BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya...

30
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric Relaxation (PIR) 1. Definisi Post Isometric Relaxation Post Isometric Relaxation (PIR) merupakan salah satu mekanisme dari Muscle Energy Technique yang merupakan salahsatu jenis manual terapi yang sering diaplikasikan untuk memanjangkan serabut otot yang telah mengalami pemendekan, memobilisasi persendian, serta mereduksi terjadinya edema. PIR dikembangkan oleh Fred Mitchell dengan penggunaan kontraksi secara sadar yang dilakukan oleh pasien untuk melawan suatu tahanan yang diberikan terapis. PIR merupakan teknik terapi manual yang diberikan secara gentle dan besifat aman, serta memiliki prinsip manipulasi halus dengan tahanan minimal yang dapat memberikan efek relaksasi otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan. PIR juga memberikan suatu dampak yang besar terhadap peningkatan lingkup gerak sendi dan peregangan statis (Ellythy, 2012). Efek utama yang diberikan dari teknik ini adalah mengurangi tonus otot pada otot yang mengalami hipertonus serta dapat mengembalikan pajang normal saat otot beristirahat karena adanya pengaruh dari reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Kemudian reseptor bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi, secara natural hal tersebut

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Isometric Relaxation (PIR)

1. Definisi Post Isometric Relaxation

Post Isometric Relaxation (PIR) merupakan salah satu mekanisme dari

Muscle Energy Technique yang merupakan salahsatu jenis manual terapi

yang sering diaplikasikan untuk memanjangkan serabut otot yang telah

mengalami pemendekan, memobilisasi persendian, serta mereduksi

terjadinya edema. PIR dikembangkan oleh Fred Mitchell dengan

penggunaan kontraksi secara sadar yang dilakukan oleh pasien untuk

melawan suatu tahanan yang diberikan terapis. PIR merupakan teknik terapi

manual yang diberikan secara gentle dan besifat aman, serta memiliki

prinsip manipulasi halus dengan tahanan minimal yang dapat memberikan

efek relaksasi otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan. PIR

juga memberikan suatu dampak yang besar terhadap peningkatan lingkup

gerak sendi dan peregangan statis (Ellythy, 2012).

Efek utama yang diberikan dari teknik ini adalah mengurangi tonus otot

pada otot yang mengalami hipertonus serta dapat mengembalikan pajang

normal saat otot beristirahat karena adanya pengaruh dari reseptor stretch

yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Kemudian reseptor

bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya

berkontraksi, secara natural hal tersebut

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

14

melindungi reaksi terhadap regangan berebih, mencega ruptur, serta

memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba– tiba

pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching.

Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang

sama dapat memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari

golgi tendon organ akan masuk menuju bagian dorsal spinal cord dan

nantinya akan bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal itu dapat

menghentikan impuls motor neuron afferent yang dapat mencegah

terjadinya kontraksi otot lebih lanjut, tonus otot menurun serta dapat

menghasilkan relaksasi dan pemanjangan pada otot agonist (Fryer, 2013)

Gambar 2.1 Post Isometrict Relaxation (PIR)

(Sumber : Chaitow, 2007)

2. Indikasi Post Isometric Relaxation

Konsep peregangan yang dilakukan pada saat pengaplikasian dari

teknik PIR hampir sama dengan stretching dan kontraksi isometrik. Menurt

Fryer (2013) untuk mendapatkan lingkup gerak sendi yang maksimal dan

ekstensibelitas otot, maka dapat memanfaatkan variasi isometrik dari otot

agonisnya. Teknik PIR akan meningkatkan lingkup gerak sendi secara

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

15

efektif selama tidak dirasakan nyeri. Penerapan PIR oleh Chaitow (2009)

dengan durasi selama 5-7 detik dengan tujuan mendapatkan hasil secara

efektif, dan juga dikatakan oleh Fryer (2013).

Kondisi yang dapat menyebabkan nyeri disfungsi spinal seperti

trauma, strain, dan juga inflamasi yang menyebabkan limitasi lingkup gerak

sendi, serta nyeri dapat ditangani dengan PIR, yaitu dengan cara

mengandalkan kontraksi secara berulang dengan gentle. Biasanya teknik

PIR juga digunakan untuk mengatasi permasalahan disfungsi pelvis akibat

sprain ligament, kelemahan otot dan juga atropi dengan menggunakan

kontraksi isometrik sehingga dapat meningkatkan stabilisasi motori (Fryer,

2013).

3. Efek pemberian Post Isometric Relaxation

a. Pada sirkulasi darah

Teknik ini dapat menimbulkan pengaruh rileksasi pada jaringan

sehingga ketegangan pada jaringan akan berkurang, terjadi peningkatan

sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme, dan oksigen dapat masuk ke

dalam jaringan (Chaitow, 2006)

b. Pada fascia

Pemberian teknik ini dapat melepaskan perlengketan yang terjadi

pada fascia dengan melepaskan jaringan fibrosus penyebab stress

mekanik yang menyebabkan ketegangan pada fascia. Selain ini terjadi

peningkatan sirkulasi darah dan peningkatan metabolisme tubuh

sehingga nyeri berkurang (Chaitow, 2006).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

16

c. Pada otot

Post isometric relaxation memanjangkan otot yang mengalami

pemendekan, mengulangi kontraktur, mengurangi hipertonus otot dan

secara fisiologis memperkuat kelompok otot yang mengalami

kelemahan. Post isometric relaxation dapat digunakan untuk membantu

meningkatkan kemampuan otot yang mengalami kelemahan dengan cara

pasien mengkontraksikan otot yang mengalami kelemahan melawan

tahanan terapis secara kontraksi isometrik dengan halus dan lembut

(Chaitow, 2006).

4. Aplikasi Post Isometric Relaxation

Terdapat prinsip serta dosis yang digunakan dalam pengaplikasian dari

post isometric relaxation, yaitu (Chaitow, 2006) :

a. Palpasi

Palpasi merupakan suatu hal yang paling penting untuk dilakukan

pada pelaksanaan post isometric relaxation, karena palpasi bertujuan

untuk mengetahui adanya tighness, hipomobile, hipermobile, dan spasme

pada otot atau sendi yang nantinya berfungsi untuk memnentukan target

jaringan yang akan diberika terapi. Teknik palpasi ini diberikan dengan

cara melakukan tekanan yang halus, dengan keadaan otot atau sendi

harus dalam posisi rileks saat dilakukannya gerakan pasif, tujuan

dilakukan hal tersebut untuk menentukan besar ketegangan tonus otot

atau mobilitas pada sendi.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

17

Gambar 2.2 Palpasi pada teknik Post Isometric Relaxation

(Sumber: Chaitow, 2006)

b. Kontrol Tahanan Gerak

Penatalaksanaan pada hal ini dengan cara memberikan tahanan gerak

yang dilakukan pada saat kontraksi isometrik otot agonis sebesar 20%

dari kekuatan otot pasien ataupun fisioterapis, tujuan dilakukan hal ini

supaya jaringan disekitar tidak mengalami stress yang berlebihan yang

dapat menambah suatu kerusakan dan dapat mengiritasi jaringan

tersebut, serta agar otot tidak mengalami suatu renggangan yang

berlebih.

Gambar 2.3 Aplikasi dengan kontrol tahan gerak

(Sumber: Chaito, 2006)

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

18

c. Waktu Kontraksi

Panjang waktu kontaksi ini dibutuhkan untuk memberikan beban

kerja tendon golgi terhadap adanya pengaruh neurologis pada serabut

intrafusal muscle spindel yang dapat menghambat tonus otot dan dapat

memberikan kesempatan pada otot untuk mendapatkan panjang istirahat

pada otot yang baru. Waktu yang dilakukan pada saat kontraksi isometrik

yaitu selama 10 detik.

d. Pernapasan

Dalam melakukan suatu terapi pernapasan merupakan suatu hal

yang penting untuk dilakukan, karena pada teknik ini rileksasi yang

diberikan akan lebih besar serta sangat baik untuk meningkatkan

sirkulasi darah dalam tubuh. Saat dilakukannya kontraksi isometrik,

pasien diinstruksikan untuk menarik napas secara perlahan dan juga

rileks. Setelah dilakukannya penerapan PIR pasien diinstruksikan

kembali untuk menghembuskan napas secara pelahan dan juga rileks.

Gambar 2.4 Aplikasi Post Isometric Relaxation dengan melibatkan pernafasan

(Sumber: Chaitow, 2006)

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

19

e. Regangan atau stretching

Setelah dilakukannya kontraksi isometrik selama 10 detik lalu

diberikan peregangan atau stretching selama 5-7 detik yang dilakukan

secara halus dan perlahan.

Gambar 2.5 Aplikasi Muscle Energy Technique dengan Stretching

(Sumber: chaitow, 2006)

f. Waktu pengulangan

Sesuai dengan tujuan yang dicapai, pengulangan yang dilakukan

dapat diberikan sebanyak 5 kali. Waktu pengulangan tersebut sangat

efektif bagi rileksasi jaringan dan juga otot.

g. Mekanisme Post Isometric Relaxation untuk menurunkan nyeri

Post Isometric Relaxation (PIR) merupakan suatu manual terapi

yang dilakukan untuk meanjangkan serabut otot yang telah mengalami

pemendekan maupun ketegangan, dengan teknik yang diberikan secara

gentle dan bersifat aman serta dapat memberikan efek relaksasi otot

tanpa menimbulkan rasa nyeri. Nyeri yang turun terjadi karena kekuatan

kontraksi otot terhadap perlawanan yang sama dapat memicu reaksi golgi

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

20

tendon organ (reaksi golgi tendon orga dapat terjadi akibat adanya

ketegangan otot yang berlebihan). Impuls saraf afferent dari golgi tendon

organ akan masuk menuju bagian dorsal spinal cord dan nantinya akan

bertemu dengan inhibitor motor neuron. Hal tersebut yang nantinya

dapat menghentikan impuls motor neuron afferent yang dapat mencegah

terjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot

yang nantinya dapat menurunkan nyeri. Nyeri biasanya terjadi akibat

adanya perlengketan jaringan dan suplai oksigen didalam darah tidak

lancar yang nantinya dapat menimbulkan terjadinya ketegangan otot.

Pemberian PIR ditujukan untuk melepaskan perlengketan yang terjadi

pada jaringan, meningkatkan sirkulasi darah, serta peningkatan

metabolisme tubuh yang nantinya akan menyebabkan penurunan

ketegangan otot serta nyeri mulai menurun (Chaitow, 2006)

B. Anatomi dan Biomekanik Neck / Leher

1. Otot – Otot Leher

Menurut Habsat, 2010 ada beberapa pembagian yang terdapat pada otot

leher (cervical), yaitu :

a. Pada bagian anterior

Pada bagian anterior dibagi menjadi dua bagian, terdapat otot

prevertebralis cerical dan hyoid :

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

21

1) Otot Prevertebralis Cervical

Otot prevertebralis terdiri dari otot longus colli dan longus

capitis, serta otot rectus capitis anterior dan rectus capitis lateralis.

Otot longus colli berasal dari T3 bagian atas sampai pada C1 (atlas)

dan longus capitis berasal dari cervical bawah ke os. Occipital,

sedangkan pada otot rectus capitis berjalan secara oblique ke atas

dari atlas ke tengkorak, rectus capitis anterior berjalan ke arah

medial dan rectus capitis lateralis berjalan ke arah lateral. Otot –

otot tersebut berperan dalam gerakan fleksi kepala dan leher pada

saat otot – otot sisi kiri dan sisi kanan bekerja bersama – sama

kecuali otot longus colli, karena pada otot longus colli hanya bekerja

pada leher dan bekerja aktif pada gerakan fleksi yang ditahan dan

gerakan lateral fleksi yang ditahan dan rotasi pada sisi yang sama,

otot ini juga menstabilisasi leher selama betuk, bicara, dan menelan.

2) Otot Hyoid

Otot hyoid dikenal juga sebagai otot yang berbentuk seperti

tali. Otot hyoid merupakan otot – otot yang berada di anterior yang

kecil pada regio cervical. Otot hyoid berperan dalam gerakan fleksi

pada kepala dan leher, otot ini terdiri dari otot suprahydois dan 4 otot

infrahyidois. Otot ini merupakan otot – otot utama dalam fase-fase

menelan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

22

Gambar 2.6 Otot Leher Bagian Anterior

(Sumber: Chairi, 2011)

b. Pada bagian posterior

Pada bagian posterior cervical terdapat beberapa otot, antara

lain otot splenius capitis dan cervicis, group otot suboccipitalis,

erector spine, serta otot semispinalis cervicis dan cavitis.

1) Otot Splenius Capitis dan Cervicis

Otot splenius capitis dan cervicis terdiri dari ikatan

serabut paralel. Otot splenius capitis jauh lebih besar daripada

splenius cervicis. Ketika sisi kiri dan kanan berkontraksi secara

bersamaan, kedua otot tersebut berperan dalam gerakan ekstensi

dan hiperekstensi kepaka serta leher, selain itu kedua otot ini

membantu menopang kepala dan postur dalam keadaan tegak.

Otot – otot ini dapat dipalpasi pada posterior leher tepatnya

dibagian lateral dari upper trapezius dan bagian posterior dari

sternocleidomastoid di atas levator scapula.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

23

2) Group otot Suboccipitalis

Pada group otot ini terdiri dari 4 otot pendek pada bagian

os. Occipital dan 2 vertebra bagian atas, antara lain adalah

obliques capitis posterior major dan minor. Kerja otot secara

bersamaan pada kedua sisi dapat menghasilkan gerakan ekstensi

dan hiperekstensi kepala.

3) Erector Spine

Otot ini dikenal sebagai massa otot yang besar dan terbagi

atas 3 cabang yaitu, iliocostalis, longissimus yang terdapat pada

regio cervical dan otot spinalis. Otot iliocosalis terdiri dari

lumbale, thoracal, dan cervical. Sedangkan pada otot

longiismus terdiri dari 3 bagian yang berbeda yaiti longisimus

thoracis, longisimus cervicis (otot kecil yang terletak didekat

spine), dan longisimus capiitisi (otot yang tipis dan melekat dari

vertebrae cervical pada 2/3 bagian bawah cervical). Otot

erector spine pada regio cervical jika berkontraksi secara

bersamaan pada kedua sisi akan menghasilkan gerakan ekstensi

pada kepala, tetapi jika hanya berkontraksi pada satu sisi maka

akan menghasilkan gerakan lateral fleksi.

4) Otot Semispinalis Cervicis dan Capitis

Merupakan otot yang terletak dekat dengan vertebra pada

bagian dalam erector spine. Bagian thoracal dan cervical terdiri

atas serabut otot yang kecil yang berjalan ke arah medial dan ke

atas sampai ke beberapa processus vertebra diatasnya. Ketika

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

24

kedua otot tersebut berkontraksi secara bersamaan maka akan

menghasilkan gerakan ekstensi pada cervical, tetapi jika hanya

satu sisi yang berkontraksi maka akan menghsilkan gerakan

lateral fleksi dan rotasi pada sisi yang berlawanan.

Gambar 2.7 Otot Leher Bagian Posterior

(Sumber : Rischichairi, 2011)

c. Pada bagian Lateral

Pada bagian lateral cervical terdiri dari beberapa otot, antara

lain adalah otot scalenus anterior, posterior, dan medius, serta otot

sternocleidomastoid.

1) Otot Scalenus Anterior, Posterior, dan Medius

Otot ini berjalan secara diagonal ke atas dari sisi 2 kosta

atas sampai dengan processus transversus vertebra cervical. Jika

otot ini melakukan suatu gerakan secara bersamaan pada kedua sisi

maka akan menimbulkan gerakan lateral fleksi leher.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

25

2) Otot Sternocleidomastoid

Otot ini mudah untuk dipalpasi pada sisi leher tepar dibawah

telinga ke depan leher salah satu sisi dari sternoclaicular joint. Otot

ini terdiri dari 2 caput, satu caput dari puncak sternum dan caput

lainnya dari puncak klavikula, kedua kaput tersebut melekat dan

menyatu pada tulang tengkorak berada tepat di bawah dan

dibelakang telinga. Jika kedua otot ini melakukan suatu pergerakan

secara bersamaan maka akan menghasilkan gerakan fleksi kepala

dan leher, jika hanya satu sisi yang melakukan pergerakan maka

akan menghasilkan gerakan rotasi pada sisi yang berlawanan.

Gambar 2.8 Otot Leher Bagian Lateral

(Sumber : Chairi, 2011)

1. Persendian pada Leher

Terdapat beberapa persendian yang ada pada leher, menurut Hibsat

pada tahun 2010 persendian yang ada pada leher antara lain adalah :

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

26

a. Atlanto Occypitalis (C0 – C1)

Dikenal sebagai “yes joint” karena memiliki gerakan utama fleksi-

ekstensi, serta merupakan sendi sinovial jenis avoid yang dibentuk oleh

inferior articular face atlas cekung.

b. Atlanto Axialis (C1 – C2)

Dikenal sebagai “no joint” karena memiliki gerakan utama rotasi

kanan-kiri, serta merupakan sendi sinovial jenis sendi putar yang

dibentuk oleh atlas arc.

c. Intervertebral Joint (C2 – C7)

Memiliki gerakan ke segala arah, dengan gerakan yang paling

dominan seperti fleksi, ekstensi, dan lateral fleksi

d. Facets dan Uncovertebral Joint

Facet dibentuk oleh processus articular inferior dengan processus

articular superior vertebra dibawahnya, dimana arah permukaan sendi

dalam bidang transversal sehingga memungkinkan luasnya ke segala

arah. Uncenvertebral joint merupakan sendi yang bukan sebenarnya

melainkan pertemuan tepi lateral korpus vertebra cervicalis, yang

berkembang dan degenerasi sesuai umur.

2. Anatomi Otot Trapezius

Otot trapezius salah satu otot yang mudah untuk dipalpasi karena

memiliki banyak fascia yang terletak dibawah kulit. Merupakan salah satu

otot terbesar yang paling superfisial yang letaknya berada pada daerah

scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena otot ini mirip dengan

bangun trapezius. Otot trapezius dibagi menjadi empat bagian, pada bagian

I dan II membentuk upper trapezius berperan dalam gerakan elevasi dan

adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius yang berperan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

27

dalam gerakan adduksi shoulder, dan bagian ke IV membentuk lower

trapezius yang akan berperan dalam gerakan depresi serta adduksi pada

shoulder (Sudaryanto et al., 2011).

Otot pada bagian upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital

protuberance pada C6 dan lateral dari acromion terutama pada gerakan

elevasi shoulder. Serat otot pada bagian upper trapezius yang melekat pada

clavicula relatif lemah dan tipis dimana nantinya kepala bisa sepenuhnya

memutar ke sisi yang berlawanan., serat otot pada upper trapezius ini juga

membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan gerakan

elevasi serta rotasi, karena memiliki serat yang relatif lemah dan tipis hal ini

menyebabkan otot upper trapezius mudah mengalami ketegangan dan

kelelahan otot (Willms et al., 2005 dalam Sinta , 2015).

Gambar 2.9 (Otot Trapezius)

(Sumber : Wikipedia, 2017)

Otot upper trapezius berfungsi untuk mempertahankan posisi kepala

yang perlekatannya tepat berada di punggung bagian atas, oleh sebab itu otot

ini mmerupakan otot stabilisator. Dalam melakukan pergerakan otot upper

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

28

trapezius berfungsi untuk melakukan gerakan elevasi dan depresi pada

tulang scapula (Prihantara et al., 2014).

Menurut Sudaryanto dan Ansar (2011) ada dua tipe dasar serabut otot

yang ada di Upper Trapezius yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-

twitch, berikut penjelasannya :

a. Slow Twitch atau Tipe I

Karena serabut otot berwarna merah atau lebih gelap dari otot

lainnya maka disebut dengan sebutan red muscle. Serabut otot ini

memiliki beberapa karateristik, yaitu menghasilkan kontraksi yang

lambat, kekuatan motor unit yang rendah, banyak mengandung kapiler

pembuluh darah, tidak cepat mengalami kelelahan, memiliki kapasitas

aerobik yang tinggi serta berfungsi untuk mempertahankan sikap.

Serabut otot ini berguna nagi olahraga yang membutuhkan endurence

yang tinggi misalnya lari marathon, berenang.

b. Fast Twitch atau Tipe II

Karena serabut ototnya berwarna putih atau lebih pucat maka

disebut dengan sebutan white muscle. Serabut otot ini memiliki beberapa

karateristik, yaitu menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah mengalami

kelelahan, banyak mengandung myofibril, memiliki kapasitas aerobik

yang rendah, durasi kontraksi lebih pendek serta berfungsi untuk

melakukan gerakan yang cepat dan kuat, misalnya seperti olahraga lari

cepat.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

29

C. Myofascial Pain Syndrome

1. Definisi Myofascial Pain Syndrome

Myofascial Pain Syndrome (MPS) adalah gangguan musculosceletal

yang bersifat akut atau kronis, keadaan tersebut dapat memunculkan nyeri

lokal dan nyeri menjalar yang dikarateristikkan dengan ketidaknormalan

yang terjadi pada motoris (merupakan suatu taut band yang keras yang

terdapat didalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris (adanya nyeri tekan

dan nyeri menjalar). Biasanya MPS berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri

tekan (tenderness pain). Nyeri sering terjadi pada trigger points yang mudah

terangsang oleh sisa – sisa metabolisme tubuh, daerah yang biasanya

mengalami nyeri terjadi karena metabolisme tubuh yang tidak normal akibat

sirkulasi oksigen didalam darah yang tidak lancar (Ladopurab, 2012).

Biasanya myofascial pain syndrome ditandai dengan suatu myofascial trigger

point (Fernandez, et al., 2005).

Beberapa bagian tubuh yang mengalami nyeri dapat ditemukan trigger

point. Trigger point merupakan suatu nodul/benjolan yang sifatnya

hippersensitive yang terdapat pada taut band, yang nantinya dapat

menyebabkan hyperalgesia yang merupakan timbulnya suatu respon nyeri

yang berlebihan pada saat diberikan rangsangan normal (Gerwin, 1999).

Trigger point dibedakan menjadi aktif dan pasif. Pada aktif trigger point akan

aktif ketika pasien mengalami nyeri secara tiba – tiba pada saat pasien dalam

kondisi istirahat, yang dapat memicu adanya reffered pain pada saat diberikan

suatu penekanan. Sedangkannpasif trigger point akan terjadi apabila pasien

tidak mengalami nyeri secara tiba – tiba tapi dapat menyebabkan adanya

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

30

suatu keterbatasan gerakan dan kelemahan otot, jika pada daerah tigger point

mendapat penekanan maka pasien akan merasakan nyeri pada daerah yang

diberikan penekanan tersebut. Pasif trigger point dapat berubah menjadi aktif

trigger point jika terstimulasi seperti postur tubuh yang tidak benar,

penggunaan otot yang berlebihan tanpa istirahat, serta ergonomi tubuh yang

tidak benar saat melakukan suatu pekerjaan (Werenski, 2011).

2. Etiologi myofascial pain syndrome

Myofascial pain syndrome adalah suatu syndrome yang sering

ditemukan pada otot upper trapezius, yang menimbulkan suatu nyeri lokal

ataupun menjalar. Biasanya nyeri tersebut disebabkan karena kerja otot

secara berlebihan seperti melakukan aktivitas sehari – hari yang dapat

menyebabkan tegang, spasme, tighness dan stifness. Adapun etiologi dari

kasus ini yaitu:

a. Postur tubuh

Banyak ditemukan postur tubuh yang kurang bagus dapat

menyebabkan stress dan strain pada otot, misalnya seperti forward

head posture atau posisi seseorang yang melakukan gerakan statis

secara terus menerus pada saat berkativitas, misalnya seperti posisi

duduk terus menerus (Makmuriyah & Sugijanto, 2013).

b. Ergonomi yang buruk

Penggunaan otot yang berlebihan dan lama serta mekanisme yang

buruk didaerah leher dan bahu merupakan salah satu contoh ergonomi

tubuh yang tidak baik, karena hal tersebut memberikan beban kerja

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

31

yang lebih berat pada otot upper trapezius (Makmuriyah & Sugijanto,

2013).

c. Trauma otot

Trauma otot dapat dibedakan menjadi makro (suatu cidera yang

mengenai otot atau fascia) dan mikro (suatu cidera yang berulang akibat

adanya suatu kerja dalam jangka waktu lama dengan beban yang

berlebihan).

d. Usia

Merupakan salah satu faktor yang berperan utama, ketika seseorang

pada usia produktif maka dapat memicu terjadinya myofascial pain

syndrome dapat pula terjadi pada usia lebih karena semakin

bertambahnya usia maka semakin rentan terkena beberapa kasus,

karena adanya penurunan fungsi dan kemampuan otot seseorang. Pada

kasus myofascial pain syndrome banyak terjadi pada orang dewasa di

usia pertengahan karena kemampuan otot pada usia tersebut lebih baik

dalam menangani stress mekanikal, tetapi pada kasus ini tidak menutup

kemungkinan jika usia remaja banya yang terkena kasus myofascial

pain syndrome (Makmuriyah & Sugijanto, 2013)..

3. Tanda dan Gejala myofascial pain syndrome

Kasus myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial

trigger point yang sangat peka dan nantinya akan menimbulkan rasa nyeri

serta tenderness pada saat melakukan gerakan yang membebani otot dan

bisa juga pada saat istirahat, ada beberapa tanda dan gejala yang muncul

pada kasus ini, yaitu (Sugijanto, 2008) :

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

32

a. Nyeri yang terlokalisir pada otot misalnya otot upper trapezius

b. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi

c. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat menjadi

longgar (connective tissue)

d. Adanya keterbatasan lingkup gerak sendi yang disebabkan karena

tighness pada otot yang terkena.

e. Adanya suatu titik tenderness pada sepanjang taut band yang biasanya

disebut dengan trigger point.

f. Spasme pada otot akibat skunder dari rasa nyeri yang timbul

4. Pemeriksaan myofascial pain syndrome

Adapun beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui

adanya myofascial pain syndrome, yaitu :

a. Quick Test

Dengan melakukan gerakan fleksi – ekstensi, lateral fleksi, dan

rotasi akan didapatkan hasil nyeri regang saat melakukan gerakan fleksi

jika positif terkena syndrome ini.

b. Pemeriksaan Fungsi

Dengan melakukan tes gerak dasar yaitu aktif, pasif, dan isometrik.

Didapatkan hasil yang positif jika adanya nyeri regang kontralateral dan

terdapat spryingy end feel.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

33

c. Flat Palpation dan Pincer Palpation

Gambar 2.10 Flat Palpation and Pincer Palpation

(Sumber : Grant Cooper, 2019)

Flat palpation dilakukan untuk mengetahui adanya tonus otot

maupun spasme pada otot, sedangkan pimcer palpation dilakukan karena

biasanya kebanyakan orang penderita penyakit ini mengalami rasa nyeri.

D. Nyeri

1. Definisi Nyeri

Menurut International Association fot the Study of Pain (IASP) nyeri

merupakan suatu sensor subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan, biasanya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan aktual

maupun potensial (Moayedi dan Davis, 2013 dalam Main, 2017).

Adapun pengertian lain yang mengatakan bahwa nyeri adalah

mekanisme dari sistem saraf untuk mendeteksi terhadap stimulasi (kegiatan)

yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan suatu jaringan, sehingga

tubuh kita memberikan respon supaya hal tersebut tidak berlanjut atau

berulang. Jadi dapat dikatakan bahwa nyeri bukan hanya sekedar rasa tidak

nyaman yang dimliki oleh tubuh, tetapi nyeri juga merupakan bentuk

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

34

sensori yang kompleks yang sangat penting untuk kelangsungan hidup

(Patel, 2010).

2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah suatu organ tubuh yang fungsinya untuk

menerima rangsang nyeri. Reseptor nyeri juga disebut dengan nosireseptor,

secara anatomis reseptor nyeri (nosireseptor) ada yang memiliki mielin ada

pula yang tidak memiliki mielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,

nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu, kulit

(cutaneus), somatik (deep somatic), dan daerah visceral, hal ini yang dapat

menyebabkan nyeri yang timbul dapat memiliki sensasi yang berbeda

(Patel, 2010).

Nyeri yang biasanya timbul pada daerah Nosireseptor kutaneus (kulit)

biasanya mudah untuk dialokasikan dan didefinisikan. Reseptor pada

jaringan kulit dapat terbagi dalam dua komponen yaitu, reseptor A delta dan

serabut B. Reseptor delta A merupakan serabut komponen cepat, dan

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab dari nyeri tersebut dihilangkan. Sedangkan serabut B merupakan

serabut komponen yang lambat yang terdapat pada daerah yang lebih dalam

dengan nyeri yang biasanya bersifat tumpul dan sulit untuk di definisikan

(Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi

organ – organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya.

Biasanya nyeri yang ditimbulkan tidak sensitif terhadap pemotongan organ,

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

35

tetapi akan menjadi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan juga

inflamasi (Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).

3. Patofisiologi Nyeri

Ada beberapa patofisiologi terhadap terjadinya nyeri, yang pertama

berdasarkan durasi waktu yaitu nyeri akut (aktualitas tinggi) merupakan

nyeri yang barusaja terjadi atau dirasakan, dan nyeri kronis (intensitas

rendah) merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu yang sudah lama.

Berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 2 yaitu, nyeri nosiseptif dan nyeri

neuropatik yaitu nyeri yang diakibatkan karena keruakan jaringan atau

gangguan saraf (Aydede, 2008 dalam Petel, 2010).

4. Mekanisme Nyeri

Menurut Moayedi dan Davis, 2013 dalam Main, 2017 mengatakan

bahwa ada 4 tahapan mekanisme terjadinya nyeri, yaitu :

a. Tranduksi

Merupakan suatu proses dimana suatu stimulus nyeri (noxious

stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang nantinya akan

diterima oleh ujung – ujung saraf kemudian akan terjadi perubahan

patologis karena adanya suatu perluasan daerah nyeri oleh nosiresptor

yang mengakibatkan sensitisasi perifer atau penurunan nilai ambang

eangsang nosireseptor, hal tersebut yang dapat memberikan efek nyeri

yang tadinya hilang dapat timbul lagi (seperti, rabaan).

b. Transmisi

Merupakan suatu proses penyampaian impuls nyeri dari

nosiseptor saraf perifer yang melewati kornudorsalis, dari spinalis

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

36

menuju korteks celebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena

proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps

melewati neurotransmiter.

c. Modulasi

Merupakan suatu proses pengendalian internal oleh sistem saraf,

yang dapat menaik turunkan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui

sistem analgesik endogen yang melibatkan bermacam-macam

neurotransmiter (endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron

yang berada di spinalis).

d. Presepsi

Merupakan hasil rekonstruksi dari susunan saraf pusat tentang

impuls nyeri yang diterima. Reskontruksi merupakan hasil dari

interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks cerebri) dan

pengalaman emosional (hipockampus dan amigdalu). Persepsi inilah

yang nantinya menentukan berat atau ringannya nyeri yang dirasakan.

E. Nyeri Leher dan Nyeri Otot Upper Trapezius

1. Definisi

Nyeri muskuloskeletal di leher atau nyeri leher merupakan suatu

masalah kesehatan yang sangat umum, 70% populasi masyarakat pasti

pernah mengalami nyeri leher, hal tersebut yang menyebabkan nyeri leher

merupakan kasus terbesar kedua setelah nyeri punggung bawah atau Low

Back Pain (Cooper Grant, 2006 dalam Haryatno dan Kuntono, 2015).

Sebuah studi mengatakan bahwa prevalensi nyeri leher pada

masyarakat selama setahunnya berkisar 40% dan dari prevalensi tersebut

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

37

wanita lebih berpotensi tinggi untuk terkena kasus ini daripada laki – laki

(Ariens, 2001 dalam Haryatno dan Kuntono, 2015).

2. Etiologi

Nyeri leher yang sering terjadi di masyarakat umumnya merupakan

nyeri leher mekanik yang artinya nyeri leher yang tidak menyebar sampai

anggota gerak atas, nyeri yang hanya berlokasi pada leher. Biasanya hal

tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, misalnua postur yang salah,

kecemasan, stress, dan gerakan yang berlebihan. Biasanya keluhan yang

sering dikeluhkan adalah sakit didaerah leher dan kaku, nyeri pada otot –

otot leher (Elizabeth 2009, dalam Hariyanto dan Kuntono, 2016).

Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Skootsky telah

mengatakan bahwa nyeri otot pada tubuh bagian atas lebih sering terkena

daripada nyeri tubuh dibagian yang lain. Biasanya dari 84 titik nyeri dapat

terjadi pada otot upper trapezius, levator scapula, infra spinatus, dan

scalenus. Diantara otot – otot tersebut otot upper trapezius merupakan otot

yang ssering terkena (Lofrima, 2008 dalam Setyowati, 2017).

Otot upper trapezius merupakan salah satu otot yang sering terkena

gangguan biasanya hal tersebut menimbulkan rasa nyeri, kondisi tersebut

dinamakan myofascial pain syndrome yang artinya gangguan nyeri

muskuloskeletal yang terjadi akibat adanya myofascial trigger point.

Gangguan ini yang nantinya dapat menyebabkan nyeri lokal, tightness,

spasm, keterbatasan gerak (Atmaja, 2016 dalam Nurlina, 2018).

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

38

3. Patofisiologi

Otot upper trapezius merupakan otot tonik atau otot tipe I yang juga

merupaka otot postural yang berfungsi untuk melakukan gerakan elevasi.

Kelainan yang dimiliki oleh otot ini biasanya cenderung tegang dan

memendek. Jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu

yang lama maka jaringan ototnya menjadi tegang dan akhirnya dapat

menimbulkan nyeri. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya jumlah

ATP. Sehingga tidak adanya ketersediaan energi utuk menggeser aktin dan

miosin. Semakin lama otot tersebut berkontraksi maka semakin melemah,

walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih

menyebar pada serabut – serabut otot (Guyton & Hall, 2008 dalam Sinta,

2015).

4. Pengukuran nyeri

Skala yang digunakan dalam pengukuran nyeri digunakan untuk

membandingkan hasil pertama kali dilakukan suatu pemeriksaan dan

evaluasi setelah dilakukan penanganan adalah Numerical Rating Scale

(NRS). Numerical Rating Scale (NRS) adalah salah satu skala untuk

pengukuran nyeri, NRS sangat mudah untuk dimengerti dan lebih baik

daripada alat ukur nyeri lainnya misalnya Visual Analog Scale (VAS)

terutama untuk menilai nyeri akut. Dalam penggunaan NRS ini responden

diminta untuk memilih angka diantara 0 – 10, yang artinya :

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

39

a. Angka 0 : tidak terdapat nyeri sama sekali

b. Angka 1 : nyeri hampir tak terassa atau terasa sangat ringan

c. Angka 2 : nyeri ringan seperti cubitan ringan pada kulit dan sedikit

mengganggu sampai timbul rasa tidak nyaman

d. Angka 3 : nyeri yang sangat terasa dan mengganggu tetapi masih

bisa dikontrol

e. Angka 4 : nyeri yang dalam dan terasa ketika melakukan aktivitas,

rasa nyeri masih bisa diabaikan dalam jangka waktu tertentu tetapi

mash terasa mengganggu

f. Angka 5 : nyeri terasa mulai kuat dan tidak dapat diabaikan selama

beberapa menit, tetapi dengan melakukan aktivitas nyeri masih dapat

ditoleransi

g. Angka 6 : nyeri yang kuat sehingga cenderung mempengaruhi

sebagian indra, yang dapat menyebabkan tidak fokus pada saat

melakukan aktivitas sehari – hari

h. Angka 7 : nyeri berat yang dapat mendominasi indra sehingga dapat

membatasi kemampuan untuk melakukan aktivitas normal sehari-

hari

i. Angka 8 : nyeri yang menyakitkan sampai mempengaruhi

kepribadian kita, berkomunikasi, serta aktivitas fisik yang sangat

terbatas

j. Angka 9 : nyeri yang luar biasa yang tidak bisa ditoleransi sehingga

sang penderita tidak dapat berkomunikasi dengan baik yang dapat

mengakibatkan penderita menangis atau mengerang tak terkendali

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

40

k. Angka 10 : nyeri yang tidak terbayangkan serta tidak dapat

diungkapkan karena nyeri yang timbul begitu terasa kuat hingga

dapat menyebabkan tak sadarkan diri dan terbaring ditempat tidur.

Gambar 2.11 Numerical Rating Scale (NRS)

(Sumber : Griensven, 2015)

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

41

F. Ar – Rohmah Islamic Boarding School

Pondok pesantren atau boarding school merupakan salah satu lembaga

pendidikan Islam tertua yang berada di Indonesia. Kehadiran dari pondok

pesantren ini bersifat tradisional dengan tujuan untuk memindai ilmu agama

islam sebagai pedoman hidup dengan mengedepankan pentingnya suatu moral

dalam masyarakat (Mastuhu, 1994 dalam Imam, 2017). Menurut beberapa

sejarahwan dikatakan bahwa di akhir abad 18M dan awal 19M lembaga

pendidikan Islam atau yang disebut pesantren telah memasuki negara Indonesia,

biasanya pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai (Martin, 1995 dalam Imam,

2017).

Pondok pesantren memiliki ciri khas masing – masing yang berbeda – beda,

ciri khas yang paling utama yaitu perbedaan peraturan antara sekolahan biasa

dengan pondok pesantren. Dalam suatu pondok pesantren tidak terlepas dari

asramah atau tempat tinggal yang disediakan dalam pesantren tersebut. Menurut

beberapa sumber yang didapatkan dari pengalaman – pengalaman seseorang

yang hidup berasramah mengatakan bahwa hidup berasramah telah banyak

melahirkan beberapa tokoh besar yang telah mengukir sejarah kehidupan

manusia. Pada era ini banyak pesantren yang mengembangkan konsep Islamic

Boarding School dengan tujuan untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga

pendidikan yang maju dan mampu bersaing dalam mengembangkan suatu ilmu

pengetahuan dan juga keterampilan yang berbasis pada nilai – nilai spiritual yang

handal (Azra, 1997 dalam Imam, 2017).

Malang merupakan salah satu kota pendidikan di Jawa Timur, mulai dari

sekolahan, Universitas, maupun pondok pesantren yang berada di kota ini.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Post Isometric …eprints.umm.ac.id/47994/3/2. BAB II.pdfterjadinya kontraksi otot lebih lanjut, sehingga terjadinya relaksasi otot yang nantinya dapat menurunkan

42

Banyaknya fasilitas pendidikan yang sangat memadai yang menjadikan Malang

sangat cocok untuk menempuh pendidikan, sarana transportasi yang terjangkau

menjadi salah satu pemicu utama banyaknya pelajar maupun mahasiswa yang

enggan merantau di kota ini. Salah satu sekolahan islam modern yang bebasis

pondok pesantren di kota ini adalah Ar – Rohmah Islamic Boarding School.

Ar – Rohmah Islamic Boarding School merupakan salah satu sekolahan

yang bebasis pesantren yang terlerak di kota Malang. Dalam kegiatan sehari –

hari mulai dari kegiatan pada saat sekolah, ekstrakulikuler, pada saat di asramah

atau pesantren tidak luput dari menghafal Al – Qur’an. Durasi dan posisi

menghafal Al – Qur’an setiap santri berbeda, banyak dari mereka dengan posisi

duduk menunduk, berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan banyak

diantara santri yang memilih menghafalkan dengan posisi duduk menunduk

dengan durasi waktu 6 – 8 jam setiap harinya, dalam hal ini para santri harus

memperhatikan kesehatannya, karena kesehatan merupakan sesuatu yang sangat

penting bagi manusia.

Gambar 2.12 Posisi Menghafal Para Santri

(Sumber : Data Primer, 2018)