BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik 2.1 ...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Gagal Ginjal ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Gagal Ginjal ...
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian gagal ginjal kronis
Gagal ginjal kronis atau penyakit gagal ginjal stadium akhir adalah
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemapuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit
yang mengakibatkan uremia atau azotemia (Trisa Siregar, 2020). Gagal ginjal
kronis adalah penurunan fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan. Biasanya,
gagal ginjal kronis ini diketahui setelah jatuh dalam kondisi parah dan tidak dapat
disembuhkan.(Harmilah, 2020). Ginjal memiliki peran penting untuk
mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit, dan osmolaritas cairan
ekstraseluler. Salah satu fungsi penting ginjal lainnya adalah untuk
mengekskresikan produk-produk akhir atau sisa metabolisme tubuh, misalnya urea,
asam urat, dan kreatinin. Apabila sisa metabolisme tubuh tersebut dibiarkan
menumpuk, zat tersebut bisa menjadi racun bagi tubuh, terutama ginjal. (Suryawan
et al., 2016).
Menurut pedoman The National Kidney Foundation's Kidney Disease
Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal persisten dengan kerusakan kerusakan atau fungsional seperti
mikroalbuminuria atau proteinuria, hematuria, kelainan histologis atau radiologis,
dan/atau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 ml /menit/ 1,73
10
m2 selama 3 bulan. (Alwi et al., 2016). Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan
beban kesehatan global dengan biaya ekonomi yang tinggi terhadap sistem
kesehatan dan merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular
(CVD). (Hill et al., 2016).
2. Etiologi gagal ginjal kronis
Menurut (Harmilah, 2020), banyak kondisi klinis yang menyebabkan
terjadinya gagal ginjal kronis. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat
mengakibatkan gagal ginjal kronis (GGK) dapat disebabkan dari ginjal sendiri
maupun luar ginjal.
a. Penyakit dari ginjal
1) Penyakit dari saringan (glomerulus) glomerulonephritis
2) Infeksi kuman, peilonefritis, urethritis
3) Batu ginjal (nefrolitiasis)
4) Kista di ginjal ( polcystis kidney)
5) Trauma langsung pada ginjal
6) Keganasan pada ginjal
7) Sumbatan : batu, tumor, penyempitan
b. Penyakit umum diluar ginjal
1) Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi
2) Dyslipidemia
3) Systemic lupus erythematosus (SLE)
4) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
5) Preeklamsia
6) Obat-obatan
11
7) Kehilangan banyak cairan luka bakar
3. Patofisiologi gagal ginjal kronis
Gagal ginjal kronis dimulai fase awal gangguan, keseimbangan cairan,
penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung
pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal,
manifestasi klinis ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang
sehat mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring
dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi
tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya
mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada
nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat
penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran
darah ginjal akan berkurang. Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin
banyak terbentuk jaringan parut sebagai respons dari kerusakan nefron dan secara
progresif fungsi ginjal turun drastis dengan manifestasi penumpukan metabolitme
metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom
uremia berat yang memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh.
Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga
dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal,
dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma. (Harmilah,
2020).
12
B. Konsep Dasar Hipervolemia Pada Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Hipervolemia pada gagal ginjal kronis adalah peningkatan volume cairan
intravaskuler, interstisial, dan/atau intraseluler.(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Hypervolemia adalah peningkatan abnormal volume cairan dalam darah.
(Ermawan, 2019). Kelebihan volume ECF dapat terjadi jika natrium dan air kedua-
duanya tertahan dengan proporsi yang lebih kurang sama. Terkumpulnya cairan
isotonic berlebihan di ECF (Extra Celuler Fluid), maka cairan akan berpindah ke
kompartemen cairan interstisial sehingga menyebabkan terjadinya edema.
Kelebihan volume cairan (hypervolemia) selalu terjadi sekunder akibat peningkatan
kadar natrium tubuh total yang akan menyebabkan terjadinya retensi air. (Price &
Wilson, 2013a).
2. Etiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi kehilangan kemampuan ginjal yang
sangat fleksibel, sehingga ginjal dapat dikatakan mengala mi penurunan fungsi saat
mengekskresikan natrium sehingga terjadi retensi natrium dan air. (Price & Wilson,
2013b). Penyebab hipervolemia menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
adalah karena adanya gangguan mekanisme regulasi (eksresi cairan).
a. Gangguan regulasi natrium
Natrium merupakan kation dominan yang terdapat pada cairan ekstrasel.
Konsentrasi akhir natrium di urine biasanya kurang dari 1% jumlah total yang
difiltasi oleh glomelurus. (Harmilah, 2020). Kemampuan filtasi glomelurus pada
gagal ginjal kronis mengalami penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate)
sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit.
13
Kelebihan volume cairan (hypervolemia) pada gagal ginjal kronis selalu terjadi
sekunder akibat peningkatan kadar natrium tubuh total yang akan menyebabkan
terjadinya retensi air. Sistem yang mengatur keseimbangan natrium disebut dengan
Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS). RAAS adalah mekanisme yang
sangat penting dalam pengaturan volume ECF dan ekskresi natrium oleh ginjal.
(Price & Wilson, 2013a).
b. Gangguan regulasi air
Mekanisme yang mengatur air dan elektrolit adalah endokrin atau respons
hormonal. Homon antidiuretik (ADH) adalah contoh klasik bagaimana hormon
mengatur keseimbangan air dan elektrolit. ADH adalah hormon yang dihasilkan
oleh hipotalamus, disimpan dan dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis sebagai respons
terhadap perubahan dalam osmolalitas plasma. ADH memengaruhi nefron bagian
distal untuk memperlancar permeabilitas air sehingga lebih banyak air yang
direabsorpsi dan dikembalikan ke dalam sirkulasi darah. Apabila terjadi
Peningkatan ADH plasma akan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus ginjal
sehingga terjadi retensi air. Terjadinya retensi air akan menyebabkan volume cairan
ekstraseluler menjadi meningkat yaitu hypervolemia yang nantinya cairan tersebut
akan berpindah ke ruang interstisial sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
volume darah dan terjadi edema. (Baradero et al., 2009).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hipervolemia pada gagal ginjal kronis
a. Asupan cairan
Dalam asupan cairan perlu adanya pembatasan cairan pada pasien.
Pembatasan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena asupan cairan yang
14
berlebihan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan, edema, dan sesak nafas,
yang diakibatkan oleh volume cairan yang berlebihan.(Sugiarto et al., 2020). Untuk
menentukan jumlah kebutuhan asupan cairan dan natrium yang bisa dikonsumsi
pasien hemodialisa, harus diketahui balance cairan pasien yaitu keseimbangan
antara cairan yang masuk dengan cairan yang keluar atau output = input. Keluaran
atau output dilihat dari jumlah urin, feses, dan Insensible Water Loss (IWL) dengan
perhitungan 15 cc/kg BB/hari. Selain itu dengan menerapkan standar yang
ditetapkan berupa IWL kehilangan cairan yang tidak disadari sekitar 500 mL (± 2
gelas, 1 gelas = 250 cc) dijumlahkan dengan jumlah urin pasien selama 24 jam,
inilah jumlah konsumsi cairan yang bisa diminum oleh pasien hemodialisa dalam
sehari semalam. Untuk asupan natrium klien penyakit ginjal kronis (PGK) yang
mengalami penurunan produksi air seni dan menjalani cuci darah umumnya harus
mengurangi asupan garam kurang dari 6 gr garam perhari dengan jumlah ukuran
4,7-5,8 gr garam (NaCl) yang setara dengan 1840-2300 mg natrium, jumlah asupan
garam yang bisa dikonsumsi pasien hemodialisa yaitu hanya 2,3 gram natrium atau
ditakar hanya setengah sendok teh garam, dengan perhitungan 1 sendok teh garam
mengandung 4 gram natrium (Na). Pembatasan asupan cairan dan natrium yang
baik, tidak hanya dari minum saja, sumber cairan juga dari makanan dan buah yang
mereka konsumsi. Pembatasan asupan cairan dan natrium seperti mengingatkan
anggota keluarganya yang menjalani hemodialisa untuk membatasi minum,
memasak makanan dengan cara dipisah atau dibedakan dan mengurangi jumlah
garam untuk sayur dan makanan anggota keluarganya yang menjalani hemodialisa.
(Harsismanto et al., 2019)
b. Berat badan
15
Perubahan berat badan secara signifikan yang terjadi dalam 24 jam menjadi
salah satu indikator status cairan dalam tubuh. Ketika pasien gagal ginjal kronis
mengalami kelebihan kenaikan berat badan maka pasien tersebut akan lebih
cenderung mengalami hipertensi yang diikuti oleh bertambahnya volume darah
sebagai akibat dari peningkatan retensi natrium, dan ini akan memperburuk kondisi
pasien gagal ginjal kronik.(Mokodompit et al., 2015). Berdasarkan hasil penelitian
Mustikasari et al., (2017) melalui observasi berat badan rata-rata sebelum
melakukan terapi hemodialisa (pre dialysis) dan pengukuran berat badan dengan
menggunakan timbangan berat badan (kg) sebelum dan sesudah menjalani terapi
hemodialisa bahwa sebagian besar responden mengalami kelebihan kenaikan berat
badan di atas dari 2,5 kg berat badan kering dimana berat badan kering merupakan
berat badan ideal responden. Peningkatan kenaikan berat badan mengindikasikan
kelebihan cairan, dimana untuk kenaikan berat badan yang dapat diterima adalah
0,5 kg untuk tiap 24 jam dan hal ini di pengaruhi oleh pembatasan intake cairan
yang tidak terkontrol.
c. Sindrom uremik
Sindrom uremik adalah kumpulan tanda dan gejala yang terlihat seperti
insufisiensi ginjal dan GFR menurun hingga di bawah 10 ml/menit (<10% dari
normal) dan puncaknya pada gagal ginjal kronis. Manifestasi klinis sindrom uremia
yaitu pengaturan fungsi regulasi dan ekresi yang kacau, seperti ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. (Price & Wilson, 2013b). Kadar ureum dalam darah
mencerminkan keseimbangan antara produksi dan eksresi urea. Kadar ureum dalam
darah mempunyai nilai rujukan normal yaitu 15-43 mg/dl. Bila kadar ureum darah
tinggi maka disebut uremia. (Suryawan et al., 2016)
16
d. Hiperkalemia
Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intraseluler, sehingga
berperan penting dalam menahan cairan didalam sel dan mempertahankan volume
sel. Jika ada kerusakan jaringan yang signifikan, kandungan sel termasuk kalium
akan bocor ke dalam kompartemen ekstraseluler yang menyebabkan peningkatan
kalium dalam serum yang berpotensi berbahaya. Keseimbangan elektrolit sangat
penting, karena total konsentrasi elektrolit akan mempengaruhi keseimbangan
cairan dan konsentrasi elektrolit berpengaruh pada fungsi sel. Elektrolit berperan
dalam mempertahankan keseimbangan cairan, regulasi asam basa, memfasilitasi
reaksi enzim dan transmisi reaksi neuromascular. Ada 2 elektrolit yang sangat
berpengaruh terhadap konsentrasi cairan intrasel dan ekstrasel yaitu natrium dan
kalium. Kadar kalium serum pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) pre
hemodialisa cenderung tinggi dan diatas batas normal yaitu diatas 5 mmol/L. Kadar
kalium serum pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) post hemodialisa cenderung
menurun dan didalam batas normal antara kisaran 3,5-5 mmol/L. (Ayuni et al.,
2016). Hiperkalemia merupakan masalah yang penting pada gagal ginjal kronik.
Hiperkalemia merupakan komplikasi interdialitik yaitu komplikasi yang terjadi
selama periode antar hemodialisis. Hiperkalemia berat dapat didefinisikan sebagai
kadar kalium lebih dari 6,5 mEq/L (6,5 mmol/L) atau kurang dari 6,5 mEq/L
dengan perubahan elektrokardiografi khas pada hiperkalemia. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Makanan yang
mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni. Pemberian kalium
yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya.(Haryanti &
Nisa, 2015)
17
4. Fatofisiologi hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Penyakit Gagal ginjal kronis terjadi akibat dari kerusakan glomerulus atau
karena penyakit glomerulonephritis, dan kerusakan pada nefron. Kerusakan pada
glomerulus menyebabkan GFR (Glomerular Filtrasion Rate) menurun dan
kerusakan pada nefron mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan air.
(Harmilah, 2020). Setiap perubahan tekanan darah maupun konsentrasi natrium
dalam darah akan cepat diberitakan ke sel juksta glomerular dan ke tubulus
kontortus distalis. Proses tersebut berada dalam satu sistem yang disebut Renin
Angiotensin Aldosteron System (RAAS). Sel juksta glomerular di dalam ginjal
berperan penting dalam terjadinya hipertensi karena dalam juksta glomerulus
dihasilkan renin. Pada saat terjadi penyusutan progresif nefron-nefron, dan terjadi
kelainan pada sel juksta glomerular atau parenkim ginjal yang bisa disebabkan oleh
infeksi kronis salah satunya pielonefritis kronis yang membentuk jaringan parut
yang dapat mengakibatkan hipersekresi renin. Renin berfungsi mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensinogen I, dan oleh pengaruh enzim proteolitik
konvertase diubah menjadi angiotensin II yang berfungsi sebagai vasokonstriktor.
Selanjutnya korteks kelenjar adrenal untuk melepaskan aldosteron yang
mempengaruhi tubulus kontortus distalis untuk mereabsorbsi NaCl dan air.
Peningkatan aldosterone menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal
sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Hipersekresi renin juga
dapat mempengaruhi tekanan darah sistemik dan menimbulkan hipertensi renal.
Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal, dengan tujuan agar terjadi
peningkatan filtrasi protein-protein plasma. (Harmilah, 2020) (Nadeak, 2012)
18
Dengan adanya proses gagal ginjal kronis di atas yang mengakibatkan
retensi natrium dan air sehingga menyebabkan kelebihan cairan (hypervolemia).
Hypervolemia akan memperlihatkan tanda dan gejala serta dampak pada fungsi
organ lain. Hypervolemia merupakan terkumpulnya cairan isotonic berlebihan di
Extracelluler Fluid (ECF) maka cairan akan berpindah ke kompartemen cairan
interstisial sehingga menyebabkan terjadinya edema. Edema didefinisikan sebagai
penumpukan cairan interstisial yang berlebihan. Edema dapat terlokalisir (seperti
pada inflamasi setempat dan obstruksi) atau generalisata (seluruh tubuh), sehingga
cairan interstisial tertimbun di hampir semua jaringan tubuh. (Price & Wilson,
2013b). Ginjal memiliki peran penting pada eritropoiesis, karena sel interstisial
peritubuler pembantuan produksi eritropoietin yang tergantung pada jumlah
oksigen di darah. Eritropoietin berperan penting untuk meningkatkan Red Blood
Cell (RBC) di sumsum tulang. Pada GGK beberapa proses akan mengganggu
eritropoiesis sehingga mengakibatkan anemia. (Susianti, 2019). Bila kadar 8 g/100
ml atau kurang, dapat menimbulkan dispnea saat pasien melakukan kegiatan
fisik.(Price & Wilson, 2013b)
Hipervolemia pada gagal ginjal kronis yang berdampak pada sistem
pernapasan, yang timbul akibat overload cairan dan penumpukan sampah ureum
dalam darah, menyebabkan peningkatan kecepatan dan kedalaman pernapasan.
Manifestasi lain di antaranya ronki, sputum yang banyak dan kental, dan penurunan
refleks batuk. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipertorfi ventrikel kiri
mengakibatkan gagal jantung yang dapat terjadi akibat anemia dan terjadi
peingkatan Jugular Venous Pressure (JVP). Overload cairan dan gagal jantung
dapat meningkatkan tekanan vena jugular. Kelenjar getah bening yang membesar
19
dapat menyebabkan indikasi infeksi di daerah kepala dan leher . Gangguan sistem
imun pada pasien GGK membuat klien mudah mengidap infeksi. (Bayhakki, 2013)
5. Manifestasi klinis hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Tanda dan Gejala adalah pengindikasian keberadaan suatu penyakit atau
ganggguan Kesehatan, berbentuk tanda-tanda atau ciri-ciri penyakit yang dapat
dirasakan. Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) tanda dan gejala
hypervolemia pada gagal ginjal kronis adalah :
a. Dispnea, Ortopnea, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Manifestasi dari kelebihan volume cairan adalah edema paru, yang
disebabkan karena terjadi penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang
berlebih dalam ruang interstisial dan alveolus paru. Edema yang timbul akut dan
luas bisa menyebabkan kematian. Edema paru menunjukkan adanya tanda dan
gejala berupa ronki basah, dispnea dan tanda gawat napas lain. (Price & Wilson,
2013a)
Dispnea atau kesulitan bernapas akibat meningkatnya usaha bernapas yang
terjadi akibat kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan
pengembangan paru. (Price & Wilson, 2013a). Dispnea atau sesak napas adalah
perasaan sulit bernapas secara subjektif. Tanda objektif sesak napas adalah
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus, skalenus,
trapezius), cuping hidung, takipnea, dan hiperventilasi.(Price & Wilson, 2013b)
Ortopnea yaitu kesulitan bernapas pada posisi berbaring dan untuk
mengatasi ortopnea sering digambarkan dengan jumlah bantal yang dibutuhkan
untuk mencegah perasaan tersebut. Pada pasien kesulitan bernapas dapat terjadi
Dispnea Nokturnal Paroksismal (PND) kesulitan bernapas yang terjadi sewaktu
20
tidur. PND terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri dan pulih dengan duduk di sisi
tempat tidur. (Price & Wilson, 2013a). Penyebabnya adalah peningkatan volume
intravaskular sentral yang berhubungan dengan posisi berbaring dan perpindahan
cairan edema perifer masuk ke dalam vaskulasi sentral kongestif yang menonjol.
(Price & Wilson, 2013b)
b. Edema anasarca dan/atau edema perifer
Edema di definisikan sebagai penumpukan cairan interstisial yang
berlebihan. Edema dapat terlokalisir (seperti pada inflamasi setempat dan obstruksi)
atau generalisata (seluruh tubuh), sehingga cairan interstisial tertimbun di hampir
semua jaringan tubuh. (Price & Wilson, 2013b). Edema perifer (atau
pembengkakan akibat penim- bunan cairan dalam ruang interstisial) jelas terlihat di
daerah yang menggantung akibat pengaruh gravitasi dan didahului oleh
bertambahnya berat badan. (Price & Wilson, 2013a)
c. Berat badan meningkat dalam waktu singkat
Perubahan berat badan secara signifikan yang terjadi dalam 24 jam menjadi
salah satu indikator status cairan dalam tubuh. Kenaikan 1 kg dalam 24 jam
menunjukkan kemungkinan adanya tambahan akumulasi cairan pada jaringan
tubuh sebanyak 1 liter. (Angraini & Putri, 2016)
d. Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Central Venous Pressure (CVP)
meningkat
1) Jugular Venous Pressure (JVP)
Tekanan vena jugularis menggambarkan tekanan atrium kanan dan
memberi informasi tentang indikasi hemodinamik jantung dan fungsi jantung. Cara
pengukurannya; pasien berada pada posisi supinasi, dengan kepala bagian tempat
21
tidur dinaikkan bertahap 30, 45, 60 dan 90 derajad dan kepala berpaling ke kiri dan
diukur dari sisi kanan karena pembuluh darah vena saluran langsung ke atrium
kanan, sedangkan sisi kiri pembuluh darah vena harus menyeberang mediastinum
hal ini dapat menyebabkan elevasi palsu pada tekanan pembuluh darah vena di sisi
kiri. Gunakan pencahayaan tangensial, catat ketinggian denyut vena tinggi. Ukur
jarak vertical Antara titik ini dan sudut sternum. Catat ini dalam sentimeter dan
sudut kepala tempat tidur. Hasil; jika lebih dari 3 cm diatas sudut Louis
menunjukkan volume tinggi abnormal disistem vena, kemungkinan penyebab
meliputi gagal jantung kanan, obstruksi vena kava superior, efusi pericardium serta
penyakit jantung dan toraks lainnya. Jika lebih dari 1 cm menunjukkan
ketidakmampuan jantung mengakomodasi peningkatan aliran balik vena. (Nurarif
& Kusuma, 2015)
2) Central Venous Pressure (CVP)
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga
ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga
kateterisasi vena sentralis (KVS). Daerah yang dipasang ; vena femoralis, vena
cephalika, vena basalika, vena subclavian, vena jugularis eksterna, vena jugularis
interna.
Cara menilai CVP dan Pemasangan Manometer
Cara menentukan titik nol :
- Penderita tidur terlentang mendatar
- Dengan menggunakan selang air tang berisi air ± setengahnya ( membentuk
lingkaran dengan batas air yang terpisah)
22
- Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi selang yang satu.
Sisi lain ditempatkan pada manometer
- Titik nol manometer dapat ditentukan
- Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran. Vena
cava superior, atrium kanan dan Vena cava inferior bertemu menjadi satu.
Posisi pasien saat pengukuran CVP
Penilaian CVP :
- Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock (amati infus lancer
atau tidak).
- Penderita terlentang
- Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi
(jaga jangan sampai cairan keluar)
- Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan
masuk ke tubuh penderita
- Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama
nafas, turun (inspirasi), naik (ekspirasi)
- Undulasi berhenti (disitu batas terakhir dan ini adalah nilai CVP)
- Nilai pada angka 7 artinya nilai CVP 7 cm H2O
- Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP
Nilai CVP
- Nilai rendah : < 4 cmH2O
- Nilai normal : 4-10 cmH2O
- Nilai sedang : 10-15 cmH2O
- Nilai tinggi : > 15 cmH2O
23
Penilaian CVP dan Anti Klinisnya
CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah
sebagai berikut :
CVP rendah (< 4 cmH2O)
- Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat
- Bila CVP normal, tanda shock hilang pada shock hipovolemik
- Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah pada shock septik
CVP normal 9 4-14 cmH2O)
- Bila darah atau cairan dengan hati-hati dan dipantau pengaruhnya dalam
sirkulasi
- Bila CVP normal, tanda- tanda shock negative pada shock hipovolemik
- Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif pada shock septik, cardiogenic
shock
CVP tinggi (>15 cmH2O)
- Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)
- Terapi : obat kardiotonika (dopamine). (Nurarif & Kusuma, 2015)
e. Refleks hepatojugular positif
f. Distensi vena jugularis
Tanda dari kelebihan volume cairan atau bertambahnya beban volume
cairan adalah distensi vena jugularis dan tekanan vena sentralis yang meningkat.
Manometer CVP yang dipasang menunjukkan perubahan volume cairan.
Normalnya Jugular Vein Distention (JVD) terletak 2 cm di atas angulus sternalis
pada posisi 45°. Apabila terjadi kelebihan volume cairan maka JVD dapat melebar
sampai ke angulus mandibularis pada posisi 45°.(Price & Wilson, 2013a)
24
g. Kadar Hb/Ht Turun
Anemia pada pasien gagal ginjal kronik, bisa terjadi karena produksi
hormon eritroprotein berkurang seiring dengan penurunan fungsi ginjal yang
berfungsi menghasilkan hormon tersebut sebagai produksi sel- sel darah merah dan
menjaga keseimbangan kadar oksigen dalam darah. Selain itu, terapi hemodialisa
dan asupan penderita yang buruk juga dapat memperburuk status anemia. Makanan
bersumber protein dengan nilai biologis tinggi dapat membantu meringankan fungsi
ginjal serta membantu mempertahankan ataupun menaikkan kadar Hb, sehingga
apabila asupan protein pada penderita gagal ginjal rendah, maka kadar Hb juga ikut
turun. (Ma ’shumah et al., 2014). Pada pasien gagal ginjal kronis yang diindikasikan
transfusi darah apabila kadar Hb <7 g/dl. Pada pasien yang menjalani hemodialisis,
target hemoglobin yang normal (7-8 g/dl) menurunkan kebutuhan transfusi
darah.(Aisara et al., 2018). Hematokrit dengan nilai normal pada laki-laki yaitu 44-
52% dan pada perempuan 39-47%, apabila seseorang mengalami hipervolemia
maka nilai hematokrit akan menurun. (Price & Wilson, 2013b)
h. Oliguria
Poliuria dan nocturia berkaitan dengan insufiensi ginjal yang umumnya
berlanjut menjadi oliguria. Nocturia adalah gejala pengeluaran urin waktu malam
hari yang menetap sampai sebanyak 700 ml atau pasien terbangun untuk berkemih
beberapa kali di waktu malam hari. Nocturia disebabkan oleh hilangnya pola
pemekatan urine diurnal normal sampai tingkatan tertentu dimalam hari. Poliuria
adalah peningkatan volume urine yang terus menerus. (Price & Wilson, 2013b)
i. Intake lebih banyak dari pada output (balans cairan positif)
25
Pada pasien gagal ginjal kronis seringkali mengalami masalah kelebihan
cairan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya dan bahkan dapat
berujung dengan kematian. Oleh karena itu, dibutuhkan program pembatasan cairan
yang efektif dan efisien untuk mencegah komplikasi tersebut, diantaranya melalui
upaya pemantauan intake output cairan. Intake atau cairan masuk dan output atau
cairan keluar bergantung pada jumlah urine selama 24 jam (balans cairan positif
menunjukkan terjadinya overload / kelebihan cairan.(Angraini & Putri, 2016)
Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017), tanda merupakan data
objektif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratoriun, dan
prosedur diagnostic sedangkan gejala merupakan data subjektif yang diperoleh dari
hasil anamnesis. Data subjektif adalah data yang didapatkan dari keluhan pasien
sedangkan data objektif adalah data yang didapatkan dari hasil pengkajian dan
pemeriksaan medis lainnya. Tanda dan Gejala dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu:
a. Mayor merupakan tanda dan gejala yang ditemukan sekitar 80%-100% untuk
validasi diagnosis
b. Minor merupakan tanda dan gejala yang tidak harus ditemukan, namun jika
ditemukan dapat mendukung penegakan diagnosis
Tabel 1
Gejala dan Tanda Mayor & Minor Hipervolemia
Keterangan Mayor Minor
1 2 3
Subjektif 1. Ortopnea
2. Dispnea
3. Paroxysmal
Nocturnal Dyspnea
(PND)
Tidak tersedia
26
Objektif 1. Edema anasarka dan/
atau edema perifer
2. Berat badan
meningkat dalam
waktu singkat
3. Jugular Venous
Pressure (JVP) dan/
atau Central Venous
Pressure (CVP)
meningkat
4. Refleks hepatojugular
positif
1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara napas
tambahan
3. Hepatomegaly
4. Kadar Hb/Ht turun
5. Oliguria
6. Intake lebih banyak dari
output (balance cairan
positif)
7. Kongesti paru
(Sumber: Tim Pokja SDKI DPP PPNI, Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, 2017)
6. Dampak hipervolemia pada gagal ginjal kronis
Akibat lanjut dari kelebihan volume cairan (hypervolemia) pada gagal ginjal
kronis adalah edema paru dan hipertensi yang berujung ke gagal jantung kongestif.
(Price & Wilson, 2013a)