BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Work Engagement pada karyawan...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Work Engagement pada karyawan PT.Suzuki Sejahtera Buana Trada
BSD
1. Pengertian Work Engagement
Engagement merupakan isu terkini dalam pengelolaan Sumber Daya
Manusia. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), mendefinisikan work
engagement sebagai sebuah kondisi di mana seseorang memiliki pikiran yang
positif sehingga individu mampu mengekspresikan dirinya baik secara fisik,
kognitif dan afektif dalam melakukan seluruh pekerjaannya. Menurut Federman
(2009), work engagement karyawan adalah derajat di mana seorang karyawan
mampu berkomitman pada suatu organisasi dan hasil dari komitmen tersebut
ditentukan pada bagaimana mereka bekerja dan lama masa bekerja. Menurut
Kahn (dalam May, dkk, 2004) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan
sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan
mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja.
Brown (dalam Robbins, 2003) memberikan definisi work engagement yaitu di
mana karyawan dapat dikatakan memiliki work engagement dalam pekerjaannya
apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis
dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain
untuk organisasi. Selain itu, Albrecht (2010) membedakan teori work
13
engagement dan employee engagement. Albercht (2010) menyatakan bahwa
employee engagement merupakan suatu keadaan motivasi yang tercermin dalam
kemauan tulus untuk menginvestasikan kinerja yang terfokus pada tujuan dan
kesuksesan organisasi. Karyawan dengan work engagement yang tinggi dengan
kuat memihak pada jenis pekerjaan yang dilakukan dan benar-benar peduli
dengan jenis kerja itu. Subjek pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja
pada PT. Suzuki Buana Trada BSD. Suzuki Indonesia adalah satu anak
perusahaan dari Suzuki Motor Corporation. Bisnis Suzuki Indonesia berfokus
pada Impor/ Ekspor/ Pabrik/ Penjualan motor dan Mobil Ardi (2016).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti memilih work engagement
sebagai variabel independent dalam penelitian ini. Selanjutnya, berdasarkan
beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa work engagement pada
karyawan PT. Suzuki Buana Trada BSD merupakan sebuah kondisi di mana
seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga individu mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
seluruh pekerjaannya. Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi
biasanya ditandai dengan karakteristik vigor (tingginya energi yang dikeluarkan),
dedication (memiliki rasa bangga terhadap pekerjaan), dan absorption (karyawan
terlibat secara penuh dalam pekerjaan).
14
2. Dimensi Work Engagement
Menurut Schaufeli, dkk. (2003) terdapat tiga dimensi work engagement yaitu
vigor, dedication, dan absorption. Berikut penjelasan lebih lanjut dari dimensi-
dimensi tersebut :
a. Vigor
Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya
dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan
kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau
kegagalan. Selain itu, karyawan juga menunjukkan ketekunannya saat
melakukan pekerjaannya. Salah satu dimensi yang berkaitan dengan work
engagement ialah Vigor. Vigor ditunjukkan dengan tingginya tingkat energi serta
ketahanan mental karyawan saat menjalankan tugas dan pekerjaannya dan
ketekunan dalam menghadapi kesulitan Bakker (2003). Hasil penelitian yang
dilakukan Santoso (2017) di mana karyawan yang memiliki tingkat energi yang
tinggi dan ketahanan mental saat bekerja, serta kemauan untuk berinvestasi usaha
dalam pekerjaan seseorang dan ketekunan karyawan yang terikat cenderung tetap
bertahan di perusahaan meskipun terdapat peluang untuk bekerja di perusahaan
lain. Selain itu, Karyawan yang memiliki tingkat Vigor yang tinggi akan
menunjukkan energi dan semangat yang tinggi, ketahanan secara mental,
persistensi dan tidak mudah lelah.
15
b. Dedication
Dedication dikarakteristikkan lewat perasaan individu yang merasa sangat
terlibat dengan pekerjaannya, merasa antusias dan bangga ketika bekerja. Jika
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Yudiani (2017) kebermaknaan yang
dirasakan karyawan ini senada dengan dimensi dedication dalam work
engagement. Ketika karyawan merasa bahwa pekerjaan memberikan makna
khusus bagi dirinya maka akan muncul adanya antusiasme, identifikasi yang kuat
dengan pekerjaan, bangga terhadap pekerjaannya, dan terinspirasi dan tertantang
oleh pekerjaanya yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kinerjanya.
c. Absorption
Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi yang penuh dan mendalam
dalam pekerjaan, ditandai dengan terasa cepatnya waktu berlalu. Terabsorpsi
penuh pada suatu pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan Lewiuci (2017)
menunjukkan bahwa semakin baik nilai Absorption yang dimiliki karyawan
maka akan semakin tinggi juga tingkat kinerja pada karyawan.
Menurut Macey, Schneider, Barbera dan Young (dalam Mujiasih, 2012), work
engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu:
a. Work engagement sebagai energi psikis
Dimana karyawan merasakan pengalaman puncak dengan berada di dalam
pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan tersebut. Keterikatan
kerjamerupakan tendangan fisik dari perendaman diri dalam pekerjaan
16
(immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan (absorption),
fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
b. Work engagement sebagai energi tingkah laku
Bagaimana work engagement terlihat oleh orang lain. Keterikatan kerja
terlihat oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil tingkah
laku yang terlihat dalam pekerjaan berupa:
1) Karyawan akan berfikir dan bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi
kesempatan untuk mengambil tindakan dan akan mengambil tindakan
dengan cara yang sesuai dengan tujuan organisasi.
2) Karyawan yang engaged tidak terikat pada “job description”, mereka fokus
pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai
kesuksesan organisasi.
3) Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas kemampuan
yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan yang penting bagi visi dan
misi perusahaan.
4) Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau
situasi yang membingungkan.
Berdasarkan kedua dimensi di atas, dapat disimpulkan berpendapat bahwa
work engagement terdiri dari tiga dimensi, yaitu vigor, dedication, dan
absorption. Selain itu, work engagement terbagi menjadi dua dimensi, yaitu work
engagement sebagai energi psikis yang meliputi pekerjaan (immersion) dan
perjuangan dalam pekerjaan (striving). Dari kedua dimensi diatas, peneliti
17
memilih dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh schaufeli dan Bakker (2013)
Sebagai indikator penelitian yaitu vigor, dedication, dan absorption. Karena
berdasarkan data khusus yang didapatkan dari wawancara perilaku yang muncul
pada karyawan PT. Suzuki Buana Trada BSD menunjukkan dimensi-dimensi
yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Bakker (2013).
Alasan peneliti memilih dimensi tersebut, karena dimensi dari Schaufelli dan
Bakker (2003) ini dapat memudahkan proses penelitian. Pertimbangan pemilihan
aspek pada penelitian ini juga berdasarkan penelitian yang dilakukan Steven dan
Prihatsanti (2017), adanya aspek vigor, dedication, dan absorption, karyawan
akan berkontribusi untuk mengerjakan pekerjaannya dengan semangat, tekun,
dan penuh tantangan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Work engagement
Menurut Schaufeli dan Bakker (2003) menyatakan bahwa work engagement
dipengaruhi oleh dua faktor penting, yaitu :
a. Psychological capital
keadaan psikologis individu yang positif dari perkembangan yang dicirikan,
seperti Individu memiliki keyakinan untuk mengambil dan menempatkan upaya
yang diperlukan untuk berhasil dalam tugas yang menantang, membuat atribusi
positif tentang berhasil dimasa sekarang dan masa depan, tekun untuk mencapai
tujuan agar berhasil, dan memiliki ketahanan untk mencapai kesuksesan.
Hebert (2011) menjelaskan Semakin besar sumber daya pribadi individu,
semakin positif pula diri individu dan tujuan keharmonisan diri diharapkan
18
muncul, individu dengan tujuan keharmonisan diri secara intrinsik termotivasi
untuk mengikuti tujuannya dan hasilnya memicu kinerja yang lebih tinggi dan
kepuasan, empat konstruk seperti hope, optimisme, self-efficacy, dan resiliensi
merupakan bagian dari kekuatan psikologis dan personal resources.
b. Job-Demands resources (JD-R)
Work engagement juga dapat dipengaruhi oleh sumber daya pekerjaan, yaitu
aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai media untuk
mencapai tujuan pekerjaan, mengurangi tuntutan pekerjaan dan harga, baik
secara fisiologis maupun psikologis yang harus dikeluarkan, serta menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan personal individu. Beberapa faktor JD-R
tersebut antara lain :
1. Lingkungan fisik dan organisasi
Kenyamanan dalam bekerja di perlukan di setiap organisasi.
Dengan lingkungan kerja yang nyaman dan bersahabat karyawan
akan mampu bekerja lebih lama karena lingkungan kerja yang
nyaman dan mendukung
2. Gaji, peluang untuk berkarir
Dengan adanya sistem yang baik pada suatu perusahaan atau
organisasi karyawan akan merasa dihargai dan apa yang
dikerjakannya sangat dipertimbangkan oleh atasan. Adanya sistem
gaji yang benar, sistem kenaikan jabatan yang adil akan membentuk
keterikatan dengan karyawan.
19
3. Dukungan supervisior dan rekan kerja
Dukungan dari orang-orang di lingkungan kerja menjadi suatu
dorongan secara psikologis sehingga karyawan tidak hanya kuat
secara fisik tetapi juga secara mental.
4. Performance feedback
Penilaian terhadap prestasi kerja akan menjadi dorongan bagi
karyawan untuk bergerak maju sehingga akan membentuk sesuatu
keterikatan terhadap pekerjaannya dan perusahannya.
Saks, (2006) berpendapat bahwa terdapat lima faktor yang mendorong
keterikatan seorang karyawan, yaitu:
1. Job Characteristic (karakteristik pekerjaan), yaitu makna psikologis yang
dapat dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan yang
menantang, bervariasi, menggunakan keterampilan yang berbeda,
kebijaksanaan pribadi, serta memberi kesempatan untuk berkontribusi
penting dalam pekerjaannya. Khan (dalam Saks, 2006) berpendapat bahwa
karakteristik pekerjaan yang tinggi menyebabkan individu akan bekerja
secara maksimal dan bersungguh-sungguh sehingga karyawan akan terikat
terhadap pekerjaannya.
2. Reward and recognition (penghargaan dan pengakuan) menurut Maslach,
dkk (2001) kurangnya penghargaan dan pengakuan akan berdampak pada
kelelahan dan kejenuhan. Pengakuan dan penghargaan merupakan suatu hal
yang penting untuk membentuk suatu keterikatan. Ketika karyawan
20
mendapat penghargaan dan pengakuan dari organisasinya, maka karyawan
akan merasa berkewajiban untuk menanggapi dengan tingkat keterlibatan
yang tinggi.
3. Perceived organizational and supervisor support (persepsi dukungan
organisasi dan dukungan atasan) yaitu organisasi dan atasan dapat
menghargai kerja keras dan kontribusi karyawan, serta organisasi dan atasan
ada disaat karyawan membutuhkan. Jika karyawan telah mendapatkan
dukungan dari organisasi dan atasan maka karyawan akan berkontribusi
secara penuh ketika bekerja sehingga dapat membantu organisasi dalam
mencapai tujuan (Rhoades, dkk 2001). Hal ini sejalan dengan pendapat Kahn
(dalam Saks, 2006) bahwa suatu anggota organisasi akan merasa aman dan
nyaman dengan lingkungan kerjanya menunjukkan keterbukaan serta berani
dalam mencoba hal-hal yang baru. Schaufeli dan Bakker (2002) menemukan
bahwa dukungan dari rekan kerja diprediksi dapat membentuk keterikatan
pada karyawan.
4. Distributive and procedural justice (Penyaluran keadilan dan distribusi)
Colquiit (dalam Saks, 2006) dalam penelitiannya tentang keadilan organisasi
bahwa persepsi keadilan berkaitan dengan hasil organisasi seperti kepuasan
kerja dan komitmen.Kurangnya keadilan dapat menyebabkan kelelahan
pada karyawan dan persepsi positif dari keadilan dapat meningkatkan
keterikatan pada karyawan (Maslach, dkk 2001). Keadilan distributif
berkaitan dengan persepsi seseorang tentang keadilan dari hasil keputusan.
21
Selain itu, keadilan prosedural mengacu pada keadilan yang dirasakan dari
sarana dan proses yang digunakan untuk menentukan jumlah dan distribusi
sumber daya manusia Colquit dan Rhoades (dalam, Saks 2006).
Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua
faktor yang mempengaruhi work engagement adalah psychological capital yang
terdiri dari (self efficacy, optimisme, hope, resiliensi ) dan job-demands resources
yang meliputi (aspek fisik seperti lingkungan fisik dan organisasi, gaji peluang
untuk berkarir, dukungan supervisior, dan performance feedback). work
engagement pada karyawan juga dipengaruhi beberapa hal yaitu, Job
characteristic, reward and recognition, perceived organizational and supervisor
support, dan distributive and procedural justice
Berdasarkan uraian beberapa faktor di atas peneliti memilih psychological
capital menjadi variabel X karena psychological capital merupakan bagian yang
penting yang mempengaruhi work engagement. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Nugroho, dkk (2015) menyatakan bahwa psychological capital
memiliki hubungan yang positif terhadap work engagement. Di mana bahwa
karyawan memiliki keadaan mental yang positif yang berhubungan dengan
kesejahteraan pekerjaan dan pemenuhan diri, yang memiliki karakteristik energi
tinggi dan kuat serta teridentifikasi dalam pekerjaan masing-masing.
22
B. Psychological Capital
1. Pengertian Psychological capital
Luthans, dkk (2006). Psychological capital merupakan keadaan psikologis
individu yang positif dari perkembangan yang ditandai dengan (1) memiliki
keyakinan untuk mengambil dan menempatkan upaya yang di perlukan untuk
berhasil di dalam tugas yang menantang, (2) membuat atribusi positif tentang
keberhasilan dan tujuannya di masa sekarang dan di masa depan, (3) tekun dalam
ketika memiliki suatu tujuan, dan bila perlu, mengarahkan kembali ke tujuan agar
berhasil, dan (4) Ketika individu di hadapi oleh suatu permasalahan dan
kesulitan, individu dapat bertahan dalam menyikapi permasalahan nya dan
memiliki ketahanan untuk sukses.
Luthans (2002) menjelaskan bahwa psychological capital merupakan
pelengkap dalam hal personal pekerja dan organisai yang masih dapat
dikembangkan dan diarahkan. Lebih lanjut Luthans, Youssef dan Avolio (2007)
mendefinisikan psychological capital sebagai suatu keadaan mental seseorang
yang bersifat positif dan membangun. Avey, Luthans & Jensen (dalam Yuniarti
& Muchtar, 2014) membedakan konstruk psychological capital dari aspek yang
telah ada sebelumnya seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, serta pengalaman) dan Social Capital (seperti mengenal diri sendiri,
hubungan dengan orang lain, dan lain-lain). Konsep psychological capital
menggabungkan human capital dan social capital untuk memperoleh keuntungan
kompetitif melalui pengembangan identitas diri seseorang (Luthans & Avolio
23
dalam Yuniarti & Muchtar, 2014). Sederhananya, human capital (modal
manusia) berkaitan dengan “apa yang anda ketahui”, dan (modal sosial) berkaitan
dengan “siapa saja yang kamu kenal”, sedangkan psychological capital (modal
psikologis) berkaitan dengan “who you are” dan “what you can become”
(Luthans, Avey, Avolio, Norman & Combs ; Luthans & Youssef dalam
Nurfaizal, 2016).
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological
capital merupakan merupakan keadaan psikologis individu yang positif dari
perkembangan yang ditandai dengan memiliki keyakinan untuk mengambil dan
menempatkan upaya yang di perlukan untuk berhasil di dalam tugas yang
menantang, memiliki atribusi positif tentang keberhasilan dan tujuannya di masa
sekarang dan di masa depan, tekun dalam ketika memiliki suatu tujuan, dan bila
perlu, mengarahkan kembali ke tujuan agar berhasil, serta memiliki ketahanan
ketika dihadapkan oleh suatu permasalahan.
2. Dimensi Psychological Capital
Menurut Luthans (2007) Psychological Capital terbagi menjadi empat
dimensi dimensi, self-efficacy, hope, optimisme, dan resiliensi.
a. Self-efficacy
Stajkovic, dkk dalam (Luthans, 2007) mendefinisikan self-efficacy sebagai
keyakinan seorang karyawan tentang kemampuannya untuk memobilisasi
motivasi, kognitif sumber daya atau tindakan yang diperlukan untuk berhasil
melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan.
24
b. Hope
Snyder dalam (Luthans, 2007) mendefinisikan hope Keyakinan individu
sebagai keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang
saling mempengaruhi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan
pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan).
c. Optimisme
Menurut Seligmen dalam (Luthans,2007) mendefinisikan optimisme
sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai suatu
hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam
berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif sebagai
suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan hanya
terjadi pada situasi tertentu saja. Definisi lain mengenai optimisme adalah
sebuah gambaran dalam psikologi positif sebagai harapan masa depan yang
positif dan terbuka pada perkembangan diri yang menetap Carver dalam
(Luthans, 2007).
d. Resiliensi
Luthans (2007) berpendapat resiliensi pada dunia kerja di definisikan
sebagai kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit kembali dari kesulitan,
ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan perubahan positif, kemajuan,
dan peningkatan tanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological capital
memiliki empat dimensi menurut yaitu pertama, self-efficacy yang mengacu pada
25
keyakinan seorang karyawan tentang kemampuannya untuk berhasil
melaksanakan tugas tertentu dalam konteks yang diberikan. Kedua, hope sebagai
motivasi positif untuk mencapai tujuan dan perencanaan.
Ketiga, optimisme cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai
suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi
dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif
sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri dan bersifat sementara.
Dan keempat, resiliensi sebagai kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit
kembali dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan
perubahan positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab.
Peneliti memilih psychological capital menjadi variabel independent dalam
penelitian ini. Salah satu faktor yang dapat membuat work engagement seorang
karyawan tinggi yaitu psychological capital, hal ini didasarkan oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hebert (2011) menjelaskan Semakin besar
sumber daya pribadi individu, semakin positif pula diri individu dan tujuan
keharmonisan diri diharapkan muncul, individu dengan tujuan keharmonisan diri
secara intrinsik termotivasi untuk mengikuti tujuannya dan hasilnya memicu
kinerja yang lebih tinggi, kepuasan serta perasaan terikat dengan pekerjaannya,
empat konstruk seperti hope, optimisme, self-efficacy, dan resiliensi merupakan
bagian dari kekuatan psikologis.
26
C. Hubungan antara Psychological capital dengan Work Engagement
Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi di mana seseorang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Macey (2009) berpendapat bahwa karyawan yang memiliki work
engagement yang tinggi akan selalu memiliki pemikiran yang luas apabila
sewaktu-waktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Karyawan tidak akan
terpaku pada job description saja, akan tetapi karyawan fokus terhadap tujuannya
yang telah disesuaikan dengan tujuan perusahaan. Karyawan juga akan secara
aktif mengembangkan kemampuan yang disesuaikan dengan peran karyawan
dalam organisasi. Karyawan tidak hanya mengembangkan diri untuk
kepentingan sendiri, akan tetapi juga untuk kepentingan organisasi. Work
engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
psychological capital. Hal ini diperkuat dan didasarkan pada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Costantini, Paola, Ceschi, dkk (2017) yang menunjukkan
bahwa psychological capital berhubungan dengan work engagement yang pada
akhirnya menunjukkan bahwa peningkatan psychological capital konsisten
dengan tingkat work engagement. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, dkk.
(2015). menyatakan bahwa sumbangan efektif psychological capital terhadap
work engagement sebanyak 51,3%, hal tersebut menunjukkan bahwa karyawan
memiliki keadaan mental yang positif yang berhubungan dengan kesejahteraan
27
pekerjaan dan pemenuhan diri, yang memiliki karakteristik energi tinggi dan kuat
serta teridentifikasi dalam pekerjaan masing-masing.
Menurut Luthans, dkk. (2006). psychological capital Lebih lanjut dijelaskan
psychological capital memiliki empat dimensi yaitu self-efficacy, hope,
optimisme, dan resiliensi. Dimensi self-efficacy di definisikan sebagai keyakinan
seorang karyawan tentang kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, kognitif
sumber daya atau tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas
tertentu dalam konteks yang diberikan (Stajkovic, dkk. dalam Luthans, 2007).
Menurut Bandura (1997) individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi maka
individu tersebut akan merasa yakin dengan kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Individu dengan self-efficacy yang tinggi
dapat memotivasi diri untuk menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawab
dengan menyalurkan seluruh energi dan kemampuan yang ada demi memenuhi
tuntutan pekerjaan seta memiliki perasaan terikat oleh pekerjaannya (Kasavic&
Loh, 2015). Self-efficacy berpengaruh terhadap ketahanan mental individu pada
saat menyelesaikan tugas pekerjannya, individu yang memiliki self-efficacy
cenderung gigih dan tekun ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,
individu tersebut akan berusaha dan berjuang untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapai, ketika masalah-masalah muncul, perasaan self-efficacy yang kuat
mendorong para pekerja untuk tetap tenang dan mencari solusi dari pada
merenungkan ketidakmampuannya, usaha, dan kegigihan menghasilkan prestasi
(Ghufron & Risnawati, 2014). Selanjutnya, Ghufron dan Risnawati (2014)
28
Berpenpadat bahwa kegigihan individu pada saat bekerja menimbulkan rasa
antusias untuk menyelsaikan tugas dan tanggungjawab, baik pekerjaan yang sulit
maupun tugas pekerjaan yang mudah, individu yang memiliki kebanggan,
tantangan, dan penuh inspirasi dapat dengan mudah menyelesaikan segala tugas-
tugasnya yang sulit.
Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya mampu
menguasai tugas dan pekerjaan tertentu saja, individu akan mencoba tingkah laku
yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di
luar batas kemampuannya dan individu yang tidak memiliki keyakinan yang
kuat, maka cenderung mudah menyerah untuk berusaha mencapai tujuan yang
ditetapkan (Ghufron dan Risnawati, 2014). Bandura (1997) menjelaskan bahwa
individu dengan self-efficacy diri yang rendah cenderung memiliki kemampuan
interaksi yang kurang, serta memiliki keinginan untuk menghindari interaksi
interpersonal serta cenderung lebih ingin menyendiri. Selanjutnya, Luthans
(2011) menyatakan bahwa individu dengan self-efficacy yang rendah akan
berpikir tentang kegagalan dan menyebabkan munculnya pikiran terhadap hasil
yang negatif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Federici dan Skaalvik (2011)
menemukan bahwa rendahnya self-efficacy pada individu akan memberikan
dampak tersendiri bagi individu, dimana individu tersebut kurang bersemangat
dalam menjalani pekerjaannya, kurang memiliki dedikasi dengan pekerjaannya,
dan kurang mampu menghayati peran yang dilakukan saat bekerja (work
29
engagement), sehingga apabila self-efficacy pada individu menurun, maka work
engagement juga akan menurun.
Pada dimensi hope, Snyder (dalam Luthans, 2007). menjelaskan bahwa hope
sebagai proses dari pemikiran satu tujuan, dengan motivasi untuk mendapatkan
tujuan-tujuan tersebut (agency), dan cara-cara untuk meraih tujuan-tujuan
tersebut (pathways). Menurut Othman dan Nasurdin (2011) hope merupakan
suatu modal psikologis penting yang diperlukan karyawan untuk mengelola
peristiwa atau kondisi kerja yang penuh dengan tekanan dan stres. Dalam
penelitian yang dilakukan Othmand dan Nasurdin (2011) hope memiliki
hubungan dengan work engagement. Individu dengan hope yang tinggi dapat
tetap mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan di lingkungan
kerja, tetap menyumbangkan ide-ide kreatif, dan gigih dalam menghadapi
kesulitan di tempat kerja, dan berulang-ulang. Hope juga menjadi hal penting
bagi individu untuk membentuk suatu keterikatan kerja (Othman & Nasurdin,
2011). Dalam penelitian yang dilakukan Peterson dan Byron (2008) menemukan
bahwa karyawan yang memiliki nilai hope yang tinggi memiliki kinerja yang
lebih tinggi dan signifikan. Hasilnya menunjukkan karyawan yang lebih berharap
cenderung dapat mampu memecahkan masalah yang berhubungan dengan
pekerjaan dengan caranya sendiri atau lebih inovatif. Avey, dkk. (2008)
berpendapat bahwa individu dengan hope yang tinggi akan memberikan emosi
positif terhadap organisasinya, seperti perasaan terikat oleh pekerjaannya,
30
kepuasan kerja, perasaan bahagia, serta memiliki tujuan dan ide-ide kreatif untuk
dikembangkan.
Menurut Synder (dalam, Sembiring dan Fauzia 2012) Individu dengan hope
yang rendah dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu pathway thingking (kapasitas yang
dirasakan untuk menemukan jalan menuju tujuan-tujuan yang diinginkan) dan
agency thinking (motivasi yang diperlukan untuk menggunakan jalan atau jalan
itu. Individu dengan hope yang rendah kurang mampu mengembangkan banyak
usaha termasuk usaha alternatif ketika sedang menghadapi hambatan dan
permasalahan dalam bekerja, selain itu individu dengan hope yang rendah juga
tidak memiliki keyakinan terhadap dirinya untuk mengembangkan suatu cara
untuk meraih target yang diberikan sehingga individu kurang mampu untuk
terikat dalam pekerjaannya Sembiring dan Fauzia (2012). Selanjutnya, hasil
penelitian yang dilakukan oleh Peterson dan Byron (2008) karyawan yang kurang
memiliki hope kurang mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan pekerjaannya.
Pada dimensi optimisme, Seligmen (dalam Luthans, 2007) mendefinisikan
optimisme sebagai suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai
suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi
dalam berbagai situasi; serta menginterpretasikan kejadian-kejadian negatif
sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal di luar diri, bersifat sementara, dan
hanya terjadi pada situasi tertentu saja. Dilihat dari sudut pandang emosi,
Goleman (2005) berpendapat bahwa optimisme merupakan suatu bentuk
31
pertahanan diri pada seseorang agar jangan sampai terjatuh ke dalam masa
kebodohan, putus asa, dan depresi bila mendapat kesulitan. Individu yang
memiliki optimisme akan mengharapkan hasil yang positif tanpa memperdulikan
kemampuan personal, tetapi cenderung untuk mempertahankan harapan positif
mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya secara personal sepanjang proses
perubahan. Menurut Carver dan Scheier (2002) individu yang memiliki
optimisme cenderung percaya diri dan gigih. Sejalan dengan pernyatan di atas
Seligmen (dalam Goleman, 2015) menyatakan bahwa ketika individu mengalami
suatu kegagalan, individu dengan optimisme yang tinggi cenderung menyikapi
kegagalan tersebut dengan respon yang aktif dan tidak putus harapan, individu
selalu merencanakan suatu tindakan baru, atau berusaha mencari pertolongan,
dan nasihat. Orang yang optimis juga menganggap kegagalan disebabkan oleh
sesuatu hal yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil di masa-masa yang
akan datang.
Hasil penelitian yang dilakukan Putri, dkk. (2015) menunjukkan bahwa
optimisme berhubungan dengan work engagement. Di mana optimisme akan
membimbing karyawan kepada perasaan memiliki pekerjaannya dan perasaan
menuju keberhasilan sesuai tujuan organisasi sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan mendorong munculnya keterikatan karyawan (Harter, Schmidt,
& Hayes, 2000; Wellinsm, Bernthal, & Phelps, 2008). Perasaan memiliki
terhadap pekerjaan membuat karyawan lebih lekat dengan pekerjaannya,
sehingga di dalam menghadapi suatu permasalahan, karyawan akan memiliki
32
energi yang lebih banyak untuk berusaha. Hal tersebut dapat terjadi karena
karyawan yang memiliki optimisme tinggi akan cenderung membingkai
pikirannya dengan pola pikir positif, sehingga membuatnya terhindar dari stres
yang dapat mengganggu kesehatan mental (Khalatbari, 2012). Menurut
Robinson, dkk. (2004), kesehartan mental merupakan salah satu faktor yang
menjadi pendorong munculnya keterikatan karyawan, oleh karena itu karyawan
yang memiliki optimisme tinggi akan lebih terikat dengan perusahannya, baik
secara fisik, kognitif dan emosional.
Dimensi yang terakhir yaitu dimensi resiliensi. Dimensi ini membahas
kapasitas psikologi yang positif untuk bangkit kembali dari kesulitan,
ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan perubahan positif, kemajuan, dan
peningkatan tanggung jawab Luthans (2007). Resiliensi digambarkan dengan
individu yang mampu beradaptasi dengan keadaan dan optimis untuk berhasil
dalam situasi tertentu. Selain itu, resiliensi juga dapat digambarkan dengan
individu yang mampu mengelola perasaan negatif yang berarti dalam tingkat
tertentu dapat mengontrol emosi dan mengetahui apa yang dibutuhkan diri kita
pada situasi tertentu dan yang terakhir, resiliensi dapat digambarkan dengan
seseorang yang mempunyai makna hidup serta tujuan hidup sehingga mau
berkontribusi pada lingkungan sekitarnya (Mcewen, 2011). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yuwono, dkk. (dalam Yuniar, 2011) menunjukkan bahwa
karyawan yang lebih resilien akan semakin mungkin menolong rekan kerjanya
tanpa mengharap imbalan, memberikan ide-ide yang bermanfaat bagi organisasi
33
menatuhi peraturan agar terhidar dari konflik dengan rekan karyawan lain dan
sadar akan semua tugas dan tanggung jawabnya tanpa tekanan atasan. Steven dan
Prihatsanti (2017) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki resiliensi yang
tinggi akan mampu bertahan untuk menyelesaikan pekerjaan meskipun pada
masa berat dengan ketekunan, semangat, dan konsentrasi. Selain itu, karyawan
akan dengan cepat beradaptasi dengan sistem baru dan antusias untuk
mempelajarinya sehingga tidak menghalangi pekerjaan untuk menyelesaikan
target yang diberikan ( Steven & Prihatsanti, 2017).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jatmika dan Santoso (2017)
menunjukkan bahwa resiliensi memiliki hubungan dengan work engagement.
Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Uyun (2012) menunjukkan bahwa
individu yang kurang resilien akan mudah merasa putus asa apabila dihadapkan
oleh suatu permasalahan, Kondisi demikian akan berimbas pada individu, apakah
individu memiliki rasa percaya diri dalam mencari solusi terhadap masalah yang
dihadapi, dapat bertanggungjawab pada tugasnya atau tidak. Yuwono, dkk.
(dalam Yuniar,2011) mengatakan karyawan yang tidak mampu menghadapi
tantangan (tidak resilien) dan mengubah tantangan yang dihadapi menjadi
kesempatan untuk bangkit akan menunjukkan perilaku yang negatif. Di mana
perilaku yang timbul dapat berupa agresi, menyakiti rekan kerja, dan lebih
mementingkan tugas diri sendiri. Bakker (2003) mengatakan di mana salah satu
dimensinya ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental saat
bekerja, memiliki kemauan untuk berinvestasi usaha dalam pekerjaan seseorang
34
dan ketekunan bahkan dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kesulitan.
Menurut Baumruck, dkk. (dalam Racmawati, 2010) karyawan yang terikat
cenderung tetap bertahan di perusahaan meskipun terdapat peluang untuk bekerja
di perusahaan lain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vernold (2008)
menunjukkan bahwa individu dengan tingkat resiliensi yang rendah memiliki
kepuasan kerja yang rendah serta karyawan tersebut akan selalu memikirkan
berbagai macam cara agar bisa meninggkalkan pekerjaannya.
Kesimpulan dari penjabaran di atas yaitu menurut Luthans (2007)
Psychological Capital terbagi menjadi empat dimensi dimensi, self-efficacy,
hope, optimisme, dan reiliensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho, dkk. (2013), adanya hubungan positif antara
psychological capital dengan work engagement. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nugroho, dkk. (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
psychological capital dengan work engagement. Semakin tinggi psychological
capital maka semakin tinggi work engagement. Sebaliknya, semakin rendah
psychological capital maka semakin rendah work engagement.
D. Hipotesis
Pada penelitian ini, peneliti mengajukan sebuah hipotesis yaitu ada
hubungan yang positif antara psychological capital dengan work engagement
pada karyawan PT. Suzuki Sejahtera Buana Trada BSD. Semakin tinggi
psychological capital yang dimiliki oleh karyawan, maka semakin tinggi work
35
engagement yang dimiliki oleh karyawan. Sebaliknya, semakin rendah
psychological capital yang dimiliki oleh karyawan, maka semakin rendah work
engagement pada karyawan.