BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan...

24
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan PT.Suzuki Sejahtera Buana Trada BSD 1. Pengertian Work Engagement Engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), mendefinisikan work engagement sebagai sebuah kondisi di mana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga individu mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan seluruh pekerjaannya. Menurut Federman (2009), work engagement karyawan adalah derajat di mana seorang karyawan mampu berkomitman pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Menurut Kahn (dalam May, dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja. Brown (dalam Robbins, 2003) memberikan definisi work engagement yaitu di mana karyawan dapat dikatakan memiliki work engagement dalam pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi. Selain itu, Albrecht (2010) membedakan teori work

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Work Engagement pada karyawan PT.Suzuki Sejahtera Buana Trada

BSD

1. Pengertian Work Engagement

Engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan Sumber Daya

Manusia. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), mendefinisikan work

engagement sebagai sebuah kondisi di mana seseorang memiliki pikiran yang

positif sehingga individu mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik,

kognitif dan afektif dalam melakukan seluruh pekerjaannya. Menurut Federman

(2009), work engagement karyawan adalah derajat di mana seorang karyawan

mampu berkomitman pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut

ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Menurut

Kahn (dalam May, dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan

sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan

mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja.

Brown (dalam Robbins, 2003) memberikan definisi work engagement yaitu di

mana karyawan dapat dikatakan memiliki work engagement dalam pekerjaannya

apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis

dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain

untuk organisasi. Selain itu, Albrecht (2010) membedakan teori work

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

13

engagement dan employee engagement. Albercht (2010) menyatakan bahwa

employee engagement merupakan suatu keadaan motivasi yang tercermin dalam

kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan dan

kesuksesan organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan

kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli

dengan jenis kerja itu. Subjek pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja

pada PT. Suzuki Buana Trada BSD. Suzuki Indonesia adalah satu anak

perusahaan dari Suzuki Motor Corporation. Bisnis Suzuki Indonesia berfokus

pada Impor/ Ekspor/ Pabrik/ Penjualan motor dan Mobil Ardi (2016).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti memilih work engagement

sebagai variabel independent dalam penelitian ini. Selanjutnya, berdasarkan

beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa work engagement pada

karyawan PT. Suzuki Buana Trada BSD merupakan sebuah kondisi di mana

seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga individu mampu

mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan

seluruh pekerjaannya. Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi

biasanya ditandai dengan karakteristik vigor (tingginya energi yang dikeluarkan),

dedication (memiliki rasa bangga terhadap pekerjaan), dan absorption (karyawan

terlibat secara penuh dalam pekerjaan).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

14

2. Dimensi Work Engagement

Menurut Schaufeli, dkk. (2003) terdapat tiga dimensi work engagement yaitu

vigor, dedication, dan absorption. Berikut penjelasan lebih lanjut dari dimensi-

dimensi tersebut :

a. Vigor

Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya

dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan

kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau

kegagalan. Selain itu, karyawan juga menunjukkan ketekunannya saat

melakukan pekerjaannya. Salah satu dimensi yang berkaitan dengan work

engagement ialah Vigor. Vigor ditunjukkan dengan tingginya tingkat energi serta

ketahanan mental karyawan saat menjalankan tugas dan pekerjaannya dan

ketekunan dalam menghadapi kesulitan Bakker (2003). Hasil penelitian yang

dilakukan Santoso (2017) di mana karyawan yang memiliki tingkat energi yang

tinggi dan ketahanan mental saat bekerja, serta kemauan untuk berinvestasi usaha

dalam pekerjaan seseorang dan ketekunan karyawan yang terikat cenderung tetap

bertahan di perusahaan meskipun terdapat peluang untuk bekerja di perusahaan

lain. Selain itu, Karyawan yang memiliki tingkat Vigor yang tinggi akan

menunjukkan energi dan semangat yang tinggi, ketahanan secara mental,

persistensi dan tidak mudah lelah.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

15

b. Dedication

Dedication dikarakteristikkan lewat perasaan individu yang merasa sangat

terlibat dengan pekerjaannya, merasa antusias dan bangga ketika bekerja. Jika

dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Yudiani (2017) kebermaknaan yang

dirasakan karyawan ini senada dengan dimensi dedication dalam work

engagement. Ketika karyawan merasa bahwa pekerjaan memberikan makna

khusus bagi dirinya maka akan muncul adanya antusiasme, identifikasi yang kuat

dengan pekerjaan, bangga terhadap pekerjaannya, dan terinspirasi dan tertantang

oleh pekerjaanya yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh

terhadap kinerjanya.

c. Absorption

Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi yang penuh dan mendalam

dalam pekerjaan, ditandai dengan terasa cepatnya waktu berlalu. Terabsorpsi

penuh pada suatu pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan Lewiuci (2017)

menunjukkan bahwa semakin baik nilai Absorption yang dimiliki karyawan

maka akan semakin tinggi juga tingkat kinerja pada karyawan.

Menurut Macey, Schneider, Barbera dan Young (dalam Mujiasih, 2012), work

engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu:

a. Work engagement sebagai energi psikis

Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di dalam

pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Keterikatan

kerjamerupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

16

(immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption),

fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).

b. Work engagement sebagai energi tingkah laku

Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Keterikatan kerja

terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil tingkah

laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:

1) Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi

kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan

dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.

2) Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus

pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai

kesuksesan organisasi.

3) Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan

yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan

misi perusahaan.

4) Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau

situasi yang membingungkan.

Berdasarkan kedua dimensi di atas, dapat disimpulkan berpendapat bahwa

work engagement terdiri dari tiga dimensi, yaitu vigor, dedication, dan

absorption. Selain itu, work engagement terbagi menjadi dua dimensi, yaitu work

engagement sebagai energi psikis yang meliputi pekerjaan (immersion) dan

perjuangan dalam pekerjaan (striving). Dari kedua dimensi diatas, peneliti

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

17

memilih dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh schaufeli dan Bakker (2013)

Sebagai indikator penelitian yaitu vigor, dedication, dan absorption. Karena

berdasarkan data khusus yang didapatkan dari wawancara perilaku yang muncul

pada karyawan PT. Suzuki Buana Trada BSD menunjukkan dimensi-dimensi

yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Bakker (2013).

Alasan peneliti memilih dimensi tersebut, karena dimensi dari Schaufelli dan

Bakker (2003) ini dapat memudahkan proses penelitian. Pertimbangan pemilihan

aspek pada penelitian ini juga berdasarkan penelitian yang dilakukan Steven dan

Prihatsanti (2017), adanya aspek vigor, dedication, dan absorption, karyawan

akan berkontribusi untuk mengerjakan pekerjaannya dengan semangat, tekun,

dan penuh tantangan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work engagement

Menurut Schaufeli dan Bakker (2003) menyatakan bahwa work engagement

dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu :

a. Psychological capital

keadaan psikologis individu yang positif dari perkembangan yang dicirikan,

seperti Individu memiliki keyakinan untuk mengambil dan menempatkan upaya

yang diperlukan untuk berhasil dalam tugas yang menantang, membuat atribusi

positif tentang berhasil dimasa sekarang dan masa depan, tekun untuk mencapai

tujuan agar berhasil, dan memiliki ketahanan untk mencapai kesuksesan.

Hebert (2011) menjelaskan Semakin besar sumber daya pribadi individu,

semakin positif pula diri individu dan tujuan keharmonisan diri diharapkan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

18

muncul, individu dengan tujuan keharmonisan diri secara intrinsik termotivasi

untuk mengikuti tujuannya dan hasilnya memicu kinerja yang lebih tinggi dan

kepuasan, empat konstruk seperti hope, optimisme, self-efficacy, dan resiliensi

merupakan bagian dari kekuatan psikologis dan personal resources.

b. Job-Demands resources (JD-R)

Work engagement juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu

aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk

mencapai tujuan pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga, baik

secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan personal individu. Beberapa faktor JD-R

tersebut antara lain :

1. Lingkungan fisik dan organisasi

Kenyamanan dalam bekerja di perlukan di setiap organisasi.

Dengan lingkungan kerja yang nyaman dan bersahabat karyawan

akan mampu bekerja lebih lama karena lingkungan kerja yang

nyaman dan mendukung

2. Gaji, peluang untuk berkarir

Dengan adanya sistem yang baik pada suatu perusahaan atau

organisasi karyawan akan merasa dihargai dan apa yang

dikerjakannya sangat dipertimbangkan oleh atasan. Adanya sistem

gaji yang benar, sistem kenaikan jabatan yang adil akan membentuk

keterikatan dengan karyawan.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

19

3. Dukungan supervisior dan rekan kerja

Dukungan dari orang-orang di lingkungan kerja menjadi suatu

dorongan secara psikologis sehingga karyawan tidak hanya kuat

secara fisik tetapi juga secara mental.

4. Performance feedback

Penilaian terhadap prestasi kerja akan menjadi dorongan bagi

karyawan untuk bergerak maju sehingga akan membentuk sesuatu

keterikatan terhadap pekerjaannya dan perusahannya.

Saks, (2006) berpendapat bahwa terdapat lima faktor yang mendorong

keterikatan seorang karyawan, yaitu:

1. Job Characteristic (karakteristik pekerjaan), yaitu makna psikologis yang

dapat dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan yang

menantang, bervariasi, menggunakan keterampilan yang berbeda,

kebijaksanaan pribadi, serta memberi kesempatan untuk berkontribusi

penting dalam pekerjaannya. Khan (dalam Saks, 2006) berpendapat bahwa

karakteristik pekerjaan yang tinggi menyebabkan individu akan bekerja

secara maksimal dan bersungguh-sungguh sehingga karyawan akan terikat

terhadap pekerjaannya.

2. Reward and recognition (penghargaan dan pengakuan) menurut Maslach,

dkk (2001) kurangnya penghargaan dan pengakuan akan berdampak pada

kelelahan dan kejenuhan. Pengakuan dan penghargaan merupakan suatu hal

yang penting untuk membentuk suatu keterikatan. Ketika karyawan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

20

mendapat penghargaan dan pengakuan dari organisasinya, maka karyawan

akan merasa berkewajiban untuk menanggapi dengan tingkat keterlibatan

yang tinggi.

3. Perceived organizational and supervisor support (persepsi dukungan

organisasi dan dukungan atasan) yaitu organisasi dan atasan dapat

menghargai kerja keras dan kontribusi karyawan, serta organisasi dan atasan

ada disaat karyawan membutuhkan. Jika karyawan telah mendapatkan

dukungan dari organisasi dan atasan maka karyawan akan berkontribusi

secara penuh ketika bekerja sehingga dapat membantu organisasi dalam

mencapai tujuan (Rhoades, dkk 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Kahn

(dalam Saks, 2006) bahwa suatu anggota organisasi akan merasa aman dan

nyaman dengan lingkungan kerjanya menunjukkan keterbukaan serta berani

dalam mencoba hal-hal yang baru. Schaufeli dan Bakker (2002) menemukan

bahwa dukungan dari rekan kerja diprediksi dapat membentuk keterikatan

pada karyawan.

4. Distributive and procedural justice (Penyaluran keadilan dan distribusi)

Colquiit (dalam Saks, 2006) dalam penelitiannya tentang keadilan organisasi

bahwa persepsi keadilan berkaitan dengan hasil organisasi seperti kepuasan

kerja dan komitmen.Kurangnya keadilan dapat menyebabkan kelelahan

pada karyawan dan persepsi positif dari keadilan dapat meningkatkan

keterikatan pada karyawan (Maslach, dkk 2001). Keadilan distributif

berkaitan dengan persepsi seseorang tentang keadilan dari hasil keputusan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

21

Selain itu, keadilan prosedural mengacu pada keadilan yang dirasakan dari

sarana dan proses yang digunakan untuk menentukan jumlah dan distribusi

sumber daya manusia Colquit dan Rhoades (dalam, Saks 2006).

Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua

faktor yang mempengaruhi work engagement adalah psychological capital yang

terdiri dari (self efficacy, optimisme, hope, resiliensi ) dan job-demands resources

yang meliputi (aspek fisik seperti lingkungan fisik dan organisasi, gaji peluang

untuk berkarir, dukungan supervisior, dan performance feedback). work

engagement pada karyawan juga dipengaruhi beberapa hal yaitu, Job

characteristic, reward and recognition, perceived organizational and supervisor

support, dan distributive and procedural justice

Berdasarkan uraian beberapa faktor di atas peneliti memilih psychological

capital menjadi variabel X karena psychological capital merupakan bagian yang

penting yang mempengaruhi work engagement. Hal ini didukung oleh hasil

penelitian Nugroho, dkk (2015) menyatakan bahwa psychological capital

memiliki hubungan yang positif terhadap work engagement. Di mana bahwa

karyawan memiliki keadaan mental yang positif yang berhubungan dengan

kesejahteraan pekerjaan dan pemenuhan diri, yang memiliki karakteristik energi

tinggi dan kuat serta teridentifikasi dalam pekerjaan masing-masing.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

22

B. Psychological Capital

1. Pengertian Psychological capital

Luthans, dkk (2006). Psychological capital merupakan keadaan psikologis

individu yang positif dari perkembangan yang ditandai dengan (1) memiliki

keyakinan untuk mengambil dan menempatkan upaya yang di perlukan untuk

berhasil di dalam tugas yang menantang, (2) membuat atribusi positif tentang

keberhasilan dan tujuannya di masa sekarang dan di masa depan, (3) tekun dalam

ketika memiliki suatu tujuan, dan bila perlu, mengarahkan kembali ke tujuan agar

berhasil, dan (4) Ketika individu di hadapi oleh suatu permasalahan dan

kesulitan, individu dapat bertahan dalam menyikapi permasalahan nya dan

memiliki ketahanan untuk sukses.

Luthans (2002) menjelaskan bahwa psychological capital merupakan

pelengkap dalam hal personal pekerja dan organisai yang masih dapat

dikembangkan dan diarahkan. Lebih lanjut Luthans, Youssef dan Avolio (2007)

mendefinisikan psychological capital sebagai suatu keadaan mental seseorang

yang bersifat positif dan membangun. Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti

& Muchtar, 2014) membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang

telah ada sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan,

kemampuan, serta pengalaman) dan Social Capital (seperti mengenal diri sendiri,

hubungan dengan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital

menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keuntungan

kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans & Avolio

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

23

dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital (modal

manusia) berkaitan dengan “apa yang anda ketahui”, dan (modal sosial) berkaitan

dengan “siapa saja yang kamu kenal”, sedangkan psychological capital (modal

psikologis) berkaitan dengan “who you are” dan “what you can become”

(Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans & Youssef dalam

Nurfaizal, 2016).

Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological

capital merupakan merupakan keadaan psikologis individu yang positif dari

perkembangan yang ditandai dengan memiliki keyakinan untuk mengambil dan

menempatkan upaya yang di perlukan untuk berhasil di dalam tugas yang

menantang, memiliki atribusi positif tentang keberhasilan dan tujuannya di masa

sekarang dan di masa depan, tekun dalam ketika memiliki suatu tujuan, dan bila

perlu, mengarahkan kembali ke tujuan agar berhasil, serta memiliki ketahanan

ketika dihadapkan oleh suatu permasalahan.

2. Dimensi Psychological Capital

Menurut Luthans (2007) Psychological Capital terbagi menjadi empat

dimensi dimensi, self-efficacy, hope, optimisme, dan resiliensi.

a. Self-efficacy

Stajkovic, dkk dalam (Luthans, 2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai

keyakinan seorang karyawan tentang kemampuannya untuk memobilisasi

motivasi, kognitif sumber daya atau tindakan yang diperlukan untuk berhasil

melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

24

b. Hope

Snyder dalam (Luthans, 2007) mendefinisikan hope Keyakinan individu

sebagai keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang

saling mempengaruhi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan

pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan).

c. Optimisme

Menurut Seligmen dalam (Luthans,2007) mendefinisikan optimisme

sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai suatu

hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam

berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif sebagai

suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan hanya

terjadi pada situasi tertentu saja. Definisi lain mengenai optimisme adalah

sebuah gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang

positif dan terbuka pada perkembangan diri yang menetap Carver dalam

(Luthans, 2007).

d. Resiliensi

Luthans (2007) berpendapat resiliensi pada dunia kerja di definisikan

sebagai kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit kembali dari kesulitan,

ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan perubahan positif, kemajuan,

dan peningkatan tanggung jawab.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological capital

memiliki empat dimensi menurut yaitu pertama, self-efficacy yang mengacu pada

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

25

keyakinan seorang karyawan tentang kemampuannya untuk berhasil

melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan. Kedua, hope sebagai

motivasi positif untuk mencapai tujuan dan perencanaan.

Ketiga, optimisme cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai

suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi

dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif

sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri dan bersifat sementara.

Dan keempat, resiliensi sebagai kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit

kembali dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan

perubahan positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab.

Peneliti memilih psychological capital menjadi variabel independent dalam

penelitian ini. Salah satu faktor yang dapat membuat work engagement seorang

karyawan tinggi yaitu psychological capital, hal ini didasarkan oleh hasil

penelitian yang dilakukan oleh Hebert (2011) menjelaskan Semakin besar

sumber daya pribadi individu, semakin positif pula diri individu dan tujuan

keharmonisan diri diharapkan muncul, individu dengan tujuan keharmonisan diri

secara intrinsik termotivasi untuk mengikuti tujuannya dan hasilnya memicu

kinerja yang lebih tinggi, kepuasan serta perasaan terikat dengan pekerjaannya,

empat konstruk seperti hope, optimisme, self-efficacy, dan resiliensi merupakan

bagian dari kekuatan psikologis.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

26

C. Hubungan antara Psychological capital dengan Work Engagement

Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah

kondisi di mana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu

mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan

pekerjaan. Macey (2009) berpendapat bahwa karyawan yang memiliki work

engagement yang tinggi akan selalu memiliki pemikiran yang luas apabila

sewaktu-waktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Karyawan tidak akan

terpaku pada job description saja, akan tetapi karyawan fokus terhadap tujuannya

yang telah disesuaikan dengan tujuan perusahaan. Karyawan juga akan secara

aktif mengembangkan kemampuan yang disesuaikan dengan peran karyawan

dalam organisasi. Karyawan tidak hanya mengembangkan diri untuk

kepentingan sendiri, akan tetapi juga untuk kepentingan organisasi. Work

engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah

psychological capital. Hal ini diperkuat dan didasarkan pada hasil penelitian

yang dilakukan oleh Costantini, Paola, Ceschi, dkk (2017) yang menunjukkan

bahwa psychological capital berhubungan dengan work engagement yang pada

akhirnya menunjukkan bahwa peningkatan psychological capital konsisten

dengan tingkat work engagement. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, dkk.

(2015). menyatakan bahwa sumbangan efektif psychological capital terhadap

work engagement sebanyak 51,3%, hal tersebut menunjukkan bahwa karyawan

memiliki keadaan mental yang positif yang berhubungan dengan kesejahteraan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

27

pekerjaan dan pemenuhan diri, yang memiliki karakteristik energi tinggi dan kuat

serta teridentifikasi dalam pekerjaan masing-masing.

Menurut Luthans, dkk. (2006). psychological capital Lebih lanjut dijelaskan

psychological capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy, hope,

optimisme, dan resiliensi. Dimensi self-efficacy di definisikan sebagai keyakinan

seorang karyawan tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, kognitif

sumber daya atau tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas

tertentu dalam konteks yang diberikan (Stajkovic, dkk. dalam Luthans, 2007).

Menurut Bandura (1997) individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi maka

individu tersebut akan merasa yakin dengan kemampuannya untuk

menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Individu dengan self-efficacy yang tinggi

dapat memotivasi diri untuk menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawab

dengan menyalurkan seluruh energi dan kemampuan yang ada demi memenuhi

tuntutan pekerjaan seta memiliki perasaan terikat oleh pekerjaannya (Kasavic&

Loh, 2015). Self-efficacy berpengaruh terhadap ketahanan mental individu pada

saat menyelesaikan tugas pekerjannya, individu yang memiliki self-efficacy

cenderung gigih dan tekun ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,

individu tersebut akan berusaha dan berjuang untuk mencapai tujuan yang ingin

dicapai, ketika masalah-masalah muncul, perasaan self-efficacy yang kuat

mendorong para pekerja untuk tetap tenang dan mencari solusi dari pada

merenungkan ketidakmampuannya, usaha, dan kegigihan menghasilkan prestasi

(Ghufron & Risnawati, 2014). Selanjutnya, Ghufron dan Risnawati (2014)

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

28

Berpenpadat bahwa kegigihan individu pada saat bekerja menimbulkan rasa

antusias untuk menyelsaikan tugas dan tanggungjawab, baik pekerjaan yang sulit

maupun tugas pekerjaan yang mudah, individu yang memiliki kebanggan,

tantangan, dan penuh inspirasi dapat dengan mudah menyelesaikan segala tugas-

tugasnya yang sulit.

Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya mampu

menguasai tugas dan pekerjaan tertentu saja, individu akan mencoba tingkah laku

yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di

luar batas kemampuannya dan individu yang tidak memiliki keyakinan yang

kuat, maka cenderung mudah menyerah untuk berusaha mencapai tujuan yang

ditetapkan (Ghufron dan Risnawati, 2014). Bandura (1997) menjelaskan bahwa

individu dengan self-efficacy diri yang rendah cenderung memiliki kemampuan

interaksi yang kurang, serta memiliki keinginan untuk menghindari interaksi

interpersonal serta cenderung lebih ingin menyendiri. Selanjutnya, Luthans

(2011) menyatakan bahwa individu dengan self-efficacy yang rendah akan

berpikir tentang kegagalan dan menyebabkan munculnya pikiran terhadap hasil

yang negatif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Federici dan Skaalvik (2011)

menemukan bahwa rendahnya self-efficacy pada individu akan memberikan

dampak tersendiri bagi individu, dimana individu tersebut kurang bersemangat

dalam menjalani pekerjaannya, kurang memiliki dedikasi dengan pekerjaannya,

dan kurang mampu menghayati peran yang dilakukan saat bekerja (work

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

29

engagement), sehingga apabila self-efficacy pada individu menurun, maka work

engagement juga akan menurun.

Pada dimensi hope, Snyder (dalam Luthans, 2007). menjelaskan bahwa hope

sebagai proses dari pemikiran satu tujuan, dengan motivasi untuk mendapatkan

tujuan-tujuan tersebut (agency), dan cara-cara untuk meraih tujuan-tujuan

tersebut (pathways). Menurut Othman dan Nasurdin (2011) hope merupakan

suatu modal psikologis penting yang diperlukan karyawan untuk mengelola

peristiwa atau kondisi kerja yang penuh dengan tekanan dan stres. Dalam

penelitian yang dilakukan Othmand dan Nasurdin (2011) hope memiliki

hubungan dengan work engagement. Individu dengan hope yang tinggi dapat

tetap mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan di lingkungan

kerja, tetap menyumbangkan ide-ide kreatif, dan gigih dalam menghadapi

kesulitan di tempat kerja, dan berulang-ulang. Hope juga menjadi hal penting

bagi individu untuk membentuk suatu keterikatan kerja (Othman & Nasurdin,

2011). Dalam penelitian yang dilakukan Peterson dan Byron (2008) menemukan

bahwa karyawan yang memiliki nilai hope yang tinggi memiliki kinerja yang

lebih tinggi dan signifikan. Hasilnya menunjukkan karyawan yang lebih berharap

cenderung dapat mampu memecahkan masalah yang berhubungan dengan

pekerjaan dengan caranya sendiri atau lebih inovatif. Avey, dkk. (2008)

berpendapat bahwa individu dengan hope yang tinggi akan memberikan emosi

positif terhadap organisasinya, seperti perasaan terikat oleh pekerjaannya,

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

30

kepuasan kerja, perasaan bahagia, serta memiliki tujuan dan ide-ide kreatif untuk

dikembangkan.

Menurut Synder (dalam, Sembiring dan Fauzia 2012) Individu dengan hope

yang rendah dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu pathway thingking (kapasitas yang

dirasakan untuk menemukan jalan menuju tujuan-tujuan yang diinginkan) dan

agency thinking (motivasi yang diperlukan untuk menggunakan jalan atau jalan

itu. Individu dengan hope yang rendah kurang mampu mengembangkan banyak

usaha termasuk usaha alternatif ketika sedang menghadapi hambatan dan

permasalahan dalam bekerja, selain itu individu dengan hope yang rendah juga

tidak memiliki keyakinan terhadap dirinya untuk mengembangkan suatu cara

untuk meraih target yang diberikan sehingga individu kurang mampu untuk

terikat dalam pekerjaannya Sembiring dan Fauzia (2012). Selanjutnya, hasil

penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Byron (2008) karyawan yang kurang

memiliki hope kurang mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang

berkaitan dengan pekerjaannya.

Pada dimensi optimisme, Seligmen (dalam Luthans, 2007) mendefinisikan

optimisme sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai

suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi

dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif

sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan

hanya terjadi pada situasi tertentu saja. Dilihat dari sudut pandang emosi,

Goleman (2005) berpendapat bahwa optimisme merupakan suatu bentuk

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

31

pertahanan diri pada seseorang agar jangan sampai terjatuh ke dalam masa

kebodohan, putus asa, dan depresi bila mendapat kesulitan. Individu yang

memiliki optimisme akan mengharapkan hasil yang positif tanpa memperdulikan

kemampuan personal, tetapi cenderung untuk mempertahankan harapan positif

mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya secara personal sepanjang proses

perubahan. Menurut Carver dan Scheier (2002) individu yang memiliki

optimisme cenderung percaya diri dan gigih. Sejalan dengan pernyatan di atas

Seligmen (dalam Goleman, 2015) menyatakan bahwa ketika individu mengalami

suatu kegagalan, individu dengan optimisme yang tinggi cenderung menyikapi

kegagalan tersebut dengan respon yang aktif dan tidak putus harapan, individu

selalu merencanakan suatu tindakan baru, atau berusaha mencari pertolongan,

dan nasihat. Orang yang optimis juga menganggap kegagalan disebabkan oleh

sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil di masa-masa yang

akan datang.

Hasil penelitian yang dilakukan Putri, dkk. (2015) menunjukkan bahwa

optimisme berhubungan dengan work engagement. Di mana optimisme akan

membimbing karyawan kepada perasaan memiliki pekerjaannya dan perasaan

menuju keberhasilan sesuai tujuan organisasi sehingga dapat meningkatkan

produktivitas dan mendorong munculnya keterikatan karyawan (Harter, Schmidt,

& Hayes, 2000; Wellinsm, Bernthal, & Phelps, 2008). Perasaan memiliki

terhadap pekerjaan membuat karyawan lebih lekat dengan pekerjaannya,

sehingga di dalam menghadapi suatu permasalahan, karyawan akan memiliki

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

32

energi yang lebih banyak untuk berusaha. Hal tersebut dapat terjadi karena

karyawan yang memiliki optimisme tinggi akan cenderung membingkai

pikirannya dengan pola pikir positif, sehingga membuatnya terhindar dari stres

yang dapat mengganggu kesehatan mental (Khalatbari, 2012). Menurut

Robinson, dkk. (2004), kesehartan mental merupakan salah satu faktor yang

menjadi pendorong munculnya keterikatan karyawan, oleh karena itu karyawan

yang memiliki optimisme tinggi akan lebih terikat dengan perusahannya, baik

secara fisik, kognitif dan emosional.

Dimensi yang terakhir yaitu dimensi resiliensi. Dimensi ini membahas

kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit kembali dari kesulitan,

ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan perubahan positif, kemajuan, dan

peningkatan tanggung jawab Luthans (2007). Resiliensi digambarkan dengan

individu yang mampu beradaptasi dengan keadaan dan optimis untuk berhasil

dalam situasi tertentu. Selain itu, resiliensi juga dapat digambarkan dengan

individu yang mampu mengelola perasaan negatif yang berarti dalam tingkat

tertentu dapat mengontrol emosi dan mengetahui apa yang dibutuhkan diri kita

pada situasi tertentu dan yang terakhir, resiliensi dapat digambarkan dengan

seseorang yang mempunyai makna hidup serta tujuan hidup sehingga mau

berkontribusi pada lingkungan sekitarnya (Mcewen, 2011). Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Yuwono, dkk. (dalam Yuniar, 2011) menunjukkan bahwa

karyawan yang lebih resilien akan semakin mungkin menolong rekan kerjanya

tanpa mengharap imbalan, memberikan ide-ide yang bermanfaat bagi organisasi

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

33

menatuhi peraturan agar terhidar dari konflik dengan rekan karyawan lain dan

sadar akan semua tugas dan tanggung jawabnya tanpa tekanan atasan. Steven dan

Prihatsanti (2017) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki resiliensi yang

tinggi akan mampu bertahan untuk menyelesaikan pekerjaan meskipun pada

masa berat dengan ketekunan, semangat, dan konsentrasi. Selain itu, karyawan

akan dengan cepat beradaptasi dengan sistem baru dan antusias untuk

mempelajarinya sehingga tidak menghalangi pekerjaan untuk menyelesaikan

target yang diberikan ( Steven & Prihatsanti, 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jatmika dan Santoso (2017)

menunjukkan bahwa resiliensi memiliki hubungan dengan work engagement.

Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Uyun (2012) menunjukkan bahwa

individu yang kurang resilien akan mudah merasa putus asa apabila dihadapkan

oleh suatu permasalahan, Kondisi demikian akan berimbas pada individu, apakah

individu memiliki rasa percaya diri dalam mencari solusi terhadap masalah yang

dihadapi, dapat bertanggungjawab pada tugasnya atau tidak. Yuwono, dkk.

(dalam Yuniar,2011) mengatakan karyawan yang tidak mampu menghadapi

tantangan (tidak resilien) dan mengubah tantangan yang dihadapi menjadi

kesempatan untuk bangkit akan menunjukkan perilaku yang negatif. Di mana

perilaku yang timbul dapat berupa agresi, menyakiti rekan kerja, dan lebih

mementingkan tugas diri sendiri. Bakker (2003) mengatakan di mana salah satu

dimensinya ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat

bekerja, memiliki kemauan untuk berinvestasi usaha dalam pekerjaan seseorang

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

34

dan ketekunan bahkan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kesulitan.

Menurut Baumruck, dkk. (dalam Racmawati, 2010) karyawan yang terikat

cenderung tetap bertahan di perusahaan meskipun terdapat peluang untuk bekerja

di perusahaan lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vernold (2008)

menunjukkan bahwa individu dengan tingkat resiliensi yang rendah memiliki

kepuasan kerja yang rendah serta karyawan tersebut akan selalu memikirkan

berbagai macam cara agar bisa meninggkalkan pekerjaannya.

Kesimpulan dari penjabaran di atas yaitu menurut Luthans (2007)

Psychological Capital terbagi menjadi empat dimensi dimensi, self-efficacy,

hope, optimisme, dan reiliensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Nugroho, dkk. (2013), adanya hubungan positif antara

psychological capital dengan work engagement. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Nugroho, dkk. (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara

psychological capital dengan work engagement. Semakin tinggi psychological

capital maka semakin tinggi work engagement. Sebaliknya, semakin rendah

psychological capital maka semakin rendah work engagement.

D. Hipotesis

Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada

hubungan yang positif antara psychological capital dengan work engagement

pada karyawan PT. Suzuki Sejahtera Buana Trada BSD. Semakin tinggi

psychological capital yang dimiliki oleh karyawan, maka semakin tinggi work

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4921/3/BAB II.pdf · kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan

35

engagement yang dimiliki oleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah

psychological capital yang dimiliki oleh karyawan, maka semakin rendah work

engagement pada karyawan.