BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB...

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban KDRT 1. Pengertian Resiliensi pada Istri Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Pendapat lain oleh Glantz & Johnson (1999), resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosi. Beberapa dari individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi, Yang pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005). Sulistyarini (2011) menyatakan bahwa individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi pada Istri Korban KDRT

1. Pengertian Resiliensi pada Istri

Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menilai,

mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan

atau kesengsaraan dalam hidup. Setiap orang pasti mengalami kesulitan ataupun

sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah

ataupun kesulitan (Grotberg, 1995). Pendapat lain oleh Glantz & Johnson (1999),

resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam

menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosi. Beberapa dari individu yang resilien

tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu akan mengembangkan cara

untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk

pengembangan diri pribadi, Yang pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik

dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005).

Sulistyarini (2011) menyatakan bahwa individu dengan resiliensi yang baik

adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah

menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya

bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik

menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi

merupakan konstruk psikologi yang diajukan oleh para ahli behavioral dalam

rangka usaha untuk mengetahui, mendefinisikan, dan mengukur kapasitas individu

untuk tetap bertahan dan berkembang pada kondisi yang menekan (adverse

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

conditions) dan untuk mengetahui kemampuan individu untuk kembali pulih

(recovery) dari kondisi tekanan (McCubbin, 2001). Menurut Reivich dan Shatte

(2002) resiliensi ialah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika

menghadapi kesulitan atau trauma. Diperjelas oleh Connor dan Davidson (2003)

mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal

kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Block dan Kreman (Xianon & Zhang,

2007) menyatakan bahwa resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas

individual untuk bertahan/survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stress dan

mengalami penderitaan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah

kemampuan istri untuk bertahan dan beradaptasi dalam situasi yang menekan serta

meresponnya dengan positif sehingga dapat mengembangkan diri mereka dan

menjadi pribadi yang lebih baik bahkan dari sebelum mengalami kekerasan.

2. Aspek-aspek Resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh aspek yang membangun

resiliensi, yaitu:

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah

tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan

baik yang dapat membantu individu untuk mengontrol emosi, perhatian, dan

perilaku. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

kedekatan, sukses dipekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik

seseorang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan

untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga

hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di

antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang

yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang

dirasakan seseorang cenderung menular kepada orang lain. Semakin kita terasosiasi

dengan kemarahan dan rasa cemas maka kita juga akan semakin menjadi seseorang

yang pemarah dan mudah cemas.

Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa

marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal

ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif

maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan

untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi

(Reivich & Shatte, 2002).

b. Mengontrol Impuls

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu

yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami

perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku.

Seseorang menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif,

dan berlaku agresif.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada

pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi sebagai kenyataan dan

bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian

impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya

kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada

permasalahan yang ada.

c. Optimis

Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Individu yang optimis

percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah

ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis

memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa merekalah pemegang

kendali atas arah hidup. Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik,

jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas yang tinggi, apabila

dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis.

Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme

sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan,

ketekunan, prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi

yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. Sebagian

individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini

secara umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa

situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi

melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai

kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin

terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan Self Efficacy yang

dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu

menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich &

Shatte(2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa

depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun

strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi.

d. Analisis Sebab Masalah (Causal analysis)

Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah

kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Causal

analysis digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika

individu tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka

individu tersebut akan membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir

explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal

baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan individu. Gaya berpikir ini erat

kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya

berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya),

permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir ”saya-selalu-semua” merefleksikan

keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini

selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang

memiliki gaya berpikir ”bukan saya-tidak selalu-tidak semua” meyakini bahwa

permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi

tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang

ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua). Gaya

berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich

& Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada ”selalu-semua” tidak mampu melihat

jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dan mengubah situasi, individu

tersebut akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung

menggunakan gaya berpikir ”tidak selalu-tidak semua” dapat merumuskan solusi

dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat

mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa

mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu yang

resilien tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang

resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat demi

menjaga self-esteemnya atau membebaskan diri dari rasa bersalah. Individu yang

resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali,

sebaliknya memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah,

perlahan individu tersebut mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan

hidup, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

e. Empati

Menurut Reivich dan Shatte (2002) empati mencerminkan kemampuan individu

membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa

individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan

bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah,

intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan

dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk

peka terhadap tanda-tanda noverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan

dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan

memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang rendah

cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu

menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

Individu yang berempati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain

sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang

yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang

baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi

menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat

sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,

hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

f. Efikasi Diri

Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat

memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada

kemampuannya untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin,

sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self-efficacy dirinya

akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Individu yang memiliki

efikasi yang tinggi akan sangat mudah menghadapi tantangan. Individu ini akan

cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang dialami

(Reivich & Shatte, 2002). Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai

untuk mencapai resiliensi.

g. Reaching out (Pencapaian)

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar

bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan

dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi membantu untuk

meningkatkan aspek positif dalam kehidupan individu. Resiliensi merupakan

sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih (reaching out)

dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya. Banyak individu yang

tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan individu tersebut telah

diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi

yang memalukan. Individu-individu ini memilih untuk memiliki kehidupan standar,

dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko

kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Individu ini menganggap gagal ketika

melakukan sesuatu lebih buruk daripada gagal sebelum mencoba. Hal ini

menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihan-lebihan (overestimate)

dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan

kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah

self-handicapping, dan secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu

seperti ini cenderung berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan

kegagalan yang akan mendatangkan bencana besar.

Menurut Reivich & Shatte (2002), Reaching out merupakan kemampuan yang

meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek

positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu

membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan

hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu

meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan

hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan

pengendalian emosi.

Berdasarakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terbentuknya suatu

resiliensi pada istri dapat dilihat dari bagaiman istri dapat mengelolah emosi ketika

mengalami KDRT, mengontrol impuls atau mengendalikan dorongan yang dalam

dirinya, optimis bahwa segala sesuatu dapat beruah lebih baik, menganalisis sebab

akibat dari setiap persoalan, berempati dan memahami kondisi orang lain, memiliki

efikasi diri yang baik dan reaching out sehingga mampu memiliki hubungan yang

baik dengan orang lain.

3. Pembentuk Resiliensi

Beberapa sumber yang dapat membentuk resiliensi diungkapkan oleh Grotberg

(1999) yaitu sebagai berikut;

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

a. I Have ( sumber dukungan eksternal )

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar. Dukungan ini berupa

hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan,

ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang

merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini

diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang

mencintai dan menerima diri anak tersebut.

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat

mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan

yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat

membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan

mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya

sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.

Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan

kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu

mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.

b. I Am ( kemampuan individu )

I Am merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut

meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu

yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan

penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai

dan mencintai orang lain. Individu juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan

mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Individu ini memiliki empati

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu ditunjukkan melalui

sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Indvidu ini

juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain

dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri,

bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika individu mendapatkan

masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu

dalam mengatasi kesulitan tersebut. Individu merasa mandiri dan cukup

bertanggungjawab dan dapat melakukan banyak hal dengan kemampuannya sendiri

sehingga bertanggungjawab atas pekerjaan yang telah lakukan serta berani

menangung segala konsekuensinya. Selain itu individu juga diliputi akan harapan

dan kesetiaan. Memiliki kepercaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik

serta memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an yang

diyakini.

c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal. Individu dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan

semua orang yang ada disekitarnya. Individu tersebut juga memiliki kemampuan

untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Individu mampu

mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik. Kemampuan untuk

mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang

resilien. Individu mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya

dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

Mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah,

atau melampiaskan keinginan pada hal-hal yang tidak baik. Individu juga

memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu Individu

untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,

dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Selain itu,

individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan,

untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan

masalah pribadi dan interpersonal.

Berdasarkan definisi di atas ditarik kesimpulan untuk mencapai suatu resiliensi

dibutuhkan sumber keluatan yakni pengaruh atau dukungan dari orang sekitar

individu yang mengalami tekanan, kekuatan yang dimiliki individu itu sendiri

berupa keyakinan, perilaku dan perasaan positif serta mampu menjalin hubungan

dengan sosial dan interpresonal.

4. Fungsi Resiliensi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi berguna bagi manusia

dalam kondisi berikut ini ( Reivich & Shatte, 2002):

a. Overcoming

Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-masalah

yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh karenanya manusia

membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugian-kerugian yang menjadi

akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan

meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan sendiri. Sehingga dapat

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan

pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Steering through.

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah,

tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang

resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi

setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif

terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta

mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya.

Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang

bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita

dapat menguasai lingkungan secara efektif dan dapat memecahkan berbagai

masalah yang muncul.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan

tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam

menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan

biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi

dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya

menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka

menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang

bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan

kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui

bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi

pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau

menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman

hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar

pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini

melakukan tiga hal dengan baik, yaitu tepat dalam memperkirakan risiko yang

terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri dan menemukan makna dan

tujuan dalam kehidupan mereka.

Berdasarkan definisi di atas disimpulkan resiliensi dibutukhan bagi istri untuk

mengatasi situasi tekanan yang dangat berat sehingga istri mampu berpikir positif

dan memiliki motivasi untuk produktif, mampu mengatasi masalah dan tidak

terbebani dengan kejadian tersebut, mampu untuk mengontrol hasil dari kehidupan

sehingga mampu kembali ke kehidupan normal serta mampu menemukan makna

dan tujuan hidup.

5. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Kekerasan diranah rumah tangga merupakan tindakan kriminal yang sangat

sering terdengar sehingga tidak heran jika permasalahan ini menjadi topik yang

paling populer dalam ranah problematika kehidupan rumah tangga. UUD No 23

Tahun 2004 tentang PKDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.

Menurut Sukri (2004) kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan

yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat

atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan

atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis yang

terjadi dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan atau istri dapat

diartikan sebagai suatu tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang

terjadi di dalam keluarga, dan melanggar hak-hak asasi perempuan. Tindak

kekerasan yang dilakukan akan memberikan dampak dan resiko yang sangat besar

bagi perempuan atau istri.

Berdasarka uraian di atas disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) merupakan suatu tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga yang

dilakukan oleh anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis yang

menimbulkan dampak menyakiti secara fisik, psikis, seksual, ekonomi termasuk

peramasan kemerdekaan bagi korban.

6. Dampak KDRT bagi Istri

KDRT menimbulkan dampak yang sangat besar bagi kehidupan seorang istri,

kekerasan tidak hanya menyebabkan luka pada tubuh, tetapi juga merusak

kesehatan psikis dan emosional, mengganggu fungsi-fungsi sosial ekonomi serta

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

melumpuhkan sendi-sendi kehidupan perempuan bahkan pada tataran yang sangat

fundamental. Menurut Newton (2001) istri yang mengalami KDRT akan mudah

gelisah, emosional berlebihan, depresi kronis, malnutrisi, mudah panik, memiliki

gangguan somatisasi, disfusi seksual hingga bunuh diri.

Baquandi (2009) mengatakan dampak kekerasan terhadap istri adalah:

mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri,

mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah

menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan

keinginan untuk bunuh diri. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat

fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit

menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian. Dampak psikologis

lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki

hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban

(ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-

bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan

kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dampak KDRT diantaranya

menimbulkan sakit secara fisik, tekanan mental, depresi, rusaknya organ

reproduksi, kehilangan harga diri dan gangguan kepribadian lainya.

7. Faktor Istri Bertahan dalam KDRT

Berbagai faktor yang menyebabkan istri sebagai korban kekerasan tidak

melakukan perlawanan atau keluar dari kondisi KDRT. Diungkapkan oleh Farha

(1999), menyatakan bahwa alasan Istri tetap memilih bertahan dalam KDRT ialah:

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

a. Takut akan pembalasan suami, banyak istri diancam dengan penganiayaan yang

lebih kejam jika mereka berupayah keluar dari rumah.

b. Tidak adanya tempat berlindung, banyak istri bergantung secara ekonomi pada

suami sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba tetap bertahan dalam

penderitaan.

c. Takut dicerca masyarakat, banyak perempuan takut dikatakan perempuan tidak

baik karena diketahui sebgai korban kekerasan dan sebagian tidak siap dengan

status sosial sebagai janda becerai karena diangap rendah dalam masyarakat.

d. Rasa percaya diri yang rendah akibat penganiayaan, istri merasa tidak berani dan

tidak percaya memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah.

e. Untuk kepentingan anak, istri khawatir anak-anaknya akan megalami

penderitaan yang lebih buruk jika berisah dengan ayah mereka.

f. Istri tetap mencintai suami, mereka mendambakan berhentinya kekerasan bukan

putusnya perkawinan. Istri berharap suami akan berubah menjadi baik kembali.

g. Mempertahankan perkawinan, banyak istri yang percaya bahwa perkawiana

merupakan sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk

sehingga harus dihindari. Istri menganggap lebih baik tetap menderita dalam

perkawinan dari pada bercerai karena tabu atau dilarang oleh agama.

8. Resiliensi Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Hidup dalam KDRT merupakan suatu tekanan yang sangat besar bagi seorang

istri. KDRT merupakan situasi yang tanpa disadari terus berulang layaknya siklus

kekerasan, siklus ini terdiri dari tahap munculnya konflik dimana timbul

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

permasalahan dalam hubungan suami istri, yang kedua ialah tahap kekerasan, pada

tahap ini istri akan menerima penganiyayaan secara fisik maupun psikis seperti

pemukulan dan caci maki, selanjutnya tahap bulan madu,suami akan menyesali

perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya, lalu tahap reda atau

ketenangan yakni keadaan dimana suami dan istri menjalankan kehidupan seperti

pasangan pada umumnya (Hayati dkk., 2000). Situasi KDRT akan terus berulang

dikarenakan walaupun istri merasakan teror dari kekerasan yang diterima, ketika

suami kembali meminta maaf dan menyesali perbuatanya istri merasa memiliki

harapan suaminya akan berubah. Selain itu, perasaan cinta yang dimiliki istri akan

membuat istri memaklumi perbuatan suaminya ( Rifka Annisa Women’s Crisis,

2000).

KDRT yang terus terjadi memberikan dampak negatif tidak hanya bagi fisik istri

tetapi jauh lebih besar berdampak pada psikologi sorang istri. Istri yang menerima

KDRT akan mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri

dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada

suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami

depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri (Baquandi, 2009). Namun, meskipun

KDRT memberikan dampak yang negarif bagi korban, para korban cenderung lebih

memilih untuk bertahan dalam kondisi KDRT daripada keluar dari situasi tersebut

(Krisyanti, 2004).

Bertahan dalam suatu hubungan dengan kekerasan bukanlah suatu hal yang

mudah. Istri yang memilih untuk tetap bertahan dalam kekerasan diyakini bahwa

karna istri memiliki resiliensi. Reseliensi yaitu kemampuan seseorang untuk

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari

keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1995). Beberapa dari

individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Individu

tersebut akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan

menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi. Sehingga, pada

akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi &

Khoshaba, 2005).

Untuk mencapai resiliensi yang baik tidaklah mudah, khususnya bagi korban

KDRT yang dapat dikatakan tinggal dan hidup bersama tekanan dan kekerasan

dalam rumah tangganya. Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan berbagai hal

harus dipenuhi seorang istri hingga mencapai resiliensi walapun dengan cara yang

berbeda-beda pada tiap individu, diantaranya mampu mengontrol emosi dan

perasaan yang bergejolak dalam dirinya dan mengalihkan pikiran dan perasaannya

pada hal yang lebih positif dan mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat.

Selain itu, istri mampu mengontrol dorongan yang ada dalam dirinya untuk

bertindak melawan tekanan yang dihadapi sehingga mampu meguasai pikiran dan

emosi dan menjadikan perilaku yang resilien.

Istri yang resilien juga memiliki sikap optimis akan masa depan yang lebih baik,

kemampuan ini membantu istri untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang

dihadapi hingga mampu memperbaiki keadaan. Optimis akan membuat fisik istri

lebih sehat dan terhindar dari depresi. Kemampuan untuk menganalisis penyebab

persoalan juga menjadi aspek penting dalam resiliensi, istri yang mampu pengolah

kognitifnya dengan baik dapat menemukan penyebab dari setiap tekanan yang

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

dialami dan menjelaskan pada pribadanya tanpa terjebak pada situasi yang rumit

dan mengakibatkan menyalahkan orang lain ataupun dirinya sehingga mampun

membebaskan diri dari rasa bersalah.

Beberapan orang memiliki kepekaan terhadapa bahasa nonverbal orang lain

sehingga mampu menempatkan dirinya pada posisi orang lain. Individu yang

memiliki empati dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga

mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang

memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik

(Reivich & Shatte, 2002). Self-efficacy memampukan istri untuk memiliki

keyakinan atas potensi yang dimiliki. Istri dengan self-efficacy yang baik, memiliki

keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan

ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya dan bangkit

dari tekanan. Kemampuan terakhir yang harus dimilki istri agar mencapai resiliensi

ialah mampu meraih apa yang diinginkan, istri yang resisten mampu meningkatkan

keterampilan yang dimilikinya secara positif tanpa terpengaruh oleh keadaan

sekitarnya. Tekanan yang diterima tidak menghalanginya untuk mencapai impian

akan masa depan yang lebih baik dan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan resiliensi pada istri korban kekerasan

dalam rumah tangga tercermin dari kemampuannya untuk mengolah pikiran,

perasaan, emosi dan fisiknya dengan tepat. Kemampuan ini berbeda-beda pada tiap

individu sehingga tidak semua individu wajib memiliki seluruh aspek resiliensi

tegantung potensi apa yang lebih dominan dalam diri korban. Terbentuknya suatu

resiliensi dapat dipengaruhi oleh bagaimana dukungan dari orang disekitar korban,

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

kesadaran akan potensi yang dimiliki serta kemampuan untuk berhubungan dengan

lingkungan, maka dari hal tersebut korban dapat memiliki motivasi untuk hidup,

tidak terbebani oleh masalah yag diterima, yakin akan potensi yang dimiliki sehinga

mendapatkan makna akan kehidupannya dan menemukan tujuan dari hidup.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Central question:

Bagaimana gambaran resiliensi pada istri korban Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT)?

2. Sub question:

a. Bagaimana cara partisipan mengatur stabilitas emosi saat mengalami

KDRT?

b. Bagaimana cara partisipan mengontrol dorongan dalam dirinya ketika

menghadapi KDRT?

c. Bagaimana bentuk keyakinan partisipan akan masa depannya saat

berada dalam situasi KDRT?

d. Bagaimana partisipan mengidentifikasi sebab permasalahan yang

memicu terjadinya tindakan KDRT?

e. Seberapa mampu partisipan menunjukan rasa empati pada

lingkungannya di tengah dituasi KDRT?

f. Seberapa yakin partisipan akan kemampuan dirinya dalam mengatasi

situasi KDRT?

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi pada Istri Korban ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4935/3/BAB II.pdf · resilien tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

g. Seberapa besar pencapain partisipan dalam mewujudkan impiannya

ditengah situasi KDRT yang dialami?

3. Topical question:

a. Bagaimana bentuk pengalaman KDRT yang dialami partisipan?

b. Apa saja dampak KDRT yang dialami partisipan?

c. Apa saja yang menjadi faktor pendukung dapat istri bertahan dalam

hubungan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan?