BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN...
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengangkutan Udara
Abdul kadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan sebagai proses
kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat
lain dengan menggunakan berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui
dan diatur dalam undang-undang sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan
teknologi1. Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut
dengan penumpang/pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar angkutan2. Istilah “dengan selamat” mengandung arti
penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang menyebabkan
luka, sakit, atau meninggal dunia, dalam hal barang dimana nilai sumber daya
barang ditempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan mansusia dan
pelaksanaan pembangunan. Bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat”,
maka hal itu akan menjadi tanggung jawab pengangkut.
1 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hlm. 1
2 Suwardjoko Warpani, Loc.cit.
22
Pada prinsipnya, fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang atau
orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan
daya guna dan nilai. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa
hukum pengangkutan mengatur hubungan hukum yang timbul karena keperluan
pengangkutan yaitu pemindahan barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan jasa orang lain, titik tekan dari penjelasan ini ialah
timbulnya hubungan keperdataan. Selain itu pengangkutan juga merupakan
hubungan keperdataan karena dilakukan berdasarkan perjanjian, pada umumnya
bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Selain
defenisi di atas ada yang menyatakan bahwa Pengangkutan adalah perpindahan
tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, dengan adanya
perpindahan tersebut maka mutlak diperlukannya untuk mencapai dan
meninggikan manfaat serta efisiensi3. Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan
merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:
a) Adanya sesuatu yang diangkut
b) Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut
c) Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Menurut Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah memindahkan
barang atau commodity of goods dan penumpang dari suatu tempat ketempat lain,
sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi
masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-
3 Sution Usman Adji, Dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991),
hlm. 1
23
barangnya4. Pengangkutan dapat dikelompokan menjadi angkutan penumpang dan
angkutan barang. Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum,
yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas
yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang belaku dan
berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga
yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah, sedangkan
asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang
hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu
pengangkut dan penumpang atau pengirim barang5.
Peranan pengangkutan mencakup bidang yang luas di dalam kehidupan
manusia yang meliputi atas berbagai aspek, seperti yang akan diuraikan berikut
ini6:
a) Aspek sosial dan budaya
Dampak sosial dari transportasi dirasakan pada peningkatan standar
hidup. Transportasi menekan biaya dan memperbesar kuantitas
keanekaragaman barang sehingga terbuka kemungkinan adanya
perbaikan dalam perumahan, sandang, dan pangan, serta rekreasi.
Dampak lain adalah terbukanya kemungkinan keseragaman dalam
gaya hidup, kebiasaan, dan bahasa. Dalam bidang budaya dengan
adanya pengangkutan di antara bangsa atau suku bangsa yang
berbeda kebudayaan akan membuat mereka saling mengenal dan
menghormati di antara masing-masing budaya yang berbeda
tersebut.
b) Aspek politis dan pertahanan
Di negara maju maupun berkembang transportasi memiliki dua
keuntungan politis, yaitu seperti transportasi dapat memperkokoh
persatuan dan kesatuan nasional dan transportasi merupakan alat
mobilitas unsur pertahanan dan keamanan yang harus selalu tersedia.
4 Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, (Jakarta: Rineka Cipta,
1995), hlm. 1
5 Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 17
6 M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 3
24
c) Aspek hukum
Di dalam pengoperasian dan pemilikan alat angkutan diperlukan
ketentuan hukum mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab
serta perasuransian apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, juga
terhadap penerbangan luar negeri yang melewati batas wilayah suatu
negara, diatur di dalam suatu perjanjian antar negara.
d) Aspek Teknik
Hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan dan pengoperasian alat
transportasi adalah menyangkut aspek teknis yang harus menjamin
keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan angkutan.
e) Aspek ekonomi
Peran pengangkutan tidak hanya untuk melancarkan arus barang dan
mobilitas manusia, pengangkutan juga membantu tercapainya
pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara optimal. Untuk itu,
jasa angkutan harus cukup tersedia secara merata dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
Pengangkutan secara umum, sesuai dengan media pengangkutannya dapat
dibagi menjadi tiga jenis pengangkutan, antara lain:
a) Pengangkutan udara
b) Pengangkutan laut
c) Pengangkutan darat
Dalam pembahasan ini penulis hanya memfokuskan pada jenis
pengangkutan udara saja. Menurut Konversi Warsawa 1929 pengangkutan udara
meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam
pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam pesawat udara,
atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara7.
Terdapat beberapa tujuan dalam penyelenggaraan pengangkutan udara, yaitu:
7 Pasal 18 ayat (3) Konversi Warsawa Tahun 1929.
25
a) mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,
aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek
persaingan usaha yang tidak sehat;
b) memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara
dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
c) membina jiwa kedirgantaraan;
d) menjunjung kedaulatan negara;
e) menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri
angkutan udara nasional;
f) menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional;
g) memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan
Wawasan Nusantara;
h) meningkatkan ketahanan nasional; dan
i) mempererat hubungan antarbangsa.
Peristiwa pengangkutan udara pun tidak terlepas dari seperangkat peraturan
yang mengaturnya yang dapat dikatakan sebagai hukum pengangkutan udara.
Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang
mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang
dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan udara (Air
Transportation) merupakan bagian daripada hukum penerbangan (Aviation Law)
dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara (air Law). Sumber
hukum dalam pengangkutan udara antara lain:
26
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
b) Ordonasi Pengangkutan Udara Tahun 1939;
c) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995 Tentang Angkutan Udara;
d) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan
Keselamatan Penerbangan;
e) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara;
f) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 Tahun 2015 Tentang Standar
Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Dalam Negeri.
Pengangkutan Udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara
untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau
lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar
udara. Dalam pengangkutan udara terdapat suatu perjanjian yang kemudian
disebut sebagai perjanjian pengankutan udara yang berisikan perjanjian antara
pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo/barang untuk
mengirim penumpang dan/atau kargo/barang dengan pesawat udara dengan
imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lainnya. Dalam Pasal 1 Undang-
Undang Tentang Penerbangan juga menentukan beberapa ketentuan umum, yaitu
antara lain:
a) Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan
wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan
27
dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain
yang terkait;
b) Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat
udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan
atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa
bandar udara;
Pasal 2 Undang-Undang Tentang Penerbangan juga menyatakan bahwa
pengangkutan udara berdasarkan oleh beberapa asas, antara lain:
a) Asas manfaat
Bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya
bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan
perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya
peningkatan pertahanan dan keamanan negara;
b) Asas usaha bersama dan kekeluargaan
Bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk
mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat
dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat
kekeluargaan;
c) Asas adil dan merata
Bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan
yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya
yang terjangkau oleh masyarakat;
d) Asas keseimbangan
28
Bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga
terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan
masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e) Asas kepentingan umum
Bahwa penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan
pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f) Asas keterpaduan
Bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh,
terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar
moda transportasi;
g) Asas kesadaran hukum
Bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin
kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia
untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan
penerbangan;
h) Asas percaya pada diri sendiri
Bahwa penerbangan harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian
bangsa.
i) Asas keselamatan Penumpang
Bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai
dengan asuransi kecelakaan.
29
Asas hukum pengangkutan udara diklasifikasikan menjadi dua, yaitu asas
hukum publik dan asas hukum perdata, dimana asas hukum perdata merupakan
landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak
dalam pengangkutan, yaitu pengangkut dan penumpang atau pemilik barang.
Pesawat udara seperti saat ini sangat berkembang pesat, itu dilihat dari
banyaknya maskapai penerbangan baik maskapai yang dikelola oleh pihak swasta
maupun pihak pemerintah yang biasa disebut dengan Badan Usaha Milik Negara.
Dengan kata lain, pesawat udara telah menjadi alat pengangkutan yang penting
dalam kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan oleh K. Martono:
“Pengangkutan merupakan sarana yang sangat penting dan strategis
dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan
kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain pengangkutan darat dan pengankutan laut,
pengangkutan udara merupakan sarana penting dan merupakan urat
nadi dalam kehidupan bangsa dan negara dalam menunjang
pembangunan nasional8”.
Pada bagian kedelapan dalam Undang-Undang Tentang Penerbangan
dijelaskan mengenai tanggung jawab pengangkut udara dimana wajib mengangkut
orang dan/atau barang, memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap
pengguna jasa angkutan udara. Pengangkut juga bertaggung jawab atas kerugian
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan
kejadian angkutan udara9. Kegiatan penerbangan penuh dengan resiko yang
sangat tinggi, sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh pengangkut dapat
berakibat fatal, yaitu terjadinya kecelakaan pesawat yang dapat mengakibatkan
8 K. Martono, Hukum Udara, Pengangkutan Udara dan Angkasa, (Bandung: Alumni, 1997), hlm.
59 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
30
kerugian bagi penumpang. Kejadian angkutan udara adalah kejadian yang semata-
mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara, salah satu yang berdampak
negatif terhadap konsumen adalah kecelakaan, definisi kecelakaan menurut
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara Pasal 1 adalah peristiwa pengoperasian pesawat
udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang
digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius, diluar kecelakaan terdapat
permasalahan lain yang juga merugikan penumpang antara lain delay, dan
permasalahan mengenai kondisi bagasi dan kargo. Hal ini diperjelas dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara Pasal 2 yang berbunyi:
a) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka
b) Hilang atau rusaknya bagasi kabin
c) Hilang, musnah atau rusaknya kargo
d) Keterlambatan angkutan udara
e) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Pasal 1
mendefinisikan secara lebih rinci sebagai berikut:
a) cacat tetap adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya
salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara
normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam
pengertian cacat tetap adalah cacat mental.
b) Cacat Tetap Total adalah kehilangan fungsi salah satu anggota
badan, termasuk cacat mental sebagai akibat dari Kecelakaan
(accident) yang diderita sehingga penumpang tidak mampu lagi
melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak
diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, ketrampilan dan
pengalamannya sebelum mengalami cacat.
31
c) Catat Tetap Sebagian adalah kehilangan sebagian dari salah satu
anggota badan namun tidak mengurangi fungsi dari anggota badan
tersebut untuk beraktifitas seperti hilangnya salah satu mata, salah
satu lengan mulai dari bahu, salah satu kaki.
d) Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu
keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi
waktu keberangkatan atau kedatangan.
Definisi keterlabatan secara lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 sebagai
berikut:
a) Keterlambatan penerbangan (flight delayed)
b) Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara
(denied boarding passanger)
c) Pembatalan penerbangan (cancelation of flight).
2. Perlindungan Hukum Konsumen
Keinginan pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebanyak-
banyaknya dapat mendorong pelaku usaha untuk berbuat curang, kecenderungan
pelaku usaha ini menjadikan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi
tidak seimbang dan menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah. Selain itu,
Salah satu faktor utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan konsumen
adalah karena rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai hak-haknya, oleh
sebab itu dalam berbagai bentuk yang menjadikan konsumen dalam posisi
terlemah dibutuhkannya perlindungan hukum konsumen. Hukum yang berlaku
selain mampu melindungi konsumen dari perbuatan curang pelaku usaha, juga
harus mampu memberikan pendidikan kepada konsumen mengenai pentingnya
32
keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk10
. Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat
yang melindungi konsumen11
. Hukum perlindungan konsumen inilah yang
menjembatani permasalahan yang timbul dan dituangkan dalam bentuk Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun sekarang
mulai banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum
konsumen, maka dalam menerapkannya dikehidupan sehari-hari harus sejalan
dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada. Dalam Pasal 64 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: ”Segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada
saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku”.
Konsumen Merupakan salah satu pelaku kegiatan usaha dalam bentuk
individu atau sekelompok orang yang mengkonsumsi barang atau jasa yang
disediakan oleh produsen. Philip Kotler menyatakan bahwa konsumen adalah
semua individu dan rumah tangga yang membeli maupun memperoleh barang
atau jasa untuk dikonsumsi pribadi, selain itu Hornby berpendapat bahwa
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam bidang ekonomi
dikenal dua jenis konsumen, yaitu konsumen akhir yaitu pengguna atau pemanfaat
10
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), hlm. 3
11 Az Nasution (a), Konsumen dan Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), hlm. 65
33
akhir dari suatu produk, dan konsumen antara yaitu pengguna suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Menurut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan12
. Sehingga
berdasarkan pengertian konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat konsumen adalah:
a) Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian
maupun secara cuma-Cuma.
b) Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain dan makhluk hidup lain.
c) Tidak untuk diperdagangkan.
Menurut ketentuan Pasal 1 (satu) angka 1 (satu) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen, dengan cakupan yang luas meliputi dari tahapan untuk mendapat
barang dan/atau jasa hingga sampai akibat-akibat pemakaian barang dan/atau jasa
tersebut. Menurut Janus Sidabalok, Perlindungan hukum konsumen adalah hukum
yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka
pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen13
. Di dalam perlindungan
12
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2006), hlm. 1
13 Ibid., hlm. 45
34
konsumen, terdapat dua istilah hukum yakni hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen, namun menurut Shidarta hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasnya, hal ini mengingat bahwa salah satu tujuan hukum adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Az. Nasution
membedakan definisi antara hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen, hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-
asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa)
konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka hukum perlindungan konsumen pada
dasarnya merupakan bagian khusus dari hukum konsumen, di mana tujuan hukum
perlindungan konsumen secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan
konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di masyarakat. Terdapat asas atau
prinsip dalam perlindungan hukum konsumen, yaitu:
a) Let the buyer beware/ Caveat emptor
Asas ini beramsumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi
konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak dapat
akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang
dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu banyak disebabkan oleh
35
ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya.
Prinsip ini dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib
berhati-hati adalah pembeli.
b) The Due Care Theory
Asas ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-
hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama
berhati-hati ia tidak dapat dipersalahkan.
c) The privity of contract
Asas ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara
mereka telah terjalin hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat
disalahkan atas halhal di luar yang diperjanjikan.
d) Let the producer aware/ Caveat Venditor
Asas ini ini mengandung maksud bahwa „penjual‟ harus beritikad baik
dan bertanggungjawab dalam menjual produknya kepada pembeli atau
konsumen. Berbeda dengan asas caveat emptor yang „meminta‟ pembeli
teliti (berhati-hati) sebelum membeli (karena penjual mungkin curang),
prinsip caveat venditor ini membebankan tanggungjawab kehati-hatian
pada penjual (produsen). Maka pelaku usaha wajib beritikad baik
memberikan perlindungan dan pendidikan pada konsumen, salah satunya
melalui informasi produk yang jujur. Pergeseran penggunaan asas
perlindungan konsumen dari caveat emptor menjadi caveat venditor
berlangsung seiring dengan perkembangan masyarakat, maka terjadi pula
perubahan dalam sikap produsen (pelaku usaha). dimana produsen
36
mengubah strategi bisnisnya bukan lagi pada product-oriented policy,
tetapi menjadi consumen-oriented policy, yaitu kebijakan pemasaran yang
didasarkan pada pertimbangan bahwa apa yang dihasilkan oleh pelaku
usaha harus sesuai dengan tuntutan, kriteria dan kepentingan konsumen.
Sejalan dengan penerapan asas ini maka Pemerintah dan DPR menerbitkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
guna meningkatnya kesadaran hukum untuk melindungi konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan faktor penting yang hendak dicapai,
maka Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999 telah
mensahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan
konsumen, meskipun ditunjukan untuk melindungi kepentingan konsumen,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak bertujuan untuk mematikan
pelaku usaha, sebaliknya diharapkan dapat lebih termotivasi untuk meningkatkan
daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Berdasarkan Pasal
2 undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
perlindungan konsumen berasaskan atas:
a) Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-undang
Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga
tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding
pihak lainnya, kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b) Asas keadilan
Berdasarkan Pasal 4 – 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha, diharapkan kedua belah pihak memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c) Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak
ada pihak yang lebih dilindungi.
37
d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e) Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
dijelaskan tujuan perlindungan konsumen yaitu:
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
B. Hasil Penelitian Dan Analisis
1. Prinsip Pertanggungjawaban Pengangkut Terhadap Penumpang
Pengangkutan Udara
Seperti yang telah dikemukakan dalam bagian Pengangkutan Udara, dimana
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang
dan/atau orang, pengangkutan juga dapat dikelompokan menjadi angkutan
38
penumpang dan angkutan barang, sehingga dapat dimaknai bahwa konsumen
dalam pengangkutan udara ialah penumpang yang merupakan orang, dan barang.
Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
yang merupakan konsumen adalah pengguna jasa penerbangan, dengan
mengangkut dirinya sendiri atau barang miliknya yang bisa disebut sebagai
penumpang dan kargo, jika sebagai penumpang maka ia memiliki hak atas bagasi,
baik bagasi tercatat maupun bagasi kabin. Bila dilihat dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen mengatur tentang pihak-pihak-pihak yang terkait, antara
lain:
a) Konsumen
Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Dari
definisi ini terdapat suatu paham bahwa konsumen haruslah seorang
pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan
b) Pelaku Usaha
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
pelaku usaha sebagai setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik
39
Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 dan 5 menjelaskan secara
rinci mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pasal 4 mengenai hak konsumen
antara lain:
a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sedangkan Pasal 5 mengenai kewajiban konsumen antara lain:
a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Dengan adanya ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap
konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka
40
diperlukannya Undang-Undang tentang Penerbangan yang kemudian akan
mengatur mengenai tanggung jawab atas ganti kerugian yang dialami oleh
konsumen. Sebelum menetapkan tanggung jawab, hal penting yang harus
diperhatikan adalah prinsip-prinsip mengenai tanggung jawab itu sendiri seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, namun dalam pengangkutan udara prinsip-
prinsip yang digunakan antara lain Liabilty Based on Fault Principle atau
Presumption of Non Liabilty Principle, Presumption of Liability Principle, dan
Strict Liability Principle atau Absolute Liability Principle.
Dalam prinsip Liabilty Based on Fault atau Presumption of Non Liabilty
kelalaian atau kesalahan pengangkut yang berakibat pada timbulnya kerugian
konsumen merupakan faktor penentu hak konsumen untuk mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada pihak pengangkut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau KUH Perdata hal ini dikenal dengan perbuatan melawan hukum,
dijelaskan dalam Pasal 1365 dimana setiap perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
perbuatannya itu menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.
Dalam Undang-Undang Penerbangan prinsip ini dikaitkan dengan ketentuan
dalam Pasal 143 yang menyebutkan bahwa Pengangkut tidak bertanggung jawab
atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila
penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh
tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Sebagai pedoman
konsumen dalam hal ini, harus diingat bahwa tanggung jawab hukum kepada
orang yang menderita kerugian tidak terbatas pada perbuatan sendiri melainkan
juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, atau perwakilannya yang menimbulkan
41
kerugian, dengan demikian terhadap bagasi kabin penumpang harus membuktikan
bahwa kerugian disebabkan oleh perbuatan awak pesawat (pramugari/pramugara)
dalam menutup pintu kabin.
Prinsip tanggungjawab selanjutnya ialah Presumption of liability dimana
penumpang tidak perlu membuktikan kesalahan pengangkut untuk mendapatkan
ganti kerugian sebab pengangkut telah dianggap bersalah, melainkan
pengangkutlah yang harus membuktikan kalau dia tidak bersalah apabila ingin
menolak tuntutan atas ganti kerugian. Dalam Undang-Undang Penerbangan hal ini
disebutkan dalam pasal 146 dimana pengangkut bertanggung jawab atas kerugian
yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atu kargo,
kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut
disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Selanjutnya prinsip ini juga
didukung dengan pernyataan yang ada dalam Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 89 tahun 2015 Pasal 6 yang menyebutkan bahwa badan usaha angkutan
udara bertanggungjawab atas keterlambatan yang disebabkan faktor manajemen
airlines sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dan dibebaskan dari
tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), (4), dan (5) yang menjelaskan
tentang faktor kondisi bandar udara, cuaca dan faktor lain diluar manajemen
airlines. Bila diperhatikan kembali ketentuan pasal 146 Undang-Undang
Penerbangan, penulis mengemukakan kembali bahwa baik dengan adanya
pengaturan yang bertujuan untuk melindungi konsumen akan tetapi tidak semata-
mata mematikan pihak pengangkut, karena pihak pengangkut masih diberikan
kesempatan untuk membuktikan bila dia bersalah atau tidak.
42
Dalam prinsip Strict Liability atau Absolute Liability pengangkut
bertanggung jawab secara mutlak tanpa mensyaratkan unsur kesalahan, tetapi
langsung pada kerugian yang ditimbulkan. Dengan seiringnya terbukti ada unsur
kesalahan, pelaku usaha langsung mengganti kerugian tersebut. Prinsip ini yang
dominan digunakan baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
maupun Undang-Undang Penerbangan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 141
Undang-Undang Penerbangan dimana pengangkutan udara bertanggung jawab
atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang
diakibatkan kejadian angkutan udara didalam pesawat dan/atau naik turun
pesawat. Selain itu konsep tanggung jawab mutlak didapati pula dalam ketentuan
Pasal 144 Undang-Undang Penerbangan yang menyebutkan bahwa pengangkut
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang karena bagasi tercatata
hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama
bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Selanjutnya prinsip ini juga
terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 tahun 2015 Pasal 10
yang menjelaskan ganti kerugian atas keterlambatan penerbangan dan pasal 11
atas tidak terangkutnya penumpang.
Dengan adanya prinsip-prinsip tanggung jawab bagi pengangkut, akan hal
ini Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan disimpulkan tentang
kewajiban dari pihak pengangkut antara lain:
a) Pasal 140 ayat (2) yaitu badan usaha angkutan udara niaga wajib
memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa
angkutan.
b) Pasal 141 ayat (1) yaitu pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-
43
luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat
dan/atau naik turun pesawat.
c) Pasal 144 yaitu pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau
rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi
tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
d) Pasal 145 yaitu pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang,
musnah atau rusak yang diakibatkan oloeh kegiatan angkutan udara
selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.
e) Pasal 147 ayat (1) dan (2) yaitu, pengangkut bertanggung jawab atas
tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada
penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa
membayar biaya tambahan atau memberikan konsumsi, akomodasi,
dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat
tujuan.
Adapun beberapa aspek perlindungan kosnumen dalam pengangkutan
udara, antara lain:
a) Aspek keselamatan penerbangan
Tujuan utama kegiatan pengangkutan udara adalah keselamatan, aspek ini
berkaitan erat dengan perlindungan konsumen. Dalam konteks ini maka
semua perusahaan pengangkutan udara wajib untuk mengantisipasi segala
kemungkinan yang dapat mencelakakan penumpangnya, oleh karena itu
setiap perusahaan pengangkutan udara dituntut untuk menyediakan
armada pesawatnya yang handal dan dalam keadaan layak terbang.
b) Aspek keamanan penerbangan
Keamanan penerbangan maksudnya adalah aman dari berbagai gangguan,
baik secara teknis maupun gangguan dari perampokan, perampasan, dan
serangan teroris. Dalam aspek keamanan ini perusahaan pengangkutan
udara wajib menjamin keamanan selama melakukan penerbangan.
44
c) Aspek kenyamanan selama penerbangan
Dalam aspek kenyamanan dalam penerbangan, terkandung makna bahwa
keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak, baik pengangkut
maupun penumpang.
d) Aspek pengajuan klaim
Dalam kegiatan penerbangan sering kali terjadi resiko kecelakaan yang
menimbulkan kerugian bagi penumpang, sehubungan dengan hal tersebut
diperlukan perlindungan konsumen bagi penumpang, yaitu adanya
prosedur penyelesaian atau pengajuan klaim yang mudah, cepat dan
memuaskan.
e) Aspek Perlindungan melalui asuransi
Pada umunya perusahaan penerbangan mengasuransikan dirinya terhadap
resiko-resiko yang kemungkinan akan timbul dalam penyelenggaraan
kegiatan penerbangannya, antara lain mengasuransikan resiko tangung
jawab terhadap penumpang
Baik dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum konsumen maupun
dalam pengangkutan udara, keselamatan dan keamanan penumpang jasa angkutan
udara selaku konsumen merupakan unsur terpenting yang harus diperhatikan. Hal
ini sesuai dengan Pasal 3 huruf (f) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
bahwa salah satu tujuan perlindungan konsumen adalah menjamin keamanan dan
keselamatan konsumen, dan sama halnya dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang
Penerbangan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan penerbangan ialah
mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman dan nyaman. Upaya
hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
45
Perlindungan Konsumen di atas juga dapat diterapkan atau digunakan oleh
konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha penerbangan, karena baik dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Penerbangan,
keduanya menjelaskan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang menjadi
batasan-batasan dalam perlindungan penumpang yang merupakan konsumen. Hal
ini kemudian diperkuat dengan adanya ketentuan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pasal 1365 yang menyebutkan setiap perbuatan yang melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahannya menimbulkan kerugian mengganti kerugian tersebut.
Dalam besaran ganti kerugian berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab
yang sudah dijelaskan, ketentuan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak
pengangkut sesuai dengan yang diatur dalam pasal 165 Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009, akan tetapi penumpang dapat menuntut ganti kerugian yang lebih
besar hal ini diatur dalam pasal 180 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009.
Besaran ganti kerugian ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria antara lain
tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha
Angkatan Udara, tingkat inflasi kumulatif, pendapatan perkapita, perkiraan usia
harapan hidup dan perkembangan nilai mata uang, berdasar ideologi negara
Indonesia yaitu Pancasila, hal ini jelas mempertimbangkan 2 (dua) sila, yaitu sila
ke dua yang berbunyi kemanusian yang adil dan beradab dan sila ke lima yang
berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam permasalahan
tanggung jawab didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan
juga sanski pidana dalam pasal 411 yang menyebutkan setiap orang yang
membahayakan keselamatan konsumen baik orang maupun barang dipidana
46
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), hal ini juga terdapa didalam Pasal 62 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur sanksi pidana dalam
pengupayaan perlindungan konsumen.
Dengan demikiran berdasar analisis penulis upaya hukum yang dilakukan
guna melindungi konsumen yang dirugikan dapat dilalui dengan pengajuan
gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur pengadilan dan jalur diluar pengadilan,
kedua model ini diakui baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen bebas memilih model
penyelesaiannya. Dalam hal gugatan atau klaim ganti kerugian diluar pengadilan
hal ini dilakukan tentang harus berdasarkan oleh prinsip-prinsip ganti kerugian
yang telah dijelaskan dalam bab ini. Selanjutnya perusahaan pengangkutan udara
harus meningkatkan kinerja pelayanannya yang baik terhadap konsumen sehingga
mengurangi terjadinya ganti kerugian yang dialami konsumen serta mengurangi
kerugian yang akan diterima oleh perusahaan pengangkutan udara juga, sehingga
penulis menyebutkan kembali yang sudah penulis jelaskan dalam bab latar
belakang masalah, bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha pihak pengangkut, tetapi justru sebaliknya
perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat dan
meningkatkan kualitas pihak pengangkut udara. Namun demikian terkait dengan
perlindungan hukum konsumen, kerugian yang diderita seseorang sebagai pihak
ketiga seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Penerbangan tidak masuk
kedalam ruang lingkup perlindungan hukum konsumen dalam Undang-Undang
47
Perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan pihak ketiga tidak termasuk sebagai
konsumen dalam ketentuan yang ada di Undang-Undang Perlindungan Konsumen
karena dalam Pasal 1 angka (2) pengertian konsumen dibatasi aspek
perlindungannya hanya sampai konsumen akhir.
2. Perlindungan Hukum Bagi Orang dan Barang dalam Pengangkutan
Udara
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan konsumen dalam pengangkutan udara ialah penumpang yang merupakan
orang, dan barang. Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan mengenai
perlindungan terhadap orang dan barang menurut peraturan yang mengatur dalam
pengangkutan udara. Barang dan orang akan diangkut oleh pihak pengangkut,
dimana dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan
tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan antara
lain, yaitu sebagai berikut:
a) menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh;
b) pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya:
c) diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk.
Dalam pengangkutan udara, setiap penumpang dalam bentuk orang maupun
barang tentunya memiliki hak untuk diangkut ketempat tujuan dengan pesawat
udara. Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk menuntut
ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan
penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak
penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai
48
penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan
keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain.
Pengaturan mengenai perlindungan terhadap orang dan barang dalam
pengangkutan udara dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Pasal 3
menjelaskan ganti kerugian atas orang yaitu:
a) penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena
akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata
ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti
kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima
puluh juta rupiah) per penumpang;
b) penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang
sematamata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat
proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat
udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang
kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara
persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;
c) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp.
1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per
penumpang;
d) penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani
perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai
pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian
sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.
Selanjutnya mengenai perlindungan orang dalam pengangkutan udara, Pasal
10 sampai dengan Pasal 11 menjelaskan mengenai keterlambatan pengangkutan
sebagai berikut:
a) keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar
Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang.
b) diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari
ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan
lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-
49
routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan
lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan
apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara.
c) dalam hal tidak terangkutnya penumpang, pengangkut wajib
mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan.
d) memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila
tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan
Bila diperhatikan ketentuan ganti kerugian yang disebutkan tentu selaras
dengan prinsip-prinsip tanggung jawab yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam
ketentuan diatas bentuk ganti kerugian tersebut menganut asas tanggung jawab
mutlak atau prinsip Strict/Absolute Liability. Selanjutnya Mengenai bentuk ganti
kerugian terhadap barang antara lain bagasi tercatat yang merupakan barang
penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut
dengan pesawat yang sama, sedangkan bagasi kabin merupakan barang yang
dibawa oleh penumpang dan berada dibawah pengawasan penumpang sediri, dan
kargo berupa barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan
tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang
bawaan atau barang yang tidak bertuan, hal ini dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 Pasal 5 yaitu:
a) kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat
musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus
ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta
rupiah) per penumpang.
b) kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya
bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.
c) memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat
yang belum ditemukan dan, belum dapat dinyatakan hilang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp. 200.000,00 (dua
ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.
d) terhadap hilang atau musnahnya kargo yang dikirim, pengangkut
wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp.
100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg.
50
e) terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo,
pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim
sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg.
Dalam ketentuan yang dicantumkan diatas kita juga dapat memahami bahwa
besaran ganti kerugia tersebut berdasarkan prinsip Presumption of liability, namun
lain hal terhadap bagasi kabin karena perlindungan terhadap bagasi kabin bersifat
bersyarat, karena tanggung jawab atas ganti kerugian dapat dilakukan apabila
pihak penumpang dapat membuktikan kerugian tersebut disebabkan oleh pihak
pengangkut baik maskapai penerbangan atau pun orang yang dipekerjakan
(pramugari/pramugara), karena hal ini sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 yang merupakan implementasi dari
prinsip Presumption of Non Liabilty.
Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Pasal 18 menyebutkan
perlindungan terhadap orang dalam pengangkutan udara dimulai sejak penumpang
meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan
memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan. Untuk perlindungan
terhadap barang dalam hal bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima
bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi
tercatat kembali oleh penumpang, sedangkan perlindungan barang dalam hal
kargo dimulai sejak pengirim barang menerima salinan surat muatan udara dari
pengangkutan sampai dengan waktu yang ditetapkan sebagai batas pengambilan
Dalam praktik ganti rugi terhadap orang dan barang seperti PT. Garuda
Indonesia sebelumnya menganut ketentuan yang diatur dalam Peraturan
51
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang menyebutkan
bahwa:
a) Ganti rugi bagi penumpang meninggal ditetapkan sebesar
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);
b) Ganti rugi bagi penumpang yang luka-luka dibatasi setinggi-tingginya
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);
c) Ganti rugi penumpang yang mengalami cacat tetap dibatasi setinggi-
tingginya Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
Dan dalam perihal ganti kerugian yang wajib dibayarkan pihak pengakut
atas barang diatur dalam Pasal 44 yaitu:
a) Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk kerugian
karena kelambatan dibatasi setinggitingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk setiap kilogram.
b) Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan
pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
untuk setiap penumpang.
c) Jumlah ganti rugi untuk kerugian kargo termasuk kerugian karena
kelambatan karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.
Pemberian pembatasan ganti rugi ini dilakukan dengan melihat dari prinsip
tanggungjawab yang ada yaitu prinsip limitation of liability. Namun beberapa
tahun terakhir ini kompensasi yang diberikan oleh maskapai penerbangan
terhadap kecelakaan melebihi dari apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Seperti pada kasus Lion Air JT
610 yang hilang dan dinyatakan jatuh ke laut pada 29 Oktober 2018 lalu,
menetapkan jumlah ganti rugi atas tanggungjawab mereka berdasarkan ketentuan
yang ada pada Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011. Melihat dari perbedaan
atas besaran ganti kerugian yang ada dari kedua peraturan tersebut menandakan
bahwa perusahaan nasional di bidaang pengangkutan udara secara ekonomis
52
sudah lebih kuat daripada keadaan sebelumnya, dan sudah lebih menghargai
pentingnya hak asasi manusia. Mengenai perubahan besaran ganti rugi ini justru
sesuai dan memang sudah seharusnya dilakukan melihat dari ketentuan yang
disebutkan dalam Pasal 172 Undang-Undang Penerbangan yang menyebutkan
bahwa besaran ganti kerugian harus selalu dievaluasi sedikitnya satu kali dalam
satu tahun oleh Menteri, dengan didasarkana oleh tingkat hidup layak rakyat
Indonesia, kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga, tingkat inflasi
kumulatif, pendapatan per kapita, dan perkiraan usia harapan hidup.
Diperusahaan pengangkutan udara di Indonesia, jumlah ganti kerugian
diberikan dengan cara sebagai berikut:
a) Pembayaran ganti kerugian secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah
disepakati bersama;
b) Pembayaran ganti kerugian secara berkala dengan kesepakatan bersama,
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan;
c) Pembayaran ganti kerugian berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang
diperkukan dalam masa pengobatan (khusus bagi penumpang yang masih
hidup namun menderita luka-luka atau cacat tubuh dan sedang dalam
perwatan).
Berdasarkan bunyi dalam Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011
kembali lagi ditegaskan bahwa perusahaan pengangkutan udara wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pernumpang. Kewajiban ini
sangatlah sesuai jika dikaitkan dengan isi dan tujuan dari perjanjian
53
pengangkutan, karena pengangkut wajib menjaga keselamatan sejak penumpang
naik angkutan udara, selama penumpang berada didalam angkutan udara, hingga
angkutan udara sampai tujuan. Sehingga ketentuan dalam pasal-pasal yang telah
disebutkan diatas mempunyai tujuan agar pengangkut menyadari resiko tanggung
jawab atau kewajiban yang harus dilakukan olehnya.
Dalam upaya perlindungan hukum terhadap orang dan barang, bila mana
tuntutan ganti kerugian diluar pengadilan ditolak oleh pihak pengangkut, dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan mengenai bentuk
perlindungan hukum kosnumen dengan adanya pemberian sanski administratif
ataupun sanksi pidana, hal ini diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 62.
a) Terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi tanggung jawab
sebagaimana ditentukan dalam UUPK, yakni pelaku usaha yang
melanggar Pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26
akan dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa penetapan
ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b) Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 8, pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1
huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (e), ayat 2 dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
c) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16 dan
Pasal 17 ayat 1 huruf (d) dan huruf (f) dipidana dengan penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
hingga menyebabkan kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Selain itu, Pasal 45 ayat 1 juga menyatakan konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
54
melalui pengadilan (dengan menggunakan ketentuan Hukum Acara Perdata) atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Dalam pemenuhan perlindungan hukum terhadap orang dan barang selaku
konsumen dalam pengangkutan udara, pemerintah mempunyai peran yang penting
dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan mewajibkan seluruh pihak
pengangkutan udara untuk memberikan informasi yang benar kepada penumpang
selaku konsumen. Peran pemerintah dalam menyikapi perlindungan konsumen
dengan melakukan pembinaan sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 1
tahun 2009, pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud meliputi aspek
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, pengaturan sebagaimana dimaksud
meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma,
standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan. Sehingga untuk
menghindari terjadinya kerugian, tugas penting bagi pihak pengangkut udara ialah
menjamin mutu jasa yang diberikannya bagi konsumen sesuai dengan Pasal 7
huruf D Undang-Undang Pengangkutan Udara yang pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Penerapan dari pasal tersebut
adalah dengan melakukan perawatan pesawat secara berkala oleh maskapai
penerbangan. Dengan demikian hal ini otomatis berkesinambungan dengan
Undang-Undang Penerbangan Pasal 37 ayat (3) dimana setiap maskapai harus
memiliki sertifikat kelaiakudaraan dan cara memperolehnya dengan melakukan
perawatan sesuai dengan standar perawatan. Karena perawatan tersebut tidak
hanya melindungi konsumen semata, tetapi juga untuk menjaga nama baik pihak
pengangkut udara.