BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.upnvj.ac.idrepository.upnvj.ac.id/5930/9/BAB II.pdf · orang...

26
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Hipertensi Hipertensi atau juga bisa disebut tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Tekanan darah atau hipertensi yang berlangsung meningkat dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) (Kemenkes, 2013). Hipertensi berkaitan dengan dua hal yaitu tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik yaitu tekanan maksimal atau gerakan jantung, yang berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi. Sedangkan, tekanan diastolik yaitu tekanan terendah atau gerakan jantung sewaktu relaksasi diantara dua denyutan (Hull, 1993;Irfa, 2011). Jika secara dini tidak di deteksi dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak orang dengan risiko hipertensi dengan tekanan darah tidak dapat terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi sangat dibutuhkan dari semua pihak, baik dari dokter dengan berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan (Kemenkes, 2013). Hipertensi merupakan peningkatan abnormal tekanan darah di dalam pembuluh darah arteri dalam satu periode, mengakibatkan arteriola berkonstriksi sehingga membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri (Hardiyati, Faturahman and Maywati, 2017). Sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebab medisnya, yang dikenal dengan hipertensi primer (esensial). Kondisi seperti ini terjadi pada 90% penderita hipertensi, sedangkan pada 10% kasus hipertensi yaitu dapat dideteksi penyebab definitifnya, yang dikenal dengan hipertensi sekunder (Sherwood, 2001;Rahayu, 2012). Sedangkan untuk hipertensi primer mempunyai kecenderungan genetik yang kuat dan didukung dengan faktor risiko lainnya seperti obesitas, konsumsi garam dan lemak jenuh berlebih, dan kebiasaan merokok. Faktor hipertensi yang UPN "VETERAN" JAKARTA

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.upnvj.ac.idrepository.upnvj.ac.id/5930/9/BAB II.pdf · orang...

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Hipertensi

Hipertensi atau juga bisa disebut tekanan darah tinggi adalah peningkatan

tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari

90 mmHg dalam dua kali pengukuran dengan waktu lima menit dalam keadaan

cukup istirahat/tenang. Tekanan darah atau hipertensi yang berlangsung

meningkat dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan

pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak

(menyebabkan stroke) (Kemenkes, 2013). Hipertensi berkaitan dengan dua hal

yaitu tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik yaitu tekanan maksimal atau

gerakan jantung, yang berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung

berkontraksi. Sedangkan, tekanan diastolik yaitu tekanan terendah atau gerakan

jantung sewaktu relaksasi diantara dua denyutan (Hull, 1993;Irfa, 2011). Jika

secara dini tidak di deteksi dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak

orang dengan risiko hipertensi dengan tekanan darah tidak dapat terkontrol dan

jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi sangat dibutuhkan dari

semua pihak, baik dari dokter dengan berbagai bidang peminatan hipertensi,

pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat

dikendalikan (Kemenkes, 2013). Hipertensi merupakan peningkatan abnormal

tekanan darah di dalam pembuluh darah arteri dalam satu periode, mengakibatkan

arteriola berkonstriksi sehingga membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan

tekanan melawan dinding arteri (Hardiyati, Faturahman and Maywati, 2017).

Sebagian besar hipertensi tidak diketahui penyebab medisnya, yang dikenal

dengan hipertensi primer (esensial). Kondisi seperti ini terjadi pada 90% penderita

hipertensi, sedangkan pada 10% kasus hipertensi yaitu dapat dideteksi penyebab

definitifnya, yang dikenal dengan hipertensi sekunder (Sherwood, 2001;Rahayu,

2012). Sedangkan untuk hipertensi primer mempunyai kecenderungan genetik

yang kuat dan didukung dengan faktor risiko lainnya seperti obesitas, konsumsi

garam dan lemak jenuh berlebih, dan kebiasaan merokok. Faktor hipertensi yang

UPN "VETERAN" JAKARTA

11

tidak dapat diubah/ dikontrol yaitu adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,

sedangkan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi lemak jenuh, kebiasaan

konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres,

penggunaan estrogen merupakan faktor yang dapat diubah/dikontrol (Infodatin,

2014). Faktor pekerjaan seseorang juga memiliki pengaruh yang cukup besar

dalam mencetuskan hipertensi, di Iran menunjukkan profesi sebagai sopir

memiliki risiko lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan pekerjaan lainnya

(Nasri and Moazenzadeh, 2006).

Tabel 1 Stadium Hipertensi

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal

Stadium I (ringan)

Stadium II (Sedang)

Stadium III (berat)

< 130 – 139

140 – 159

160 – 179

180 – 209

< 85 – 89

90 – 99

100 – 109

110 – 119

Stadium IV (sangat berat) 210 atau lebih 120 atau lebih

sumber : Joint National Comitte on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(JNC V, 1993)

Dampak dari stadium 1: penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat

sebanyak dua kali lipat, dampak dari stadium 2: penyakit jantung dan pembuluh

darah meningkat sebanyak empat kali, dampak dari stadium 3: berisiko menderita

penyakit jantung dan stroke. Peningkatan tekanan darah bisa menyebabkan gejala

yang berlanjut pada suatu organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan

yang lebih berat, seperti gagal ginjal, diabetes, dan pembuluh lain, selain itu

hipertensi dapat juga menyebabkan stroke dan penyakit jantung koroner, bahkan

yang paling dapat berujung pada kematian dini (Robert, Harikedua and Tulung,

2016). Karena sekitar 50% penderita hipertensi yang tidak segera diobati secara

efektif meninggal disebabkan gagal jantung dan sekitar 30% penyebab kematian

pada penderita hipertensi adalah disebabkan serangan jantung dan stroke yang

fatal (Mardani et al., 2011).

UPN "VETERAN" JAKARTA

12

II.2 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi bisa mempermudah dalam menentukan rekomendasi

tindak lanjut berikutnya. Selain itu, jenis hipertensi perlu dikaji lebih dalam untuk

menentukan jenis penatalaksaan yang dibutuhkan. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu hipertensi primer dan

hipertensi sekunder (Rahayu, 2012).

a. Berdasarkan penyebab

1) Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Hipertensi primer bisa disebut juga hipertensi yang penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik). Hipertensi jenis ini mempunyai kecenderungan

genetik yang kuat dan dipengaruhi oleh faktor kontribusi, seperti

obesitas, stress, merokok, dan konsumsi garam berlebih. Dan terjadi

pada sekitar 90% penderita hipertensi.

2) Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial

Hipertensi sekunder bisa disebut juga hipertensi yang diketahui

penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya

adalah penyakit ginjal. Sedangkan sekitar 1-2% penderita hipertensi

penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu

(misalnya pil KB) (Kemenkes, 2014).

b. Berdasarkan bentuk Hipertensi

Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi campuran (sistol

dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic

hypertension).

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok

normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat I.

UPN "VETERAN" JAKARTA

13

Tabel 2 Kategori Cut Off Point Hipertensi

Kategori Tekanan Darah

menurut JNC 7

Tekanan

Darah Sistol

(mmHg)

dan/

atau

Tekanan Darah

Diastol (mmHg)

Normal

Pra-Hipertensi

Tahap 1

Tahap 2

< 120

120-139

140-159

≥ 160

dan

atau

atau

atau

< 80

80-89

90-99

≥ 100

Sumber : Joint National Comitte on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(JNC VII, 2004)

Klasifikasi hipertensi berdasarkan orang dewasa dapat dibagi menjadi

kelompok normal, prehipertensi, hipertensi tahap 1 dan tahap 2 sistolik < 120

mmHg dan tekanan diastolik < 80 mmHg, prehipertensi tekanan sistolik 120 –

139 mmHg dan atau tekanan diastolik 80 – 90 mmHg, hipertensi tahap 1 tekanan

sistolik 140 – 159 mmHg dan atau tekanan diastolik 90 – 99 mmHg sedangkan

hipertensi tahap 2 yaitu tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan darah

diastolik ≥ 100 mmHg

II.3 Gejala Hipertensi

Seringkali pasien menganggap bila tidak ada keluhan, berarti tekanan darah

tidak tinggi. Kejadian hipertensi pada seseorang tidak memeliki gejala yang

spesifik, tetapi gejala-gejala yang mudah diamati yaitu pusing, sakit kepala, sesak

nafas, dan tengkuk terasa pegal (Aprilianny, 2016). Penderita hipertensi biasanya

tidak mengetahui bahwa dirinya mengalami hipertensi sebab gejala-gejala tersebut

kadang tidak muncul pada beberapa penderita, bahkan pada beberapa kasus

penderita tekanan darah tinggi biasanya tidak merasakan apa-apa (Haq, 2017).

Peningkatan tekanan darah merupakan satu-satunya gejala. Dengan demikian,

gejala baru akan muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak atau

jantung. Hipertensi merupakan silent killer (penyakit yang dapat membunuh

UPN "VETERAN" JAKARTA

14

secara diam-diam) sebab tanda dan gejalanya dapat dilihat dari luar dan sangat

bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit

lainnya. Perkembangan hipertensi berjalan dengan perlahan, tetapi secara

potensial sangat berbahaya. Gejala-gejalanya yang dapat timbul itu adalah :

(kemenkes, 2013).

a. Sakit kepala/rasa berat di tengkuk

b. Pusing (vertigo)

c. Jantung berdebar-debar

d. Mudah lelah

e. Penglihatan kabur

f. Telinga berdenging (tinnitus)

g. dan mimisan.

(kemenkes, 2013)

II.4 Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan penyakit epidemi kesehatan masyarakat. Dampak dari

peningkatan tekanan darah diperkirakan pada tahun 2010 bisa menyebabkan 9,4

juta atau sekitar 95% kematian dan 162 juta tahun hidup yang hilang. Sebesar

50% dari penyakit jantung, stroke dan gagal jantung. Sebesar 13% kematian

secara keseluruhan dan lebih dari 40% kematian pada orang dengan diabetes.

Sekitar 4 dari 10 orang dewasa di atas usia 25 memiliki hipertensi dan di banyak

negara 1 dari 5 orang dewasa memiliki pre hipertensi (Haq, 2017). Penyakit

kardiovaskuler menyumbangkan penyebab utama prevalensi kematian di dunia

dengan presentase 37% setelah penyakit lainnya yaitu penyakit kanker dan

penyakit infeksi saluran pernafasan kronik (WHO, 2014). Diperkirakan 9/10

dewasa yang tinggal 80 tahun akan mengalami hipertensi. Dua pertiga dari

mereka dengan hipertensi berada di negara-negara ekonomi berkembang. Di

Negara-negara berkembang penyakit jantung dan stroke terjadi pada orang muda.

Diperkirakan 10% dari pengeluaran perawatan kesehatan secara langsung

berkaitan dengan peningkatan tekanan darah dan komplikasinya (Haq, 2017).

UPN "VETERAN" JAKARTA

15

II.5 Diagnosis Hipertensi

Diagnosis untuk hipertensi tidak bisa dilakukan hanya sekali pengukuran

saja, sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali. Selain itu untuk menyatakan dan

menegakkan diagnosis hipertensi harus berdasarkan anamnase, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang (Aprilianny, 2016). Data yang didapatkan melalui

anamnase yaitu mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit

keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnosi lainnya.

Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan

funduskopi, perhitungan IMT (Indeks Masa Tubuh) yaitu berat badan (kg) dibagi

dengan tinggi badan (meter kuadrat) auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit

arteri femoralis, palpasi pada kelenjar tiroid, pemeriksaan lengkap jantung dan

paru paru, pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra

abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal (Kartikasari, 2012). Pemeriksaan dari

laboratorium direkomendasikan sebelum memulai terapi antihipertensi adalah

urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit: kaium, kreatinin, dan kalsium seperti

profil lemak ( setelah puasa 9-12 jam ). Termasuk kolesterol baik, kolesterol jahat

dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk

pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin dibandingkan kreatinin.

Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi

tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai

(Aprian, 2015).

II.6 Teknik Mengukur Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah bisa diukur dengan menggunakan sejumlah merk

alat pengukur tekanan darah elektronik yang banyak digunakan di rumah-rumah.

Pada umumnya alat pengukur tekanan darah dapat digolongkan menjadi dua

macam

a. Alat mekanik, yaitu alat yang memerlukan seseorang yang pemakai

mendengarkan bunyi melalui stetoskop dan kemudian melihat pengukur

pressure gauge, bunyi pertama menandakan tekanan darah sistolik dan

bunyi kedua darah diastolik contohnya 120/80. Alat ini biasanya disebut

UPN "VETERAN" JAKARTA

16

aneroid, dan pengukur yang menggunakan kolom air raksa disebut

sphygmomanometer.

b. Alat elektronik, yaitu alat yang memakai baterai dan penunjukkannya

secara digital (Nugraha, 2015).

Tekanan darah perorang dinyatakan sebagai tekanan darah

sistolik/diastolik, contohnya 120/80. Tekanan darah sistolik mewakili

tekanan di arteri-arteri ketika otot jantung berkontraksi dan memompa

darah ke dalamnya. Tekanan darah diastolik mewakili tekanan di arteri-

arteri ketika otot jantung mengendur (rileks) setelah berkontraksi

(Ningsih, 2012).

Sewaktu mengukur tekanan darah yang benar responden harus :

a. Duduk dengan tenang paling sedikit 5 menit sebelumdi ukur tekanan

darahnya. Bagian punggung /belakang bersandar dengan lengan sejajar

dengan jantung. Telapak kaki menyentuh lantai dan kaki tidak boleh

disilangkan.

b. Gunakan pakian yang nyaman,tanpa ada hambatan pada lengan.

c. Bebas dari anxietas, stress, atau kesakitan.

d. Berada di ruangan dengan temperature yang nyaman. (Aziza, 2007).

Responden yang di ukur tekanan darah tidak boleh :

a. Meminum kopi sekitar 1 jam sebelum pengukuran tekanan darah.

b. Meroko selama 15- 30 menit sebelum pengukuran tekanan darah.

c. Menggunakan obat atau zat yang mengandung stimulan adrenergic

seperti fenilefrin atau pseudoefedrin. (Aziza, 2007).

II.7 Faktor – Faktor Hipertensi

II.7.1 Karakteristik Individu

a. Umur

Umur adalah faktor risiko lain yang bisa memengaruhi kejadian

hipertensi. Kejadian hipertensi muncul ketika seseorang berusia 20 tahun

baik pada laki- laki dan perempuan, dan akan terus meningkat dengan

seiring bertambahnya usia (Black & Hawks, 2005;Rahayu, 2012).

Insiden hipertensi pada lanjut usia tinggi walaupun peningkatan tekanan

UPN "VETERAN" JAKARTA

17

darah bukan merupakan bagian normal dari usia, yaitu setelah umur 69

tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. (Kuswardhani,

2006). Bisa juga dengan Kondisi kardiovaskuler yang mengalami

penurunan pada usia lanjut sehingga mudah mengalami gangguan fungsi.

Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya usia maka tekanan darah

semakin tinggi, sebagai oleh karena timbulnya arteriosklerosis (Nugraha,

2015). Sebaiknya usia 24-25 memeriksakan tekanan darahnya sebab pada

usia tersebut seseorang biasanya sudah bekerja sehari penuh, melepaskan

kegiatan olahraga yang biasanya dilakukan semasa sekolah, mempunyai

kebiasaan meeting dengan makanan berbagai snack dan dinner bersama

teman sekerja. Dengan pola hidup dan pola makan sekarang yang kebarat

baratan, dengan makanan banyak yang mengandung monosodium

glutamate (MSG) kadar garam dan lemak yang tinggi usi 30 tahun

biasanya sudah mengidap tekanan darah tinggi (Aziza, 2007).

Rata-rata responden berusia ≥ 40 tahun sebanyak 297 responden

(92,5%) mengalami hipertensi dibandingakan usia ≤40 tahun pada

pekerja sektor informal (Ningsih, 2017). Adanya kecenderungan

peningkatan proporsi hipertensi seiring dengan bertambahnya umur pada

penduduk Pekanbaru. Pada usia 30-39 tahun proporsi hipertensi hanya

sebesar 11,8% sedangkan pada usia 70-79 tahun proporsi hipertensi

meningkat drastis menjadi 72,7% (Mardani et al., 2011). Responden pada

sopir angkutan kota berumur 51 tahun ke atas yaitu sebanyak 50,5%

terjadi hipertensi dan sisanya berumur kurang dari 51 tahun sebanyak

49,5% (Prima et al., 2017). Didapatkan nilai p=0,000, berarti adanya

hubungan antara umur dengan kejadian hipertensi. Hipertensi meningkat

seiring dengan peningkatan umur. Semakin bertambah umur subjek

penelitian, persentase kejadian hipertensi semakin besar (Rahayu, 2012).

golongan umur 45-75 tahun sudah mulai di dominasi oleh penyakit

hipertensi primer sebesar 27,08% dan penyakit terbanyak penderita rawat

inap sebesar 10,96%. Sedangkan untuk pola penyakit penderita rawat

jalan rumah sakit menurut semua golongan umur di dapatkan bahwa

hipertensi esensial (primer) sebesar 11.617 kasus (6,49%) untuk warga

UPN "VETERAN" JAKARTA

18

Depok (Dinkes Depok, 2016). Supir bus AKAP yang mengalami

hipertensi sebanyak 21 orang (32,3%) memiliki umur ≥ 44 tahun dan 12

orang (18,8%) memiliki umur < 44 tahun (Haq, 2017). Bahwa umur

semakin tua maka untuk terserang hipertensi akan semakin besar,

terbukti bahwa umur 36 – 45 tahun merupakan faktor risiko hipertensi

dengan nilai p = 0,0001; OR = 7,56 dan 95% CI = 2,44 – 23,65

(Sugiharto, 2007).

b. Riwayat Hipertensi Keluarga

Salah satu faktor tidak bisa di kontrol yang mempengaruhi tingkat

kejadian hipertensi adalah riwayat hipertensi pada keluarga. Hipertensi

adalah penyakit poligenik dan multifaktorial (Black & Hawks,

2013;Rahayu, 2012). Hubungan keluarga menunjukkan tingkat tekanan

darah yang kuat yang tidak bisa dianggap hanya disebabkan oleh

lingkungan yang sama. Tetapi faktor genetik dan lingkungan terdapat

berbagai macam ragam yang dapat menyebabkan risiko hipertensi,

sehingga membaurkan pencarian gen penyebab. Secara prinsip perhatian

dipusatkan pada identifikasi kandidat gen. Termasuk diantaranya adalah

gen yang terlibat dalam sistem renin- angiotensin, bersama dengan

sejumlah substansi vasokontriktor dan vasodilator penting yang

ditemukan baru-baru ini (Rubenstein dkk., 2003;Haq, 2017). Seseorang

dengan orang tua yang menderita hipertensi akan kemungkinan

mempunyai risiko mengalami hipertensi lebih besar pada saat usia muda.

Karena seseorang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi, terdapat

beberapa dari gennya yang akan berinteraksi satu sama lain dengan

lingkungan, yang akan meningkatkan tekanan darah atau hipertensi

(Rahayu, 2012). Faktor genetik dalam hipertensi termasuk golongan

multifaktor, yaitu interaksi sejumlah gen dengan faktor lingkungan.

Secara umum jika didalam satu keluarga ada yang menderita hipertensi,

maka pada anggota keluarga yang lainnya di masa mendatang juga bisa

mempunyai riwayat hipertensi (Nugraha, 2015).

Subjek penelitian yang mempunyai riwayat keluarga dengan

hipertensi mempunyai peluang 2,067 kali menderita hipertensi

UPN "VETERAN" JAKARTA

19

dibandingkan dengan subjek penelitian yang tidak mempunyai riwayat

keluarga dengan hipertensi (Rahayu, 2012). Pengemudi Transjakarta

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara hipertensi dengan

riwayat hipertensi keluarga. (p=0,022, OR 5,118) orang dengan riwayat

hipertensi keluarga memiliki risiko 5 kali lebih tinggi mengalami

hipertensi dibandingkan yang tidak memiliki riwayat hipertensi keluarga

(Rizkawati, 2012). Terlihat juga bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih

tinggi terjadi pada responden yang memiliki riwayat keturunan dengan

hipertensi (39%) (Mardani et al., 2011). Terdapat hubungan yang

signifikan pada kejadian hipertensi supir bus AKAP yaitu adalah riwayat

keluarga hipertensi dengan (Pvalue = 0,024) Adjusted Odds Ratio (AOR)

3,412 (Haq, 2017). Didapatkan faktor risiko terjadinya hipertensi adalah

adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat menderita hipertensi

dengan nilai p = 0,000; OR = 16,588 dan 95% CI = 5,940 – 46,324

(Kartikasari, 2012). Riwayat hipertensi keluarga merupakan faktor risiko

terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,0001; OR = 6,29 dan 95% CI =

3,81 – 10,39 (Sugiharto, 2007).

II.7.2 Gaya Hidup

a. Kebiasaan Merokok

Kebiasan merokok juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya

penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler yaitu hipertensi .

Zat-zat kimia yang ada dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran

darah akan membuat pebuluh darah menyempit serta membuat sel darah

merah menjadi lebih lengket sehingga mudah membentuk gumpalan

(Nugraha, 2015). Zat-zat kimia dalam rokok sangat beracun seperti

nikotin dan karbon monoksida, ketika zat itu terhisap melalui rokok akan

masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh

darah arteri, dan dapat mengakibatkan proses aterosklerosis dan tekanan

darah tinggi. Merokok juga bisa meningkatkan denyut jantung dan

kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada

penderita tekanan darah tinggi semakin dapat meningkatkan risiko pada

UPN "VETERAN" JAKARTA

20

pembuluh darah arteri (Kemenkes RI, 2015). Nikotin dalam tembakau

merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segera setelah hisapan

pertama. Nikotin bisa memacu pengeluaran zat catecholamine tubuh

seperti hormon adrenalin. Hormon tersebut dapat menyempitkan

pembuluh darah dan memacu jantung untuk berdetak lebih kencang,

yaitu 10 hingga 20 kali lipat per menit (Prima et al., 2017). Nikotin bisa

juga meningkatkan frekuensi detak jantung, kebutuhan oksigen jantung,

tekanan darah, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin

dapat mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya

(Tandra, 2003).

Terdapat hubungan sopir bus yang mempunyai kebiasaan merokok

dengan tekanan darah sistolik, Sopir bus yang merokok memiliki tekanan

darah sistolik rata-rata 2,49 mmHg lebih tinggi p = 0,539 (Nugraha,

2015). Merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi (p=0,000) Odds

Ratio ( OR= 52,765, CI 95 % 12,669-219,762) Merokok berhubungan

dengan kejadian hipertensi (p=0,000) Odds Ratio ( OR= 52,765, CI 95 %

12,669-219,762). Nilai AOR pada sopir bus AKAP (Antar Kota Antar

Provinsi) yang mengkonsumsi rokok mempunyai peluang 3,816 kali

untuk terjadinya hipertensi, dibandingkan dengan sopir yang tidak

konsumsi rokok (Haq, 2017). Sebanyak (75,5%) sopir truk mengonsumsi

rokok, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan sopir truk yang tidak

merokok (Prima et al., 2017). Seseorang yang merokok lebih dari 20

batang perhari beresiko terkena hipertensi 0,6 kali lebih besar daripada

seseorang yang merokok 11-20 batang perhari (OR= 0,612) (Hardiyati,

Faturahman and Maywati, 2017). Kebiasaan merokok juga merupakan

salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi. Berdasarkan hasil analisis

didapatkan nilai p = 0,000; OR = 16,734 dan 95% CI = 3,674 – 76,227

(Kartikasari, 2012). untuk perokok berat terbukti merupakan faktor risiko

terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,001; OR = 2,47; 95% CI = 1,44 –

4,23 (Sugiharto, 2007). Responden yang perokok dengan kejadian

hipertensi sebesar 56,6% dan pada kelompok bukan perokok kejadian

hipertensi adalah 51,7% (Rizkawati, 2012).

UPN "VETERAN" JAKARTA

21

b. Konsumsi Kopi/Kafein

Orang yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi kopi lebih

berisiko memiliki kecenderungan untuk menderita hipertensi. Hal ini

disebabkan kandungan terbesar dalam kopi yaitu kafein yang memiliki

efek terhadap tekanan darah secara akut (Haq, 2017). Asupan kafein

sebesar 200 hingga 300 mg pada penderita hipertensi terbukti

meningkatkan tekanan darah pada 60 menit pertama setelah

mengonsumsi kafein hingga 180 menit berikutnya. Peningkatan tekanan

sistolik yang terjadi adalah adalah 8 mmHg dan 6 mmHg pada tekanan

diastolic. peningkatan tekanan darah setelah mengonsumsi kafein lebih

disebabkan oleh peningkatan resistensi perifer dibandingkan dengan

peningkatan curah jantung (Hartley, 2000).

Salah satu penyebab tingginya hipertensi adalah kebiasaan minum

kopi. Kopi merupakan salah satu minuman pilihan yang sangat digemari

masyarakat Indonesia maupun negara lain. Tetapi kopi mempunyai

kandungan kafein yang banyak, Kafein juga berakibat buruk pada

jantung. Kafein bisa menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat

sehingga setiap detiknya dapat mengalirkan cairan lebih banyak.

Didapatkan dari kebiasaan minum kopi dalam satu cangkir kopi

mengandung 75-200 mg kafein, sehingga minum kopi 3-4 cangkir

perhari dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sekitar 10 mmHg dan

tekanan darah diastolik sekitar 8 mmHg, diperoleh nilai p = 0,000 maka

disimpulkan bahwa ada hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan

kejadian hipertensi (Hardiyati, Faturahman and Maywati, 2017).

Konsumsi kafein pada sopir truk tergolong tinggi, hasil penelitian

menunjukkan bahwa 59,8% responden mengonsumsi minuman

berkafein, sopir truk yang mengonsumsi kafein berisiko 5,5 kali lebih

besar untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang

tidak mengonsumsi kafein (Prima et al., 2017). Sopir yang mengalami

hipertensi cenderung mengonsumsi kopi sebanyak 1 - 3 cangkir/hari

(22,4%) dibandingkan dengan sopir yang tidak mengonsumsi kopi (Haq,

2017). Kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada responden yang

UPN "VETERAN" JAKARTA

22

sering mengonsumsi kopi yaitu sebesar 56,9% dan pada kelompok

responden yang tidak sering mengonsumsi kopi kejadian hipertensi

sebanyak 51,6% (Rizkawati, 2012)

c. Konsumsi Makanan Asin

Konsumsi garam bisa menyebabkan cairan menumpuk di dalam

tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Konsumsi garam yang

dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari (Nugraha, 2015). Jika asupan

pada asupan NaCl berlebih, tekanan darah bisa meningkat tajam, dan

pada studi asupan NaCl tertinggi, dilaporkan jika tekanan darah akan

meningkat 33 dan 10 mmHg pada tekanan sistolik dan diastolik. Pada

manusia, dampak asupan NaCl tekanan darah akan meningkat dan bisa

menyebabkan risiko hipertensi bersamaan dengan faktor lain seperti usia,

dan atau riwayat keluarga. Selain itu, hipertensi pada anak dan dewasa

memungkinkan adanya hubungan faktor resiko asupan NaCl terhadap

hipertensi (Estiningsih, 2012). Konsumsi garam berlebih dapat

menyebabkan penyempitan dan penahanan aliran darah terhadap

pembuluh darah pada ginjal. Ginjal memproduksi hormone rennin dan

angiostenin agar pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah

yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal dapat mengalirkan

darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini dapat

menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam yang

dianjurkan per hari adalah sebesar 1500 –2000 mg atau setara dengan

satu sendok teh. Perlu diingat bahwa terdapat sebagian orang yang

sensitif terhadap garam sehingga jika mereka mengkonsumsi garam

sedikit saja dapat menaikan tekanan darah. Jika sejak dini kita membatasi

konsumsi garam maka dapat membebaskan kita dari komplikasi yang

bisa terjadi (Ningsih, 2017).

Konsumsi makanan asin atau tinggi garam bisa berhubungan

dengan risiko kejadian hipertensi (p= 0,000). Odds Ratio ( OR= 30,198

CI 95% 15,540-58,674) (Ningsih, 2017). sebagian besar supir bus AKAP

yang mengalami hipertensi cenderung memiliki kebiasaan makan

UPN "VETERAN" JAKARTA

23

makanan asin ≥ 1 kali/hari (Haq, 2017). Konsumsi makanan asin ≥ 1

kali/hari adalah salah satu faktor risiko dari penyakit jantung dan

pembuluh darah termasuk juga hipertensi pada penduduk umur 18 tahun

ke atas (Kemenkes, 2010). Sebagian besar responden memiliki tingkat

konsumsi natrium yang cukup yaitu sebanyak 79,9% (Prima et al., 2017).

Terdapat 40,6 % subjek penelitian yang sering mengonsumsi makanan

asin dan lebih cenderung menderita hipertensi dibandingkan yang tidak

pernah mengonsumsi makanan asin (Rahayu, 2012). Sering

mengkonsumsi garam adalah salah satu faktor risiko terjadinya

hipertensi. Berdasarkan analisis didapatkan hasil dengan nilai p = 0,003;

OR = 3,446 dan 95% CI = 1,509 – 7,872 (Kartikasari, 2012). Sering

mengkonsumsi asin merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi dengan

nilai p = 0,0001; OR = 4,57 dan 95% CI = 2,83 – 7,38 (Sugiharto, 2007).

Responden yang sering mengonsumsi makan tinggi natrium yaitu sebesar

56,1% dan pada kelompok responden yang tidak sering mengonsumsi

makanan tinggi natrium prevalensi kejadian hipertensi sebesar 53,7%

(Rizkawati, 2012)

d. Konsumsi Makanan Berlemak

Konsumsi makanan yang berlemak dengan berlebihan akan

menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan

peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau

penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol didapatkan dari

makanan dan disintesis di dalam sebagian besar sel tubuh. Kolesterol

adalah komponen membran sel dan prekursor hormon steroid serta

garam-garam empedu yang digunakan untuk menyerap lemak.

Konsentrasi kolesterol dalam darah yang tinggi, terutama kolesterol

dalam partikel lipoprotein yang disebut lipoprotein densitas rendah

(LDL), ini berperan menyebabkan terbentuknya plak aterosklerosis. Plak

atau endapan lemak pada dinding arteri ini dikaitkan dengan serangan

jantung dan stroke. Dalam makanan dengan kadar lemak jenuh yang

tinggi cenderung dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dalam darah

dan dapat berperan menyebabkan terbentuknya aterosklerosis. Kemudian

UPN "VETERAN" JAKARTA

24

menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi (Haq,

2017). Konsumsi lemak jenuh bisa mengakibatkan risiko ateroskelosis

yang bisa berkaitan dengan kenaikan tekanan darah, sebab kolestrol yang

tinggi dalam darah akan menempel pada dinding pembuluh darah

(Estiningsih, 2012). Selain itu orang yang mempunyai kelebihan lemak

(hiperlipidemia), dapat berpotensi mengalami penyumbatan darah,

sehingga dapat terganggunya suplai oksigen dan zat makanan ke organ

tubuh. Penyempitan dan sumbatan oleh lemak ini dapat memacu jantung

untuk mempompa darah lebih kuat lagi supaya dapat memasok

kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya, tekanan darah meningkat, maka

terjadilah hipertensi (Prima et al., 2017).

Proporsi hipertensi pada kelompok respondenyang memiliki

kebiasaan lemak tinggi lebih tinggi dibandingkan kelompok responden

yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi lemak rendah (41,5%

berbanding 26,3%) (Mardani et al., 2011). Ada hubungan konsumsi

makanan berlemak dengan kejadian hipertensi (p= 0,000) Odds Ratio

(OR= 32,978, CI 95 % 12,546- 42,086) (Ningsih, 2017). Supir bus

AKAP yang mengalami hipertensi sebanyak (25,8%) memiliki kebiasaan

makan makanan tinggi lemak ≥ 2 kali/hari (Haq, 2017). Responden yang

≥ 7 kali per minggu mengkonsumsi makanan berlemak atau jeroan

terdapat (16,4%) mengalami penyakit kardiovaskular (Irfa, 2011).

Kebiasaan mengkonsumsi lemak jenuh juga merupakan faktor risiko

terjadinya hipertensi dengan nilai p = 0,022; OR = 2,01 dan 95% CI =

1,10 – 3,66 (Sugiharto, 2007).

e. Kurang Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik kategori ringan banyak dilakukan oleh sopir

angkutan bus kecil (75,5%). Sopir angkutan bus kecil lebih banyak

menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk mengemudi.

Aktivitas fisik yang kurang dapat menurunkan High Density Lipoprotein

(HDL) dan meningkatkan Low Density Lipoprotein (LDL) sehingga

darah dapat mengalir tidak lancar dan membuat penumpukan plak pada

arteri. Selain itu, orang yang mempunyai aktivitas kurang cenderung

UPN "VETERAN" JAKARTA

25

akan mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga

pada setiap kontraksi otot jantung harus bekerja lebih keras. Semakin

keras dan sering otot jantung harus memompa maka semakin besar

tekanan yang dibebankan pada arteri (Prima et al., 2017). Tekanan darah

juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Olahraga secara teratur dapat

menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi, setelah sekian lama

berolahraga akan terjadi penurunan cardiac output dan tahanan pembuluh

darah perifer. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa olahraga teratur

dapat menurunkan norepinefrin plasma dan hal ini berkaitan dengan

perbaikan tekanan darah (Anggraeni, 2012). Pekerjaan sebagai sopir

memiliki aktivitas fisik yang sangat sedikit, bahkan sebagian besar waktu

bekerja dihabiskan dengan duduk. Aktivitas fisik yang kurang

mempunyai risiko terhadap peningkatan tekanan darah. Dalam jangka

waktu singkat aktivitas fisik seperti olah raga, jalan kaki dan sebagainya

akan meningkatkan tekanan darah, namun dalam jangka panjang olah

raga yang teratur dan aktivitas fisik membantu dalam menjaga tekanan

darah (Robert, Harikedua and Tulung, 2016). Risiko hipertensi akan

lebih tinggi pada seseorang yang tidak melalukan aktivitas fisik daripada

yang melakukan aktivitas fisik (75.5%) (Prima et al., 2017). Jika tidak

biasa olah raga dibandingkan dengan kebiasaan olah raga ideal, maka

tidak biasa olah raga terbukti sebagai faktor risiko hipertensi, dengan (p =

0,019; OR = 2,35; 95% CI = 1,14 – 4,83) (Sugiharto, 2007).

II.7.3 Status Gizi

a. IMT (Indeks Masa Tubuh)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian hipertensi adalah

obesitas. obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan

dalam Indek Masa Tubuh (IMT), yaitu perbandingan antara berat badan

dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (Kartikawati,

2008;Rahayu, 2012). Peningkatan IMT mempunyai keterkaitan yang erat

dengan peningkatan tekanan darah baik pada laki-laki maupun

perempuan. Seseorang yang obesitas lebih berisiko menderita hipertensi

UPN "VETERAN" JAKARTA

26

dibandingkan dengan seseorang yang tidak obesitas. Orang yang obesitas

atau IMT lebih dari normal cenderung akan memiliki tekanan darah

tinggi. Dan seseoarng yang IMT lebih dari 23 kg/m2 akan memiliki

resiko hipertensi (Nugraha, 2015). Obesitas bukan penyebab hipertensi.

Tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas lebih besar dibandingkan yang

tidak obesitas atau normal. Orang yang obesitas 5 kali lebih berisiko akan

mengalami hipertensi dengan orang yang tidak obesitas atau normal

(Kemenkes, 2013).

Nilai IMT bisa dihitung dengan rumus

IMT = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,

yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan.

Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,1–

25,0; dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8.

Tabel.3 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Asia Pasifik WHO.

Kategori. IMT (kg/m2).

Berat badan kura < 18,5

Kisaran normal. 18,5-25,0

Berat badan lebih. 25,1-27,0

Obesitas > 27,0

Sumber: (WHO, 2013)

Proporsi kejadian hipertensi pada kelompok responden yang

mengalami overweight/ obesitas jauh lebih tinggi dibandingkan

responden yang memiliki IMT tergolong normal/kurus (40,8%

berbanding 25,3%) (Mardani et al., 2011). sebagian besar status gizi

UPN "VETERAN" JAKARTA

27

sopir berada pada kategori obesitas sebanyak 50,5% dan mengalami

hipertensi, berpotensi mengalami penyumbatan darah, sehingga suplai

oksigen dan zat makanan ke organ tubuh terganggu (Prima et al., 2017).

Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian hipertensi dengan

indeks massa tubuh (p=0,019, OR 3,248) (Rizkawati, 2012). Diketahui

pada supir bus AKAP nilai AOR sebesar 2,683. Hal tersebut

menunjukkan bahwa supir dengan IMT tidak normal lebih berisiko 2,683

kali dibandingkan supir yang memiliki IMT normal (Haq, 2017). Secara

statistik obesitas juga merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi (nilai

p = 0,007; OR = 2,04 dan 95% CI = 1,21 – 3,44) (Sugiharto, 2007).

II.7.4 Pekerjaan

a. Lama Kerja

Pramudi Transjakarta menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara lama bekerja sebagai sopir dengan kejadian hipertensi.

Diketahui juga bahwa supir yang sudah lama bekerja sebagai sopir

mempunyai peluang 3 kali untuk terkenan risiko hipertensi dibandingkan

dengan kelompok sopir yang baru bekerja sebagai supir (Rizkawati,

2012). Pramudi Transjakarta proporsi responden yang bekerja lebih dari

18 bulan cenderung memiliki prevalensi hipertensi lebih tinggi

dibandingkan dengan proporsi responden yang bekerja kurang dari 18

bulan (Haq, 2017). Jam kerja yang tinggi pada sopir truk juga dapat

menyebabkan kualitas tidur sopir truk menjadi terganggu. Banyak

penelitian sudah menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat

menyebabkan kejadian hipertensi baik pada orang dewasa maupun pada

anak-anak dan remaja. Kualitas dan kuantitas tidur dapat mempengaruhi

proses hemostatis, jika proses hemostatis ini terganggu bisa menjadi

salah satu faktor meningkatnya risiko penyakit hipertensi (Trihapsari,

Setiyono and Faturahman, 2012).

Diketahui bahwa supir bus yang memiliki lama bekerja sebagai

supir >15 tahun berisiko 4,17 kali menderita hipertensi dibandingkan

dengan supir yang lama bekerja sebagai supir ≤ 15 tahun (Borle dan

UPN "VETERAN" JAKARTA

28

Jadhao, 2015;Rahayu, 2012). Terdapat hubungan yang bermakna antara

kejadian hipertensi dengan lama bekerja sebagai sopir (p=0,029, OR

2,978) (Rizkawati, 2012). Sebagian besar supir bus AKAP yang

mengalami hipertensi cenderung memiliki lama bekerja sebagai supir

selama ≥ 16 tahun (Haq, 2017).

b. Durasi Mengemudi

Durasi mengemudi mempengaruhi pada kejadian hipertensi yang

disebabkan stress kerja. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor

lingkungan tempat bekerja, seperti paparan panas, debu, ataupun asap,

sehingga jika terpapar dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan

stres kerja, sedangkan stres merupakan salah satu faktor risiko penyakit

hipertensi (Nugraha, 2015). Supir bus di kota Nagpur menunjukkan

adanya hubungan lama mengemudi dengan hipertensi. Dalam penelitian

tersebut didapatkan juga bahwa lama mengemudi sopir yang mengemudi

>60 jam/minggu akan berisiko 1,93 kali dibandingkan dengan sopir yang

lama mengemudi ≤ 60 jam/minggu (Borle dan Jadhao, 2015). Ada

hubungan jam kerja dengan tekanan darah pada supir truk di PT. SM

(Sumber Makmur) Tasikmalaya. Nilai OR = 4,4 (95% CI = 1,287-

15,181), berarti jam kerja yang melebihi 8 jam berisiko 4,4 kali lebih

besar mengalami tekanan darah tinggi dibandingkan dengan jam kerja

kurang atau sama 8 jam hipertensi (Trihapsari, Setiyono and Faturahman,

2012). Sebagian besar responden mempunyai durasi mengemudi ≥ 8 jam

sebanyak 79,4%, sedangkan lainnya mempunyai durasi mengemudi < 8

jam sebanyak 20,6%. Durasi mengemudi yang panjang mengakibatkan

kelahan pada sopir. Kelelahan bisa menyebabkan tekanan darah tinggi

karena kerja jantung menjadi lebih kuat sehingga jantung membesar

(Prima et al., 2017). sebagian besar supir bus AKAP yang mengalami

hipertensi, memiliki lama mengemudi ≥ 36 jam/minggu (Haq, 2017).

UPN "VETERAN" JAKARTA

29

II.7.5 Faktor Kemacetan

a. Stress

Tingginya kejadian hipertensi pada sopir dipengaruhi oleh

beberapa hal seperti salah satunya faktor lingkungan, dimana lingkungan

yang penuh kepadatan atau kemacetan serta polusi udara bisa

menyebabkan terjadinya hipertensi pada sopir (Nasri and Moazenzadeh,

2006). Rute angkutan sopir angkot yang melewati jalur padat kendaraan

di terminal menyebabakan tingkat stres dan kelelahan pada sopir lebih

tinggi dibandingkan yang lainnya, dimana faktor tersebut mendukung

terjadinya hipertensi pada sopir (Prima et al., 2017). Stres kerja dapat

disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor intrinsik seperti kondisi

lingkungan kerja yang tidak nyaman, stasiun kerja yang tidak ergonomis,

temperatur juga memiliki hubungan dengan tingkat stres pada pekerja.

Dalam kondisi terpajan panas, tubuh mengabsorbsi lebih banyak panas

dibandingkan dengan yang mampu dikeluarkannya, hal tersebut dapat

menimbulkan peningkatan temperatur tubuh yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan gangguan mental, sakit atau kematian (Sulsky&Smith,

2005;Nugrahani, 2008). Tingkat kemacetan jalur bus dapat meningkatkan

tekanan darah terhadap pengemudi. Sebuah kajian menyebutkan bahwa

terdapat peningkatan risiko ischaemic heart disease sebesar 80% pada

pengemudi yang melewati jalur dengan kemacetan tinggi dibandingkan

dengan jalur yang tidak macet (Netterstrøm dan Suadicani’s, 1993;Tse,

2006;Rizkawati, 2014). Stres kejiwaan secara statistik juga merupakan

faktor risiko terjadinya hipertensi (nilai p = 0,008; OR = 1,85 dan 95%

CI = 1,85 – 2,91) (Sugiharto, 2007). Terdapat 64,4% subjek penelitian

mengalami stress. Berdasarkan hasil olah data diperoleh bahwa terdapat

33,8% subjek yang mengalami stress dan menderita hipertensi (Rahayu,

2012). Kejadian hipertensi lebih tinggi pada kelompok responden stres

sedang yaitu 64,3% dibandingkan dengan kelompok responden dengan

stres ringan yaitu 45,0% ) (Rizkawati, 2012a). Didapatkan ρ value =

0,039 dengan α = 0,05, maka dapat disimpulkan ada hubungan stres kerja

dengan tekanan darah pada supir truk di PT. SM (Sumber Makmur)

UPN "VETERAN" JAKARTA

30

Tasikmalaya. Nilai OR = 2,9 (95% CI = 1,159-7,503), (Trihapsari,

Setiyono and Faturahman, 2012)

b. Kelelahan Kerja

Responden yang mengalami kelelahan berat mengalami hipertensi

sebanyak 12 orang (31,6%), sedangkan yang tidak mengalami hipertensi

dengan kelelahan berat sebanyak 2 orang (5,3%). Hal ini menunjukkan

bahwa kelelahan yang semakin berat memiliki risiko terjadinya tekanan

darah tinggi. (Trihapsari, Setiyono and Faturahman, 2012). ditemukan

bahwa responden memiliki tingkat kelelahan rendah sebanyak 45,1%,

dan distribusi frekuensi pengemudi bus antar kota trayek Semarang-

Jepara di terminal Terboyo yang mengalami tidak lelah sebesar 51%

(Prima et al., 2017).

c. Trayek Macet

Dinas perhubungan kota depok memperkirakan dalam waktu lima

tahun mendatang kemacetan di Depok akan semakin parah, saat ini

tingkat volume per kapasitas kendaraan di kota Depok sudah berada di

titik 0,8 dan akan berada di titik 0 pada 2021 jika tidak segera ditangani

(Tasrief Tarmizi, 2016). Depok sering mengalami kemacetan terutama di

Jalan Margonda dan Jalan Kartini Depok, dikarenakan banyak orang lalu

lalang dan mobil atau motor yang parkir sembarangan di badan jalan

yang bisa menyebabkan kemacetan dan juga angkutan umum, seperti

angkutan kota yang sering ngetem di bahu jalan depan pintu masuk

stasiun kereta maupun pusat perbelanjaan (angga, 2015).

II.8 Sopir angkot

Sopir dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu sopir pribadi, sopir

angkotan desa, sopir angkotan kota sopir bis antar provisi dan sebagainya. Sopir

merupakan sebuah pekerjaan yang berkutat di jalanan, sopir mempunyai tugas

untuk mengantarkan penumpang ke tujuan mereka, sehingga tidak heran jika sopir

lebih mengutamakan keselamatan penumpang. Akan tetapi sopir harus

memastikan kondisi kesehatan mereka, sebab sopir lebih rentan untuk terkena

penyakit karena mereka sering terpajan polusi udara dan kemacetan. Sopir juga

UPN "VETERAN" JAKARTA

31

mempunyai kebiasaan gaya hidup yang kurang baik seperti sering megonsumsi

kopi untuk mencegah rasa kantuk saat berkendara, dan juga merokok untuk

berkonsentrasi saat mengendara serta bahkan kebiasaan minum-minuman

beralkohol. (Robert, Harikedua and Tulung, 2016). Dan sopir merupakan salah

satu pekerjaan yang lebih mungkin untuk mengalami hipertensi dibandingkan

dengan pekerja lainnya (Trihapsari, Setiyono and Faturahman, 2012). Permintaan

masyarakat yang tinggi terhadap kebutuhan jasa angkutan memaksa perusahaan

meningkatkan jumlah perjalanan kendaraan. Hal ini menyebabkan sopir memiliki

waktu yang sempit untuk beristirahat (Tse, 2006). Waktu istirahat yang sempit

menyebabkan tubuh tidak bisa melakukan recovery dengan maksimal sehingga

lama-kelamaan menyebabkan gangguan pada kerja tubuh seperti pada sirkulasi

darah yang dapat menimbulkan hipertensi (Yang, dkk, 2006).

UPN "VETERAN" JAKARTA

32

II.9 Penelitian Sebelumnya

Tabel 4 Penelitian Sebelumnya

No Nama peneliti Judul penelitian Karakteristik variabel

Variabel

Jenis penelitian

Hasil

1 Febrian Kantata J

N (2016)

Hubungan jam kerja dan shift

kerja dengan tekanan darah pada

supir bus antar kota

Jam kerja, shift kerja,

tekanan darah, Indeks

Masa Tubuh, kebiasaan

merokok.

Jenis penelitian yang ini

adalah penelitian survey

bersifat analitik dengan

pendekatan cross sectional.

Ada hubungan antara lama

kerja (b = 2,33; CI 95 % 1,43

hingga 3,24;b = < 0,001)

dan shift kerja (b = 17,40 ; CI

95 % 10,41 hingga 24,38; b =

< 0,001)

dengan tekanan darah sistolik

pada sopir bus antar kota.

2 H Nasri MD, M

Moazenzadeh

MD (2006)

Faktor risiko penyakit koroner

artery pada sopir versus orang di

pekerjaan lainnya.

Umur, durasi

mengemudi, merokok,

kolesterol dan gula

darah.

Jenis penelitian kuantitatif

dianalisis dengan dengan

menggunakan chi square dan

ANOVA

Sopir taksi dan bus diketahui

memiliki Secara signifikan

meningkatkan risiko

hipertensi (oods rasio untuk

supir taksi: kira kira = 5,94,

disesuaikan = 7.53; rasio

odds

UPN "VETERAN" JAKARTA

33

untuk supir bus: kira kira

= 5,79, antara

driver dan kelompok kontrol

3. Said Mardani, Tin

Gustina,

HoppyDewanto,

Yuyun

Priwahyuni

(2011)

Hubungan antara Indeks Masa

Tubuh ( IMT ) Kebiasaan

Mengkonsumsi Lemak dengan

Tekanan Darah

Karakteristik

responden (umur, jenis

kelamin, tingkat

pendidikan,

pppekerjaan, riwayat

hipertensi keluarga),

IMT dan konsumsi

lemak.

Jenis penelitian analitik

observasional dengan desain

cross sectional.

terdapat hubungan yang

signifikan antara IMT p =

0,018 dan OR = 2,036 (95%

CI:1,164- 3,561) dan

kebiasaan mengkonsumsi

lemak p = 0,041 dan OR =

1,987 (95% CI:1,074-3,677)

dengan tekanan darah

penduduk Kelurahan

Tangkerang Tengah

Pekanbaru.

4 Dzul Faridah

Arinal Haq (2017)

Determinan hipertensi pada supir

bus AKAP (Antar Kota Antar

Provinsi) di terminal wilayah kota

jakarta timur tahun 2017

Karakteristik

responden (Umur

Riwayat hipertensi

keluarga), Gaya Hidup

status gizi dan pola

Jenis penelitian ini adalah

kuantitatif desain studi cross

sectional

Faktor yang signifikan

terhadap hipertensi pada

supir bus AKAP adalah

riwayat hipertensi keluarga

(Pvalue = 0,024) dengan

UPN "VETERAN" JAKARTA

34

kerja Adjusted Odds Ratio (AOR)

3,412 (CI 95% ; 1,177-

9,889), konsumsi rokok

(Pvalue = 0,022) dengan

AOR 3,816 (CI 95% ; 1,335-

10,907) dan indeks massa

tubuh (Pvalue = 0,029)

dengan AOR 2,683 (CI 95% ;

1,108-6,494).

5 Dilla Trihapsari,

Andik Setiyono,

Yuldan

Faturahman

(2012)

Faktor – faktor yang

mempengaruhi darah tinggi pada

sopir truk PT. sumber makmur

Tasikmalaya

Shift kerja, jam kerja ,

kelelahan, dan stress

kerja

Jenis penelitian ini adalah

kuantitatif dengan

pendekatan case control dan

menggunakan uji chi-square

Ada hubungan faktor stres

dengan tekanan darah ρ value

= 0,039 dengan α = 0,05 dan

nilai OR = 2,9, ada hubungan

faktor shiftt kerja dengan

tekanan darah ρ value =

0,032 dengan α = 0,05 dan

OR = 3,2.

UPN "VETERAN" JAKARTA

35

II.10 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi (BBTKLPP,2015;Riskesdas,2013;Infodatin,2014;Trihapsari, Setiyono and Faturahman,

2012;Haq, 2017).

Bagan 1 Kerangka Teori

HIPERTENSI

Faktor yang tidak bisa di

kontrol

Faktor yang bisa di kontrol

Umur Jenis

kelamin Riwayat

hipertensi

keluarga

Gaya hidup Lingkungan Pekerjaan

Konsumsi Obesitas Kurang

aktivitas fisik

Durasi

mengemudi

Lama kerja

Konsumsi

Garam

Makanan

berlemak

Merokok

konsumsi kafein

Stres

Macet

Kelelahan

kerja

UPN "VETERAN" JAKARTA