BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) Composite structural armor (CSA) yaitu material multi-fungsional yang memiliki performansi balistik (ballistic performance), kekakuan, dan kekuatan tinggi dengan berat yang minimum [12] . Material CSA terdiri dari multi lapisan (multilayered) yang terdiri dari komposit polimer, karet, dan keramik struktural yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki performansi yang optimum. Secara garis besar, material-material yang disusun untuk membentuk CSA terdiri dari material muka (facing) dan material backing. Material muka memiliki fungsi sebagai penyerap energi kinetik peluru untuk pertama kalinya peluru mengenai sistem proteksi, sedangkan material backing memiliki fungsi sebagai peredam energi kinetik peluru yang tersisa yang memberikan efek trauma bagi pengguna [1] . Berikut gambar II.1 contoh dari konstruksi CSA. Gambar II.1. Contoh konstruksi dari composite structural armor (CSA) [12] .

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Composite Structural Armor (CSA)

Composite structural armor (CSA) yaitu material multi-fungsional yang

memiliki performansi balistik (ballistic performance), kekakuan, dan kekuatan

tinggi dengan berat yang minimum[12]. Material CSA terdiri dari multi lapisan

(multilayered) yang terdiri dari komposit polimer, karet, dan keramik struktural

yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki performansi yang optimum.

Secara garis besar, material-material yang disusun untuk membentuk CSA

terdiri dari material muka (facing) dan material backing. Material muka memiliki

fungsi sebagai penyerap energi kinetik peluru untuk pertama kalinya peluru

mengenai sistem proteksi, sedangkan material backing memiliki fungsi sebagai

peredam energi kinetik peluru yang tersisa yang memberikan efek trauma bagi

pengguna[1]. Berikut gambar II.1 contoh dari konstruksi CSA.

Gambar II.1. Contoh konstruksi dari composite structural armor (CSA)[12].

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5

II.2 Karakterisitik Keramik Struktural untuk Armor Facing

Kemampuan balistik suatu keramik struktural tergantung dari sifat mekanik

dan fisiknya[1], diantaranya yaitu: Massa jenis dan porositas, kekerasan, fracture

toughness, modulus elastisitas, sonic velocity, dan kekuatan lentur. Masing-

masing sifat tidak memiliki hubungan langsung dengan kemampuan balistik dari

suatu keramik, dikarenakan mekanisme retakan yang terjadi akibat beban balistik

peluru menghantam keramik dipengaruhi oleh variasi tegangan yang rumit dan

terjadi dalam waktu yang singkat. Mekanisme penjalaran retakan pada keramik

akibat beban balistik yang terjadi dipengaruhi dari morfologi struktur mikro

keramik.

Keramik struktural yang sesuai untuk digunakan sebagai armor facing harus

memiliki persyaratan sifat mekanik dan fisik sebagai berikut[1] :

1. Memiliki kekerasan, HV10 diatas 1220-1250 Kg/mm2. Hal ini didasarkan

dari standar NATO untuk peluru dengan kaliber 7,62 mm dengan inti

proyektil baja memiliki kekerasan, HV10 1150 Kg/mm2. Sedangkan untuk

peluru dengan kaliber 14,5 mm inti proyektil tungsten carbide, memiliki

kekerasan, HV10 1150 Kg/mm2.

2. Perbandingan yang seimbang antara kekerasan dan fracture toughness.

Hal ini didasarkan pada material yang memiliki kekerasan tinggi akan

memiliki fracture toughness yang rendah dan begitu juga sebaliknya. Oleh

karena itu, perbandingan yang seimbang antara kekerasan dan fracture

toughness harus dibahas secara komprehensif dengan hasil pengujian balistik

(uji tembak).

3. Memiliki nilai sonic velocity yang tinggi. Disyaratkan, sonic velocity dari

keramik struktural alumina yang digunakan sebagai armor facing diatas

10.000m/detik. Sonic velocity merupakan besaran yang menunjukkan

kemampuan dari keramik struktural untuk mendisipasi energi. Morfologi

struktur mikro berupa proses densifikasi dan pengurangan closed porosity

akan mempengaruhi besar dari sonic velocity.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

6

4. Modulus elastisitas yang disyaratkan untuk keramik struktural alumina

yang digunakan sebagai armor facing harus memiliki nilai diatas 325 GPa

(biasanya 350-450 GPa tergantung persentase alumina).

5. Kekuatan lentur dari keramik harus memiliki nilai yang tinggi. Hal ini

didasarkan rumitnya kondisi tegangan yang terjadi ketika mekanisme retakan

terjadi. Untuk keramik struktural alumina, kekuatan bending harus diatas 250

MPa.

II.3 Sintering

Sintering adalah proses perlakuan termal untuk menghasilkan ikatan antar

partikel sehingga koheren dimana struktur padat yang terbentuk didominasi oleh

mekanisme perpindahan massa yang terjadi pada skala atomik[1]. Transport massa

berupa gerakan atomik yang menghilangkan energi permukaan serbuk. Energi

permukaan serbuk berbanding lurus dengan luas permukaanya. Karenanya

partikel halus, dengan luas spesifik (specific area) yang tinggi, memiliki energi

permukaan yang lebih tinggi dan sintering terjadi lebih cepat. Batas butir

memiliki tingkat mobilitas atom yang tinggi karena memiliki tingkat energi yang

tinggi.

Model sintering yang dipelajari saat ini memiliki asumsi dimana kondisi awal

sebelum sintering serbuk yang digunakan berbentuk bulat dan berukuran sama

(monosize sphere). Pada teori sintering juga digunakan asumsi isotermal. Namun

pada kenyataannya, proses sintering dimulai dengan kondisi awal serbuk

berbentuk iregular dengan distribusi ukuran yang bervariatif serta serbuk telah

dikompaksi terlebih dahulu. Pada proses kompaksi, serbuk dipadatkan,

mengurangi porositas yang besar, dan memperbesar kontak area antar partikel.

Sebagian besar ikatan antar partikel yang terbentuk saat sintering terjadi ketika

temperatur sintering mencapai temperatur maksimum, sedangkan model isotermal

yang diasumsikan pada kebanyakan model sintering jarang mencapai temperatur

maksimum. Pada tahapan akhir sintering, serbuk yang kompak dihasilkan dari

suatu kondisi yang dinamik dimana, gradien yang terjadi diakibatkan tegangan

termal (thermal stress) dan

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

7

interaksi serbuk kompak dengan atmosfer. Pada banyak kasus, gradien seperti ini

memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses sintering.

Gambar II.2. Skema model sintering monosized sphere[4]

Secara umum, mekanisme difusi yang terjadi meliputi difusi pada permukaan,

difusi sepanjang batas butir, atau melalui latis kristal (crystal lattice). Dengan kata

lain, difusi lebih cepat pada daerah yang susunan atomnya makin acak, sebab

memiliki tingkat energi yang tinggi. Difusi diaktifasi oleh panas. Artinya, difusi

membutuhkan energi dengan tingkat tertentu. Pergerakan tersebut bergantung

pada energi yang cukup untuk atom berpindah dari posisinya kepada suatu

kekosongan (vacant site). Hubungan antara populasi dari kekosongan dengan

jumlah atom yang memiliki cukup energi untuk berpindah kepada kekosongan

tersebut, dijelaskan oleh persamaan Arhenius[6] :

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

8

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛

RTQ

NoN exp

dimana :

N/No = Rasio antara situs-situs kekosongan atau atom yang telah aktif dengan

keseluruhan atom

Q = Energi aktivasi

R = Konstanta gas ideal

T = Temperatur absolut

II.3.1 Sintering Fasa Padat (Solid State Sintering)

Proses sintering fasa padat memiliki beberapa kandidat mekanisme transport

yang dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu: transport permukaan dan transport

ruah. Transport permukaan tidak menyebabkan densifikasi, sedangkan transport

ruah menyebabkan densifikasi. Beberapa kandidat mekanisme transport untuk

proses sintering fasa padat adalah: difusi permukaan, difusi volum, transport uap

dari permukaan padat, difusi batas butir, aliran viskos, dan aliran plastis. Tiga

mekanisme pertama termasuk dalam kelas transport permukaan.

Gambar II.3. Dua kandidat mekanisme transport massa pada

sintering fasa padat [4]

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

9

1. Difusi permukaan

Permukaan dari material kristalin tidaklah rata, tapi terdiri dari cacat-cacat

seperti ledges, kinks, dan adatoms. Gambar II.4 ini dapat menjelaskan cacat-

cacat pada permukaan material kristalin dengan lebih baik.

Gambar II.4. Skema dari permukaan bebas partikel [4]

Difusi permukaan terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pelepasan

sebuah atom dari tempat semulanya. Biasanya terjadi pada kink. Kedua adalah,

pergerakan acak atom yang lepas sebelumnya sepanjang permukaan material

kristalin. Tahapan terakhir adalah pengikatan kembali atom pada tempat yang

tersedia di permukaan material kristalin. Tempat yang tersedia biasanya adalah

kink. Difusi permukaan memiliki energi aktivasi yang lebih rendah dibanding

dengan mekanisme yang lain.

2. Difusi volum

Difusi volum disebut juga difusi latis (lattice diffusion), yaitu difusi yang

melibatkan pergerakan kekosongan (vacancies) melalui sebuah struktur

kristalin. Tiga faktor yang dominan terhadap kecepatan difusi ini adalah

temperatur, komposisi, dan tekanan. Ada tiga jalur yang diambil oleh

kekosongan pada difusi volum, yaitu :

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

10

Gambar II.5. Difusi volum [4]

1). Adhesi volum

Kekosongan bergerak dari permukaan neck area melalui interior partikel

menuju permukaan partikel. Hasilnya adalah deposisi massa pada

permukaan neck area. Pada adhesi volum tidak terjadi densifikasi atau

penyusutan.

2). Densifikasi difusi volum

Aliran kekosongan dari permukaan neck area menuju batas butir antar

partikel. Jalur ini menyebabkan densifikasi dan penyusutan.

3). Penghilangan kekosongan melalui proses dislocation climb.

3. Transport uap dari permukaan padat

Transport uap sepanjang permukaan porositas dan kemudian terjadi

perpindahan posisi atom akibat kondensasi dari uap tersebut pada permukaan

partikel. Peristiwa evaporasi-kondensasi ini tidak menyebabkan densifikasi.

4. Difusi batas butir

Batas butir adalah salah satu jenis cacat volum. Batas butir memiliki tingkat

energi yang tinggi. Tingkat energi ini mengakibatkan aliran massa dapat

terjadi dengan energi aktivasi yang besarnya berada diantara energi aktivasi

untuk difusi permukaan dan difusi volum. Pengaruh dari mekanisme ini

terhadap mekanisme difusi secara keseluruhan, tergantung pada ukuran butir

per unit volum.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

11

5. Aliran viskos

Aliran vikos terjadi akibat viskositas dari material yang meningkat akibat

mencapai temperatur yang tinggi. Aliran plastis berhubungan erat dengan

peristiwa dislocation glide.

II.3.2 Tahapan Proses Sintering Fasa Padat

Tahapan yang terjadi pada sintering fasa padat adalah sebagai berikut[4] :

1. Tahapan awal (Initial stage)

Terjadi pada tahap awal pemanasan, ditandai oleh pembentukan dan

pertumbuhan neck antar partikel yang cepat. Rasio leher terhadap partikel

atau neck size ratio biasanya dibawah 0,3 dan penyusutan yang terjadi kurang

dari 3 %. Luas permukaan serbuk masih sebesar 50 % dari luas permukaan

awal. Porositas masih berhubungan (interconnected).

2. Tahapan tengah (Intermediate stage)

Porositas menjadi halus dan memiliki karakteristik interconnected serta

berbentuk silinder. Densitas pada tahap ini adalah sekitar 70-90 % dari

densitas teoritis. Pertumbuhan butir terjadi di akhir tahap ini, sehingga butir

menjadi lebih besar dibandingkan dengan besar partikel awal.

3. Tahapan akhir (Final stage)

Pada tahap ini bentuk porositas menjadi bulat (spherical) dan tertutup

sehingga tidak efektif dalam mencegah pertumbuhan. Porositas yang berada

pada batas butir akan terseret oleh pergerakan batas butir sehingga

menyebabkan densifikasi, sedangkan porositas yang telah tertutup tidak

berkontribusi terhadap densifikasi. Total porositas kurang dari 8 % dan

pertumbuhan butir menjadi sangat cepat.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

12

Gambar II.6. Mekanisme pengecilan porositas pada setiap tahapan sintering[4].

II.4 Mekanisme Reduksi Permukaan Bebas Partikel

Ikatan antar partikel akan meningkatkan kekuatan dan menurunkan energi

sistem. Secara termodinamika, ikatan antar partikel akan menurunkan energi

permukaan dengan mereduksi permukaan bebas partikel. Ada dua mekanisme

dalam proses reduksi permukaan bebas partikel yaitu:

1. Reduksi permukaan bebas partikel dengan meningkatkan ukuran rata-rata

partikel akan memiliki kecenderungan untuk terjadi proses pengkasaran butir

(coarsening).

2. Reduksi permukaan bebas dengan mengurangi antarmuka padat/uap

(solid/vapor interface) dan menciptakan area batas butir (grain boundary

area) diikuti dengan dengan pertumbuhan butir akan memiliki kecenderungan

untuk terjadi proses densifikasi.

Pada proses sintering, kedua mekanisme diatas saling berkompetisi. Jika

proses skala atomik cenderung untuk terjadi proses densifikasi, maka porositas

akan mengecil dan serbuk yang kompak akan menyusut (shrinkage). Sedangkan

jika kecenderungan yang terjadi adalah proses pengkasaran, maka, baik porositas

maupun butir akan mengalami pertumbuhan dan bertambah besar seiring

meningkatnya waktu.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

13

Gambar II.7. Dua mekanisme proses reduksi permukaan bebas partikel

(a) Proses densifikasi; (b) Proses pengkasaran butir[3].

Proses pengkasaran tidak akan memberikan efek densifikasi disebabkan atom-

atom yang berdifusi ialah atom-atom yang berada dibagian permukaan partikel

saja sedangkan atom-atom yang berada ditengah-tengah tidak dapat bergerak

bersama dikarenakan beberapa mekanisme yang terjadi. Sebagai akibatnya,

mekanisme transport uap dari permukaan padat, difusi permukaan, dan difusi latis

dari permukaan ke neck area tidak dapat memberikan efek densifikasi.

Proses densifikasi terjadi ketika atom-atom yang berdifusi ialah atom-atom

yang berada di batas butir atau daerah diantara dua partikel serbuk dan yang

mengalami reduksi area ialah neck area atau porositas. Jadi satu-satunya

mekanisme perpindahan massa yang akan memberikan efek densifikasi ialah

difusi batas butir atau difusi ruah dari batas butir menuju neck area.

II.5 Sintering Fasa Padat Pencampuran Serbuk Berbeda

Pada proses sintering fasa padat pencampuran serbuk berbeda, terdapat dua

faktor yang mempengaruhi hasil dari sintering campuran serbuk, yaitu faktor fisik

dan faktor kimiawi. Faktor fisik terdiri dari ukuran partikel, bentuk partikel,

komposisi, homogenitas, dan green density. Sebagai contoh, campuran akan

memiliki packing density yang tinggi ketika terdapat gradasi ukuran partikel yang

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

14

besar pada green body. Sedangkan faktor kimiawi tergantung dari interaksi secara

kimiawi dari serbuk yang dicampur. Pencampuran serbuk dimana serbuk yang

satu lebih banyak dari serbuk yang lain, maka serbuk tersebut sebagai matriks

(base) dan serbuk dengan jumlah yang lebih sedikit disebut sebagai aditif

(additive)

Gambar II.8. Komposisi material yang mungkin terbentuk dalam proses

pencampuran serbuk yang berbeda tergantung dari kelarutan matriks (base) dan

aditif (additive)[4].

Pada gambar II.8 dapat dilihat empat kemungkinan yang terjadi pada proses

sintering fasa padat pencampuran serbuk berbeda, yaitu :

1. Homogenize, Pencampuran dari serbuk yang berbeda akan menghasilkan

komposisi kimia yang baru ketika matriks dan aditif (additive), masing-masing

memiliki kelarutan yang tinggi.

2. Enhanced, Pencampuran serbuk akan menghasilkan fasa kedua ketika matriks

memiliki kelarutan yang tinggi terhadap aditif.

3. Swelling, Pencampuran serbuk yang berbeda akan menghasilkan material

padat yang memiliki karakteristik porositas yang tinggi ketika aditif memiliki

kelarutan yang tinggi terhadap matriks.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

15

4. Composite, Pencampuran serbuk menghasilkan material yang tidak ada

interaksi antara matriks dan aditif dikarenakan tingkat kelarutan yang rendah baik

matriks terhadap aditif maupun sebaliknya.

II.6 Peningkatan Derajat Sintering (Enhanced Sintering)

Peningkatan derajat sintering merupakan metode dalam sintering yang

merubah kinetika ataupun driving force melalui mekanisme pengontrolan aliran

massa yang terjadi. Efek yang diharapkan dalam metode ini ialah untuk mereduksi

waktu dan temperatur sintering. Pada metode ini, pembahasan difokuskan pada

dua pokok bahasan, yaitu: Sintering fasa padat teraktivasi (activated solid-state

sintering) dan pengontrolan struktur mikro.

II.6.1 Sintering Fasa Padat Teraktivasi (Activated solid-state sintering)

Sintering fasa padat teraktivasi merupakan salah satu metode dalam proses

sintering untuk menurunkan energi aktivasi dengan cara mengontrol spesi-spesi

yang berdifusi. Metode ini mampu menurunkan temperatur sintering dan waktu

sintering serta mampu memperbaiki sifat mekanik material. Material dengan

temperatur leleh yang tinggi akan memiliki temperatur sintering yang tinggi. Jika

material ini mengalami proses sintering dengan cara dicampur fasa yang memiliki

temperatur sintering yang rendah, maka laju difusi bisa lebih cepat. Sintering fasa

padat teraktivasi terjadi ketika material dengan temperatur leleh yang tinggi larut

kedalam fasa yang memiliki temperatur yang rendah sehingga tercipta ”jalan

pintas” untuk terjadinya proses sintering.

Aktivator atau aditif (additive) harus memiliki ukuran partikel yang kecil dan

terdispersi secara merata agar proses sintering fasa padat teraktivasi terjadi

dengan homogen. Ada beberapa kriteria suatu material bisa menjadi aktivator,

yaitu:

1. Membentuk fasa dengan temperatur leleh yang rendah selama sintering.

2. Aktivator memiliki kelarutan yang tinggi bagi matriksnya (base) dan

aktivator memiliki kelarutan yang rendah terhadap matriksnya.

Kinetika yang terjadi pada proses sintering fasa padat teraktivasi bergantung

dari laju difusi yang terjadi disaat melintasi aktivator. Peningkatan densifikasi

selama sintering akan meningkatkan sifat mekanik dari material. Peningkatan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

16

densifikasi juga diikuti dengan susut (shrinkage) pada material. Susut ∆L/Lo yang

terjadi dirumuskan sebagai berikut:

dimana Ω adalah volum atom, δ adalah lebar dari fasa kedua dari aktivator, g

adalah faktor geometri, C adalah kelarutan matriks (base) terhadap aktivator, γSV

energi solid-vapor, DA adalah difusitas base ke aktivator, D adalah ukuran

partikel, k adalah konstanta Boltzmann, dan T adalah temperatur absolut.

II.6.2 Pengontrolan Struktur Mikro

Pengontrolan struktur mikro dilakukan dengan cara menambahkan aditif

(additive) yang mampu menahan pertumbuhan butir. Pertumbuhan butir (grain

growth) akan menurunkan sifat mekanik dari material. Oleh karena itu, proses

pengontrolan struktur mikro lebih ditekankan pada pengontrolan pertumbuhan

butir, sehingga sifat mekanik dapat meningkat.

II.7 Zirconia-Toughened Alumina (ZTA)

Zirconia-Toughened Alumina merupakan material komposit dimana alumina

sebagai matriks diperkuat (reinforced) oleh partikel zirkonia berukuran kecil

(particulate). Penambahan zirconia pada alumina mampu meningkatkan fracture

toughness dari alumina. ZTA memiliki komposisi zirkonia 10-20% vol[5].

Mekanisme peningkatan fracture toughness oleh partikel zirkonia berukuran

kecil yang terdispersi dalam matriks alumina disebut dengan istilah

transformation toughening. Pada temperatur diatas 1170°C-2370°C, zirkonia

memiliki fasa stabil tetragonal. Pada tempertaur kamar, fasa yang stabil ialah

monoclinic. Perubahan fasa dari tetragonal ke monoclinic diikuti peningkatan

volum sebesar 3 %. Peningkatan volum sebesar 3 % ini akan menyebabkan

microcrack pada matriks alumina. Untuk menghindari microcrack, maka zirkonia

ditambah 8 mol% (2.77 wt%) MgO atau 8 mol% (3.81 wt%) CaO atau 3-4 mol%

(5.4-7.1 wt%) Y2O3 untuk menstabilkan fasa tetragonal pada temperatur kamar

sehingga perubahan volum yang terjadi dapat dihindari. Fasa tetragonal yang

terbentuk disebut fasa metastabil.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

17

Mekanisme peningkatan fracture toughness dari matriks alumina terjadi ketika

retakan menjalar, energi tertinggi dari retakan berada didepan retakan (crack tip).

Energi ini cukup untuk mengubah fasa metastabil tetragonal bertransformasi

menjadi fasa monoclinic. Perubahan fasa yang terjadi diikuti oleh peningkatan

volum sebesar 3 %. Peningkatan volum yang terjadi mengakibatkan tegangan

tekan disekitar retakan. Tegangan tekan inilah yang mengakibatkan retakan dapat

dihentikan atau artinya, fracture toughness dari material mengalami peningkatan.

Perubahan fasa ini disebut athermal transformation, dimana perubahan fasa yang

terjadi tidak bergantung temperatur dan waktu. Skema dari mekanisme penguatan

oleh fasa metastabil tetragonal dapat dilihat pada gambar II.9.

Gambar II.9. Mekanisme penguatan pada matriks alumina oleh

fasa metastabil tetragonal[3].

Efek tegangan tekan yang terjadi ialah mereduksi intensitas tegangan (stress

intensity) pada crack tip, Ktip dengan direduksi oleh shielding factor, Ks. Berikut

kondisi persamaan yang terjadi.

Ktip = Ka - Ks (2.1)

kemudian shielding factor dapat didefinisikan oleh persamaan berikut.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Composite Structural Armor (CSA) ... Pada teori sintering juga digunakan asumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

18

Ks = A’YVf εT w1/2 (2.2)

dimana, Vf adalah fraksi volum fasa yang bertransformasi, w adalah area fasa

bertransformasi (gambar 2.7), A’ adalah faktor dimensi dari crack tip, εT regangan

akibat transformasi fasa.

Retakan akan terjadi ketika Ktip = KIC dari matriks tanpa shielding factor, Ks.

Kehadiran shielding factor, Ks sesuai persamaan 2.1 mampu mengurangi

intensitas tegangangan (stress intensity) dari Ktip.