Budaya organisasi dan budaya kerja

54
BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KERJA (Studi Kasus : BALITBANG Departemen Pertahana RI) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu antropologi. Sekitar tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan organisasi. Andrew Pettigrew (dalam Sopiah, 2008) dalam tulisannya di Journal Science Quarterly yang memuat istilah organizational corporate culture mendapat perhatian yang cukup luas baik dari kalangan akademisi, praktisi bisnis maupun organization theoritist. Memahami konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Belum adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang study budaya organisasi inipun dapat dikatakan masih berusia muda. Linda Smircich (1983) dalam Sopiah (2008) mengatakan bahwa ada 2 kubu berkaitan dengan budaya organisasi. Kubu pertama berpandangan bahwa, ”Organization is a culture.” dan kubu yang kedua berpandangan bahwa ”Organization has culture.” Kubu pertama menganggap bahwa budaya organisasi adalah hasil budaya. Oleh karenanya aliran ini menekankan pada pentingnya penjelasan deskriptif atas sebuah organisasi. Sebaliknya, aliran yang kedua justru memberikan penekanan pada faktor penyebab terjadinya budaya dalam organisasi dan implikasinya terhadap organisasi tersebut, misalnya dengan melakukan pendekatan manajerial. Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan segala sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wheelen & Hunger (tanpa tahun) dalam Nimran (1997). Sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya perusahaan adalah; (a) Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan, (b) Dipakai untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi, (c) Membantu stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial, (d) Menyajikan prilaku sebagai hasil dari norma perilaku yang dibentuk.

description

 

Transcript of Budaya organisasi dan budaya kerja

Page 1: Budaya organisasi dan budaya kerja

BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KERJA (Studi Kasus : BALITBANG Departemen Pertahana RI)

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDisiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu antropologi. Sekitar tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan organisasi. Andrew Pettigrew (dalam Sopiah, 2008) dalam tulisannya di Journal Science Quarterly yang memuat istilah organizational corporate culture mendapat perhatian yang cukup luas baik dari kalangan akademisi, praktisi bisnis maupun organization theoritist.Memahami konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Belum adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang study budaya organisasi inipun dapat dikatakan masih berusia muda.Linda Smircich (1983) dalam Sopiah (2008) mengatakan bahwa ada 2 kubu berkaitan dengan budaya organisasi. Kubu pertama berpandangan bahwa, ”Organization is a culture.” dan kubu yang kedua berpandangan bahwa ”Organization has culture.” Kubu pertama menganggap bahwa budaya organisasi adalah hasil budaya. Oleh karenanya aliran ini menekankan pada pentingnya penjelasan deskriptif atas sebuah organisasi. Sebaliknya, aliran yang kedua justru memberikan penekanan pada faktor penyebab terjadinya budaya dalam organisasi dan implikasinya terhadap organisasi tersebut, misalnya dengan melakukan pendekatan manajerial.Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan segala sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Wheelen & Hunger (tanpa tahun) dalam Nimran (1997). Sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya perusahaan adalah; (a) Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan, (b) Dipakai untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi, (c) Membantu stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial, (d) Menyajikan prilaku sebagai hasil dari norma perilaku yang dibentuk.Berbagai praktik di atas dapat memperkuat budaya organisasi dan memastikan karyawan yang bekerja sesuai dengan organisasi, memberi imbalan sesuai dukungan yang diberikan. Sosialisasi yang efektif akan menghasilkan kepuasan kerja, komitmen organisasi, rasa percaya diri pada pekerjaan, mengurangi tekanan serta kemungkinan keluar dari pekerjaan (Peters, 1997, dalam Nurfarhati, 1999). Beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi untuk mempertahankan budaya organisasi adalah menyusun asumsi dasar, menyatakan dan memperkuat nilai yang diinginkan dan menyosialisasikannya melalui contoh (Hellregel, 1996, dalam Nurfarhati, 1999). Secara konseptual, sesungguhnya bangsa Indonesia ini sudah memiliki budaya kerja dalam pengertian sebagai pola bagi tindakan. Dalam relasinya dengan dunia kerja masyarakat sudah memiliki dasar-dasar untuk bekerja keras. Teks kerja keras tersebut dapat dilihat di dalam kaitannya dengan ajaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawai dan ukhrowi. Seseorang tidak saja harus sepenuhnya mencari kebahagiaan di akhirat tetapi juga harus mencari kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi. Nabi Muhammad saw juga menyatakan: ”bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”. Hadits ini mengandung makna bahwa Islam mengajarkan keseimbangan agar seseorang tidak hanya memilih salah satu

Page 2: Budaya organisasi dan budaya kerja

sebagai jalan hidupnya tetapi juga menjaga keseimbangan di dalamnya. Kepentingan dunia didahulukan bukan dinomorsatukan karena kita memang hidup di dunia dan kepentingan akhirat juga didahulukan bukan dinomor duakan karena semua akan kembali ke sana.

1.2 Rumusan MasalahMengetahui apa itu budaya organisasi dan budaya kerja beserta studi kasusnya. Mahasiswa dituntut mengerti apa yang diperlukan dalam menciptakan budaya organisasi dan budata kerja baik itu sumber daya manusia/sumber daya perusahaan.

1.3 TujuanMemberikan informasi kepada kita mulai dari pengertian budaya dan kebudayaan, pengertian budaya organisasi, pengertian budaya kerja, manfaat budaya organisasi dan budaya kerja dan juga pengaruhnya terhadap perusahaan.

1.4 Manfaat• Mahasiswa dapat menggunakan penjelasan ini untuk di implementasikan/bekerja pada perusahaan.• Mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang diperlukan dalam menciptakan budaya organisasi dan budaya kerja.• Mengetahui manfaat dan karakteristik dalam budaya organisasi dan budaya kerja.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya Dan KebudayaanBudaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Page 3: Budaya organisasi dan budaya kerja

2.2 Pengertian Budaya Organisasi

Setiap organisasi tentunya memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai budaya organisasi. Menurut Robbins (1999) budaya organisasi adalah sistem nilai bersama dalam suatu organisasi yang menentukan tingkat bagaimana para karyawan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi juga didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai yang mempedomani sumber daya manusia dalam menghadapi permasalahan eksternal dan usaha memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana mereka harus bertindak dan bertingkah laku (Susanto, 1997).Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya organisasinya, karena pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan, baik perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal maupun kegiatan impleentasi perencanaan, dimana setiap kegiatan tersebut harus berdasar pada budaya organisasi.

2.3 Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Budaya Organisasi

Hasil penelitian yang dilakukan O’Reilly, Chatman dan Cadwel (1991) dan Sheridan (1992) menunjukan arti pentingnya nilai budaya organisasi dalam mempengaruhi prilaku dan sikap individu. Hasil penelitian tersebut memberikan indikasi bahwa terdapat hubungan antara person-organization fit dengan tingkat kepuasaan kerja, komitmen dan turnover karyawan, dimana individu yang sesuai dengan budaya organisasi memiliki kecendrungan untuk mempunyai kepuasan kerja dan komitmen tinggi pada organisasi, dan juga memiliki intensitas tinggi untuk tetaptinggal dan bekerja di organisasi, sebaliknya individu yang tidak sesuai dengan budaya organisasi cenderung untuk mempunyai kepuasaan kerja dan komitmen yang rendah, akibatnya kecendrungan untuk meninggalkan organisai tentu saja lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa nilai budaya secara signifikan mempengaruhi efektifitas organisasi melalui peningkatan kualitas output dan mengurangi biaya pengadaantenaga kerja.

Dengan memahamidan menyadari arti penting budaya organisasi bagi setiap individu, akan mendorong para manajer/ pimpinan menciptakan kultur yang menekankan pada interpersonal relationship (yang lebih menarik lagi) di banding dengan kultur yang menekankan pada work task. Menurut Robbins ( 1993 ) ada sepuluh karateristik kunci yang merupakan inti budaya organisasi,yakni:1. Member identity, yaitu identitas anggota dalam organisasi secara keseluruhan, dibandingkan dengan identitas dalam kelompok kerja atau bidang profesi masing-masing.2. Group emphasis, yaitu seberapa besar aktivitas kerja bersama lebih ditekankan dari pada kerja individual3. People focus, yaitu seberapa jauh keputusan manajemen yang di ambil digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tersebut bagi anggota organisasi.4. Unit integration, yaitu seberapa jauh unit-unit di dalam organisasi dikondisikan untuk beroperasi secara terkondisi.5. control, yaitu banyaknya/jumlah peraturan dan pengawasan langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan prilaku karyawan.6. Risk tolerance, yaitu besarnya dorongan terhadap karyawan untuk menjadilebih agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.

Page 4: Budaya organisasi dan budaya kerja

7. Reward criteria, yaitu berapa besar imbalan di alokasikan sesuai dengan kinerja karyawan di bandingkan alokasi berdasarkan senioritas, favoritism, atau factor-faktor non kinerja lainya.8. Conflict tolerance,yaitu besarnya dorongan yang diberikan kepada karyawan untuk bersikap terbuka terhadap konfik dan kritik.9. Means-endsorientation, yaitu intensitas manajeman dalam menekankan pada penyabab atau hasil, dibandingkan pada teknik dan proses yang di gunakan untuk mengembangkan hasil.10. Open-system focus, yaitu besarnya pengawasan organisasidan respon yang di berikan untuk mengubah lingkungan eksternal.

2.4 Manfaat Budaya Organisasi

Kesinambungan organisasi sangat tergantung pada budaya yang dimiliki. Sutanto ( 1997 ) mengemukan bahwa budaya organisasi perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai daya pun dapat berfungsisebagai rantai pengikat dalam proses menyamakan persepsi angota / karyawan terhadap suatu permasalahan, sehingga akan menjadi suatu kekuatan dalampencapaian tujuan organisasi

Beberapa manfaat budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1993), yaitu:1. membatasi peran yang membadakan antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain karena setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda2. menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota3. mementingkan tujuan bersama dari pada mengutamakan kepentingan individu4. menjaga stabilitas organisasi.

2.5 Dimensi-dimensi Budaya OrganisasiTerdapat banyak dimensi yang membedakan budaya. Dimensi ni mempengaruhi perilaku yang mengakibatkan kekeliruan pemahaman, ketidak sepakatan atau bahkan konflik (Erly, 1993, dalam Gibson, 1996). Gibson (1996) menyebutkan 7 dimensi budaya, yaitu hubungan manusia dengan alam, individualisme versus kolektivisme, orientasi waktu, orientasi aktivitas, informalitas, bahasa dan kepercayaan.Sedangkan dimensi-dimensi yang digunakan untuk membedakan budaya organisasi, menurut Robbins (1996) ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu: (1) Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan berani mengambil resiko. (2) Perhatian ke hal yang rinci. Sejauh mana para karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan, anaisis dan perhatian kepada rincian. (3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen fokus pada hasil, bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil itu. (4) Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil dari orang-orang di dalam organisasi itu. (5) Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja, bukannya individu-individu. (6) Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif, bukan bersantai. (7) Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankanya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi. Luthans (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik yang penting dari budaya organisasi, yang meliputi:1. Aturan-aturan perilakuYaitu bahasa, terminologi dan ritual yang biasa dipergunakan oleh anggota organisasi.2. Norma

Page 5: Budaya organisasi dan budaya kerja

Adalah standar perilaku yang meliputi petunjuk bagaimana melakukan sesuatu. Lebih jauh di masyarakat kita kenal adanya norma agama, norma sosial, norma susila, norma adat, dll. 3. Nilai-nilai dominanAdalah nilai utama yang diharapkan dari organisasi untuk dikerjakan oleh para anggota, misalnya tingginya kualitas produk, rendahnya tingkat absensi, tingginya produktivitas dan efisiensi, serta tingginya disiplin kerja.4. FilosofAdalah kebijakan yang dipercaya organisasi tentang hal-hal yang disukai para keryawan dan pelanggannya, seperti ”Kepuasan Anda adalah harapan Kami”, ”Konsumen adalah Raja”,dll.5. Peraturan-peraturanAdalah aturan yang tegas dari organisasi. Pegawai baru harus mempelajari peraturan ini agar keberadaannya dapat diterima di dalam organisasi.6. Iklim OrganisasiAdalah keseluruhan ”perasaan” yang meliputi hal-hal fisik, bagaimana para anggota berinteraksi dan bagaimana para anggota organisasi mengendalikan diri dalam berhubungan dengan pelanggan atau pihak luar organisasi. 2.6 Karakteristik Budaya OrganisasiAda beberapa karakteristik budaya organisasi yang perlu mendapatkan perhatian dari perusahaan, antara lain:1. Kepemimpinan. Pengertian kepemimpinan yaitu sebagai proses mempengaruhi segala aktivitas ke arah pencapaian suatu tujuan organisasi. Kepemimpinan seorang pemimpin diharapkan dapat menjadikan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu perubahan pada budaya kerja sebuah organisasional. Perubahan budaya kerja yang slow down diharapkan dapat diubah dengan budaya produktif karena pengaruh kepemimpinan atasan yang lebih mengutamakan pada otonomi atau kemandirian para anggota. Diharapkan pula adanya otonomi tersebut dapat menjadikan para anggotanya menjadi lebih inovatif dan kreatif, dalam pengambilan keputusan dan kerja sama. Kepemimpinan memegang peranan penting dalam budaya organisasi, terutama pada organisasi yang budaya organisasinya lemah. 2. Inovasi.Dalam mengerjakan tugas-tugas, organisasi lebih berorientasi pada pola pendekatan ”pakai tradisi yang ada” dan memakai metode-metode yang teruji atau pemberian keleluasaan kepada anggotanya untuk menerapakan cara-cara baru melalui eksperimen.3. Inisiatif individu. Inisiatif individu meliputi tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, yaitu kewenangan dalam menjalankan tugas dan seberapa besar kebebasan dalam mengambil keputusan.4. Toleransi terhadap resiko. Dalam budaya organisasi manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif, dan mampu dalam menghadapi resiko di dalam pekerjaannya.5. Pengarahan yaitu kejelasan organisasi dalam menentukan sasaran dan harapan terhadap sumber daya manusia atas hasil kerjanya. Harapan dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas, dan waktu penyelesaian. 6. Integrasi. Integrasi di sini adalah bagaimana unit-unit di dalam organisasi didorong untuk menjalankan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik, yaitu seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama di tekankan dan seberapa dalam rasa saling ketergantungan antar sumber daya manusia ditanamkan.7. Dukungan manajemen. Seberapa baik manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugas.

Page 6: Budaya organisasi dan budaya kerja

8. Pengawasan. Meliputi peraturan-peraturan dan supervise langsung yang digunakan oleh manajeman untuk melihat secara keseluruhan perilaku anggota organisasi. 9. Identitas. Identitas adalah pemahaman anggota organisasi yang memihak kepada organisasinya secara penuh. Misalnya, seseorang anggota organisasi yang dibangunkan dari tidurnya dan ditanya siapa dirinya? Maka jika dia menjawab “saya adalah anggota organisasi X,” berarti dia telah menjadikan organisasi tersebut sebagai bagian dari identitas dirinya. 10. Sistem penghargaan. Sistem penghargaan berbicara tentang alokasi “reward”(biasanya dikaitkan dengan kenaikan gaji dan promosi) sesuai kinerja karyawan. 11. Toleransi terhadap konflik. Adanya usaha mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi. Jika toleransinya tinggi, maka perdebatan dalam pertemuan adalah wajar. Tetapi jika perusahaan toleransi konfliknya rendah, maka karyawan akan menghindari perdebatan dan akan menggerutu di belakang. 12. Pola komunikasi. Maksud dari pola komunikasi di sini adalah komunkasi yang terbatas pada hirarki formal dari setiap organisasi.Kedua belas karakteristik di atas dapat menjadi ukuran bagi setiap perusahaan untuk mencapai sasarannya dan menjadi ukuran bagi karyawan dalam manilai perusahaan tempat mereka bekerja. Misalnya, dukungan manajeman merupakan ukuran penilaian terhadap perilaku kepemimpinan dari setiap manajer.2.7 Pengertian Budaya KerjaBudaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi, MM dan Drs. Tri Guno, LLM )Secara konseptual, budaya kerja secara tekstual tersebut dapat digambarkan, yaitu:1. Integritas dan profesionalisme, yaitu konsisten dalam kata dan perbuatan serta ahli dalam bidangnya. Orang yang memiliki integritas kepribadian, maka dia akan melakukan sesuatu yang sesuai antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Kepribadian ini muncul dari keyakinan bahwa bekerja tidak semata untuk meraih prestasi keduniawaian tetapi juga memiliki makna keukhrawian atau ibadah. Bekerja yang didasari oleh semangat ibadah akan menyebabkan orang bekerja tanpa pamrih untuk kepentingan individu tetapi untuk kepentingan kebersamaan. Selain itu juga memiliki kemampuan yang seimbang. Dia akan bekerja dengan pengetahuan, sikap dan keahliannya.2. Kepemimpinan dan keteladanan, yaitu mampu mendayagunakan kemampuan potensi bawahan secara optimal. Jika ketepatan diberi kekuatan untuk menjadi pemimpin maka tidak akan memanfaatkannya untuk bekerja secara otoriter tetapi secara partisipatif. Seseorang akan secara maksimal mendayagunakan bawahannya sebagai partner untuk mencapai visi dan misi institusi. Selain itu juga berlaku sebagai teladan. Menjadi teladan dalam kerja keras, tanggungjawab, dan kedisiplinan dan sebagainya. Sebagaimana para Nabi yang dicontohkan di dalam teks suci bahwa ”pada diri Nabi adalah contoh dan tauladan yang baik”. Para pemimpin sesungguhnya adalah pewaris para teladan sejati dalam kehidupan ini.3. Kebersamaan dan dinamika kelompok, yaitu mendorong agar cara kerjanya tidak bersifast individual dan pusat kekuasaan tidak pada satu tangan. Sesuatu yang sangat sulit di dalam relasi kerja adalah membangun kerja sama dalam kerja kelompok. Meskipun manusia itu tahu bahwa tidak mungkin urusan diselesaikan secara individual, namun demikian ketika harus bekerja sama terkadang mengalami kesulitan. Bayangkan saja tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya secara sendiri kecuali dalam relasinya dengan

Page 7: Budaya organisasi dan budaya kerja

manusia lainnya. Ada ungkapan yang bagus yaitu TEAM, Together Everyone Achieve More. Justru melalui kebersamaan seseorang akan mendapatkan lebih banyak.4. Ketepatan dan kecepatan, yaitu adanya kepastian waktu, kuantitas, kualitas dan finasial yang dibutuhkan. Prinsip yang harus dijadikan sebagai pedoman adalah semakin cepat semakin baik. Prinsip pelayanan yang harus dikembangkan dalam suatu institusi adalah pelayanan prima yang berbasis kecepatan dan ketepatan. Bukan prinsip gremet-gremet angger slamet atau lambat-lambat tetapi selamat, tetapi cepet-cepet angger selamet. Makanya yang diperlukan adalah kecepatan dan ketepatan. Kerja yang cepat dan tepat merupakan kerja yang menggunakan keturukuran yang jelas. Jika pekerjaan bisa diselesaikan sehari maka akan diselesaikannya tepat waktu. Jika pekerjaan itu menghabiskan anggaran tertentu, maka akan dilaksanakan sesuai dengan ukuran anggaran yang tepat. Jika bisa seperti itu maka tidak akan terjadi kasus mark up dan sebagainya, juga bukan kerja yang menjadikan sesuatu yang mudah menjadi sulit dan sebagainya.5. Rasionalitas dan kecerdasan emosi, yaitu keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional. Ternyata di dalam kehidupan ini yang dibutuhkan bukan sekedar orang yang cerdas secara intelektual saja. Kenyataannya banyak orang yang cerdas intelektual tetapi justru tidak berhasil dalam kehidupannya. Kehidupan ini bukan hanya membutuhkan logika akan tetapi juga kecerdasan emosi yang didasari oleh pemahaman tentang perasaan dan kemanusiaan. Melalui kecerdasan logika manusia akan menyatakan ya atau tidak. Akan tetapi untuk menyatakan ya atau tidak tentu dibutuhkan pertimbangan kemanusiaan. Melalui keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional maka akan memunculkan keteguhan dan ketegasan. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah kecerdasan spiritual yang berbasis pada keyakinan dan moralitas kebaikan. Dengan menggabungkan ketiganya dalam kerja maka seseorang akan bisa meraih kebahagiaan yang memadai.2.8 Tujuan Atau Manfaat Budaya KerjaBudaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :1. meningkatkan jiwa gotong royong2. meningkatkan kebersamaan3. saling terbuka satu sama lain4. meningkatkan jiwa kekeluargaan5. meningkatkan rasa kekeluargaan6. membangun komunikasi yang lebih baik7. meningkatkan produktivitas kerja8. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.2.9 Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja sudah banyak dilakukan di masa lalu, baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik pada organisasi bisnis maupun pada organisasi publik. Peneliti Kotter dan Heskett (1997) yang berjudul Corporate Culture and Performance menyimpulkan bahwa (1) Budaya perusahaan mempunyai pengaruh yang sangat dominant terhadap sukses tidaknya perusahaan membangun kinerja karyawan. (2) Budaya organisasi mempunyai dampak positif terhadap kinerja ekonomi perusahaan. (3) Budaya organisasi dapat diciptakan dan dibentuk untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Page 8: Budaya organisasi dan budaya kerja

Studi di Indonesia yang dilakukan oleh NurFarhati (1999) menyimpulkan bahwa: (1) Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang erat dengan kinerja karyawan. (2) Budaya organisasi, yang terdiri dari inovasi dan kepedulian, perilaku pemimpin dan orientasi tim, berpengaruh terhadap kinerja karyawan.2.10 Pengaruh Budaya Organisas Terhadap Kepuasan dan Dampaknya Terhadap Kinerja. Budaya memiliki arti penting dalam organisasi. Proposisi yang diajukan oleh Chuang, Church dan Zikic (2004), yakni kesesuaian budaya organisasi akan dapat mengurangi terjadinya konfllik, baik yang terkait dengan pekerjaan maupun yang terkait dengan hubungan antarindividu. Temuan Tepeci (2001) mengungkapkan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kerja, tingkat keinginan untuk tetap bertahan pada organisasi dan kemauan untuk memberikan rekomendasi kepada pihak lain Selanjutnya Rao (1996) menambahkan bahwa ada beberapa hal yang mampu membuat karyawan mau lebih beprestasi dalam bekerja, yaitu: (1) Karyawan akan bekerja keras apabila merasa dibutuhkan oleh organisasi. (2) Karyawan akan bekerja lebih baik apabila mereka mengerti dengan jelas apa yang diharapkan dari mereka dan apabila sekali mereka berwenang mengubah harapan-harapan itu. (3) Karyawan akan bekerja lebih apabila mereka untuk dihargai dan diberi ganjaran. (4) Karyawan akan bekerja lenih baik apabila mereka mengetahui mempergunakan kemampuan mereka, dan (5) Karyawan akan bekerja lebih baik apabila mereka dipercaya karena dipengaruhi budaya organisasi yang baik dan berdampak terhadap kepuasan kerja itu sendiri yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja mereka.Dari uraian di atas dan berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris budaza organisasi mempengaruhi kerja dan berdampak terhadap kinerja karyawan.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanOganisasi tentunya memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai budaya organisasi. Menurut Robbins (1999) budaya organisasi adalah sistem nilai bersama dalam suatu organisasi yang menentukan tingkat bagaimana para karyawan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi juga didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai yang memedomani sumber daya manusia dalam menghadapi permasalahan eksternal dan usaha memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana mereka harus bertindak dan bertingkah laku (Susanto, 1997).

Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya organisasinya, karena pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan, baik perencanaan yang bersifat strategis dan taktikal maupun kegiatan impleentasi perencanaan, dimana setiap kegiatan tersebut harus berdasar pada budaya organisasi.Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja sudah banyak dilakukan di masa lalu, baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di luar negeri, baik pada organisasi bisnis maupun pada organisasi publik. Peneliti Kotter dan Heskett (1997) yang berjudul Corporate Culture and Performance menyimpulkan bahwa (1) Budaya perusahaan mempunyai pengaruh yang sangat

Page 9: Budaya organisasi dan budaya kerja

dominant terhadap sukses tidaknya perusahaan membangun kinerja karyawan. (2) Budaya organisasi mempunyai dampak positif terhadap kinerja ekonomi perusahaan. (3) Budaya organisasi dapat diciptakan dan dibentuk untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Studi KasusPENERAPAN “BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KERJA”BALITBANG DEPHAN GUNA MEWUJUDKAN KINERJA YANG OPTIMALTanggal Terbit: Desember 2009Tanggal Pengambilan: 23 Desember 2009

PendahuluanKeberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sangat tergantung kepada Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini personil yang mengawakinya. Balitbang Dephan melalui Keputusan Menteri Pertahanan RI Nomor : Kep/19/M/XII/2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan penelitian, pengkajian dan pengembangan bidang Strategi dan Sistem Pertahanan, Peningkatan Sumber Daya Manusia, Penerapan Iptek Pertahanan dan Pemberdayaan Industri Nasional dalam rangka Pertahanan Negara.Sebagai institusi ilmiah, Balitbang Dephan memiliki tanggung jawab dalam memanfaatkan, menguasai dan mengembangkan iptek pertahanan. Dalam mendukung pertahanan negara, tugas dan tanggung jawab Balitbang Dephan semakin strategis dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pada pasal 23 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan” selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan bahwa “ Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Menteri mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan”. Ini berarti bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan (Litbang) memiliki arti yang sangat penting dan strategis dalam rangka pengembangan iptek pertahanan karena pengembangan iptek pertahanan memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat kemampuan penyelenggaraan pertahanan negara. Hal lain yang memperkuat pentingnya peranan Balitbang Dephan dalam mewujud-kan pertahanan negara, salah satu program kabinet Indonesia Bersatu adalah “mewujudkan kemandirian di bidang industri pertahanan”. Sejalan dengan uraian tersebut maka guna mewujudkan keberhasilan tugas pokok dan fungsi Balitbang Dephan diperlukan dukungan SDM (Pesonel) yang profesional di bidang masing-masing guna mewujudkan kinerja yang optimal.Landasan Teori Budaya OrganisasiSeperti halnya pengertian motivasi dan kepemimpinan, pengertian budaya organisasi banyak diungkapkan oleh para ilmuwan yang merupakan ahli dalam ilmu budaya organisasi, namun masih sedikit kesepahaman tentang arti konsep budaya organisasi atau bagaimana budayaorganisasi harus diobservasi dan diukur (Brahmasari, 2004). Lebih lanjut Brahmasari (2004:16) mengemukakan bahwa hal tersebut dikarenakan oleh kurangnya kesepahaman tentang formulasi teori tentang budaya organisasi, gambarannya, dan kemungkinan hubungannya dengan dampak kinerja.

Page 10: Budaya organisasi dan budaya kerja

Ndraha (2003:4) dalam Brahmasari (2004:12) mengemukakan bahwa budaya perusahaan (corporate culture) merupakan aplikasi dari budaya organisasi (organizational culture) terhadap badan usaha atau perusahaan. Kedua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama secara bergantian. Marcoulides dan Heck (1993) dalam Brahmasari (2004:16) mengemukakan bahwa budaya organisasi sebagai suatu konsep dapat menjadi suatu sarana untuk mengukur kesesuaian dari tujuan organisasi, strategi dan organisasi tugas, serta dampak yang dihasilkan. Tanpa ukuran yang valid dan reliabel dari aspek kritis budaya organisasi, maka pernyataan tentang dampak budaya pada kinerja akan terus Brahmasari: Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi berdasarkan pada spekulasi, observasi personal dan studi kasusGlaser et al. (1987) dalam Koesmono (2005:9) mengemukakan bahwa budaya organisasional seringkali digambarkan dalam arti yang dimiliki bersama. Pola-pola dari kepercayaan, simbol-simbol, ritualritual, dan mitor-mitos yang berkembang dari waktu ke waktu dan berfungsi sebagai perekat yang menyatukan organisasi. Hofstede (1986:21) dalam Koesmono (2005:9) mengemukakan bahwa budaya dapat didefinisikan sebagai berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompokkelompok orang dalam lingkungannya. Tika (2006:16) mengemukakan bahwa dalam pembentukan budaya organisasi ada ua hal penting yang harus diperhatikan yaitu unsur-unsur pembentuk budaya organisasi dan proses pembentukan budaya organisasi itu sendiri.Sementara itu Robbins (1996) dalam Tika (2006:20-21) menjelaskan mengenai 3 (tiga) kekuatan untuk mempertahankan suatu budaya organisasi sebagai berikut: (1) Praktik seleksi, proses seleksi bertujuan mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses dalam organisasi. (2) Manajemen puncak, tindakan manajemen puncak mempunyai dampak besar pada budaya organisasi.Ucapan dan perilaku mereka dalam melaksanakan norma-norma sangat berpengaruh terhadap anggota organisasi. (3) Sosialisasi, sosialisasi dimaksudkan agar para karyawan baru dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Proses sosialisasi ini meliputi tiga tahap yaitu tahap kedatangan, tahap pertemuan, dan tahap metromofis.Selanjutnya Tika (2006:21) memberikan kesimpulan tentang proses pembentukan budaya organisasi melalui 4 (empat) tahapan, yaitu tahap pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi dengan kelompok/perorangan dalam organisasi. Pada tahap kedua adalah dari interaksi menimbulkan ide yang ditransformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi. Tahap ketiga adalah bahwa artifak, nilai, dan asumsi akan diimplementasikan sehingga membentuk budaya organisasi. Tahap terakhir adalah bahwa dalam rangka mempertahankan budaya organisasi dilakukan pembelajaran (learning) kepada anggota baru dalam organisasi.Hofstide (1997) dalam Munandar, Sjabadhyni, dan Wutun (2004:20) mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai 5 (lima) ciri-ciri pokok yaitu:(1) Budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait, (2) Budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan, (3) Budaya organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan, (4) Budaza organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut,(5) Budaya organisasi sulit diubah.

Page 11: Budaya organisasi dan budaya kerja

Budaya organisasi dan Budaya Kerja Balitbang Dephan.Dengan bergulirnya reorganisasi Departemen Pertahanan, salah satu institusi Litbang Dephan pun mengalami perubahan nama yang semula BPPIT (Badan Pengkajian dan Penerapan Industri dan Teknologi) berubah menjadi Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) sesuai dengan Kep Menhan Nomor: Kepmen/19/XII/2000 tanggal 29 Desember 2000 bersamaan dengan perubahan nama tersebut, telah terjadi pergantian pimpinan yang dijabat oleh Bapak DR. H. Soefjan Tsauri, M.Sc (Mantan Ketua LIPI) yang telah membawa nuansa baru dengan dicanangkannya “Budaya Kerja Balitbang Dephan” yang dirumuskan dengan tiga kata yaitu “Kebersamaam, Keterbukaan dan Profesionalisme” dan diikuti oleh motto “menjadikan Balitbang Dephan suatu institusi “Elite yang senantiasa berkembang dan dapat dibanggakan” Suatu rumusan kalimat yang singkat namun mengandung makna padat dengan harapan dapat memberikan motivasi dan semangat seluruh anggota Balitbang Dephan dalam mewujud-kan kinerja yang optimal sehingga tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.Hakekat Budaya Kerja “Kebersamaan, Keterbukaan dan Profesionalisme”.Budaya kerja Balitbang Dephan telah disosialisasikan kepada seluruh anggota Balitbang Dephan. Satu hal yang menjadi pertanyaan di sini adalah: Sudahkah Budaya Kerja tersebut diterapkan dalam pelaksanan tugas sehari-hari oleh seluruh anggota Balitbang Dephan, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu memahami makna dan hakekat dari Budaya Kerja “Kebersamaan, Keterbukaan dan Profesionalisme” tersebut.

Hakekat Budaya Organisasi dan Budaya Kerja Organisasi.Dijelaskan oleh Drs. Gering Supriyadi, MM dalam “Budaya Kerja Organisasi Pemerintahan”, budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong yang tercermin dari sikap, perilaku, kepercayaan dan cita-cita kemudian diwujudkan dalam kerja. Menurut Prof. DR. Wan Usman, M.A, dalam Modul Manajemen Strategik KSKN, Pasca sarjana UI, disebutkan bahwa “Budaya Organisasi adalah suatu himpunan asumsi penting dari suatu kebiasaan yang dinyatakan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang dianut oleh para anggotanya dan dijadikan acuan dalam mencapai tujuan organisasi. Dijelaskan lebih lanjut bahwa budaya organisasi mirip dengan kepribadian individu yang ditampakkan dengan cara seseorang bertindak, bagaimana cara-cara organisasi berkomunikasi, baik di dalam maupun di luar organissasi. Dalam mengimplemen-tasikan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan strategi suatu organisasi budaya organisasi ikut berperan. Memahami makna tersebut maka Balitbang Dephan yang telah memiliki budaya kerja organisasi, hendaknya dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi setiap anggota dalam mewujudkan visi, misi, tujuan, sasaran kebijakan dan strategi yang telah dirumuskan dalam perencanaan strategik Balitbang Dephan agar dapat terwujud secara efektif dan efisien.

Hakekat KebersamaanSecara Harfiah kebersamaan berasal dari kata dasar “sama” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “tidak berbeda, tidak berlainan” atau “keadaan sepadan, sebanding, seimbangan dan setara”. Selanjutnya kebersamaan berarti menjadikan dirinya sama, sepadan, sebanding dan tidak berlainan dengan orang lain sehingga mencapai keserasian dan keselarasan (keharmoni-san). Konsep kebersamaan dapat diterapkan pada seluruh aspek kehidupan, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Dalam bidang organisasi

Page 12: Budaya organisasi dan budaya kerja

istilah kebersamaan lebih tepat dan diidentikkan dengan kata “bekerja sama”. Penjabaran kata bekerja sama dapat diwujudkan dengan berbagai macam makna sesuai dengan konteks kalimat dan kepentingannya.Dijelaskan oleh Chester S. Bernard (terjemahan) dalam “Pengantar Manajemen Umum” oleh Muhammad Abdul Muhyi, organisasi yaitu bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama, sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Dijelaskan lebih lanjut unsur-unsur dasar yang membentuk organisasi yaitu adanya tujuan dua orang atau lebih adanya pembagian tugas dan adanya kehendak untuk bekerja sama. Menyimak penjelasan pada “Penerapan Manajemen Modern di lingkungan Pemerintah”, bahwa keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang memiliki etos kerja baik, berfikir analitis, tidak bersikap sektoral, partisipatif, dapat memadukan sistem yang ada dan dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja. Dari dua pendapat tersebut, mengandung makna pentingnya kebersamaan/kerja sama antar anggota dalam suatu organisasi.Di lingkungan budaya jawa, makna kebersamaan terangkum dalam pepatah “Rumongso melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sariro hangrasa wani”, dapat diterjemahkan sebagai “Rasa ikut memiliki, kekeluargaan dan keintegrasian, melu hangrungkebi berarti “apa yang kita miliki bersama jangan sampai terlepas dan kita pegang teguh (kegotong-royongan dan komitmen). Makna mulat sariro hangroso wani, berarti “keberanian untuk bisa introspeksi diri atau mawas diri “ berusaha untuk mengakui kesalahan diri sendiri dan berusaha memperbaiki dengan kemampuan dan kepercayaan diri. Makna dari pepatah tersebut dalam bahasa inggris dapat diterjemahkan dengan kata-kata “Sense of belonging, sense of responsibility dan accountability and looking into on self, having the courage to face any challenge”.

Hakekat KeterbukaanMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara harfiah kata ‘terbuka” berarti tidak tertutup, tersingkap, tidak terbatas pada orang tertentu saja, tidak dirahasiakan”. Keterbukaan diartikan sebagai toleransi dan membuka diri untuk orang lain, dalam rangka menjalin hubungan untuk berkomunikasi dan saling berinteraksi, mau menerima saran dan masukan dari orang lain. Dijelaskan dalam “PengantarManajemen Umum” bahwa “suatu organisasi yang berhasil guna dan berdaya guna senantiasa memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka (open manajemen) menerapkan birokrasi yang transparan dan memperhatikan keterkaitan antara sistem internal organisasi dengan sistem eksternal lingkungannya”. Dengan sistem keterbukaan dalam organisasi, akan lebih meningkatkan peran serta dan aktualisasi diri bagi setiap anggotanya, menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya sehingga ikut bertanggung jawab tercapainya tujuan organisasi. Demikian halnya kata kebersamaan, kata keterbukaan dapat diimplemen-tasikan pada seluruh aspek kehidupan, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Bergulirnya era reformasi saat ini, tuntutan akan keterbukaan di segala bidang kehidupan semakin meningkat. Partisipasi masyarakat semakin meningkat, harus diarahkan pada jalur yang benar (sesuai norma yang ada) dan secara proporsional menuju peningkatan manajemen yang lebih baik.

Hakekat Profesionalisme.Istilah profesionalisme sudah akrab didengar, utamanya di lingkungan kerja, namun tidak ada salahnya untuk menguraikan makna yang terkandung dalam kata profesionalisme. Menurut

Page 13: Budaya organisasi dan budaya kerja

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata profesionalisme berasal dari kata “profesi yang berarti bidang pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian, (keterampilan, kejuruan dan lain-lain) tertentu. Selanjutnya profesionalisme berarti, mutu, kualitas atau tindak-tanduk / unjuk kerja yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional di bidangnya.Untuk mewujudkan profesionalisme yang optimal tentunya tidak hanya knowledge, skill, attitude namun faktor yang perlu dipertimbangkan dan cukup berpengaruh adalah situasi dan kondisi kerja yang kondusif, hubungan inter personal yang komunikatif dan “team work”/ kerja sama yang solid.

Penerapan Budaya Kerja Balitbang Dephan dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi.Dari uraian tentang hakekat budaya kerja “Kebersamaan, Keterbukaan dan Profesionalisme”, selanjutnya penulis mencoba menjabarkannya untuk dapat diaplikasikan sesuai tugas dan fungsi dalam bidang masing-masing.

a. Budaya kebersamaan, diaplikasi-kan sebagai berikut :o Dapat bekerja sama dengan siapapun, dimanapun berada, kapan pelaksanaanya dan dalam situasi yang bagaimanapun merupakan kelompok kerja yang kompak dan solid), contohnya dalam penyusunan naskah Litjianbang di Balitbang Dephan tidak ada naskah Litjianbang yang dihasilkan oleh perorangan, namun melalui kelompok kerja (Panyek atau Pangiat).o Memegang teguh prinsip dan tujuan yang telah ditentukan bersama, loyalitas dan dedikasi penuh. Tidak mengkhianati atasan, rekan kerja maupun bawahan, tidak ingkar terhadap gagasan / kebijakan yang telah disepakati bersama (menjaga komitmen).o Tidak berfikir sektoral (bagian per bagian atau Puslitbang per Puslitbang) melainkan atas nama satu “Balitbang Dephan”/ untuk kepentingan Satuan. Memandang orang lain sebagai bagian yang integral atas suatu keberhasilan.o Kesediaan menularkan pengeta-huan dan ketrampilan yang dimiliki (terutama personel yang telah mengikuti pendidikan, kursus maupun penataran) kepada yang lebih yunior/bawahan dengan tujuan kaderisasi, dengan rekan setingkat atau atasan /senior untuk sharing.o Menghormati dan menghargai atasan atau senior, menyayangi rekan sesama/setingkat dan kepada bawahan, (menghormati dan menghargai orang lain berarti menghormati dan menghargai diri sendiri).o Mengikis habis rasa “senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang”. Berusaha mengerti kesulitan rekan kerja atau bawahan dan berusaha untuk memberikan bantuan, utamanya dukungan moril atau pemikiran pemecahan masalah.o Memberikan kontribusi nyata dan ikut berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang ada di Balitbang sesuai dengan bidang keahlian/keterampilan masing-masing.

b. Budaya keterbukaan, diapikasikan sebagai berikut :• Senantiasa berfikir positif terhadap orang lain. Hal ini bisa dilakukan apabila kita memiliki hati yang bersih dan tulus ikhlas (menghilangkan rasa iri, dan dengki ).• Membuka diri dan mau menerima saran dan kritik dari orang lain selanjutnya dijadikan bahan masukan penyempurnaan tugas pekerjaan. Tidak memandang dari mana kritik dan saran tersebut, namun lebih melihat apa dan bagaimana isi kritik yang disampaikan.• Setiap program dan perencana-an kegiatan yang dibuat melibatkan seluruh pihak yang terkait sesuai dengan batas wewenang masing-masing, sehingga seluruh anggota mengetahui kondisi Satker dan saling mempercayai antara pimpinan dengan yang dipimpin.

Page 14: Budaya organisasi dan budaya kerja

• Tidak melakukan langkah dan tindakan di luar ketentuan yang telah disepakati, sehingga semua tindakan dapat terkontrol, terkoordinasi dan terarah. Bila ada saran dan masukan terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi serta kebijakan yang ada hendaknya melalui prosedur yang telah ditetapkan (dapat memanfaatkan kotak saran).• Bila terjadi kegagalan tidak bersifat “manipulatif”, yaitu mengeksploitasi kelemahan/kekurangan orang lain untuk kepentingan sendiri akan lebih bijaksana mencari upaya perbaikan dengan tetap bersabar dan kembali bersabar.

c. Budaya profesionalisme, diaplikasi-kan sebagai berikut :o Berpola pikir, pola sikap dan pola tindak yang “intelek-tualistis, rasionalistis dan realistis dengan mempertim-bangkan segi efektif dan efisiensinya (dengarkan sebelum berbicara, pikirkan sebelum bertindak).o Memahami dan menganalisis setiap tugas dan pekerjaan yang diberikan dengan berpikir sistematik, komprehensif, holistik dan integral terhadap penyelesai-an masalah, serta obyektif terhadap pertimbangan yang diperlukan.o Bersikap proaktif, kreatif inovatif dan responsif dalam menghadapi perubahan yang terjadi dan memanfaatkan ilmu dan teknologi untuk kepentingan Satker.o Toleransi dan kompromis terhadap perbedaan pendapat dan komitmen terhadap keputusan yang telah disepakati. Senantiasa meningkatkan kemam-puan diri dengan memanfaatkan setiap peluang/kesempatan yang ada dengan tetap “bersaing sehat”/kompetetif, maju tanpa menjatuhkan/mengorbankan pihak lain (contoh: Kesempatan mengikuti Dik, kursus, pelatihan-keterampilan dan lain-lain atau dalam penempatan jabatan).o Menyambut gembira dan senan-tiasa menikmati setiap tugas dan pekerjaan yang diberikan, tetap konsen dan bertanggung jawab atas penyelesaiannya.

Penutupa. Penjabaran tentang budaya kerja Balitbang Dephan yang telah diuraikan di atas, bukan merupakan “harga mati’, namun setidak-tidaknya dapat memberikan sedikit gambaran dalam rangka penerapan-nya untuk mewujudkan kinerja yang optimal bagi seluruh personel Balitbang Dephan.b. Tantangan tugas pokok dan fungsi Balitbang Dephan semakin kompleks dan strategis, dengan organisasi yang diawaki oleh 2 unsur (TNI dan PNS) yang lahir dengan basic berbeda, dengan adanya kemitraan dan penerapan budaya kerja Balitbang Dephan diharapkan terciptanya team work yang solid.c. Hingga kini Balitbang Dephan telah banyak menghasilkan naskah kajian maupun prototipe, dengan penerapan budaya kerja semoga Balitbang Dephan bisa lebih meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, sehingga dapat menghasilkan kajian-kajian yang aplicable dan dapat “ditindak lanjuti” serta dimanfaatkan oleh pihak lain yang terkait, untuk kepentingan Pertahanan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Sopiah, MM., M.Pd. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: ANDI.Sutarto. 1993. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: UGM PRESS.

Page 15: Budaya organisasi dan budaya kerja

Wan Usman. 2004. “Modul Perkuliahan S-2 KSKN, UI, “Manajemen /Strategik”,. Jakarta.Gering, Supriyadi dan Triguno. 2001. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Jakarta LAN.Stephen P. Robbin. 1994. Teori Organisasi. Jakarta: ArcanSunarto. 2003. Teori Organisasi. Yogyakarta: Amus&Mahendro Total DesignNdraha Taliziduhu, 2005. Teori Budaya Organisasi, Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta.Nimran Umar, 2004. Perilaku Organisasi, Cetakan Ketiga, CV. Citra Media, Surabaya.

Diposkan oleh Welcome To Mhd. Habibi Arifin di 12:56:00 PM Label: Manajemen Strategik

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Welcome to Mhd Habibi Arifin Pengikut

Arsip Blog ▼   2010 (23)

o ▼   Mei (21) MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NEGARA Tashih masalah ( Pembulatan Asal Masalah) Demokrasi Islam Pantun Siak Kepimpinan Menurut Islam Kepemimpinan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN

20... PENGELOLAAN APBN DALAM SISTEM MANAJEMEN

KEUANGAN N... MENYELESAIKAN SENGKETA ANTARA LEMBAGA NEGARA

Page 16: Budaya organisasi dan budaya kerja

Masa Daulah Umayyah Surat Gugatan BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KERJA (Studi Kasus : ... PELAYANAN PRIMA UNTUK MASYARAKAT PERANAN PEMERINTAH DALAM PENYELESAIAN TANAH LEMBAGA PEMERINTAHAN DEPARTEMEN DAN

NONDEPARTEMEN ... Persepsi APBN dan APBD JENIS-JENIS USAHA DAN USAHA PENYEDIAAN TEMPAT REK... PERUSAHAAN YANG MERUGIKAN MASYARAKAT TEMPATAN Persediaan MANAJEMEN PERSEDIAAN (INVENTORY)

o ►   April (2)

Mengenai Saya

Welcome To Mhd. Habibi Arifin Lihat profil lengkapku  

Page 17: Budaya organisasi dan budaya kerja

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP PELAYANAN PUBLIK (Studi Kasus Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang) Oleh: FEBRIANI, SE,MSi Dosen Tetap Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Tamansiswa Padang Abstrak Budaya organisasi sangat penting dalam mencapai keunggulan organisasi, sehingga budaya yang berkembang seperti sekarang ini dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi sedang dipertaruhkan. Penelitian dilakukan di rumah sakit M. Djamil Padang untuk melihat bagaimana budaya organisasi tersebut. Karena rumah sakit merupakan suatu organisasi kompleks yang mempunyai sifat,ciri dan fungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik serta mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan pasien penderita. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk melihat bagaimana budaya yang ada pada rumah sakit tepat penelitian. Data yang diperoleh berupa data kualititaif dari survey dan wawancara yang dilakukan. Hasil penelitian menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi pelayanan publik karena memberikan jasa pelayanan, jasa pendidikan dan jasa penelitian dibidang kesehatan kepada masyarakat. Hubungan karyawan dengan keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi merekasangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat sehingga mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, sehingga pasien adalah rajayang mana semua karyawan bergantung padanya, bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Karyawan bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan, karena telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Hubungan karyawan dengan organisasi berorientasikanpada kelompok, karena kelompok merupakan media untuk mewujudkan sebuah ga

Page 18: Budaya organisasi dan budaya kerja

gasan atau ide sekaligus alat untuk mengimplementasikan gagasan yang telah dikemas dalam bentuk program dan kegiatan di dalam organisasi sebuah rumah sakit. Key word: Organisasi, Budaya organisasi, Rumah Sakit LATAR BELAKANG Budaya Rumah sakit adalah merupakan suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri serta fungsi-fungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayananpasien penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat,rumah sakit juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997). 32Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun olehdua institusi. Pertama adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya. Hal yang menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba) atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikankepada masyarakat. Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penye

Page 19: Budaya organisasi dan budaya kerja

suaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan tugas yang semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak mempertahankan kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus memperoleh dana yang memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya (Muluk.1999) Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan.Dalam konteks tersebut, pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan inibelum banyak diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum memadai. Permasalahan dalam penelitian ini adalahmengingat berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi rumah sakit sebagailembaga pelayanan public maka 33kecendrungan baru organisasi publik menunjukkan perhatian serius atas budaya organisasi dari para pengambil kebijakan dan pimpinan puncak organisasi pelayanan publik. Sehingga perhatian atas budaya organisasi menjadi semakin meningkat ketika baik perspektif kebijakan publik maupun perspektif manajemen publik dalam administrasi negara masih menyisakan sejumlah masalah dalam masa transisi di negara sedang berkembang (Minogue, Polidano, Hulme : 1998,3-4). Permasalahan tersebut menunjuk pada nilai, kepercayaan, dan norma institusional dan dibarengi pula dengan

Page 20: Budaya organisasi dan budaya kerja

sikap-sikap individual. Hal ini mengarah pada substansi budaya organisasi dan bagaimana mengubah budaya tersebut. Tujuan dan manfaat penelitian adalah untuk menjelajahi budaya organisasi pelayanan publik di Sumatera Barat khususnya rumah sakit umum Dr. M. Djamil Padang. Meskipun kajian ini tidak cukup mewakili namun memberikan wacana idiografis yang memadai bagi sebuah organisasi dalam mengambil kebijakan. TINJAUAN TEORI Definisi Budaya Organisasi Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidangantropologi sejak awal mula dan memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Bagaimanapun juga, baru-baru ini saja konsep budayatimbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama dalam memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan bahwa banyak karya akhir-akhirini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya. Banyaknya definisi tentang budaya organisasi diajukan oleh para pakar seperti halnya Robbins (1996) yang telah mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu "persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu dan menjadi suatu sistem dari makna bersama." Sementara itu, Schein (1991) memilih definisi yang dapat menjelaskan bagaimana budaya berkembang, bagaimana budaya itu menjadi seperti sekarang ini, atau bagaimana budaya dapat diubah jika kelangsungan hidup organisasi 34sedang dipertaruhkan. Untuk itu diperlukan definisiyang dapat membantu memahami kekuatan-kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhisuatu budaya berkembang dan berubah. Banyak teori budaya organisasi yang telah meluas di

Page 21: Budaya organisasi dan budaya kerja

kenal di kalangan teoritisi dan praktisi organisasi. Pertama adalah teori yang dikemukakan oleh Kluckhon-Strodtbeck (dalam Robbins 1996) yang mengemukakan enam dimensi budayadasar. Masing-masing dimensi ini memiliki variasi yang membedakan antara budaya yang satu dengan budaya lainnya antara lain: 1.Hubungan dengan lingkungan yang memiliki variasi dominasi terhadap lingkungan, harmoni dengan lingkungan, dan tunduk atau didominasi oleh lingkungan. 2.Orientasi waktu yang memiliki variasi tentang orientasi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan. 3.Kodrat atau sifat dasar manusia yang bervariasi tentang pandangan bahwa pada dasarnya manusia itu baik, atau buruk, atau campuran antara baik dan buruk. 4.Orientasi kegiatan yang memiliki variasi adanya penekanan untuk melakukan tindakan, penekanan untuk menjadi atau mengalami sesuatu, dan penekanan pada upaya mengendalikan kegiatan. 5.Fokus tanggungjawab yang mempunyai variasi individualistis, kelompok, atau hierarkis. 6.Kepemilikan ruang yang terbagi pada variasi pribadi, publik atau umum, dan campuran antara keduanya. Teori berikutnya diungkapkan oleh Hofstede (1980 dan 1984) setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu: individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidak-pastian, dan tingkat maskulinitas. Individualisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut longgar dalam masyarakat dimana indivi

Page 22: Budaya organisasi dan budaya kerja

du dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga dekatnya. Kolektivisme berarti kecenderungan akan kerangka sosial yang terajut ketat dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi ini adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-anggotanya. Hal ini berkait dengankonsep diri masyarakat : "saya" 35atau "kami". Jarak kekuasaan merupakan suatu ukurandimana anggota dari suatu masyarakat menerima bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata. Hal ini mempengaruhiperilaku anggota masyarakat yang kurang berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan. Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan organisasi mereka (Hofstede 1983). Penghindaran ketidakpastian merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai kepastian yang menjanjikandan untuk memelihara lembagalembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang. Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari prinsip dan

Page 23: Budaya organisasi dan budaya kerja

penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya jarak kekuasaan, penghindaran ketidak pastian memiliki konsekuensi akan cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka. Maskulinitas berarti kecenderungan dalam masyarakatakan prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah,dan kualitas hidup. Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran social atas perbedaan jenis kelamin. Semangat penelitian Hofstede (dalam Gibson & Ivanicevich & Donnely 1996) ini mengundang perkembangan telaah budaya organisasi yang semakin meluas di 36kalangan teoritisi organisasi dan manajemen. Namun demikian beberapa kritik tetap dilontarkan berkaitan dengan keterbatasan penelitian tersebut untuk digeneralisasikan, serta keraguan akan validitas dan reliabilitas instrumen penelitian yang dipergunakan. Selain itu, kritik terutama tertuju pada kemampuan empat dimensi tersebut menjelaskan budaya yang sesungguhnya sehingga dianggap kurang mampu menjelaskan fenomena budaya yang jauh lebih kompleks. Selanjutnya adalahteori yang dikemukakan Schein (dalam Hatch 1997) yang mengungkapkan bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam tiga tingkatan antara lain: 1.Artifak (artifacts) dimana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan.

Page 24: Budaya organisasi dan budaya kerja

2.Nilai (values) yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggidaripada artifak. 3.Budaya diterima begitu saja (taken for granted), tidak kasat mata, dan tidak disadari. Tingkat analisis artifak bersifat kasat mata yang dapat dilihat dari lingkungan fisik organisasi, arsitektur, teknologi, tata letakkantor, cara berpakaian, pola perilaku yang dapat dilihat atau didengar, serta dokumen-dokumen publik seperti anggaran dasar, materi orientasi karyawan, dan cerita. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena data mudah didapat tetapi sulit ditafsirkan.Dengan analisis ini dapat diuraikan bagaimana suatu kelompok menyusun lingkungannya danapa pola perilaku yang dapat dilihat dari kalangan anggotanya, tetapi seringkalianalisis ini tidak dapat memahami logika yang mendasarinya, mengapa suatu kelompok berperilaku seperti yang mereka lakukan. Untuk menganalisis mengapa anggota berperilaku seperti yang mereka perlihatkan maka perlu diketahui nilai-nilai yang mengarahkan perilaku. Namun nilai sulit diamati secara langsung, oleh karena itu seringkali perlu untuk menyimpulkan mereka melalui wawancara dengan anggota-anggota kunci organisasi atau menganalisis kandungan artifak seperti dokumendan anggaran dasar. Tetapi, dalam mengidentifikasi nilai-nilai tersebut biasanya mereka menggambarkan secara akurat nilai-nilai yang didukung dalam budaya tersebut. Artinya, mereka difokuskan pada apa yang dikatakan orang sebagai alasan perilaku mereka. Apa yang secara ideal mereka harapkan merupakan alasan perilaku tersebut,dan yang seringkali merupakan rasionalisasi (baca : pembenaran) bagi perilaku mereka. Namun alasan mendasar bagi perilaku mereka tetap saja tersembunyi atau tidak disadari. 37

Page 25: Budaya organisasi dan budaya kerja

Untuk benar-benar memahami suatu budaya dan untuk lebih memastikan secara lengkap nilai-nilai dan perilaku nyata dari suatu kelompok, perlu diselidiki asumsi yang mendasarinya, yang biasanya tidak disadari, tetapi secara aktual menentukan bagaimana para anggota kelompok berpersepsi, berpikir, dan merasakan. Asumsi seperti ini dengan sendirinya merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung (espoused value). Tetapi ketika nilai menyebabkan perilaku dan ketika perilaku tersebut mulai memecahkan masalah, maka nilai itu ditransformasi menjadi asumsi dasar tentang bagaimana sesuatu itu sesungguhnya. Bila asumsi telah diterima begitu saja, maka kesadaran menjadi tersisih. Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan atau tidak. Bila nilai tersebut diterima apa adanya (taken for granted) maka ia disebut sebagai asumsi, namun bila ia masih bersifat terbuka dan dapat diperdebatkan maka istilah nilai lebih sesuai (Schein 1991). Mengacu kepada tingkatan asumsi dasar untuk memahami budayaorganisasi, Schein memberikan beberapa asumsi dasar yang membentuk budaya organisasi. Asumsi dasar ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk menilai budaya suatu organisasi adalah : 1.Keterkaitan lingkungan organisasi. Aspek ini mengamati asumsi yang lebih mendasar tentang hubungan manusia dengan alam dan lingkungan. Dapat dinilai dengan bagaimana anggota-anggota kunci organisasi memandang hubungan tersebut. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. a.Bagaimana mereka memandang peran organisasi dalam masyarakat yang mana hal ini dapat dilihat melalui jenis produk yang dihasil

Page 26: Budaya organisasi dan budaya kerja

kan atau cara pelayanan yang diberikan, atau dimana pasar utamanya, atau segmentasi pelanggan yang dibidik. b.Tentang apa pandangan mereka terhadap lingkungan yang relevan dengan organisasi, apakah lingkungan ekonomi, politik, teknologi, sosial-budaya, atau yang lainnya. c.Bagaimana pandangan mereka tentang posisi organisasiterhadap lingkungan, apakah organisasi mendominasi, atau didominasi oleh, atau seimbang dengan lingkungannya tersebut. 2.Hakikat realitas dan kebenaran. 38Aspek ini menyangkut pandangan anggota-anggota organisasi tentang kaidah-kaidah linguistik dan keperilakuan yang menetapkan mana yang riil dan mana yang tidak, mana yang fakta, bagaimana kebenaran akhirnya ditentukan, dan apakah kebenaran diungkapkan atau ditemukan Ada empat dimensi dari aspek ini adalah: a.Realitas fisik yang menyangkut persoalan criteria obyektif atas fakta. b.Realitas sosial yang mempersoalkan konsensus atas opini, kebiasaan, dogma, dan prinsip. c.Realitas subyektif yang mempersoalkan pengalaman subyektif atas pendapat, kecenderungan, dan cita rasa pribadi. d.Mengenai kriteria kebenaran yang berarti bagaimana kebenaran itu seharusnya ditentukan, apakah oleh tradisi, dogma, moral atau agama, pendapat orang-orang bijak atau orang-orang yang berwenang, proses hukum, resolusi konflik, uji coba, atau pengujian ilmiah. 3.

Page 27: Budaya organisasi dan budaya kerja

Hakikat sifat manusia. Aspek ini menyangkut pandangan segenap anggota organisasi tentang apa yang dimaksud dengan manusia dan apa atribut-atribut yang dianggap intrinsik atau puncak? Terdapat dua dimensi dari aspek ini adalah: Pertama, tentang sifat dasar manusia yaitu apakah manusia pada dasarnya bersifat baik, buruk, atau netral? Kedua,mengenai perubahan sifat tersebut yaitu apakah sifat manusiaitu tetap (tidak dapat berubah) ataukah dapat berubah dan disempurnakan? Mana yang lebih baik misalnya antara teori X atau teori Y? 4.Hakikat kegiatan manusia. Aspek ini menyangkut pandangan semua anggota organisasi tentang hal-hal benar apa yang perlu dikerjakan oleh manusia atas dasar asumsi mengenai realitas, lingkungan, dan sifat manusia diatas, apakah ia harus aktif, pasif, pengembangan pribadi, fatalistik, atau yang lainnya? Apa yang dimaksud dengan kerja dan apa yang dimaksud dengan main? Dimensi utama dari aspek ini adalah sikap mental manusia terhadap lingkungan, yaitu apakah proaktif, reaktif, ataukah harmoni? 5.Hakikat hubungan antar manusia. Aspek ini menyangkut pandangan manusia tentang apa yang dipandang sebagai cara yang benar bagi manusia untuk saling berhubungan, untuk mendistribusikan 39kekuasaan atau cinta? Apakah hidup ini kooperatif atau kompetitif; individualistik, kolaboratif kelompok atau komunal? Ada dua dimensi dari aspek ini adalah: Pertama, struktur hubungan manusiawi yang memiliki alternati

Page 28: Budaya organisasi dan budaya kerja

f linealitas, kolateralitas, atau individualitas. Kedua,struktur hubungan organisasi yang mempunyai variasi otokrasi, paternalisme, konsultasi, partisipasi, delegasi, kolegialitas. Selanjutnya Schein menambahkan pula dua asumsi dasar lagi dalam karyanya tersebut sebagai sub dimensi hakikat realitas dan kebenaran. Dua asumsi ini adalah : 1.Hakikat waktu. Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi tentang orientasi dasar waktu. Terdapat tiga dimensi dari aspek ini. Pertama, arahan focus yang menyangkut masa lalu, kini, dan masa mendatang. Kedua, konsep dasar waktu tentang apakah waktu itu bersifat linear (monokronik), ataupolikronik, atau siklikal. Ketiga, tentang apakah ukuran waktu yang relevan yang berlaku dalam organisasi tersebut, yaitu apakah mempergunakan satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bukan, tahun, dan seterusnya. 2.Hakikat Ruang. Aspek ini berkaitan dengan pandangan anggota organisasi mengenai konsep ruang. Terdapat tiga dimensi dalam aspek ini. Pertama, ketersediaan ruang yang menyangkut apakah ruang itu tersedia, ataukah tersedia namun terbatas, ataukah terbatas dalam pandangan orang-orang tersebut. Kedua, penggunaan ruang sebagai simbol yang berkenaan dengan pandangan apakah ruangitu berfungsi sebagai status dan kekuasaan, atau untuk keakraban, atau berfungsi sangat pribadi. Ketiga,fungsi ruang sebagai norma 'jarak', yaitu jarak antara formal-informal , dan jarak antara sahabat-teman, serta jarak dalam pertemuan dan hubungan den

Page 29: Budaya organisasi dan budaya kerja

gan orang luar. METODE PENELITIAN Penelitian ini berasal dari penelitian deskriptif yang mengambarkan budaya organisasi saat ini dari objek penelitian ini yaiturumah sakit umum M. Djamil Padang dengan satuan dasar analisis adalah individu anggota organisasi atau karyawan rumah 40sakit umum M. Djamil Padang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan permasalahan yang ada untuk memperbaiki metode dengan pengembangan teori yang ada. Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif untuk mengeksplorasi hasil yang diperoleh dengan teorinya dengan analisis deskriptif. Populasinya dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan rumah sakit tersebut dari berbagai tingkatan manajerial, seluruh bagian yang ada, serta berbagai status kepegawaian yang ada, dengan masa kerja lebih dari satu tahun. Sedangkan sampel dalampenelitian diambil secara acak sederhana dilakukan berdasarkan pengelompokan kerja. Ukuran sample ditentukan sebesar ± 40% dari populasi masing-masing unit kerja. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: survey dan wawancara. PEMBAHASAN 1 Karakteristik Budaya Organisasi Rumah M. Djamil Padang Karakteristik dari Rumah sakit Dr. M. Djamil Padangadalah memberikan jasa pelayanan, jasa pendidikan dan jasa penelitian dibidang kesehatan. Dalam memberikan jasa pelayanan pada pasien rumah sakit juga menyelenggarakan pengembangan pendidikan dan penelitian dalam bidang rehabilitas medik, bedah jantung dan pelayanan UGD serta mendidik dan melatih sumber daya manusia yang professional dalam bidang ilmu klinis, non klinis serta keperawatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Lone Rahayu, Dwi, 2009) dengan asumsi: Pertama: karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi mereka

Page 30: Budaya organisasi dan budaya kerja

didominasi dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat khusus kota Padang dan masyarakat Sumataera Barat umumnya. Pada situasi seperti ini, karyawan harus menyadari betul fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya. Nilai-nilai yang harus ditanamkan pihak rumah sakit kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada konsumennya adalah bahwa konsumen adalah orang terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk 41menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Salah satu contoh yang harus diberikan oleh karyawan rumah sakit M. DJamil Padang terhadap pasien adalah berusaha memberikan pelayanan yang baik, sopan, perhatian terhadap keluhan pasien serta memperhatikan kerbersihan, kerapian dan kenyaman ruangan. Hal ini dilakukan tidak lain adalah meningkatkan kepuasan pasien atau konsumen. Namun kenyataanya, justru karyawan yang kurang memperhatikan kondisi pasien, sehingga kadang-kadang pasien berobat kerumah sakit bukannya bertambah sehat malah kadang-kadang bertambah penyakitnya setelah melihat tingkah laku dari karyawannya yang tidak sopan, berbicara tidak santun, dan sangat tidak memperhatikan pasiennya. Disamping itu apabila terdapat perselisihan antara karyawan dan pasien sebaiknya karyawan haruslah mengerti dengan kondisi pasien yang tidak nyaman atau dalam kondisi tidak sehat maka seharusnya karyawan mengalah, karena tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan konsumen. Dengan demikian

Page 31: Budaya organisasi dan budaya kerja

adanya perbedaan antara asumsi yang seharusnya dijalankan oleh karyawan kepada pasien dengan fungsi yang dicanangkan oleh pihak rumah sakit sebagai pelayan masyarakat merupakan sumber natural rewards (imbalan natural) yang menciptakan kepuasan kerja bagi karyawan (Manz & Sims, 1990). Imbalan natural merupakan kandungan pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang dan berasal dari aktivitas pekerjaan itu sendiri yang merangsang pikiran dan perasaan konstruktif dan positif tentang pekerjaan itu. Imbalan natural dapat dilacak dari kesesuaian perasaan tujuan antara tujuan pribadi karyawan dengan tujuan pekerjaan yang ditekuninya. Seseorang akan dapat menikmati pekerjaannya jika ia merasa memiliki terhadap tujuan dari pekerjaan itu sendiri. Jika hal ini dapat disediakan oleh pekerjaan itu maka seorang karyawan akan memiliki sikap kerja yang baik atas pekerjaan tersebut, termasuk kepuasan kerja. Dengandemikian, tidak adanya kesesuaian antara tujuan kerja pribadi yang terungkap melalui asumsi pelayanan dengan karakteristik pekerjaan yang ditekuninya memang memberikan dan menuntut pelayanan terhadap pasien, keluarga dan pengunjung lainnya. Sehingga, dapatlah dipahami mengapa asumsi keterkaitan lingkungan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dan pasien di rumah sakit umum M. Djmail Padang. 42Kedua, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat memperhatikan waktu kerja (masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat manusia. Mereka percaya betul bahwa

Page 32: Budaya organisasi dan budaya kerja

tidak ada sifat yang kekal, sifat baik dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah menjadi baik. Perubahan sifat manusia berarti seseorang yang memiliki sifat baik dapat saja karena sesuatu hal berubah menjadi buruk begitu pula sifat buruk manusia karena beberapa hal bisa berubah menjadi baik. Konsekuensidari asumsi tersebut nampak dari kebijakan organisasi dan pandangan karyawan juga bahwa untuk memelihara sifat baik karyawan agar tetap tampil dalam perilaku positif maka diperlukan instrumen penguat (reinforcement). Dalam hal ini maka terdapat dua jenis penguatan yang harus diterapkan di rumah sakit M. Djamil Padang, yaitu penguatan yang bersifat positif dan penguatan yang bersifat negatif. Penguatan positif berarti berbagai instrumen yang harus diberlakukan untuk merangsang karyawan yang mempunyai sifat baik tetap berperilaku baik dan karyawan yang bersifat buruk terangsang untuk berperilaku baik. Kebijakan yang berkaitan dengan instrumen positif ini misalnya: (a) penghargaan atas lama pengabdian (b) kenaikan pangkat dan jabatan istimewa bagi mereka yang menunjukkan prestasi kerja luar biasa selama dua tahun berturut-turut; (c) peluang kenaikan pangkat dan jabatan reguler bila masih ada lowongan jabatandi atasnya bagi mereka yang menunjukkan prestasi kerja baik terus menerus; (d) peluang memperoleh tugas belajar. Sementara penguatan negatif berarti instrumen yang diberlakukan untuk mencegah karyawan yang bersifat baik berubah menjadi buruk dan mencegah karyawan yang bersifat buruk leluasa berperilaku buruk sesuai dengan sifatnya tersebut. Beberapa kebijakan yang berkenaan dengan instrumen negatif ini misalnya: (a) penggunaan checkclock setiap karyawan datang dan pulang untuk mengendalikan disiplin waktu kerja; (b) peringatan bertingkat atas pelanggaran l

Page 33: Budaya organisasi dan budaya kerja

arangan kategori ringan sampai peringatan ketiga yang dapat berakhir dengan pemutusan hubungan kerja; (c) 43pemutusan hubungan kerja seketika jika karyawan melakukan pelanggaran larangan kategori berat dengan tanpa mendapat ganti kerugianapapun. Selain itu, tindakan indisipliner ringan, ketidakcakapan kerja, kemalasan, pelayanan yang buruk yang tidak masuk kategori pelanggaran ringan sekalipun dapat mengakibatkan karyawan terkena instrumen negatif yang berupa penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dan jabatan, maupun kehilangan berbagai kesempatan berkembang lainnya. Dengan membandingkankedua jenis penguatan tersebut maka karyawan merasakan bahwa penguatan positif merupakan hal yang selayaknya mereka dapatkan, namun pandangan ini berbeda pada penguatan negatif yang dirasakan terlalu berat dan bernada mengancam agar mereka selalu tampil baik. Selain itu dirasakan pula bahwa mencapai penguatan positif tersebut lebih sulit jika dibandingkan dengan kemungkinan memperoleh penguatan negatif. Hukuman yang akan mereka terima lebih mudah jatuhnya dibandingkan dengan imbalan yang akan diterima. Banyak dan murahnya penguatan negatif inilah yang menyebabkan mengapa asumsi hakikat sifat manusia memiliki arah pengaruhnegatif. Karena justru semakin protektif organisasi menyusun instrumen yang berusaha mencegah sifat buruk karyawan maka justru akan menurunkan tingkat kepuasan kerja karyawan dan bahkan bisa menjadi sumber ketidak-puasan kerja. Penguatan melalui instrumen negatif memang mampu mencegah perilaku buruk karyawan namun karenasifatnya yang lebih berupa sanksi dan ancaman maka jika dipergunakan secara berlebih akan mempengaruhi bagaimana seseorang melakukan pekerjaannya dan terutama mempengaruhi sikap atau perasaan seseorang atas pekerjaan yang dilakukannya

Page 34: Budaya organisasi dan budaya kerja

. Teori penguatan (reinforcement theory) memang mengkaitkan antara penguatan yang diberikan melalui instrumen tertentu dengan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang, namun tidak mengkaitkan antara bagaimana sikap seseorang dalam menerima penguatan tersebut. Untuk hal ini, Manz & Sims (1990) mengungkapkan bahwa penguatan positif mempunyai dampak yang lebih diinginkan oleh karyawan sementara penguatan negatif memiliki dampak yang tidak diinginkan oleh karyawan. Semakin besar dan sering penguatan yang diberikan maka semakin besar pula dampak yang diberikan. Karena penguatan positif yang bersifat merangsang sementara penguatan negatif bersifat mengancam maka penguatan positif jauh lebih mempunyai dampak yang bersifat 44meningkatkan kepuasan kerja ketimbang penguatan negatif. Dengan melihat faktor tersebut maka dapat dimengerti mengapa penggunaan penguatan negatif yang jauh lebih dominan dalam pelayanan di rumah saki M. Djamil Padang justru menurunkan tingkat kepuasan kerja. Apalagi jika diketahui bahwa merekaberasumsi bahwa karyawan mempunyai sifat baik sehingga akan lebih baik jika menggunakan instrumen yang merangsang karyawan untuk berperilaku baik ketimbang menggunakan instrumen yang mengancam jika berperilaku tidak baik. Akhirnya dapat dipahami mengapa asumsi sifat manusia mempunyai arah pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak hanya aktivitas manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka juga menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan organisasi karena mereka memandang bahwa aktivitasn

Page 35: Budaya organisasi dan budaya kerja

ya juga memberikan kontribusi atas keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka memandang bahwa aktivitasnya yang meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi secara keseluruhan yang berupa kinerja sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi. Misalnya, selama ini mereka telah bekerja keras dengan harapan ada perbaikan atas nasib mereka daripihak rumah sakit. Namun demikian, terdapat kesadaran bahwa apa yang mereka berikan tidak berdampak langsung terhadap perolehan imbalan pribadi masing-masing karyawan secara signifikan melainkan terhadap organisasi secara keseluruhan. Kasus yang dapat diungkapkan dalam konteks ini adalah kerelaan mereka untuk bekerja keras sebagai manifestasi pandangan harmoni atas hakikat aktivitas manusia menghasilkan prestasi organisasi berupa kemampuan untuk berswadana dalam beberapa tahun belakangan ini. Kerja keras karyawan ternyata memang mampu meningkatkan kinerja organisasi namun hanya berkait sedikit sekali dengan peningkatan kesejahteraan karyawan. Sebagai contoh dapat diungkapkan apa yang diceritakan oleh beberapa karyawan dari berbagai unit yang ada. Seorang pengemudi bertutur bahwa disaat liburpun mereka harus siap sewaktu-waktu dipanggil bila dibutuhkan. Meskipun untuk hal ini disediakan uang lembur sebagai kompensasinya namun jika disuruh memilih mereka akan memilih untuk tidak dipanggil bekerja karena waktu tersebutmerupakan waktu luang untuk istirahat dan waktu untuk keluarga. 45Hal yang senada juga diungkapkan oleh karyawan di bagian bedah, dan perawatan (rawat inap). Kondisi ini mereka sadari betul dan tidak sampai membuat mereka tidak puas atas pekerjaan mereka, namun kompensasi langsung atas lembur yang mereka lakukan juga tidak mampu mengangkat kepuasan kerja mereka menjadi lebih baik lagi. Contoh lainnya, yang diungkapkan o

Page 36: Budaya organisasi dan budaya kerja

leh banyak karyawan adalah kurangnya jumlah karyawan pada masing-masing bagiandibanding dengan beban tugas yang ada. Mereka sadar betul bahwa kurangnya jumlahpersonil ini disebabkan oleh gerakan efisiensi yang dicanangkan oleh manajemen dalam rangka pengelolaan keuangan rumah sakit. Mereka sadar betul bahwa kondisi ini merupakan kerja keras yang mereka lakukan untuk kepentingan organisasi secara langsung dan untuk kepentingan mereka sendiri juga secara tidak langsung (atau bisa juga disebut kepentingan jangka panjang karyawan). Namun kerja keras ini juga tidak diikuti oleh imbalan produktivitas secara langsung. Mereka mau bekerja keras atau tidak maka upah/gaji berikut tunjangan yang mereka terima setiap bulannya mereka pandang tetap saja dan tidak banyak perubahannya. Akhirnya disimpulkan bahwa kerja keras yang dilakukan karyawan disebabkan karena mereka melakukannya secara sadar dan rela dalam rangka kepentingan organisasi namun secara pribadi dampaknya tidak bersifat langsung dirasakan dalam jangka pendek. Kondisi inimengakibatkan kurangnya pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja karyawan namun juga tidak sampai menimbulkan ketidakpuasan kerja. Kesadaran atas apa yang mereka kerjakan berpengaruhterhadap keberhasilan kolektif membuat mereka merasa bertanggung jawab penuh atas yang dilakukan. Selanjutnya, perpaduan antara kerja keras yang dilakukan dengan imbalan yang diterima dirasakan bahwa keberhasilan bukan hanya hasil kerja orang perorang atau karyawan tertentu saja karena setiap karyawan merasa memiliki andil atas keberhasilan yang dicapai, baik itu keberhasilan aktivitas organisasi secara keseluruhan, atau keberhasilan unit tertentu, maupun keberhasilan atas penanganan pasien tertentu yang bersifat kasuistis. Dalam proses penyembuhan seorang pasien bisa jadi melibatkan petugas UGD, petugas kamar bedah, petugas laboratorium, petugas

Page 37: Budaya organisasi dan budaya kerja

radiologi, petugas kamar perawatan, petugas apotik, petugas instalatir dan sebagainya. Asumsi hubungan antar karyawan yang berorientasi kelompok dan hubungan kolegialitas yang ditampilkan di 46tempat penelitian merupakan dasar iklim partisipatif dalam wacana supervisi. Kondisi ini dapat berarti memperteguh komitmen atas aktivitas dan pengambilan keputusan. Secara teoritik memang hal tersebut mempunyai dampak yang substansial terhadap kepuasan kerja karyawan. Asumsi hubungan kerja seseorang dengan kelompok kerjanya dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karena kelompok salah satu alat yang dapat dijadikan sarana untuk mencapai tujuan dan program (Elfindri dan Rimilton Ridwan, 2008). Sehingga bagaimanapun bekerja dalam kelompok merupakan kekuatan bersifat teknis maupun sosial yang dapat dijadikan sebagai alat perubahan ditengah masyarakat, oleh sebab yang demikian kelompok sangat efektif untuk dapat dijadikan salah satu media untuk mewujudkan sebuah gagasan, atau ide yang juga sekaligus untuk mengimlementasikan gagasan yang telah dikemas dalambentuk program. Khusus pada rumah saki M. Djamil Padang kelompok kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber dukungan, kenyamanan, saran, bantuan operasional dan mental sehingga sangat menentukan kepuasan kerja seorang karyawan secara individual. Selain itu kesadaran atas apa yang mereka miliki serta kekhawatiran kehilangan suasana kerja bila mereka harus pindah ke tempat kerja lain membangkitkan kesadaran betapa kelompok kerja dan hubungan keorganisasian yang dimiliki sudah sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi inilah yang mendorong kepuasan kerja karyawan di rumah sakit umum M. Djamil Padang. Karakteristik budaya organisasi rumah sakit yang merupakan ciri khas dari budaya organisasi. Karakteristik budaya organisasi rumah sakit M. Djamil Padang dapat dilihat pada table 1 dibawah ini.

Page 38: Budaya organisasi dan budaya kerja

Tabel 1. Karakteristik Budaya Organisasi Rumah Sakit M. Djamil Padang A s u m s i Karakteristik Keterkaitan Lingkungan Organisasi Hakikat Realitas & Kebenaran Hakikat Sifat Manusia Hakikat Hubungan ManusiaInstitusi Pelayanan, pendidikan dan penelitian Realitas Sosial & Kebenaran Rasional Sifat Manusia Baik dan dapat dirubah Kekeluargaan (collaterality)Sumber: Data survey, 2009 Kombinasi karakteristik asumsi dasar yang terungkapdi M. Djamil Padang di atas memunculkan karakteristik budaya organisasi secara utuh bagi rumah sakit tersebut. Karakteristik budaya organisasi di rumah sakit itu dapat dikategorikan sebagai 47budaya organisasi adaptif jika mengacu pada tipologinya Kotter & Heskett(1992) yang membagi dua jenis budaya menjadi budaya organisasi yang adaptif dan budaya organisasi yang tidak adaptif. Karakteristik budayaadaptif mencakup kepedulian pimpinan dan anggota organisasi terhadap lingkungannya, konsumen, maupun karyawan. Pimpinan mempunyai penilaian yang kuat atas proses yang mampu mengakomodasi perubahan yang bermanfaat bagi organisasi. Proses tersebut dapat berupa asumsi perubahan sifat manusia, asumsi kekuatan aktivitas karyawan terhadap lingkungan, dan hubungan antar karyawan dan hubungan keorganisasian yang kondusif bagi terciptanya ide baru. Karakteristik asumsi budaya tersebut telah terinternalisasi dengan baik sehingga dapat disebut rumah sakit mempunyai budaya organisasi yang kuat karena tidak lagi terjadi pertentangan budaya dalam organisasi. Budaya yang ada telah diterima sebagai sesuatu yang benar dalam merespons segala persoalan adaptasi ekternal dan integrasi internal. Internalisasi nilai-nilai secara mendalam oleh segenap elemen dalam suatu organisasi yang dibarengi secara konsisten dengan p

Page 39: Budaya organisasi dan budaya kerja

erilaku setiap anggota organisasi dan kebijakan organisasi akan meningkatkan kepuasankerja karyawan yang ada. Hal ini dapat dengan jelas dilihat, kesesuaian asumsi dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam aktivitas organisasi akan menekan atau mengurangi tingkat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan yang langsung dirasakanoleh karyawan. Semakin kecil kesenjangan tersebut maka semakin tinggi kepuasan kerja yang ada. Semakin besar kesenjangan tersebut maka semakin rendah kepuasan dan bahkan mungkin timbul ketidakpuasan. KESIMPULAN Asumsi bahwa budaya organisasi mempengaruhi pelayanan publik dimana rumah sakit Dr. M. Djamil Padang adalah memberikan jasa pelayanan, jasa pendidikan dan jasa penelitian dibidang kesehatan kepada masyarakat. Dalam memberikan jasa pelayanan pada pasien rumah sakit juga menyelenggarakan pengembangan pendidikan dan penelitian dalam bidang rehabilitas medic, bedah jantung dan pelayanan UGD dengan asumsi: Pertama: karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa organisasi mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat 48khusus kota Padang dan masyarakat Sumatera Barat umumnya. Pada situasi seperti ini, karyawan harus menyadari betul fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya. Nilai-nilai yang harus ditanamkan pihak rumah sakit kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada konsumennya adalah tadi bahwa konsumen adalah orangterpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawanbergantung padanya, bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan

Page 40: Budaya organisasi dan budaya kerja

karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Asumsi hakikat hubungan manusia menunjukkan pandangan karyawan rumah sakit M. Djamil terhadap struktur hubungan manusiawi didominasi oleh hubungan kekeluargaan, dan struktur hubungan keorganisasian lebih didominasi oleh hubungan kolegialitas atau hubungan lainnya. Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar memunculkan budaya organisasi yang bersifat integral. Kombinasi ini bisa dikategorikan sebagai budaya adaptif sehingga mampumendukung organisasi memenangkan adaptasi eksternal. Pada saat yang samakonfigurasi atas asumsi dasar juga menunjukkan tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan demikian memudahkan organisasi mencapai tujuan dan sasaran program internal jika terdapat kesesuaian antara karakteristik budaya dengan praktek manajemen. DAFTAR PUSTAKA Boekitwetan, P. (1997) Pemahaman rekam medik rumah sakit. Majalah Ilmiah FK Universitas Trisakti Volume 16, No. 1, 1675-1685. Elfindri & Rimilton Ridwan, 2008, Tahapan Pembentukan Kelompok dan Pendamping: Sebuah Rekonstruksi, Jurnal Ipteks Terapan Vol. 2 No.2 Agustus 2008 Kopertis Wilayah X Sumbar, Riau, Jambi & Kepri Frost, P.J., et.al. (1985) Organizational Culture. Sage Publication, Inc., London. Gibson & Ivanicevich & Donnely. (1996) Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Penerjemah Adiarni, N. Binarupa Aksara, Jakarta. 49Hofstede, G. (1983) The cultural relativity of organizational practices and theories.

Page 41: Budaya organisasi dan budaya kerja

Journal of International Bussines Studies Fall. Hofstede, G. (1984) Cultural dimensions in management and planning. Asia Pacific Journal of Management January. Kotter, J.P. & Heskett, J.L. (1992) Corporate Culture and Performance. The Free Press, New York. Luthans, F. (1989) Organizational Behavior. Mc.Graw Hill Co. Lone Rahayu, Dwi, 2009. Analisa Kualitas Pelayanan jasa dan Kepuasan Pelangan Dengan Cara bayar Akses pada Instalasi Rawat Darurat RS. M. Djamil Padang, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Tamansiswa Padang Muluk, Khairul, 1999, Budaya Organisasi Pelayanan Publik, Jurusan Administrasi Universitas Brawijaya Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi Rumah Sakit. Volume 2, No.2, 11-18. Robbins, S.P. (1996) Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Prenhallindo, Jakarta. Schein, E.H. (1984) Coming to a new awareness of organizational culture. Sloan Management Review winter.