BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/47801/3/BAB II.pdf · pola didalam...

42
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Antarbudaya 2.1.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya Didalam kehidupan kita komunikasi antarbudaya bukan merupakan hal yang baru, sejak kita lahir kita sudah diajak untuk berkomunikasi dengan orang lain bahkan sampai saat ini secara tidak sadar kita sudah berkomunikasi dengan orang yang beda-beda ras, bahasa, agama, kelas sosial dan lain sebagainya. Komunikasi dan kebudayaan bukan hanya dua kata saja tetapi merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Didalam komunikasi antarbudaya seseorang berkomunikasi sesuai dengan budaya yang mereka miliki, lalu berinteraksi dengan budaya yang memiliki latar belakang yang berbeda dari budayanya. Komunikasi antarbudaya sebenarnya dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja dan hal-hal yang dikomunikasikan tentu saja tergantung dengan kedua budaya yang sedang berinteraksi tersebut. Seorang manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi jika tidak sedang berkomunikasi dengan lainnya, selain itu dapat dikatakan juga interaksi yang berhasil tergantung dengan bagaimana komunikasi yang terjadi diantara kedua budaya yang berbeda tersebut.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/47801/3/BAB II.pdf · pola didalam...

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Antarbudaya

2.1.1 Definisi Komunikasi Antarbudaya

Didalam kehidupan kita komunikasi antarbudaya bukan merupakan hal

yang baru, sejak kita lahir kita sudah diajak untuk berkomunikasi dengan orang

lain bahkan sampai saat ini secara tidak sadar kita sudah berkomunikasi dengan

orang yang beda-beda ras, bahasa, agama, kelas sosial dan lain sebagainya.

Komunikasi dan kebudayaan bukan hanya dua kata saja tetapi merupakan dua

konsep yang tidak dapat dipisahkan. Didalam komunikasi antarbudaya seseorang

berkomunikasi sesuai dengan budaya yang mereka miliki, lalu berinteraksi dengan

budaya yang memiliki latar belakang yang berbeda dari budayanya. Komunikasi

antarbudaya sebenarnya dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa

saja dan hal-hal yang dikomunikasikan tentu saja tergantung dengan kedua budaya

yang sedang berinteraksi tersebut. Seorang manusia tidak dapat dikatakan

berinteraksi jika tidak sedang berkomunikasi dengan lainnya, selain itu dapat

dikatakan juga interaksi yang berhasil tergantung dengan bagaimana komunikasi

yang terjadi diantara kedua budaya yang berbeda tersebut.

12

Komunikasi antarbudaya sendiri memiliki beberapa definisi, Samovar

(2010:13) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya akan terjadi jika terdapat

sebuah perbedaan diantara kedua budaya tersebut. Samovar disini menegaskan

bahwa komunikasi antarbudaya mencakup interaksi antara orang-orang yang

memiliki perbedaan dalam persepsi dan sistem simbol dalam suatu komunikasi.

Sejalan dengan Samovar, Sihabudin (2011:38) mengatakan komunikasi

antarbudaya juga dipahami sebagai sebuah perbedaan, tetapi perbedaan yang ia

maksudkan disini adalah perbedaan didalam menilai suatu objek-objek sosial dan

kejadian-kejadian. Untuk memperkuat kedua pendapat diatas yang menyatakan

bahwa komunikasi antarbudaya akan terjadi melalui sebuah perbedaan, maka

Lustig dan Koester didalam Liliweri (2005:367) menyatakan perbedaan juga tetapi

perbedaan didalam hal kepentingan derajat. Perbedaan kepentingan derajat yang

dimaksudkan disini adalah setiap orang akan melakukan proses komunikasi dan

memberikan interpretasi serta harapan berbeda yang nantinya akan disalurkan

melalui sebuah perilaku sebagai proses pertukaran makna.

Dari ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi

antarbudaya akan terjadi jika pemberi dan penerima pesan berasal dari kebudayaan

yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang akan memunculkan makna dari

suatu pesan dan memunculkan berbagai variasi dalam memahami suatu pesan.

Proses pembagian pesan dalam komunikasi budaya dapat melalui lisan, tertulis

maupun dalam bentuk simbol-simbol yang nantinya akan disalurkan melalui

13

saluran tertentu. Tentu saja proses pembagian pesan ini berasal dari komunikator

dan komunikan yang berbeda latar belakang budayanya agar tercipta suatu efek

tertentu atau berbeda. Dari perbedaan inilah sebuah budaya dapat memiliki ciri

khusus yang dapat membedakan mereka dengan budaya lainnya sehingga akan

memunculkan ikatan yang kuat dalam kelompok masyarakatnya. Kemudian dapat

dikatakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan proses interaksi dalam

menilai atau menginterpretasikan dan pertukaran suatu pesan yang nantinya akan

mempengaruhi perilaku komunikasi mereka.

Pengertian-pengertian diatas secara tidak langsung memberi tahu kita

bahwa semakin besar perbedaan latar belakang budaya maka semakin besar juga

peluang kita untuk tidak mendapatkan komunikasi yang efektif. Hal ini dapat

disebabkan saat kita berkomunikasi dengan budaya yang berbeda kita menemui

sejumlah perbedaan misalnya dalam hal bahasa, cara bicara, pengetahuan,

kebiasaan dan lain sebagainya. Dengan adanya hal tersebut kita akan menjadi

asing dan bingung untuk memaknai setiap pesan yang ada. Maka dapat dikatakan

bahwa budaya juga dapat mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Dengan

demikian sudah seharusnya kita membekali diri kita dengan pengetahuan-

pengetahuan, khususnya mengenai bagaimana budaya dapat berpengaruh pada

komunikasi. Setidaknya jika kita tahu hal-hal tersebut, kita dapat mengetahui cara

atau meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu konflik antarbudaya.

2.1.2 Model Komunikasi Antarbudaya

14

Seperti yang telah kita ketahui bahwa komunikasi sangat berhubungan erat

dengan budaya, bahkan setiap fungsi dan hubungan-hubungan antar komponen

komunikasi juga berkaitan dengan budaya. Komunikasi antarbudaya dapat

ditandai dengan adanya sumber dan penerima yang berasal dari budaya yang

berbeda, hal tersebut dapat menjadi ciri dalam menandai sebuah komunikasi

antarbudaya. Didalam komunikasi antarbudaya terdapat model komunikasi

antarbudaya yang dapat digunakan sebagai penyampai suatu peristiwa untuk dapat

melihat beberapa faktor yang terlibat didalam proses komunikasi antarbudaya.

Seperti yang dikatakan Devito dalam Sihabudin (2011:50) yang

mengilustrasikan proses komunikasi antarbudaya dapat digambarkan dengan

lingkaran kecil dan lingkaran besar serta kotak kecil dan kotak besar. Didalam

lingkaran kecil merupakan budaya yang dianut individu, sedangkan lingkaran

besar merupakan lingkungan dimana individu tersebut berada. Sama halnya

dengan kotak kecil dan besar, Devito menggambarkannya sebagai budaya individu

dan lingkungan budaya yang dominan. Berbeda dengan Devito, dalam artikel

berjudul Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antarbudaya oleh Samovar dan

Porter yang disebutkan dalam Mulyana (2006:21) menjelaskan mengenai model

komunikasi antarbudaya bahwa dalam setiap budaya ada atau terdapat bentuk lain

yang serupa dengan bentuk sebuah budaya dan budaya tersebut diwakilkan oleh

tiga bentuk geometrik yang berbeda. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

15

Gambar 1. Model Komunikasi Antarbudaya

Sumber: Samovar dan Porter dalam Mulyana (2006:21)

Seperti yang bisa lihat pada gambar diatas, budaya A dan budaya B merupakan

budaya yang hampir sama dan masing-masing diwakilkan oleh segi empat dan segi

delapan yang tidak beraturan. Sedangkan budaya C sangat berbeda dengan budaya

A dan budaya B yang dapat dilihat pada bentuk melingkar di budaya C dan budaya

C memiliki jarak yang jauh dari budaya A dan budaya B. Didalam setiap budaya

terdapat bentuk-bentuk yang hampir sama dengan bentuk budaya hal ini

dikarenakan seorang individu telah dibentuk atau dipengaruhi oleh budaya tetapi

bentuk individu tidak serupa dengan budaya yang mempengaruhinya.

Didalam model komunikasi antarbudaya ini penyandian-penyandian pesan

digambarkan oleh panah-panah yang telah terhubung pada budaya A, B dan C.

Panah-panah tersebut berfungsi sebagai pengirim pesan dari budaya satu ke

16

budaya yang lain. Anggap saja saat satu panah yang berasal dari budaya A

meninggalkan sebuah pesan kepada budaya B, pesan tersebut akan memiliki

makna sesuai dengan yang dikehendaki oleh budaya A. Tetapi jika pesan tersebut

diteruskan dari budaya B kepada budaya C maka pesan tersebut akan mengalami

suatu perubahan. Dapat dilihat pada panah mengalami perubahan pola. Perubahan

tersebut berasal dari pengirim pesan sebelumnya yaitu budaya B, artinya budaya

B memiliki pengaruh pada pemaknaan suatu pesan. Dapat dikatakan bahwa

perilaku dan pemaknaan yang dimiliki pengirim pesan pertama tidak memiliki

kesamaan makna budaya dengan pengirim pesan kedua. Selain itu jika dilihat dari

pola didalam panah ketiga budaya tersebut budaya A dan B memiliki perbedaan

lebih kecil dibandingkan budaya A dan budaya C, hal ini disebabkan karena

budaya A dan B memiliki persamaan yang cukup besar dalam perilaku

komunikatif dan pemaknaan pesan. Sebaliknya dengan budaya C terlihat sangat

berbeda dengan budaya A dan B, dalam pola panah tersebut lebih menyerupai

budaya C. Bertolak belakang dengan pendapat Devito dan Samovar, Liliweri

(2013:32) menggambarkan model komunikasi antarbudaya sebagai perbedaan

dalam hal kepribadian dan persepsi terhadap relasi antarpribadi. Dapat dilihat pada

gambar dibawah ini:

Gambar 2. Model Komunikasi Antarbudaya

17

Sumber : Liliweri Alo (2013:32)

Didalam model komunikasi antarbudaya tersebut, Liliweri menjelaskan

perbedaan bahwa A dan B adalah dua orang individu yang memiliki latar belakang

yang berbeda dan keduanya memiliki perbedaan dalam hal kepribadian dan

persepsi terhadap relasi antarpribadi. Komunikasi antarbudaya akan terjadi saat A

dan B melakukan percakapan dan saat percakapan itu terjadi keduanya menerima

perbedaan yang ada diantara mereka sehingga akan bermanfaat untuk menurunkan

tingkat kecemasan dan ketidakpastian didalam hubungan keduanya. Dari

menurunnya ketidakpastian dan kecemasan akan membentuk sebuah strategi

komunikasi yang akomodatif, strategi tersebut memiliki dua unsur yaitu adaptif

dan efektif. Selain itu strategi tersebut terbentuk karena adanya budaya baru yaitu

C, budaya C secara psikologis akan mempengaruhi A dan B. Hasil dari strategi

komunikasi akomodatif tadi juga akan mempengaruhi A dan B, sifat adaptif akan

membuat A dan B saling menyesuaikan diri dan dari menyesuaikan diri tersebut

akan menghasilkan komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif juga.

18

Dengan demikian dapat disimpulkan dari ketiga model komunikasi

antarbudaya tersebut bahwa setiap individu atau budaya tidak ada yang memiliki

persamaan yang benar-benar serupa, jika ada pun hanya hampir mirip atau hampir

serupa. Biasanya para pendatang akan berada dalam keadaan dimana ia menjadi

budaya yang minoritas dan akan didominasi oleh budayanya yang baru. Hal

tersebut tentu saja akan memperlihatkan atau menampakkan pola-pola baru yang

berbeda dari budaya yang sebelumnya. Setiap kebudayaan pasti memiliki pola-

pola yang berbeda yang menjadikan sebagai ciri khas mereka. Dalam memaknai

sebuah pesan juga mereka memiliki perilaku komunikatif yang berbeda-beda.

Dapat dikatakan jika semakin mirip satu budaya dengan budaya lainnya maka

pemaknaan pesan akan sesuai yang dikehendaki dan sebaliknya jika semakin jauh

satu budaya dengan budaya lainnya maka pemaknaan pesan tidak akan sesuai yang

dikehendaki sebelumnya. Selain itu, komunikasi antarbudaya akan terjadi jika

budaya yang satu dengan yang lain melakukan interaksi, dari interaksi tersebut

akan terbentuk sebuah kebudayaan baru. Dengan adanya budaya yang baru,

kemudian kedua budaya tersebut dapat beradaptasi dan menerima perbedaan satu

sama yang lain sehingga akan menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan

diantara mereka. Selain itu mereka akan menghasilkan sebuah komunikasi

antarbudaya yang efektif.

2.1.3 Pendekatan-pendekatan Komunikasi Antarbudaya

19

Setelah mengetahui model komunikasi antarbudaya, terdapat cara-cara

untuk dapat melihat budaya dan komunikasi khususnya untuk melihat manusia

sebagai objek dan subjek dalam komunikasi antarbudaya. Didalam hal ini terdapat

beberapa pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan. Novinger (2001:22)

menyebutkan terdapat dua pendekatan yaitu etik dan emik. Etik sendiri merupakan

pendekatan yang bersifat umum yang berkaitan dengan bahasa dan perilaku, etik

dapat juga disebut dengan pendekatan fungsionalis. Kemudian emik merupakan

pendekatan yang berbanding terbalik dengan etik. Didalam emik kita memandang

budaya dengan perspektif yang lebih spesifik, emik juga dapat disebut dengan

pendekatan interpretatif. Seperti halnya Novinger, Martin dan Nakayama

(2010:50) menyebutkan bahwa pendekatan fungsionalis dan interpretatif

merupakan pendekatan dalam komunikasi antarbudaya. Selain itu, disini ia

menjelaskan lebih dalam mengenai kedua pendekatan tersebut dan menambahkan

satu pendekatan lagi yaitu pendekatan kritis, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Pendekatan Fungsionalis

Pendekatan fungsionalis mendeskripsikan kebiasaan manusia dapat

dilihat melalui penampilan luarnya. Selain itu kebiasaan tersebut

dapat mempengaruhi proses komunikasinya lalu hal tersebut dapat

diprediksi melalui perbedaan dalam sebuah budaya.

2. Pendekatan Interpretatif

20

Didalam pendekatan ini menjelaskan bahwa tidak hanya realitas

yang mengkontruksi manusia, tetapi manusia juga bisa

mengkontruksi sebuah realitas. Pendekatan ini yakin bahwa

pengalaman manusia dan komunikasi itu bersifat subjektif.

3. Pendekatan Kritis

Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan pendekatan interpretatif

yaitu memandang secara subjektif. Tetapi pendekatan ini lebih

memberikan metode dalam sosial dan politik dimana keduanya

memiliki pengaruh terhadap komunikasi. Oleh karena itu pendekatan

ini bukan hanya sekedar mengetahui bagaimana kebiasaan manusia

tetapi juga kekuatan sosial politik dapat berfungsi dalam suatu

budaya.

Tidak berbeda jauh berbeda dengan Novinger serta Martin dan Nakayama,

Liliweri (2013:66) juga memiliki pendapat yang sama mengenai tiga pendekatan

yang sebelumnya telah disebutkan, tetapi disini ia menambahkan tiga pendekatan

lagi dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Pendekatan Dialektikal

Pendekatan ini masih memiliki hubungan dengan tiga pendekatan

diatas, pendekatan dialektikal ini merupakan perpaduan dari ketiga

pendekatan diatas yaitu pendekatan fungsionalis, pendekatan

interpretatif dan pendekatan kritis. Dalam pendekatan ini

21

memandang kenyataan dari luar dan dalam merupakan hal yang lebih

baik, tetapi hal tersebut harus dibangun terlebih dahulu dengan

komunikasi. Selain itu, pendekatan ini juga memandang realitas

secara objektif dan subjektif.

2. Pendekatan Dialog Kultural

Pendekatan ini lebih menekankan pada isu internasionalisme dan

humanisme. Dengan kata lain pendekatan ini lebih kepada

bagaimana peran komunikasi antarbudaya dari suatu organisasi

perdamaian internasional dan lain sebagainya.

3. Pendekatan Kritik Budaya

Pendekatan ini lebih fokus kepada pencarian isu-isu yang terkait

dengan terjadinya konflik dalam suatu budaya. Didalam pendekatan

ini menggabungkan etik dan emik secara bersamaan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kita dapat mendekati sebuah budaya dan

komunikasi melalui berbagai macam cara. Pendekatan-pendekatan tersebut

berasal dari sebuah asumsi-asumsi, kebiasaan, bahasa bahkan dari konsep

mengenai budaya itu sendiri dan juga untuk memandang suatu budaya kita tidak

hanya harus memandang secara subjektif tetapi juga bisa secara objektif. Kita juga

harus mengetahui bahwa budaya bukan hanya mempengaruhi sebuah proses

komunikasi, tetapi budaya juga dapat dipengaruhi oleh proses komunikasi itu

sendiri. Selain itu, kita juga harus mengetahui bahwa didalam budaya terdapat

22

kekuatan sosial, budaya, ekonomi bahkan konflik-konflik antarbudaya.

Pendekatan-pendekatan budaya tersebut dapat memberi kita pengetahuan secara

langsung untuk dapat beradaptasi dan dapat diterima didalam budaya baru, selain

itu dapat mengantisipasi keadaan yang muncul secara tidak terduga.

2.1.4 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

Dalam menjalin komunikasi antarbudaya bagi seseorang bukan sesuatu hal

yang mudah. Permasalahannya terdapat pada titik dimana individu memiliki latar

belakang budaya yang berbeda-beda. Semakin berbeda kedua budaya maka

semakin besar juga perbedaan diantara keduanya dan semakin sedikit juga peluang

untuk memahami satu sama lain. Hal itulah yang dapat memicu berbagai macam

hambatan dalam komunikasi antarbudaya. Tubbs dan Sylvia (2000:254)

menyebutkan ada dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam komunikasi

antarbudaya, yaitu :

1. Etnosentrisme

Etnosentrisme merupakan suatu pemahaman dimana seorang

individu menganggap kelompok budayanya sebagai tolak ukur untuk

menilai kelompok budaya yang lain dan menganggap budayanya

paling baik dibandingkan dengan budaya lainnya.

2. Penstereotipan

Stereotip dapat dikatakan sebagai cara untuk menilai sesuatu secara

umum yang didasari oleh pengalaman yang terbatas.

23

Sejalan dengan pendapat Tubss dan Slyvia, Samovar (2010:203) juga

mengatakan bahwa etnosentrisme dan penstereotipan merupakan hambatan-

hambatan yang dapat mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Tetapi selain

etnosentrisme dan penstereotipan, Samovar menambahkan dua hal lagi yang dapat

menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya yaitu :

1. Prasangka

Prasangka dapat dikatakan sebagai bentuk perasaan negatif terhadap

sesuatu. Prasangka dapat berupa kecemasan, kebencian, ketakutan

dan lain sebagainya.

2. Rasisme

Merupakan sebuah kepercayaan bahwa warisan biologis sebagai

penentu dalam hubungan sosisal. Biasanya rasisme dilakukan dengan

tindakan merendahkan seseorang berdasarkan ras, warna kulit,

agama, orientasi seksual dan lain sebagainya lalu memperlakukannya

secara buruk. Dalam hal ini rasisme menjadi salah satu penghalang

dalam komunikasi antarbudaya.

Berbeda dengan Tubbs dan Slyvia serta Samovar yang memiliki pendapat

yang sama mengenai hambatan komunikasi antarbudaya, Liliweri (2013:30)

menyebutkan bahwa hambatan dalam komunikasi antarbudaya merupakan sesuatu

yang dapat menghambat kecepatan pesan yang ditukar antara komunikator dengan

komunikannya. Hambatan-hambatan tersebut berasal dari unsur-unsur komunikasi

24

yaitu komunikator, komunikan, pesan dan media. Biasanya hambatan yang berasal

dari komunikator dan komunikan terdapat pada perbedaan budaya, status sosial,

latar belakang pendidikan, serta keterampilan berkomunikasinya. Dengan adanya

perbedaan-perbedaan tersebut akan berpengaruh pada pesan-pesan yang

disampaikan dan hal tersebut akan berpengaruh kepada pesan yang diterima.

Selanjutnya adalah hambatan yang berasal dari pesan yang disampaikan secara

verbal dan non verbal, biasanya dalam verbal menggunakan istilah-istilah atau

sinonim, homonim, denotatif dan konotatif. Istilah dari sinonim sendiri merupakan

persamaan sebuah kata, lalu homonim merupakan kata yang pelafalannya sama

tetapi memiliki makna yang berbeda, sedangkan denotatif merupakan makna yang

memang dimiliki oleh suatu kata dan konotatif merupakan kebalikan dari

denotatif. Dari berbagai macam istilah-istilah tersebut tentu saja kita masih merasa

kebingungan untuk membedakannya. Sedangkan dalam non verbal menggunakan

bahasa isyarat tubuh, hal ini dapat mempengaruhi seseorang dalam memaknai

suatu pesan karena pada setiap budaya tentunya memiliki bahasa isyarat yang

berbeda-beda. Lalu yang terakhir adalah hambatan yang berasal dari media atau

saluran, biasanya akan terjadi jika seseorang salah memilih media yang tidak

sesuai dengan konteks komunikasi dan hal tersebut akan mengakibatkan

ketidaksesuaian dalam komunikasi antarbudaya.

Dapat ditarik kesimpulan dari ketiga pendapat tersebut bahwa hambatan-

hambatan didalam komunikasi antarbudaya akan terjadi jika kita salah dalam

25

mempersepsi sesuatu hal tanpa mengetahui kebenarannya. Menurut Tubbs dan

Sylvia serta Samovar yang dapat menghambat komunikasi antarbudaya yaitu

etnosentrisme, stereotip, prasangka dan rasisme. Keempat hal tersebut dapat

berhubungan antara satu sama lain dan akan membahayakan jika sudah mengarah

pada rasisme. Rasisme merupakan hambatan yang paling besar dan sulit untuk

dikendalikan karena berasal dari kepercayaan dari lahir dan akan mendarah daging

pada kehidupan manusia. Tentu saja jika rasisme terjadi dapat memecah belah

suatu suku bangsa. Jika hal tersebut tidak dapat ditangani dengan baik maka akan

menimbulkan konflik-konflik antarbudaya. Kemudian selain etnosentrisme,

stereotip, prasangka dan rasisme, Liliweri berpendapat bahwa hambatan

komunikasi antarbudaya dapat berasal dari unsur-unsur komunikasi itu sendiri

yaitu komunikator, komunikan, pesan dan media. Dapat dikatakan menghambat

jika pesan yang disampaikan berkurang atau tidak sesuai dengan pesan yang

diterima. Hal ini tentu saja akan menciptakan suatu kesalahpahaman dalam

memaknai suatu pesan dan proses dalam komunikasi antarbudaya menjadi tidak

efektif.

2.2 Adaptasi Antarbudaya

2.2.1 Definisi Adaptasi Antarbudaya

Seperti yang kita ketahui mengenai pengertian adaptasi secara umum

merupakan proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, seorang individu akan

menyesuaikan dirinya sesuai perubahan-perubahan yang terjadi didalam hidupnya.

26

Dalam ilmu psikologi menurut Gerungan (2004:59) adaptasi bukan hanya

mengubah diri sesuai dengan lingkungannya tetapi juga mengubah lingkungan

sesuai dengan keinginannya. Adaptasi juga ada yang bersifat pasif yang artinya

setiap kegiatan ditentukan oleh lingkungannya, kemudian juga ada yang bersifat

aktif dimana kita yang akan mempengaruhi lingkungan. Dengan demikian dapat

dikatakan jika individu melakukan perpindahan ke budaya lainnya, mereka akan

beradaptasi dengan budaya baru tersebut dengan kata lain mereka akan melakukan

sebuah adaptasi antarbudaya.

Berbeda dengan Gerungan yang lebih mengarah kepada psikologis

seseorang, maka Kim dalam Martin dan Nakayama (2010:320) lebih menjelaskan

dalam konteks sebuah budaya. Menurutnya adaptasi antarbudaya merupakan

proses panjang untuk menyesuaikan diri pada lingkungan barunya dan akhirnya

merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Jadi dapat dikatakan bahwa adaptasi

antarbudaya akan terjadi saat seseorang masuk pada lingkungan baru dan mulai

berinteraksi dengan lingkungan barunya tersebut. Disini setiap orang yang berada

di lingkungan barunya mau tidak mau harus menerima segala tantangan yang ada

di lingkungan barunya tersebut agar dapat memaksimalkan fungsinya dalam

lingkungan barunya. Didalam adaptasi antarbudaya seorang individu mulai

mencari persamaan dan perbedaan di lingkungan barunya tersebut secara bertahap.

Agak berbeda dengan Kim yang lebih menjelaskan tentang adaptasi

antarbudaya lebih ke konteks budaya dan bagaimana proses penyesuaian diri

27

seseorang pada lingkungan barunya, maka dalam artikel yang berjudul Memahami

Perbedaan-Perbedaan Budaya oleh Haris dan Robert dalam Mulyana (2006:55)

menjelaskan bahwa adaptasi antarbudaya dapat diciptakan oleh manusia-manusia

itu sendiri melalui budaya dan lingkungan sosial mereka. Hal tersebut terjadi

melalui sebuah kebiasaan-kebiasaan, praktek dan tradisi yang berkembang seorang

individu dapat melakukan sebuah adaptasi. Dapat diketahui bahwa usia, gender

dan kesiapan seseorang juga berpengaruh terhadap seberapa baik orang tersebut

dapat menyesuaikan diri. Biasanya orang-orang yang usianya muda lebih mudah

dalam menyesuaikan diri di lingkungan barunya dibandingkan dengan orang-

orang yang sudah tua, hal tersebut dikarenakan orang yang berusia muda lebih

mudah menerima sesuatu yang baru dan memiliki pemikiran bahwa kehidupan

akan terus mengalami kemajuan dan mereka harus mengikuti arus tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa adaptasi antarbudaya merupakan proses

penyesuaian diri yang berlangsung lama dengan budaya barunya. Penyesuaian diri

juga bergantung dengan lingkungan, bisa jadi lingkungan yang mengubah kita dan

bisa jadi juga kita yang dapat mengubah lingkungan kita. Jika seseorang masuk

kedalam budaya yang berbeda dari budayanya sebelumnya maka dapat dikatakan

orang tersebut beradaptasi dengan budaya yang baru. Dalam beradaptasi dengan

budaya baru tersebut seseorang harus memahami, mencari persamaan-persamaan

dan perbedaan-perbedaan yang ada kemudian menyesuaikan dirinya agar dapat

diterima didalam lingkungan barunya tersebut. Dengan mempelajari kebiasaan-

28

kebiasaan dan praktek-praktek budaya barunya, seseorang dapat melakukan

adaptasi antarbudaya dengan lebih mudah.

2.2.2 Bentuk-bentuk Adaptasi Antarbudaya

Didalam setiap kebudayaan pasti memberitahu atau mengajarkan

bagaimana cara-cara untuk memproses sebuah informasi yang datang dan diterima

oleh suatu kebudayaan. Cara-cara tersebut biasanya berfungsi untuk menyaring

informasi kemudian melakukan pertukaran informasi. Menjadi sangat penting jika

kita sudah mengetahui apa saja yang dapat kita lakukan saat kita sedang

beradaptasi dengan budaya baru, selain menambah pengetahuan untuk kita sendiri

mengerti tentang kebudayaan yang lain akan memudahkan kita untuk beradaptasi

dalam budaya yang lainnya. Menyesuaikan diri kedalam sebuah budaya

merupakan sesuatu yang sangat penting menurut Sobur (2003:529) bentuk-bentuk

adaptasi dalam psikologi terdapat dua macam yaitu adaptive dan adjustive.

1. Adaptive

Merupakan bentuk adaptasi yang lebih bersifat badani. Proses-proses

adaptasi pada bentuk ini lebih menyesuaikan ke dalam

lingkungannya. Misalnya saja saat pertama kali kita masuk ke

kebudayaan yang baru kita akan beradaptasi dengan cuaca yang baru,

disinilah badan kita akan mulai bereaksi lalu beradaptasi dengan

budaya baru tersebut.

29

2. Adjustive

Dalam bentuk adaptasi ini lebih mengarah ke psikis seseorang.

Dimana seseorang akan menyesuaikan dirinya dan tingkah lakunya

di kebudayaan barunya tersebut. Dalam kata lain seseorang akan

beradaptasi dengan norma-norma yang ada di dalam budaya barunya

tersebut dan mengikuti norma-norma yang ada.

Berbeda dengan Sobur yang menyebutkan dua bentuk adaptasi yang berupa

badani dan psikis, maka Setiadi dan Kholip (2011:77) menjelaskan bahwa suatu

bentuk adaptasi dapat dilihat dari proses-proses sosialnya. Ia menyebutkan proses-

proses sosial tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Proses sosial asosiatif

Didalam proses ini memiliki aturan yang diikuti oleh anggotanya.

Jika peraturan-peraturan tersebut diikuti dan dijalankan sesuai

dengan realitas yang ada maka akan menciptakan harmoni sosial

yang mengarah pada kerjasama dan akan menciptakan integrasi

sosial.

2. Proses sosial disosiatif

Proses ini berbanding terbalik dengan proses sosial asosiatif. Proses

sosial disosiatif biasanya tercipta karena adanya ketidakteraturan

sosial yang akhirnya akan memunculkan pertentangan antar anggota

budaya dan tidak adanya harmoni sosial.

30

Bertolak belakang dengan pendapat Setiadi dan Kholip serta Sobur yang

memiliki perbedaan pendapat mengenai bentuk adaptasi, Liliweri (2013:154)

mengatakan bahwa untuk menyesuaikan diri dalam kebudayaan yang berbeda kita

harus mengetahui bagaimana memproses informasi, mengemas serta melakukan

pertukaran informasi. Hal tersebut telah diletakkan didalam beberapa bentuk

tingkatan yang berbeda, terdapat dua tingkatan yang biasa disebut High Context

Culture dan Low Context Culture. Budaya HCC biasanya ditandai dengan

pemberian informasi yang susah dimengerti, lebih banyak basa-basi, tidak

mengungkapkan secara terbuka apa yang menjadi masalah. Dengan kata lain

budaya HCC lebih menggunakan komunikasi tidak langsung, pesan-pesannya

lebih didukung oleh non verbal dan lebih suka berkomunikasi secara tatap muka.

Sebaliknya dengan budaya LCC lebih mudah untuk melakukan komunikasi karena

didalam budayanya cukup terbuka dan lebih suka berterus terang. Pertukaran

informasi mereka lebih menggunakan verbal tetapi juga non verbal, selain itu jika

mereka mencari informasi langsung berasal dari sumbernya.

Dari penjelasan diatas maka sangat penting bagi seseorang yang

beradaptasi dengan budaya yang baru untuk mengetahui bentuk-bentuk adaptasi

didalam suatu budaya. Jika menurut Sobur adaptasi bisa dimulai dari adaptasi

badani dan psikis dalam diri terlebih dahulu. Setiadi dan Kholip menambahkan

adaptasi budaya dapat juga dilihat melalui dua proses sosial yaitu asosiatif dan

disosiatif. Selain kedua pendapat diatas, sebagai tambahannya menurut Liliweri

31

untuk beradaptasi seseorang harus dapat membedakan bagaimana orang-orang

dalam sebuah budaya memproses sebuah informasi dan berkomunikasi yaitu

melalu High Context Culture dan Low Context Culture. Setelah kita telah

mengetahui dan dapat mengerti hal-hal diatas maka kita dapat dengan mudah

masuk dalam kebudayaan tersebut tanpa ada permasalahan. Jadi selain memahami

bagaimana budaya yang lain melakukan komunikasi, kita juga harus mengetahui

bagaimana bentuk lingkungan yang ada didalam budaya tersebut.

2.2.3 Tahapan Adaptasi Antarbudaya

Masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam beradaptasi dengan budaya

baru tentu beragam. Seseorang pasti akan mengalami ketidaknyamanan dari segi

psikologis dan fisiknya. Sebagai pendatang dalam budaya yang baru biasanya

seseorang takut dan merasa diasingkan oleh sekitarnya, mereka takut tidak disukai

bahkan takut sampai dicurigai. Ketentraman dan ketenangan merupakan sebuah

hal yang dinginkan oleh semua individu tetapi lain halnya jika sebuah gangguan

muncul dan sulit untuk menangkalnya maka akan mempengaruhi nilai-nilai dan

norma yang ada didalam sebuah budaya, hal tersebut akan menimbulkan sebuah

guncangan sosial pada individu. Dalam hal ini individu pasti akan mengalami

kejutan budaya jika beradaptasi dengan budaya baru. Kejutan budaya tersebut akan

menimbulkan rasa gelisah yang berasal dari hilangnya suatu tanda atau simbol

yang biasa kita gunakan dalam hubungan sosial di kebudayaan yang sebelumnya.

Seseorang akan menemui perbedaan dan merasakan keadaan mental yang berbeda

32

jika melakukan perpindahan dari lingkungan yang sebelumnya ia kenal ke

lingkungan yang tidak ia kenal. Didalam kejutan budaya inilah seseorang perlu

penyesuaian sebelum pada akhirnya dapat berinteraksi dengan budaya yang baru

dan didalam penyesuaian tersebut terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus

dilalui individu.

Dalam kajian sosiologi menurut Setiadi dan Kholip (2011:662) terdapat

tiga tahapan penyesuaian terhadap suatu perubahan yaitu adjustment,

maladjustment dan anomi. Adjustment akan terjadi jika guncangan sosial dapat

ditangani dan keadaan dapat kembali seperti semula. Maka sebaliknya jika

guncangan sosial tersebut tidak bisa ditangani maka keadaan ini disebut dengan

maladjustment. Selanjutnya jika keadaan belum kembali normal tetapi telah ada

hal-hal baru yang mengatur dalam keadaan yang telah berubah tersebut maka

disebut anomi. Dari ketiga tahapan tersebut anomi merupakan tahapan yang paling

susah untuk dikembalikan, karena anomi sendiri merupakan bentuk perpecahan

yang prosesnya terjadi begitu cepat.

Berbeda dengan Setiadi dan Kholip yang lebih fokus menjelaskan tahapan

adaptasi dalam kajian sosiologi, maka Martin dan Nakayama (2010:327)

menjelaskan terdapat tiga tahap dalam adaptasi budaya yang disebut dengan

Kurva-U. Ketiga tahap tersebut yaitu anticipation, culture shock dan adjustment.

Sejalan dengan Martin dan Nakayama, Samovar (2010:477) memiliki pendapat

yang sama dengan ketiga tahap tersebut. Akan tetapi Samovar menambahkan satu

33

tahap lagi yang tidak disebutkan Martin dan Nakayama, yaitu tahap resolusi.

Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Fase Kegembiraan

Dalam fase awal ini tentu saja seseorang yang baru masuk ke dalam

budaya baru memiliki semangat, harapan tinggi dan penuh rasa

gembira untuk dapat berinteraksi dengan budayanya yang baru.

2. Fase Kekecewaan

Dalam fase ini beberapa masalah mulai terjadi. Masalah-masalah

yang timbul dari fase ini bisa berasal dari adaptasi yang tidak sesuai

dengan kenyataan dan kesulitan dalam hal berkomunikasi. Disini

mereka akan merasakan frustasi yang membuat mereka menjadi

sensitif.

3. Fase Resolusi

Dalam fase ini seseorang mulai untuk kembali memahami apa yang

ada di kebudayaan barunya. Disini seseorang akan menyesuaikan diri

secara bertahap untuk berhadapan dengan budaya yang baru.

4. Fase Berfungsi dengan Efektif

Dalam fase terakhir ini seseorang sudah mengerti nilai-nilai,

kepercayaan, pola komunikasi dan lain-lain yang ada di budaya

barunya. Jika mereka sudah mengerti hal-hal yang ada dalam budaya

34

barunya maka mereka akan merasakan kegembiraan dan kepuasaan

secara bersamaan.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah ketidaknyamanan seorang

pendatang di lingkungan barunya diakibatkan oleh kejutan budaya. Kejutan

budaya tersebut akan muncul saat mereka beradaptasi dengan budaya yang

berbeda dari budaya asli mereka. Disinilah akan muncul fase-fase atau tahap

adaptasi dalam sebuah budaya. Berawal dari kesenangan karena bertemu dengan

budaya yang baru, kesenangan tersebut lama-lama akan berubah menjadi sebuah

permasalahan karena menemui ketidakcocokan dalam budaya barunya tersebut

dan biasanya seseorang akan mengalami frustasi. Tetapi jika ia berhasil melewati

tahap tersebut ia akan mencoba untuk beradaptasi kembali dengan kebudayaan

barunya dan yang terakhir ia akan mengerti bagaimana budaya yang ada dalam

kebudayaan barunya tersebut lalu ia akan merasa nyaman. Setidaknya jika kita

mengetahui tahap-tahap adaptasi budaya diatas, kita dapat menimalisir terjadinya

kejutan budaya apabila kita melakukan perpindahan ke dalam budaya yang baru.

2.2.4 Hambatan Adaptasi Antarbudaya

Didalam kehidupan seringkali banyak kita jumpai pelajaran-pelajaran

mengenai kehidupan yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Pengalaman

baru dapat menjadikan kita sebagai individu yang lebih baik dari sebelumnya,

seiring dengan perjalanan waktu kita dapat belajar dari perubahan-perubahan yang

35

kita alami. Melakukan adaptasi dengan budaya yang baru tentunya bukan sesuatu

yang mudah, pastinya kita akan menemui hambatan-hambatan yang mengganggu

kita dalam beradaptasi. Samovar (2010:479) membahas mengenai isu-isu yang

dapat menjadi hambatan dalam adaptasi antarbudaya, sebagai berikut:

1. Bahasa

Biasanya masalah utama dalam adaptasi antarbudaya adalah harus

menghadapi kesulitan terhadap bahasa. Keterbatasan mengenai hal

bahasa dapat menjadi masalah yang cukup besar dalam adaptasi

antarbudaya. Biasanya pemerolehan bahasa dan cara berbicara yang

berbeda dalam suatu budaya dapat menghambat proses adaptasi.

Perbedaan tersebut nantinya dapat berpengaruh dengan pemaknaan

sebuah pesan.

2. Ketidakseimbangan

Sebuah adaptasi dapat dikatakan sukses jika terdapat keseimbangan

diantara dua budaya yang berinteraksi. Ketidakseimbangan dapat

terjadi jika seseorang kurang mengetahui mengenai budaya tuan

rumah dan tidak bisa membuat pilihan apa yang harus dilakukan

dalam kebudayaan tersebut.

3. Etnosentrisme

Etnosentrisme menjadi hambatan paling besar dalam adaptasi

antarbudaya karena etnosentrisme akan mempengaruhi penilaian

36

seorang pendatang bahkan budaya tuan rumah itu sendiri. Jika

keduanya tidak acuh kepada etnosentrisme maka akan berujung pada

kebencian antara satu sama lain.

Sejalan dengan yang dikatakan oleh Samovar, Sihabudin (2011:127)

mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan hambatan terhadap adaptasi

antarbudaya. Selain etnosentrisme, Sihabudin menambahkan beberapa hambatan

sebagai berikut:

1. Didalam masyarakat yang majemuk kebanyakan dari mereka merasa

lebih efektif berkomunikasi dengan anggota budayanya. Hal itu

dikarenakan lebih mudah untuk memahami satu sama lain dan mereka

memiliki prinsip yang kurang lebih sama.

2. Prasangka sosial, dalam prasangka sosial ini dibagi menjadi tiga yaitu

stereotip, jarak sosial dan sikap diskriminasi. Hal-hal inilah yang

termasuk kedalam hambatan adaptasi antarbudaya dan bisa memicu

timbulnya konflik.

3. Faktor mayoritas, didalam faktor mayoritas ini cenderung

mengutamakan status dimana kaum minoritas memiliki posisi yang

lemah. Adanya hal tersebut akan menghambat sebuah adaptasi karena

jika mereka merasa dirinya minoritas maka mereka akan takut untuk

beradaptasi atau bersosialisasi dengan yang lainnya.

37

Agak berbeda dengan hambatan-hambatan yang telah disebutkan Samovar

dan Sihabudin sebelumnya, Rani Usha (2016:75) mengatakan terdapat

penghambat dalam sebuah kebudayaan, ia mengatakan empati sebagai

penghambat. Didalam kebudayaan kita akan berkomunikasi dengan budaya yang

berbeda-beda hal itu tentu saja akan membuat kita sadar terhadap perbedaan nilai-

nilai, kepercayaan dan sikap. Didalam adaptasi antarbudaya memiliki empati

merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena dari empatilah kita dapat

merasakan perasaan mereka seolah-olah kita sedang mengalaminya. Dengan

begitu kita dapat saling mengormati satu sama lain dan kita menjadi mudah untuk

beradaptasi dengan budaya yang baru.

Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi

hambatan dalam beradaptasi dengan budaya yang baru. Hambatan-hambatan

tersebut berupa bahasa, ketidakseimbangan budaya, etnosentrisme, sikap, tingkah

laku, perbedaan kebudayaan, lingkungan, prasangka sosial, faktor mayoritas dan

empati. Hal-hal tersebut secara tidak sadar sudah sering kita temui saat kita

berinteraksi atau beradaptasi dengan sekitar kita. Jika kita dapat meminimalisir

hambatan-hambatan yang telah disebutkan diatas maka akan memungkinkan kita

dapat dengan mudah beradaptasi dengan budaya yang baru, selain itu kita juga

tahu dapat mencegah adanya konflik yang berasal dari hambatan-hambatan

tersebut.

2.3 Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya

38

2.3.1 Definisi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya

Seperti yang kita ketahui dalam berkomunikasi antarbudaya kita pasti

menemui banyak perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tidak

hanya dalam hal bahasa yang berbeda tetapi kode berbicara juga dapat berbeda

antara satu budaya dengan yang lainnya. Sebuah budaya dapat mempengaruhi

seseorang dalam berkomunikasi jika orang tersebut melakukan perpindahan ke

budaya yang baru. Tanpa kita sadari proses komunikasi tersebut akan terus terjadi

seiring dengan terjadinya interaksi dengan budaya yang berbeda. Biasanya speech

code atau kode berbicara tercipta melalui kesepakatan dari sejumlah kelompok

budaya untuk menciptakan makna bersama. Secara umum speech code merupakan

pembahasan mengenai kekhasan kata-kata dari sebuah kebudayaan yang memiliki

perbedaan mencolok.

Menurut Philipsen dalam Gudykunts (2005:57) dan Griffin (2012:421)

speech code merupakan sebuah sistem konstruksi sosial didalam budaya yang

terdiri dari simbol, makna dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perilaku

komunikatif manusia. Agak berbeda dengan Philipsen dan Griffin, Littlejohn

(2009:461) mengatakan speech code sebagai “buku panduan” atau budaya yang

tidak tertulis. Ia mengatakan bahwa didalam buku panduan tersebut memiliki

tujuan untuk mengetahui bagaimana berkomunikasi didalam sebuah budaya.

Misalnya saja seperti bagaimana cara berkomunikasi didalam budaya dan apa saja

yang orang lain katakan.

39

Jadi dapat disimpulkan bahwa speech code atau kode berbicara merupakan

sebuah cara untuk mengetahui hubungan dari komunikasi dan budaya. Dimana

diantara keduanya akan memberitahu bagaimana menafsirkan cara orang berbicara

didalam sebuah budaya, bagaimana mereka dapat ditemukan dan bagaimana

kekuatannya didalam sebuah kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa speech code

menekankan tentang kemampuan orang yang berbeda budaya dapat menyesuaikan

gaya bahasa ketika berada didalam kebudayaan yang baru. Selain itu speech code

memiliki peranan yang penting didalam berkomunikasi diantara dua kebudayaan

yang berbeda. Didalam speech code terdapat simbol-simbol, makna dan peraturan

yang berkaitan dengan perilaku komunikatif manusia. Seperti yang kita ketahui

bahwa Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki berbagai macam

suku budaya, tentu saja bahasa yang digunakan setiap budaya berbeda-beda

apalagi dalam hal kode berbicara pastinya setiap budaya menggunakan kode-kode

yang berbeda-beda. Hal inilah yang akan terjadi jika seorang perantau atau

pendatang termasuk mahasiswa Tanjung Selor yang berkuliah di Malang, selama

mereka berada di Malang mereka akan menemukan kode berbicara yang berbeda

dari kebudayaannya yang sebelumnya dan disini mereka akan beradaptasi dengan

kode berbicara yang ada di Malang.

2.3.2 Proposisi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai beberapa definisi

speech code atau kode berbicara yang mengarah pada bagaimana berkomunikasi

40

diantara dua kebudayaan yang berbeda dan apa saja yang terdapat didalam speech

code. Speech code sendiri dapat dibedakan melalui pernyataan-pernyataan atau

proposisi yang membentuk speech code itu sendiri. Selain itu sebuah proposisi

dapat membangun ciri khas dari speech code didalam sebuah budaya sehingga

sebuah speech code dapat terlihat dengan jelas.

Gudykunts (2015:58), Littlejohn (2009:462) dan Griffin (2012:422)

sependapat bahwa proposisi umum speech code terbagi menjadi enam bagian,

yaitu :

1. Kekhasan

Sebuah speech code dapat ditemukan didalam budaya yang berbeda

dan itu membuat kekhasan dari speech code itu sendiri. Sebuah

speech code di suatu budaya berbeda dengan budaya yang lain. Tentu

saja perbedaan tersebut terdiri dari simbol, makna dan aturan-aturan

perilaku komunikatif lainnya. Kekhasan tersebut dapat dilihat juga

dari beberapa variasi berbahasa, yaitu:

a. Logat

Merupakan suatu variasi bahasa di sebuah daerah. Biasanya

dikenal juga dengan aksen dalam pengucapan kata-kata. Logat

dapat dilihat dari penekanan dalam sebuah ucapan (Liliweri,

2013:135). Contohnya saja mahasiswa Tanjung Selor

mengatakan “udah makan kah?” dengan menggunakan

41

penekanan yang tinggi. Berbeda dengan orang Malang

mengatakan “udah makan ta?” dengan nada yang halus. Kalimat

tersebut memiliki makna yang sama tetapi aksen yang digunakan

cukup berbeda.

b. Dialek

Biasanya dapat dibedakan dari kosakata yang khas dari suatu

daerah (Samovar, 2010:272). Contoh saat mahasiswa Tanjung

Selor mengatakan “jangan marah-marah terus nah”, dalam arti

yang sama dengan orang Malang “jangan marah-marah terus

po’o.”

c. Intonasi

Merupakan tinggi rendahnya penekanan saat berbicara (Liliweri,

2002:170). Jika penekanan digunakan dalam budaya yang

berbeda maka akan cukup berpengaruh dengan pemaknaannya.

Contohnya saja “ih apa bah?” kalimat tersebut sebenarnya

merupakan pertanyaan yang menurut orang Tanjung Selor biasa

saja tetapi karena penekanannya yang agak tinggi biasanya

orang Malang akan memahaminya sebagai bentuk kemarahan.

d. Kecepatan berbicara

Didalam kecepatan berbicara yang paling penting adalah

mengendalikan tingkat kecepatan berbicara saat berkomunikasi

diantara dua budaya yang berbeda (Liliweri, 2002:169).

42

Biasanya jika tempo berbicara terlalu cepat maka budaya yang

mendengarkan kita berbicara kadang tidak mengerti apa yang

kita bicarakan karena biasanya mereka terbiasa dengan tempo

bicara yang pelan. Sebagai contoh kecepatan berbicara

mahasiswa Tanjung Selor terkenal dengan tempo yang cepat,

jika mereka berkomunikasi dengan orang Malang maka harus

menyesuaikan dengan tempo yang pelan karena orang Malang

memiliki kecepatan bicara dengan tempo sedang agar

komunikasi diantara keduanya menjadi efektif.

e. Argot

Dikenal sebagai bahasa khusus yang digunakan suatu budaya

yang bertujuan untuk mengaburkan makna sebenarnya dan

menciptakan ciri khas suatu daerah. (Samovar, 2010:273).

Orang Malang memiliki bahasa khusus Malangan yang dikenal

dengan bahasa walikan. Contoh “ayo ngalup ker” jika diartikan

dalam bahasa Indonesia berarti “ayo pulang rek”.

2. Substansi

Substansi terbagi menjadi tiga bagian dalam kehidupan sosial yaitu

psikologi, sosiologi dan retorika:

a. Psikologi

Dalam konteks psikologi setiap speech code merupakan tanda

dari setiap individu yang diungkapkan dengan cara yang

43

berbeda-beda dan bagaimana cara mereka menjadi seseorang

dalam sebuah budaya. Hal ini berkaitan dengan proses berpikir

dimana setiap tanda akan diartikan dalam speech code asal

perantau.

b. Sosiologi

Dalam konteks sosiologi speech code menyediakan sebuah

sistem berupa jawaban antara diri sendiri dan orang lain yang

dianggap pantas dan mengikuti sumber yang efektif yang dapat

digunakan dalam hubungan tersebut. Dalam hal ini lebih menuju

kepada bagaimana seseorang dapat berhubungan dengan orang

lain.

c. Retorika

Merupakan pengertian ganda mengenai kebenaran dan persuasi.

Retorika tidak memperdulikan budaya tetapi sebuah

pengungkapan struktur diri didalam masyarakat. Sebuah kode

menjadi aturan untuk menghubungkan hal satu dengan yang

lainnya, misalnya saja cara bertindak atau berkomunikasi dalam

kelompok sosial,

3. Makna

Makna merupakan proses pemahaman dari speech code tergantung

dari bagaimana speech code digunakan oleh komunikator dan

membuat komunikan memaknai pesan didalam komunikasi mereka.

44

Jadi dapat dikatakan bahwa speech code menuntun pelaku

komunikasi, ketika mereka sedang berinteraksi kode menuntun apa

yang sebenarnya terjadi dan apa yang dapat dinilai sebagai

komunikasi.

4. Kegunaan

Didalam interaksi antara dua budaya yang berbeda maka akan setiap

dari mereka akan memiliki speech code ganda. Maksudnya adalah

dapat memungkinkan jika setiap orang yang berada di budaya

barunya akan terpengaruh dan menggunakan lebih dari satu kode,

sesuai dengan kode berbicara yang ada didalam budaya barunya.

5. Situs atau lokasi

Dapat dikatakan bahwa makna, aturan dan tempat berada didalam

pembicara itu sendiri. Kita dapat melihat kode berbicara dengan cara

melihat perilaku komunikatif dan mendengarkannya. Jadi jika kita

ingin mengetahui kode berbicara kita sendiri bahkan budaya lain kita

harus bertanya langsung kepada pembicara yang sebenarnya.

6. Kekuatan

Dapat dikatakan bahwa kekuatan speech code dalam sebuah budaya

sangat kuat. Biasanya orang-orang didalamnya menggunakan speech

code untuk menafsirkan, menjelaskan dan juga mengevaluasi. Selain

itu mereka akan membentuk perilaku komunikatif mereka sendiri

dan juga orang lain. Jika sebuah proses komunikasi khususnya dalam

45

penggunaan speech code tidak berjalan dengan baik, maka akan

menghambat proses komunikasi diantara dua budaya tersebut.

Dengan demikian speech code bukan hanya sebuah sistem sosial yang

terdiri dari simbol, makna dan peraturan-peraturan. Tetapi speech code juga

memiliki beberapa proposisi-proposisi yang dapat membentuk speech code itu

sendiri didalam sebuah budaya dan menjadikan speech code berbeda diantara satu

budaya dan budaya lainnya. Proposisi tersebut antara lain adalah kekhasan,

substansi, makna, kegunaan, situs dan kekuatan. Dengan adanya enam proposisi

tersebut kita dapat dengan mudah mengklasifikasikan speech code berdasarkan ciri

khas sebuah budaya ketika kita sedang berinteraksi dengan budaya yang berbeda

dengan budaya kita sebelumnya.

2.3.3 Elemen-elemen Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya

Untuk mengetahui apa saja yang dapat mengkonstruksi speech code dalam

komunikasi antarbudaya, maka dapat dilihat berdasarkan elemen-elemen dasar

yang ada didalam komunikasi dan budaya itu sendiri. Elemen-elemen tersebut

nantinya dapat menjadi landasan didalam pembentukan speech code antarbudaya.

Menurut Samovar (2010:29) mengatakan terdapat lima hal yang termasuk elemen

didalam budaya yaitu:

1. Sejarah

Merupakan informasi yang didalamnya terdapat pentunjuk mengenai

kehidupan yang telah terjadi. Didalam sejarah juga terdapat elemen-

46

elemen penting budaya yang dibagikan dari generasi ke generasi

untuk melestarikan suatu budaya.

2. Agama

Agama memiliki pengaruh yang kuat hal tersebut dapat dilihat dari

hubungan yang terjalin didalam budaya.

3. Nilai

Dapat dikatakan sebagai petunjuk untuk menentukan bagaimana

seseorang dalam bertingkah laku.

4. Organisasi sosial

Organisasi sosial biasanya mewakili kelompok hidup masyarakat

yang didalamnya termasuk keluarga, pemerintah, sekolah dan suku

bangsa.

5. Bahasa

Bahasa merupakan karakteristik yang umum didalam budaya.

Didalam bahasa dapat menyalurkan perasaan, pikiran dan informasi.

Selain itu juga dapat digunakan untuk menyebarkan budaya.

Berbeda dengan Samovar yang lebih fokus menjelaskan elemen didalam

budaya, maka Nasrullah (2012:39) lebih fokus kepada lima elemen yang ada

didalam komunikasi antarbudaya, yaitu :

1. Komunikator

47

Komunikator dapat dikatakan sebagai orang yang memulai sebuah

komunikasi. Didalam komunikasi antarbudaya, komunikan

merupakan orang yang memiliki kebudayaan berbeda dengan

komunikannya.

2. Komunikan

Komunikan merupakan sasaran dari komunikator untuk menerima

pesan. Didalam komunikasi antarbudaya komunikan juga harus

memiliki latar belakang yang berbeda.

3. Pesan

Pesan merupakan pusat antara pengirim pesan dan penerima pesan.

Pesan didalam komunikasi antarbudaya merupakan bentuk

pengalihan dari komunikator ke komunikannya.

4. Media

Media disebut juga sebagai saluran yang membawa pesan. Selain

menggunakan media, didalam komunikasi antarbudaya pesan-pesan

tersebut sebenarnya juga bisa disalurkan melalui tatap muka.

5. Efek

Efek dapat disebut juga tanggapan balik dari penerima pesan.

Sejalan dengan Nasrullah yang menyebutkan lima elemen diatas, Liliweri

(2013:25) juga menyatakan hal yang sama tetapi ia menambahkan dua hal lagi

yang termasuk dalam elemen komunikasi antarbudaya, yaitu :

48

1. Suasana

Suasana menjadi suatu hal memiliki pengaruh penting dalam

komunikasi antarbudaya. Suasana dapat berupa tempat atau ruang,

waktu dan suasana (sosial dan psikologis)

2. Gangguan

Dapat dikatakan mengganggu jika pesan yang sebelumnya

disampaikan oleh komunikator memiliki makna yang berbeda

dengan pesan yang diterima.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengkontruksi sebuah speech

code berasal dari bagian-bagian yang terdapat didalam komunikasi dan budaya itu

sendiri. Bagian-bagian tersebut dapat meliputi sejarah, agama, nilai, organisasi

sosial, dan bahasa. Kemudian elemen-elemen lain yang ada didalam komunikasi

antarbudaya adalah komunikator, pesan, medium, komunikan, efek, suasana dan

gangguan. Elemen-elemen tersebut nantinya tergantung pada budaya yang

diikutinya. Kemungkinan besar elemen yang ada didalam suatu budaya akan

berbeda dengan budaya lainnya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa elemen-

elemen yang berbeda disetiap budaya dapat membentuk speech code yang berbeda

juga dan hal tersebut yang akan memunculkan keunikan tersendiri didalam suatu

speech code.

2.4 Proses Adaptasi Speech Code dalam Komunikasi Antarbudaya

49

Dalam kenyataannya setiap orang memiliki sikap dan motivasi yang

berbeda-beda dalam hal beradaptasi dengan budaya barunya. Pada dasarnya

sebuah adaptasi budaya merupakan proses untuk penyampaian pesan dan

penerimaan pesan sehingga bisa terjadi proses encoding dan decoding. Dalam hal

ini terdapat kode-kode yang ditukarkan didalam komunikasi antarbudaya yang

berasal dari interaksi dua budaya tersebut, kode-kode itu bisa berupa pola

komunikasi, norma-norma, gaya berbicara dan lain sebagainya. Permasalahan

paling kompleks yang terjadi didalam komunikasi antarbudaya yaitu berasal dari

pendatang dengan tuan rumahnya. Hubungan antara pendatang dan budaya tuan

rumah dapat menimbulkan ketegangan diantara keduanya, seperti seorang

pendatang ingin menghargai dan mempertahankan budayanya sendiri sekaligus

dengan nilai-nilai dalam budaya tuan rumahnya. Sedangkan budaya tuan rumah

bisa saja menerima atau menolak si pendatang tersebut. Tentu saja hal tersebut

dapat berpengaruh kepada cara berkomunikasi mereka khususnya dalam hal

speech code.

Dapat dikatakan saat seorang pendatang khususnya mahasiswa perantau

dalam proses adaptasinya mereka pasti banyak ditemukan perbedaan. Seperti yang

kita ketahui perbedaan-perbedaan tersebut berasal dari latar belakang budaya yang

berbeda-beda, selain itu setiap dari mereka juga memiliki kepribadian yang

berbeda. Dalam hal ini Berry (1994:278), Martin dan Nakayama (2010:314) serta

50

Samovar (2010:481) sependapat bahwa seorang pendatang dapat berinteraksi

dengan empat cara, diantaranya :

1. Asimilasi

Didalam tipe ini seseorang didalam kebudayaan baru tidak ingin

dirinya terisolasi dengan identitas kebudayaan aslinya justru mereka

ingin menjaga hubungan dengan kelompok budaya barunya. Dapat

dikatakan bahwa disini seseorang lebih mengarah untuk mengadopsi

budaya barunya dibandingkan memegang teguh budaya lamanya.

Asimilasi dapat dikatakan sebagai proses untuk mensetarakan kedua

nilai budaya dengan memasukkan nilai-nilai suatu budaya ke dalam

kelompok budaya. Didalam asimilasi ini seorang pendatang akan

mengalami perubahan yang drastis didalam kebudayaan barunya

karena mereka akan menerima nilai budaya yang baru didalam

kehidupannya. Proses asimilasi ini tentu saja akan berpengaruh pada

speech code seorang pendatang, karena mereka akan mencoba untuk

mengadopsi sebuah budaya baru yang tentu saja speech code-nya akan

berbeda dengan budaya mereka sebelumnya. Jadi dalam berinteraksi

dengan budaya barunya untuk dapat mudah diterima, bisa jadi mereka

meniru dan melakukan hal-hal yang sama dengan budaya barunya

serta tidak lagi menggunakan kebudayaannya yang lama.

51

2. Separasi

Didalam separasi terdapat dua jenis yaitu separasi dan segregasi.

Dalam Martin dan Nakayama menjelaskan bahwa terdapat dua tipe

separasi, yaitu separasi dan segregasi. Separasi merupakan tipe

adaptasi budaya yang masih mempertahankan budaya asalnya dan

menghindari interaksi dengan budaya yang lain, sedangkan segregasi

merupakan keadaan yang dipaksakan dengan alasan kultural oleh

penduduk lokal. Didalam separasi proses adaptasi speech code tidak

dipaksakan dalam artian seorang pendatang masih tetap pada

budayanya sendiri, jadi mereka tetap menggunakan budaya mereka

sebelumnya. Beda halnya dengan segregasi, proses adaptasi speech

code dipaksakan oleh penduduk lokal dengan artian mereka harus

menyamakan cara mereka dalam berkomunikasi tetapi dihambat

dengan perbedaan latar belakang yang ada didalamnya.

3. Integrasi

Didalam tipe ini seorang pendatang tertarik untuk mempertahankan

budayanya sendiri dan sekaligus melakukan interaksi dengan

kelompok budaya lainnya. Tipe integrasi dipandang paling cocok

untuk dalam proses adaptasi speech code dikarenakan seorang

perantau dapat tetap mempertahankan budaya aslinya dan tetap dapat

menyeimbangi atau menyatukan budaya yang berbeda dalam interaksi

dengan budaya barunya.

52

4. Marginalisasi

Didalam tipe ini seorang pendatang tidak memiliki ketertarikan untuk

mempertahankan budaya aslinya maupun budaya barunya. Hal ini

dapat disebabkan jika seorang pendatang tidak menemukan kemiripan

diantara budaya aslinya dengan budayanya yang baru. Seorang

pendatang akan sering mengalami keadaan berupa konflik pribadi dan

juga sosial, Misalnya saja dalam pemaknaan speech code diantara

kedua budaya, ketika mereka tidak menemukan persamaannya dan

tidak menemukan titik tengahnya maka seorang pendatang akan

merasa terasingkan didalam kebudayaan barunya tersebut.

Jadi dapat dikatakan melalui paparan diatas saat melakukan proses adaptasi

speech code seorang pendatang akan mengalami empat tahap yaitu asimilasi,

separasi, intergrasi dan marginalisasi. Keempat tahap tersebut tentunya memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini akan berpengaruh juga pada setiap

pendatang, karena setiap dari mereka memiliki kepribadian dan latar belakang

yang berbeda-beda maka setiap dari mereka akan memiliki tahap yang berbeda

juga dalam adaptasinya. Selain itu empat tahap diatas menjelaskan bahwa proses

adaptasi speech code memungkinkan untuk para pendatang untuk meniru,

mengimbangi serta tetap berdiri pada kebudayaan aslinya.