BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Monopoli …eprints.umm.ac.id/51236/36/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Monopoli …eprints.umm.ac.id/51236/36/BAB...
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Monopoli
1. Pengertian Monopoli
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.9 Dengan demikian, jenis pasar yang
bersifat monopoli ini hanya terdapat satu penjual, sehingga penjual
tersebut bias menentukan sendiri berapa jumlah barang atau jasa yang
akan dijual, atau berapa jumlah barang yang akan dijual tergantung
kepada keuntungan yang ingin diraih sehingga penjual akan menerapkan
harga yang akan memberikan keuntungan tertinggi.10
Tidak adanya pesaing menjadikan monopoli sebagai pemusatan
kekuatan pasar di satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha,
apabila ada pelaku usaha pesaing namun peranannya kurang berarti,
sehingga pasarnya bersifatt monopolistis. Tentunya karena pada
kenyataannya monopoli sempurna jarang ditemukan, maka dalam
praktiknya sebutan monopoli juga diberlakukan bagi pelaku yang
9Pasal 1 Angka 1 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 10 Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia),
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010, hlm 137
19
menguasai bagian terbesar pasar. Secaara singkat pengertian monopoli
juga mencakup strukstur pasar dimana terdapat beberapa pelaku, maka
praktis dari segi pemusatan kekuatan pasar namun peranannya begitu
dominan.11
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.12
2. Dasar Hukum Anti Monopoli
Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut:13
(1). Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
(2). Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
11 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hlm 7 12 Pasal 1 Angka 2 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat 13 Pasal 17 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
20
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;
atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Unsur-Unsur Monopoli
Unsur-unsur yang terdapat dalam monopoli yaitu :14
a. Perusahaan melakukan penguasaan atas produksi suatu
produk; dan/atau melakukan penguasaan atas pemasaran suatu
produk.
b. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli.
c. Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik
persaingan usaha tidak sehat.
4. Faktor-Faktor dan Akibat Monopoli
4.1 Faktor –Faktor Monopoli
14 Ibid, hlm 138
21
Faktor-faktor yang menimbulkan monopoli antara lain :15
a. Memiliki sumber daya yang unik
b. Terdapat skala ekonomis
c. Kekuasaan monopoli yang diperoleh melalui peraturan
pemerintah
d. Peraturan Paten, dan Hak Cipta
e. Hak Usaha Eksklusif
4.2 Akibat Monopoli
Akibat Monopili pasar, diantaranya :16
a. Menjadikan harga jual lebih tinggi sedangkan yang dijual
lebih sedikit sehingga acap kali merugikan konsumen
b. Menjadikan produksi tidak efisien (inefisien)
c. Kapasitas produksi dan sumber daya tidak digunakan
secara penuh dan ekonomis dan
d. Biasanya akan berakibat terjadinya pasar “baru” seperti
pasar yang bersifat kolusif, boikot, refuse pesaing dan
konsumen dalam rangka mempertahankan kekuatan
monopoli.
4.3 Penyebab Monopoli
Munculnya monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu :17
15 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm 5 16 Ibid 17 Rachmadi Usman Op.cit, hlm 372-373
22
1. Monopoli yang terjadi karena pelaku usaha memiliki
kemampuan teknis tertentu seperti:
a. Pelaku usaha memiliki kemampuan atau pengetahuan
khusus yang memungkinkan melakukan efisiensi
dalam berproduksi;
b. Skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi
maka biaya marjinal semakin menurun sehingga biaya
produksi per unit (average cost) makin rendah;
c. Pelaku usaha memiliki kemampuan control sumber
faktor produksi, baik berupa sumber daya alam,
sumber daya manusia maupun lokasi produksi.
2. Monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-
undangan, yaitu:
a. Hak atas kekayaan intelektual;
b. Hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh
pemerintah kepada pelaku usaha ekslusif, yaitu
yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku
usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku
usaha yang lain, misalnya agen tunggal, inportir
tunggal, dan pembeli tunggal. Pada umumnya hal
ini terkait dengan produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang
23
penting bagi negara, asalkan diatur dalam undang-
undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau
badan/lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemerintah.
5. Pengecualian Monopoli
Posisi Monopoli dimiliki oleh sebuah perusahaan tidak serta merta
melanggar Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999. Pelanggaran dari Pasal 17
UU No. 5 Tahun 1999 apabila melakukan penyalahgunaan posisi
monopoli akibat adanya pemberdayaan kekuatan monopoli.
Penyalahgunaan posisi monopoli pun untuk melakukan praktek
monopoli sebagai upayanya mempertahankan dan meningkatkan posisi
monopoli.
Perilaku praktek monopoli dapat dibedakan menjadi dua bagian
yaitu:
a) perilaku yang memiliki dampak negatif langsung kepada
pesaing nyata maupun 16 pesaing potensial, dan
b) perilaku yang memiliki dampak negatif langsung kepada
mitra transaksi.
Tindakan monopoli dapat dikecualikan sesuai dengan aturan dari
Pasal 50 dan 51 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tindakan monopoli yang
menguasai kehidupan orang banyak yang diatur oleh Undang-undang
dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
24
lembaga yang dibentuk ataupun ditunjuk oleh pemerintah. Dengan
demikian pengecualian dari tindakan monopoli dapat berlaku apabila
memenuhi ataupun melaksanakan dari pasal 50 dan 51 UU No.5 Tahun
1999.
Yang dikecualikan dari ketentuan perundang-undangan No. 5 Tahun
1999 ialah sebagai berikut: 18
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan
intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan
rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau
jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan; atau
18 Pasal 50 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
25
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor
yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.
Adanya Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan Monopoli dan
atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang
banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh
Pemerintah.19 Sehingga adanya monopoli atau pemusatan kegiatan
dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dilegalkan demi menjaga kehidupan orang banyak.
Pengecualian praktik monopoli yang diselenggarakan oleh BUMN
perlu diatur lebih lanjut dari Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 kemudian
19 Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
26
dijabarkan pada Peraturan KPPU No.3 Tahun 2010 sebagai pembatasan
monopoli BUMN sendiri.20
B. Tinjauan Umum Tentang Gas Bumi
1. Pengertian Gas Bumi
Gas Bumi adalah bahan bakar fosil yang yang berbentuk akibat
adanya lapisan yang terdiri atas tanaman, gas, dan hewan yang terkena
panas dan tekanan ekstrem selama jutaan tahun. Gas Bumi sendiri dapat
sering juga disebut dengan gas alam yang zat pembentuknya terdiri atas
90% dari gas alam adalah metana (CH4), terdapat satu atom karbon
dengan empat atom hydrogen melekat dan sisanya terdiri dari etana
(C2H6), propana, butana dan komponen-komponen lain disertai dengan
komponen pengotor seperti H2sS, Air, CO2 dan lain-lain dengan jenais
dan jumlahnya bervariasi sesuai dengan sumber gasnya.
Gas Bumi di Indonesia berasal dari berbagai lokasi dengan
komponen yang berbeda dari satu lokasi dengan lokasi yang lain.
Sebagian gas yang dihasilkan dari sumur-sumur dengan lokasi tertentu
sudah berupa gas yang masuk dalam spesifikasi gas bumi yang siap
untuk di pasarkan. Gas Bumi jenis ini tidak diperlukan lagi pengolahan
lebih lanjut. Sementara ada sebagian lagi gas bumi yang dihasilkan dari
sumur-sumur dan lokasi-lokasi tertentu masih banyak mengandung
pengotor seprti H2S, CO2, Air dan lain-lain
20 Zuhro Puspitasari, “Rekonsepsi Pengecualian Monopoli yang Diselenggarakan Oleh
Badan Usaha Milik Negara Dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia”, Panorama
Hukum.Vol.2 No.2, Desember 2017 hlm 230
27
Pertambangan minyak dan gas bumi merupakan salah satu andalan
pendapatan bagi Indonesia yang diatur pada UU No.22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi.21 Undang-undang Migas merupakan
hasil reformasi sektor energy atas tekanan lembaga keuangan
multilateral seperti IMF dan Bank Dunia menjadi perubahan dasar
dalam industri minyak bumi nasional sekaligus menandai adanya
pergeseran demokrasi ekonomi menjadi ekonomi liberal yang
bercirikan ekonomi pasar melalui liberalisasi sektor minyak dan bumi.22
Gas Bumi merupakan energi primer ketiga yang paling banyak
digunakan di Indonesia setelah minyak bumi dan batubara. Dari hal
tersebut pemerintah pada pengaturan gas bumi memegang peranan
penting dalam kebijakan bauran energi (energy mix policy) di Indonesia.
Adapun sistem penyediaan gas bumi dapat dibagi kedalam beberapa
tahapan yaitu:
1. Tahap Penambangan
2. Tahap Pengolahan
3. Tahap Pengangkutan
4. Tahap Penyimpanan
5. Tahap Pemasaran, dan
6. Tahap Pemanfaatan
21 Wisnu Rama Pradika Hasibuan, dkk.”Perbandingan Hukum Penguasaan dan
Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia”. Beraja Niti. Vol.3 No.4, 2014 hlm 10 22Roziqin, “Pengelolaan Sektor Minyak Bumi Di Indonesia Pasca Reformasi:Analisis
Konsep Negara Kesejahteraan”.Jurnal Tata Kelola dan Akuntabilitas Keuangan Negara. Vol.1
No.2, Desember 2015 hlm 135
28
Dari beberapa tahapan yang dijabarkan diatas, tahap pengangkutan
atau transportasi masih menjadi kendala di Indonesia. Kendala
disebabkan karena lokasi atau wilayah Indonesia terdiri dari pulau-
pulau. Pemerintah sebagai pengatur harga di masyarakat memerlukan
biaya khusus untuk memenuhi pasukan gas ke semua wilayah
Indonesia.
2. Pemanfaatan Gas Bumi
Gas Bumi di Indonesia sebagai sumber pendapatan negara menjadi
penggerak pertumbuhan ekonomi nasional melalui gas bumi.
Pemanfaatan dari gas bumi dijadikan sebagai sumber energi
(kelistrikan), dan gas bumi menjadi bahan baku dari pupuk,
petrokimia,baja dan insutri lainnya.
Penggunaan Gas sangat diperlukan untuk menjalankan industri
termasuk industri yang menghasilkan barang atau benda demi
kemanfaatan umum (Public Utility).23 Selain itu, gas bumi dalam
pemanfaatannya dilakukan berbagai pendukung dalam pemanfaatannya
oleh pemerintah yaitu dengan membangun gas bumi melalui pipa dan
LPG/CNG/LNG demi menstimulasi industri dalam negeri dan menjaga
lingkungan hidup yang lebih bersih. Dalam melakukan pengawasan
terhadap ketersediaan cadangan gas bumi Indonesia maka pemerintah
melakukan Neraca Gas Bumi Indonesia.
23 Lona Degesya,”Urgensi Pengaturan Territorial Penjualan Gas Untuk Mengatasi
Kelangkaan Gas”. Jurnal Hukum dan Pembanguna. Vol.36 No.1, Maret 2006 hlm 52
29
Pada pengelolaan gas bumi pada Undang-undang Migas sendiri
menyatakan beberapa asas yaitu ekonomi kerakyatan, keterpaduan,
manfaat, keadilan, keseimbangan pemerataan, kemakmuran bersama
dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan
kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.24Apabila ada
kebutuhan gas bumi disuatu daerah lebih besar daripada pasokan yang
ada, maka dapat dikatakan neraca gas buminya tidak berimbang dan
terjadi kekurangan pasokan gas (gas shortage), sebaliknya jika
pasokannya melebihi kebutuhannya maka dapat dikatakan terjadi
kelebihan pasokan (gas surplus).
Penggunaan Gas sangat diperlukan untuk menjalankan industri
termasuk industri yang menghasilkan barang atau benda demi
kemanfaatan umum (Public Utility).25
C. Tinjauan Umum Tentang BUMN
1. Pengertian BUMN
BUMN sendiri merupakan salah satu perwujudan dari peran
pemerintah dalam bidang ekonomi, yang tujuan utamanya adalah
peningkatan dari kesejahteraan masyarakat.26Menurut Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara,
24 Sulaiman, “Rekonstruksi Hukum Minyak Dan Gas BUmi yang Berkeadilan Di
Indonesia”.Kanun. Vol.18 No.2, Agustus 2016 hlm 221 25 Lona Degesya,”Urgensi Pengaturan Territorial Penjualan Gas Untuk Mengatasi
Kelangkaan Gas”. Jurnal Hukum dan Pembanguna. Vol.36 No.1, Maret 2006 hlm 52 26 Riesty Aqmarina,“Monopoli Oleh BUMN Dalam Perspektif ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY (AEC). Spirit Pro Patria. Vol.4 No.2, September 2018 hlm 173
30
definisi Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN
adalah Badan usaha yang selurunya atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan.27 Dari pengertian tersebut dapat
diketahui unsur-unsur dari BUMN ialah:28
a. Badan Usaha
Menurut Pasal 1 huruf b UU No.3 Tahun 1982, perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus
menerus didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah
Republik Indoenesia untuk tujuan memperoleh keuntungan
atau laba. Dalam Pasal 1 butir 2 UU No. 8 Tahun 1997
mendefinisikan perusahaan sebagai bentuk usaha yang
melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan
tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba baik yang
diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha
yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
b. Seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
Sebuah badan usaha dapat dikategorikan sebuah BUMN jika
modal badan usaha seluruhnya (100%) dimiliki oleh Negara
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleg Negara. Jika
27 Penjelasan dari UU.No 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara 28 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, FHUII Press, Yogyakarta, 2013, hlm.
160-162
31
modal tersebut tidak seluruhnya dikuasi oleh Negara, maka
agar tetap dikategorikan sebagai BUMN, maka negara
minimum menguasai 51% modal tersebut. Jika penyertaan
modal Negara Republik Indonesia di suatu badan usaha kurang
dari 51%, tidak dapat disebut sebagai sebuah BUMN.
c. Melalui penyertaan langsung
Mengingat disini ada penyertaan langsung, maka Negara
terlibat dalam menanggung risiko untung dan ruginya
perusahaan. Menurut penjelasan Pasal ayat (3), pemisahaan
kekayaan Negara untuk dijadikan penyertaan modal Negara ke
BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan
langsung Negara ke BUMN, sehingga setiap penyertaan
tersebut harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP).
d. Berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Kekayaan yang dipisahkan di sini adalah pemisahan kekayaan
Negara dari Anggaran Pendapatan dari Belanja Negara
(APBN) untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada
BUMN untuk dijadikan modal BUMN.
32
2. Tujuan Badan Usaha Milik Negara
Tujuan didirikannya BUMN dapat dilihat dari Pasal 2 ayat (1)
UUBUMN menentukan bahwa maksud dan tujuan didirikannya BUMN
adalah:29
a) Memberikan sumbangan dan penerimaan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara
pada khususnya; Di sini BUMN diharapkan dapat
meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus
memberikan montribusi dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan Negara.
b) Mengejar keuntungan; Menurut Pasal 1 ayat (1) huruf a,
meskipun maksud dan tujuan persero adalah untuk mengejar
keuntungan, namun dalam hal-hal tertenu untuk melakukan
pelayanan unum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang
sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai
dengan pembiayaan (kompensasi) berdasarkan perhitungan
bisnis tau komersial, sedangkan untuk perusahaan umum yang
tujuannya menydiakan barang dan jasa untuk kepentingan umu,
dalam pelaksanaannya harus memperhatikanprinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang baik.
29 Ibid., hlm 163-164
33
c) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak, dengan maksud dan
tujuan seperti ini,setiap usaha BUMN, baik barang maupun jasa,
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
d) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta dan koperasi serta turut aktif memberikan
bimbingan dan bantuan kepada pengusahan golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyakarat. Menurut penjelasan Pasal 1
ayat (1) huruf d, kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan
usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan
oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat
dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial
tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat
dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya
kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat
pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan
kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan
dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.
3. Jenis-Jenis BUMN
Dalam perusahaan BUMN dikenal dengan beberapa jenis BUMN
diantaranya adalah sebagai berikut:
34
a. Perusahaan Perseroan (Persero) ialah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas dengan pembagian modal terbagi atas saham
baik itu secara seluruh atau sebagian dengan minimal saham
51% dimiliki oleh negara bertujuan mendapatkan profit dari
pengusahaan baik sektor barang atau jasa yang dijalankan oleh
perusahan persero.
b. Perusahaan Umum (Perum) ialah BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham seperti
perusahaan perseroan. Adapun tujuan dari perum untuk
kemanfaatan masyarakat luas baik itu barang atau jasa dan tetap
mengejar keuntungan dengan prinsip pengelolaan perusahaan
D. Tinjauan Umum Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
1. Pengertian KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga
independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum
persaingan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun
1999.
\
35
2. Wewenang KPPU
Wewenang Komisi Pengawas dijabarkan sebagai berikut:30
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha
dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap
kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku
usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
4. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam
kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-
undang ini;
5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau
alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
30 Pasal 36 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
36
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian
di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
7. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang
diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Dalam melakukan wewenangnya KPPU memiliki 2 jenis wewenang
yaitu:31
a. wewenang aktif adalah wewenang yang diberikan kepada
komisi melalui penelitian. Komisi berwenang melakukan
penelitian terhadap pasar, kegiatan, dan posisi dominan.
Komisi juga berwenang melakukan penyelidikan,
menyimpulkan hasil penyelidikan dan/atau pemeriksaan,
memanggil pelaku usaha, memanggil dan menghadirkan
saksi-saksi, meminta bantuan penyelidik, meminta
keterangan dari instansi pemerintahan, mendapatkan dan
meniliti dokumen dan alat bukti lain, memutuskan dan
menepatkan, serta menajtuhkan sanksi administratif.
b. wewenang pasif, menerima laporan dari masyarakat dari atau
dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik
monnopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
31 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm 267
37
Komisi pengawas melakukan pemeriksaan dalam dua tahap, yakni
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan
pendahuluan dilakukan jika:32
a. Adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan .
b. Inisiatif komisi pengawas sendiri apabila terdapat dugaan
telah terjadi pelanggaran undang-undang anti monopoli.
3. Tugas KPPU
Tugas Komisi Pengawas antara lain ialah:33
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal
4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
32 Ibid 33 Pasal 35 UU No.5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha
38
sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan
Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan
dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam melakukan kewenangan maupun tugas dari KPPU
merupakan sebatas kewenangan di ranah administrasi dari pelanggaran
persaingan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Sehingga
KPPU memberikan sanksi administratif bagi para pelanggar kegiatan
persaingan usaha yang dilakukan di Indonesia.
4. Prosedur Kerja KPPU
Dalam melaksanakan pengawasan, KPPU berwenang melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelaku usaha, saksi ataupun
pihak lain, maka komisi dapat memulai pemeriksaan terhadap para pihak
yang dicurigai melanggar ketentuan UU No.5/1999 baik ada tidaknya
laporan kepada KPPU. Komisi dapat memulai proses pemeriksaan
berdasarkan fakta yang dilaporkan (masyarakat, pelaku usaha) atau
39
berdasarkan fakta yang dikumpulkan dan diteliti atas inisaitif komisi
sendiri.34 Sehingga ada 2 macam pemeriksaan yang dilakukan KPPU
antara lain ialah sebagai berikut:35
1. Pemeriksaan Atas Dasar Laporan
Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang
dilakukan karena adanya laporan dari pelaku usaha yang merasa
dirugikan ataupun dari masyarakat/konsumen. Kemudian KPPU
menetapkan majelis komisi yang akan bertugas memeriksa,
menyelidiki pelaku usaha yang dilaporkan
2. Pemeriksaan Atas Dasar Inisiatif KPPU
Pemeriksaan atas dasar inisiatif KPPU adalah pemeriksaan
yang didasarkan atas adanya dugaan atau indikasi pelanggaran
terhadap UU No.5 Tahun 1999. Untuk melakukan pemeriksaan
atas inisiatif, KPPU akan membentuk suatu majelis komisi untuk
melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan juga para
saksi.
5. Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak
menerima putusan KPPU adalah upaya hukum keberataan yang diajukan
34 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit, hlm 270 35 Ibid., hlm 271
40
kepengadilan negeri ditempat kedudukan hukum usaha pelku usaha
paling lambat 14 hari sejak diterimanya putusan. Pemgadilan wajib
memeriksa keberatan tersebut diajukan. Pengadilan wajib memberikan
putusan paling lama 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan
tersebut.Jika pihak merasa keberatan dengan putusan pengadilan negeri,
maka pihak tersebut boleh mengajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung (MA). Kasasi diajukan paling lambat 134 hari sejak
tanggal diputuskan di pengadilan negeri, MA wajib memeriksa dan
memutuskan dalam waktu 30 hari sejak pemohon kasasi diterima.36
Dalam melakukan keberatan atas putusan KPPU kepada Pengadilan
Negeri merupakan perintah dari pasal 44 ayat 2 UU No.5 Tahun 1999
bahwa pelaku usaha dalam mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri paling lambat 14 hari dari menerima pemberitahuan putusan
KPPU. Apabila tidak mengajukan keberatan maka pelaku usaha
dianggap menerima putusan komisi yang telah diputuskan. Pengadilan
Negeri harus memeriksa keberatan dalam waktu 14 hari setelah
diterimanya pemeriksaan keberatan.
Dalam melakukan putusan Pengadilan Negeri diberikan waktu
selama 30 hari sesuai pasal 45 ayat 3 UU No.5 Tahun 1999, Pengadilan
Negeri yang dipilih dalam melakukan keberatan sesuai domisili terlapor
dari KPPU sendiri. Apabila adanya kasasi di MA maka pihak yang
36 Ibid., hlm 272-273
41
keberatan terhadap keputusan di tingkat Pengadilan Negeri diberikan
waktu selama 14 hari untuk mengajukan kasasi. Pada tingkat kasasi
sesuai pasal 45 ayat 4 UU No.5 Tahun 1999 harus diberikan putusan
paling lama 30 hari sejak permohonan kasasi diteruma.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keseluruhan proses
penanganan perkara oleh komisi pengawas adalah sebagai berikut:37
1. Laporan kepada Komisi Pengawas
Laporan dapat berasal dari (1) pihak ketiga yang
mengetahuiterjadinya pelanggaran, (2) dari pihak yang
dirugikan, atau (3) atas inisiatif sendiri komisi, tanpa adanya
laporan.
2. Pemeriksaan Pendahuluan
3. Pemeriksaan lanjutan. (Jika dalam peeriksaan pendahukuan
terdapat dugaan telah terjadi pelanggaran, komisi wajib
melakukan pemeriksaan lanjutan)
4. Mendengar keterangan saksi atau pelaku, dan memeriksa alat
bukti lainnya
5. Menyerahkan kepadan badan penyelidik dalam hal-hal tertentu.
Dalam hal pihak yang diperiksa tidak mau bekerjasama, komisi
akan menyerahkan aksus ini kepadan Badan Penyelidik Umum,
untuk dilakukan penyelidikan. Dalam hal ini status kasus
37 Ibid,.,hlm 274-277
42
berubah dari kasus Administrasi (dengan ancaman hukuman
administrasi) berubah menajdi kasus pidana (dengan ancaman
pidana).
6. Memeperpanjang pemeriksaan lanjutan. Jika dipandang perlu,
jangka waktu 60 hari dapat diperpanjang paling lama 30 hari
lagi.
7. Memberikan keputusan komisi. Putusan komisi pengawas
tentang ada atau tidak adanya pelanggaran terhadap undang-
uandng ini, wajib dibacakan disidang yang dinyatakan terbuka
untuk umum. Pengambilan kepurusan tersebut harus dilakukan
dalam suatu majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya
tiga orang anggota komisi.
8. Pemebritahuan keputusan kepada pelaku usaha. Petikan komisi
pengawas tersebut diberitahukan kepada pelaku usaha (pasal 43
ayat 4).
9. Pelaksaanaan keputusan komisi oleh pelaku usaha. Pelaksanaan
putusan tersebut oleh pelaku usaha haruslah dilakukan dalam
waktu 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima
pemberitahuan keputusan dari komisi pengawas.
10. Pelaporan pelaksanaan keputusan komisi oleh pelaku usaha
kepada komisi pengawas.
43
11. Menyerahkan kepada badan penyelidik jika putusan komisi
tidak dulaksanakan dan/atau tidaj diajukan keberatan oleh pihak
pelaku usaha.
12. Badan penyidik melakukan penyidikan, dalam hal pasa 44 ayat
(5).
13. Pelaku usaha mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri
terhadap putusan komisi pengawas.
14. Pengadilan negeri memeriksa keberatan pelaku usaha.
15. Pengadilan negeri memberikan putusan atas keberatan pelaku
usaha.
16. Kasasi Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan negeri.
17. Putusan Mahkamah Agung harus memebrikan putusannya
dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak pemohon kasasi
diterima.
18. Permintaan terhadap eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
19. Pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Negeri.
E. Tinjauan Umum Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf
(a)
1. Unsur-unsur Pasal 50 huruf a
Adapun beberapa unsur dari pasal 50 huruf a yang berbunyi
“perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan
44
Kata perbuatan dalam pasal 50 huruf a tidak tepat jika
diartikan secara harfiah artinya hanya tertumpu dengan kata
“perbuatan” tetapi harus diartikan lebih luas yang dapat
mencakup “esensi” atau makna dasar yang terkandung dalam
kata perbuatan. Makna perbuatan pada pasal ini yaitu makna
yang sama dengan melakukan kegiatan. Jadi, kegiatan yang
dilarang dalam BAB IV dan BAB V termasuk dalam perbuatan
yang dilarang.
Adapun penegasan wewenang didelegasikan oleh Undang-
Undang sangat penting, apabila adanya perbuatan dan atau
perjanjian walaupun hanya berbentuk peraturan menteri
misalnya, akan tetapi yang didelegasikan langsung dari Undang-
Undang maka perbuatan atau perjanjian tersebut berakibat tidak
sejalan dengan ketentuan Undang-Undang No 5 Tahun 1999,
pelaku usaha yang bersangkutan tidak dapat dikenakan sanksi
hukum. Hal tersebut tindakan hukum pelaku usaha untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga termasuk terhadap hal yang dikecualikan.
2. Perjanjian
Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu suatu perbuatan
satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga ada kesamaan
45
pemahaman dari perbuatan yaitu adanya perjanjian yang
dilakukan oleh pelaku usaha, secara tegas wewenangnya
didasarkan atas ketentuan Undang-Undang atau ketentuan
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tetapi
berdasarkan delegasi secara tegas dari Undang-Undang.
3. Bertujuan Melaksanakan
Pelaku usaha melakukan suatu tindakan bukan atas otoritas
sendiri tetapi berdasarkan perintah dan kewenangan yang secara
tegas diatur dalam Undang-Undang atau dalam peraturan
perundang-undangan tetapi mendapat delegasi secara tegas dari
Undang-Undang untuk dilaksanakan. Melaksanakan adanya
kewenangan yang secara tegas diberikan pada subyek hukum
tertentu oleh Undang-Undang (peraturan perundang-undangan).
4. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah
instrument hukum dalam bentuk “Keputusan” yang bersifat
mengatur yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
(misalnya Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota) yang
ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Tujuan Pedoman Pasal 50 Huruf a
Tujuan penyusunan pedoman pelaksanaan pasal 50 huruf a adalah:
46
1. Agar terdapat kesamaan tafsir terhadap masing-masing unsur
atau elemen dari pasal 50 huruf a, sehingga terdapat kepastian
hukum dan dapat dihindari terjadinya kekeliruan atau sengketa
di dalam penerapannya.
2. Pasal 50 huruf a dapat diterapkan dengan tepat, benar, dan adil,
serta konsisten sehingga dapat dicapai kepastian hukum.
F. Pedoman Pelaksanaan dan Pengecualian dari Pasal 50 huruf a
1. Pedoman Pelaksanaan
Pelaksanaan dari pasal 50 huruf a hanya berlaku bagi pelaku
usaha yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemetrintah, mengingat
pengecualian yang diatur dalam pasal 50 huruf a secara tegas
dikatakan “untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Sehingga adanya perbuatan pelaku usaha karena adanya
kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Walaupun ada pengecualian dari pasal 50 huruf a harus tetap pada
prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku
dilaksanakan tersebut hierarkinya lebih tinggi atau yang sederajat,
atau peraturang perundang-undangan yang lebih rendah dari
undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-
undang.
Jadi pengecualian tidak berlaku jika pelaku usaha melakukan
perbuatan dan atau perjanjian untuk melaksanakan peraturan
47
perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-Undang
kecuali ada peraturan yang dilaksanakan berdasarkan delegasi
secara tegas dari Undang-Undang yang bersangkutan.
Dalam penerapan pasal 50 huruf a dapat diterapkan jika:
a. Pelaku usaha melakukan perbuatan dana tau perjanjian
karena melaksanakan ketentuan Undang-Undang atau
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
tetapi membuat delegasi secara tegas dari Undang-Undang;
dan
b. Pelaku usaha yang bersangkutan adalah pelaku usaha yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
2. Tujuan Pengecualian Pasal 50 Huruf a
Adapun Tujuan ketentuan pengecualian dalam pasal 50 huruf a:
1. Menyeimbangkan kekuatan ekonomi yang tidak sama,
misalnya kegiatan yang dilakukan pelaku usaha kecil
dalam rangka meningkatkan kekuatan penawarannya
ketika menghadapi pelaku usaha yang memiliki kekuatan
ekonomi lebih kuat.
2. Menghindari terjadinya kerancuan dalam penerapan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 apabila terjadi konflik
kepentingan yang sama-sama ingin diwujudkan melalui
48
kebijakan yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
3. Mewujudkan Kepastian hukum dalam penerapan
peraturan perundang-undangan, misalnya pengecualian
bagi beberapa kegiatan lembaga keuangan untuk
mengurangi resiko ketidakpastian.
4. Melaksanakan ketentuan pasal 33 ayat (2), (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pengecualian dalam Pasal 50 Huruf a
Dalam pasal 50 huruf a ketentuan yang bersifat pengecualian
atau pembebasam dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
benturan dari berbagai kebijakan yang saling tolak belakang,
namun sama-sama diperlukan dalam menata perekonomian
nasional. Penetapan dari pasal ini kadang kali tidak dapt
dihindarkan untuk menyeimbangkan antara perlunya
penguasaan bidang produksi yang menguasai hidup orang
banyak dan pemberian perlindungan pada pengusaha berskala
kecil, sehingga pengaturan pasal 50 huruf a dapat dibenarkan
secara hukum dan tidak mungkin dapat dihindari sama sekali.
Adanya perlakuan khusus bagi cabang-cabang produksi
yang menguasai hidup orang banyak untuk dikuasai oleh negara
diatur secara tegas dalam Pasal 33 ayat (2), dan ayat (3)
49
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.Ketentuan pasal 33 ayat (2), dan (3) sejalan dengan yang
diatur dalam pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pasal 33 ayat (4) menyatakan“Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”38.
Dengan demikian kebijakan otonomi daerah di bidang
perekonomian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan
perekonomian nasional karena materi peraturan perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional.
Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 jo Pasal 138 ayat (1) huruf e yaitu menentukan adanya asas
kenusantaraan sehingga adanya kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila. Jadi kedudukan Pasal 50
huruf a yang memiliki daya laku secara nasional dan peraturan
38 Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
50
yang dibuat di daerah tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan tersebut.