BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian …eprints.umm.ac.id/47741/2/BAB II.pdfBAB II...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian …eprints.umm.ac.id/47741/2/BAB II.pdfBAB II...
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu referensi bagi peneliti dalam
melakukan sebuah penelitian. Penelitian terdahulu mampu memperkuat teori
maupun permasalahan-permasalahan dalam mengkaji penelitian yang akan diteliti
oleh Peneliti. Peneliti mengangkat bebrapa penelitian terdahulu yang akan
dijadikan acuan penulis dalam melakukan penelitian, sebagai berikut:
1. Penelitian terdahulu dari jurnal karya Irwandi (2017) yang berjudul
“Analisis Konflik Antara Masyarakat, Pemerintah dan Swasta (Kabupaten
Belitung)”. Relevansi penelitian sebelumnya karya Irwandi dengan peneliti
yakni pengidentifikasian akar masalah dari konflik sehingga dapat
disimpulkan bagaimana dinamika konflik yang terjadi di Belitung yang
memiliki kesamaan para aktornya yakni masyarakat, pemerintah dan swasta
(perusahaan).
2. Penelitian terdahulu kedua yakni dari jurnal karya Munauwarah (2016) yang
berjudul “Konflik Kepentingan dalam Perebutan Lahan Pertambangan di
Kabupaten Luwu Timur antara Masyarakat Adat To Karunsi’e dengan PT
Vale Indonesia”. Relevansi dengan penelitian peneliti yakni adanya peran
masyarakat asli atau masyarakat adat yang menempati wilayah konflik,
dinamika konflik yang terjadi di Kabupaten Luwu yang awalnya lahan
29
masyarakat kemudian dialih fungsikan menjadi lapangan golf yang menjadi
tempat olahraga masyarakat elit. Sesuai dengan yang peneliti teliti karena
konflik di gunung Tumpang Pitu terjadi karena adanya pengalihfungsian
hutan lindung menjadi hutan produksi tetap yang membuat masyarakat Desa
Sumberagung melakukan perlawanan.
3. Penelitian terdahulu ketiga yakni dari jurnal karya Bahtiar (2012) yang
berjudul “Konflik Sosial pada Penambang Emas di Kabupaten Bombana”.
Relevansi dengan penelitian peneliti yakni adanya konflik sosial yang
diciptakan oleh adanya perbedaan kepentingan antara penambang emas dan
masyarakat serta adanya campur tangan dari pihak pemerintah. Konflik
sumber daya alam yang terjadi di Banyuwangi dikarenakan adanya
perbedaan kepentingan antara pihak perusahaan dan masyarakat.
4. Penelitian terdahulu keempat yakni dari jurnal karya Dian Taufik Ramadan
dkk (2012) dengan judul “Resolusi Konflik Antara Masyarakat dengan
Perusahaan Pertambangan Provinsi Sumatera Utara”. Relevansi penelitian
terdahulu ini dengan penelitian yang akan peneliti teliti yakni adanya
ketimpangan dan pendominasian kesejahteraan /nilai tambah ekonomi
masyarakat Kecamatan Naga Juang dengan adanya kedatangan PT SMM.
Sama halnya di Banyuwangi masyarakat Desa Sumberagung berharap
adanya peningkatan perekonomian dengan masuknya perusahaan tambang
di Gunung Tumpang Pitu namun hal tersebut tidak sesuai pemikiran
masyarakat, dan masyarakat hanya menerima dampak negatif baik dari segi
30
lingkungan maupun sosial dengan adanya pertambangan di lingkungan
permukiman masyarakat Dusun Pancer ini.
5. Penelitian terdahulu dalam bentu buku karya Mansur Hidayat (2018) dengan
judul “Emas Hitam Mahameru: Riwayat Pertambangan Pasir dan
Pelestarian Lereng Mahameru”. Relevansi dengan penelitian yang akan
peneliti teliti yakni perjalanan konflik antara masyarakat dengan penguasa
yang berlangsung dalam jangka waktu lama yang menciptakan perubahan
tatanan sosial dan adanya kerenggangan hubungan sosial antara masyarakat
dengan pemerintahan desa dan pihak PT yang menduduki kekuasaan
sebagai penguasa tambang pasir. Masyarakat tidak diberi kebebasan dan
harus tunduk dengan penguasa.
6. Penelitian terdahulu dalam jurnal karya Novri Susan dosen Sosiologi Unair
(2015) dengan judul “Democracy, Land Conflict and Governance In
Indonesia: A Case Study of Land Conflict in Lampung Province”. Relevansi
dengan penelitian yang akan peneliti teliti yakni dalam hasil penelitian
Novri memaparkan adanya hubungan antara konflik dengan kebudayaan
masyarakat adat. Konflik di Banyuwangi tetap berlangsung karena adanya
kekuatan masyarakat untuk melindungi tanah nenek moyang yang sudah
ditinggali jauh sebelum perusahaan dating untuk melirik kandungan emas di
Gunung Tumpang Pitu Desa Sumberagung Banyuwangi.
7. Penelitian terdahulu dalam jurnal karya Jason Gehrig with Mark M. Rogers
(2009) dengan judul “Water And Conflict Incorporating Peacebuilding Into
31
Water Development”. Relevansi dengan kajian yang akan diteliti oleh
peneliti yakni mengenai inisiatif penyelesaian sengketa menurut Jason dkk,
secara umum ada tiga fase meskipun tidak berurutan dalam perencanaan
multi-stakeholder diantaranya sebagai berikut yang pertama persiapan dan
dasar kedua perencanaan dan negosiasi ketiga adanya implementasi dan
pemantauan.
8. Penelitian terdahulu dalam buku karya Ika Ningtyas (2019) dengan judul
“Menambang Emas Di Tanah Bencana”. Yang dijadikan sebagai acuan dan
dasar dari peneleliti karena di dalam buku ini menjelaskan mengenai
bagaimana konflik di Gunung Tumpang Pitu bisa terjadi hingga saat ini
konflik belum mereda.
Tabel 2. Penelitian Terdahulu
No Penulis,
Judul Jurnal
Hasil Penelitian Relevansi Penelitian
1. Irwandi, 2017.
Analisis Konflik
Antara Masyarakat,
Pemerintah Dan
Swasta (Kabupaten
Belitung)
Dinamika Konflik terjadi
karena kurangnya sosialisasi,
kurang terbukanya pemerintah
desa kepada masyarakat, yang
akhirnya menciptakan
perbedaan kepentingan dampak
yang ditimbulkan dari aktivitas
penambangan. Konflik yang
terjadi di Kabupaten Belitung
yakni konflik horizontal (konflk
masyarakat yang Pro dan
Kontra) sedangkan konflik
vertikal terjadi antara
masyarakat, pemerintah Desa
dan perusahaan tambang.
Resolusi yang dilakukan adalah
Dalam bahasan Irwandi Konflik
dapat diselesaikan dengan arbitrasi
namun dampaknya tidak adanya
keharmonisan antara subjek yang
terlibat konflik, penelitian tersebut
memiliki kesamaan dengan fokus
penelitian yang akan peneliti teliti.
Konflik yang terjadi di Gunung
Tumpang Pitu Banyuwangi juga
melibatkan antara masyarakat,
Pemerintah dengan Perusahaan
Tambang emas. Konflik yang terjadi
karena adanya penolakan dari
masyarakat terhadap aktivitas
penambangan yang dilakukan di
Gunung Tumpang Pitu, masyarakat
32
melakukan negosiasi, mediasi
dan terakhir arbitrasi. Setelah
hasil banding keluar perusahaan
menghentikan aktivitas
tambang. Namun setelah hasil
putusan banding keluar
hubungan anatara masyarakat
dan Pemerintah Desa dan
perusahaan tambang masih
belum membaik bahkan sampai
saat ini.
menolak karena jika perusahaan
terus malakukan aktivitas
penambangan maka Gunung
Tumpang Pitu sebagai pelindung
bencana masyarakat akan hilang,
masyarakat terlibat konflik
horizontal (sesama masyarakat Pro
dan Kontra) maupun vertikal
(masyarakat, pemerintah dengan
perusahaan tambang emas, sudah
ada resolusi yakni Goldenshare
pembagian saham dari perusahaan
penambang ke pemerintahan
Kabupaten Banyuwangi. Namun
resolusi ini masih belum meredakan
konflik disana, Karena masyarakat
hanya meminta tambang untuk
ditutup. Hingga saat ini masih terjadi
konflik antara masyarakat,
pemerintah dengan perusahaan.
2. Munauwarah, 2016.
Konflik
Kepentingan Dalam
Perebutan Lahan
Pertambangan di
Kabupaten Luwu
Timur Antara
Masyarakat Adat
To Karunsi’e
Dengan PT. Vale
Indonesia
Dinamika Konflik antara
masyarakat adat dengan PT.
Vale Indonesia terjadi karena
PT. Vale telah menempati lahan
masyarakat adat To Karunsi’e
yang mengubah lahan
pemukiman masyarakat adat
menjadi lapangan golf.
Pemerintah sudah melakukan
mediasi namun tidak pernah
membuahkan kepuutusan yang
adil. Pemerintah bersama PT.
Vale menginginkan masyarakat
adat To Karunsi’e untuk
meninggalkan lokasi adat.
Dalam penelitian ini masih
belum ada resolusi yang
mampu menyelesaikan
permasalahan di Kabupaten
Luwu Timur.
Penelitian yang dilakukan
Munauwarah memiliki kesamaan
dengan fokus penelitian yang akan
peneliti dalami di Desa
Sumberagung mengenai konflik
antara masyarakat lokal, Pemerintah
dengan Perusahaan. Resolusi juga
sudah diciptakan untuk
menyelesaikan konflik ini yakni
dengan Golden Share Pembagian
saham dari Perusahaan ke
Pemerintah Banyuwangi, namun
solusi ini masih belum cukup untuk
meredakan konflik masyarakat
penambang emas Desa
Sumberagung Kabupaten
Banyuwangi ini.
3. Bahtiar, 2012.
Konflik Sosial Pada
Penambangan Emas
Dinamika Konflik yang terjadi
di Kabupaten Bombana adalah
jenis konflik vertikal yakni
Kasus konflik sumber daya alam di
Kabupaten Banyuwangi ini juga
terjadi 2 jenis konflik yakni konflik
33
Di Kabupaten
Bombana.
konflik antara perusahaan
dengan pemilik lahan dengan
penambang rakyat. Sementara
konflik horizontal terjadi antara
perusahaan dengan perusahaan,
pemilik lahan dengan pemilik
lahan, dan konflik antar
penambang itu sendiri.
vertikal dan konflik horizontal.
Konflik vertikal terjadi antara
masyarakat, perusahaan dan
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Sedangkan konflik horizontal terjadi
antara masyarakat yang pro dan
kontra terhadap aktivitas
penambangan di Gunung Tumpang
Pitu Banyuwangi.
4. Taufik, Dian
Ramadhan Dkk.
2014. Resolusi
Konflik Antara
Masyarakat Lokal
Dengan Perusahaan
Pertambangan
Provinsi Sumatera
Utara.
Menurut Taufik, Hal-hal yang
menjadi pemicu dinamika
konflik adalah karena adanya
ketimpangan dan
pendominasian. Ketimpangan
yang disebabkan oleh harapan
naiknya kesejahteraan/nilai
tambah ekonomi masyarakat
Kec. Naga Juang dari
kedatangan PT. Naga Juang
dari kedatangan PT. SMM.
Harapan yang terlalu tinggi
yang menimbulkan masalah dan
konflik. Dinamika dan struktur
konflik yang ada merupakan
akumulasi dari kepentingan dan
ekspektasi para aktor yang
dipengaruhi ataupun terkena
pengaruh dari hasil konflik.
Relevansi dengan penelitian yang
akan peneliti yakni adanya
pendominasian antara PT BSI yang
menguasai seluruh hasil bumi di
Gunung Tumpang Pitu. Sehingga
masyarakat melakukan penolakan
hal ini terjadi karena adanya
ketimpangan dan pendominasian
pihak PT BSI. Masyarakat
beranggapan jika masyarakat akan
sejahtera dengan adanya sumber
daya alam emas di Desa
Sumberagung Kecamatan
Pesanggaran ini, namun itu semua
tidak sesuai kenyataan, keberadaan
tambang malah menimbulkan
konflik yang berkelanjutan hingga
saat ini.
5. Mansur Hidayat,
Emas Hitam
Mahameru: riwayat
pertambangan pasir
dan pelestarian
lereng mahameru
(2018)
Dinamika Konflik sumber daya
alam galian pasir di Lumajang
yang melibatkan Pemerintah,
PT/Perusahaan dan juga
masyarakat sekitar sumber
daya. Penolakan dari
masyarakat yang menghasilkan
putusan penghentian aktifitas
tambang pasir.
Korelasi dengan kajian yang akan
peneliti yakni mengenai dinamika
konflik sumber daya alam yang bisa
dijadikan acuan memetakan
dinamika konflik sumber daya alam
di Desa Sumberagung Kabupaten
Banyuwangi.
6. Novri Susan.
Democracy, Land
Conflict and
Governance in
Indonesia: A Case
Study of Land
Dinamika konflik sumber daya
alam di Indonesia dipengaruhi
oleh protes atau perlawanan
masyarakat adat yang
memegang nilai-nilai sosial
masyarakat dengan kuat
Korelasi antara penelitian Novri
yakni Masyarakat di Desa
Sumberagung masih dipengaruhi
nilai-nilai sosial atau adat istiadat
dan kebudayaan masyarakat
Banyuwangi yang tinggal disekitar
34
Conflict in
Lampung Province.
(2015)
melakukan perlawanan. gunung Tumpang Pitu.
7. Jason Gehrig With
Mark M. Rogers.
Water And Conflict
Incorporating
Peacebuilding Into
Water Development
(2009)
Dalam bahasan Jason secara
umum ada tiga fase, meskipun
jarang terpisah, dalam
perencanaan multi-stakeholder
tertentu, inisiatif penyelesaian
sengketa:
1. Persiapan dan dasar
2. Perencanaan dan negosiasi
3. Implementasi dan
pemantauan.
Relevansi dengan kajian peneliti
yakni fokus masalah mengenai
konflik di Bolivia yang akan
dijadikan reverensi dalam penelitian
peneliti tentang konflik sumber daya
alam di Desa Sumberagung
Kabupaten Banyuwangi
8. Ika Ningtyas.
Menambang Emas
di Tanah Bencana
(2019)
Dalam bahasan Ningtyas lebih
ditekankan pada dinamika,
pemicu, kronologi dan
perjalanan korporasi yang
menduduki gunung tumpeng
pitu sejak tahun 90 an sampai
sekarang
Karena relevansi dengan penelitian
dengan peneliti sangat tinggi akan
digunakan sebagai bahan referensi
dalam penulisan karya skripsi
peneliti
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Dinamika Konflik
Secara harfiah dinamika merupakan bagian dari ilmu fisika tentang benda-
benda yang bergerak dan tenaga yang menggerakkannya, dinamika berasal dari
istilah dinamis yang berarti sifat atau tabiat yang bertenaga atau berkemampuan,
serta selalu bergerak dan berubah-ubah (Idrus 1996:144). Sedangkan Menurut
Slamet Santoso (2009:5), dinamika berarti tingkah laku warga yang satu secara
langsung memengaruhi warga yang lain secara timbal balik, jadi dinamika
berarti adanya interaksi dan interdepedensi antara anggota kelompok yang satu
35
dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota
dengan kelompok secara keseluruhan.
Menurut Munir (2001:16), Munir mengatakan bahwa dinamika adalah
suatu sistem ikatan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara
unsur-unsur tersebut. Jika salah satu unsur sistem mengalami perubahan, maka
akan membawa perubahan pula pada unsur-unsur lainnya. Johnson mendefinikan
dinamika sebagai suatu lingkup pengetahuan sosial yang berkonsentrasi pada
pengetahuan tentang hakikat kehidupan kelompok (Johnson, 2012:20).
Dinamika adalah studi ilmu tentang perilaku dalam kelompok untuk
mengembangkan pengetahuan tentang hakikat kelompok, pengembangan
kelompok, hubungan kelompok dengan anggotanya, dan hubungan dengan
kelompok lain atau kelompok yang lebih besar.
Dinamika adalah suatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu
bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap
keadaan. Dinamika juga berarti adanya adanya interaksi dan interdependensi
antara kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini terjadi
karena selama ada kelompok, maka semangat kelompok (Group Spirit) akan
terus ada dalam kelompok itu. Oleh karena itu kelompok tersebut bersifat
dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah.
Sedangkan pengertian kelompok tidak lepas dari elemen keberadaaan dua orang
atau lebih yang melakukan interaksi untuk mencapai tujuan bersama (Wildan
Zulkarnain, 2013:25).
36
Kesimpulan dari pengertian dinamika bisa dikatakan sebagai gerak atau
kekuatan yang dimiliki sekumpulan orang di dalam masyarakat yang bisa
menimbulkan perubahan di kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Dengan
adanya konflik, masyarakat mencoba melakukan pola perubahan-perubahan
dalam mempertahankan hidupnya menghindari adanya kepunahan berupa materi
dan nonmateri.
Dinamika konflik dibagi dalam beberapa tahapan yakni tahapan prakonflik,
konfortasi, krisis dan pasca konflik (Fisher, 2001:19). Pra konflik yakni masa
dimana ada suatu ketidaksesuaian antara dua pihak atau lebih yang menyebabkan
konflik. Konflik masih tersembunyi dari umum meskipun sudah ada beberapa
pihak yang mengetahui potensi konfrotasi sudah ada ketegangan hubungan
beberapa pihak atau keinginan untuk menghindar satu sama lain dalam tahap ini.
Tahap Konfrontasi dimana konflik sudah mulai terlihat terbuka, keterlibatan
pendukung atau pihak pro salah satu pihak yang mampu menyebabkan
perpecahan seperti demostrasi apabila pemimpin salah satu merasa ada yang
salah. Pertikaian dan kekerasan tingkat rendah biasanya terjadi pada tahap ini.
Tahap krisis atau puncak konflik saat memasuki tahap ini konflik pecah
menjadi aksi kekerasan yang dilakukan secara masal dan intens, komunikasi
terputus dan muncul pernyataan yang cenderung menuduh. Dalam konflik skala
besar dimana sudah terjadi aksi pembunuhan oleh kedua belah pihak, bisa jadi
salah satu pihak yang menang atau keduanya mengalami kekalahan. Tahap
terakhir yakni Tahap pasca konflik situasi dimana sudah ada cara untuk
37
menyelesaikan berbagai konfortasi kekerasan, ketegangan berkurang dan
hubungan kedua belah pihak mengarah ke lebih baik dan normal. Pada tahap ini
ketegangan sudah mulai berkurang namun masalah belum bisa teratasi
sepenuhnya.
2.2.2 Masyarakat Penambang
Masyarakat penambang bisa diartikan sebagai orang atau sekumpulan
orang yang melakukan aktivitas penambangan di lokasi tambang baik itu yang
sudah sesuai prosedur UU No 4 Tahun 2009 maupun sekumpulan orang yang
melakukan aktifitas tambang tanpa izin (eprints.umm.ac.id).
Kewenangan Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Walaupun pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk pengelolaan pertambangan, namun semua kebijakan yang
berkaitan dengan pertambangan masih didominasi oleh pemerintah pusat. Seperti
yang menandatangani kontrak karya pada wilayah kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota dengan perusahaan pertambangan.
Tetapi segala hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya telah ditentukan
oleh pemerintahan pusat. Ini berarti pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat
mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan daerah (Ibid:
32).
Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak menjelaskan
kewenangan dari pemerintah daerah didalam pengelolaan pertambangan, namun
38
di pasal 6, 7, dan 8. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang pertambangan Mineral dan batubara diatur secara rinci kewenangan
pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam
pengelolaan pertambangan.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota diatur dalam pasal 8
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang mineral dan batubara meliputi:
1. Pembuatan peraturan perundangan daerah tentang pertambangan
2. Pemberian IUP (izin Usaha Produksi) dan IPR (Izin Pertambangan
Rakyat), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan
pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut sampai dengan 4 mil
3. Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat
dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang
kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut
sampai dengan 4 mil
4. Penyelidikan dan penelitan, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh
data dan informasi mineral dan batubara
5. Pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota
6. Penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah
kabupaten/kota
39
7. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha
pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan
8. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan
usaha pertambangan secara optimal
9. Penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan
penelitian serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Mentri dan Gubernur
10. Penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negri, serta
ekspor kepada Mentri dan Gubernur
11. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang
12. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin adalah usaha
pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau
perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin
dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dengan demikian, izin, rekomendasi, atau bentuk apapun yang diberikan kepada
perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan oleh instansi
pemerintah di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat
dikategorikan sebagai pertambangan tanpa izin atau pertambangan ilegal.
40
2.2.3 Konflik Sosial
2.2.3.1 Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja yaitu configure yang dapat diartikan
sebagai saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya (Irwandi, 2017:26).
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan
pihak lawan, tanpa mematuhi norma dan nilai yang berlaku (Soekanto,
1993: 99). Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana
pencapaian tujuan dengan melibatkan individu-individu atau kelompok-
kelompok yang akan saling menantang dengan kekerasan (Narwoko,
2005: 68).
Menurut Soerjono Soekanto (2006), Konflik sosial adalah suatu
proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman atau kekerasan. Sedangkan menurut Richard E. Crable (1981:53)
pengertian konflik merupakan “conflict is a disagreement or a lack of
harmony”. Kalimat tersebut dapat diartikan dengan konflik merupakan
Ketidaksepahaman atau ketidakcocokan.
41
Setiap individu pada umumnya memiliki pikiran, perasaan, dan
kepentingan yang berbeda. Menurut pemikiran Karl Marx”Karl Marx
dalam Darsono (2009:168)”, didalam kehidupan manusia sejak dalam
pemilikan budak, feodalisme, dan zaman kapitalisme, manusia terbagi
dalam dua kelompok yang saling betentangan kepentingannya, yaitu
kelompok buruh atau pekerja dan kelompok pekerja dan kelompok
pengusaha atau majikan.
Penguasa berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
melalui kerja upahan kaum buruh, sedangkan buruh ingin memperoleh
upah yang relatif bisa memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan
primer maupun kebutuhan sekunder. Max Weber dalam Johnson (1988:
223-226), sependapat dengan Karl Marx bahwa stratifikasi sosial
mendorong konflik sosial, namun Weber melihat konflik sosial sebagai
konflik yang sangat beragam yaitu seperti, ketidaksamaan ekonomi, status
yang mengukur prestise dan kekuasaan, sedangkan Marx melihat konflik
sosial hanya antara dua kelas. Sedangkan Georg Simmel menyatakan
bahwa konflik tidak akan pernah lenyap dari panggung kehidupan
masyarakat, kecuali lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat itu
juga.
42
2.2.3.2 Jenis-Jenis Konflik
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,
bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan beberapa
jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
a. Konflik tujuan yaitu dimana konflik terjadi jika ada dua tujuan atau
yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.
b. Konflik peranan yaitu konflik yang timbul karena manusia memiliki
lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama.
c. Konflik nilai yaitu konflik yang muncul karena pada dasarnya nilai
yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga
konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok,
kelompok dengan organisasi.
d. Konflik kebijakan yaitu suatu konflik dapat terjadi karena ada
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan
yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.
2.2.3.3 Faktor Penyebab Konfik
Sosiologi memandang bahwa masyarakat itu selalu dalam
perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan
sumbangan bagi terjadinya konflik. Salah satu penyebab terjadinya
konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan
43
manusia seperti aspek sosial, ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang
meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber
daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam
masyarakat (Fisher, Simon, dkk. 2001).
Faktor-faktor penyebab konflik menurut Soejono Soekanto (2006),
antara lain yaitu:
a. Adanya perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan
pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini
akan menjadi satu faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau
kelompoknya.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbedabeda, individu sedikit banyak akan
terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan
menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu
memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang
berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu
atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat
melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Konflik akibat
44
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
d. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena
perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak di kehidupan
masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi
jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada
masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial, sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah.
2.2.4 Tipologi Konflik Sumber Daya Alam Di Indonesia
Pemetaan tipologi konflik menurut Fuad dan Maskanah (dalam Safa’at,
2017: 156), dibagi dalam lima ruang konflik, yaitu: Pertama, konflik data.
Dimana adanya kekurangan informasi dalam pengambilan kebijakan, mendapat
informasi yang salah dan penafsiran yang berbeda berakibat kepada
kesalahpahaman. Kedua, konflik kepentingan terjadi karena masalah yang
subtantif (uang dan sumberdaya), masalah tata cara (sikap dalam menangani
permasalahan), atau masalah psikologis. Tipologi konflik kepentingan adalah
yang paling dominan karena pemilik modal, pemerintah, penambang tradisional
dan masyarakat memiliki kepentingan yang sangat besar dalam aktivitas
pertambangan.
45
Ketiga tipologi konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanyanya
emosi atau sifat egois yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah
laku negatif yang berulang (repetitif) biasanya menimbulkan konflik non
realistis. Keempat konflik nilai, disebabkan oleh system kepercayaan yang tidak
sesuai baik yang dirasakan atau memang nyata. Konflik ini terjadi ketika adanya
pemaksaan nilai ke pihak lain, penegakan regulasi merupakan sumber konflik
yang paling dominan. Kelima konflik struktural terjadi karena adanya
ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya pihak
yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan
umum biasanya memiliki peluang untuk melakukan kontrol sepihak terhadap
pihak yang lain. Berdasarkan pemaparan tipologi konflik menurut Safa'at dapat
ditentukan tipologi konflik sumber daya alam di Indonesia sebagai berikut:
1. Tipologi konflik data, contoh kasus PT Semen Indonesia di Pegunungan
Kendeng. Konflik ini disebabkan karena adanya data yang dimaksud disini
adalah adanya kekurangan informasi dalam pengambilan kebijakan dimana
kebijakan ini diambil secara sepihak oleh perusahaan tanpa adanya interaksi
dengan masyarakat.
2. Tipologi konflik kepentingan, contoh kasus kasus PT Lapindo Brantas Inc
dan konflik tanah di Manggarai Flores Barat. Konflik sosial disini
disebabkan kepentingan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
3. Tipologi konflik hubungan antar manusia, contoh kasus PT Toba Pulp
Lestari Tbk a.k.a Indorayon, konflik sosial disini disebabkan adanya
46
hubungan antar manusia maksudnya adanya egois yang kuat dari perusahaan
tanpa menghiraukan limbah yang mencemari sungai dan lingkungan alam
disekitar perusahaan.
4. Tipologi konflik nilai, contoh kasus konflik tanah di Manggarai Flores
Barat dan PT Toba Pulp Lestari Tbk a.k.a Indorayon, konflik sosial disini
disebabkan adanya pelanggaran atau penyelewengan dalam nilai adat
masyarakat di Manggarai dan juga di Sumatera Barat.
5. Tipologi konflik struktural, contoh kasus konflik tambang pasir di
Lumajang. Konflik sosial ketimpangan pihak yang berkuasa dalam
mengelola sumber daya alam.
2.2.5 Teori Dinamika Konflik Shimon Fisher
Dinamika konflik dibagi dalam beberapa tahapan yakni tahapan
prakonflik, konfrontasi, krisis dan pasca konflik (Fisher, 2001:19). Pra konflik
yakni masa dimana ada suatu ketidaksesuaian antara dua pihak atau lebih yang
menyebabkan konflik. Konflik masih tersembunyi dari umum meskipun sudah
ada beberapa pihak yang mengetahui potensi konfrotasi sudah ada ketegangan
hubungan beberapa pihak atau keinginan untuk menghindar satu sama lain
dalam tahap ini. Tahap Konfrontasi dimana konflik sudah mulai terlihat
terbuka, keterlibatan pendukung atau pihak pro salah satu pihak yang mampu
menyebabkan perpecahan seperti demostrasi apabila pemimpin salah satu
47
merasa ada yang salah. Pertikaian dan kekerasan tingkat rendah biasanya terjadi
pada tahap ini.
Tahap krisis atau puncak konflik saat memasuki tahap ini konflik pecah
menjadi aksi kekerasan yang dilakukan secara masal dan intens, komunikasi
terputus dan muncul pernyataan yang cenderung menuduh. Dalam konflik skala
besar dimana sudah terjadi aksi pembunuhan oleh kedua belah pihak, bisa jadi
salah satu pihak yang menang atau keduanya mengalami kekalahan. Tahap
terakhir yakni Tahap pasca konflik situasi dimana sudah ada cara untuk
menyelesaikan berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan
hubungan kedua belah pihak mengarah ke lebih baik dan normal. Pada tahap ini
ketegangan sudah mulai berkurang namun masalah belum bisa teratasi dengan
sepenuhnya.
Tabel 3. Dinamika Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia
Konflik PT Toba Pulp
Lestari Tbk
a.k.a Indorayon
PT Lapindo
Brantas Inc
(Porong)
PT Semen
Indonesia
(Pegunungan
Kendeng)
Konflik tanah
di Manggarai
Flores Barat
Konflik
tambang pasir
di Lumajang
Tahapan
Konflik
4 Tahapan,
tahap
prakonflik 26
April 1983
(Masalah
pencemaran)
kemudian
tahap
konfrontasi
pada Februari
1990
(Masyarakat
4 Tahap awal
tahap
Prakonflik
yang menjadi
pemicu
konflik 29
Mei 2006
semburan
lumpur
pertama.
Tahap kedua
tahap
4 Tahap, Tahap
pertama tahap
Prakonflik
secara tiba-tiba
PT Semen
Indonesia
melakukan
peresmian
tahun 2014.
Tahap
Konfrontasi
pada tahun
4 Tahap,
dimana tahap
Prakonflik
dilatar
belakangi oleh
hukum adat
yang kuat.
Tahap
konfrontasi
dimulai pada
tahun 1935
perseteruan
4 Tahap.
Tahap
pertama tahun
2000 an
dimana tahap
awal konflik,
tahap kedua
yakni
konfrontasi
pada tahun
2010 oleh PT
48
menggugat
PT). Tahap
ketiga krisis
pada 22
November
1998
masyarakat
konflik
Destruktif
dengan PT.
DPRD
mengehentikan
aktivitas
perusahaan 1
Maret 2000.
Pada 31 Maret
2001 terjadi
Demo warga
karena akan
adanya
reoperasi
perusahaan.
Kemudian
tahap ke empat
pasca konflik 3
Mei 2018
dimana adanya
resolusi konflik
antara
masyarakat
Sosorladang
dengan
Indorayon
konfrontasi
dimana
setelah
prakonflik
mulai terasa
ketegangan
antara PT
Lapindo
dengan
masyarakat
terdampak.
Tahap krisis
dimana sudah
ada
perlawanan
atau
demonstrasi
dari
masyarakat
pada
pertengahan
Agustus
2006.
Kemudian
memasuki
tahap pasca
konflik
dimana
Perusahaan
sudah mulai
mengganti
rugi kerugian
finansial
masyarakat
terdampak.
2016
masyarakat
melakukan
banding ke
pengadilan PT
TUN. Tahap
krisis
masyarakat
melakukan
demonstrasi ke
istana negara.
Tahap ketiga
pasca konflik.
mengenai
lingko Langkas.
Tahap Krisis
1989 sudah
melibatkan
pemerintah
yakni kasus
penyerobotan
tanahdi Iteng.
Kemudian
tahap pasca
konflik dimana
sudah
berkurangnya
ketegangan
diantara
pemerintah dan
masyarakat
adat pada tahun
1979 namun
potensi konflik
masih tinggi.
IMMS
Tahun 2015
konflik mulai
memuncak
atau tahap
ketiga krisis
sampai ada
pembunuhan
aktivis
lingkungan,
tahap
keempat
tahap Pasca
konflik
adanya peran
pihak lain
seperti tokoh
publik
pemerintah
kabupaten
dan
masyarakat
luar lumajang
yang
mendukung
penolakan
tambang.
Persamaan Konflik yang terjadi pada PT Toba Pulp Lestari Tbk a.k.a Indorayon juga melibatkan
masyarakat dan pemerintahan. Perizinan yang menjadi permasalahan utama dan juga
dampak yang dirasakan masyarakat lebih banyak negatif nya sehingga masyarakat
tetap melakukan perlawanan terutama ninik-ninik (ibu) sekitar PT Toba Pulp Lestari.
Sebenarnya dalam penelitian yang peneliti teliti melalui studi kasus kelima konflik
sumber daya alam di Indonesia ini memiliki kesamaan yakni masyarakat harus
mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan dalam keteraturan masyarakat. Menurut
Ralf Dahrendorf masyarakat akan tunduk dengan keputusan penguasa. Sama halnya
dengan konflik di daerah lainnya kekuasaan pemerintah dan korporasi sangat kuat
49
yang bertindak sesuai keinginan mereka tanpa melihat aspek sosial maupun
lingkungannya. Pihak penguasa hanya berorientasi pada aspek ekonomi saja.
Lingkungan yang seharusnya menjadi aspek terpenting malah dikesampingkan
akibatnya konflik sumber daya ala mini terus berlanjut khususnya di wilayah negara
berkembang karena kurangnya kestabilan politik juga menyebabkan para elit politik
mendukung para penguasa (perusahaan). Dalam konflik sumber daya alam di
Indonesia peran masyarakat adat maupun masyarakat lokal sangat kuat namun
kekuatan masyarakat mampu diredam oleh penguasa salah satunya dengan usaha
pengalihan isu. Konflik sumber daya alam yang terjadi di Gunung Tumpang Pitu
Banyuwangi juga tidak terlepas dari peran masyarakat lokal yang meminta
pertanggungjawaban atas kerusakan alam yang diakibatkan aktivitas perusahaan
tambang. Pengalihan isu juga terjadi kepada salah satu aktivis lingkungan lokal yang
dikenai tuduhan pasal 107a UU 27tahun 1999 tentang komunisme. Akibatnya petani
yakni Budi Pego harus melawan hukun sebelum melawan perusahaan PT BSI yang
saat ini mengeksploitasi Gunung Tumpang pitu Di Desa Sumberagung Kecamatan
Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Sebenarnya dampak lingkunganlah yang
menguatkan masyarakat Desa Sumberagung melakukan perlawanan limbah merkuri
yang dibuang ke laut menjadi permasalahan sosial di masyarakat, dengan pihak
perusahaan membuang limbah ke laut maupun sungaimembuat ikan dan hewan laut
lainnya mati, mayoritas masyarakat sekitar Gunung Tumpang Pitu merupakan
nelayan, limbah PT BSI tidak hanya dibuang ke laut namun juga ada istilah lain
yakni under ground sistem pembuangan limbah di bawah tanah, dimana limbah ini
akan meresap ke lapisan tanah dan mengalir ke permukiman masyarakat. Jarak
pabrik dengan permukiman kurang lebih 200 m hal ini akan memperbesar potensi
tercemarnya kandungan merkuri dan sianida ke air masyarakat yang kebanyakan
masih menggunakan sumur tradisional maupun sumur bor. Masyarakat Desa
Sumberagung meminta penghentian aktivitas penambangan karena memperjuangkan
lingkungan yang bersih bagi kehidupan generasi mendatang.
Perbedaan Perbedaan yang terlihat dari berbagai konflik sumber daya alam di Indonesia ini
yakni para aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Beberapa perbedaan yang penulis
temukan yakni penyebab konflik sumber daya alam di Indonesia. Pada konflik PT
Toba Pulp Lestari penyebabnya adalah pengaruh limbah pabrik kertas yang
beroperasi yang menyebabkan anak dan perempuan rentan terkena paparan limbah
seperti gangguan pernapasan bahkan gangguan reproduksi perempuan oleh karena
itu konflik di PT Toba Pulp Lestari yang paling aktif menolak adalah ninik-ninik
atau para ibu-ibu. Kemudian kasus kedua pada PT Lapindo penyebabnya adalah
permasalahan ganti rugi yang tak kunjung diselesaikan dan kerusakan alam yang
mengubah kehidupan sosial masyarakatnya. Dan untuk kasus di PT Semen Indonesia
masyarakat menolak karena PT Semen Indonesia akan melakukan pembangunan
pabrik semen di tanah karts yang digunakan masyarakat untuk bercocok tanam.
Untuk kasus konflik tanah di Manggarai melibatkan pemerintah dan masyarakat adat
dalam mempertahankan tanah adat nenek moyang adat To karonsie. Konflik
tambang emas di Lumajang melibatkan pemerintah dan masyarakat lokal yang
bertahan melindungi tanah mereka yang mulai dikuasai pemerintah yang
50
mengakibatkan pembunuhan kejam yang dialami Salim Kancil yang bertahan
melindungi pasir di Lumajang dari kerakusan penambang yang berkuasa. Sedangkan
di Gunung Tumpang Pitu masyarakat melakukan penolakan karena adanya
kandungan limbah merkuri di lingkungan masyarakat karena hasil pembuangan PT
BSI. Dalam kasus di Gunung Tumpang Pitu juga terjadi SLAPP yang ditujukan ke
petani lokal yang melakukan penolakan tambang emas yakni Budi Pego yang
dipidanakan dengan pasal 107a tahun 1999 tentang komunis yang dilaporkan oleh
PT BSI.
Menurut Fisher dinamika konflik dibagi dalam beberapa empat tahapan yakni
prakonflik, konfrontasi, krisis dan pasca konflik. Berdasarkan pemaparan dan analisis
diatas maka dapat disimpulkan dinamika konflik sumber daya alam di Indonesia.
1. Dinamika konflik sumber daya alam PT Toba lestari Pulp a.k.a Indorayon,
tahap prakonflik 26 April 1983 terjadinya pencemaran karena limbah PT
Indorayon, tahap konfrontasi pada Februari 1990 dimana masyarakat sudah
memberanikan diri untuk mulai melawan yakni dengan melakukan gugatan
atas pencemaran yang dilakukan PT Indorayon, 1 Maret pengehentian
operasi Pabrik oleh DPRD. Tahap krisis masyarakat konflik dengan PT
yakni demonstrasi karena adanya reoperasi perusahaan pada 31 Maret 2000.
Tahap ketiga pasca konflik 3 Mei 2018 dimana sudah adanya resolusi
konflik antara masyarakat Sosorladang dengan PT Indorayon yakni mediasi
kedua belah pihak yang berkonflik di Jakarta.
Tahap Prakonflik 26 April 19983 masalah pencemaran
Tahap konfrontasi Februari 1990 masyarakat mulai
menentang
Tahap krisis 31 Maret 2001 demostrasi masyarakat
Tahap pasca konflik 3 Mei 2018 perundingan
51
2. Kasus di PT Lapindo terdapat empat tahap dinamika, tahap prakonflik pada
tanggal 29 Mei 2006 pertama kali semburan lumpur dari pengeboran
minyak di Porong Sidoarjo. Tahap Konfrontasi dimana sudah ada
ketegangan diantara pihak perusahaan dengan masyarakat yang terkena
semburan lumpur. Tahap krisis adanya perlawanan dalam bentuk
demonstrasi dari masyarakat di pertengahan Agustus 2006. Tahap pasca
konflik pada tahun 22 Maret 2007 sudah ada usaha ganti rugi kerugian
finansial bagi korban namun belum sepenuhnya dibayarkan oleh pihak
Lapindo.
Tahap Prakonflik 29 Mei 20016 semburan lumpur
Tahap konfrontasi Ketegangan setelah semburan pertama
Tahap krisis Demonstrasi Agustus 2006
Tahap pasca konflik 22 Maret 2007 ganti rugi yang
meredakan amarah masyarakat
3. Kasus PT Semen Indonesia 4 tahap dinamika konflik yakni prakonflik
adanya peresmian secara tiba-tiba di pegunungan kendeng pada tahun 2014.
Tahap konfrontasi pada tahun 2016 masyarakat mengajukan banding ke PT
TUN. Tahap krisis dimana masyarakat sudah mulai bertindak dan melawan
dengan cara berdemonstrasi ke istana negara Jakarta penolakan pendirian
pabrik Semen Indonesia di pegunungan Kendeng. Tahap keempat pasca
konflik adanya resolusi atau titik terang antara keduanya yakni dengan
52
sosialisasi dampak negatif dan dampak postitif adanya pembangunan pabrik
Semen Indonesia di pegunungan Kendeng.
Tahap Prakonflik Peresmian pabrik semen 2014
Tahap konfrontasi 2016 penggugatan masyarakat
Tahap krisis 4 September 2017 Berdemonstrasi di
istana negara
Tahap pasca konflik Sosialisasi dampak pabrik
4. Kasus konflik tanah di Manggarai Flores Barat, tahap prakonflik
dilatarbelakangi oleh hukum adat yang kuat. Tahap knfrontasi pada tahun
1935 perseteruan mulai dirasakan diantara kedua belah pihak yang
berkonflik mengenai Lingko Langkas (tanah adat). Tahap krisis tahun 1989
melibatkan pemerintah yakni adanya kasus penyerobotan tanah di Iteng
yang mengakibatkan 2 warga Golo meninggal karena ingin melindungi
tanah adat nenek moyang mereka. Tahap pasca konflik sudah mulai
berkurang ketegangan diantara pelaku konflik yakni pemerintah dan
masyarakat adat di tahun 1979 namun potensi konflik masih tinggi.
Tahap Prakonflik Pengaruh adat yang kuat
Tahap konfrontasi Pada 1935 perseteruan antar adat
Tahap krisis 1989 konflik dengan pemerintah, 2 warga
Golo meninggal
Tahap pasca konflik Setelah tragedi pembunuhan ketegangan
sudah mulai berkurang namun potensi
konflik masih tinggi
53
5. Kasus konflik tambang pasir di Lumajang, dinamika konflik dibagi menjadi
empat tahap yakni tahap prakonflik pada tahun 2000 masuknya PT IMMS
sebagai korporasi pengelolaan sumber daya alam pasir di lumajang. Tahap
konfrontasi pada tahun 2010 sudah mulai ada kecemburuan antara
masyarakat dengan pemerintah desa Selok awar-awar Lumajang. Tahap
krisis pada tahun 2015 adanya penyiksaan dan pembunuhan aktivis
lingkungan yakni salim kancil dan Tosan warga Desa Selok Awar-Awar
oleh kepala desa Hariyono. Tahap pasca konflik dimana setelah tragedi
salim kancil para aktivis Indonesia dan pemerintahan Kabupaten Lumajang
menghentikan aktivitas penambangan illegal yang dilakukan kepala Desa
Hariyono.
Tahap Prakonflik 2000 masuknya PT IMMS
Tahap konfrontasi 2010 adanya kecemburuan sosial
Tahap krisis 2015 penyiksaan dan pembunuhan aktivis
lingkungan
Tahap pasca konflik 2015 setelah tragedi salim kancil konflik
sudah mulai mereda dan pengehentian
penambangan
2.3 Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori
fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam
masyarakat. Teori konflik melihat masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri
atas kepentingan yang berbeda dimana ada usaha untuk melemahkan yang lain
54
guna memenuhi kepentingan lainnya sebesar-besarnya. Teori konflik Dahrendorf
memfokuskan pada sisi intensitas dan sarana yang digunakan dalam konflik.
Intensitas merupakan sebagai tingkat keterlibatan yang didalamnya meliputi
tenaga, waktu, biaya dan pikiran. Istilah “Konflik“ secara etimologis berasal dari
Bahasa latin “con” yang artinya bersama dan “figere” yang memiliki arti
benturan atau tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial sama
dengan benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang minimal
harus melibatkan dua pihak atau lebih. Konflik merupakan perselisihan atau
persengketaan yang melibatkan dua atau lebih baik individu atau kelompok yang
kedua pihak mempunyai keinginan untuk saling menjatuhkan atau
menyingkirkan atau mengalahkan bahkan menyisihkan (Elly M & Usman Kolip,
2011: 347-348).
Dahrendorf melihat konflik sebagai suatu bentuk adanya kepemilikan
kekuasaan dan otoritas yang melahirkan pembagian kelas (R. Dahrendorf dalam
Margaret M. Poloma, 2004). Lahirnya kekuasaan dan otoritas menimbulkan
adanya pihak yang menguasai dan pihak yang dikuasai. Pada hubungan ini
tercipta sebuah asosiasi yang pelaksanaannya memiliki kontribusi dalam
timbulnya konflik. Timbulnya konflik yang dimaksud adalah berada dalam
masyarakat yang berasal dari konsensus yang telah ada sebelumnya. Konsensus
tersebut berpotensi menimbulkan konflik yang didasari oleh berbagai
kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
55
Ralf Dahrendorf menjelaskan bahwa kelompok yang memegang kekuasaan
akan memperjuangkan kepentingannya sedangkan kelompok yang tidak
memiliki kekuasaan akan berjuang dan kepentingan mereka sering berbeda
dengan si pihak penguasa dan bahkan bertentangan. Dasar baru dalam
pembentukan kelas merupakan hasil dari kepemilikan otoritas dan kekuasaan.
Dalam struktur tersebut terdapat kelompok yang memegang kekuasaan dan
kelompok yang tidak berpartisipasi dalam proses penundukan. Dahrendorf
berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan
terdapat ketegangan di antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasan dan
tunduk pada struktur itu (Margaret M. Poloma, 2004, hlm 135). Pada
pertentangan yang dimaksud sering kali disebabkan oleh adanya perbedaan
kepentingan dan mengakibatkan adanya kelompok pertentangan yang
memperjuangkan kepentingannya begitu juga dengan pihak sebaliknya. Jadi
konflik sosial menurut Dahrendorf dikarenakan adanya perbedaan kepentingan
diantara pihak-pihak yang saling berkonflik.
Ralf Dahrendorf melihat pelaku konflik adalah kelompok semu (quasi
group) yaitu para pemegang kekuasaan dengan kepentingan yang sama terbentuk
sehingga munculnnya kelompok kepentingan, kemudian kelompok kepentingan
yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini
mempunyai organisasi, tujuan, program serta anggota yang jelas. Kelompok
inilah yang menjadi sumber konflik dalam masyarakat (Wirawan, 2012).
56
Menurut Ralf Dahrendorf masyarakat merupakan sekumpulan individu
yang setiap saat tunduk akan proses perubahan dan pertikaian (konflik), dalam
sistem sosial terdapat konflik dan juga berbagai elemen kemasyarakatan
memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan. Suatu bentuk
keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh
pemilik kekuasaan, sehingga penguasa menekankan pemaksaan terhadap
anggotanya dan menekankan tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan
ketertiban dalam masyarakat (Mandan, 1986: 290).
Kekuasaan secara sosiologis dimanifestasikan dalam bentuk wewenang
legal formal dan modal-modal ekonomi serta budaya. Dalam konteks konflik
industrial kekuasaan lebih didefinisikan oleh legal formal negara dan modal
ekonomi pasar. Kekuasaan legal formal negara yang mampu bekerjasama
dengan kekuasaan ekonomi pasar yang bisa menentukan keberhasilan ekonomi
suatu negara. Pada pengertian struktural ini dapat dilihat mengenai bagaimana
dua pihak pemilik kekuasaan tersebut melakukan penyimpangan untuk
kepentingan dan tujuan masing-masing pemegang kekuasaan yakni pemerintah
dan pemegang ekonomi pasar.
57
2.4 Resolusi Konflik
Resolusi konflik (conflict settlement) adalah upaya menyelesaikan konflik
baik secara langsung (negosiasi) maupun melalui mediasi secara komprehensif
artinya bahwa kesepakatan yang dibangun bukan hanya berkaitan dengan
dampak yang muncul tetapi juga berkaitan dengan sumber permasalahannya
(Santosa, dalam Hadi, 2006:21).
Susilo (2017: 68) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Praktik
Pembelajaran Sosial Pada Co-Management Air Minum Masyarakat Sekitar
Sumber Air”, tentang praktik konflik sumber daya alam, berawal dari
kelangkaan jumlah sumber mata air, kelangkaan sumber daya alam dimana
pengelola air kurang mengakomodir kepentingan semua stakeholders, dimana
pemerintah masih merasa bahwa memiliki otoritas untuk pendayagunaan air.
Ketika peran antara pemerintah dengan masyarakat lokal berbenturan makan
akan memunculkan konflik-konflik sosial. Untuk mengurangi potensi kelompok
co-management dinilai mampu mengurangi potensi konflik, baik dari komunitas
masyarakat, pemerintah serta pelaku bisnis (swasta).
Cara meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan
sumber daya mampu melahirkan tiga aspek yaitu meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya keberlanjutan sumber daya alam yang menunjang
kehidupan, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya
secara terpadu, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
manjamin adanya kelestarian dan keberlanjutan ekologis (Hanif, Hasrul, 2008).
58
Suharko (2016) mengatakan usaha industri yang memanfaatkan sumber
daya alam selalu menimbulkan konflik sosial dan menimbulkan dampak bagi
lingkungan hidup. Konflik tersebut melibatkan masyarakat lokal (termasuk
masyarakat adat) dan korporasi yang didukung pemerintah daerah.
Bagi pemerintah daerah minat investor dan korporasi sangat dinantikan
bahkan diundang, semakin banyak pelaku industri terutama korporasi maka
semakin besar peluang untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD
(Suharko, 2016: 105)
Novri (2015) mengatakan konflik tanah di Lampung melibatkan
masyarakat adat, petani illegal, perusahaan perkebunan, LSM, polisi dan militer,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Menurut Novri konflik tanah di
Lampung yang terjadi selama ini didukung konteks lokal yaitu calo tanah dan
bebrapa elit lokal yang juga memanfaatkan lahan kosong di Lampung.
Masyarakat lokal menganggap konflik disini lebih condong memihak elit
ekonomi. Aktor yang mendominasi yakni oligarki ekonomi politik membentuk
sistem hukum untuk melindungi dan mencapai kepentingan elit melalui
pembangunan, oleh karena itu elit politik mendapatkan kekayaan lebih dominan
dalam bentuk hukum atas kepentingan elit.
Konflik sumber daya alam bentuknya sangat beraneka ragam dan tidak
terbatas serta menimbulkan dampak pada lingkungan seperti pencemaran dan
kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri. Banyaknya kasus sengketa
lingkungan diselesaikan melalui jalur arbitrasi (pengadilan) namun putusan
59
melalui jalur ini biasanya kurang memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.
Pihak masyarakat berada di posisi yang lemah karena kesulitan untuk
mengajukan barang bukti.
Secara sosiologis penyelesaian konflik sumber daya alam bisa diselesaikan
melalui jalur perundingan dengan budaya masyarakat Indonesia yang
mengedepankan musyawarah. Penyelesaian konflik dengan jalur perundingan
lebih efisien dari segi biaya, tenaga dan waktu. Dimana memiliki potensi untuk
menciptakan kesepakatan yang win-win. Dengan adanya kesepakatan win-win
menjamin keberlanjutan hubungan baik diantara para pihak yang berkonflik.
Karena hubungan yang baik ini akan sangat penting karena jika konflik masih
berlanjut karena hubungan antara keduanya akan menimbulkan resistensi dan
akan mengancam kegiatannya baik kegiatan korporasi maupun masyarakatnya,
salah satunya dengan cara akomodasi dimana pihak yang bersengketa
menyetujui untuk memenuhi kepentingan pihak lain dengan mengorbankan
kebutuhannya (Hadi, 2016:21-61).
Susilo (2017: 68) mengatakan tentang praktik konflik sumber daya alam,
berawal dari kelangkaan jumlah sumber mata air, kelangkaan sumber daya alam
dimana pengelola air kurang mengakomodir kepentingan semua stakeholders,
dimana pemerintah masih merasa bahwa memiliki otoritas untuk pendayagunaan
air. Ketika peran antara pemerintah dengan masyarakat lokal berbenturan maka
akan memunculkan konflik-konflik sosial. Untuk mengurangi potensi kelompok
60
co-management dinilai mampu mengurangi potensi konflik, baik dari komunitas
masyarakat, pemerintah serta pelaku bisnis (swasta).
Resolusi konflik sumber daya alam ini dengan cara meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sumber daya mampu
melahirkan tiga aspek yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya keberlanjutan sumber daya alam yang menunjang kehidupan,
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya secara
terpadu, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap manjamin
adanya kelestarian dan keberlanjutan ekologis (Hanif, Hasrul, 2008).
Novri (2015) mengatakan konflik sumber daya alam tanah di Lampung
juga melibatkan masyarakat adat, petani illegal, perusahaan perkebunan, LSM,
polisi dan militer, Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Menurut Novri
konflik tanah di Lampung yang terjadi selama ini didukung konteks lokal yaitu
calo tanah dan bebrapa elit lokal yang juga memanfaatkan lahan kosong di
Lampung. Masyarakat lokal menganggap konflik disini lebih condong memihak
elit ekonomi. Aktor yang mendominasi yakni oligarki ekonomi politik
membentuk sistem hukum untuk melindungi dan mencapai kepentingan elit
melalui pembangunan, oleh karena itu elit politik mendapatkan kekayaan lebih
dominan dalam bentuk hukum atas kepentingan elit.
61
Skema Teori Konflik Ralf dahrendorf
Gambar 1. Skema Teori Konflik Ralf Dahrendolf
Masyarakat
Perbedaan
Kepentingan
Ekonomi:
1. Uang
2. 2. SDA
Korporasi Masyarakat dan LSM
Pemerintah Daerah Kab. Banyuwangi
Dinamika Konflik
1. Prakonflik
2. Konfrontasi
3. Krisis
4. Pasca Konflk