BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.itb.ac.id · BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Composite Structural Armor (CSA)
Composite structural armor (CSA) yaitu material multi-fungsional yang
memiliki performansi balistik (ballistic performance), kekakuan, dan kekuatan
tinggi dengan berat yang minimum[12]. Material CSA terdiri dari multi lapisan
(multilayered) yang terdiri dari komposit polimer, karet, dan keramik struktural
yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki performansi yang optimum.
Secara garis besar, material-material yang disusun untuk membentuk CSA
terdiri dari material muka (facing) dan material backing. Material muka memiliki
fungsi sebagai penyerap energi kinetik peluru untuk pertama kalinya peluru
mengenai sistem proteksi, sedangkan material backing memiliki fungsi sebagai
peredam energi kinetik peluru yang tersisa yang memberikan efek trauma bagi
pengguna[1]. Berikut gambar II.1 contoh dari konstruksi CSA.
Gambar II.1. Contoh konstruksi dari composite structural armor (CSA)[12].
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
5
II.2 Karakterisitik Keramik Struktural untuk Armor Facing
Kemampuan balistik suatu keramik struktural tergantung dari sifat mekanik
dan fisiknya[1], diantaranya yaitu: Massa jenis dan porositas, kekerasan, fracture
toughness, modulus elastisitas, sonic velocity, dan kekuatan lentur. Masing-
masing sifat tidak memiliki hubungan langsung dengan kemampuan balistik dari
suatu keramik, dikarenakan mekanisme retakan yang terjadi akibat beban balistik
peluru menghantam keramik dipengaruhi oleh variasi tegangan yang rumit dan
terjadi dalam waktu yang singkat. Mekanisme penjalaran retakan pada keramik
akibat beban balistik yang terjadi dipengaruhi dari morfologi struktur mikro
keramik.
Keramik struktural yang sesuai untuk digunakan sebagai armor facing harus
memiliki persyaratan sifat mekanik dan fisik sebagai berikut[1] :
1. Memiliki kekerasan, HV10 diatas 1220-1250 Kg/mm2. Hal ini didasarkan
dari standar NATO untuk peluru dengan kaliber 7,62 mm dengan inti
proyektil baja memiliki kekerasan, HV10 1150 Kg/mm2. Sedangkan untuk
peluru dengan kaliber 14,5 mm inti proyektil tungsten carbide, memiliki
kekerasan, HV10 1150 Kg/mm2.
2. Perbandingan yang seimbang antara kekerasan dan fracture toughness.
Hal ini didasarkan pada material yang memiliki kekerasan tinggi akan
memiliki fracture toughness yang rendah dan begitu juga sebaliknya. Oleh
karena itu, perbandingan yang seimbang antara kekerasan dan fracture
toughness harus dibahas secara komprehensif dengan hasil pengujian balistik
(uji tembak).
3. Memiliki nilai sonic velocity yang tinggi. Disyaratkan, sonic velocity dari
keramik struktural alumina yang digunakan sebagai armor facing diatas
10.000m/detik. Sonic velocity merupakan besaran yang menunjukkan
kemampuan dari keramik struktural untuk mendisipasi energi. Morfologi
struktur mikro berupa proses densifikasi dan pengurangan closed porosity
akan mempengaruhi besar dari sonic velocity.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
6
4. Modulus elastisitas yang disyaratkan untuk keramik struktural alumina
yang digunakan sebagai armor facing harus memiliki nilai diatas 325 GPa
(biasanya 350-450 GPa tergantung persentase alumina).
5. Kekuatan lentur dari keramik harus memiliki nilai yang tinggi. Hal ini
didasarkan rumitnya kondisi tegangan yang terjadi ketika mekanisme retakan
terjadi. Untuk keramik struktural alumina, kekuatan bending harus diatas 250
MPa.
II.3 Sintering
Sintering adalah proses perlakuan termal untuk menghasilkan ikatan antar
partikel sehingga koheren dimana struktur padat yang terbentuk didominasi oleh
mekanisme perpindahan massa yang terjadi pada skala atomik[1]. Transport massa
berupa gerakan atomik yang menghilangkan energi permukaan serbuk. Energi
permukaan serbuk berbanding lurus dengan luas permukaanya. Karenanya
partikel halus, dengan luas spesifik (specific area) yang tinggi, memiliki energi
permukaan yang lebih tinggi dan sintering terjadi lebih cepat. Batas butir
memiliki tingkat mobilitas atom yang tinggi karena memiliki tingkat energi yang
tinggi.
Model sintering yang dipelajari saat ini memiliki asumsi dimana kondisi awal
sebelum sintering serbuk yang digunakan berbentuk bulat dan berukuran sama
(monosize sphere). Pada teori sintering juga digunakan asumsi isotermal. Namun
pada kenyataannya, proses sintering dimulai dengan kondisi awal serbuk
berbentuk iregular dengan distribusi ukuran yang bervariatif serta serbuk telah
dikompaksi terlebih dahulu. Pada proses kompaksi, serbuk dipadatkan,
mengurangi porositas yang besar, dan memperbesar kontak area antar partikel.
Sebagian besar ikatan antar partikel yang terbentuk saat sintering terjadi ketika
temperatur sintering mencapai temperatur maksimum, sedangkan model isotermal
yang diasumsikan pada kebanyakan model sintering jarang mencapai temperatur
maksimum. Pada tahapan akhir sintering, serbuk yang kompak dihasilkan dari
suatu kondisi yang dinamik dimana, gradien yang terjadi diakibatkan tegangan
termal (thermal stress) dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
7
interaksi serbuk kompak dengan atmosfer. Pada banyak kasus, gradien seperti ini
memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses sintering.
Gambar II.2. Skema model sintering monosized sphere[4]
Secara umum, mekanisme difusi yang terjadi meliputi difusi pada permukaan,
difusi sepanjang batas butir, atau melalui latis kristal (crystal lattice). Dengan kata
lain, difusi lebih cepat pada daerah yang susunan atomnya makin acak, sebab
memiliki tingkat energi yang tinggi. Difusi diaktifasi oleh panas. Artinya, difusi
membutuhkan energi dengan tingkat tertentu. Pergerakan tersebut bergantung
pada energi yang cukup untuk atom berpindah dari posisinya kepada suatu
kekosongan (vacant site). Hubungan antara populasi dari kekosongan dengan
jumlah atom yang memiliki cukup energi untuk berpindah kepada kekosongan
tersebut, dijelaskan oleh persamaan Arhenius[6] :
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
8
⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −=⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
RTQ
NoN exp
dimana :
N/No = Rasio antara situs-situs kekosongan atau atom yang telah aktif dengan
keseluruhan atom
Q = Energi aktivasi
R = Konstanta gas ideal
T = Temperatur absolut
II.3.1 Sintering Fasa Padat (Solid State Sintering)
Proses sintering fasa padat memiliki beberapa kandidat mekanisme transport
yang dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu: transport permukaan dan transport
ruah. Transport permukaan tidak menyebabkan densifikasi, sedangkan transport
ruah menyebabkan densifikasi. Beberapa kandidat mekanisme transport untuk
proses sintering fasa padat adalah: difusi permukaan, difusi volum, transport uap
dari permukaan padat, difusi batas butir, aliran viskos, dan aliran plastis. Tiga
mekanisme pertama termasuk dalam kelas transport permukaan.
Gambar II.3. Dua kandidat mekanisme transport massa pada
sintering fasa padat [4]
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
9
1. Difusi permukaan
Permukaan dari material kristalin tidaklah rata, tapi terdiri dari cacat-cacat
seperti ledges, kinks, dan adatoms. Gambar II.4 ini dapat menjelaskan cacat-
cacat pada permukaan material kristalin dengan lebih baik.
Gambar II.4. Skema dari permukaan bebas partikel [4]
Difusi permukaan terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pelepasan
sebuah atom dari tempat semulanya. Biasanya terjadi pada kink. Kedua adalah,
pergerakan acak atom yang lepas sebelumnya sepanjang permukaan material
kristalin. Tahapan terakhir adalah pengikatan kembali atom pada tempat yang
tersedia di permukaan material kristalin. Tempat yang tersedia biasanya adalah
kink. Difusi permukaan memiliki energi aktivasi yang lebih rendah dibanding
dengan mekanisme yang lain.
2. Difusi volum
Difusi volum disebut juga difusi latis (lattice diffusion), yaitu difusi yang
melibatkan pergerakan kekosongan (vacancies) melalui sebuah struktur
kristalin. Tiga faktor yang dominan terhadap kecepatan difusi ini adalah
temperatur, komposisi, dan tekanan. Ada tiga jalur yang diambil oleh
kekosongan pada difusi volum, yaitu :
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
10
Gambar II.5. Difusi volum [4]
1). Adhesi volum
Kekosongan bergerak dari permukaan neck area melalui interior partikel
menuju permukaan partikel. Hasilnya adalah deposisi massa pada
permukaan neck area. Pada adhesi volum tidak terjadi densifikasi atau
penyusutan.
2). Densifikasi difusi volum
Aliran kekosongan dari permukaan neck area menuju batas butir antar
partikel. Jalur ini menyebabkan densifikasi dan penyusutan.
3). Penghilangan kekosongan melalui proses dislocation climb.
3. Transport uap dari permukaan padat
Transport uap sepanjang permukaan porositas dan kemudian terjadi
perpindahan posisi atom akibat kondensasi dari uap tersebut pada permukaan
partikel. Peristiwa evaporasi-kondensasi ini tidak menyebabkan densifikasi.
4. Difusi batas butir
Batas butir adalah salah satu jenis cacat volum. Batas butir memiliki tingkat
energi yang tinggi. Tingkat energi ini mengakibatkan aliran massa dapat
terjadi dengan energi aktivasi yang besarnya berada diantara energi aktivasi
untuk difusi permukaan dan difusi volum. Pengaruh dari mekanisme ini
terhadap mekanisme difusi secara keseluruhan, tergantung pada ukuran butir
per unit volum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
11
5. Aliran viskos
Aliran vikos terjadi akibat viskositas dari material yang meningkat akibat
mencapai temperatur yang tinggi. Aliran plastis berhubungan erat dengan
peristiwa dislocation glide.
II.3.2 Tahapan Proses Sintering Fasa Padat
Tahapan yang terjadi pada sintering fasa padat adalah sebagai berikut[4] :
1. Tahapan awal (Initial stage)
Terjadi pada tahap awal pemanasan, ditandai oleh pembentukan dan
pertumbuhan neck antar partikel yang cepat. Rasio leher terhadap partikel
atau neck size ratio biasanya dibawah 0,3 dan penyusutan yang terjadi kurang
dari 3 %. Luas permukaan serbuk masih sebesar 50 % dari luas permukaan
awal. Porositas masih berhubungan (interconnected).
2. Tahapan tengah (Intermediate stage)
Porositas menjadi halus dan memiliki karakteristik interconnected serta
berbentuk silinder. Densitas pada tahap ini adalah sekitar 70-90 % dari
densitas teoritis. Pertumbuhan butir terjadi di akhir tahap ini, sehingga butir
menjadi lebih besar dibandingkan dengan besar partikel awal.
3. Tahapan akhir (Final stage)
Pada tahap ini bentuk porositas menjadi bulat (spherical) dan tertutup
sehingga tidak efektif dalam mencegah pertumbuhan. Porositas yang berada
pada batas butir akan terseret oleh pergerakan batas butir sehingga
menyebabkan densifikasi, sedangkan porositas yang telah tertutup tidak
berkontribusi terhadap densifikasi. Total porositas kurang dari 8 % dan
pertumbuhan butir menjadi sangat cepat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
12
Gambar II.6. Mekanisme pengecilan porositas pada setiap tahapan sintering[4].
II.4 Mekanisme Reduksi Permukaan Bebas Partikel
Ikatan antar partikel akan meningkatkan kekuatan dan menurunkan energi
sistem. Secara termodinamika, ikatan antar partikel akan menurunkan energi
permukaan dengan mereduksi permukaan bebas partikel. Ada dua mekanisme
dalam proses reduksi permukaan bebas partikel yaitu:
1. Reduksi permukaan bebas partikel dengan meningkatkan ukuran rata-rata
partikel akan memiliki kecenderungan untuk terjadi proses pengkasaran butir
(coarsening).
2. Reduksi permukaan bebas dengan mengurangi antarmuka padat/uap
(solid/vapor interface) dan menciptakan area batas butir (grain boundary
area) diikuti dengan dengan pertumbuhan butir akan memiliki kecenderungan
untuk terjadi proses densifikasi.
Pada proses sintering, kedua mekanisme diatas saling berkompetisi. Jika
proses skala atomik cenderung untuk terjadi proses densifikasi, maka porositas
akan mengecil dan serbuk yang kompak akan menyusut (shrinkage). Sedangkan
jika kecenderungan yang terjadi adalah proses pengkasaran, maka, baik porositas
maupun butir akan mengalami pertumbuhan dan bertambah besar seiring
meningkatnya waktu.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
13
Gambar II.7. Dua mekanisme proses reduksi permukaan bebas partikel
(a) Proses densifikasi; (b) Proses pengkasaran butir[3].
Proses pengkasaran tidak akan memberikan efek densifikasi disebabkan atom-
atom yang berdifusi ialah atom-atom yang berada dibagian permukaan partikel
saja sedangkan atom-atom yang berada ditengah-tengah tidak dapat bergerak
bersama dikarenakan beberapa mekanisme yang terjadi. Sebagai akibatnya,
mekanisme transport uap dari permukaan padat, difusi permukaan, dan difusi latis
dari permukaan ke neck area tidak dapat memberikan efek densifikasi.
Proses densifikasi terjadi ketika atom-atom yang berdifusi ialah atom-atom
yang berada di batas butir atau daerah diantara dua partikel serbuk dan yang
mengalami reduksi area ialah neck area atau porositas. Jadi satu-satunya
mekanisme perpindahan massa yang akan memberikan efek densifikasi ialah
difusi batas butir atau difusi ruah dari batas butir menuju neck area.
II.5 Sintering Fasa Padat Pencampuran Serbuk Berbeda
Pada proses sintering fasa padat pencampuran serbuk berbeda, terdapat dua
faktor yang mempengaruhi hasil dari sintering campuran serbuk, yaitu faktor fisik
dan faktor kimiawi. Faktor fisik terdiri dari ukuran partikel, bentuk partikel,
komposisi, homogenitas, dan green density. Sebagai contoh, campuran akan
memiliki packing density yang tinggi ketika terdapat gradasi ukuran partikel yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
14
besar pada green body. Sedangkan faktor kimiawi tergantung dari interaksi secara
kimiawi dari serbuk yang dicampur. Pencampuran serbuk dimana serbuk yang
satu lebih banyak dari serbuk yang lain, maka serbuk tersebut sebagai matriks
(base) dan serbuk dengan jumlah yang lebih sedikit disebut sebagai aditif
(additive)
Gambar II.8. Komposisi material yang mungkin terbentuk dalam proses
pencampuran serbuk yang berbeda tergantung dari kelarutan matriks (base) dan
aditif (additive)[4].
Pada gambar II.8 dapat dilihat empat kemungkinan yang terjadi pada proses
sintering fasa padat pencampuran serbuk berbeda, yaitu :
1. Homogenize, Pencampuran dari serbuk yang berbeda akan menghasilkan
komposisi kimia yang baru ketika matriks dan aditif (additive), masing-masing
memiliki kelarutan yang tinggi.
2. Enhanced, Pencampuran serbuk akan menghasilkan fasa kedua ketika matriks
memiliki kelarutan yang tinggi terhadap aditif.
3. Swelling, Pencampuran serbuk yang berbeda akan menghasilkan material
padat yang memiliki karakteristik porositas yang tinggi ketika aditif memiliki
kelarutan yang tinggi terhadap matriks.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
4. Composite, Pencampuran serbuk menghasilkan material yang tidak ada
interaksi antara matriks dan aditif dikarenakan tingkat kelarutan yang rendah baik
matriks terhadap aditif maupun sebaliknya.
II.6 Peningkatan Derajat Sintering (Enhanced Sintering)
Peningkatan derajat sintering merupakan metode dalam sintering yang
merubah kinetika ataupun driving force melalui mekanisme pengontrolan aliran
massa yang terjadi. Efek yang diharapkan dalam metode ini ialah untuk mereduksi
waktu dan temperatur sintering. Pada metode ini, pembahasan difokuskan pada
dua pokok bahasan, yaitu: Sintering fasa padat teraktivasi (activated solid-state
sintering) dan pengontrolan struktur mikro.
II.6.1 Sintering Fasa Padat Teraktivasi (Activated solid-state sintering)
Sintering fasa padat teraktivasi merupakan salah satu metode dalam proses
sintering untuk menurunkan energi aktivasi dengan cara mengontrol spesi-spesi
yang berdifusi. Metode ini mampu menurunkan temperatur sintering dan waktu
sintering serta mampu memperbaiki sifat mekanik material. Material dengan
temperatur leleh yang tinggi akan memiliki temperatur sintering yang tinggi. Jika
material ini mengalami proses sintering dengan cara dicampur fasa yang memiliki
temperatur sintering yang rendah, maka laju difusi bisa lebih cepat. Sintering fasa
padat teraktivasi terjadi ketika material dengan temperatur leleh yang tinggi larut
kedalam fasa yang memiliki temperatur yang rendah sehingga tercipta ”jalan
pintas” untuk terjadinya proses sintering.
Aktivator atau aditif (additive) harus memiliki ukuran partikel yang kecil dan
terdispersi secara merata agar proses sintering fasa padat teraktivasi terjadi
dengan homogen. Ada beberapa kriteria suatu material bisa menjadi aktivator,
yaitu:
1. Membentuk fasa dengan temperatur leleh yang rendah selama sintering.
2. Aktivator memiliki kelarutan yang tinggi bagi matriksnya (base) dan
aktivator memiliki kelarutan yang rendah terhadap matriksnya.
Kinetika yang terjadi pada proses sintering fasa padat teraktivasi bergantung
dari laju difusi yang terjadi disaat melintasi aktivator. Peningkatan densifikasi
selama sintering akan meningkatkan sifat mekanik dari material. Peningkatan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
16
densifikasi juga diikuti dengan susut (shrinkage) pada material. Susut ∆L/Lo yang
terjadi dirumuskan sebagai berikut:
dimana Ω adalah volum atom, δ adalah lebar dari fasa kedua dari aktivator, g
adalah faktor geometri, C adalah kelarutan matriks (base) terhadap aktivator, γSV
energi solid-vapor, DA adalah difusitas base ke aktivator, D adalah ukuran
partikel, k adalah konstanta Boltzmann, dan T adalah temperatur absolut.
II.6.2 Pengontrolan Struktur Mikro
Pengontrolan struktur mikro dilakukan dengan cara menambahkan aditif
(additive) yang mampu menahan pertumbuhan butir. Pertumbuhan butir (grain
growth) akan menurunkan sifat mekanik dari material. Oleh karena itu, proses
pengontrolan struktur mikro lebih ditekankan pada pengontrolan pertumbuhan
butir, sehingga sifat mekanik dapat meningkat.
II.7 Zirconia-Toughened Alumina (ZTA)
Zirconia-Toughened Alumina merupakan material komposit dimana alumina
sebagai matriks diperkuat (reinforced) oleh partikel zirkonia berukuran kecil
(particulate). Penambahan zirconia pada alumina mampu meningkatkan fracture
toughness dari alumina. ZTA memiliki komposisi zirkonia 10-20% vol[5].
Mekanisme peningkatan fracture toughness oleh partikel zirkonia berukuran
kecil yang terdispersi dalam matriks alumina disebut dengan istilah
transformation toughening. Pada temperatur diatas 1170°C-2370°C, zirkonia
memiliki fasa stabil tetragonal. Pada tempertaur kamar, fasa yang stabil ialah
monoclinic. Perubahan fasa dari tetragonal ke monoclinic diikuti peningkatan
volum sebesar 3 %. Peningkatan volum sebesar 3 % ini akan menyebabkan
microcrack pada matriks alumina. Untuk menghindari microcrack, maka zirkonia
ditambah 8 mol% (2.77 wt%) MgO atau 8 mol% (3.81 wt%) CaO atau 3-4 mol%
(5.4-7.1 wt%) Y2O3 untuk menstabilkan fasa tetragonal pada temperatur kamar
sehingga perubahan volum yang terjadi dapat dihindari. Fasa tetragonal yang
terbentuk disebut fasa metastabil.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
17
Mekanisme peningkatan fracture toughness dari matriks alumina terjadi ketika
retakan menjalar, energi tertinggi dari retakan berada didepan retakan (crack tip).
Energi ini cukup untuk mengubah fasa metastabil tetragonal bertransformasi
menjadi fasa monoclinic. Perubahan fasa yang terjadi diikuti oleh peningkatan
volum sebesar 3 %. Peningkatan volum yang terjadi mengakibatkan tegangan
tekan disekitar retakan. Tegangan tekan inilah yang mengakibatkan retakan dapat
dihentikan atau artinya, fracture toughness dari material mengalami peningkatan.
Perubahan fasa ini disebut athermal transformation, dimana perubahan fasa yang
terjadi tidak bergantung temperatur dan waktu. Skema dari mekanisme penguatan
oleh fasa metastabil tetragonal dapat dilihat pada gambar II.9.
Gambar II.9. Mekanisme penguatan pada matriks alumina oleh
fasa metastabil tetragonal[3].
Efek tegangan tekan yang terjadi ialah mereduksi intensitas tegangan (stress
intensity) pada crack tip, Ktip dengan direduksi oleh shielding factor, Ks. Berikut
kondisi persamaan yang terjadi.
Ktip = Ka - Ks (2.1)
kemudian shielding factor dapat didefinisikan oleh persamaan berikut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
18
Ks = A’YVf εT w1/2 (2.2)
dimana, Vf adalah fraksi volum fasa yang bertransformasi, w adalah area fasa
bertransformasi (gambar 2.7), A’ adalah faktor dimensi dari crack tip, εT regangan
akibat transformasi fasa.
Retakan akan terjadi ketika Ktip = KIC dari matriks tanpa shielding factor, Ks.
Kehadiran shielding factor, Ks sesuai persamaan 2.1 mampu mengurangi
intensitas tegangangan (stress intensity) dari Ktip.