BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

23
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengantar Disentralisasi dan otonomi daerah merupakan strategi untuk mengoptimalkan proses pembangunan yang diukur melalui keman- dirian setiap daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada bab ini akan diuraikan teori persepsi dan dinamika penyelenggaraan desentralisasi skala inter- nasional dan nasional oleh peneliti terdahulu yang telah menguraikan pelbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak dari desentralisasi, serta rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Teori Persepsi Persepsi, pandangan dan harapan yang dimiliki oleh individu merupakan proses pengamatan seseorang terhadap obyek atau stimulus yang diterima dari lingkungannya melalui inderanya masing-masing. Data yang diterima idera diproses menjadi informasi yang diintepretasikan untuk memperoleh gambaran tentang realita. Pemahaman yang diperoleh masing-masing individu bersifat subyekti karena perbedaan data dan informasi yang diintepretasi. Dalam proses pengambilan kebijakan, persepsi menjadi hal yang sangat esensial, terutama dalam upaya merumuskan arah dan kebijakan pembangunan. Konsensus merupakan istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan kesepakatan masing-masing individu menyamakan persepsi, pandangan dan harapan dalam tujuan. Penelitian ini membahas tentang persepsi para aktor terhadap penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah di Timor Leste yang mana

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar

Disentralisasi dan otonomi daerah merupakan strategi untuk

mengoptimalkan proses pembangunan yang diukur melalui keman-

dirian setiap daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada bab ini akan diuraikan teori

persepsi dan dinamika penyelenggaraan desentralisasi skala inter-

nasional dan nasional oleh peneliti terdahulu yang telah menguraikan

pelbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak dari desentralisasi,

serta rekomendasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan

tersebut.

Teori Persepsi

Persepsi, pandangan dan harapan yang dimiliki oleh individu

merupakan proses pengamatan seseorang terhadap obyek atau stimulus

yang diterima dari lingkungannya melalui inderanya masing-masing.

Data yang diterima idera diproses menjadi informasi yang

diintepretasikan untuk memperoleh gambaran tentang realita.

Pemahaman yang diperoleh masing-masing individu bersifat subyekti

karena perbedaan data dan informasi yang diintepretasi. Dalam proses

pengambilan kebijakan, persepsi menjadi hal yang sangat esensial,

terutama dalam upaya merumuskan arah dan kebijakan pembangunan.

Konsensus merupakan istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan

kesepakatan masing-masing individu menyamakan persepsi,

pandangan dan harapan dalam tujuan. Penelitian ini membahas

tentang persepsi para aktor terhadap penyelenggaraan desentralisasi

administratif dan pemerintahan daerah di Timor Leste yang mana

8

membutuhkan konsensus terkait dengan isu-isu yang timbul dan

mempengaruhi pembangunan di Timor Leste. Teori persepsi digunakan

sebagai acuan atau dasar untuk mengetahui persepsi para aktor terkait

penyelenggaran desentralisasi sehingga daat mengantisipasi masalah-

masalah yang potensial terjadi di masa depan.

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting

bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di

sekitarnya. Menurut Sugihartono, dkk (2007: 8) persepsi adalah

kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk

menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia.

Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam

penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi

yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi

tindakan manusia yang tampak atau nyata. Walgito (2004: 70)

mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima

oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti,

dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon

sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan

berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan

respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang

bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan

berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama,

setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang

sama dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa

dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan,

pengalaman dan sudut pandangnya.

Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang

terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda-beda dengan

menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk

menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang

sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu

akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian

yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam

9

memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi,

2006: 118). Selain itu, Rakhmat (2007: 51) mendefinisikan persepsi

sebagai pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan

yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Disisi lain, Suharman (2005: 23) berpendapat bahwa persepsi

merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi

yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Menurutnya,

terdapat tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan

kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan

perhatian. Berkenan dengan proses terjadinya persepsi, Sunaryo (2004:

98) mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan timbulnya

persepsi yakni adanya objek yang dipersepsi ; adanya perhatian yang

merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam

mengadakan persepsi ; adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk

menerima stimulus; serta saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan

stimulus ke otak, sebagai alat untuk mengadakan respon. Selain itu,

menurut Toha (2003: 154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang adalah faktor internal yaitu perasaan, sikap dan kepribadian

individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses

belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga

minat, motivasi dan faktor eksternal yakni latar belakang keluarga,

informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar,

intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan

familiar atau ketidak asingan suatu objek.

Pandangan dan harapan merupakan bagian dari persepsi.

Snyder (2000) menjelaskan bahwa harapan sebagai sekumpulan

kognitif yang didasarkan pada hubungan timbal-balik antara agency

(penentu perilaku yang berorientasi tujuan) dan pathway (rencana

untuk mencapai tujuan). Snyder (2000) mengkonsepkan harapan ke

dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur

untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency (energi yang

mengarah pada tujuan) atau motivasi untuk menggunakan jalur

tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen

tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika

harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki

10

kemungkinan untuk dapat dicapai, bukan sesuatu yang mustahil

dicapai. Pathway yang dimaksudkan sebelumnya merefleksikan

rencana/ komponen mental yang membimbing pola pikir kita gunakan

untuk mendapatkan cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan

(Snyder, 1994). Tujuan diartikan sebagai sesuatu yang ingin kita raih

meliputi berbagai benda, pengalaman, keinginan atau hasil yang kita

bayangkan dan ada dalam pikiran.

Persepsi, pandangan dan harapan dalam konteks

penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah

pada skala internasional maupun skala nasional sangat beragam.

Penelitian yang mengkaji tentang dinamika penyelenggaraan

desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah menghasilkan

berbagai macam gagasan atau ide untuk mencapai keberhasilan

desentralisasi. Berbagai rekomdendasi pembenahan sistem birokrasi

pada tingkat pemerintah daerah, dasar hukum, infrastruktur, sumber

daya manusia serta tatakelola yang baik diperoleh dari hasil penelitian

empirik oleh peneliti terdahulu. Berikut ini akan diuraikan dinamika

penyelenggaraan desentralisasi pada skala internasional dan nasional

yang menunjukan berbagai saran dan rekomendasi untuk mencapai

keberhasilan desentralisasi.

Dinamika Penyelenggaraan Desentralisasi Internasional

Desentralisasi mengacu pada tren global dalam pemindahan

tanggungjawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau

lokal.Pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi sangat beragam

antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan.

Istilah desentralisasi memiliki makna yang berbeda untuk orang yang

berbeda, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi

dari negara yang satu ke negara yang lain.Meskipun demikian,

pemahaman umum tentang definisi dan ruang lingkup desentralisasi

banyak mengacu kepada pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999),

desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-

fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,

11

lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta (decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private sector). Rondinelli (1989)

mengklasifikasikan desentralisasi berdasar tujuannya menjadi empat

komponen, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif,

desentralisasi fiskal dan desentralisasi pasar. World bank juga

mengklasifikasikan definisi serupa bahwa Jenis desentralisasi meliputi

politik, administratif, fiskal, dan desentralisasi pasar.

Dilihat dari sudut politik tujuan desentralisasi adalah untuk

menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik

berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan

kepala daerah, dan legislatifsecara langsung oleh rakyat; Desentralisasi

politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan

(devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah. Parson (1961), mendefinisikan desentralisasi sebagai “sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state.” Sedangkan dekonsentrasi, menurut Parson, adalah “the sharing of power between members of the same ruling group having authority respectively in different areas of the state.” Dengan merujuk pada

definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson

tersebut, Mawhood (1987: 9)mengatakan bahwa desentralisasi adalah “devolution of power from central to local governments” Dekonsentrasi, oleh Mawhood dipersamakan dengan administrative decentralisation dandefinisikan sebagai “… the transfer of administrative responsibility from central to local governments” (1987: 9).Hal senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang

mendefinisikan desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organisation”.

Desentralisasi dilihat dari sudut tujuan politik maupun

administratif, Menurut Maddick (1963).tujuan politik dari pemberian

otonomi kepada daerah adalah untuk menciptakan kesadaran

12

terhadapmasyarakat sipil (civicconciousness) dan kedewasaan politik

(political maturity) masyarakat melalui pemerintah daerah.

Penyebaran kedewasaan politik dapat dilakukan melalui partisipasi

masyarakat dan melalui pemerintahan yang responsif yang dapat

mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal ke dalam kebijakan yang

diambilnya dan bertanggung jawab kepada masyarakat.Sejalan dengan

itu, Lughlin (1981) mengemukakan bahwa sistem pemerintahan daerah

diperlukan untuk mengakomodasikan pluralisme dalam suatu negara

modern yang demokratis.Smith(1985) juga mengemukakan bahwa

keberadaan pemerintah daerah diperlukan untuk mencegah

munculnya kecenderungan centrifugalyang terjadi karena adanya

perbedaan etnis, agama dan unsur-unsur primordial lainnya di daerah-

daerah.Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa desentralisasi

politik adalah proses top-down, dimana pemerintah pusat

mendelegasikan kekuasaan politik yang dapat membantu mengurangi

kendali pemerintah pusat atas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya

masyarakat. Desentralisasi politik memberikan kekuasaan lebih banyak

kepada masyarakat dan atau wakil-wakil yang terpilih dalam

pengambilan keputusan publik.Hal ini sering dikaitkan dengan politik

pluralistik dan pemerintahan perwakilan, tetapi juga dapat mendukung

demokratisasi dengan memberikan warga, atau perwakilan mereka,

lebih berpengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan.

IEG World Bank (2008) Desentralisasi administratif mengacu

pada distribusi wewenang, tanggung jawab dan sumber keuangan

untuk memberi pelayanan kepada publik di berbagai lefel dalam

pemerintahan. Di sisi lain berdasarkan handbook center for

Democracy and Governance’s Decentralization and Democratic local Governance programming, bahwa desentralisasi administratif

melibatkan transfer penuh atau sebagian berbagai tanggung jawab

fungsional ke tingkat lokal seperti pelayanan kesehatan, operasional

sekolah, laynan managemen perorangan, bangunan dan perbaikan

jalan, layanan kebersihan dan lainnya. Tujuan desentralisasi

administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala

daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya

untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity

13

(kesetaraan), dan ekonomi;desentralisasi administrasi lebih

menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang

administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Rondinelli and Cheema (1983: 18), misalnya,

mengatakan:Decentralisation is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non-government organisations.

Konsep desentralisasi administrasi versi Rondinelli dan

Simanjuntak, disini dimaksudkan lebih pada pelimpahan kewenangan

layanan publik kepada pihak lain dalam struktur kelembagaan negara.

Rondinelli, (1983) selanjutnya mendefinisikan dekonsentrasi, delegasi

dan devolusi sebagai berikut :Deconcentration, Menurut Rondinelli &

Cheema, desentralisasi dalam bentuk deconcentration, pada

hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung

jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di

lapangan.Pendapat initidak berbeda dengan pendapat Bryant.

Selanjutnya Rondnelli dan Cheema (1988:18-19) menyebutkan bahwa

kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan lebih banyak berupa

shifting of workoad from a central government ministry or agency headquarters to its own field staff located in offices outside of the national capital, without transferring to them the authority to make decisions or to exercise discretion in carrying them out. Delegation, Rondinelli dan Cheema, memberi pengertian delegation to semi autonomous, yaitu suatu pelimpahan pengambilan keputusan dan

kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada

suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah

pengawasan pemerintah pusat. Tehadap organisasi semacam ini

diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi

dan tanggung jawabnya. Bahkan kadang-kadang berada di luar

ketentuan yang diatur oleh pemerintah, karena bersifat lebih

komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis

dan politis. Hal ini biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha

publik yang ditugaskan melaksanakan proyek tertentu, seperti

14

telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya. Devolution, Bentuk

ketiga dari desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema adalah

devolution. Konsekuensi dari devolution ini ialah pemerintah pusat

membentuk unit- unit pemerintah di luar pemerintah pusat dengan

menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan

secara mandiri.Karakteristik devolusiialah: a) Unit pemerintah

setempat bersifat mandiri (independent), dan secara tegas terpisah dari

tingkat-tingkat pemerintah. b) Unit pemerintahan tersebut diakui

mempunyai batas-batas wilyah yang jelas dan legal, yang mempunyai

wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan. c) Unit

pemerintah daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwewenang

untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk

mendukung pelaksanaan tugasnya. d) Unit pemerintah daerah diakui

sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada

masyarakat, memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu,

pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan

terhadap warganya.e) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan

melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

serta unit-unti organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.

Lebih lanjut Rondinelli (1984), Maddick (1963) dan Smith

(1985), mengatakan, rasional keberadaan pemerintah daerah adalah

untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam aktivitas-aktivitas

perencanaan, pengambilan keputusan, pengadaan pelayanan

masyarakat dan pelaksanaan pembangunan melalui desentralisasi.

Tidak ada pemerintah pusat dari suatu negara yang besar yang dapat

secara efektif menentukan apa yang harus dilakukan dalam semua

aspek kebijakan publik. Demikian pula tidak ada pemerintah pusat

yang dapat secara efektif mengimplementasikan kebijakan dan

program-programnya ke seluruh daerah secara efisien (Bowman &

Hampton, 1983). Karena itu diperlukan unit-unit pemerintahan di

tingkat lokal yang kemudian diberikan kewenangan untuk

menyelenggarakan urusan tertentu baik atas dasar prinsip devolusi maupun atas dasar prinsip dekonsentrasi. Kedua jenis pilihan (devolusi dan dekonsentrasi) tersebut akan memiliki implikasi yang sangat

berbeda satu sama lain dalam penerapannya. Namun demikian, secara

15

empirik terlihat bahwa negara dengan tingkat ekonomi dan politik

yang relatif mapan cenderung untuk lebih menerapkan prinsip

desentralisasi daripada dekonsentrasi ( Suwandi & Ikhsan, 1998 ).

Kebijakan desentralisasi fiskal selain diarahkan pada sisi

pendapatan daerah, juga diarahkan pada sisi pengeluaran

daerah.Menurut Ivar Kolstad dan Odd-Helge Fjeldstad (2006),

desentralisasi fiskal merupakan bentuk penyerahan wewenang belanja

dan pengelolaan sumber – sumber pendapatan kepada pemerintah

daerah.desentralisasi memiliki tujuan untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan daerah.

Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari

desentralisasi. Bahl (1999:65) mengemukakan Dalam melaksanakan

desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan

salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. artinya,

setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan

membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk

melaksankan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan

pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah,

melalui pelimpahan wewenang pemerintah pusat ke daerah.

maksudnya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan maka

kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Saragih, (2003:12).Oleh sebab itu, otonomi daerah membutuhkan

kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal ber-

tujuan untuk memampukan kemampuan keuangan daerah di dalam

meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya, terutama dalam

mencapai standar pelayanan minimum. Menurut Suparmoko

(1997:320), desentralisasi fiskal dapat diketahui dengan menghitung

rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah,

rasio subsidi dan bantuan pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih

tinggi terhadap total penerimaan daerah, rasio pajak untuk daerah

terhadap total penerimaan daerah dan rasio penerimaan daerah

terhadap total penerimaan negara. Pengukuran derajat desentralisasi

fiskal daerah dapat terlihat dari rasio antara PAD terhadap total

penerimaan daerah. Implementasi kebijakan desentralisasi

administratif dan pemerintahan daerah, terutama desentralisasi fiskal

16

memerlukan adanya transparansi dan akuntabilitas. Hal ini menjadi

prasyarat penting demi terpenuhinya tujuan pemberian otonomi

daerah, yaitu a) meningkatnya kesejahteraan masyarakat, b)

meningkatnya pelayanan umum, dan c) meningkatnya daya saing

daerah.

Desentralisasi ekonomi atau pasar berjalan melalui sektor

swasta dengan fungsi eksklusif (khusus) yang dilakukan oleh

pemerintah. Hal ini diwujudkan melalui privatisasi dan deregulasi.

Jenis desentralisasi mempromosikan keterlibatan bisnis, kelompok

masyarakat, koperasi, asosiasi sukarela swasta, dan lembaga swadaya

masyarakat lainnya. Privatisasi berarti transfer bentuk fungsi publik

untuk lembaga non-pemerintah. Di banyak negara pengalihan

beberapa perencanaan dan tanggung jawab administrasi fungsi publik

dari pemerintah kepada badan-badan swasta atau sukarela

memfasilitasi proses desentralisasi (Ahmed, 1990). Menurut Tim

Tematik Bank Dunia, privatisasi dapat mencakup: a) Membiarkan

perusahaan swasta untuk melakukan fungsi yang sebelumnya telah

dimonopoli oleh pemerintah; b) MeLSMntrakkan penyediaan atau

pengelolaan pelayanan publik atau fasilitas untuk perusahaan

komersial memang ada berbagai cara yang mungkin di mana fungsi

dapat diatur dan banyak contoh dalam sektor publik dan bentuk

kelembagaan publik swasta terutama di bidang infrastruktur; c)

program sektor pembiayaan publik melalui pasar modal (dengan

regulasi atau langkah-langkah untuk mencegah situasi di mana

pemerintah pusat menanggung risiko kecoklatan ini) dan

memungkinkan organisasi swasta untuk berpartisipasi memadai; dan d)

Mentransfer tanggung jawab untuk menyediakan layanan dari publik

ke sektor swasta melalui divestasi perusahaan milik negara.

Dinamika Penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia

Penerapan desentralisasi administratif dan pemerintahan

daerah menimbulkan pelbagai dinamika yang tidak terlepas dari

berbagai permasalahan yakni tidak terintegrasinya sistem secara

17

optimal sehingga memperlambat alur birokrasi penyelenggaraan

pemerintah antara pusat pemerintahan dan daerah-daerah otonom.

Oleh sebab itu, Indonesia menyelenggarakan pemerintahan daerah

berdasarkan tiga prinsip utama, desentralisasi, dekonsentrasi, serta

tugas pembantuan guna mencapai efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan pemerintah dalam mencapai kesejahteraan

masyarakat. Meskipun demikian, terdapat berbagai aspek permasalahan

yang timbul dari penyelenggaraan pemerintahan disentralisasi. Seperti

yang dikemukakan oleh Surtikanti (2013)1 terkait dengan isu-isu yang

timbul dalam dinamika penyelenggaraan sistem pemerintahan

desentralisasi yakni permasalahan yang terjadi pada pembagian urusan

pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota; Kewenangan Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah Pusat; Pengangkatan Sekretaris Kabupaten/Kota; Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah; Perimbangan Keuangan; Pertanahan;

Sengketa Perbatasan dan Penanganan derah Perbatasan; dan

Pemekaran Daerah. Menurutnya, permasalahan tersebut terjadi karena

belum memadai dan belum lengkapnya peraturan pelaksanaan untuk

menjalankan UU No 32 tahun 2004; Pemerintah harus melakukan

audit yang komprehensif terhadap praktek penyelenggaraan otonomi

daerah; diperlukan pembentukan lembaga independen yang tidak

dapat diintervensi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat

untuk melakukan audit praktek penyelenggaraan otonomi daerah;

serta dalam hal pembagian urusan pemerintahan yang selama ini

sangat dominan pada domain politik, perlu digeser ke domain

manajerial agar pembagian urusan pemerintahan tersebut dapat

memperhatikan kaidah-kaidah administrasi publik yang menjamin

keadilan, pemerataan, efektivitas dan efisiensi. Penelitian yang

dilakukan oleh Surtikanti (2013) masih dalam konteks pokok

penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

tentang Perimbangan Kuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

1Surtikanti., 2013., Permasalahan Otonomi Daerah Ditinjau dari Aspek Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Majalah Ilmiah Unikom, Bidang Ekonomi, Vol 11. No 1.

18

yang direvisi melalui UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Kuangan

Pusat dan Daerah. Sehingga, permasalahan yang timbul dan dianalisis

secara konseptual masih pada tataran tatakelola (good governance)

sistem birokrasi terutama pada pengelolaan keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom.

Otonomi daerah tidak hanya ditinjau dari aspek pengelolaan

keuangan maupun manajerial sistem birokrasi melainkan dapat dilihat

dari aspek pengeloaan sumber daya alam. Sebagaimana Nurkin (2006)2

dalam penelitiannya tentang desentralisasi dan pengelolaan sumber

daya alam menguraikan pelbagai permasalahan yakni kelemahan dalam

penerapan desentralisasi sehingga menyebabkan penyimpangan.

Menurutnya, apabila tidak disertai tanggungjawab dalam kewenangan

dan kemampuan dalam pengelolaan serta dukungan kapasitas

kelembagaan yang memadai. Selain itu, kecenderungan untuk

meningkatkan pendapatan daerah menyebabkan pengurasan dan

ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam. Adapun,

eksternalitas yang timbul tidak hanya merugikan satu sektor atau

daerah itu sendiri tetapi menyebabkan kerugian yang bersifat

multisektor dan melampaui batas-batas administratif suatu daerah

hingga memberikan dampak yang bersifat regional bahkan nasional.

Dalam pembahasannya, tidak berbeda dengan Surtikanti (2013) dasar

yang digunakan sebagai acuan ialah UU No. 22 tahun 1999 dan UU No.

25 tahun 1999 namun Nurkin (2006) lebih fokus membahas tentang

Kehutanan sesuai UU No 1 tahun 1999. Menurutnya, penyimpangan

sebagai permasalahan yang timbul dari desentralisasi terhadap

pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks pengelolaan hutan di

Sulawesi Selatan ialah penetapan para staf atau pegawai dan aset dari

lembaga yang dibubarkan atau dilebur, pegawai yang tidak mempunyai

keterampilan teknis lebih banyak menumpuk di tingkat propinsi

sedangkan di daerah terjadi kekurangan tenaga profesional yang

diperburuk dengan penerimaan pegawai oleh Pemerintah Daerah yang

2Nurkin, Baharuddin., 2006., Otonomi Daerah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam : Kasus Pengelolaan Hutan di Sulawesi Selatan., Jurnal Perennial, 2(1) : 25-30

19

mana tidak memiliki latarbelakang pendidikan kehutanan; peranan

dan tanggungjawab lembaga atau instansi di daerah (tingkat Propinsi

dan Kabupaten) tumpang tindih, tidak sejalan, atau bertentangan;

perselisihan dan konflik terhadap alokasi penggunaan lahan hutan;

berkembang dan tidak terkendalinya perambahan hutan dan penebang

hutan ilegal (illegal loging). Berdasarkan pelbagai permasalahan yang

timbul, Nurkin (2006) mengusulkan beberapa solusi untuk

menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membuat pedoman yang

jelas dan rinci (PP, Kepmen, PERDA) tentang hak, peranan dan

kewajiban dari pemerintah, pengusaha, dan masyarakat utamanya bagi

yang berada pada lokasi sumber daya alam yang akan dimanfaatkan;

membuat pedoman yang berada dalam kerangka nasional dan global

untuk menjamin konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan yang

melibatkan secara aktif masyarakat dan pihak swasta setempat;

menyiapkan pedoman pemanfaatan sumberdaya alam dengan mengacu

pada metoda baku yang menjamin pelestarian, kajian yang

komprehensif terhadap dampak sosial ekonomi dan lingkungan perlu

dilakukan sebelum dilaksanakannya pemanfaatan. Dalam kaitannya

dengan upaya pencegahan dampak lingkungan dan sosial, diperlukan

penerapan prinsip dasar pengelolaan sumberdaya yang memperhatikan

prinsip tanggungjawab terhadap kerusakan lintas batas serta

rasionalisasi dan persamaan pemanfaatan sumberdaya.

Desentralisasi juga mempengaruhi aspek pelayanan kesehatan

secara nasional, sebagaimana Widaningrum (2007)3 yang menguraikan

dinamika pelaksanaan desentralisasi birokrasi pelayanan kesehatan.

Menurutnya, Desentralisasi telah mengubah sebagian besar tatanan

dan fungsi dalam sistem kesehatan sebagai dampak dari peralihan

kekuasaan pusat ke daerah pemerintahan Kabupaten dan Kota untuk

mengelola sumber daya alam, dana dan manusia. Desentralisasi

memberikan pilihan antara efisiensi dan pemerataan, sehigga harus

memperhatikan informasi yang asimetris antara produsen dan

konsumen jasa kesehatan; eksternalitas yang dihasilkan; dan

3 Widaningrum, Ambar., 2007., Dinamika Pelaksanaan Desentralisasi Birokrasi Pelayanan Kesehatan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 10 No 3 Hal 365-390.

20

kebutuhan akan pelayanan. Dalam dinamika kerja kebijakan kesehatan

daerah, dukungan politis menjadi aspek utama. Selain itu, alokasi

anggaran kesehatan menjadi salah satu instrumen dalam peningkatan

pelayanan kesehatan sekaligus menggambarkan arah dan tujuan

pembangunan kesehatan daerah dalam satu kurun waktu anggaran.

Adapun, kapasitas regulasi dan pengelolaan pelayanan kesehatan

menjadi konsep teknokratis yang mengandung esensi keahlian,

ketermpilan, profesionalitas, efisiensi, efektivitas dan sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan desentralisai birokrasi pelayanan

ksehatan belum memberikan dampak yang merata dan efisien,

meskipun sudah banyak dilakukan perubahan kebijakan tingkat daerah

melalui Dinas Kesehatan dengan memanfaatkan peluang desentralisasi,

perubahan di tingkat bawah (Puskesmas ke bawah) tidak menonjol.

Kelemahan utama terletak pada operasionalisasi yang lemah di level

tersebut, karena tidak disertai penguatan kemampuan maupun strategi

di tingkat bawah. Secara terperinci, kelemahan tersebut ialah

kurangnya konsolidasi internal birokrasi pelayanan kesehatan, karena

multi peran unit pelayanan kesehatan masyarakat; kurangnya

kemampuan menggali potensi lokal, misalnya dengan memperkuat

kembali peran kader sehat melalui PKK desa dalam Posyandu, sehingga

responsivitasnya lemah; kurangnya kemampuan melakukan inovasi

terhadap persoalan-persoalan kesehatan masyarakat yang bervariasi

sebagai akibat dari tradisi administrasi rutin dalam birokrasi pelayanan

kesehatan.

Desentralisasi dalam bingkai pembangunan selain

mempengaruhi pelaksanaan fungsi negara, juga dapat mengarah ke

sistem federal. Sebagaimana Hendratno (2007)4 menguraikan persoalan

ketidakmerataan hasil pembangunan yang mengacu pada UU No 22

tahun 1999 menggantikan UU No 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahaan di Daerah yang mulai berlaku tanggal diundangkan 7

Mei tahun 1999 menunjukan adanya peningkatan porsi penyerahan

kewenangan atau derajat desentralisasi. Menurutnya, UU No 5

4 Hendratno, E.,T., 2007., Desentralisasi yang Mengarah ke Sistem Federal dan Pengaruhnya Terhadap Pelaksanaan Fungsi Negara., Journal Hukum Indonesia Vol 4 No 2

21

tahun1974 masih sentralistis. Berbeda halnya dengan UU No 22 tahun

1999 yang mengatur pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan

bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional, membuka

cakrawala baru dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

dan menggeser cara pandang sentralistis menjadi desentralistis.

Namun, UU No 22 tahun 1999 dan UU No 32 tahun 2004 dinilai oleh

beberapa pakar mengarah ke sistem federal karena Indonesia

berbentuk susunan negara kesatuan di mana kekuasaan berada di

Pemerintah Pusat, namun kewenangan Pemerintah Pusat ditentukan

batas-batasnya dalam UUD (Undang Undang Dasar) dan UU (Undang

Undang). Sistem federal dilandasi oleh prinsip penyerahan sisa atau

residu kekuasaan kepada negara-negara bagian; penerapan sistem

subsidiaritas dalam hubungan pemerintahan negara federal dan negara-

negara bagian; hubungan kontraktual atau kesepakatan antar negara-

negara bagian dan negara federal dalam pembagian kekuasaan dilandasi

oleh kaidah pengaturan diri sendiri dan pengaturan pembagian nilai;

pengakuan terhadap pluralisme yang membentuk prinsip kesatuan

dalam keanekaragaman. Kebijakan desentralisasi di Indonesia yang

mengarah ke sistem federal juga tercermin dalam sistem pemilihan

kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatur oleh UU No 32

tahun 2004 bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih

dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang

bersangkutan. Mekanisme pemilihan kepala daerah lazim digunakan di

negara-negara yang menganut sistem federasi atau federal murni,

sehingga dijadikan contoh kongkret untuk menjelaskan kebijakan

desentralisasi yang federal. Hal ini menunjukan bahwa undang-undang

merupakan upaya untuk mempertahankan keutuhan negara,

pembangunan yang tidak merata dan rasa ketidakadilan telah

melahirkan tuntutan dan gerakan di berbagai daerah yang mengancam

disintegrasi negara. Selain itu, untuk mewujudkan pemerataan

pembangunan guna mencapai kesejahteraan rakyat kondisi suatu

negara yang secara geografis sulit terjangkau dengan kondisi

masyarakat dan daerah majemuk, tidak bisa diselenggarakan dengan

sistem otokratis, sentralis namun harus demokratis dan desentralisasi.

22

Desentralisasi juga memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan

masyarakat. Sebagaimana Haug (2007)5 menguraikan tentang dampak

desentralisasi, di mana pemerintah daerah memperoleh wewenang

politik dan kekuasaan mengambil keputusan yang lebih besar sehingga

memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Dalam penelitiannya, diuraikan data statistik

yang menunjukan adanya stagnasi kemiskinan yang lebih tinggi setelah

diterapkan disentralisasi. Menurutnya, wewenang pemerintah daerah

atas pengelolaan sumber daya alam untuk sementara waktu sempat

membuka ruang bagi kabupaten untuk menerbitkan izin penebangan

berskala kecil (yang disebut HPHH 6 atau IPPK 7 ), tetapi dengan

resentralisasi sektor kehutanan pada tahun 2004 wewenang penerbitan

izin penebangan kembali menjadi hak ekslusif pemerintah pusat,

sehingga desentralisasi menciptakan banyak ketidakpastian di

Kalimantan Timur. Melalui penelitiannya, dampak desentralisasi

terhadap pengelolaan sumber daya alam dikaitkan dengan kehidupan

masyarakat di Kutai Barat secara khusus Dayak Benuaq untuk

mengamati dinamika penyelenggaraan desentralisasi serta

hubungannya dengan kemiskinan. Hasil temuannya menunjukan

bahwa desentralisasi memiliki dampak positif sekaligus negatif bagi

kehidupan masyarakat Dayak Benuaq, pembentukan kabupaten baru

yang meningkatkan partisipasi politik dan hak penentuan nasib sendiri

dari warga yang sebelumnya terpinggirkan, mengarah pada munculnya

elit-elit Dayak baru. Infrastruktur dan pelayanan pemerintahan

meningkat dari berbagai sektor, program penanggulangan kemiskinan

dapat terlihat di semua kampung meskipun pembangunan Kabupaten

cenderung terkonsentrasi sehingga mengeceweakan warga yang tinggal

di kecamatan yang sulit dijangkau. Disisi lain, desentralisasi membuka

beberapa kesempatan bagi tumbuhnya kegiatan ekonomi baru, seperti

pembalakan (liar), pembayaran kompensasi, dan imbalan menjadi

sumber penghasilan yang menggiurkan. Peningkatan penghasilan

5 Haug, Michael., 2007. Kemiskinan dan Desentralisasi di Kutai Barat : Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kesejahteraan Dayak Benuaq. CIFOR : Bogor. 6HPHH: Hak Pemungutan Hasil Hutan 7IPPK: Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan kayu

23

tersebut, diikuti kekayaan materi berjangka pendek karena hanya

sedikit keluarga yang menggunakan pendapatan untuk investasi jangka

panjang. Selain itu, pekerjaan baru di pemerintahan daerah dan

peningkatan harga karet menghadirkan sumber penghasilan bagi

warga. Desentralisasi menyebabkan peningkatan pemanfaatan sumber

daya alam yang ekstraktif seperti pembalakan kayu dan pertambangan

batubara. Di sejumlah tempat, desentralisasi mempercepat proses

perubahan sosial, yang meningkatkan ekslusifitas hak atas sumber daya

alam yang berimplikasi pada kemiskinan dalam konteks pengelolaan

atau pemanfaatan sumber daya alam untuk memperoleh pendapatan.

Berdasarkan hal tersebut, diusulkan untuk meningkatkan pemantauan

dan perencanaan yang matang; meningkatkan infrastruktur dan

pelayanan; meningkatkan lingkungan alam; meningkatkan lingkungan

ekonomi; mempertahankan sistem subsidi; meningkatkan lingkungan

sosial; dan meningkatkan lingkungan politik. Hal tersebut dapat

dilakukan dengan membangun hubungan kerjasama antara sektor

publik dan private dalam kebijakan.

Desentralisasi dimaknai sebagai dekonsentrasi yang merupakan

prinsip dasar dalam penyelenggaraan hubungan pemerintah pusat dan

daerah. Dekonsentrasi selalu mengalami perubahaan sesuai kondisi

politik maupun tuntutan obyektif yang berkembang di tengah

masyarakat. Dekonsentrasi diyakni sebagai keyakinan tunggal tentang

format dan kadar terbaik dari kebijakan dekonsentrasi menuju

kontruksi terbaiknya. Dalam konteks dekonsentrasi negara di

Indonesia, Utomo (2012)8 mengajukan empat agenda yang diperlukan

untuk memperbaiki implementasi dekonsentrasi di Indonesia yakni

posisi kepala daerah, menyempurnakan sistem pemilihan kepala

daerah, mendefinisikan kembali tujuan desentralisasi dan

dekonsentrasi, serta mendesain ulang wewenang dan urusan

dekonsentrasi. Disisi lain, Hapsah dan Mas’udi (2012) 9 mengkaji

tentang paradoks desentralisasi dan kesejahteraan pada masyarakat

8Utomo, T, Widodo. 2012. Sejarah Dekonsentrasi di Indonesia dan Agenda Kebijakan Kedepan. Jurnal Desentralisasi Volume 10, No. 1, Hal. 1-16 9Hapsah., & Mas’Udi. 2012. Paradoks Desentralisasi dan Kesejahteraan : Kalimantan Timur Kaya tapi Miskin. Jurnal Desentralisasi Vol 10, No., 1 Hal. 16-37

24

Kalimantan Timur yang kaya tapi miskin. Hasil kajian menunjukan

adanya ketimpangan sebagai dampak dari desentralisasi, sebagaimana

sumber daya ekonomi yang melimpah justru telah melahirkan

kemiskinan dan buruknya pelayanan publik. Sistem otonomi daerah

sebagai implementasi desentralisasi diharapkan bisa menghadirkan

manfaat yang lebih besar kepada masyarakat, mengingat kapasitas

fiskal daerah telah meningkat signifikan. Peningkatan kapasitas

keuangan dan peningkatan kewenangan pemerintahan dianggap

sebagai peluang pemerintah daerah untuk melakukan akselerasi atau

percepatan pembangunan guna mencapai kesejahteraan. Namun

demikian, hal tersebut tidak berhasil mencapai tujuan ideal

pembangunan daerah di Kalimantan Timur. Masyarakat justru

menghadapi situasi kemiskinan dan keterpurukan infrastruktur

ditengah kelimpahan sumber daya. Sependapat dengan Haug (2007),

hasil temuannya menunjukan adanya kegagalan teknokratisme, karena

berkah desentralisasi dikuasai oleh elit-elit kekuasaan. Secara

terperinci, penyebab kemiskinan dalam kaitannya dengan

desentralisasi diuraikan sebagai faktor warisan minor seperti faktor

warisan kebijakan masa lalu; faktor sosiologis dan kultural; dan faktor

defisiensi pemerintahan lokal. Berdasarkan hal tersebut, perlu

diterapkan kebijakan pengarusutamaan kemiskinan(poverty mainstream policy) dalam proses perencanaan pembangunan daerah

dan penyusunan anggaran; pengembangan sumber daya manusia dan

peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah; Pengawalan

konsistensi kebijakan melalui penguatan kontrol masyarakat sipil dan

kekuatan sosial lainnya; dan revitalisasi implementasi desentralisasi.

Desentralisasi dalam perkembangannya mulai meningkatkan

performa dalam upaya meLSMptimalkan pembangunan yang merata

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana Istania dan

Junaedi (2012)10 dalam kajiannya tentang revisi model otonomi daerah

menuju desentralisasi asimetris, telah menguraikan beberapa hal yang

sangat esensial dalam mencapai keberhasilan desentralisasi.

10Istania Ratri., & Junaedi, Dedi. 2012. Menuju Otonomi Daerah Adil dan Sejahtera : Revisi Model Otonomi Daerah Menuju Desentralisasi Asimetris, Jurnal Desentralisasi Vol 10, No.1, hal 37-

25

Menurutnya, desentralisasi mengandung makna devolusi,

dekonsentrasi, delegasi, dan privatisasi. Sedangkan, otonomi daerah

adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan

keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi-

organisasi kepada unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semi

otonom dan parastotal, ataupun kepada pemerintah daerah atau

organisasi non-pemerintah. Sementara itu, desentralisasi simetris

dimaknai sebagai sistem pembagian kewenangan tiap level pemerin-

tahan, dari pusat sampai ke daerah, dimana terdapat suatu upaya

sistematis untuk meduplikasi kewenangan yang dimiliki melalui

pendekatan top down. Sedangkan, desentralisasi asimetris merupakan

evolusi dari konsep federasi asimetris yang merujuk pada negara

federasi dalam menampilkan perbedaan ukuran dan tingkat kesejah-

teraan, kebudayaan atau bahasa, perwakilan dan tingkat pengaruh unit

pada level federasi. Kajian kritisnya menunjukan adanya berbagai

kelemahan, ketimpangan dan ketidakjelasan model desentralisasi,

antara simetris dan asimetris yang terus mengemuka di level akademisi

maupun praktisi pemerintahan yakni ketimpangan di bidang

desentralisasi politik, antara lain: ketidakjelasan pembagian kewe-

nangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara

pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota; ketidak-

jelasan status provinsi dan gubernur menempatkan provinsi berstatus

daerah otonom berdampingan dengan status otonom daerah

kabupaten/kota; pembuatan peraturan desentralisasi/otonom yang

cenderung terpecah-pecah dan cenderung bertentangan, baik pada

lingkup lokal maupun nasional; semakin rendahnya profesionalisme

aparatur daerah; pembagian kewenangan menjadi urusan wajib dan

urusan pilihan belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh

daerah. Selain itu, terdapat ketimpangan di bidang ekonomi/fiskal,

yakni : ketimpangan pembangunan antar wilayah disebabkan oleh

pemberlakuan model pembangunan puluhan tahun; dan kebijakan

ekonomi yang eksploitatif. Menurutnya, beberpa model desentralisasi

asimetris sangat ideal diterapkan di Indonesia karena dikemas dalam

kerangka undang-undang yang berlaku saat ini; memberikan berbagai

bentuk variasi daerah otonom; desentralisasi asimetris yang lebih

26

bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua; desentralisasi

asimetris radikal yang mengandung prinsip efisiensi dipadukan dengan

keberagaman latarbelakang historis, kultur, identitas etnis religius dan

bahasa.

Penyelenggaraan desentralisasi atau otonomi daerah berpotensi

meningkatkan tindak kriminal dalam hal ini tindak korupsi.

Sebagaimana Nugroho (2012)11 tentang otonomi daerah dan korupsi,

telah menguraikan fakta empirik tentang hubungan antara tindak

korupsi dengan penyelenggaraan desentralisasi. Menurutnya,

desentralisasi pada hakekatnya memiliki tujuan mulia yakni untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendekatkan

pelayanan publik kepada masyarakat; menegakan prinsip demokrasi,

pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan kekhususan daerah;

efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan

memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa. Namun desentralisasi juga

mengandung berbagai bahaya antara lain korupsi yang makin meluas

jaringannya. Pendapat tentang hubungan desentralisasi dan korupsi

menghasilkan pro dan kontra, desentralisasi dipandang mengurangi

tingkat korupsi dan desentralisasi dipandang menyuburkan tingkat

korupsi. Dalam penelitiannya, dilakukan analisis data indeks persepsi

korups di Indonesia, sehingga ditemukan bahwa korupsi menjadi

semakin subur setelah dilaksanakan otonomi daerah karena banyaknya

kepala daerah baik Bupati atau Walikota maupun Gubernur yang

melakukan tindak korupsi. Hal tersebut terjadi karena pengelolaan

keuangan daerah menjadi wewenang daerah. Alasan desentralisai fiskal

menyuburkan korupsi disebabkan tiga hal yakni : sadar atau tidak,

program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya

terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan,

keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa

disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat; tidak ada institusi

negara yang mampu meLSMntrol secara efektif penyimpangan

wewenang di daerah. Berdasarkan hal tersebut, direkomendasikan

11Nugroho.2012. Otonomi Daerah dan Korupsi. Jurnal Desentralisasi Vol 10, No.1 Hal 57-61

27

kebijakan dengan melakukan revisi UU No. 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah, terkait pembagian wewenang pemerintah pusat

dan daerah terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang

terjerat kasus korupsi. Selain itu, pemerintah juga dapat

meLSMptimalkan upaya memerangi korupsi di daerah dengan

memanfaatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) secara maksimal.

Serta, menerapkan asas pembuktian terbalik yakni aturan hukum yang

mengharuskan seseorang untuk membuktikan kekayaan miliknya

sebelum menjabat.

Tantangan dalam inovasi penyelenggaraan pemerintahan

dalam konteks reformasi administrasi di Indonesia berjalan seiring

dengan penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan

daerah. Sebagaimana Suharto (2012) 12 menguraikan tentang realitas

dan tantangan inovasi penyelenggaraan pemerintahan yang tidak

terlepas dari desentralisasi. Menurutnya, desentralisasi administratif

dan pemerintahan daerah membutuhkan sebuah tatakelola yang baik

(good governance) oleh sebab itu reformasi administrasi publik

merupakan agenda yang mendesak untuk dituntaskan. Dalam konteks

Indonesia, realitas administrasi publik Indonesia masih memperlihat-

kan praktek administrasi publik tradisional dan masih mencerminkan

patrimonial governance yang telah berkembang sejak jaman pra

kolonial. Walaupun era reformasi (Paska 1998) membawa pada transisi

demokrasi Indonesia dan memungkinkan untuk mendesentralisasikan

kekuasaan ke pemerintah daerah yang sebelumnya hampir sepenuhnya

dikuasai pemerintah pusat, tidak berarti bahwa setiap tuntutan,

kepentingan dan ide-ide grassroots akan diakomodasi oleh pemerintah

daerah. Kebijakan desentralisasi, selain membawa dampak positif pada

kenyataannya juga mendorong ketidakefisienan pemerintah dalam

wujud pemekaran daerah. Oleh karena itu, inovasi penyelenggaraan

pemerintah memerlukan adanya reformasi administrasi melalui

pendekatan governance untuk membangun tindakan kolektif yang

didasarkan pada penciptaan tujuan bersama.

12Suharto, Didik. 2012. Realitas dan Tantangan Inovasi Penyelenggaraan Pemerintahan : Perspektif Reformasi Administrasi di Indonesia. Jurnal Desentralisasi Vol 10, No.1 Hal 63-74.

28

Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikaji sebelumnya,

pelbagai permasalahan dan tantangan dalam penyelenggaraan

desentralisasi maupun otonomi daerah perlu untuk dianalisis dan

diantisipasi melalui penjaringan aspirasi serta persepsi para aktor yang

memiliki peran penting dalam pembangunan suatu negara. Berkenan

dengan penyelenggaraan desentralisasi, Timor Leste merupakan negara

yang akan mengimplementasikan sistem desentralisasi administratif

dan pemerintahan daerah untuk mengoptimalkan fungsi

pemerintahan. Oleh sebab itu, penting untuk diketahui pemikiran para

aktor yakni birokrat, akademisi, sektor swasta, dan organisasi

kemasyarakatan terkait potensi masalah yang timbul sebagai dampak

dari penerapan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah di

Timor Leste, sehingga dapat diantisipasi dan disiapkan solusi atau

strategi penanganan masalah guna mencapai keberhasilan dalam

pembangunan negara. Berikut ini adalah kerangka pikir penelitian.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dalam Gambar 2.1 merupakan proses

penelitian tentang mengantisipasi desentralisasi otonomi daerah yang

merupakan judul penelitian ini. Dalam upaya untuk mencapai tujuan

Desentralisasi

Masalah

Antisipasi

Presepsi Birokrat

Presepsi

Akademisi

Presepsi

Pengusaha

Presepsi

Organisasi

Kemasyarakatan

29

desentraliasi maka diperlukan identifikasi dan antisipasi masalah yang

timbul dari proses penyelenggaraan desentralisasi. Proses identifikasi

dan antisipasi dapat dilakukan melalui penjaringan aspirasi atau

presepsi para aktor sebagai pemangku kepentingan yakni birokrat,

akademisi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan. untuk

memudahkan proses identifikasi presepsi, maka peneliti menjabarkan

rumusan masalah menjadi empat pertanyaan penelitian sebagai

berikut: pertama, bagaimana persepsi para aktor sebagai pengambil

keputusan dalam pemerintahan tentang penyelenggaraan desentralisasi

administratif dan pemerintahan daerah di Timor Leste ?; kedua,

bagaimana persepsi para aktor sebagai akademisi tentang

penyelenggaraan desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah

di Timor Leste ?; ketiga, bagaimana persepsi para aktor sebagai

pengusaha tentang penyelenggaraan desentralisasi administratif dan

pemerintahan daerah di Timor Leste ? ; keempat, bagaimana persepsi

para aktor organisasi kemasyarakatan tentang penyelenggaraan

desentralisasi administratif dan pemerintahan daerah di Timor Leste ?

setelah mengetahui persepsi para aktor tersebut, akan dianalisis

prioritas masalah yang perlu untuk diantisipasi. Pembahasan atas

pertanyaan penelitian tersebut, secara mendalam dikaji dan dianalisis

pada Bab V dalam penelitian ini. Dengan demikian, kerangka pikir

penelitian ini dapat memberikan gambaran keseluruhan proses

penelitian yakni tujuan dan maksud pelaksanaan penelitian ini.