dituntut/diperkarakan.

3. Keikhlasan dan Kejujuran

a. Keikhlasan: Rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan

imbalan atau balas jasa, semata - mata karena menjalankan tugas/amanah

demi Tuhan.

b. Kejujuran: Benar dalam kata dan perbuatan, berani menolak/melawan

kebatilan.

4. Integritas dan Profesionalisme/Profesionalitas

a. Integritas: Menyatu dengan unit kerja/sistem yang ada.

b.Profesionalisme: Terampil, andal, kompeten, dan bertanggungjawab.

5. Kreativitas dan Kepekaan (Sensitivitas) terhadap lingkungan tugas

a. Kreativitas: Ide spontan, iovasi, adopsi, dan difusi.

b. Kepekaan: Responsif dan proaktif/reaktif.

6. Kepemimpinan dan Keteladanan

a. Kepemimpinan: Mengarahkan, membimbing, memotivasi, konsisten,

dan komunikatif.

35

b. Keteladanan: Tindakan yang segera memicu/mendorong pihak lain,

berbuat/ bertindak agar ditiru, antara lain: iman, taqwa, beriptek, budaya

baca-tulis, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas, bertanggungjawab,

ramah, rendah hati, toleran, gembira, silih asah-asih-asuh, sabar, periang

dan tersenyum.

7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja

a. Kebersamaan: Suasana hati bersama, untuk kepentingan bersama.

b. Dinamika Kelompok Kerja: Tidak bekerja sendiri, tidak egois, dan

bekerja terintegrasi.

8. Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan

a. Ketepatan: Mengenai sasaran, mencapai tujuan, teliti, dan bebas

kesalahan.

b. Kecepatan: Penggunaan waktu lebih singkat dan pendek.

9. Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi

a. Rasionalitas: Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, ilmiah, dan

intelektual.

b. Kecerdasan Emosi: Spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, dan

kooperatif.

10. Keteguhan dan Ketegasan

a. Keteguhan: Kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral, dan

prinsip manajemen.

b. Ketegasan: Sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak ragu-ragu.

11. Disiplin dan Keteraturan Bekerja

36

a. Disiplin: Taat aturan, norma, dan prinsip.

b. Keteraturan Bekerja: Perilaku konsisten mengikuti ketentuan/ prosedur.

12. Keberanian dan Kearifan dalam mengambil Keputusan dan Menangani

Konflik

a. Keberanian: Berani menanggung resiko atas perbuatan yang dilakukan.

b. Kearifan: Menuju pada hal-hal yang benar/baik.

13. Dedikasi dan Loyalitas

a. Dedikasi: Rela berkorban, mau menyatu dengan lingkungan.

b. Loyalitas: Mau dan patuh pada tindakan/anjuran atasan.

14. Semangat dan Motivasi

a. Semangat: Dayatenergi yang mendorong perilaku ke tingkat tertingi.

b. Motivasi: Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.

15. Ketekunan dan Kesabaran

a. Teliti, rajin, konsisten, berkelanjutan, dan tidak cepat ke tingkat tertinggi.

b. Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.

16. Keadilan dan Keterbukaan

a. Keadilan: Bekerja ssuai tugas, fungsi, dan wewenang, dapat

membedakan hak dan kewajiban, dan tidak memihak.

b. Keterbukaan: Tidak ada yan ditutupi (pada norma tertentu), bebas

memeroleh informasi dan menyampaikan pendapat.

17. Penguasaan ilmu Pengetahnan dan Teknologi

a. Penguasaan Ilmu Pengetahuan: Ilmu murni/terapan yang mengajak

berbuat obyektif, tidak tahyul, dan menuju keteraturan.

37

b. Teknologi: Cara melaksanakan pekerjaan yang efisien dan efektif, cepat-

tepat- pasti, baik dengan cara sederhana maupun canggih.

Terkait erat dengan Budaya Kerja adalah Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara

Yang Bersih dan Bebas KKN. Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas dari KKN (UU 28/1999), yaitu (1) Kepastian Hukum (Negara hukum,

mengutamakan landasan p eraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan

dalam setiap kebijakan penyelenggara negara); (2) Tertib Penyelenggaraan

Negara (keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian

penyelenggaraan negara); (3) Kepentingan U mum (mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif), ( 4) K eterbukaan

(membuka diri t erhadap h ak m asyarakat untuk m emperoleh informasi yang

benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap

memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia

negara); (5) Proporsionaitas (mengutamakan keseimbangan antara hak dan

kewajiban penyelenggara negara); (6) Profesionalitas (mengutamakan keahlian

yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku); dan (7) Akuntabilitas (setiap kegiatan clan hasil kegiatan akhir dari

kegiatan penyelenggara negara harus dapat ciipertanggungjawabkan kepada

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi segera sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku).

Penciptaan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,

merupakan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu, yang dituangkan dalam RPJPN

2005-2025 (DU 17/2007), RPJMN 2004-2009 (Perpres 7/2005), dan RKP 2007

38

(Perpres 19/2006). Pada 2007, sasaran penyelenggaraan negara tahun 2007 adalah

mempercepat terwujudnya aparatur negara yang profesional, produktif,

bertanggungjawab, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),

terwujudnya sistem pengawasan dan audit publik yang lebih cepat, tepat, adil,

murah, terjangkau, transparan, dan tidak diskriminatif.

Prinsip-prinsip good governance, terdiri atas kesetaraan, pengawasan,

penegakan hukum, daya tanggap, efisien dan efektif, partisipatif, profesonalisme,

akuntabilitas, berwawasan ke depan, dan transparansi (Depdagri, Ul-Habitat,

2003). Bappenas menambah elemen menjadi 14 elemen, yaitu demokrasi,

desentralisasi, kemitraan, dan komitmen (pada pengurangan kesenjangan

kemiskinan, lingkungan hidup, dan pasar yang fair).

Reformasi birokrasi atau perubahan signifikan penyelenggaraaan

pemerintahan dan pembangunan, dilakukan pada berbagai aspek aparatur negara,

antara lain kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan atau manajemen,

akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik yang berkualitas, serta

perubahan mind-set dan culture-set ke arah makin efisien, efektif, dan produktif.

Pelayanan publik paling sedikit menyangkut tiga hal, yaitu persyaratan

yang jelas, biaya pelayanan, dan kepastian penyelesaian pelayanan. Aspek-aspek

lainnya, transparansi, akuntabilitas, partisipatif, cepat, tepat, akurat, tidak

berbelit-belit, profesional, santun, dan tidak diskriminatif.

Pemberantasan korupsi dilaksanakan dengan melakukan upaya-upaya

pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi, dan percepatan pemberantasan

korupsi (Inpres 5/2004). Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2,4 pada tahun

39

2006, ditargetkan menjadi 4,0-5,0 pada 2010. Karena Korupsi terjadi jika ada

Niat dan Kesempatan, maka diupayakan menghilangkan niat dan kesempatan

melakukan tindak pidana korupsi.

Budaya kerja aparatur negara, etika kehidupan berbangsa, etika

penyelenggara negara, jiwa korps, dan kode etik, merupakan upaya pencegahan

perbuatan tindak pidana korupsi, antara lain dengan menegakkan kejujuran dan

menegakkan tujuh asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN,

yaitu: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum,

keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Pelaksanaan pemerintahan sekarang bergeser dari "pelaksana" (rowing) ke

"pengarah (steering) dan menuju tata pemerintahan yang baik, ”reinventing

government dari government ke governance. Sejalan dengan upaya menciptakan

tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, perlu diupayakan penataan

dan pembaharuan birokrasi pemerintahan secara menyeluruh, pembaharuan

birokrasi atau mewirausahakan birokrasi secara menyeluruh (David Osborne dan

Ted Gaebler dalam bukunya "Reinventing Government: How the entrepreneurial

spirit is transforming the public sector"), kita bangun:

(1) Pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer-driven government):

meeting the needs of the customers, not the bureaucracy;

(2) Pemerintah berorientasi misi (mission-driven government): transferring

rule-driven organization;

(3) Pemerintah yang tanggap (anticipatory government): prevention rather than

cure;

40

(4) pemerintah berorientasi hasil (result-oriented government): finding

outcomes, not inputs;

(5) Pemerintah yang kompetitif (competitive government): injecting competition

into service delivery;

(6) Pemerintah berjiwa wirausaha (entreprising government): earning rather

than spending;

(7) Pemerintah terdesentralisasi (decentralized government): from hierarchy to

participation and teamwork;

(8) Pemerintah milik masyarakat (community-awned government): empowering

rather han serving;

(9) Pemerintah katalis (catalytic government): steering rather thall rowing; dan

(10) Pemerintah berorientasi pasar (market-oriented government): leveraging

change through the market. Put it all together

2.1.6.3 Dimensi Budaya Kerja

Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup

sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang

dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku,

cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Gering

Supriyadi, dan Tri Guno, 2007. Secara konseptual, budaya kerja secara tekstual

tersebut dapat digambarkan, yaitu:

1. Integritas dan profesionalisme, yaitu konsisten dalam kata dan perbuatan

serta ahli dalam bidangnya. Orang yang memiliki integritas kepribadian, maka

dia akan melakukan sesuatu yang sesuai antara apa yang diucapkan dan apa

41

yang dilakukan. Kepribadian ini muncul dari keyakinan bahwa bekerja tidak

semata untuk meraih prestasi keduniawaian tetapi juga memiliki makna

keukhrawian atau ibadah. Bekerja yang didasari oleh semangat ibadah akan

menyebabkan orang bekerja tanpa pamrih untuk kepentingan individu tetapi

untuk kepentingan kebersamaan. Selain itu juga memiliki kemampuan yang

seimbang. Dia akan bekerja dengan pengetahuan, sikap dan keahliannya.

2. Kepemimpinan dan keteladanan, yaitu mampu mendayagunakan

kemampuan potensi bawahan secara optimal. Jika ketepatan diberi kekuatan

untuk menjadi pemimpin maka tidak akan memanfaatkannya untuk bekerja

secara otoriter tetapi secara partisipatif. Seseorang akan secara maksimal

mendayagunakan bawahannya sebagai partner untuk mencapai visi dan misi

institusi. Selain itu juga berlaku sebagai teladan. Menjadi teladan dalam kerja

keras, tanggungjawab, dan kedisiplinan dan sebagainya.

3. Kebersamaan dan dinamika kelompok, yaitu mendorong agar cara kerjanya

tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan. Sesuatu

yang sangat sulit di dalam relasi kerja adalah membangun kerja sama dalam

kerja kelompok. Meskipun manusia itu tahu bahwa tidak mungkin urusan

diselesaikan secara individual, namun demikian ketika harus bekerja sama

terkadang mengalami kesulitan. Bayangkan saja tidak ada manusia yang bisa

memenuhi kebutuhannya secara sendiri kecuali dalam relasinya dengan

manusia lainnya. Ada ungkapan yang bagus yaitu TEAM, Together Everyone

Achieve More. Justru melalui kebersamaan seseorang akan mendapatkan lebih

banyak.

42

4. Ketepatan dan kecepatan, yaitu adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas

dan finasial yang dibutuhkan. Prinsip yang harus dijadikan sebagai pedoman

adalah semakin cepat semakin baik. Prinsip pelayanan yang harus

dikembangkan dalam suatu institusi adalah pelayanan prima yang berbasis

kecepatan dan ketepatan. Kerja yang cepat dan tepat merupakan kerja yang

menggunakan keturukuran yang jelas. Jika pekerjaan bisa diselesaikan sehari

maka akan diselesaikannya tepat waktu. Jika pekerjaan itu menghabiskan

anggaran tertentu, maka akan dilaksanakan sesuai dengan ukuran anggaran

yang tepat. Jika bisa seperti itu maka tidak akan terjadi kasus mark up dan

sebagainya, juga bukan kerja yang menjadikan sesuatu yang mudah menjadi

sulit dan sebagainya.

5. Rasionalitas dan kecerdasan emosi, yaitu keseimbangan antara kecerdasan

intelektual dan emosional. Ternyata di dalam kehidupan ini yang dibutuhkan

bukan sekedar orang yang cerdas secara intelektual saja. Kenyataannya

banyak orang yang cerdas intelektual tetapi justru tidak berhasil dalam

kehidupannya. Kehidupan ini bukan hanya membutuhkan logika akan tetapi

juga kecerdasan emosi yang didasari oleh pemahaman tentang perasaan dan

kemanusiaan. Melalui kecerdasan logika manusia akan menyatakan ya atau

tidak. Akan tetapi untuk menyatakan ya atau tidak tentu dibutuhkan

pertimbangan kemanusiaan. Melalui keseimbangan antara kecerdasan

intelektual dan emosional maka akan memunculkan keteguhan dan ketegasan.

Dan yang tidak boleh dilupakan adalah kecerdasan spiritual yang berbasis

43

pada keyakinan dan moralitas kebaikan. Dengan menggabungkan ketiganya

dalam kerja maka seseorang akan bisa meraih kebahagiaan yang memadai.

2.1.7 Komitmen

2.1.7.1 Pengertian Komitmen

Intellectual capital atau modal intelektual memiliki peran yang sangat

penting dan strategis di setiap perusahaan. Intellectual capital adalah pengetahuan

(knowledge) dan kemampuan (ability) yang dimiliki oleh suatu kolektivitas sosial.

Intellectual capital mewakili sumber daya yang yang bernilai tinggi dan

berkemampuan untuk bertindak yang didasarkan pada pengetahuan. Intellectual

capital merupakan materi intelektual yang telah diformalisasikan, ditangkap, dan

dimanfaatkan untuk memproduksi aset yang nilainya lebih tinggi. Modal

intelektual (Moeheriono, 2009: 225-226) dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

(1) human capital (modal manusia), (2) structural capital (modal struktural), dan

(3) customer capital (modal pelanggan). Theodore Schultz, dalam Moeheriono

(2009: 215), berpendapat bahwa peningkatan kesejahteraan pada perusahaan tidak

tergantung pada sumber daya tanah, peralatan atau energi saja, melainkan pada

kompetensi pengetahuan (knowledge) dari para karyawan. Posisi human capital

sebagai kemampuan sumber daya manusia yang diperoleh melalui investasi pada

sumber daya manusia. Human Capital terdiri atas 4 (empat) hal, yakni (1)

kemampuan, (2) perilaku, (3) usaha, (4) waktu, dan semuanya ini dikendalikan

sepenuhnya sendiri oleh karyawan. Pengeluaran perusahaan yang berhubungan

dengan sumber daya manusia harus dipandang sebagai investasi dalam human

44

capital, misalnya program pelatihan (training) yang bertujuan untuk menambah

nilai pengetahuan (knowledge value) karyawan di masa depan maka harus

dianggap sebagai investasi dari organisasi karena sudah mengeluarkan biaya.

Ketika begitu banyak informasi yang mengalir ke dalam perusahaan, pengetahuan

yang mengandung nilai tambah tidak bersifat rutin sehingga sangat sulit

memprediksi pengetahuan apa yang diperlukannya. Berkaitan dengan hal

tersebut, structural capital memiliki dua tujuan yang harus dicapai, yaitu

membuat kodifikasi pengetahuan yang dapat ditransfer ke fihak lain. Hal ini

dilakukan agar sistemnya tidak hilang dan menghubungkan para karyawan dengan

data ahli dan keahlian yang dimiliki. Customer capital atau modal pelanggan

adalah hubungan organisasi dengan orang-orang yang berbisnis dengan organisasi

tersebut. Customer capital adalah kecenderungan pelanggan suatu perusahaan

untuk tetap melakukan bisnis dengan perusahaan tersebut.

Untuk mengukur intellectual capital, Dave Ulrich (Moeheriono, 2009:

227-228) memberikan alternatif pengukuran, yaitu intellectual capital merupakan

perkalian komitmen dan kompetensi dari pekerja dalam melakukan pekerjaannya

dan jika diformulasikan, maka akan menjadi rumus berikut.

Intellectual capital = Komitmen x Kompetensi

Perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi tinggi, tetapi

berkomitmen rendah, atau perusahaan dengan karyawan yang memiliki komitmen

tinggi, namun kompetensinya rendah pasti tidak akan mampu melakukan sesuatu

dengan cepat. Kedua faktor tersebut sangat penting dan tidak dapat

dikesampingkan. Nilai yang rendah pada salah satu faktor akan menyebabkan

45

penurunan nilai keseluruhan dari intellectual capital. Karena kompetensi dan

komitmen sangat penting, maka organisasi, termasuk pemerintah, dituntut untuk

membangun intellectual capital dari dua faktor tersebut. Kompetensi, yang antara

lain meliputi keterampilan dan pengetahuan, lebih mudah dikenali dan relatif

lebih mudah dibentuk dan dikembangkan, melalui proses belajar dan pelatihan

yang relatif singkat. Sedangkan komitmen membutuhkan waktu lebih lama untuk

memperbaiki/mengembangkannya.

Menurut Cooper, David John (2003: 68), komitmen karyawan adalah

kunci untuk mendapatkan kualitas dan peningkatan produktivitas. Selain itu,

bagian penting Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pengembangan

komitmen karyawan kepada organisasi. Alasan di balik ini adalah bahwa

karyawan berkomitmen 'akan lebih memuaskan, lebih produktif dan lebih mudah

menyesuaikan diri'.

Menurut Kamus Hukum dari Merriam-Webster (Tipton & Krause, 2006:

212), “commitment is defined as an agreement or promise to do something in

the future.”

Komitmen didefinisikan sebagai suatu “perjanjian/kesepakatan atau janji

untuk melakukan sesuatu di masa depan"Menurut Armstrong (2003: 232),

“commitment is the relative strength of the individual‟s identification with, and

involvement in, a particular organization. It consists of three factors”:

1. a strong desire to remain a member of the organization;

2. a strong belief in, an acceptance of, the values and goals of the organization;

3. a readiness to exert considerable effort on behalf of the organization.”

46

Komitmen adalah kekuatan relatif dengan identifikasi individu, dan

keterlibatan dalam, sebuah organisasi tertentu. Ini terdiri dari tiga faktor:

1. keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi;

2. sebuah keyakinan yang kuat dalam, penerimaan, nilai-nilai dan tujuan

organisasi;

3. kesiapan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi.

Bahkan, Armstrong (2003:234) menambahkan, kinerja akan meningkat

jika organisasi menjauh dari pendekatan tradisional yang berorientasi kontrol

kepada manajemen tenaga kerja. Pendekatan ini harus diganti dengan komitmen.

Respon terbaik pekerja, dan paling kreatif, bukan ketika mereka dikontrol ketat

oleh manajemen, ditempatkan dalam pekerjaan dengan batasan yang sempit,

tetapi ketika mereka diberikan tanggung jawab yang lebih luas, mendorong untuk

berkontribusi dan membantu untuk mencapai kepuasan dalam pekerjaan mereka.

2.1.7.2 Pengukuran Komitmen Organisasional

Menurut Jerald Grenberg (2003:161) dalam mengukur komponen

komitmen Organisasional dengan menggunakan tiga jenis komponen yaitu :

1. Continuance commitment: the strength of a person's desire to continue

working for an organization because he or she needs to do so and cannot

afford to leave.

2. Affective commitment: the strength of a person's desire to work for an

orgazation because he or she agrees with its underlying goals and value.

3. Normative commitment: the strength of a person's desire to continue working

for an organization because he or she feels obligations from others to remain

there.

47

Ketiga jenis komponen komitmen Organisasional di ilustrasikan sebagai berikut :

Sumber : Jerald Greenberg (2003:162)

Gambar 2.2

Komponen Komitmen Organisasional

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fred Luthans (2005:218) yang

menekakan bahwa terdapat tiga dimensi dalam komitmen Organisasional yaitu:

1. Affetive commitment: involves the employee emotional attachment to

identification with, and involvementt in the organization.

2. Continuance Commitment: involves commitment based on the costs that the

employee associates with leaving the organization.

3. Normative Commitment: involves employee feeling of obligation to stay with

the organization because they should; it is the right thing to do.

Komitmen afektif (affective commitment), menunjukkan ikatan emosional

dan pengidentifikasian individu anggota terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,

komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu keinginan anggota untuk

memajukan organisasi karena pertimbangan pengorbanan atau kerugian yang

harus ditanggung jika keluar dari organisasinya, dan komitmen normatif

(normative commitment), yaitu penilaian anggota yang merasakan adanya

kewajiban atau keharusan untuk tetap menjadi anggota organisasi.

48

Pendapat beberapa ahli di atas memperkuat sebagaimana yang

dikemukakan oleh Robbin & Judge (2007:101) bahwa indikator dari komitmen

Organisasional terdiri dari tiga dimensi yaitu: (1) komitmen afektif (affective

commitment) perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-

nilai, (2) komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi

yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan

meninggalkan organisasi tersebut, dan (3) komitmen normatif (normative

commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-

alasan moral atau etis.

2.1.7.3 Dimensi Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor,

baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya

affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment,

masing-masing memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 2007),

yaitu :

Sementara itu, Mathis dan Jackson (2000) mendefinisikan

komitmen organisasi sebagai derajat dimana para karyawan percaya dan mau

menerima tujuan-tujuan organisasi serta akan tetap tinggal atau tidak

meninggalkan organisasi. Sedangkan Meyer dan Allen (1999), menyatakan bahwa

komitmen karyawan adalah suatu konstruk psikologis yang merupakan

karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya yang akan

berdampak terhadap keputusan individu untuk tetap melanjutkan

49

keanggotaannya dalam organisasi. Dimensi dan indikator dari variabel komitmen

karyawan sebagai berikut :

1. Komitmen Afektif (Affective Commitment).

Komitmen afektif dijelaskan sebagai rasa keterikatan emosional seseorang

untuk mengidentifikasikan diri dan merasakan keterlibatan secara langsung

dalam suatu organisasi. Indikator dari dimensi affective commitment yaitu

kemauan karyawan untuk melakukan usaha secara ekstra/lebih, kebanggaan

dan merasa senang terhadap perusahaan, perasaan bangga terhadap tugas

yang diberikan perusahaan, akan menghabiskan sisa karier di perusahaan,

tingkat kepedulian karyawan terhadap nasib perusahaan, memiliki ikatan

emosional dengan perusahaan, dan nilai-nilai perusahaan sesuai dengan

persepsi nilai yang saya anut.

2. Komitmen Berkelanjutan (Continuance Commitment).

Komitmen berkelanjutan merupakan kesadaran tentang kerugian yang

dihadapi seorang karyawan jika dia meninggalkan pekerjaannya atau

karyawan yang mau tetap berada di organisasi karena memang mereka

membutuhkan organisasi. Indikator dari dimensi continuance commitment

yaitu karyawan yang loyal dan tetap ingin di perusahaan, karyawan

merasakan kesulitan untuk mencari ganti pekerjaan lain, karyawan

menyadari rugi jika meninggalkan organisasi dan karyawan menyadari ada

manfaat bekerja di perusahaan.

3. Komitmen Normatif (Normative Commitment).

50

Komitmen normatif merupakan kewajiban moral yang dirasakan karyawan

untuk tetap bekerja dalam suatu organisasi atau dengan kata lain karyawan

bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran

bahwa komitmen terhadap organisasi memang seharusnya dilakukan.

Indikator dari dimensi normative commitment yaitu karyawan menerima

bentuk semua tugas yang diberikan oleh perusahaan, menerima tujuan dan

nilai-nilai perusahaan, mengutamakan kepentingan perusahaan dan

karyawan mempunyai niat dan merasa wajib untuk tetap bekerja di

perusahaan serta dapat menyesuaikan dengan strategi perusahaan.

Kanter (2002) mengemukakan bahwa terdapat tiga dimensi yang

membentuk komitmen karyawan, yaitu :

1. Komitmen Berkesinambungan (Continuance Commitment)

Komitmen berkesinambungan yaitu komitmen yang berhubungan dengan

dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan

menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi.

2. Komitmen Terpadu (Cohesion Commitment)

Komitmen terpadu merupakan komitmen anggota terhadap organisasi

sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di organisasi.

Hal ini terjadi karena karyawan merasa percaya bahwa norma-norma yang

dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaat.

3. Komitmen Terkontrol (Control Commitment)

Komitmen terkontrol merupakan komitmen anggota pada norma organisasi

yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang

51

dimiliki organisasi sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap

perilaku yang didinginkannya.

2.1.8 Kinerja

2.1.8.1 Pengertian Kinerja

Pengertiannya Kinerja atau Performace menurut Moeheriono (2009:60):

Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan

sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui

perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur

jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kreteria atau

standar keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan oleh organisasi. Oleh karena

itu, jika tanpa tujuan dan target yang ditetapkan dalam pengukuran, maka

kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui

bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya.

Sedangkan menurut para ahli lainnya, memberikan pengertian mengenai

kinerja sebagai berikut:

1. Menurut Stolovitch dan Keeps dalam Viethzal Rivai (2008):

Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada

tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta.

2. Campbell dalam Sudarmanto (2009:9) menyatakan:

Kinerja merupakan sinonim dengan perilaku. Kinerja adalah sesuatu yang

secara aktual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini,

kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan

organisasi. Kinerja bukan kosekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu

sendiri.

52

Dari pengertian para ahli diatas –dapat disimpulkan bahwa kinerja

karyawan merupakan hasil atau proses yang telah dicapai oleh seseorang didalam

melaksanakan tugasnya.

2.1.8.2 Kinerja Perlu Standar Untuk Pencapaiannya

Membangun dan mengelola kinerja melalui sistem manajemen kinerja

adalah membangun harapan yang nyata untuk mencapai optimalisasi, dimana

manajemen kinerja mencakup proses pengkajian terhadap kinerja secara

berkesinambungan yang dilakukan secara bersama dengan kesepakatan mengenai

sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian kompetensi rencana kerja dan

pengembangan serta implementasinya dalam organisasi, termasuk rencana

peningkatan dan pengembangannya. Oleh karena itu pada dasarnya manajemen

kinerja ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek kinerja yang meliputi: (1)

sasaran yang dicapai, (2) kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan

dan sikap, (3) efektivitas kerja. (Soelaiman Sukmalana, 2009, p. 3). Untuk

mencapai itu, proses kinerja perlu dilakukan dengan kesepakatan, maka hal

tersebut minyaratkan bahwa kinerja harus ada ukuran atau standar yang disepakati

didalam mencapai kinerja itu sendiri, beberapa ahli mengemukakan:

Wirawan (2009:67) menyatakan: standar kinerja setiap karyawan

harus diberitahukan kepada karyawan sebagai pedoman melaksanakan

tugasnya. Tanpa mengetahui standar kinerjanya, karyawan tidak mengetahui

apa yang harus dicapainya dan tidak terarah dalam mencapai kinerjanya.

Sedangkan Wibisono (2006:193) menyatakan: pada setiap pengukuran

kinerja harus ditetapkan standar pencapaian sebagai sarana kaji banding.

53

2.1.8.3 Penilaian Kinerja dan Tujuannya

Dalam dunia yang bersaing ini, perusahaan membutuhkan kinerja yang

tinggi. Pada saat yang bersamaan, karyawan membutuhkan feed back terhadap

kinerjanya sebagai pembimbing sikap untuk masa yang akan datang. Perusahaan

menggunakan informasi yang dikumpulkan melalui penilaian kinerja atau

evaluasi kinerja untuk mencapai kinerja terbaik baik sesuai dengan tujuan

perusahaan. Dan, menurut Riva’i (2009:549): “Dalam prakteknya, istilah

penilaian kinerja (performance appraisal) dan evaluasi kinerja (performance

evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan karena pada

dasarnya mempunyai maksud yang sama”.

Yang dimaksud dengan penilaian/evaluasi kinerja adalah: “suatu proses

yang digunakan pemimpin untuk menentukan apakah seorang karyawan

melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

(Mangkunegara, 2007; h. 9). Dan, menurut Wibisono (2006:193): “Evaluasi

kinerja merupakan penilaian kinerja yang dibandingkan dengan rencana atau

standar-standar yang telah disepakati” (Wibisono, 2006, h. 193), sedangkan

Simamora (2004:343) menyebutkan bahwa evaluasi kinerja adalah: “untuk

menghasilkan informasi yang akurat dan sahih tentang perilaku dan kinerja

anggota organisasi. Semakin akurat dan sahih informasi yang dihasilkan oleh

sistem penilaian kinerja, semakin besar potensi nilainya bagi organisasi”.

Menurut Simamora (2004:342): Penilaian kinerja mempunyai dampak atas

organsisasi. Selain membantu dalam hal-hal seperti pengambilan keputusan

kompensasi dan pemberian umpan balik atas kinerja, hasil proses penilaian

54

kinerja dapat memasok data yang berfaedah tentang keberhasilan aktivitas-

aktivitas lainnya seperti perekrutan, seleksi, orientasi dan pelatihan. Jikalau

contohnya, proses penilian kinerja mengungkapkan bahwa banyak karyawan yang

lemah dalam beberapa bidang keahlian, maka modifikasi dapat dilakukan pada

aktivitas tersebut (misalnya, aktivitas pelatihan dan pengembangan).

2.1.8.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Mangkunegara (2005:15), ada dua faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja, yaitu :

1. Faktor internal dan faktor individu yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-

sifat seseorang yang berkaitan dengan kemampuan.

2. Faktor eksternal atau lingkungan organisasi yaitu faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan yang

meliputi prilaku, sikap dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan,

motivasi kerja dan ikliom organisasi.

Sedangkan menurut Tiffin dan Mc Cormicck (1197:211), ada dua variabel

yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu :

1. Variabel individual, yang meliputi sikap, prilaku, karakteristik, sifat-sifat fisik,

minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pendidikan serta faktor

individual lainnya.

2. Variabel situasional yang terdiri dari, (1) faktor fisik dan pekerjaan, dimana

didalamnya terdapat metode kerja, kondisi dan desain kerja,

peralatan/perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran,

temperatur dan fentilasi), (2) faktor sosial dan organisasi yang meliputi

55

peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan,

sistem upah dan lingkungan sosial.

2.1.8.5 Dimensi Kinerja Pegawai

Untuk mencapai atau menilai kinerja, ada dimensi-demensi yang menjadi

tolok ukur kinerja pegawai negri sipil, adalah berdasarkan PERKA BKN No 1

tahun 2013 dengan dimensi sebagai berikut :

1. Orientasi Pelayanan

Yang dimaksud dengan "orientasi pelayanan" adalah sikap dan perilaku

kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang dilayani

antara lain meliputi masyarakat, atasan, rekan sekerja, unit kerja terkait,

dan/atau instansi lain.

2. Integritas

Yang dimaksud dengan "integritas" adalah kemampuan untuk bertindak

sesuai dengan nilai, norma dan etika dalam organisasi.

3. Komitmen

Yang dimaksud dengan "komitmen" adalah kemauan dan kemampuan

untuk menyelaraskan sikap dan tindakan PNS untuk mewujudkan tujuan

organisasi dengan mengutamakan kepentingan dinas daripada kepentingan

diri sendiri, seseorang, dan/atau golongan.

4. Disiplin

Yang dimaksud dengan "disiplin" adalah kesanggupan Pegawai Negeri

Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan

56

dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang

apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

5. Kerjasama

Yang dimaksud dengan "kerja sama" adalah kemauan dan kemampuan

PNS untuk bekerja sama dengan rekan sekerja, atasan, bawahan dalam

unit kerjanya serta instansi lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan

tanggung jawab yang ditentukan, sehingga mencapai daya guna dan hasil

guna yang sebesar-besarnya.

6. Kepemimpinan

Yang dimaksud dengan "kepemimpinan" adalah kemampuan dan kemauan

PNS untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan atau orang lain yang

berkaitan dengan bidang tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi.

2.2 Penelitian Sebelumnya Yang Relevan

Penulis mengkaji dari penelitian sebelumnyasebagai bahan pembanding

terhadap bahan tesis yang akan dibuat. Adapun judul penelitian yang akan dikaji

oleh Penulis adalah sama seperti judul penelitian dari penulis yang lain. Adalah

sebagai berikut :

57

Tabel 2.1

Penelitian Sebelumnya yang Relevan

No. Peneliti dan Judul

Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan

1 Nurhaida, Ida, Eko

Sugiarto, dan

Cahyono (2008)

Komunikasi secara

terbuka, penghargaan

pimpinan dan budaya

kerja pegawai:

penerapan human

relations dalam

kaitannya dengan

kinerja pegawai.

(Jurnal Unpad )

Komunikasi secara

terbuka,

penghargaan dan

budaya kerja

berpengaruh

signifikan terhadap

kinerja pegawai

Penelitian ini

fokus pada upaya

peningkatan kinerja

pegawai melalui

komunikasi terbuka

dan penghargaan

pimpinan.

Penelitian

difokuskan pada

komunikasi,

inovasi dan

kompetensi

manajerial terhadap

komitmen

organisasional serta

dampaknya pada

kinerja pegawai

2 Frans Gana (2003)

Budaya organisasi

dan Komitmen

organisasional

sebagai basis daya

saing bisnis

Budaya organisai

dan komitmen

organisasional

berpengaruh pada

daya saing bisnis

Membahas

mengenai inovasi

budaya dan

komitmen

Penelitian ini

menggunakan

kompetensi dan

komunikasi

3 Leilani O. Baumanis

(2007)

Cultural values and

organizational

commitment among

financial consultants

in south florida

Nilai budaya

komitmen

organisaional

berpengaruh

signifikan terhadap

kinerj karyawan

bagian keuangan

Membahas

mengenai budaya

organisasi dan

komitmen

organisasi

Tidak membahas

komunikasi,

kompetensi

manajerial, dan

inovasi serta

kinerja

4 Harris,

Michael (2000)

Determinan of

Employee

Performance

Faktor-faktor

determinan

berpengaruh

terhadap kinerja

pegawai

Penelitian fokus

pada faktor-faktor

yang berpengaruh

terhadap kinerja

Perbedaan pada

variabel bebas

ketiga yaitu

kendala kerja

5 Roberth House

(dalam Kreitner &

Kinichi,(2003)

Good governance

impact employee

expectation toward

performance .

Tata kelola

berpengaruh

signifikan terhadap

kinerja

Fokus pada peran

kepemimpinan dan

kinerja

Variabel bebas dan

struktur model

dalam penelitian

tidak sama

Dari beberapa penelitian terdahulu, keterkaitan antara variabel-variabel

yang dipergunakan, perbedaannya yaitu terutama dalam hal penggunaan variabel

penelitian dan lokus penelitian yang dilakukan di kota Bandung.

58

2.3 Kerangka Pemikiran

Rujukan dari pembahasan dalam penelitian ini merupakan dari beberapa

teori para pakar manajemen, dan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang

memiliki beberapa kesamaan variabel yang mendukung bahwa variabel yang

penulis teliti memiliki pengaruh. Secara spesifik yang menyatakan bahwa masing-

masing variabel yang diteliti memiliki pengaruh satu sama lain terlihat dari

beberapa pendapat para ahli sebagai berikut:

1. Hubungan Budaya Kerja dengan Komitmen

Budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap situasi dalam

sebuah organisasi. Menurut Herlriegel dan Slocum (2004) budaya organisasi

sebagai gabungan atau integrasi dari falsafah, idiologi nilai-nilai kepercayaan,

norma, harapan-harapan, sikap dan komitmen. Pernyataan ini didukung oleh Lush

Hervay dalam Muafi (2009) bahwa peningkatan kinerja organisasinal dapat

dipengaruhi oleh ativa tidak berwujud antara lain budaya organisasi, hubungan

dengan pelanggan dan citra organisasi.

Sedangkan menurut Steers (Kunjoro : 2000), komitmen organisasi adalah

rasa kepercayaan terhadap nilai - nilai organisasi, keterlibatan, dan sikap loyalitas

karyawan terhadap organisasinya. Menurut Porter (Kuntjoro : 2000), komitmen

organisasi karyawan ditandai dengan adanya penerimaan nilai-nilai dari

organisasi. Robbins (2006) juga berpendapat bahwa fungsi dari budaya organisasi

untuk meningkatkan komitmen karyawan itu sendiri. Pendapat para tokoh itu

didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritchie (2000), yang

59

menyatakan bahwa budaya organisasi memang memiliki dampak positif terhadap

sikap dari para karyawan. Budaya organisasi yang kuat akan dapat meningkatkan

komitmen organisasi.

2. Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai

Menurut Indriantoro (2000) menyatakan bahwa penelitian mengenai

budaya organisasional merupakan topik yang penting, karena budaya organisasi

merupakan salah satu jenis aktiva tidak berwujud perusahaan yang dapat

meningkatkan kinerja organisasional. Ndraha, (2003) menyatakan, bahwa:

Budaya memiliki pengaruh terhadap kinerja. Menurut salah satu fungsi budaya

adalah identitas. Jika dilihat dari segi organisasi, identitas adalah kepribadian

organisasi. Jika identitas itu hilang, organisasi menjadi lemah. Disamping itu,

budaya berkaitan erat dengan kinerja organisasi. Jika kinerja merosot, eksistensi

organisasi terancam. Karena itu, budaya harus resilient (berketahanan).

Pertahanan budaya adalah proses mempertahankan eksistensi dan kepribadian

organisasi.

Menurut Kotter dan Hesket (2007), mengatakan bahwa budaya yang kuat

dapat menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja, bahkan

dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih daripada faktor-

faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis keuangan, kepemimpinan dan

lain-lain. Budaya organisasi yang mudah menyesuaikan dengan perubahan jaman

(adaptif) adalah yang dapat meningkatkan kinerja.

60

Hasil Penelitian Prima Nugraha Sinaga (2010), menunjukkan terdapat

pengaruh antara budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat

Daerah Kabupaten Dairi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat

hubungan yang positif antara budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada

Sekretariat Daerah Kabupaten Dairi. Penelitian sejenis dilakukan oleh Riska

Pratiwi (2012) yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan

terhadap kinerja pegawai Kantor Kekayaan Negara dan Lelang Makasar.

3. Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Pegawai

Menurut Cooper, David John (2003), komitmen karyawan adalah kunci

untuk mendapatkan kualitas dan peningkatan produktivitas. Komitmen adalah

pelopor penting untuk kinerja tinggi.

Budaya kerja yang baik merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di

pergunakan secara reguler di dalam ilmu politik dan administrasi publik

(administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan

terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan

pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa-warsa yang lalu,

konsep Good Governance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik.

Di dalam disiplin atu profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai

suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini

menekan pada peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang

berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan meningkatkan otonomi manajerial

terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang di lakukan oleh

61

pemerintah pusat, tranparansi, akuntabilitas publik dan di ciptakan pengelolahan

manajerial yang bersih dan bebes dari korupsi (Agus Dwiyanto; 2007)

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka model paradigm

penelitian ini seperti terlihat pada gambar 2.2 berikut :

Gambar 2.3

Paradigma Penelitian

2.4 Hipotesis Penelitian

Penelitian yang dilakukan menguji beberapa hipotesa sebagai berikut:

1. Budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai

2. Komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai

3. Budaya kerja dan Komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja

pegawai

Komitmen Kerja

1. Afektif

2. Berkelanjutan

3. Normatif

(Meyer, 2005:218)

Kinerja Pegawai

Orientasi

Pelayanan

Integritas

Komitmen

Disiplin

Kerjasama

Kepemimpinan

Perka BKN no 1

Tahun 2013

Budaya Kerja

1. Integritas dan

Profesionalisme

2. Kepemimpinan dan

Keteladanan

3. Kebersamaan dan

dinamika kelompok

4. Ketepatan dan

Kecepatan

5. Rasionalitas dan

Kecerdasan Emosi

(G.Supriyadi,2007)

Herlriegel dan

Slocum (2004); Robbins (2006)

Ndraha, (2003);

Pratiwi (2012)

Cooper, David John (2003);

Agus Dwiyanto; 2007