BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.unpas.ac.id/27931/3/BAB II KAJIAN...
-
Upload
dangkhuong -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.unpas.ac.id/27931/3/BAB II KAJIAN...
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Pada sub-bab kajian pustaka ini akan disajikan teori-teori relevan dengan
variabel penelitian dengan kajian dimulai dari pengungkapan teori manajemen
dan teori organisasi sebagai grand theory, manajemen sumber daya manusia
sebagai middle range theory, selanjutnya teori Budaya Organisasi dan Komitmen,
dan Kinerja Pegawai sebagai applied theory.
2.1.1 Manajemen
Para ahli manajemen telah dideskripsikan manajemen sebagai
keterampilan dan ilmu. Ilmu itu sendiri bersumber dari pengatahuan yang lahir
dari belajar, sedangkan seni bersumber dari jiwa yang lahir dari pengalaman,
lingkungan dan keyakinan yang bentuknya tidak dapat diuraikan secara spesifik,
sehingga seni ini lebih bersifat pribadi, dan setiap pribadi memiliki seni yang
berbeda pula. Pengalamanpun telah membuktikan bahwa perusahaan dengan
sistem yang sama pada lingkungan yang sama tetapi hasil yang dicapai seringkali
berbeda, inilah bagian dari seni me-manage manajemen itu sendiri. Sebab
menurut Robbin dan Coulter (2010:19): “disemua organisasi, para manajer harus
menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, penataan, kepemimpinan, dan
pengendalian. Namun, hal ini tidak berarti bahwa manajemen selalu dijalankan
dengan cara yang sama.
16
Beberapa ahli memberikan pengertian mengenai manajemen
(management), menurut Plunket, Allen & Attner (2013:19) menyatakan :
“Definition of management states that goals are set and achieved “by
(the) exercising of related functions – planning, organizing, staffing,
leading, and controlling.”
(Manajemen menyatakan bahwa tujuan ditetapkan dan dicapai oleh yang
menjalankan fungsi-fungsi terkait - perencanaan, pengorganisasian,
staffing, memimpin, dan mengendalikan)
Menurut Montana dan Charnov (2008:2) menyebutkan bahwa
manajemen adalah:
“Management is working with and through other people to accomplish
the objectives of both the organization and its members.”
(Manajemen bekerja sama dengan dan melalui orang lain untuk mencapai
tujuan baik dari organisasi dan anggotanya.)
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen
adalah proses untuk mencapai sesuatu melalui orang lain yang meliputi proses
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.
2.1.2 Fungsi Manajeman
Robbins (2009) menjelaskan fungsi-fungsi manajemen sebagai berikut :
a. Perencanaan (planning)
Planning merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena
dalam perencanaan tersebut ditentukan sasaran yang ingin dicapai dan
memikirkan cara serta sarana-sarana pencapaiannya. Perencanaan memuat
tentang kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan, bagaimana cara
melakukannya dan siapa yang akan melakukan dari semua kegiatan tersebut.
17
b. Pengorganisasian (organizing)
Organizing merupakan langkah lanjutan setelah organisasi tersebut membuat
perencanaan. Dalam pengorganisasian memuat secara terperinci tentang
kewajiban dan tanggung jawab personel, melaksanakan rencana yang telah
dibuat sebelumnya, membatasi tanggung jawab dan kekuasaan, membagi-bagi
tugas, tanggung jawab dan kekuasaan. Pelaksanaan yang harus diperhatikan
adalah pembagian kerja yang jelas, sehingga tugas, fungsi dan wewenang
masing-masing unit dapat berjalan dengan lancar.
c. Pengarahan (actuating)
Actuating mempunyai arti menggerakkan, yaitu menggerakkan unit-unit
organisasi dalam rangka pencapaian suatu tujuan. Dalam proses penggerakkan
terkait dengan pemberian perintah yang bersifat membangkitkan semangat
dalam pelaksanaan tugas untuk pencapaian tujuan organisasi. Pemberian
perintah dapat dilaksanakan dengan baik, jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut : (1) Perintah harus mempunyai latar belakang yang sesuai dengan
sarana, waktu dan kemampuan yang diperintah, (2) Perintah harus
menggunakan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti, (3) Perintah jangan
bersifat pemaksaan, tetapi harus lengkap, jelas dan konsisten, dan (4) Perintah
harus berkaitan dengan keadaan yang nyata.
d. Pengawasan (controling)
Controling merupakan fungsi manajemen untuk mengetahui apakah
pelaksanaan kerja sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya
18
atau dengan kata lain fungsi pengawasan adalah suatu tugas untuk
mengkonfirmasi sampai sejauh mana suatu program atau rencana yang telah
ditetapkan tersebut, dilaksanakan sebagaimana semestinya dan apakah telah
mencapai hasil sesuai yang diharapkan pihak manajemen.
Griffin (2004) mengemukakan tentang manajemen sebagai “ suatu
rangkaian aktivitas (perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian,
kepemimpinan dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber-sumber daya yang
dimiliki organisasi (manusia, keuangan, fisik dan informasi) dengan maksud
untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien”. Gambaran tentang
keterkaitan antara sumber-suber daya organisasi, proses manajemen dan tujuan
organisasi dapat dilihat dalam gambar 2.1.
Sumber : Griffin (2004)
Gambar 2.1
Manajemen dan Organisasi
Sumber Daya
Organisasi :
SDM
SDK
SDF
SDI
Perencanaan&
Pengambilan
Keputusan
Peng-
organisasian
Pengendalian
Tujuan :
Efektif
Efisien
Kepemimpinan
19
2.1.3 Organisasi
Organisasi merupakan sekumpulan orang yang membentuk sebuah sistem
terpadu mengenai bagaimana orang-orang dalam organisasi mencapai tujuan yang
sama. Tujuan tersebut sering dituangkan dalam wadah yaitu Visi. Orang-orang
dalam organisasi, pasti memiliki tujuan bersama yang ingin dicapai tidak bias
dilakukan sendiri-sendiri, secara individual.
Gareth R. Jones dan Jennifer M. George (2004:4) menyatakan bahwa
organisasi adalah Collections of people who work together and coordinate their
actions t active a wide variety og goals, or desire future outcomes. Organisasi
merupakan kumpulan orang-orang yang bekerjasama dan mengkoordinaskan
tindakan-tindakan, atau hasil masa depan yang diinginkan.
Organisasi adalah proses penggabungan pekerjaan dari para individu atau
kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk
melakukan tugas-tugas sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk
pemakaian yang efisien, sistematis, positif dan terkoordinasikan dari usaha yang
tersedia dari usaha yang tersedia dan organisasi adalah proses menggabungkan
pekerjaan yang orang-orang atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan
kekuasaan yang diperlukan untuk pelaksanaannya, sehingga kewajiban-kewajiban
yang dilaksanakan demikian itu memberikan saluran-saluran terbaik bagi
penyelenggaraan usaha yang efisien, teratur, positif dan terkoordinasikan.
(Sheldon, Pfiffner dan S. Owen dalam Harist, 2009, h. 14).
20
Sedangkan menurut Robbins (2008), menyatakan bahwa “Organization is
a consciously coordinated social unit, composed of two or more people, that
function on a relatively continous basis to achieve a common goal or set of goals
(Organisasi adalah satuan sosial yang terkoordinasi secara sadar, terdiri dari dua
orang atau lebih yang berfungsi yang relatif kontinue sebagai dasar untuk
mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama).
Lebih lanjut Winardi (2011:15) menyatakan bahwa: “…Sebuah organisasi
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari aneka macam elemen atau subsistem
manusia mungkin merupakan subsistem terpenting, dan dimana terlihat bahwa
masing-masing subsistem saling berinteraksi dalam upaya mencapai sasaran-
sasaran atau tujuan-tujuan organisasi yang bersangkutan”.
2.1.4 Manajemen Sumber Daya Manusia
Pada dasarnya setiap organisasi termasuk didalamnya organisasi
perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
(environment), dan apabila organisasi ingin berhasil dengan baik untuk mencapai
tujuannya maka harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut
Robbins (2007), organisasi harus bisa beradaptasi, agar dapat mempertahankan
hidup dan juga sistem terbuka, supaya bisa berinteraksi dengan lingkungan.
Organisasi sendiri merupakan gabungan individu yang berkelompok dan
bekerjasama untuk mencapai tujuan, maka diperlukan pengelolaan sumber daya
manusia dengan memperhatikan lingkungan, agar tercapai harapan tersebut.
21
Lingkungan dimaksud dalam manajemen strategik dibagi dalam dua
kelompok yaitu lingkungan internal dan eksternal. Khusus untuk lingkungan
internal diantaranya yang terkait dengan kondisi sumber daya manusia (SDM)
yang ada, dan pendekatannya melalui manajemen sumber daya manusia.
2.1.4.1 Pengertian Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia, disingkat MSDM, adalah suatu ilmu
atau cara bagaimana mengatur hubungan dan peranan sumber daya (tenaga kerja)
yang dimiliki oleh individu secara efisien dan efektif serta dapat digunakan secara
maksimal sehingga tercapai tujuan (goal) bersama organisasi, karyawan dan
masyarakat menjadi maksimal. MSDM didasari pada suatu konsep bahwa setiap
karyawan adalah manusia - bukan mesin - dan bukan semata menjadi sumber daya
bisnis. Kajian MSDM menggabungkan beberapa bidang ilmu seperti psikologi,
sosiologi, dll. (Wikipedia).
Beberapa ahli memberikan pengertian mengenai manajemen sumber daya
manusia, menurut Plunket, Allen & Attner (2013:19) menyatakan manajemen
adalah:
“HRM is to develop processes in the organization that help align
individual employee performance with the organization strategic
objectives.”
(Manajemen Sumber Daya Manusia adalah untuk mengembangkan proses
dalam organisasi yang membantu kinerja individu karyawan diselaraskan
dengan tujuan strategis organisasi).
Menurut Amstrong (2008:5),
“Human resources management is defined as a strategic and coherent
approach to the management of an organization‟s most valued assets-the
22
people working there, who individually and collectively contribute to the
achievement of its objectives”.
(Manajemen sumber daya manusia didefinisikan sebagai pendekatan
strategis dan koheren untuk pengelolaan aset organisasi yang paling
berharga orang yang bekerja di sana, yang secara individu maupun
kolektif memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan).
Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006:3) menyebutkan bahwa,
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam
sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif
dan efisien guna mencapai tujuan organisasional (Mathis dan Jackson. 2006, h. 3).
Bahkan manajemen sumber daya manusia menyediakan rencana strategik agar
perusahaan dapat menyesuaikan kekuatan dan kelemahan internal dengan
kesempatan dan ancaman dari luar dalam rangka memelihara lingkungan.
Sedangkan salah satu perencanaan strategik di manajemen sumber daya
manusia, adalah mengatur perencanaan SDM, yang menurut Daft (2010:109),
“Perencanaan sumber daya manusia (human resource planning) adalah perkiraan
kebutuhan akan sumber daya manusia dan penyesuaian individu dengan lowongan
kerja yang diharapkan…”
2.1.4.2 Fungsi Manajerial Manajemen Sumber Daya Manusia
Pada awalnya, departemen personalia biasanya bertanggungjawab atas
seleksi pegawai, pelatihan, penyimpanan catatan, dan perundingan kolektif.
Aktifitas-aktifitas penting itu berlanjut menjadi bagian dari fungsi sumber daya
manusia, namun ditambahkan pula aktivitas lainnya. Dalam tahun-tahun terakhir,
departemen sumber daya manusia di banyak organisasi telah mulai memikul peran
23
sentral dengan bertindak sebagai pimpinan perubahan (change masters) yang
menjernihkan kultur organisasi dan membantunya beradaptasi dengan perubahan
yang senantiasa berlangsung. Beberapa faktor menyebabkan kian pentingnya
fungsi departemen sumber daya manusia (Simamora, 2004, h. 18).
Sedangkan fungsi manajemen itu sendiri menurut Noe et.al., (2010)
dalam bukunya Human Resource Management: Gaining A Competitive
Advantage, menyebutkan bahwa tanggung jawab atau fungsi manajemen SDM
terdiri dari:
Employment and recruiting, training and development, compensation,
benefits, employee services, employee and community relations, personal
records, safety and health, planning strategic. (Pekerjaan dan perekrutan,
pelatihan dan pengembangan, kompensasi, manfaat, jasa karyawan,
karyawan dan hubungan masyarakat, catatan pribadi, keselamatan dan
kesehatan, serta perencanaan strategis.
Menurut Triton PB (2010:23) fungsi manajerial dalam MSDM memiliki
keterkaitan yang erat dengan kegiatan sebagai berikut:
Perencanaan;
Pengorganisasian;
Pengarahan;
dan pengendalian.
Fungsi kedua, yaitu merupakan fungsi operasional yang meliputi:
Manajemen pengadaan;
Upaya pengembangan;
Pemberian kompensasi;
Pengintegrasian;
Pemeliharaan;
dan pemutusan hubungan kerja.
Fungsi ketiga yaitu kedudukan MSDM dalam pencapaian tujuan
organisasi perusahaan secara terpadu, merupakan upaya-upaya yang
bersifat integratif sebagai bagian dari strategi MSDM dalam rangka
untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
24
2.1.5 Perilaku Organisasi
Pengertian perilaku organisasi menurut Sunyoto dan Burhanudin (2011:3)
disebutkan bahwa, “Perilaku Organisasional/organizational behavior adalah
bidang studi yang mempelajari pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok,
dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan menerapkan
bidang ini agar organisasi menjadi lebih efektif. Perilaku organisasional
mengajarkan tiga faktor penentu perilaku dalam organisasi, yaitu individu,
kelompok, dan struktur. Perilaku organisasional juga menerapkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh tentang individu, kelompok, dan pengaruh struktur
terhadap perilaku, dengan tujuan agar organisasi dapat bekerja secara lebih
efektif. Greenberg dan Baron (dalam Sunyoto dan Burhanudin, 2011:3)
mendifinisikan tentang perilaku organisasional, sebagai bidang
multidisipliner/multidicipnary yang mempelajari perilaku individu, kelompok, dan
proses dalam organisasi secara sistematis.
Menurut Stephen Robbins (2007:9), perilaku organisasi adaah suatu
bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok dan struktur pada
perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan untuk
memperbaiki keefektifan organisasi. Perilaku organisasi mempelajari tiga
pendekatan perilaku yakni perorangan, kelompok dan struktur. Dari pernyataan di
atas, perilaku organisasi dapat didefinisikan sebagai studi mengenai apa yang
dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku
mempengaruhi kinerja dari organisasi itu.
25
Perilaku organisasi merupakan ilmu perilaku terapan yang dibangun dan
dikontribusi dari sejumlah bidang perilaku disiplin. Bidangnya adalah psikologi,
sosiologi, psikologi sosial, antropologi. Kontribusi psikologi terutama pada
tingkat individu atau mikro; ketiga disiplin yang lain mengkontribusi pemahaman
terhadap makro.
Menurut Duncan dalam Toha (2007:5), hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam suatu perilaku organisasi adalah sebagai berikut:
a) Studi perilaku organisasi termasuk di dalamnya bagian-bagian yang relevan
dari semua ilmu tingkah laku yang berusaha menjelaskan tindakan-tindakan
manusia di dalam organisasi.
b) Perilaku organisasi sebagaimana suatu disiplin ilmu mengenai bahwa
individu dipengaruhi oleh bagaimana pekerjaan diatur ada siapa yang
bertanggung jawab pelaksanaannya.
c) Walaupun dikenal adanya keunikan pada individu, namun perilaku organisasi
masih memuaskan pada kebutuhan manajer untuk menjamin bahwa
keseluruhan tugas pekerjaan yang bisa dijalankan.
2.1.6 Budaya Kerja
2.1.6.1. Pengertian Budaya Kerja
Budaya berasal dari bahasa Sansakerta “budhayah” sebagai bentuk jamak
dari kata dasar “budhi” yang artinya akal atau segala sesuatu yang berkaitan
dengan akal pikiran, nilai-nilai dan sikap mental (Kep Menpan
No.25/KEP/M.PAN/04/2002). Budaya berarti memberdayakan budi sebagaimana
dalam bahasa Inggris di kenal sebagai culture (latin – cotere) yang semula artinya
26
mengolah atau mengerjakan sesuatu (mengolah tanah pertanian), kemudian
berkembang sebagai cara manusia mengaktualisasikan nilai (value), karsa
(creativity), dan hasil karyanya (performance). Budidaya dapat juga diartikan
sebagai keseluruhan usaha rohani dan materi termasuk potensi-potensi maupun
keterampilan masyarakat atau kelompok manusia. Budaya selalu bersifat sosial
dalam arti penerusan tradisi sekelompok manusia yang dari segi materialnya
dialihkan secara historis dan diserap oleh generasi-generasi menurut “nilai” yang
berlaku. Nilai disini adalah ukuran-ukuran yang tertinggi bagi perilaku manusia.
Dalam West (2000:128) mendefinisikan budaya sebagai asumsi-asumsi
dan pola-pola makna yang mendasar, yang dianggap sudah selayaknya dianut dan
dimanifestasikan oleh semua fihak yang berpartisipasi dalam organisasi. Budaya
diartikan juga sebagai seperangkat perilaku, perasaan dan kerangka psikologis
yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota
organisasi (Osborn dan Plastrik, 2000: 252). Sehingga untuk merubah sebuah
budaya harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Pada bagian lain
Sofo (2003: 384) memandang budaya sebagai sesuatu yang mengacu pada nilai-
nilai, keyakinan, praktek, ritual dan kebiasaan-kebiasaan dari sebuah organisasi.
Dan membantu membentuk perilaku dan menyesuaikan persepsi.
Pentingnya budaya dalam mendukung keberhasilan satuan kerja menurut
Newstrom dan Davis (2003: 58-59); budaya memberikan identitas pegawainya,
budaya juga sebagai sumber stabilitas serta kontinyuitas organisasi yang
memberikan rasa aman bagi pegawainya, dan yang lebih penting adalah budaya
membantu merangsang pegawai untuk antusias akan tugasnya. Sedangkan tujuan
27
fundamental budaya adalah untuk membangun sumber daya manusia seutuhnya
agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat peran
sebagai pelanggan pemasok dalam komunikasi dengan orang lain secara efektif
dan efisien serta menggembirakan (Triguno, 2004:6).
Secara sederhana kerja didefiniskan sebagai segala aktivitas manusia
mengerahkan energi bio-psiko-spiritual dirinya dengan tujuan memperoleh hasil
tertentu (Sinamo. JH,. 2002:43). Menurut Hasibuan (2000:47) kerja adalah
pengorbanan jasa, jasmani, dan pikiran untuk menghasilkan barang-barang atau
jasa-jasa dengan memperoleh imbalan prestasi tertentu. Kerja perlu diartikan
sebagai kegiatan luhur manusia. Bukan saja karena kerja manusia dapat bertahan
hidup tetapi juga kerja merupakan penciptaan manusia terhadap alam sekitarnya
menjadi manusiawi. Dengan demikian kerja juga merupakan realisasi diri. (Sigit,
2003).
Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk
melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan (Kepmenpan No.
25/KEP/M.PAN/04/2002). Dalam agama Islam bekerja adalah ibadah, perintah
Tuhan atau panggilan mulia. Sinamo (2002:71) membagi kerja dalam delapan
doktrin yaitu kerja sebagai rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan,
kerja adalah aktualisasi, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah
kehormatan, kerja adalah pelayanan. Sedangkan Dostoyevsky dalam Sofo (2003:
390) mengganti istilah kerja dengan kata “pembelajaran”. Bagaimana dengan
28
budaya kerja? Sebenarnya budaya kerja sudah lama dikenal oleh manusia, namun
belum disadari bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang
dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Nilai-nilai tersebut bermula dari
adat istiadat, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinan pada diri pelaku
kerja atau organisai. Nilai-nilai yang menjadi kebiasaan tersebut dinamakan
budaya dan mengingat hal ini dikaitkan dengan mutu kerja, maka dinamakan
budaya kerja. (Triguno, 2004:1)
Budaya kerja merupakan suatu falsafah yang didasari oleh pandangan
hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong,
membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang terwujud sebagai “kerja atau bekerja”. (Triguno, 1996:3, dalam
Prasetya, No. 1 Januari 2001:12). Budaya kerja adalah cara kerja sehari-hari yang
bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi
motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik, dan memuaskan
bagi masyarakat yang dilayani (Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/04/2002).
Menurut Sulaksono, (2002) budaya kerja adalah „the way we are doing
here” artinya sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas. Dengan
demikian, maka setiap fungsi atau proses kerja harus mempunyai perbedaan
dalam cara bekerjanya, yang mengakibatkan berbedanya pula nilai-nilai yang
sesuai untuk diambil dalam kerangka kerja organisasi. Seperti nilai-nilai apa saja
yang sepatutnya dimiliki, bagaimana perilaku setiap orang akan dapat
mempengaruhi kerja mereka, kemudian falsafah yang dianutnya seperti “budaya
29
kerja” merupakan suatu proses tanpa akhir” atau “terus menerus”. Biech dalam
Triguno (2004: 31) bahwa semuanya mempunyai arti proses yang panjang yang
terus menerus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemampuan SDM itu
sendiri sesuai dengan prinsip pedoman yang diakui.
Dari berbagai pengertian tentang budaya kerja dapat disimpulkan bahwa
budaya kerja adalah cara pandang yang menumbuhkan keyakinan atas dasar nilai-
nilai yang diyakini pegawai untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik.
2.1.6.2 Terbentuknya Budaya Kerja
Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri.
“being developed as they learn to cope with problems of external adaption and
internal integration” artinya pembentukan budaya kerja terjadi tatkala lingkungan
kerja atau organisasi belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut
perubahan-perubahan ekternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan
keutuhan organisasi (Sithi- Amnuai, Ndraha, 2003:76). Perlu waktu bertahun
bahkan puluhan dan ratusan tahun untuk membentuk budaya kerja. Pembentukan
budaya di awali oleh (para) pendiri (founders) atau pimpinan paling atas (top
management) atau pejabat yang ditunjuk, di mana besarnya pengaruh yang
dimilikinya akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam
satuan kerja atau organisasi yang dipimpinnya. Robbins (1996:301-302)
menjelaskan bagaimana budaya kerja di bangun dan dipertahankan ditunjukkan
dari filsafat pendiri atau pimpinannya. Selanjutnya budaya ini sangat dipengaruhi
oleh kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan pimpinan
akan sangat berpengaruh terhadap perilaku yang dapat diterima, baik dan yang
30
tidak. Bagaimana bentuk sosialisasi akan tergantung kesuksesan yang dicapai
dalam menerapkan nilai-nilai dalam proses seleksi. Namun secara perlahan nilai-
nilai tersebut dengan sendirinya akan terseleksi untuk melakukan penyesuaian
terhadap perubahan yang pada akhirnya akan muncul budaya kerja yang
diinginkan. Meskipun perubahan budaya kerja memakan waktu lama dan mahal
(Brown;2005, Furnham dan Gunter, 2003; Scheider, Gunarson dan Nilles-Jolly,
2004 dalam Sofo, 2003: 354)
Collins dan Porras dalam Sinamo (2002:3-4) mengatakan bahwa Satuan
kerja atau organisasi akan mampu mencapai sukses tertinggi jika ia memiliki; “1)
Sasaran-sasaran dan target-target yang agung; 2) Keteguhan tetapi sekaligus
fleksibel ; 3) Budaya kerja yang dihayati secara fanatik; 4) Daya inovasi yang
kreatif; 5) Sistem pembangunan sumber daya manusia (SDM) dari dalam; 6)
Orientasi mutu pada kesempurnaan, dan 7) Kemampuan untuk terus menerus
belajar dan berubah secara damai.”
Dalam konteks organisasi birokrasi, budaya kerja sdalah sikap dan
perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diharapkan
bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, di mana secara
pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, dan dalam
kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yanag ingin
dicapai dalam penerapan dan pengembangan budaya kerja adalah
bertumbuhkembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat
31
negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan perilaku
aparat negara sehingga terhindar dari perbuatan KKN, meningkatnya kinerja
aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat
(trust).
Ada 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja yang diharapkan
dapat diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari aparat
negara. Jika nilai-nilai dasar budaya kerja ini diterapkan, dilaksanakan, dan
diamalkan, niscaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tidak
mustahil segera mencapai tata pemeritahan yang baik, bersih, dan berwibawa,
tercipta pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Sejalan dengan itu, pola pikir,
pola sikap, dan pola tindak, mind-set, cultureset, management beliefs dan values,
menemukenali karakter dan jati diri masing-masing individu, terus diupayakan
pemahaman dan pengamalannya. Kepmenpan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002
tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara berisi kebijakan,
nilai-nilai dasar, penerapan, dan sosialisasi pengembangan budaya kerja.
Kepmenpan ini disusul modul-modul budaya kerja, yang berisi penerapan,
mind-setting, karakter, jati diri, kerjasama dan dinamika kelompok, penerapan
dalam pelayanan publik, efektivitas, dan penegakan hukum. Penerapan dan
pengembangan budaya kerja meliputi enam upaya.
Pertama, Menerapkan Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur:
menerapkan, mengamalkan, dan menyosialisasikan 17 pasang nilai-nilai dasar
budaya kerja aparatur negara, yaitu: komitmen clan konsistensi, wewenang dan
tanggungj,awab keikhlasan dan kejujuran, integritas dan profesionalitas,
32
kreativitas dan kepekaan, kepemimpinan dan keteladanan, kebersamaan dan
dinamika kelompok kerja, ketepatan/akurasi dan kecepatan, rasionalitas dan
kecerdasan emosi, keteguhan, dan kecerdasan, disiplin dan keteraturan kerja,
keberanian dan kearifan dalam mengambil keputusan dan menangani konflik,
dedikasi dan loyalitas, semangat dan motivasi, ketekunan dan kesabaran, keadilan
dan keterbukaan, serta penguasaan iptek.
Kedua. Mengubah Sikap, Perilaku, dan Management Beliefs dan Values
Aparatur: sikap dan perilaku santai harus diubah ke hal-hal yang produktif,
melihat ke masa depan, kritis, kreatif, memanfaatkan informasi, rasional dan
analitik, yakin dan percaya diri, dan menghargai nilai-nilai.
Ketiga, Membangun Karakter dan Jati Diri: mulai dengan keinginan
membentuk pribadi resiko, komitmen pada hati nurani, sharing/berbagi peran,
selalu berniat dan berdoa dalam memulai pekerjaan (nawaitu), mohon perkenan
Tuhan, bersyukur atas apa yang diperoleh, menjalankan shalat, serta menjadi suri
teladan dan panutan.
Keempat, Membangun Aparat Negara sebagai Pelayan Masyarakat:
penerapan prinsip, standar, pola penyelenggaraan pelayanan publik, dan
pemberian pelayanan publik atau pelayanan prima kepada masyarakat yang
merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Kelima, Mengubah mind set, pola pikir, pola sikap, dan pola tindak:
lakukan transformasi pola pikir untuk mencapai produktivitas maksimum, atasi
pikiran terkotak-kotak dan mental blocks dalam berpikir, upayakan change
organisational dan change management, arahkan pola pikir pada kinerja
33
produktif, berkomunikasi yang baik, semangat terus belajar, dan berusaha
menterapkan dan memanfaatkan IPTEK. UU 43/1999 yang merupakan perubahan
UU 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, mengatur tentang profesionalitas
dan netralitas PNS serta membangun manajemen kepegawaian berbasis kinerja.
Di dalam manajemen ini kita kenal kedudukan, kewajiban, hak,
manajemen PNS, kebijaksanaan manajemen, formasi, penilaian prestasi kerja,
perpindahan jabatan, pengangkatan pemindahan, pemberhentian PNS, jiwa korps,
kode etik, pendidikan dan pelatihan, kompetensi, produktivitas, netralitas, dan
kesejahteraan. Unsur-unsur ini terkandung dalam 17 (tujuhbelas) pasang nilai-
nilai dasar budaya kerja aparat negara. Tujuhbelas Pasang Nilai-nilai Dasar
Budaya Kerja Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2002), yaitu (1)
komitrnen dan konsistensi; (2) wewenang dan tanggungiawab; (3) keikhlasan dan
kejujuran; (4) integritas dan profesionalisme; (5) kreativitas dan kepekaan; (6)
kepemimpinan dan keteladanan; (7) kebersaman dan dinamika kelompok kerja;
(8) ketepatan dan kecepatan; (9) rasionalitas dan kecerdasan emosi; (10)
keteguhan dan ketegasan; (11) disiplin dan keteraturan bekerja; (12) keberanian
dan kearifan; (13) dedikasi dan loyalitas; (14) semangat dan motivasi; (15)
ketekunan dan kesabaran; (16) keadilan dan keterbukaan; dan (17) penguasaan
ilmu pengetahuan serta penguasaan dan pengembangan teknologi.
Rincian Tujuh Belas Pasang Nilai-Nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur
Negara adalah :
1. Komitmen dan Konsisten terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi,
dalam Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan:
34
a. Keteguhan hati, tekad yang mantap ulltuk melakukan dan mewujudkan
sesuatu yang diyakini.
b Ketetapan, kesesuaian, ketaatan, kemantapan dalam bertindak sesuai visi
dan misi.
2. Wewenang dan Tanggungjawab
a. Wewenang: Hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
b. Tanggungjawab:kesediaan menanggung sesuatu. Jika salah, wajib
memperbaiki atau dapat dituntut/diperkarakan.
3. Keikhlasan dan Kejujuran
a. Keikhlasan: Rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan
imbalan atau balas jasa, semata - mata karena menjalankan tugas/amanah
demi Tuhan.
b. Kejujuran: Benar dalam kata dan perbuatan, berani menolak/melawan
kebatilan.
4. Integritas dan Profesionalisme/Profesionalitas
a. Integritas: Menyatu dengan unit kerja/sistem yang ada.
b.Profesionalisme: Terampil, andal, kompeten, dan bertanggungjawab.
5. Kreativitas dan Kepekaan (Sensitivitas) terhadap lingkungan tugas
a. Kreativitas: Ide spontan, iovasi, adopsi, dan difusi.
b. Kepekaan: Responsif dan proaktif/reaktif.
6. Kepemimpinan dan Keteladanan
a. Kepemimpinan: Mengarahkan, membimbing, memotivasi, konsisten,
dan komunikatif.
35
b. Keteladanan: Tindakan yang segera memicu/mendorong pihak lain,
berbuat/ bertindak agar ditiru, antara lain: iman, taqwa, beriptek, budaya
baca-tulis, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas, bertanggungjawab,
ramah, rendah hati, toleran, gembira, silih asah-asih-asuh, sabar, periang
dan tersenyum.
7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja
a. Kebersamaan: Suasana hati bersama, untuk kepentingan bersama.
b. Dinamika Kelompok Kerja: Tidak bekerja sendiri, tidak egois, dan
bekerja terintegrasi.
8. Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan
a. Ketepatan: Mengenai sasaran, mencapai tujuan, teliti, dan bebas
kesalahan.
b. Kecepatan: Penggunaan waktu lebih singkat dan pendek.
9. Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi
a. Rasionalitas: Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, ilmiah, dan
intelektual.
b. Kecerdasan Emosi: Spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, dan
kooperatif.
10. Keteguhan dan Ketegasan
a. Keteguhan: Kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral, dan
prinsip manajemen.
b. Ketegasan: Sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak ragu-ragu.
11. Disiplin dan Keteraturan Bekerja
36
a. Disiplin: Taat aturan, norma, dan prinsip.
b. Keteraturan Bekerja: Perilaku konsisten mengikuti ketentuan/ prosedur.
12. Keberanian dan Kearifan dalam mengambil Keputusan dan Menangani
Konflik
a. Keberanian: Berani menanggung resiko atas perbuatan yang dilakukan.
b. Kearifan: Menuju pada hal-hal yang benar/baik.
13. Dedikasi dan Loyalitas
a. Dedikasi: Rela berkorban, mau menyatu dengan lingkungan.
b. Loyalitas: Mau dan patuh pada tindakan/anjuran atasan.
14. Semangat dan Motivasi
a. Semangat: Dayatenergi yang mendorong perilaku ke tingkat tertingi.
b. Motivasi: Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
15. Ketekunan dan Kesabaran
a. Teliti, rajin, konsisten, berkelanjutan, dan tidak cepat ke tingkat tertinggi.
b. Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.
16. Keadilan dan Keterbukaan
a. Keadilan: Bekerja ssuai tugas, fungsi, dan wewenang, dapat
membedakan hak dan kewajiban, dan tidak memihak.
b. Keterbukaan: Tidak ada yan ditutupi (pada norma tertentu), bebas
memeroleh informasi dan menyampaikan pendapat.
17. Penguasaan ilmu Pengetahnan dan Teknologi
a. Penguasaan Ilmu Pengetahuan: Ilmu murni/terapan yang mengajak
berbuat obyektif, tidak tahyul, dan menuju keteraturan.
37
b. Teknologi: Cara melaksanakan pekerjaan yang efisien dan efektif, cepat-
tepat- pasti, baik dengan cara sederhana maupun canggih.
Terkait erat dengan Budaya Kerja adalah Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas KKN. Tujuh Asas Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN (UU 28/1999), yaitu (1) Kepastian Hukum (Negara hukum,
mengutamakan landasan p eraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara negara); (2) Tertib Penyelenggaraan
Negara (keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara); (3) Kepentingan U mum (mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif), ( 4) K eterbukaan
(membuka diri t erhadap h ak m asyarakat untuk m emperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia
negara); (5) Proporsionaitas (mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara); (6) Profesionalitas (mengutamakan keahlian
yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku); dan (7) Akuntabilitas (setiap kegiatan clan hasil kegiatan akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat ciipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi segera sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Penciptaan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,
merupakan komitmen Kabinet Indonesia Bersatu, yang dituangkan dalam RPJPN
2005-2025 (DU 17/2007), RPJMN 2004-2009 (Perpres 7/2005), dan RKP 2007
38
(Perpres 19/2006). Pada 2007, sasaran penyelenggaraan negara tahun 2007 adalah
mempercepat terwujudnya aparatur negara yang profesional, produktif,
bertanggungjawab, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),
terwujudnya sistem pengawasan dan audit publik yang lebih cepat, tepat, adil,
murah, terjangkau, transparan, dan tidak diskriminatif.
Prinsip-prinsip good governance, terdiri atas kesetaraan, pengawasan,
penegakan hukum, daya tanggap, efisien dan efektif, partisipatif, profesonalisme,
akuntabilitas, berwawasan ke depan, dan transparansi (Depdagri, Ul-Habitat,
2003). Bappenas menambah elemen menjadi 14 elemen, yaitu demokrasi,
desentralisasi, kemitraan, dan komitmen (pada pengurangan kesenjangan
kemiskinan, lingkungan hidup, dan pasar yang fair).
Reformasi birokrasi atau perubahan signifikan penyelenggaraaan
pemerintahan dan pembangunan, dilakukan pada berbagai aspek aparatur negara,
antara lain kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan atau manajemen,
akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik yang berkualitas, serta
perubahan mind-set dan culture-set ke arah makin efisien, efektif, dan produktif.
Pelayanan publik paling sedikit menyangkut tiga hal, yaitu persyaratan
yang jelas, biaya pelayanan, dan kepastian penyelesaian pelayanan. Aspek-aspek
lainnya, transparansi, akuntabilitas, partisipatif, cepat, tepat, akurat, tidak
berbelit-belit, profesional, santun, dan tidak diskriminatif.
Pemberantasan korupsi dilaksanakan dengan melakukan upaya-upaya
pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi, dan percepatan pemberantasan
korupsi (Inpres 5/2004). Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2,4 pada tahun
39
2006, ditargetkan menjadi 4,0-5,0 pada 2010. Karena Korupsi terjadi jika ada
Niat dan Kesempatan, maka diupayakan menghilangkan niat dan kesempatan
melakukan tindak pidana korupsi.
Budaya kerja aparatur negara, etika kehidupan berbangsa, etika
penyelenggara negara, jiwa korps, dan kode etik, merupakan upaya pencegahan
perbuatan tindak pidana korupsi, antara lain dengan menegakkan kejujuran dan
menegakkan tujuh asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN,
yaitu: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Pelaksanaan pemerintahan sekarang bergeser dari "pelaksana" (rowing) ke
"pengarah (steering) dan menuju tata pemerintahan yang baik, ”reinventing
government dari government ke governance. Sejalan dengan upaya menciptakan
tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, perlu diupayakan penataan
dan pembaharuan birokrasi pemerintahan secara menyeluruh, pembaharuan
birokrasi atau mewirausahakan birokrasi secara menyeluruh (David Osborne dan
Ted Gaebler dalam bukunya "Reinventing Government: How the entrepreneurial
spirit is transforming the public sector"), kita bangun:
(1) Pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer-driven government):
meeting the needs of the customers, not the bureaucracy;
(2) Pemerintah berorientasi misi (mission-driven government): transferring
rule-driven organization;
(3) Pemerintah yang tanggap (anticipatory government): prevention rather than
cure;
40
(4) pemerintah berorientasi hasil (result-oriented government): finding
outcomes, not inputs;
(5) Pemerintah yang kompetitif (competitive government): injecting competition
into service delivery;
(6) Pemerintah berjiwa wirausaha (entreprising government): earning rather
than spending;
(7) Pemerintah terdesentralisasi (decentralized government): from hierarchy to
participation and teamwork;
(8) Pemerintah milik masyarakat (community-awned government): empowering
rather han serving;
(9) Pemerintah katalis (catalytic government): steering rather thall rowing; dan
(10) Pemerintah berorientasi pasar (market-oriented government): leveraging
change through the market. Put it all together
2.1.6.3 Dimensi Budaya Kerja
Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Gering
Supriyadi, dan Tri Guno, 2007. Secara konseptual, budaya kerja secara tekstual
tersebut dapat digambarkan, yaitu:
1. Integritas dan profesionalisme, yaitu konsisten dalam kata dan perbuatan
serta ahli dalam bidangnya. Orang yang memiliki integritas kepribadian, maka
dia akan melakukan sesuatu yang sesuai antara apa yang diucapkan dan apa
41
yang dilakukan. Kepribadian ini muncul dari keyakinan bahwa bekerja tidak
semata untuk meraih prestasi keduniawaian tetapi juga memiliki makna
keukhrawian atau ibadah. Bekerja yang didasari oleh semangat ibadah akan
menyebabkan orang bekerja tanpa pamrih untuk kepentingan individu tetapi
untuk kepentingan kebersamaan. Selain itu juga memiliki kemampuan yang
seimbang. Dia akan bekerja dengan pengetahuan, sikap dan keahliannya.
2. Kepemimpinan dan keteladanan, yaitu mampu mendayagunakan
kemampuan potensi bawahan secara optimal. Jika ketepatan diberi kekuatan
untuk menjadi pemimpin maka tidak akan memanfaatkannya untuk bekerja
secara otoriter tetapi secara partisipatif. Seseorang akan secara maksimal
mendayagunakan bawahannya sebagai partner untuk mencapai visi dan misi
institusi. Selain itu juga berlaku sebagai teladan. Menjadi teladan dalam kerja
keras, tanggungjawab, dan kedisiplinan dan sebagainya.
3. Kebersamaan dan dinamika kelompok, yaitu mendorong agar cara kerjanya
tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan. Sesuatu
yang sangat sulit di dalam relasi kerja adalah membangun kerja sama dalam
kerja kelompok. Meskipun manusia itu tahu bahwa tidak mungkin urusan
diselesaikan secara individual, namun demikian ketika harus bekerja sama
terkadang mengalami kesulitan. Bayangkan saja tidak ada manusia yang bisa
memenuhi kebutuhannya secara sendiri kecuali dalam relasinya dengan
manusia lainnya. Ada ungkapan yang bagus yaitu TEAM, Together Everyone
Achieve More. Justru melalui kebersamaan seseorang akan mendapatkan lebih
banyak.
42
4. Ketepatan dan kecepatan, yaitu adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas
dan finasial yang dibutuhkan. Prinsip yang harus dijadikan sebagai pedoman
adalah semakin cepat semakin baik. Prinsip pelayanan yang harus
dikembangkan dalam suatu institusi adalah pelayanan prima yang berbasis
kecepatan dan ketepatan. Kerja yang cepat dan tepat merupakan kerja yang
menggunakan keturukuran yang jelas. Jika pekerjaan bisa diselesaikan sehari
maka akan diselesaikannya tepat waktu. Jika pekerjaan itu menghabiskan
anggaran tertentu, maka akan dilaksanakan sesuai dengan ukuran anggaran
yang tepat. Jika bisa seperti itu maka tidak akan terjadi kasus mark up dan
sebagainya, juga bukan kerja yang menjadikan sesuatu yang mudah menjadi
sulit dan sebagainya.
5. Rasionalitas dan kecerdasan emosi, yaitu keseimbangan antara kecerdasan
intelektual dan emosional. Ternyata di dalam kehidupan ini yang dibutuhkan
bukan sekedar orang yang cerdas secara intelektual saja. Kenyataannya
banyak orang yang cerdas intelektual tetapi justru tidak berhasil dalam
kehidupannya. Kehidupan ini bukan hanya membutuhkan logika akan tetapi
juga kecerdasan emosi yang didasari oleh pemahaman tentang perasaan dan
kemanusiaan. Melalui kecerdasan logika manusia akan menyatakan ya atau
tidak. Akan tetapi untuk menyatakan ya atau tidak tentu dibutuhkan
pertimbangan kemanusiaan. Melalui keseimbangan antara kecerdasan
intelektual dan emosional maka akan memunculkan keteguhan dan ketegasan.
Dan yang tidak boleh dilupakan adalah kecerdasan spiritual yang berbasis
43
pada keyakinan dan moralitas kebaikan. Dengan menggabungkan ketiganya
dalam kerja maka seseorang akan bisa meraih kebahagiaan yang memadai.
2.1.7 Komitmen
2.1.7.1 Pengertian Komitmen
Intellectual capital atau modal intelektual memiliki peran yang sangat
penting dan strategis di setiap perusahaan. Intellectual capital adalah pengetahuan
(knowledge) dan kemampuan (ability) yang dimiliki oleh suatu kolektivitas sosial.
Intellectual capital mewakili sumber daya yang yang bernilai tinggi dan
berkemampuan untuk bertindak yang didasarkan pada pengetahuan. Intellectual
capital merupakan materi intelektual yang telah diformalisasikan, ditangkap, dan
dimanfaatkan untuk memproduksi aset yang nilainya lebih tinggi. Modal
intelektual (Moeheriono, 2009: 225-226) dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
(1) human capital (modal manusia), (2) structural capital (modal struktural), dan
(3) customer capital (modal pelanggan). Theodore Schultz, dalam Moeheriono
(2009: 215), berpendapat bahwa peningkatan kesejahteraan pada perusahaan tidak
tergantung pada sumber daya tanah, peralatan atau energi saja, melainkan pada
kompetensi pengetahuan (knowledge) dari para karyawan. Posisi human capital
sebagai kemampuan sumber daya manusia yang diperoleh melalui investasi pada
sumber daya manusia. Human Capital terdiri atas 4 (empat) hal, yakni (1)
kemampuan, (2) perilaku, (3) usaha, (4) waktu, dan semuanya ini dikendalikan
sepenuhnya sendiri oleh karyawan. Pengeluaran perusahaan yang berhubungan
dengan sumber daya manusia harus dipandang sebagai investasi dalam human
44
capital, misalnya program pelatihan (training) yang bertujuan untuk menambah
nilai pengetahuan (knowledge value) karyawan di masa depan maka harus
dianggap sebagai investasi dari organisasi karena sudah mengeluarkan biaya.
Ketika begitu banyak informasi yang mengalir ke dalam perusahaan, pengetahuan
yang mengandung nilai tambah tidak bersifat rutin sehingga sangat sulit
memprediksi pengetahuan apa yang diperlukannya. Berkaitan dengan hal
tersebut, structural capital memiliki dua tujuan yang harus dicapai, yaitu
membuat kodifikasi pengetahuan yang dapat ditransfer ke fihak lain. Hal ini
dilakukan agar sistemnya tidak hilang dan menghubungkan para karyawan dengan
data ahli dan keahlian yang dimiliki. Customer capital atau modal pelanggan
adalah hubungan organisasi dengan orang-orang yang berbisnis dengan organisasi
tersebut. Customer capital adalah kecenderungan pelanggan suatu perusahaan
untuk tetap melakukan bisnis dengan perusahaan tersebut.
Untuk mengukur intellectual capital, Dave Ulrich (Moeheriono, 2009:
227-228) memberikan alternatif pengukuran, yaitu intellectual capital merupakan
perkalian komitmen dan kompetensi dari pekerja dalam melakukan pekerjaannya
dan jika diformulasikan, maka akan menjadi rumus berikut.
Intellectual capital = Komitmen x Kompetensi
Perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi tinggi, tetapi
berkomitmen rendah, atau perusahaan dengan karyawan yang memiliki komitmen
tinggi, namun kompetensinya rendah pasti tidak akan mampu melakukan sesuatu
dengan cepat. Kedua faktor tersebut sangat penting dan tidak dapat
dikesampingkan. Nilai yang rendah pada salah satu faktor akan menyebabkan
45
penurunan nilai keseluruhan dari intellectual capital. Karena kompetensi dan
komitmen sangat penting, maka organisasi, termasuk pemerintah, dituntut untuk
membangun intellectual capital dari dua faktor tersebut. Kompetensi, yang antara
lain meliputi keterampilan dan pengetahuan, lebih mudah dikenali dan relatif
lebih mudah dibentuk dan dikembangkan, melalui proses belajar dan pelatihan
yang relatif singkat. Sedangkan komitmen membutuhkan waktu lebih lama untuk
memperbaiki/mengembangkannya.
Menurut Cooper, David John (2003: 68), komitmen karyawan adalah
kunci untuk mendapatkan kualitas dan peningkatan produktivitas. Selain itu,
bagian penting Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pengembangan
komitmen karyawan kepada organisasi. Alasan di balik ini adalah bahwa
karyawan berkomitmen 'akan lebih memuaskan, lebih produktif dan lebih mudah
menyesuaikan diri'.
Menurut Kamus Hukum dari Merriam-Webster (Tipton & Krause, 2006:
212), “commitment is defined as an agreement or promise to do something in
the future.”
Komitmen didefinisikan sebagai suatu “perjanjian/kesepakatan atau janji
untuk melakukan sesuatu di masa depan"Menurut Armstrong (2003: 232),
“commitment is the relative strength of the individual‟s identification with, and
involvement in, a particular organization. It consists of three factors”:
1. a strong desire to remain a member of the organization;
2. a strong belief in, an acceptance of, the values and goals of the organization;
3. a readiness to exert considerable effort on behalf of the organization.”
46
Komitmen adalah kekuatan relatif dengan identifikasi individu, dan
keterlibatan dalam, sebuah organisasi tertentu. Ini terdiri dari tiga faktor:
1. keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi;
2. sebuah keyakinan yang kuat dalam, penerimaan, nilai-nilai dan tujuan
organisasi;
3. kesiapan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi.
Bahkan, Armstrong (2003:234) menambahkan, kinerja akan meningkat
jika organisasi menjauh dari pendekatan tradisional yang berorientasi kontrol
kepada manajemen tenaga kerja. Pendekatan ini harus diganti dengan komitmen.
Respon terbaik pekerja, dan paling kreatif, bukan ketika mereka dikontrol ketat
oleh manajemen, ditempatkan dalam pekerjaan dengan batasan yang sempit,
tetapi ketika mereka diberikan tanggung jawab yang lebih luas, mendorong untuk
berkontribusi dan membantu untuk mencapai kepuasan dalam pekerjaan mereka.
2.1.7.2 Pengukuran Komitmen Organisasional
Menurut Jerald Grenberg (2003:161) dalam mengukur komponen
komitmen Organisasional dengan menggunakan tiga jenis komponen yaitu :
1. Continuance commitment: the strength of a person's desire to continue
working for an organization because he or she needs to do so and cannot
afford to leave.
2. Affective commitment: the strength of a person's desire to work for an
orgazation because he or she agrees with its underlying goals and value.
3. Normative commitment: the strength of a person's desire to continue working
for an organization because he or she feels obligations from others to remain
there.
47
Ketiga jenis komponen komitmen Organisasional di ilustrasikan sebagai berikut :
Sumber : Jerald Greenberg (2003:162)
Gambar 2.2
Komponen Komitmen Organisasional
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fred Luthans (2005:218) yang
menekakan bahwa terdapat tiga dimensi dalam komitmen Organisasional yaitu:
1. Affetive commitment: involves the employee emotional attachment to
identification with, and involvementt in the organization.
2. Continuance Commitment: involves commitment based on the costs that the
employee associates with leaving the organization.
3. Normative Commitment: involves employee feeling of obligation to stay with
the organization because they should; it is the right thing to do.
Komitmen afektif (affective commitment), menunjukkan ikatan emosional
dan pengidentifikasian individu anggota terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi,
komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu keinginan anggota untuk
memajukan organisasi karena pertimbangan pengorbanan atau kerugian yang
harus ditanggung jika keluar dari organisasinya, dan komitmen normatif
(normative commitment), yaitu penilaian anggota yang merasakan adanya
kewajiban atau keharusan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
48
Pendapat beberapa ahli di atas memperkuat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Robbin & Judge (2007:101) bahwa indikator dari komitmen
Organisasional terdiri dari tiga dimensi yaitu: (1) komitmen afektif (affective
commitment) perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-
nilai, (2) komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi
yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan
meninggalkan organisasi tersebut, dan (3) komitmen normatif (normative
commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-
alasan moral atau etis.
2.1.7.3 Dimensi Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor,
baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya
affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment,
masing-masing memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 2007),
yaitu :
Sementara itu, Mathis dan Jackson (2000) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai derajat dimana para karyawan percaya dan mau
menerima tujuan-tujuan organisasi serta akan tetap tinggal atau tidak
meninggalkan organisasi. Sedangkan Meyer dan Allen (1999), menyatakan bahwa
komitmen karyawan adalah suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya yang akan
berdampak terhadap keputusan individu untuk tetap melanjutkan
49
keanggotaannya dalam organisasi. Dimensi dan indikator dari variabel komitmen
karyawan sebagai berikut :
1. Komitmen Afektif (Affective Commitment).
Komitmen afektif dijelaskan sebagai rasa keterikatan emosional seseorang
untuk mengidentifikasikan diri dan merasakan keterlibatan secara langsung
dalam suatu organisasi. Indikator dari dimensi affective commitment yaitu
kemauan karyawan untuk melakukan usaha secara ekstra/lebih, kebanggaan
dan merasa senang terhadap perusahaan, perasaan bangga terhadap tugas
yang diberikan perusahaan, akan menghabiskan sisa karier di perusahaan,
tingkat kepedulian karyawan terhadap nasib perusahaan, memiliki ikatan
emosional dengan perusahaan, dan nilai-nilai perusahaan sesuai dengan
persepsi nilai yang saya anut.
2. Komitmen Berkelanjutan (Continuance Commitment).
Komitmen berkelanjutan merupakan kesadaran tentang kerugian yang
dihadapi seorang karyawan jika dia meninggalkan pekerjaannya atau
karyawan yang mau tetap berada di organisasi karena memang mereka
membutuhkan organisasi. Indikator dari dimensi continuance commitment
yaitu karyawan yang loyal dan tetap ingin di perusahaan, karyawan
merasakan kesulitan untuk mencari ganti pekerjaan lain, karyawan
menyadari rugi jika meninggalkan organisasi dan karyawan menyadari ada
manfaat bekerja di perusahaan.
3. Komitmen Normatif (Normative Commitment).
50
Komitmen normatif merupakan kewajiban moral yang dirasakan karyawan
untuk tetap bekerja dalam suatu organisasi atau dengan kata lain karyawan
bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran
bahwa komitmen terhadap organisasi memang seharusnya dilakukan.
Indikator dari dimensi normative commitment yaitu karyawan menerima
bentuk semua tugas yang diberikan oleh perusahaan, menerima tujuan dan
nilai-nilai perusahaan, mengutamakan kepentingan perusahaan dan
karyawan mempunyai niat dan merasa wajib untuk tetap bekerja di
perusahaan serta dapat menyesuaikan dengan strategi perusahaan.
Kanter (2002) mengemukakan bahwa terdapat tiga dimensi yang
membentuk komitmen karyawan, yaitu :
1. Komitmen Berkesinambungan (Continuance Commitment)
Komitmen berkesinambungan yaitu komitmen yang berhubungan dengan
dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan
menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi.
2. Komitmen Terpadu (Cohesion Commitment)
Komitmen terpadu merupakan komitmen anggota terhadap organisasi
sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di organisasi.
Hal ini terjadi karena karyawan merasa percaya bahwa norma-norma yang
dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaat.
3. Komitmen Terkontrol (Control Commitment)
Komitmen terkontrol merupakan komitmen anggota pada norma organisasi
yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang
51
dimiliki organisasi sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap
perilaku yang didinginkannya.
2.1.8 Kinerja
2.1.8.1 Pengertian Kinerja
Pengertiannya Kinerja atau Performace menurut Moeheriono (2009:60):
Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui
perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur
jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kreteria atau
standar keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan oleh organisasi. Oleh karena
itu, jika tanpa tujuan dan target yang ditetapkan dalam pengukuran, maka
kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui
bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya.
Sedangkan menurut para ahli lainnya, memberikan pengertian mengenai
kinerja sebagai berikut:
1. Menurut Stolovitch dan Keeps dalam Viethzal Rivai (2008):
Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada
tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta.
2. Campbell dalam Sudarmanto (2009:9) menyatakan:
Kinerja merupakan sinonim dengan perilaku. Kinerja adalah sesuatu yang
secara aktual orang kerjakan dan dapat diobservasi. Dalam pengertian ini,
kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan
organisasi. Kinerja bukan kosekuensi atau hasil tindakan, tetapi tindakan itu
sendiri.
52
Dari pengertian para ahli diatas –dapat disimpulkan bahwa kinerja
karyawan merupakan hasil atau proses yang telah dicapai oleh seseorang didalam
melaksanakan tugasnya.
2.1.8.2 Kinerja Perlu Standar Untuk Pencapaiannya
Membangun dan mengelola kinerja melalui sistem manajemen kinerja
adalah membangun harapan yang nyata untuk mencapai optimalisasi, dimana
manajemen kinerja mencakup proses pengkajian terhadap kinerja secara
berkesinambungan yang dilakukan secara bersama dengan kesepakatan mengenai
sasaran, persyaratan pengetahuan, keahlian kompetensi rencana kerja dan
pengembangan serta implementasinya dalam organisasi, termasuk rencana
peningkatan dan pengembangannya. Oleh karena itu pada dasarnya manajemen
kinerja ditujukan untuk meningkatkan aspek-aspek kinerja yang meliputi: (1)
sasaran yang dicapai, (2) kompetensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan
dan sikap, (3) efektivitas kerja. (Soelaiman Sukmalana, 2009, p. 3). Untuk
mencapai itu, proses kinerja perlu dilakukan dengan kesepakatan, maka hal
tersebut minyaratkan bahwa kinerja harus ada ukuran atau standar yang disepakati
didalam mencapai kinerja itu sendiri, beberapa ahli mengemukakan:
Wirawan (2009:67) menyatakan: standar kinerja setiap karyawan
harus diberitahukan kepada karyawan sebagai pedoman melaksanakan
tugasnya. Tanpa mengetahui standar kinerjanya, karyawan tidak mengetahui
apa yang harus dicapainya dan tidak terarah dalam mencapai kinerjanya.
Sedangkan Wibisono (2006:193) menyatakan: pada setiap pengukuran
kinerja harus ditetapkan standar pencapaian sebagai sarana kaji banding.
53
2.1.8.3 Penilaian Kinerja dan Tujuannya
Dalam dunia yang bersaing ini, perusahaan membutuhkan kinerja yang
tinggi. Pada saat yang bersamaan, karyawan membutuhkan feed back terhadap
kinerjanya sebagai pembimbing sikap untuk masa yang akan datang. Perusahaan
menggunakan informasi yang dikumpulkan melalui penilaian kinerja atau
evaluasi kinerja untuk mencapai kinerja terbaik baik sesuai dengan tujuan
perusahaan. Dan, menurut Riva’i (2009:549): “Dalam prakteknya, istilah
penilaian kinerja (performance appraisal) dan evaluasi kinerja (performance
evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan karena pada
dasarnya mempunyai maksud yang sama”.
Yang dimaksud dengan penilaian/evaluasi kinerja adalah: “suatu proses
yang digunakan pemimpin untuk menentukan apakah seorang karyawan
melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
(Mangkunegara, 2007; h. 9). Dan, menurut Wibisono (2006:193): “Evaluasi
kinerja merupakan penilaian kinerja yang dibandingkan dengan rencana atau
standar-standar yang telah disepakati” (Wibisono, 2006, h. 193), sedangkan
Simamora (2004:343) menyebutkan bahwa evaluasi kinerja adalah: “untuk
menghasilkan informasi yang akurat dan sahih tentang perilaku dan kinerja
anggota organisasi. Semakin akurat dan sahih informasi yang dihasilkan oleh
sistem penilaian kinerja, semakin besar potensi nilainya bagi organisasi”.
Menurut Simamora (2004:342): Penilaian kinerja mempunyai dampak atas
organsisasi. Selain membantu dalam hal-hal seperti pengambilan keputusan
kompensasi dan pemberian umpan balik atas kinerja, hasil proses penilaian
54
kinerja dapat memasok data yang berfaedah tentang keberhasilan aktivitas-
aktivitas lainnya seperti perekrutan, seleksi, orientasi dan pelatihan. Jikalau
contohnya, proses penilian kinerja mengungkapkan bahwa banyak karyawan yang
lemah dalam beberapa bidang keahlian, maka modifikasi dapat dilakukan pada
aktivitas tersebut (misalnya, aktivitas pelatihan dan pengembangan).
2.1.8.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Mangkunegara (2005:15), ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja, yaitu :
1. Faktor internal dan faktor individu yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-
sifat seseorang yang berkaitan dengan kemampuan.
2. Faktor eksternal atau lingkungan organisasi yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan yang
meliputi prilaku, sikap dan tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan,
motivasi kerja dan ikliom organisasi.
Sedangkan menurut Tiffin dan Mc Cormicck (1197:211), ada dua variabel
yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu :
1. Variabel individual, yang meliputi sikap, prilaku, karakteristik, sifat-sifat fisik,
minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pendidikan serta faktor
individual lainnya.
2. Variabel situasional yang terdiri dari, (1) faktor fisik dan pekerjaan, dimana
didalamnya terdapat metode kerja, kondisi dan desain kerja,
peralatan/perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran,
temperatur dan fentilasi), (2) faktor sosial dan organisasi yang meliputi
55
peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan,
sistem upah dan lingkungan sosial.
2.1.8.5 Dimensi Kinerja Pegawai
Untuk mencapai atau menilai kinerja, ada dimensi-demensi yang menjadi
tolok ukur kinerja pegawai negri sipil, adalah berdasarkan PERKA BKN No 1
tahun 2013 dengan dimensi sebagai berikut :
1. Orientasi Pelayanan
Yang dimaksud dengan "orientasi pelayanan" adalah sikap dan perilaku
kerja PNS dalam memberikan pelayanan terbaik kepada yang dilayani
antara lain meliputi masyarakat, atasan, rekan sekerja, unit kerja terkait,
dan/atau instansi lain.
2. Integritas
Yang dimaksud dengan "integritas" adalah kemampuan untuk bertindak
sesuai dengan nilai, norma dan etika dalam organisasi.
3. Komitmen
Yang dimaksud dengan "komitmen" adalah kemauan dan kemampuan
untuk menyelaraskan sikap dan tindakan PNS untuk mewujudkan tujuan
organisasi dengan mengutamakan kepentingan dinas daripada kepentingan
diri sendiri, seseorang, dan/atau golongan.
4. Disiplin
Yang dimaksud dengan "disiplin" adalah kesanggupan Pegawai Negeri
Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan
56
dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang
apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
5. Kerjasama
Yang dimaksud dengan "kerja sama" adalah kemauan dan kemampuan
PNS untuk bekerja sama dengan rekan sekerja, atasan, bawahan dalam
unit kerjanya serta instansi lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan
tanggung jawab yang ditentukan, sehingga mencapai daya guna dan hasil
guna yang sebesar-besarnya.
6. Kepemimpinan
Yang dimaksud dengan "kepemimpinan" adalah kemampuan dan kemauan
PNS untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan atau orang lain yang
berkaitan dengan bidang tugasnya demi tercapainya tujuan organisasi.
2.2 Penelitian Sebelumnya Yang Relevan
Penulis mengkaji dari penelitian sebelumnyasebagai bahan pembanding
terhadap bahan tesis yang akan dibuat. Adapun judul penelitian yang akan dikaji
oleh Penulis adalah sama seperti judul penelitian dari penulis yang lain. Adalah
sebagai berikut :
57
Tabel 2.1
Penelitian Sebelumnya yang Relevan
No. Peneliti dan Judul
Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan
1 Nurhaida, Ida, Eko
Sugiarto, dan
Cahyono (2008)
Komunikasi secara
terbuka, penghargaan
pimpinan dan budaya
kerja pegawai:
penerapan human
relations dalam
kaitannya dengan
kinerja pegawai.
(Jurnal Unpad )
Komunikasi secara
terbuka,
penghargaan dan
budaya kerja
berpengaruh
signifikan terhadap
kinerja pegawai
Penelitian ini
fokus pada upaya
peningkatan kinerja
pegawai melalui
komunikasi terbuka
dan penghargaan
pimpinan.
Penelitian
difokuskan pada
komunikasi,
inovasi dan
kompetensi
manajerial terhadap
komitmen
organisasional serta
dampaknya pada
kinerja pegawai
2 Frans Gana (2003)
Budaya organisasi
dan Komitmen
organisasional
sebagai basis daya
saing bisnis
Budaya organisai
dan komitmen
organisasional
berpengaruh pada
daya saing bisnis
Membahas
mengenai inovasi
budaya dan
komitmen
Penelitian ini
menggunakan
kompetensi dan
komunikasi
3 Leilani O. Baumanis
(2007)
Cultural values and
organizational
commitment among
financial consultants
in south florida
Nilai budaya
komitmen
organisaional
berpengaruh
signifikan terhadap
kinerj karyawan
bagian keuangan
Membahas
mengenai budaya
organisasi dan
komitmen
organisasi
Tidak membahas
komunikasi,
kompetensi
manajerial, dan
inovasi serta
kinerja
4 Harris,
Michael (2000)
Determinan of
Employee
Performance
Faktor-faktor
determinan
berpengaruh
terhadap kinerja
pegawai
Penelitian fokus
pada faktor-faktor
yang berpengaruh
terhadap kinerja
Perbedaan pada
variabel bebas
ketiga yaitu
kendala kerja
5 Roberth House
(dalam Kreitner &
Kinichi,(2003)
Good governance
impact employee
expectation toward
performance .
Tata kelola
berpengaruh
signifikan terhadap
kinerja
Fokus pada peran
kepemimpinan dan
kinerja
Variabel bebas dan
struktur model
dalam penelitian
tidak sama
Dari beberapa penelitian terdahulu, keterkaitan antara variabel-variabel
yang dipergunakan, perbedaannya yaitu terutama dalam hal penggunaan variabel
penelitian dan lokus penelitian yang dilakukan di kota Bandung.
58
2.3 Kerangka Pemikiran
Rujukan dari pembahasan dalam penelitian ini merupakan dari beberapa
teori para pakar manajemen, dan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang
memiliki beberapa kesamaan variabel yang mendukung bahwa variabel yang
penulis teliti memiliki pengaruh. Secara spesifik yang menyatakan bahwa masing-
masing variabel yang diteliti memiliki pengaruh satu sama lain terlihat dari
beberapa pendapat para ahli sebagai berikut:
1. Hubungan Budaya Kerja dengan Komitmen
Budaya adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap situasi dalam
sebuah organisasi. Menurut Herlriegel dan Slocum (2004) budaya organisasi
sebagai gabungan atau integrasi dari falsafah, idiologi nilai-nilai kepercayaan,
norma, harapan-harapan, sikap dan komitmen. Pernyataan ini didukung oleh Lush
Hervay dalam Muafi (2009) bahwa peningkatan kinerja organisasinal dapat
dipengaruhi oleh ativa tidak berwujud antara lain budaya organisasi, hubungan
dengan pelanggan dan citra organisasi.
Sedangkan menurut Steers (Kunjoro : 2000), komitmen organisasi adalah
rasa kepercayaan terhadap nilai - nilai organisasi, keterlibatan, dan sikap loyalitas
karyawan terhadap organisasinya. Menurut Porter (Kuntjoro : 2000), komitmen
organisasi karyawan ditandai dengan adanya penerimaan nilai-nilai dari
organisasi. Robbins (2006) juga berpendapat bahwa fungsi dari budaya organisasi
untuk meningkatkan komitmen karyawan itu sendiri. Pendapat para tokoh itu
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Ritchie (2000), yang
59
menyatakan bahwa budaya organisasi memang memiliki dampak positif terhadap
sikap dari para karyawan. Budaya organisasi yang kuat akan dapat meningkatkan
komitmen organisasi.
2. Pengaruh Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai
Menurut Indriantoro (2000) menyatakan bahwa penelitian mengenai
budaya organisasional merupakan topik yang penting, karena budaya organisasi
merupakan salah satu jenis aktiva tidak berwujud perusahaan yang dapat
meningkatkan kinerja organisasional. Ndraha, (2003) menyatakan, bahwa:
Budaya memiliki pengaruh terhadap kinerja. Menurut salah satu fungsi budaya
adalah identitas. Jika dilihat dari segi organisasi, identitas adalah kepribadian
organisasi. Jika identitas itu hilang, organisasi menjadi lemah. Disamping itu,
budaya berkaitan erat dengan kinerja organisasi. Jika kinerja merosot, eksistensi
organisasi terancam. Karena itu, budaya harus resilient (berketahanan).
Pertahanan budaya adalah proses mempertahankan eksistensi dan kepribadian
organisasi.
Menurut Kotter dan Hesket (2007), mengatakan bahwa budaya yang kuat
dapat menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja, bahkan
dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih daripada faktor-
faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis keuangan, kepemimpinan dan
lain-lain. Budaya organisasi yang mudah menyesuaikan dengan perubahan jaman
(adaptif) adalah yang dapat meningkatkan kinerja.
60
Hasil Penelitian Prima Nugraha Sinaga (2010), menunjukkan terdapat
pengaruh antara budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada Sekretariat
Daerah Kabupaten Dairi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara budaya organisasi terhadap kinerja pegawai pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Dairi. Penelitian sejenis dilakukan oleh Riska
Pratiwi (2012) yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan
terhadap kinerja pegawai Kantor Kekayaan Negara dan Lelang Makasar.
3. Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Pegawai
Menurut Cooper, David John (2003), komitmen karyawan adalah kunci
untuk mendapatkan kualitas dan peningkatan produktivitas. Komitmen adalah
pelopor penting untuk kinerja tinggi.
Budaya kerja yang baik merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di
pergunakan secara reguler di dalam ilmu politik dan administrasi publik
(administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa-warsa yang lalu,
konsep Good Governance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik.
Di dalam disiplin atu profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai
suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini
menekan pada peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan meningkatkan otonomi manajerial
terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang di lakukan oleh
61
pemerintah pusat, tranparansi, akuntabilitas publik dan di ciptakan pengelolahan
manajerial yang bersih dan bebes dari korupsi (Agus Dwiyanto; 2007)
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka model paradigm
penelitian ini seperti terlihat pada gambar 2.2 berikut :
Gambar 2.3
Paradigma Penelitian
2.4 Hipotesis Penelitian
Penelitian yang dilakukan menguji beberapa hipotesa sebagai berikut:
1. Budaya kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai
2. Komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai
3. Budaya kerja dan Komitmen berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pegawai
Komitmen Kerja
1. Afektif
2. Berkelanjutan
3. Normatif
(Meyer, 2005:218)
Kinerja Pegawai
Orientasi
Pelayanan
Integritas
Komitmen
Disiplin
Kerjasama
Kepemimpinan
Perka BKN no 1
Tahun 2013
Budaya Kerja
1. Integritas dan
Profesionalisme
2. Kepemimpinan dan
Keteladanan
3. Kebersamaan dan
dinamika kelompok
4. Ketepatan dan
Kecepatan
5. Rasionalitas dan
Kecerdasan Emosi
(G.Supriyadi,2007)
Herlriegel dan
Slocum (2004); Robbins (2006)
Ndraha, (2003);
Pratiwi (2012)
Cooper, David John (2003);
Agus Dwiyanto; 2007