BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

32
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi Pendidikan Sejarah pendidikan di Indonesia sampai dengan awal tahun 2000 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, segala sesuatu di atur dari tingkat pusat dan berlaku sama diseluruh wilayah Indonesia tanpa memperhatikan kondisi dan situasi daerah. Segala bentuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan dilakukan berdasarkan petunjuk dari pusat yang dituangkan dalam bentuk juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) yang harus dipedomani oleh semua sekolah secara sama. Kurikulum yang digunakan di semua tingkat sekolah baik SD, SMP ataupun SMA dan SMK satu jenis, kita mengenal hanya satu kurikulum nasional yang berlaku sama dari Sabang sampai Merauke, daerah tidak mendapat ruang untuk mengembangkan kurikulumnya sesuai potensi daerah masing-masing. Segala sesuatu diatur secara rinci oleh pemerintah pusat, pemerintah di daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan. Hal sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, Tilaar(2002) berpendapat sebagai berikut : kebijakan sentralisasi pendidikan telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan dan menghasilkan manusia Indonesia yang tanpa inisiatif. Sentralisasi pendidikan tidak

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi Pendidikan

Sejarah pendidikan di Indonesia sampai

dengan awal tahun 2000 menunjukkan bahwa

pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, segala

sesuatu di atur dari tingkat pusat dan berlaku sama

diseluruh wilayah Indonesia tanpa memperhatikan

kondisi dan situasi daerah. Segala bentuk kegiatan

penyelenggaraan pendidikan dilakukan berdasarkan

petunjuk dari pusat yang dituangkan dalam bentuk

juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk

teknis) yang harus dipedomani oleh semua sekolah

secara sama. Kurikulum yang digunakan di semua

tingkat sekolah baik SD, SMP ataupun SMA dan

SMK satu jenis, kita mengenal hanya satu kurikulum

nasional yang berlaku sama dari Sabang sampai

Merauke, daerah tidak mendapat ruang untuk

mengembangkan kurikulumnya sesuai potensi

daerah masing-masing. Segala sesuatu diatur secara

rinci oleh pemerintah pusat, pemerintah di daerah

hanya sebagai pelaksana kebijakan.

Hal sentralisasi dan desentralisasi pendidikan,

Tilaar(2002) berpendapat sebagai berikut :

kebijakan sentralisasi pendidikan telah mematikan berbagai jenis inovasi pendidikan

dan menghasilkan manusia Indonesia yang

tanpa inisiatif. Sentralisasi pendidikan tidak

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

2

memungkinkan lahirnya masyarakat terbuka

yang demokratis dimana setiap manusia

mempunyai kesempatan mengembangkan potensinya dan menyumbangkan sebesar-

besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Desentralisasi pendidikan akan melahirkan

warga negara yang inovatif, yang bisa bersaing

tetapi yang juga dapat bekerja sama membangun

suatu masyarakat yang demokratis.

Desentralisasi menurut Maddick (dalam

Kuncoro,2004) didefinisikan sebagai proses

dekonsentrasi dan devolusi. Dekonsentrasi adalah

pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu

kepada staf pemerintah pusat yang tinggal diluar

kantor pusat, sedangkan devolusi merupakan

penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-

fungsi tertentu kepada pemerintah daerah.

Pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai

manifestasi struktural dari desentralisasi. Dengan

demikian desentralisasi berarti pendelegasian

wewenang dan penyerahan kekuasaan kepada

pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi-

fungsi tertentu. Desentralisasi adalah pendelegasian

wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan

kepada orang-orang pada level bawah (daerah).

Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai

suatu sistem administrasi pemerintahan, berkaitan

erat dengan proses perkembangan suatu negara.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 beberapa

undang-undang tentang pemerintah daerah telah

ditetapkan dan berlaku silih berganti. Pada masa

Orde Baru, dalam kerangka struktur sentralisasi

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

3

kekuasaan politik dan otoritas administrasi

ditetapkan Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang meletakkan

dasar-dasar hubungan pusat-daerah. Pasca Orde

Baru (1998 sampai sekarang) yang dikenal dengan

era Reformasi telah ditetapkan Undang-Undang

No.22tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah

Daerah. Menurut UU N0. 22 tahun 1999 pasal 7

menyebutkan bahwa:

Kewenangan kabupaten dan kota mencakup

semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan

umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,

pertanian, perhubungan, industri dan

perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan

tanah, koperasi, tenaga kerja.

Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan

pendidikan berada di bawah kewenangan pemerintah

kabupaten dan kota.

Fattah(2004) menyatakan bahwa:

“desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah

sebagai institusi pendidikan yang mandiri, memiliki

otoritas dan kewenangan yang tidak lagi tergantung

pada kebijakan dari pusat”. Desentralisasi

pendidikan tidak lagi menjadikan sekolah sebagai

lembaga pendidikan yang hanya menerima instruksi

tanpa kreatifitas penyesuaian, yang dikendalikan

secara ketat sehingga tidak memiliki keleluasaan

bergerak dalam mengelola sumber daya yang

dimiliki. Dengan pengalihan wewenang dalam

keputusan dari pemerintah pusat ke tingkat sekolah

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

4

diharapkan sekolah menjadi lebih mandiri dan

mampu menentukan arah pengembangannya yang

sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan

masyarakatnya.

Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi

sebagai daerah Otonom dalam bidang pendidikan

dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan

pemerintah meliputi hal-hal antara lain:

penetapan standar kompetensi siswa dan warga

belajar, serta pengaturan kurikulum nasional

dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta

pedoman pelaksanaannya; penetapan standar materi pelajaran pokok; penetapan persyaratan

perolehan dan penggunaan gelar akademik;

penetapan pedoman pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan; penetapan

kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar,

menengah, dan luar sekolah; pengaturan dan

pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan

jarak jauh, serta pengaturan sekolah

internasional.

Dalam upaya menjamin mutu pendidikan nasional

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat, pemerintah telah menetapkan

Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar

isi; standar proses; standar kompetensi lulusan;

standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar

sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar

pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

5

Standar Nasional Pendidikan menjadi dasar dalam

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan

pendidikan nasional yang bermutu.

Desentralisasi pendidikan menurut Mulyasa

(2002) memberikan kewenangan kepada sekolah dan

masyarakat setempat untuk mengelola pendidikan.

Hal ini memungkinkan adanya kerjasama yang erat

antara staf sekolah, kepala sekolah, guru dan

masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi,

efektivitas, peningkatan kualitas dan produktivitas

pendidikan.

Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan

berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan

yang lain, karena desentralisasi di bidang pendidikan

tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi

justru sampai pada sekolah sebagai ujung tombak

pelaksanaan pendidikan. Dalam penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran kurikulum yang digunakan

di setiap sekolah tidak sama antara sekolah yang

satu dengan sekolah yang lain, sekolah memiliki

kewenangan untuk menyusun sendiri kurikulumnya,

dalam hal ini dikenal dengan kurikulum tingkat

satuan pendidikan (KTSP). Desentralisasi pendidikan

diharapkan mendorong peningkatan pelayanan

pendidikan kepada masyarakat, yang akhirnya akan

menaikkan kualitas pengelolaan pendidikan di

sekolah.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

6

2.2 Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut KBBI manajemen berarti penggunaan

sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran,

basis berarti asas, dasar, berbasis mempunyai arti

menjadikan sesuatu sebagai basis, sedangkan

sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk

belajar dan mengajar serta tempat menerima dan

memberi pelajaran, dari arti katanya maka

manajemen berbasis sekolah mempunyai arti

penggunaan sumber daya sekolah secara efektif

sebagai dasar untuk pelaksanaan proses

pembelajaran.

Menurut penjelasan atas Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang

sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat (1) yang

dimaksud dengan manajemen berbasis

sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi

manajemen pendidikan pada satuan pendidikan,

yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan

guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam

mengelola kegiatan pendidikan. Depdikbud (dalam

Mulyasa,2002) mengemukakan bahwa ”manajemen

berbasis sekolah merupakan suatu penawaran bagi

sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih

baik dan lebih memadai bagi para peserta didik”.

Otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) dalam

manajemen pendidikan merupakan potensi bagi

sekolah untuk meningkatkan kinerja pendidik dan

tenaga kependidikan, memberikan partisipasi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

7

langsung kepada kelompok-kelompok terkait dan

meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap

pendidikan. Pemberian otonomi yang lebih besar

kepada sekolah merupakan sarana peningkatan

efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dengan

keterlibatan kepala sekolah dan guru dalam

pengambilan keputusan-keputusan sekolah akan

mendorong rasa kepemilikan yang tinggi terhadap

sekolahnya. Dengan melibatkan masyarakat dalam

pengelolaan sekolah pemerintah akan terbantu

dalam kontrol maupun pembiayaan pendidikan.

Menurut Chapman (dalam Fattah,2004)

Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu

pendekatan politik yang bertujuan untuk meredisain

pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan

kepada Kepala Sekolah dan meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah

yang mencakup pendidik dan tenaga kependidikan,

siswa, kepala sekolah, orang tua/wali murid dan

masyarakat. Manajemen berbasis sekolah merubah

pengambilan keputusan dengan memindahkan

otoritas dalam pengambilan keputusan dan

manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat

lokal (local stakeholders).

Sedangkan Rohiat (2010:47) memberikan arti

Manajemen Berbasis Sekolah sebagai model

pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan

dan tanggung jawab) yang lebih besar kepada

sekolah , memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

8

sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari

warga sekolah (guru,siswa, kepala sekolah,karyawan)

dan masyarakat(orang tua siswa,tokoh masyarakat,

ilmuwan,pengusaha) dan meningkatkan mutu

sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional

serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan otonomi sekolah mempunyai kewenangan

dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan

sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah

serta tuntutan masyarakat yang ada.

Karakteristik dasar MBS menurut Saud (dalam

Mulyasa, 2003) adalah pemberian otonomi yang luas

kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang

tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah

yang demokratis dan professional, serta adanya team

work yang tinggi dan professional.

Tujuan MBS menurut Mulyasa (2002) adalah

meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan

pendidikan. Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa

peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan

mengelola sumber daya yang ada, partisipasi

masyarakat dan penyederhanaan birokrasi;

peningkatan mutu diperoleh antara lain melalui

partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas

pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan

profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya

sistem insentif serta disinsentif; sedangkan

peningkatan pemerataan pendidikan diperoleh

antara lain melalui peningkatan partisipasi

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

9

masyarakat yang mampu, sementara yang kurang

mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. MBS

memberi peluang bagi kepala sekolah, pendidik,

tenaga kependidikan dan peserta didik untuk

melakukan pembaharuan di sekolah, yang

berhubungan dengan masalah kurikulum,

pembelajaran maupun manajerial yang tumbuh dari

aktifitas, daya kreasi dan profesionalisme yang

dimiliki.

Sejalan dengan pendapat Mulyasa, Rohiat

(2010:48) menyatakan bahwa tujuan penerapan MBS

adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui

pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang

lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan

berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah

yang bermutu, yaitu partisipasi, transparansi dan

akuntabilitas. Kinerja sekolah sendiri meliputi

peningkatan mutu, efektivitas dan efisiensi,

produktivitas dan inovasi pendidikan.

Sedangkan menurut Fattah(2004) MBS

mempunyai tujuan agar otonomi sekolah dan

partisipasi masyarakat atau local stakeholders

mempunyai keterlibatan yang tinggi. MBS

menawarkan kebebasan kekuasaan yang besar pada

sekolah dengan tetap disertai seperangkat tanggung

jawab yang harus dipikul.

MBS adalah suatu pendekatan praktis yang

bertujuan untuk mendesain pengelolaan sekolah

dengan memberikan kekuasaan kepada kepala

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

10

sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam upaya memperbaiki kinerja sekolah yang

mencakup guru, kepala sekolah, staf, orang tua

siswa dan masyarakat (Fattah, 2004). Prinsip MBS

adalah menempatkan kewenangan yang bertumpu

pada sekolah dan masyarakat, menghindari format

sentralisasi dan birokratisasi, sekolah memperoleh

kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang

tinggi dalam meningkatkan kinerjanya. Secara

konsepsional MBS akan membawa dampak terhadap

peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu,efisiensi

keuangan,pemerataan kesempatan dan pencapaian

tujuan publik.

Dengan MBS sekolah diberi kesempatan untuk

menyusun kurikulum sendiri sesuai kebutuhan

masyarakat setempat. Melalui penyusunan

kurikulum rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan

setempat meningkat dan menjamin layanan

pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan

masyarakat. Prestasi peserta didik dapat

dioptimalkan melalui peningkatan partisipasi orang

tua, kesempatan berpartisipasi dapat meningkatkan

komitmen kepada sekolah. Adanya kontrol dari

masyarakat dan monitoring dari pemerintah maka

pengelolaan sekolah lebih transparan, akuntabel dan

demokratis, serta menghapus monopoli dalam

pengelolaan pendidikan.

MBS merupakan konsep pemberdayaan

sekolah dalam rangka peningkatan mutu dan

kemandirian sekolah, diharapkan kepala sekolah,

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

11

guru, staf dan masyarakat setempat dapat

melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan,

perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan

tuntutan global. Cook dan Macaulay (dalam Mulyasa

2002) memberikan definisi pemberdayaan sebagai

alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi

melalui penyebaran pembuatan keputusan dan

tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan

pemberdayaan merupakan cara yang praktis dan

produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari

kepala sekolah, guru dan pegawai, dengan membagi

tanggung jawab secara proporsional kepada para

guru dan melibatkan para guru dalam proses

pengambilan keputusan dan tanggung jawab

sehingga guru memiliki rasa percaya diri.

Pemberdayaan sekolah juga ditempuh melalui

pemberdayaan peserta didik dan masyarakat

setempat. Menurut Mulyasa(2002) pemberdayaan

terjadi melalui beberapa tahap yaitu:

Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah

kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan

tindakan untuk meningkatkan kehidupannya

dan memperoleh ketrampilan agar mampu bekerja lebih baik; kedua, mengalami

pengurangan perasaan ketidakmampuan dan peningkatan kepercayaan diri; ketiga tumbuhnya

ketrampilan dan kepercayaan diri, masyarakat

bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan

memilih sumber daya yang berdampak pada

kesejahteraannya.

Keberhasilan MBS dalam rangka desentralisasi

pendidikan sedikitnya dapat dilihat dari tiga dimensi

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

12

yaitu efektivitas, efisiensi dan produktivitas.

Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil

melaksanakan tugas pokok sekolah, mendorong

partisipasi masyarakat, memperoleh dan

memanfaatkan sumber daya, dana dan sumber

belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efisiensi

dapat dianalisis dari input dan out put, dan dari

proses pendidikan yang merupakan interaksi dari

faktor-faktor manusiawi dengan non manusiawi

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai

dengan waktu yang disediakan, dikatakan efisien jika

melakukan banyak proses dalam waktu yang relatif

singkat. Efisiensi biaya pendidikan dalam MBS

memberi penekanan kepada alokasi anggaran atau

penggunaan dana terhadap kegiatan belajar

mengajar secara langsung, dengan demikian

penggunaan biaya ditujukan untuk peningkatan

mutu pendidikan, dengan memprioritaskan

kebutuhan proses belajar mengajar dibanding

dengan belanja investasi lainnya. Produktivitas

dalam pendidikan berkaitan dengan keseluruhan

proses penataan dan penggunaan sumber daya

untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan

efisien.

Manfaat yang diperoleh dalam melaksanakan

MBS menurut Dadi Permadi dan Daeng Arifin (2007)

adalah :

(1) sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya

yang tersedia untuk memajukan sekolah; (2)

sekolah lebih mengetahui input dan output

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

13

pendidikan yang akan dikembangkan dan

didayagunakan dalam proses pendidikan; (3)

pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah

karena tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;

(4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih

efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta

mengawasi; (5) keterlibatan warga sekolah dalam

pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6)

sekolah bertanggung jawab tentang mutu

pendidikan di sekolah kepada pemerintah, orang

tua, peserta didik dan masyarakat; (7) sekolah

dapat bersaing dengan sehat untuk peningkatan mutu pendidikan; (8) sekolah dapat merespon

aspirasi masyarakat yang berubah dengan

pendekatan yang tepat dan cepat.

2.3 Komite Sekolah

Komite sekolah dibentuk berdasarkan

Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April

2002, pasal 1 ayat 2 berbunyi:

”pada setiap satuan pendidikan atau kelompok

satuan pendidikan dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat, dewan pendidikan,

dan/atau pemerintah kabupaten/kota. BP3,

komite sekolah dan atau majelis sekolah yang

sudah ada dapat memperluas fungsi, peran dan

keanggotaan sesuai dengan acuan ini”

Sebelum komite sekolah dibentuk, di setiap

satuan pendidikan sudah terdapat BP3 (Badan

Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang

anggotanya terdiri atas orang tua dan masyarakat

disekitar sekolah. Badan Pembantu Penyelenggara

Pendidikan (BP3) yang ada dibentuk berdasarkan

Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1990 Pasal

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

14

10 ayat (2) dan Kepmen Dikbud nomor

0490/U/1992, pasal 10 ayat (1) menegaskan, bahwa

untuk membantu penyelenggaraan kegiatan

pendidikan menengah pada setiap sekolah menengah

dibentuk Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan

(BP3). Pembentukan dan pelaksanaan organisasi

tersebut secara khusus diatur dalam Kepmen

Dikbud nomor 0293/U/1993 tentang Pembentukan

Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan,

pembentukan BP3 dimaksudkan sebagai upaya

mewadahi dan meningkatkan peran serta orang tua

siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya

secara nyata dan terus-menerus.

Menurut Fattah (2004) BP3 belum berjalan

sesuai harapan terutama kelemahan dalam

implementasi peran dan fungsinya, hal ini

dibuktikan dengan kondisi umum yang terjadi antara

lain :

(1) BP3 dipersepsikan sebagian masyarakat sekolah terbatas pada pengumpulan dana

pendidikan dari orang tua siswa; (2) BP3 belum

langsung merumuskan, melaksanakan dan

mengevaluasi kebijakan sekolah; (3) sekolah dan

BP3 belum membangun budaya kemitraan yang khas untuk mencapai kualitas pelayanan PBM

kepada peserta didik yang bermuara pada

kualitas hasil.

Seharusnya BP3 dapat dioptimalkan sebagai

forum komunikasi antara sekolah dengan orang tua

siswa khususnya dan masyarakat, untuk

menyampaikan gagasan dan keinginan masing-

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

15

masing, terutama dalam upaya menciptakan saling

pengertian semua pihak yang terkait. Kegiatan BP3

merupakan prakarsa murni orang tua siswa dan

masyarakat dalam ikut serta membantu

terselenggaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan.

Melalui lembaga BP3, sekolah dapat mengajukan

kebutuhan bantuan kepada orang tua siswa dan

masyarakat pada umumnya untuk mengatasi

masalah-masalah yang dihadapi dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Dengan adanya Kepmendiknas RI Nomor

044/U/2002 tanggal 2 April 2002, maka disetiap

satuan pendidikan sudah tidak ada BP3 lagi dan

sebagai gantinya dibentuklah komite sekolah.

Perbedaan yang prinsip antara BP3 dan komite

sekolah adalah dalam peran dan fungsi, keanggotaan

serta pemilihan dan pembentukan kepengurusannya.

Pengertian Komite Sekolah seperti yang

terdapat dalam Kepmendiknas RI Nomor

044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai

berikut :

Komite sekolah adalah badan mandiri yang

mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka

meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi

pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan,

baik pada pendidikan pra sekolah, jalur

pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan

luar sekolah.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

16

Komite sekolah merupakan penyempurnaan dan

perluasan badan kemitraan dan komunikasi antara

sekolah dengan masyarakat. Badan ini bersifat

mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis

dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan.

Sekolah dan komite sekolah memiliki kemandirian

masing-masing, namun merupakan mitra yang harus

bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen

berbasis sekolah (MBS). Hubungan antara komite

sekolah dengan satuan pendidikan, Dewan

Pendidikan Kabupaten/Kota dan institusi lainnya

yang bertanggungjawab dalam pengelolaan

pendidikan bersifat koordinatif.

Pembentukan Komite Sekolah sebagai suatu

organisasi masyarakat sekolah seperti yang tertuang

dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2

April 2002 memiliki tujuan sebagai berikut :

(1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan

prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan

di satuan pendidikan; (2) Meningkatkan

tanggung jawab dan peranserta masyarakat

dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan

pendidikan; (3) Menciptakan suasana dan

kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan

pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Keanggotaan komite sekolah seperti yang

tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002

terdiri atas:(1)unsur masyarakat yang dapat berasal

dari orangtua/wali murid, tokoh masyarakat, tokoh

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

17

pendidikan, dunia usaha/industri, organsasi profesi/

tenaga kependidikan,wakil alumni dan wakil peserta

didik; (2) unsur dewan guru, badan pertimbangan

desa maksimal 3 orang. Jumlah anggota komite

sekolah sekurang-kurangnya 9 orang dan jumlahnya

ganjil. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART.

2.4 Peran komite sekolah dalam penyelenggaraan

pendidikan.

Secara harafiah kata peran berarti kapasitas,

kedudukan, posisi, fungsi,tugas, sedangkan kata

peran serta berarti keikutsertaan, keterlibatan,

kontribusi, partisipasi (Endarmoko 2006). Menurut

Cohen (dalam Karim 2012) partisipasi adalah

keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan,

pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan

mengevaluasi program.Karim(2012:104)menyebutkan

tiga pengertian pokok dalam konsep partisipasi yaitu:

(1)keterlibatan mental emosional; (2)adanya

kontribusi; dan (3)tanggung jawab. Lebih lanjut

Abdul Karim menjelaskan implementasi partisipasi

masyarakat dapat berbentuk:

Memberikan sumbangan berupa sumber daya,

yaitu tenaga dan benda yang merupakan bentuk

dari kontribusi yang disalurkan; terlibat dalam berbagai usaha penataan dan koordinasi, hal ini

menjadi wujud keikutsertaan aspek mental dan

pola pikir; serta terlibat langsung dalam

penyusunan program dan pelaksanaanya yang

merupakan bentuk dari rasa tanggung jawab

yang diterima.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

18

Dari penjelasan diatas peran serta komite

sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan

merupakan partisipasi komite sekolah dalam

pelaksanaan MBS di sekolah yang melibatkan mental

emosional, kontribusi dan tanggung jawab. Peran

komite sekolah seperti yang tertuang dalam

Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April

2002 adalah sebagai berikut :

(1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan

pendidikan di satuan pendidikan; (2) pendukung

(supporting agency), baik yang berwujud

financial, pemikiran maupun tenaga dalam

penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) pengontrol (controlling agency)

dalam rangka transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di

satuan pendidikan; dan (4) mediator antara

pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory

agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan

pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh

Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin,

2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)bersama sekolah merumuskan dan menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan,

program dan kegiatan pendidikan di sekolah;

(2)memberikan pertimbangan dan masukan

dalam penyusunan kurikulum sekolah (KTSP);

(3)bersama sekolah menyusun rencana strategis

pengembangan sekolah; (4)bersama sekolah menyusun standar pelayanan di sekolah;

(5)memberi pertimbangan kepada sekolah untuk

peningkatan mutu pembelajaran dan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

19

penyelenggaraan pembelajaran yang

menyenangkan; (6)memberikan masukan,

pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan dalam penyusunan, pembahasan

dan penetapan anggaran sekolah (APBS);

(7)membahas dan turut menetapkan pemberian

tambahan kesejahteraan yang diperoleh dari

masyarakat kepada kepala sekolah, tenaga guru,

tenaga administrasi sekolah; (8)bersama sekolah mengembangkan potensi kearah prestasi

unggulan, baik yang bersifat akademis maupun

non akademis (keagamaan, keolahragaan, seni,

dan ketrampilan).

Sedangkan peran sebagai pemberi

pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan

dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan

pendidikan yang terdapat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri

Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007

tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan

Pendidkan Dasar dan Menengah meliputi kegiatan

operasional sebagai berikut :

(1)memberikan pertimbangan dan masukan

dalam rangka merumuskan dan menetapkan

visi, misi dan tujuan sekolah; (2)bersama sekolah mengembangkan kurikulum kurikulum

tingkat satuan pendidikan dan silabusnya

berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan

standar kompetensi lulusan; (3)memberikan

pertimbangan dalam merumuskan dan

menetapkan rencana kerja jangka menengah (4 tahun) dan tahunan sekolah; (4)memberikan

masukan dalam merumuskan dan menetapkan

pedoman tentang struktur organisas sekolah;

(5)memberikan masukan dalam menetapkan

Tata tertib sekolah yang meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

20

didik, serta penggunaan dan pemeliharaan

sarana dan prasarana; (6)memberikan

pertimbangan dalam pemilhan buku teks pelajaran yang akan digunakan sekolah.

Peran sebagai pendukung (supporting agency)

baik yang berwujud financial, pemikiran maupun

tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan

pendidikan, dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan(Dadi

Permadi dan Daeng Arifin,2007) dalam kegiatan

operasional sebagai berikut :

(1)menggalang dana dari orang tua/wali murid dan masyarakat untuk pemenuhan sarana

prasarana guna meningkatkan kualitas

pelayanan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (2)mencari bantuan dana dari dunia

usaha dan industri untuk biaya pembebasan

uang sekolah bagi siswa yang tidak mampu;

(3)mengelola kontribusi masyarakat berupa

uang, tenaga, pikiran, barang dan peluang yang

diberikan kepada sekola; (4)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi

maupun non materi); (5)memberikan otonomi

professional kepada guru dalam melaksanakan

tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan

kompetensi guru; (6)memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler;

(7)memberikan dukungan kepada sekolah untuk

secara preventif dan kuratif dalam

penyebarluasan narkoba di sekolah;

(8)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan

memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.

Sedangkan peran sebagai pendukung

(supporting agency) baik yang berwujud financial,

pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan

pendidikan di satuan pendidikan, seperti yang

terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

21

tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan

dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI

Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan

Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan

Menengah dan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002

meliputi kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)pengambilan keputusan di bidang non

akademik; (2)memberikan persetujuan dalam

pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak

sesuai dengan rencana kerja tahunan;

(3)membuat/memutuskan pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional

sekolah (APBS); (4)menggalang dana masyarakat

dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan

pendidikan di sekolah.

Peran sebagai pengontrol (controlling agency)

dalam rangka transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan

pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi

Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan

operasional sebagai berikut :

(1) melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan,

dan keluaran (out put) pendidikan, dan

menyampaikan hasil kajian program sekolah kepada stakeholders secara periodik baik yang

berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam

pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.; (2)mengevaluasi program sekolah

secara proporsional sesuai kesepakatan dengan

pihak sekolah, meliputi: pengawasan

penggunaan sarana dan prasarana sekolah,

pengawasan keuangan secara berkala dan berkesinambungan; (3)memantau kualitas

proses pelayanan dan hasil pendidikan

disekolah; (4)mengkaji laporan pertanggung-

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

22

jawaban pelaksanaan program yang

dikonsultasikan oleh kepala sekolah.

Sedangkan peran sebagai Pengontrol

(controlling agency) dalam rangka transparansi dan

akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran

pendidikan di satuan pendidikan seperti yang

terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19

tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan

dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI

Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan

Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan

Menengah dijabarkan dalam kegiatan operasional

sebagai berikut :

(1)melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai

efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah;

(2)menerima laporan dari kepala sekolah yang

beris hasl evaluasi pengelolaan sekolah setiap

akhir semester; (3)menerima pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan

dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan

pendidik; (4)melakukan evaluasi dan

pengawasan terhadap kebijakan, program,

penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di

satuan pendidikan.

Peran sebagai mediator antara pemerintah

(eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/

DPRD (legislatif) dengan masyarakat oleh Mulyasa

(2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin,

2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat

baik perorangan maupun kelompok (organisas);

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

23

(2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders

pendidikan disekitar sekolah; (3)membangun

kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan proses dan hasil pendidikanl;

(4)menampung dan menganalisis aspirasi, ide,

tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan

yang diajukan oleh masyarakat; (5)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada

pemerintah daerah untuk meningkatkan

kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan

kebutuhan sekolah.

Sedangkan peran sebagai mediator antara

pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah/DPRD (legislatif) dengan masyarakat seperti

yang terdapat dalam Kepmendiknas Nomor

044/U/2002 dalam kegiatan operasional sebagai

berikut :

(1) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (Perorangan/organisasi/dunia usaha dan dunia

industri (DUDI)) dan pemerintah berkenaan

dengan penyelengaraan pendidikan bermutu;

(2)menampung dan menganalisis aspirasi, ide,

tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan

yang diajukan oleh masyarakat; (3)mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pendidikan guna

mendukung peningkatan mutu pendidikan dan

pemerataan pendidikan.

Dari penjabaran peran komite beserta kegiatan

operasionalnya, maka dalam penelitian ini peran

yang pertama sebagai badan pemberi pertimbangan

(advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan

kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang

dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

24

berikut : (1)memberikan pertimbangan dan masukan

dalam rangka merumuskan dan menetapkan visi,

misi dan tujuan sekolah; (2)memberikan

pertimbangan dan masukan dalam penyusunan

kurikulum sekolah (KTSP); (3)memberikan

pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan

rencana strategis pengembangan sekolah dan

rencana kerja tahunan sekolah; (4)memberikan

masukan, pertimbangan, dan rekomendasi dalam

penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran

sekolah (APBS); (5)memberikan masukan dalam

merumuskan dan menetapkan pedoman tentang

struktur organisasi sekolah; (6)memberikan masukan

dalam menetapkan tata tertib sekolah yang meliputi

tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta

didik; (7)memberikan masukan dalam penggunaan

dan pemeliharaan sarana dan prasarana.

Peran yang kedua sebagai badan pendukung

(supporting agency) baik yang berwujud financial,

pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan

pendidikan di satuan pendidikan, yang dijabarkan

dalam kegiatan operasional sebagai berikut:

(1)melakukan penggalangan dana dari orang

tua/wali murid, masyarakat, dunia usaha dan

industri untuk pembiayaan penyelenggaraan

pendidikan di sekolah dan pemberian bantuan bagi

siswa tidak mampu; (2)mengelola kontribusi

masyarakat berupa uang, tenaga, pikiran, barang

dan peluang yang diberikan kepada sekolah;

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

25

(3)memberikan persetujuan dalam kegiatan sekolah

di bidang non-akademik; (4)memberikan persetujuan

dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak

sesuai dengan rencana kerja; (5)membuat pedoman

tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional

sekolah; (6)memberikan motivasi atau penghargaan

(baik berupa materi maupun non materi) kepada

guru, staf dan siswa; (7)memberikan otonomi

professional kepada guru dalam melaksanakan

tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan

kompetensi guru; (8)memberikan dukungan kepada

sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam

penyebarluasan narkoba di sekolah;

(9)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan

memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.

Selanjutnya peran yang ketiga sebagai badan

pengontrol (controlling agency) dalam rangka

transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan

keluaran pendidikan di satuan pendidikan

dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai

berikut: (1)melakukan pemantauan terhadap

pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai

efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah,

kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan

disekolah;(2)melakukan pengawasan dan evaluasi

terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan

keluaran (out put) pendidikan; (3)menerima laporan

dari kepala sekolah yang beris hasil evaluasi

pengelolaan sekolah setiap akhir semester;

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

26

(4)menerima pertanggungjawaban pelaksanaan

pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam

rapat dengan dewan pendidik; (5)mengevaluasi

program sekolah secara proporsional meliputi:

pengawasan penggunaan sarana dan prasarana

sekolah, pengawasan keuangan secara berkala dan

berkesinambungan.

Peran yang ke empat sebagai mediator antara

pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah/DPRD(legislatif) dengan masyarakat oleh

dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai

berikut:(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat

baik perorangan maupun kelompok/organisasi/

dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dan

pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan

pendidikan bermutu; (2)membina hubungan dan

kerjasama yang harmonis dengan seluruh

stakeholders pendidikan disekitar sekolah;

(3)menampung dan menganalisis gagasan,

pandangan, ide, usulan dan berbagai kebutuhan

pendidikan, yang diajukan oleh masyarakat;

(4)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada

pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas

pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan

sekolah.

2.5 Hasil Penelitian

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

27

Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto, (2007),

yang berjudul Peran Komite Sekolah di SD Negeri

Karanglo Kecamatan Cilongok, Kabupaten

Banyumas, menunjukkan bahwa peran komite

sekolah sebagai badan pendukung adalah dalam

kategori baik, demikian juga peran komite sekolah

sebagai mediator dalam kategori baik, sedangkan

peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan

dan badan pengawas adalah dalam kategori sedang.

Berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan Riyanto, penelitian yang dilakukan

Armansyah(2009) dengan judul Peranan dan

Pemberdayaan Komite Sekolah dalam

Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota

Binjai menunjukkan bahwa komite belum berhasil

mendapat dana dari masyarakat sekitar seperti

dunia usaha/dunia industri maupun dari

masyarakat yang peduli pendidikan, dan hanya dari

bantuan orang tua melalui iuran komite sekolah,

dan dalam pelaksanaan perannya baru sebatas

hanya pemberi pertimbangan dan pengawasan,

sedang peran sebagai pendukung dan mediator

belum sepenuhnya terlaksana.

Berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan Riyanto maupun Armansyah, penelitian

yang dilakukan oleh Hendarmoko dan Samsudin

(2008) dengan judul Efektifitas Pelaksanaan Peran

dan Fungsi Komite Sekolah pada Jenjang Sekolah

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

28

Menengah Pertama (SMP) Negeri dan Swasta di

Kotamadya Jakarta Selatan menunjukkan bahwa

kinerja komite sekolah dalam hal Pemberian

Pertimbangan (advisory) kurang berhasil (69,31);

dalam hal Pendukung (supporting) kurang berhasil

(67,50); dalam hal Pengontrol (controlling) kurang

berhasil (68,27) demikian juga dalam hal sebagai

Mediator kurang berhasil (62,71).

Penelitian Hendarmoko dan Samsudin sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Hapsawati Taan,

(2009) dengan judul Peranan Komite Sekolah dalm

Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan yang bertujuan

untuk mendiskripsikan peran komite sekolah sebagai

badan penasehat, pendukung, pengawasan dan

badan mediator pada SMA yang sederajat di

Kabupaten Bone Bolango Prop Gorontalo yang

menunjukkan bahwa peran komite sekolah secara

umum “tidak cukup baik”, dengan rata-rata 49,24,

peran sebagai pemberi pertimbangan adalah

47,51%, peran sebagai agen pendukung 36,67%,

peran sebagai agen pengendali 49,50%, dan peran

sebagai mediator antara pemerintah dan

masyarakat sebesar 63,26%.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Hendarmoko dan Samsudin, dan penelitian

Hapsawati Taan adalah penelitian yang dilakukan

Ariyati (2011) dengan judul Peran Komite Sekolah

Dalam Manajemen Berbasis sekolah di Sekolah

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

29

Dasar Gugus Maju kecamatan Secang menunjukkan

hasil bahwa komite sekolah di Sekolah Dasar Gugus

Maju Kecamatan Secang dalam melaksanakan

perannya baik sebagai badan pertimbangan, badan

pendukung, badan pengontrol maupun sebagai

mediator masih belum optimal, peran sebagai badan

pengontrol merupakan peran yang paling kurang

optimal.

Penelitian Suratman (2011) dengan judul

Perbedaan antara Peran Komite Sekolah SMP Negeri

1 Kedungjati Kabupaten Grobogan dan SMP

Muhammadiyah 13 Wonosegoro Kabupaten Boyolali

Tahun 2010 menunjukkan bahwa Komite Sekolah

SMP Negeri 1 Kedungjati Kabupaten Grobogan telah

melaksanakan perannya dengan baik sebagai badan

pertimbangan, sebagai badan pendukung telah

berhasil berhasil menggalang dana dari orang tua,

dunia usaha dan alumni sehingga kebutuhan sarana

prasarana telah memenuhi standar minimal, sebagai

badan pengontrol sudah melaksanakan pengawasan

dan evaluasi terhadap program sekolah dan sebagai

badan penghubung telah berperan sebagai

penghubung antara komite sekolah dengan

masyarakat, komite sekolah dengan sekolah, sekolah

dengan masyarakat, ataupun komite sekolah dengan

dewan pendidikan. Sedangkan Komite SMP

Muhammadiyah13 Wonosegoro belum melaksanakan

perannya sebagai badan pertimbangan, sebagai

badan pendukung belum mampu menggalang dana

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

30

untuk memenuhi sarana prasarana sekolah, sebagai

badan pengontrol belum melaksanakan fungsi

pengontrol dengan baik dan sebagai badan

penghubung belum sepenuhnya berperan.

Berbeda dengan penelitia-penelitian diatas,

penelitian Asrori (2008) yang berjudul Peran serta

Komite Sekolah Sebagai Badan Pengontrol

(Controlling Agency) terhadap Peningkatan Kualitas

SD Pandean 2 Kecamatan Ngablak menunjukkan

hasil yang baik, hal ini terlihat dalam mengontrol

dan memantau perencanaan dan pelaksanaan

program sekolah komite telah dapat menegur

langsung guru dan kepala sekolah setiap saat

ditemukan ketidak sesuaian dalam menjalankan

program, dan dalam memantau out put pendidikan

komite turut terlibat dalam menentukan strategi

menghadapi UAS dan berpartisipasi dalam

menentukan KKM.

Hasil penelitian Ijas Jugaswari (2010) yang

berjudul Unjuk Kerja Komite Sekolah di SMA Negeri

3 Semarang menunjukkan bahwa komite sekolah

terlibat dalam pengadaan barang, perawatan sarpras,

bahkan melakukan pendampingan dan pengawasan

terhadap kegiatan belajar siswa di luar sekolah,

komite juga pendukung peningkatan kompetensi

guru dengan memberi bantuan materiil dan moril,

bahkan dalam pengelolaan dana sekolah komite

mencari terobosan-terobosan sumber pendanaan dan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

31

membentuk tim audit independen dalam mengaudit

penggunaan dana sekolah.

Dari penelitian – penelitian yang sudah

dilakukan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil

komite sekolah yang sudah dapat melaksanakan ke

empat perannya dengan baik secara keseluruhan,

yaitu sebagai badan pertimbangan, badan

pendukung, badan pengontrol dan mediator,

sedangkan sebagian besar komite sekolah belum

melaksanakan ke empat perannya secara baik, ada

peran – peran yang sudah dilaksanakan, dan ada

peran-peran yang belum dilaksanakan. Di masing-

masing sekolah pelaksanaan peran komite sekolah

sangat bervariasi tidak sama satu dengan yang lain,

disekolah tertentu peran sebagai badan pendukung

menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan

peran sebagai badan pengawas, badan pertimbangan

maupun mediator, disekolah yang lain justru peran

sebagai badan pendukung adalah yang paling

rendah, sedangkan sebagai badan pertimbangan

menunjukkan hasil yang paling baik. Terdapat

komite sekolah yang berhasil melaksanakan

perannya sebagai badan pengontrol perencanaan

maupun pelaksanaan program sekolah, bahkan

komite sekolah dapat menegur langsung guru dan

kepala sekolah setiap saat ditemukan ketidak

sesuaian dalam menjalankan program. Disekolah

yang lain peran komite sekolah sebagai mediator

antara masyarakat dengan pemerintah paling tinggi

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/5103/3/T2_942009033_BAB II.pdfBAB II . TINJAUAN PUSTAKA . 2.1 Desentralisasi Pendidikan . Sejarah

32

dibandingkan peran yang lain. Rata-rata komite

sekolah telah melaksanakan perannya sebagai badan

pendukung, namun masih sebatas dalam penggalian

dana dari orang tua/wali murid, maupun dukungan

pemikiran, sedangkan dukungan yang berupa tenaga

dalam penyelenggaraan pendidikan belum

terlaksana. Tidak banyak komite sekolah yang

melaksanakan perannya sebagai badan pengontrol

dalam hal keuangan sekolah, dalam rangka

transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan

pendidikan.