BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980)...

14
18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini. Secara garis besar teori-teori tersebut membahas mengenai tinjauan perilaku berbelanja, tinjauan ritel modern, pergerakan penduduk, struktur ruang kota dan tinjauan studi-studi terdahulu. II.1 Tinjauan Perilaku berbelanja Perilaku manusia merupakan fungsi dari individu dan lingkungan. Artinya Individu memiliki kehendak dan lingkungan yang turut menentukan apakah kehendak tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Pada dasarnya Individu dalam melakukan kegiatan berbelanja dipengaruhi oleh dua jenis kondisi, yaitu kondisi keadaan individu melalui struktur mental dan nilainya (biasanya didekati dengan karakteristik tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, etnis dan sebagainya) dan rangsangan pengaruh yang ditimbulkan oleh keadaan potensi dari tempat-tempat perbelanjaan (seperti daya tarik lokasi, jarak pencapaian dan sebagainya). Kedua keadaan tersebut berupa timbal balik dan tidak dapat dipisahkan. Penelaahan Davies dalam R.J Johnston (1973) memperlihatkan bahwa struktur pendapatan penduduk dalam suatu kawasan tertentu mempengaruhi karakteristik pola berbelanja penduduknya. Penelitian C.J Thomas dalam D.T. Herbert et.al (1976) memperlihatkan bahwa masyarakat berstatus ekonomi tinggi umumnya memiliki mobilitas yang lebih besar dibanding dengan masyarakat berstatus ekonomi rendah. Masyarakat berstatus ekonomi tinggi cenderung untuk menggunakan pusat-pusat perdagangan yang lebih besar dan jauh lokasinya. Oleh Davies, kaitan diatas dicerminkan dengan keadaan komposisi struktur fasilitas perdagangan yang terbentuk dalam kawasan yang bersangkutan. Menurut Bromley & Thomas (1993), dengan terjadinya perkembangan ritel pada saat ini yang ditandainya dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan di luar kawasan pusat kota, terdapat kelompok “yang tidak diuntungkan” yang memiliki tingkat pendapatan rendah, kemampuan daya beli dan mobilitas yang

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980)...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan

penelitian ini. Secara garis besar teori-teori tersebut membahas mengenai tinjauan

perilaku berbelanja, tinjauan ritel modern, pergerakan penduduk, struktur ruang

kota dan tinjauan studi-studi terdahulu.

II.1 Tinjauan Perilaku berbelanja

Perilaku manusia merupakan fungsi dari individu dan lingkungan. Artinya

Individu memiliki kehendak dan lingkungan yang turut menentukan apakah

kehendak tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Pada dasarnya Individu dalam

melakukan kegiatan berbelanja dipengaruhi oleh dua jenis kondisi, yaitu kondisi

keadaan individu melalui struktur mental dan nilainya (biasanya didekati dengan

karakteristik tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, etnis dan sebagainya) dan

rangsangan pengaruh yang ditimbulkan oleh keadaan potensi dari tempat-tempat

perbelanjaan (seperti daya tarik lokasi, jarak pencapaian dan sebagainya). Kedua

keadaan tersebut berupa timbal balik dan tidak dapat dipisahkan.

Penelaahan Davies dalam R.J Johnston (1973) memperlihatkan bahwa

struktur pendapatan penduduk dalam suatu kawasan tertentu mempengaruhi

karakteristik pola berbelanja penduduknya. Penelitian C.J Thomas dalam D.T.

Herbert et.al (1976) memperlihatkan bahwa masyarakat berstatus ekonomi tinggi

umumnya memiliki mobilitas yang lebih besar dibanding dengan masyarakat

berstatus ekonomi rendah. Masyarakat berstatus ekonomi tinggi cenderung untuk

menggunakan pusat-pusat perdagangan yang lebih besar dan jauh lokasinya. Oleh

Davies, kaitan diatas dicerminkan dengan keadaan komposisi struktur fasilitas

perdagangan yang terbentuk dalam kawasan yang bersangkutan.

Menurut Bromley & Thomas (1993), dengan terjadinya perkembangan

ritel pada saat ini yang ditandainya dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan

di luar kawasan pusat kota, terdapat kelompok “yang tidak diuntungkan” yang

memiliki tingkat pendapatan rendah, kemampuan daya beli dan mobilitas yang

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

19

rendah jika dibandingkan kelompok “yang diuntungkan”. Kelompok yang tidak

diuntungkan ini diantaranya masyarakat berpendapatan rendah, kelompok umur

tua, pengangguran, jenis kelamin wanita dan kelompok minoritas. Kelompok yang

tidak diuntungkan ini cenderung memanfaatkan supermarket lokal dan toko

eceran skala kecil lainnya.

Menurut Bowlby (dalam Bromley & Thomas, 1993) terdapat tiga faktor

yang mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang. Ketiga faktor tersebut

adalah pemilikan kendaraan, tingkat pendapatan, dan tingkat kesehatan. Ketiga

faktor ini saling terkait satu sama lain.

Menurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan konseptualnya

tentang pergerakan individu dalam suatu kota terdapat enam jenis faktor yang

secara nyata dan simultan memberikan andil dalam membentuk pola ruang

pergerakan individunya yaitu : waktu pergerakan, karakteristik internal individu

(umur, pekerjaan, pendapatan, kesehatan dan lain-lain), lokasi rumah, banyaknya

pilihan moda transportasi, siklus kehidupan, kondisi-kondisi sosial budaya.

II.2 Tinjauan Pusat Ritel Modern

II.2.1 Pengertian Pusat Ritel Modern

Ada beberapa definisi mengenai pusat perbelanjaan menurut beberapa ahli.

Jones (1993;455) mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok ritel

(pada umumnya lebih dari lima ritel) yang beroperasi secara bersama-sama dan

dikelola oleh satu badan usaha. Menurutnya yang membedakan pusat ritel modern

dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha, desain bangunan, struktur biaya

sewa, dan tentunya luas ukuran lantainya lebih besar.

Di Indonesia sendiri belum ada peraturan baku yang mendefinisikan

pengertian pusat perbelanjaan. Namun berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah

Kota Bandung tentang Pasar Modern, 2005, menyebutnya dengan istilah pasar

modern dan toko modern. Pasar modern adalah pasar dengan manajemen

pengelolaan gedung tetap berada di satu tangan yang kegiatan usahanya menjual

dan / atau menyewa tempat usaha sebagai tempat belanja, yang menggunakan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

20

metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern serta

mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja seperti plaza, mall, shopping

center dan sejenisnya. Toko modern adalah toko kegiatan usahanya menjual

berbagai jenis barang secara eceran atau perkulakan/grosir dengan menggunakan

manajemen modern, mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja dilengkapi

dengan label harga seperti departement store, mini market, supermarket,

hypermarket, perkulakan, cash and carry dan sejenisnya. Klasifikasi pasar modern

adalah sebagai berikut :

Pasar modern kecil dengan luas bangunan sampai dengan 10.000 m2

Pasar modern menengah dengan luas bangunan diatas 10.000 m2 sampai

dengan 50.000 m2

Pasar modern besar dengan luas bangunan diatas 50.000 m2

Sedangkan toko modern adalah sebagai berikut :

Toko modern kecil dengan luas gerai sampai dengan 200 m2

Toko modern menengah dengan luas gerai diatas 200 m2 sampai dengan

4.000 m2

Toko modern dengan luas gerai diatas 4.000 m2

(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung)

Menurut Perwira dan Imansyah, 1998:22-23 (dalam Donny Hondy S,

1999), tempat perbelanjaan modern di Indonesia secara umum terbagi :

1. Pusat Perbelanjaan (shopping center)

Pusat perbelanjaan (shopping center) adalah suatu gedung yang didalamnya

mencakup berbagai toko, departement store, supermarket, restoran, bioskop,

dan tempat bermain anak. Dengan demikian pusat ritel merupakan bangunan

besar dengan luas lantai mencakup ribuan meter persegi. Pusat perbelanjaan

ini sehari-hari dikenal dengan sebutan plaza, mall, dan shopping center.

2. Departement store

Departement store adalah usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh

suatu group/perusahaan tertentu terutama yang menjual barang jenis pakaian,

aksesories, sepatu dan perlengkapan rumah tangga. Namun demikian suatu

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

21

departement store juga dapat menjual kebutuhan sehari-hari. Tetapi hal ini

tidak umum, kalaupun ada biasanya terbatas pada barang-barang kelontongan.

Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan kelompok jenis barang dan

pembeli dipersilahkan melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih,

mengumpulkan barang belanjaan yang diakhiri dengan membayar pada kasir.

Departement store dapat berlokasi pada pusat perbelanjaan dan juga bisa

berdiri sendiri.

3. Pasar swalayan (Supermaket) adalah suatu usaha perdagangan eceran yang

dilakukan oleh suatu perusahaan tertentu yang menjual barang-barang

kebutuhan sehari-hari. Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan

kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan untuk melayani diri sendiri

(self service), mulai dari memilih, mengumpulkan barang belanjaan dan

diakhiri dengan membayar kasir. Pasar swalayan ini bisa berlokasi pada pusat

perbelanjaan dan bisa berdiri sendiri. Dalam sehari-hari dikenal juga toko

serba ada (toserba), kios serba ada (kiserba), warung serba ada (waserba), dan

minimarket yang kesemuanya merupakan bagian dari pasar swalayan

(supermarket)

Ada beberapa jenis produk yang ditemukan pada pusat ritel modern (carn,

1988. dikutip dari Bappeda kota Bandung 2002) yaitu :

1. Convenience goods atau low order goods, secara umum merupakan komoditas

yang tidak tahan lama, dimana secara relatif harganya tidak mahal dengan

frekuensi pembelian yang tinggi (harian, mingguan, bulanan). Karena telah

menjadi aktivitas yang rutin dimana kualitas dan harga telah diketahui maka

dengan sendirinya telah terbentuk pola perjalanan aktivitas berbelanja.

Contohnya barang kebutuhan sehari-hari.

2. Shopping goods atau high-order goods (consumer goods, istilah yang

digunakan oleh Chapin), merupakan komoditas tahan lama, harganya relatif

mahal dan frekuensi pembelian yang tidak terlalu sering. Faktor-faktor yang

menentukan adalah besarnya keinginan untuk memilikinya. Akibatnya

konsumen sering melakukan perbandingan terhadap barang tersebut untuk

maksud memperoleh kualitas dan harga yang terendah dari pasaran. Oleh

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

22

sebab itu tidaklah mengherankan bahwa konsumen melakukan perjalanan

khusus untuk berbelanja walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh.

Contohnya pakaian, sepatu, tas, perlengkapan rumah tangga dan sebagainya.

3. Specialty goods merupakan barang dengan sifat transaksi yang frekuensinya

sangat jarang untuk satu keluarga atau kelompok sehingga ambang penduduk

yang diperlukan lebih kecil. Misalnya barang elektronik, barang kerajinan dan

sebagainya.

Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dalam penelitian ini digunakan klasifikasi

ritel modern menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung dengan

membedakan berdasarkan jenis usaha yaitu : minimarket, supermarket,

departemen store, hypermarket, shopping center.

II.2.2 Hierarki Ritel Modern

Ritel modern merupakan salah satu fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh

manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang dan pangan. Ritel

modern tersebut memiliki fungsi, ukuran, kapasitas dan lingkup pelayanan yang

berbeda sesuai dengan besar kecilnya lingkungan dan fungsi serta peran suatu

lingkungan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka didalam suatu pelayanan ritel

modern akan terdapat pengertian “tingkatan” atau hirarki dari pusat-pusat ritel

modern tersebut. Semakin besar fungsi dan peranan suatu lingkungan maka akan

semakin besar pula fungsi dan peranan dari pusat-pusat ritel tersebut baik dalam

kuantitatif maupun kualitatif.

Berdasarkan teori klasik pusat pelayanan (tempat terpusat) mengatakan

bahwa suatu areal pelayanan dilayani oleh satu pusat pelayanan. Luas areal

pelayanan tersebut sebanding dengan hirarki skala pelayanan dan jangkauan

pelayanan. Menurut teori ini manusia secara naluriah selalu akan mengalami suatu

proses dalam pemenuhan kebutuhannya. Manusia akan mencari suatu pusat

pemenuhan kebutuhan yang paling dekat, mudah dan murah dicapai serta yang

sesuai dan dapat memenuhi selera kebutuhannya. Demikian juga pihak penyedia

kebutuhan tersebut akan selalu mempertimbangkan penempatan kegiatan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

23

usahanya sebagai tempat melayani kebutuhan yang memenuhi persyaratan mudah

menarik dan mendapat konsumen, lokasi yang mudah dicapai, strategis dalam arti

dapat dicapai dari semua arah secara merata dan dapat memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya (Djoko Sujarto, 1989).

Dengan asumsi bahwa penduduk merupakan makhluk rasional dan

ekonomis yang selalu berupaya menggunakan usaha dan ongkos yang sekecil

mungkin untuk mendapatkan pelayanan, maka penilaian terhadap jarak jangkau

maksimal berdasarkan tata jenjang pelayanan pencapaian merupakan indikator

penilaian dalam memahami ruang wilayah. Pada kenyataannya pusat pelayanan

dengan tingkatan (hirarki) pelayanan yang sama sering kali mempunyai daya

layan yang berbeda (Donny Prakoso, 1992:19).

Menurut Berry seperti dalam Yeates dan Garner, pengertian tempat

terpusat adalah pengelompokan lokasi ritel dan perusahaan jasa pada suatu

tempat yang menyediakan kemudahan bagi konsumen yang mengunjunginya

untuk membeli barang dan jasa yang mereka butuhkan. Dalam mengunjungi

sebuah lokasi tempat terpusat, seorang konsumen menghendaki seminimum

mungkin usaha yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sebuah tempat terpusat harus

memiliki aksesibilitas yang tinggi dan berlokasi pada wilayah pelayanannya.

Kualitas lokasi diarahkan sebagai pemusatan yang direfleksikan dalam ukuran

lokasinya, jumlah fungsi pelayanan terpusat yang berbeda-beda yang berada

dalam satu lokasi. Karenanya semakin besar ukuran tempat fungsional maka

semakin luas areal wilayah terpusat.

Satu dasar hirarki dari tempat terpusat menurut Yeates dan Garner (1993)

adalah lebih tinggi tingkat pemusatan yang mempunyai lebih banyak fungsi

terpusat, lebih banyak populasi perusahaan dan unit fungsionalnya yang

teraglomerasi di sana. Lebih tinggi level suatu tempat terpusat akan menarik

konsumen melakukan perjalanan dengan jarak lebih panjang dari pada tempat

terpusat dengan tingkat yang lebih rendah. Lebih dari itu luas area perdagangan

untuk tempat terpusat tingkat tinggi akan lebih luas dari pada tempat terpusat

yang lebih rendah untuk jenis barang.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

24

Menurut Yeates & Garner (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi

jarak perjalanan oleh penghuni perdesaan ke tempat terpusat untuk membeli

barang dan jasa meliputi : karakteristik individu, movement imagery dan

perilaku ruang. Karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan

dan pendidikan yang secara umum merupakan karakterisitik sosial ekonomi.

Dengan lebih tinggi status ekonomi maka akan lebih besar kemampuan untuk

membeli dan lebih mungkin untuk melakukan aktivitas belanja. Sebagai contoh,

Berri mencatat dalam studinya di Midwest bahwa kelompok berpendapatan

rendah cenderung ke patronise clother centers dari pada kelompok

berpendapatan tinggi yang berbelanja di tempat terpusat. Dengan sistem tempat

terpusat, konsumen berpendapatan rendah cenderung mengunjungi tempat

terpusat yang tingkatnya lebih rendah dan hanya sekali-kali mengunjungi tempat

terpusat yang levelnya lebih tinggi. Berbeda dengan kelompok yang memiliki

pendapatan lebih tinggi akan sering melakukan perjalanan jauh untuk belanja

kebutuhan sehari-hari (convenience goods) maupun shopping goods dari level

pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi.

Movement Imagery didefinisikan oleh Huff sebagai dorongan pergerakan

dari konsumen dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam usaha mencari guna

mencapai objek tujuannya (Huff, 1990:163, dalam Yeates dan Garner, 1980).

Dorongan pergerakan konsumen mempengaruhi panjang perjalanan, waktu

perjalanan dan biaya yang mendatangkan efek gesekan terhadap jarak. Perilaku

ruang secara esensi merupakan bagian dari sistem tempat terpusat yang

dirasakan individu sebagai sumber potensi untuk memuaskan permintaan akan

barang dan jasa. Perilaku ruang individu akan dikondisikan dari informasi

konsumen yang diperoleh tentang struktur hirarki pusat pelayanan dari

pengalaman pribadi sebelumnya dan atau informasi dari iklan. Kemampuan

tempat terpusat untuk memuaskan permintaan konsumen tergantung dari jumlah

perusahaan dan fungsi-fungsi terpusat dalam penyediaanya. Pada kenyataannya

ukuran pusat pelayanan menjadi faktor pengaruh yang paling signifikan terhadap

jarak perjalanan dalam belanja barang dan jasa.

Menurut Dawson & Lord (1985 p.1) dalam Healey & Ilbery (1990)

mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok perusahaan komersial

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

25

yang didesain, direncanakan, dimiliki, dipasarkan dan dikelola oleh suatu unit.

Menurutnya pusat perbelanjaan berbeda dengan shopping distric dimana pada

shopping distric merupakan konsentrasi toko dan perusahaan komersial lainnya

dimiliki dan dikelola masing-masing individu. Empat klasifikasi hirarki pusat

perbelanjaan yang biasa digunakan adalah :

Tabel 2.1 Klasifikasi Hierarki Pusat Pelayanan

Tipe Lokasi Luas (M2) Karakteristik

Super Regional Area pendapatan

menengah-tinggi Kota

Metropolis

> 100.000 - > 100 unit ritel

- > 3 dept. store

- Fasilitas hiburan (bioskop, dll)

Regional Persimpangan Jalan Utama 40.000 – 100.000 - Jangkauan pelayanan lebih dari

100.000 populasi

- 1-3 toko utama

- Parkir utk lebih dari 4000 kend.

Community Persimpangan jalan dan

area permukiman baru yang

besar

10.000 – 40.000 - Jangkauan pelayanan dari 25.000-

100.000 populasi

- Parkir untuk 1000-1500 kend

- Discount dept store dan katalog

showroom sebagai toko utama

Neighbourhood Persimpangan jalan lokal di

area permukiman

3.000-10.000 - Jangkauan pelayanan dari 8.000-

20.000 populasi

- Supermarket dan/atau drugstore

sering digabungkan dengan sekolah,

pusat kesehatan dan atau

perpustakaan distrik

Sumber : didasarkan pada informasi Dawson (1983); Rogers (1983) dan Daniels (1985a) dalam

(Healley & Ilbery, 1990 p.260)

Menurut Lusch (1992) dalam Henche (2005), pusat ritel modern dengan

batasan luasan lantai yang dimulai dari skala lingkungan (4.500 m2) kemudian

skala kecamatan/distrik (12.500 m2) serta skala kota (36.000 m2) hingga skala

metropolitan/kota raya (lebih dari 90.000 m2).

Hierarki pusat perbelanjaan menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan

Umum dibagi menjadi tiga yaitu pusat perbelanjaan lingkungan, pusat

perbelanjaan dan pusat perbelanjaan niaga. Hierarki pusat perbelanjaan tersebut

dibedakan berdasarkan jumlah penduduk pendukungnya dan tiap-tiap pusat

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

26

perbelanjaan memiliki luas minimum berdasarkan kepadatan penduduk di

sekitarnya.

Tabel II.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Pusat Perbelanjaan

menurut Cipta Karya Pekerjaan Umum

Luas Tiap Unit berdasarkan Kepadatan Penduduk (mP

2P) Hierarki Pusat Perbelanjaan

Jumlah Pendukung (Jiwa) < 100

jiwa/ha 100-250 jiwa/ha

250-500 jiwa/ha

> 500 jiwa/ha

Pusat Perbelanjaan Lingkungan 30.000 27.000 20.250 13.500 10.125 Pusat Perbelanjaan 120.000 72.000 54.000 36.000 27.000 Pusat Perbelanjaan Wilayah 480.000 192.000 144.000 96.000 72.000

Sumber : Buku Pedoman Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen PU

II.2.3 Peran dan fungsi ritel modern

Ritel modern sebagai fasilitas perbelanjaan selain berfungsi sebagai tempat

pelayanan atas barang-barang yang dibutuhkan penduduk, juga merupakan tempat

terjadinya transaksi ekonomi antara penjual dan pembeli. Dampaknya memiliki

arti penting bagi laju pertumbuhan ekonomi kota secara umum dan pola

pemanfaatan ruang secara spasial. Dengan pemilihan penempatan lokasi yang

khusus, pusat-pusat ritel modern menjamur disepanjang jalan utama dan hal ini

berdampak pada bangkitan perjalanan berbelanja penduduk. Untuk alasan-alasan

tertentu, berbelanja adalah penting untuk mendapatkan barang dan jasa yang

dibutuhkan oleh rumah tangga modern. Untuk beberapa kelompok masyarakat

tertentu berbelanja juga merupakan bentuk penting dari interaksi sosial.

Konsepnya sudah bergeser pada aktivitas yang berlandaskan kesenangan.

Menurut Rosemary D.F. Bromley dan Colin J. Thomas, ada beberapa

alasan mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan ritel

adalah pertama, mobilitas penduduk yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan

pemilikan kendaraan. Disamping itu ditunjang dengan pembangunan dan

perbaikan prasarana jalan. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya volume lalu

lintas yang mempengaruhi pergerakan didalam kota serta menimbulkan

kemacetan. Kedua, perubahan dalam redistribusi spasial dan komposisi penduduk

perkotaan. Dalam upaya counter urbanisasi mengakibatkan pergeseran konsentrasi

penduduk dari kawasan pusat kota ke kawasan pinggiran. Kota-kota kecil tumbuh

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

27

lebih pesat dari pusat kota. Fenomena tersebut diikuti juga oleh pergeseran

pengalokasian ritel ke arah pinggiran kota. Ketiga, perubahan karakter dari

masyarakat pekerja. Terdapat peningkatan jumlah pekerja wanita paruh waktu

selama dasa warsa 1970-an dan 1980-an menyebabkan bisnis dibidang

perbelanjaan makin meningkat. Wanita merupakan kelompok masyarakat utama

dalam pemanfaatan pusat perbelanjaan. Terakhir, perubahan perilaku sosial dan

politik penduduk. Penduduk makin sadar akan pemanfaatan waktu. Aktivitas

belanja digunakan sebagai pemanfaatan waktu luang dan hiburan atau berbelanja

secara cepat dan tepat waktu.

II.3 Tinjauan Pergerakan Penduduk

Kebutuhan akan pergerakan bersifat sebagai kebutuhan turunan.

Pergerakan terjadi karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan

kebutuhan merupakan kegiatan yang biasanya harus dilakukan setiap hari,

misalnya pemenuhan kebutuhan akan ekonomi, pendidikan, hiburan, sosial,

budaya dan lain sebagainya. Pola pergerakan secara fisik sebagian besar

ditentukan oleh kebiasaan sosial-ekonomi penduduk, misalnya jam-jam kerja

normal, waktu buka toko dan sekolah, waktu-waktu hiburan masyarakat dan

peristiwa-peristiwa sosial. Pola pergerakan penduduk dapat dibagi dalam pola

pergerakan harian, mingguan dan bulanan.

Sebagai makhluk individu dan sosial, manusia mempunyai kebutuhan

yang harus dipenuhi baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kebutuhan tersebut

menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan pergerakan. Ada berbagai alasan

mengapa manusia melakukan pergerakan. Alasan-alasan tersebut secara umum

mempunyai karakteristik yang sama dan menjadi karakteristik pergerakan yang

polanya lebih terlihat di perkotaan.

Menurut Bromley dan Thomas, 1993, salah satu alasan terjadinya

pergerakan di perkotaan adalah mengenai kecenderungan sosial ekonomi, yaitu

mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan pesat

pemilikan kendaraan. Hal ini ditunjang dengan pembangunan dan perbaikan

prasarana jalan, sehingga masyarakat mampu untuk menjangkau tempat

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

28

berbelanja yang lebih jauh. Disamping itu, kelompok masyarakat yang tidak

memiliki kendaraan menjadi terkelompok sebagai golongan dengan mobilitas

rendah terhadap fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari pertumbuhan

pemilikan kendaraan ini adalah meningkatnya volume lalu lintas yang

mempengaruhi pergerakan di dalam kota, serta menimbulkan kemacetan.

Daniel dan Warners (1983) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh

terhadap pergerakan adalah kondisi sosial ekonomi seperti banyaknya anggota

keluarga yang bekerja dan penghasilan keluarga (atau sesuatu yang

mencerminkan penghasilan keluarga seperti pemilikan kendaraan), pola guna

lahan dan pembangunan, serta daya hubung.

Menurut Warpani (1990) beberapa penentu pergerakan yang dapat

diterapkan di Indonesia adalah; penghasilan keluarga, jumlah pemilikan

kendaraan, jarak dari pusat kegiatan kota, moda perjalanan, penggunaan

kendaraan dan waktu.

Pergerakan keluarga erat kaitannya dengan aktivitas-aktivitas yang

dilakukan keluarga. Sedangkan aktivitas-aktivitas keluarga sangat dipengaruhi

oleh karakteristik keluarga. Karakteritik keluarga yang mempengaruhi

pergerakan ini antara lain adalah pendapatan keluarga, pemilikan kendaraan

serta struktur dan jumlah jiwa per-keluarga. Semua karakteristik ini

mempengaruhi tingkat kebutuhan keluarga dan frekuensi pergerakan yang

dilakukan keluarga tersebut.

II.4 Tinjauan Struktur Kota

Dalam membahas fasilitas pelayanan suatu wilayah atau kawasan tidak

akan terlepas dari teori struktur kota. Hal ini dikarenakan fasilitas merupakan

salah satu komponen yang dibutuhkan oleh suatu kota. Berdasarkan

perkembangannya, ada tiga teori struktur kota, yaitu : konsentrik, sektoral dan

pusat banyak.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

29

II.4.1 Teori Konsentrik

Dalam teori struktur kota konsentrik yang dikemukakan oleh Burgess, kota

dibagi ke dalam beberapa zona. Secara garis besar model konsentris terbagi

menjadi tiga zona, yaitu zona pusat, zona transisi/peralihan dan zona pinggiran.

Secara berurut dari pusat ke pinggiran, struktur konsentrik terdiri dari komponen-

komponen sebagai berikut :

- Pusat Kota

- Industri Ringan

- Permukiman golongan rendah

- Permukiman golongan menengah

- Permukiman golongan tinggi

Salah satu komponen yang ada di pusat kota adalah fasilitas pelayanan (khususnya

pusat perbelanjaan) yang dalam teori ini dianggap mampu melayani penduduk

dalam skala kota yang mencakup penduduk yang berada di zona pinggiran.

II.4.2 Teori Sektoral

Berbeda dengan teori konsentrik, teori struktur kota sektroral yang

dikembangkan oleh Hommer Hoyt menjelaskan bahwa semua jenis permukiman

baik permukiman golongan rendah, menengah maupun tinggi mempunyai akses

yang sama ke pusat kota. Dengan demikian, semua penduduk di setiap

permukiman mendapat kesempatan yang sama (aksesibilitas) dalam

mengkonsumsi fasilitas pelayanan yang berada di pusat kota.

II.4.3 Teori Pusat Banyak (Multiple Nuclei)

Seiring dengan berkembangnya kegiatan, yang didukung oleh sistem

transportasi, memudahkan pergerakan individu ke pusat-pusat kegiatan. Namun

perkembangan ini tidak selamanya menguntungkan. Pada suatu titik tertentu

perkembangan itu justru merugikan individu maupun pusat kegiatan itu sendiri

karena timbul kemacetan sehingga individu mengkonsumsi di pusat-pusat

pelayanan yang berada tidak di pusat kota.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

30

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dikembangkan pusat-pusat

kegiatan baru di daerah pinggiran. Munculnya teori Multiple Nuclei yang

dikembangkan oleh Harris Ullman mengarah pada desentralisasi kegiatan

sehingga terbentuk pusat-pusat kegiatan baru yang berada di luar kawasan pusat.

Menurut teori ini perkembangan suatu kota cenderung membentuk suatu pusat

banyak dimana kegiatan-kegiatan yang saling menguntungkan akan beraglomerasi

pada suatu kawasan, sehingga muncul suatu kawasan perdagangan, kawasan

pemerintahan, kawasan pendidikan dan sebagainya.

Perkembangan teori pusat banyak mengilhami arahan pengembangan

kegiatan ke wilayah pinggiran dengan membentuk/membangun pusat-pusat

kegiatan baru yang menarik penduduk berpendapatan menengah ke atas dari pusat

sebagai akibat kepadatan di pusat kota. Perkembangan wilayah pinggiran lebih

dipercepat dalam tumbuhnya “bussiness parks and offices towers” mulai tahun

1970-an (Cervero, 1989:136 dalam Rudi Danarto, 2003) yang mengarah pada

pergeseran strktur ekonomi (Pivo, 1990:457 dalam Rudi Danarto,2003), sehingga

terjadi desentralisasi ke wilayah pinggiran termasuk di dalamnya fasilitas

pelayanan, dimana wilayah pinggiran telah berkembang menjadi pusat-pusat

kegiatan baru (Raharjo, 1997:18 dalam Rudi Danarto,2003)

II.5 Tinjauan studi-studi terdahulu

Ridwan Sutriadi, 1996, dalam mengamati keadaan dan proses pemanfaatan

fasilitas toko oleh penduduk kawasan pinggiran lebih melihat pada faktor-faktor

yang mempengaruhi penduduk wilayah pinggiran dalam memanfaatkan fasilitas

toko dan proses perkembangan pemanfaatan toko tersebut. Ridwan menemukan

bahwa 68.69% penduduk pinggiran sudah memanfaatkan fasilitas toko di kawasan

pinggiran dan hanya 14% yang masih memanfaatkan fasilitas toko di kawasan

transisi maupun pusat kota. Untuk kawasan pinggiran bagian Timur, 17.65%

penduduk memanfaatkan fasilitas toko di kawasannya sendiri. Untuk pergerakan

ke fasilitas toko terdekat, ditemukan ridwan bahwa antara pergerakan ke fasilitas

toko terdekat dengan fasilitas toko tidak dekat seimbang. Alasan penduduk

kawasan tidak menggunakan fasilitas toko terdekat dikarenakan faktor kualitas

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Perilaku · PDF fileMenurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan ... kesehatan dan lain-lain ... dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha,

31

dan kuantitas. Sedangkan bagi penduduk yang menggunakan fasilitas terdekat

lebih disebabkan karena kemudahan trasnportasi. Selain ini ridwan menemukan

juga bahwa umumnya 52% penduduk memindahkan lokasi pemanfaatan fasilitas

toko mereka ke tempat tinggal yang baru dengan alasan transportasi. Dengan jarak

jangkau sama seperti jarak jangkau fasilitas toko yang lama.

Henche, 2005 dalam studinya berusaha untuk mengidentifikasi

karakteristik pemanfaatan pusat-pusat perbelanjaan skala kota oleh rumah tangga

di kota Bandung dengan titik berat kapasitas pelayanan, kelengkapan sarana dan

prasaran penunjang serta karakteristik pengguna pusat perbelanjaan disimpulkan

bahwa sebagian besar rumah tangga di Kota Bandung lebih memilih berbelanja di

pusat perbelanjaan yang telah berdiri lama di pusat kota dan sekitarnya dan pola

pemanfaatan pusat perbelanjaan skala kota tersegmentasi artinya ada golongan

rumah tangga tertentu dengan karakter perjalanan yang melekat pada dirinya

untuk berbelanja dipusat perbelanjaan tersebut.

Hondri Donny S, 1999 dalam studinya membahas karakteristik tempat

perbelanjaan modern meliputi perkembangan dan pola sebarannya juga

kedudukan pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun sebagai pusat CBD

dan Bandung Indah Plaza sebagai pusat pembelanjaan wilayah di kota Bandung.

selain itu studi ini juga membahas perilaku berbelanja dan kapasitas pelayanan

pusat perbelanjaan di kawasan sekitar Alun-alun (pusat kegiatan kota) dan

Bandung Indah Plaza (pusat perbelanjaan wilayah). Hasilnya adalah tidak ada

perbedaan gender dalam berbelanja ke pusat ritel modern baik di kawasan alun-

alun maupun BIP. Perbedaannya terletak pada perbedaan umur antara penduduk

yang berbelanja di BIP dan di kawasan Alun-alun. Kelompok umur dewasa dan

remaja sebanding berbelanja di sekitar alun-alun sedangkan di BIP kaum remaja

proporsinya lebih dominan di banding orang dewasa. Kelompok pelajar dan

mahasiswa yang mendominasi BIP. Terdapat perbedaan sasaran pelayanan antara

pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun dengan Bandung Indah Plaza

akan tetapi tumpang tindih wilayah pelayanan telah terjadi jika ditinjau

berdasarkan beberapa aspek perilaku berbelanja dan aspek jangkauan wilayah

pelayanan.