BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980)...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980)...
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan
penelitian ini. Secara garis besar teori-teori tersebut membahas mengenai tinjauan
perilaku berbelanja, tinjauan ritel modern, pergerakan penduduk, struktur ruang
kota dan tinjauan studi-studi terdahulu.
II.1 Tinjauan Perilaku berbelanja
Perilaku manusia merupakan fungsi dari individu dan lingkungan. Artinya
Individu memiliki kehendak dan lingkungan yang turut menentukan apakah
kehendak tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Pada dasarnya Individu dalam
melakukan kegiatan berbelanja dipengaruhi oleh dua jenis kondisi, yaitu kondisi
keadaan individu melalui struktur mental dan nilainya (biasanya didekati dengan
karakteristik tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, etnis dan sebagainya) dan
rangsangan pengaruh yang ditimbulkan oleh keadaan potensi dari tempat-tempat
perbelanjaan (seperti daya tarik lokasi, jarak pencapaian dan sebagainya). Kedua
keadaan tersebut berupa timbal balik dan tidak dapat dipisahkan.
Penelaahan Davies dalam R.J Johnston (1973) memperlihatkan bahwa
struktur pendapatan penduduk dalam suatu kawasan tertentu mempengaruhi
karakteristik pola berbelanja penduduknya. Penelitian C.J Thomas dalam D.T.
Herbert et.al (1976) memperlihatkan bahwa masyarakat berstatus ekonomi tinggi
umumnya memiliki mobilitas yang lebih besar dibanding dengan masyarakat
berstatus ekonomi rendah. Masyarakat berstatus ekonomi tinggi cenderung untuk
menggunakan pusat-pusat perdagangan yang lebih besar dan jauh lokasinya. Oleh
Davies, kaitan diatas dicerminkan dengan keadaan komposisi struktur fasilitas
perdagangan yang terbentuk dalam kawasan yang bersangkutan.
Menurut Bromley & Thomas (1993), dengan terjadinya perkembangan
ritel pada saat ini yang ditandainya dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan
di luar kawasan pusat kota, terdapat kelompok “yang tidak diuntungkan” yang
memiliki tingkat pendapatan rendah, kemampuan daya beli dan mobilitas yang
19
rendah jika dibandingkan kelompok “yang diuntungkan”. Kelompok yang tidak
diuntungkan ini diantaranya masyarakat berpendapatan rendah, kelompok umur
tua, pengangguran, jenis kelamin wanita dan kelompok minoritas. Kelompok yang
tidak diuntungkan ini cenderung memanfaatkan supermarket lokal dan toko
eceran skala kecil lainnya.
Menurut Bowlby (dalam Bromley & Thomas, 1993) terdapat tiga faktor
yang mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang. Ketiga faktor tersebut
adalah pemilikan kendaraan, tingkat pendapatan, dan tingkat kesehatan. Ketiga
faktor ini saling terkait satu sama lain.
Menurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan konseptualnya
tentang pergerakan individu dalam suatu kota terdapat enam jenis faktor yang
secara nyata dan simultan memberikan andil dalam membentuk pola ruang
pergerakan individunya yaitu : waktu pergerakan, karakteristik internal individu
(umur, pekerjaan, pendapatan, kesehatan dan lain-lain), lokasi rumah, banyaknya
pilihan moda transportasi, siklus kehidupan, kondisi-kondisi sosial budaya.
II.2 Tinjauan Pusat Ritel Modern
II.2.1 Pengertian Pusat Ritel Modern
Ada beberapa definisi mengenai pusat perbelanjaan menurut beberapa ahli.
Jones (1993;455) mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok ritel
(pada umumnya lebih dari lima ritel) yang beroperasi secara bersama-sama dan
dikelola oleh satu badan usaha. Menurutnya yang membedakan pusat ritel modern
dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha, desain bangunan, struktur biaya
sewa, dan tentunya luas ukuran lantainya lebih besar.
Di Indonesia sendiri belum ada peraturan baku yang mendefinisikan
pengertian pusat perbelanjaan. Namun berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah
Kota Bandung tentang Pasar Modern, 2005, menyebutnya dengan istilah pasar
modern dan toko modern. Pasar modern adalah pasar dengan manajemen
pengelolaan gedung tetap berada di satu tangan yang kegiatan usahanya menjual
dan / atau menyewa tempat usaha sebagai tempat belanja, yang menggunakan
20
metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern serta
mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja seperti plaza, mall, shopping
center dan sejenisnya. Toko modern adalah toko kegiatan usahanya menjual
berbagai jenis barang secara eceran atau perkulakan/grosir dengan menggunakan
manajemen modern, mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja dilengkapi
dengan label harga seperti departement store, mini market, supermarket,
hypermarket, perkulakan, cash and carry dan sejenisnya. Klasifikasi pasar modern
adalah sebagai berikut :
Pasar modern kecil dengan luas bangunan sampai dengan 10.000 m2
Pasar modern menengah dengan luas bangunan diatas 10.000 m2 sampai
dengan 50.000 m2
Pasar modern besar dengan luas bangunan diatas 50.000 m2
Sedangkan toko modern adalah sebagai berikut :
Toko modern kecil dengan luas gerai sampai dengan 200 m2
Toko modern menengah dengan luas gerai diatas 200 m2 sampai dengan
4.000 m2
Toko modern dengan luas gerai diatas 4.000 m2
(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung)
Menurut Perwira dan Imansyah, 1998:22-23 (dalam Donny Hondy S,
1999), tempat perbelanjaan modern di Indonesia secara umum terbagi :
1. Pusat Perbelanjaan (shopping center)
Pusat perbelanjaan (shopping center) adalah suatu gedung yang didalamnya
mencakup berbagai toko, departement store, supermarket, restoran, bioskop,
dan tempat bermain anak. Dengan demikian pusat ritel merupakan bangunan
besar dengan luas lantai mencakup ribuan meter persegi. Pusat perbelanjaan
ini sehari-hari dikenal dengan sebutan plaza, mall, dan shopping center.
2. Departement store
Departement store adalah usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh
suatu group/perusahaan tertentu terutama yang menjual barang jenis pakaian,
aksesories, sepatu dan perlengkapan rumah tangga. Namun demikian suatu
21
departement store juga dapat menjual kebutuhan sehari-hari. Tetapi hal ini
tidak umum, kalaupun ada biasanya terbatas pada barang-barang kelontongan.
Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan kelompok jenis barang dan
pembeli dipersilahkan melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih,
mengumpulkan barang belanjaan yang diakhiri dengan membayar pada kasir.
Departement store dapat berlokasi pada pusat perbelanjaan dan juga bisa
berdiri sendiri.
3. Pasar swalayan (Supermaket) adalah suatu usaha perdagangan eceran yang
dilakukan oleh suatu perusahaan tertentu yang menjual barang-barang
kebutuhan sehari-hari. Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan
kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan untuk melayani diri sendiri
(self service), mulai dari memilih, mengumpulkan barang belanjaan dan
diakhiri dengan membayar kasir. Pasar swalayan ini bisa berlokasi pada pusat
perbelanjaan dan bisa berdiri sendiri. Dalam sehari-hari dikenal juga toko
serba ada (toserba), kios serba ada (kiserba), warung serba ada (waserba), dan
minimarket yang kesemuanya merupakan bagian dari pasar swalayan
(supermarket)
Ada beberapa jenis produk yang ditemukan pada pusat ritel modern (carn,
1988. dikutip dari Bappeda kota Bandung 2002) yaitu :
1. Convenience goods atau low order goods, secara umum merupakan komoditas
yang tidak tahan lama, dimana secara relatif harganya tidak mahal dengan
frekuensi pembelian yang tinggi (harian, mingguan, bulanan). Karena telah
menjadi aktivitas yang rutin dimana kualitas dan harga telah diketahui maka
dengan sendirinya telah terbentuk pola perjalanan aktivitas berbelanja.
Contohnya barang kebutuhan sehari-hari.
2. Shopping goods atau high-order goods (consumer goods, istilah yang
digunakan oleh Chapin), merupakan komoditas tahan lama, harganya relatif
mahal dan frekuensi pembelian yang tidak terlalu sering. Faktor-faktor yang
menentukan adalah besarnya keinginan untuk memilikinya. Akibatnya
konsumen sering melakukan perbandingan terhadap barang tersebut untuk
maksud memperoleh kualitas dan harga yang terendah dari pasaran. Oleh
22
sebab itu tidaklah mengherankan bahwa konsumen melakukan perjalanan
khusus untuk berbelanja walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh.
Contohnya pakaian, sepatu, tas, perlengkapan rumah tangga dan sebagainya.
3. Specialty goods merupakan barang dengan sifat transaksi yang frekuensinya
sangat jarang untuk satu keluarga atau kelompok sehingga ambang penduduk
yang diperlukan lebih kecil. Misalnya barang elektronik, barang kerajinan dan
sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dalam penelitian ini digunakan klasifikasi
ritel modern menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung dengan
membedakan berdasarkan jenis usaha yaitu : minimarket, supermarket,
departemen store, hypermarket, shopping center.
II.2.2 Hierarki Ritel Modern
Ritel modern merupakan salah satu fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh
manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang dan pangan. Ritel
modern tersebut memiliki fungsi, ukuran, kapasitas dan lingkup pelayanan yang
berbeda sesuai dengan besar kecilnya lingkungan dan fungsi serta peran suatu
lingkungan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka didalam suatu pelayanan ritel
modern akan terdapat pengertian “tingkatan” atau hirarki dari pusat-pusat ritel
modern tersebut. Semakin besar fungsi dan peranan suatu lingkungan maka akan
semakin besar pula fungsi dan peranan dari pusat-pusat ritel tersebut baik dalam
kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan teori klasik pusat pelayanan (tempat terpusat) mengatakan
bahwa suatu areal pelayanan dilayani oleh satu pusat pelayanan. Luas areal
pelayanan tersebut sebanding dengan hirarki skala pelayanan dan jangkauan
pelayanan. Menurut teori ini manusia secara naluriah selalu akan mengalami suatu
proses dalam pemenuhan kebutuhannya. Manusia akan mencari suatu pusat
pemenuhan kebutuhan yang paling dekat, mudah dan murah dicapai serta yang
sesuai dan dapat memenuhi selera kebutuhannya. Demikian juga pihak penyedia
kebutuhan tersebut akan selalu mempertimbangkan penempatan kegiatan
23
usahanya sebagai tempat melayani kebutuhan yang memenuhi persyaratan mudah
menarik dan mendapat konsumen, lokasi yang mudah dicapai, strategis dalam arti
dapat dicapai dari semua arah secara merata dan dapat memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya (Djoko Sujarto, 1989).
Dengan asumsi bahwa penduduk merupakan makhluk rasional dan
ekonomis yang selalu berupaya menggunakan usaha dan ongkos yang sekecil
mungkin untuk mendapatkan pelayanan, maka penilaian terhadap jarak jangkau
maksimal berdasarkan tata jenjang pelayanan pencapaian merupakan indikator
penilaian dalam memahami ruang wilayah. Pada kenyataannya pusat pelayanan
dengan tingkatan (hirarki) pelayanan yang sama sering kali mempunyai daya
layan yang berbeda (Donny Prakoso, 1992:19).
Menurut Berry seperti dalam Yeates dan Garner, pengertian tempat
terpusat adalah pengelompokan lokasi ritel dan perusahaan jasa pada suatu
tempat yang menyediakan kemudahan bagi konsumen yang mengunjunginya
untuk membeli barang dan jasa yang mereka butuhkan. Dalam mengunjungi
sebuah lokasi tempat terpusat, seorang konsumen menghendaki seminimum
mungkin usaha yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sebuah tempat terpusat harus
memiliki aksesibilitas yang tinggi dan berlokasi pada wilayah pelayanannya.
Kualitas lokasi diarahkan sebagai pemusatan yang direfleksikan dalam ukuran
lokasinya, jumlah fungsi pelayanan terpusat yang berbeda-beda yang berada
dalam satu lokasi. Karenanya semakin besar ukuran tempat fungsional maka
semakin luas areal wilayah terpusat.
Satu dasar hirarki dari tempat terpusat menurut Yeates dan Garner (1993)
adalah lebih tinggi tingkat pemusatan yang mempunyai lebih banyak fungsi
terpusat, lebih banyak populasi perusahaan dan unit fungsionalnya yang
teraglomerasi di sana. Lebih tinggi level suatu tempat terpusat akan menarik
konsumen melakukan perjalanan dengan jarak lebih panjang dari pada tempat
terpusat dengan tingkat yang lebih rendah. Lebih dari itu luas area perdagangan
untuk tempat terpusat tingkat tinggi akan lebih luas dari pada tempat terpusat
yang lebih rendah untuk jenis barang.
24
Menurut Yeates & Garner (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi
jarak perjalanan oleh penghuni perdesaan ke tempat terpusat untuk membeli
barang dan jasa meliputi : karakteristik individu, movement imagery dan
perilaku ruang. Karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan
dan pendidikan yang secara umum merupakan karakterisitik sosial ekonomi.
Dengan lebih tinggi status ekonomi maka akan lebih besar kemampuan untuk
membeli dan lebih mungkin untuk melakukan aktivitas belanja. Sebagai contoh,
Berri mencatat dalam studinya di Midwest bahwa kelompok berpendapatan
rendah cenderung ke patronise clother centers dari pada kelompok
berpendapatan tinggi yang berbelanja di tempat terpusat. Dengan sistem tempat
terpusat, konsumen berpendapatan rendah cenderung mengunjungi tempat
terpusat yang tingkatnya lebih rendah dan hanya sekali-kali mengunjungi tempat
terpusat yang levelnya lebih tinggi. Berbeda dengan kelompok yang memiliki
pendapatan lebih tinggi akan sering melakukan perjalanan jauh untuk belanja
kebutuhan sehari-hari (convenience goods) maupun shopping goods dari level
pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Movement Imagery didefinisikan oleh Huff sebagai dorongan pergerakan
dari konsumen dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam usaha mencari guna
mencapai objek tujuannya (Huff, 1990:163, dalam Yeates dan Garner, 1980).
Dorongan pergerakan konsumen mempengaruhi panjang perjalanan, waktu
perjalanan dan biaya yang mendatangkan efek gesekan terhadap jarak. Perilaku
ruang secara esensi merupakan bagian dari sistem tempat terpusat yang
dirasakan individu sebagai sumber potensi untuk memuaskan permintaan akan
barang dan jasa. Perilaku ruang individu akan dikondisikan dari informasi
konsumen yang diperoleh tentang struktur hirarki pusat pelayanan dari
pengalaman pribadi sebelumnya dan atau informasi dari iklan. Kemampuan
tempat terpusat untuk memuaskan permintaan konsumen tergantung dari jumlah
perusahaan dan fungsi-fungsi terpusat dalam penyediaanya. Pada kenyataannya
ukuran pusat pelayanan menjadi faktor pengaruh yang paling signifikan terhadap
jarak perjalanan dalam belanja barang dan jasa.
Menurut Dawson & Lord (1985 p.1) dalam Healey & Ilbery (1990)
mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok perusahaan komersial
25
yang didesain, direncanakan, dimiliki, dipasarkan dan dikelola oleh suatu unit.
Menurutnya pusat perbelanjaan berbeda dengan shopping distric dimana pada
shopping distric merupakan konsentrasi toko dan perusahaan komersial lainnya
dimiliki dan dikelola masing-masing individu. Empat klasifikasi hirarki pusat
perbelanjaan yang biasa digunakan adalah :
Tabel 2.1 Klasifikasi Hierarki Pusat Pelayanan
Tipe Lokasi Luas (M2) Karakteristik
Super Regional Area pendapatan
menengah-tinggi Kota
Metropolis
> 100.000 - > 100 unit ritel
- > 3 dept. store
- Fasilitas hiburan (bioskop, dll)
Regional Persimpangan Jalan Utama 40.000 – 100.000 - Jangkauan pelayanan lebih dari
100.000 populasi
- 1-3 toko utama
- Parkir utk lebih dari 4000 kend.
Community Persimpangan jalan dan
area permukiman baru yang
besar
10.000 – 40.000 - Jangkauan pelayanan dari 25.000-
100.000 populasi
- Parkir untuk 1000-1500 kend
- Discount dept store dan katalog
showroom sebagai toko utama
Neighbourhood Persimpangan jalan lokal di
area permukiman
3.000-10.000 - Jangkauan pelayanan dari 8.000-
20.000 populasi
- Supermarket dan/atau drugstore
sering digabungkan dengan sekolah,
pusat kesehatan dan atau
perpustakaan distrik
Sumber : didasarkan pada informasi Dawson (1983); Rogers (1983) dan Daniels (1985a) dalam
(Healley & Ilbery, 1990 p.260)
Menurut Lusch (1992) dalam Henche (2005), pusat ritel modern dengan
batasan luasan lantai yang dimulai dari skala lingkungan (4.500 m2) kemudian
skala kecamatan/distrik (12.500 m2) serta skala kota (36.000 m2) hingga skala
metropolitan/kota raya (lebih dari 90.000 m2).
Hierarki pusat perbelanjaan menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum dibagi menjadi tiga yaitu pusat perbelanjaan lingkungan, pusat
perbelanjaan dan pusat perbelanjaan niaga. Hierarki pusat perbelanjaan tersebut
dibedakan berdasarkan jumlah penduduk pendukungnya dan tiap-tiap pusat
26
perbelanjaan memiliki luas minimum berdasarkan kepadatan penduduk di
sekitarnya.
Tabel II.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Pusat Perbelanjaan
menurut Cipta Karya Pekerjaan Umum
Luas Tiap Unit berdasarkan Kepadatan Penduduk (mP
2P) Hierarki Pusat Perbelanjaan
Jumlah Pendukung (Jiwa) < 100
jiwa/ha 100-250 jiwa/ha
250-500 jiwa/ha
> 500 jiwa/ha
Pusat Perbelanjaan Lingkungan 30.000 27.000 20.250 13.500 10.125 Pusat Perbelanjaan 120.000 72.000 54.000 36.000 27.000 Pusat Perbelanjaan Wilayah 480.000 192.000 144.000 96.000 72.000
Sumber : Buku Pedoman Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen PU
II.2.3 Peran dan fungsi ritel modern
Ritel modern sebagai fasilitas perbelanjaan selain berfungsi sebagai tempat
pelayanan atas barang-barang yang dibutuhkan penduduk, juga merupakan tempat
terjadinya transaksi ekonomi antara penjual dan pembeli. Dampaknya memiliki
arti penting bagi laju pertumbuhan ekonomi kota secara umum dan pola
pemanfaatan ruang secara spasial. Dengan pemilihan penempatan lokasi yang
khusus, pusat-pusat ritel modern menjamur disepanjang jalan utama dan hal ini
berdampak pada bangkitan perjalanan berbelanja penduduk. Untuk alasan-alasan
tertentu, berbelanja adalah penting untuk mendapatkan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh rumah tangga modern. Untuk beberapa kelompok masyarakat
tertentu berbelanja juga merupakan bentuk penting dari interaksi sosial.
Konsepnya sudah bergeser pada aktivitas yang berlandaskan kesenangan.
Menurut Rosemary D.F. Bromley dan Colin J. Thomas, ada beberapa
alasan mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan ritel
adalah pertama, mobilitas penduduk yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan
pemilikan kendaraan. Disamping itu ditunjang dengan pembangunan dan
perbaikan prasarana jalan. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya volume lalu
lintas yang mempengaruhi pergerakan didalam kota serta menimbulkan
kemacetan. Kedua, perubahan dalam redistribusi spasial dan komposisi penduduk
perkotaan. Dalam upaya counter urbanisasi mengakibatkan pergeseran konsentrasi
penduduk dari kawasan pusat kota ke kawasan pinggiran. Kota-kota kecil tumbuh
27
lebih pesat dari pusat kota. Fenomena tersebut diikuti juga oleh pergeseran
pengalokasian ritel ke arah pinggiran kota. Ketiga, perubahan karakter dari
masyarakat pekerja. Terdapat peningkatan jumlah pekerja wanita paruh waktu
selama dasa warsa 1970-an dan 1980-an menyebabkan bisnis dibidang
perbelanjaan makin meningkat. Wanita merupakan kelompok masyarakat utama
dalam pemanfaatan pusat perbelanjaan. Terakhir, perubahan perilaku sosial dan
politik penduduk. Penduduk makin sadar akan pemanfaatan waktu. Aktivitas
belanja digunakan sebagai pemanfaatan waktu luang dan hiburan atau berbelanja
secara cepat dan tepat waktu.
II.3 Tinjauan Pergerakan Penduduk
Kebutuhan akan pergerakan bersifat sebagai kebutuhan turunan.
Pergerakan terjadi karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan
kebutuhan merupakan kegiatan yang biasanya harus dilakukan setiap hari,
misalnya pemenuhan kebutuhan akan ekonomi, pendidikan, hiburan, sosial,
budaya dan lain sebagainya. Pola pergerakan secara fisik sebagian besar
ditentukan oleh kebiasaan sosial-ekonomi penduduk, misalnya jam-jam kerja
normal, waktu buka toko dan sekolah, waktu-waktu hiburan masyarakat dan
peristiwa-peristiwa sosial. Pola pergerakan penduduk dapat dibagi dalam pola
pergerakan harian, mingguan dan bulanan.
Sebagai makhluk individu dan sosial, manusia mempunyai kebutuhan
yang harus dipenuhi baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kebutuhan tersebut
menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan pergerakan. Ada berbagai alasan
mengapa manusia melakukan pergerakan. Alasan-alasan tersebut secara umum
mempunyai karakteristik yang sama dan menjadi karakteristik pergerakan yang
polanya lebih terlihat di perkotaan.
Menurut Bromley dan Thomas, 1993, salah satu alasan terjadinya
pergerakan di perkotaan adalah mengenai kecenderungan sosial ekonomi, yaitu
mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan pesat
pemilikan kendaraan. Hal ini ditunjang dengan pembangunan dan perbaikan
prasarana jalan, sehingga masyarakat mampu untuk menjangkau tempat
28
berbelanja yang lebih jauh. Disamping itu, kelompok masyarakat yang tidak
memiliki kendaraan menjadi terkelompok sebagai golongan dengan mobilitas
rendah terhadap fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari pertumbuhan
pemilikan kendaraan ini adalah meningkatnya volume lalu lintas yang
mempengaruhi pergerakan di dalam kota, serta menimbulkan kemacetan.
Daniel dan Warners (1983) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap pergerakan adalah kondisi sosial ekonomi seperti banyaknya anggota
keluarga yang bekerja dan penghasilan keluarga (atau sesuatu yang
mencerminkan penghasilan keluarga seperti pemilikan kendaraan), pola guna
lahan dan pembangunan, serta daya hubung.
Menurut Warpani (1990) beberapa penentu pergerakan yang dapat
diterapkan di Indonesia adalah; penghasilan keluarga, jumlah pemilikan
kendaraan, jarak dari pusat kegiatan kota, moda perjalanan, penggunaan
kendaraan dan waktu.
Pergerakan keluarga erat kaitannya dengan aktivitas-aktivitas yang
dilakukan keluarga. Sedangkan aktivitas-aktivitas keluarga sangat dipengaruhi
oleh karakteristik keluarga. Karakteritik keluarga yang mempengaruhi
pergerakan ini antara lain adalah pendapatan keluarga, pemilikan kendaraan
serta struktur dan jumlah jiwa per-keluarga. Semua karakteristik ini
mempengaruhi tingkat kebutuhan keluarga dan frekuensi pergerakan yang
dilakukan keluarga tersebut.
II.4 Tinjauan Struktur Kota
Dalam membahas fasilitas pelayanan suatu wilayah atau kawasan tidak
akan terlepas dari teori struktur kota. Hal ini dikarenakan fasilitas merupakan
salah satu komponen yang dibutuhkan oleh suatu kota. Berdasarkan
perkembangannya, ada tiga teori struktur kota, yaitu : konsentrik, sektoral dan
pusat banyak.
29
II.4.1 Teori Konsentrik
Dalam teori struktur kota konsentrik yang dikemukakan oleh Burgess, kota
dibagi ke dalam beberapa zona. Secara garis besar model konsentris terbagi
menjadi tiga zona, yaitu zona pusat, zona transisi/peralihan dan zona pinggiran.
Secara berurut dari pusat ke pinggiran, struktur konsentrik terdiri dari komponen-
komponen sebagai berikut :
- Pusat Kota
- Industri Ringan
- Permukiman golongan rendah
- Permukiman golongan menengah
- Permukiman golongan tinggi
Salah satu komponen yang ada di pusat kota adalah fasilitas pelayanan (khususnya
pusat perbelanjaan) yang dalam teori ini dianggap mampu melayani penduduk
dalam skala kota yang mencakup penduduk yang berada di zona pinggiran.
II.4.2 Teori Sektoral
Berbeda dengan teori konsentrik, teori struktur kota sektroral yang
dikembangkan oleh Hommer Hoyt menjelaskan bahwa semua jenis permukiman
baik permukiman golongan rendah, menengah maupun tinggi mempunyai akses
yang sama ke pusat kota. Dengan demikian, semua penduduk di setiap
permukiman mendapat kesempatan yang sama (aksesibilitas) dalam
mengkonsumsi fasilitas pelayanan yang berada di pusat kota.
II.4.3 Teori Pusat Banyak (Multiple Nuclei)
Seiring dengan berkembangnya kegiatan, yang didukung oleh sistem
transportasi, memudahkan pergerakan individu ke pusat-pusat kegiatan. Namun
perkembangan ini tidak selamanya menguntungkan. Pada suatu titik tertentu
perkembangan itu justru merugikan individu maupun pusat kegiatan itu sendiri
karena timbul kemacetan sehingga individu mengkonsumsi di pusat-pusat
pelayanan yang berada tidak di pusat kota.
30
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dikembangkan pusat-pusat
kegiatan baru di daerah pinggiran. Munculnya teori Multiple Nuclei yang
dikembangkan oleh Harris Ullman mengarah pada desentralisasi kegiatan
sehingga terbentuk pusat-pusat kegiatan baru yang berada di luar kawasan pusat.
Menurut teori ini perkembangan suatu kota cenderung membentuk suatu pusat
banyak dimana kegiatan-kegiatan yang saling menguntungkan akan beraglomerasi
pada suatu kawasan, sehingga muncul suatu kawasan perdagangan, kawasan
pemerintahan, kawasan pendidikan dan sebagainya.
Perkembangan teori pusat banyak mengilhami arahan pengembangan
kegiatan ke wilayah pinggiran dengan membentuk/membangun pusat-pusat
kegiatan baru yang menarik penduduk berpendapatan menengah ke atas dari pusat
sebagai akibat kepadatan di pusat kota. Perkembangan wilayah pinggiran lebih
dipercepat dalam tumbuhnya “bussiness parks and offices towers” mulai tahun
1970-an (Cervero, 1989:136 dalam Rudi Danarto, 2003) yang mengarah pada
pergeseran strktur ekonomi (Pivo, 1990:457 dalam Rudi Danarto,2003), sehingga
terjadi desentralisasi ke wilayah pinggiran termasuk di dalamnya fasilitas
pelayanan, dimana wilayah pinggiran telah berkembang menjadi pusat-pusat
kegiatan baru (Raharjo, 1997:18 dalam Rudi Danarto,2003)
II.5 Tinjauan studi-studi terdahulu
Ridwan Sutriadi, 1996, dalam mengamati keadaan dan proses pemanfaatan
fasilitas toko oleh penduduk kawasan pinggiran lebih melihat pada faktor-faktor
yang mempengaruhi penduduk wilayah pinggiran dalam memanfaatkan fasilitas
toko dan proses perkembangan pemanfaatan toko tersebut. Ridwan menemukan
bahwa 68.69% penduduk pinggiran sudah memanfaatkan fasilitas toko di kawasan
pinggiran dan hanya 14% yang masih memanfaatkan fasilitas toko di kawasan
transisi maupun pusat kota. Untuk kawasan pinggiran bagian Timur, 17.65%
penduduk memanfaatkan fasilitas toko di kawasannya sendiri. Untuk pergerakan
ke fasilitas toko terdekat, ditemukan ridwan bahwa antara pergerakan ke fasilitas
toko terdekat dengan fasilitas toko tidak dekat seimbang. Alasan penduduk
kawasan tidak menggunakan fasilitas toko terdekat dikarenakan faktor kualitas
31
dan kuantitas. Sedangkan bagi penduduk yang menggunakan fasilitas terdekat
lebih disebabkan karena kemudahan trasnportasi. Selain ini ridwan menemukan
juga bahwa umumnya 52% penduduk memindahkan lokasi pemanfaatan fasilitas
toko mereka ke tempat tinggal yang baru dengan alasan transportasi. Dengan jarak
jangkau sama seperti jarak jangkau fasilitas toko yang lama.
Henche, 2005 dalam studinya berusaha untuk mengidentifikasi
karakteristik pemanfaatan pusat-pusat perbelanjaan skala kota oleh rumah tangga
di kota Bandung dengan titik berat kapasitas pelayanan, kelengkapan sarana dan
prasaran penunjang serta karakteristik pengguna pusat perbelanjaan disimpulkan
bahwa sebagian besar rumah tangga di Kota Bandung lebih memilih berbelanja di
pusat perbelanjaan yang telah berdiri lama di pusat kota dan sekitarnya dan pola
pemanfaatan pusat perbelanjaan skala kota tersegmentasi artinya ada golongan
rumah tangga tertentu dengan karakter perjalanan yang melekat pada dirinya
untuk berbelanja dipusat perbelanjaan tersebut.
Hondri Donny S, 1999 dalam studinya membahas karakteristik tempat
perbelanjaan modern meliputi perkembangan dan pola sebarannya juga
kedudukan pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun sebagai pusat CBD
dan Bandung Indah Plaza sebagai pusat pembelanjaan wilayah di kota Bandung.
selain itu studi ini juga membahas perilaku berbelanja dan kapasitas pelayanan
pusat perbelanjaan di kawasan sekitar Alun-alun (pusat kegiatan kota) dan
Bandung Indah Plaza (pusat perbelanjaan wilayah). Hasilnya adalah tidak ada
perbedaan gender dalam berbelanja ke pusat ritel modern baik di kawasan alun-
alun maupun BIP. Perbedaannya terletak pada perbedaan umur antara penduduk
yang berbelanja di BIP dan di kawasan Alun-alun. Kelompok umur dewasa dan
remaja sebanding berbelanja di sekitar alun-alun sedangkan di BIP kaum remaja
proporsinya lebih dominan di banding orang dewasa. Kelompok pelajar dan
mahasiswa yang mendominasi BIP. Terdapat perbedaan sasaran pelayanan antara
pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun dengan Bandung Indah Plaza
akan tetapi tumpang tindih wilayah pelayanan telah terjadi jika ditinjau
berdasarkan beberapa aspek perilaku berbelanja dan aspek jangkauan wilayah
pelayanan.