BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak...

26
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgiveness 1. Pengertian Forgiveness McCullough dkk (1997) mendefinisikan memaafkan (forgiveness) adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang merespon secara destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan perilaku yang konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya. Menurut Wardhati dan Faturochman (2006) forgiveness adalah upaya untuk membuang keinginan membalas dendam dan sakit hati terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali secara lebih baik. Enright (Nashori, 2011) mendefinisikan forgiveness adalah kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan menumbuhkan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Forgiveness

1. Pengertian Forgiveness

McCullough dkk (1997) mendefinisikan memaafkan (forgiveness)

adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya

motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang

telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang merespon secara

destruktif dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan

perilaku yang konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya. Menurut

Wardhati dan Faturochman (2006) forgiveness adalah upaya untuk membuang

keinginan membalas dendam dan sakit hati terhadap pihak yang bersalah atau

orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan

kembali secara lebih baik.

Enright (Nashori, 2011) mendefinisikan forgiveness adalah kesediaan

seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku

acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya dengan tidak

menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan menumbuhkan rasa kasihan,

iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

16

Batasan usia remaja menurut Papalia (2008), batasan remaja di bagi menjadi

dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung

kira-kira dari 11 tahun atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja akhir

berlangsung kira-kira 15 tahun sampai 20 tahun. Papalia, Olds, dan Feldman (2008)

berpendapat Subjek Penelitian bahwa pada rentang usia 17-21 tahun, individu

banyak berinteraksi dengan individu lain, sehingga terdapat kemungkinan yang

lebih besar bagi remaja akhir untuk mengalami konflik. Berdasarkan penelitian Arif

(Kusprayogi & Nashori, 2016) konflik interpersonal remaja adalah konflik yang

sering dialami remaja dengan teman bermainnya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness

adalah suatu bentuk perubahan motivasional, berkurangnya atau menurunnya

motivasi untuk membalas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang

telah menyakiti, yang cenderung mencegah seseorang merespon secara destruktif

dalam interaksi sosial dan mendorong orang untuk menunjukkan perilaku yang

konstruktif terhadap orang yang telah menyakitinya.

2. Dimensi-dimensi forgiveness

Menurut McCullough, Root dan Cohen (2006) dimensi forgiveness terbagi

menjadi 3, yaitu:

a. Motivasi membalas dendam (revenge motivation)

Revenge motivation merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak

membalas perbuatan orang yang telah menyakiti (transgressor) yang ditandai

dengan penurunan motivasi untuk membalas dendam atau melihat-lihat bahaya

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

17

atau konsekuensi yang akan diterima oleh transgressor. Artinya, korban akan

membuang keinginannya untuk membalas perbuatan yang telah dilakukan oleh

transgressor. Korban akan berusaha meminimalisir rasa marah untuk membalas

dendam kepada orang yang telah menyakitinya.

b. Motivasi menghindar (avoidance motivation)

Avoidance motivation merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak

menghindari orang yang telah menyakiti (transgressor) yang ditandai dengan

penurunan motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan

transgressor. Korban akan membuang keinginannya untuk menjaga jarak

dengan orang yang telah menyakitinya (transgressor). Jadi, korban tidak

menghindar ataupun menjauhi transgressor, korban akan tetap berusaha

menjaga hubungan dengan transgressor.

c. Motivasi mendekat (benevolence motivation)

Benevolence Motivation merupakan suatu keinginan seseorang

untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang yang telah menyakiti

(transgressor), yang ditandai dengan peningkatan motivasi untuk berbuat

kebajikan dengan transgressor. Walaupun seseorang merasa menjadi korban,

akan tetapi korban tetap memiliki keinginan untuk berbuat kebajikan kepada

transgressor. Korban yang berada dalam situasi ini akan tetap memiliki

keinginan untuk menjaga hubungan baik dengan transgressor.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

18

Sedangkan menurut Baumeister, Exline, dan Somer (Setiyana, 2013) dimensi

forgiveness dapat saling berinteraksi dan menghasilkan beberapa kombinasi

forgiveness, antara lain;

a. Hollow Forgiveness

Kombinasi ini terjadi saat orang yang disakiti dapat mengekspresikan

pemaafan secara konkret melalui perilaku, namun orang yang disakiti belum

dapat merasakan dan menghayati adanya pemaafan didalam dirinya. orang

yang disakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah

mengatakan kepada pelaku “saya memafkan kamu”. AlMabuk, Enright, Cardis

Baumeister, Exline dan Sommer (1998) mengatakan bahwa dimulainya proses

intrapsikis dari pemaafan ditandai dengan adanya komitmen dalam diri orang

yang disakiti untuk memafkan. Saat komitmen telah dimiliki, orang yang

disakiti dapat mengekpresikannya dengan baik kepada pelaku.

b. Silent Forgiveness

Kombinasi ini kebalikan dari kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini

intrapsychic forgiveness dirasakan, namun tidak diekspresikannya melalui

perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness. Orang

yang disakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci kepada

pelaku namun tidak mengespresikannya. Orang yang disakiti membiarkan

pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan pelaku tetap

bersalah.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

19

c. Total Forgiveness

Dalam kombinasi ini orang yang disakiti menghilangkan perasaan

kecewa, benci atau marah terhadap pelaku tentang pelanggaran yang terjadi.

Kemudian, hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku kembali secara

total seperti keadaan sebelumnya pelanggaran atau peristiwa yang menyakitkan

orang yang disakiti terjadi (Baumeister, Exline dan Sommer, 1998)

d. No Forgiveness

Dalam kombinasi ini, Intrapsychic dan Interpersonal Forgiveness tidak

terjadi pada orang yang disakiti. Baumeister, Exline dan Sommer (1998)

menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi

forgiveness menurut McCullough, Root dan Cohen (2006) meliputi motivasi

membalas dendam (revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance

motivation), dan motivasi mendekat (benevolence motivation). Sedangkan menurut

Baumeister, Exline, dan Somer (1998) dimensi forgiveness terbagi menjadi empat

yaitu hollow forgiveness, silent forgiveness, total forgiveness dan no forgiveness.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh

McCullough, Root dan Cohen (2006). Dimensi tersebut yaitu motivasi membalas

dendam (revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance motivation), dan

motivasi mendekat (benevolence motivation). Pemilihan ini didasarkan karena

McCullough telah mengembangkan alat ukur forgiveness yaitu TRIM-18 yang

disusun berdasarkan ketiga dimensi antara lain yaitu motivasi membalas dendam

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

20

(revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance motivation), dan motivasi

mendekat (benevolence motivation).

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Forgiveness

Wardhati dan Faturochman (2006) menyatakan ada beberapa faktor yang

mempengaruhi forgiveness, yaitu:

a. Karakteristik kepribadian

Kepribadian sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi forgiveness

(McCollough dkk dalam Sari, 2012). Karakteristik kepribadian merupakan

faktor internal yang dimiliki setiap individu (Nashori dalam Sumiati &

Sandjaja, 2013). Kepribadian merupakan sifat dan tingkah laku khas seseorang

yang membedakannya dengan orang lain (Setiyana, 2013).

McCullough dkk (1998) menyatakan bahwa kepribadian individu yang

ekstrovert akan lebih mudah memaafkan karena individu berkepribadian

ekstrovert menunjukkan karakter seperti berjiwa sosial, terbuka, asertif, hangat

kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, jujur, sopan, fleksibel, empatik,

dan bersahabat. Sedangkan kepribadian introvert menunjukkan kecenderungan

seseorang bersikap tertutup, tidak asertif, suka menyembunyikan perasaan,

cenderung terbenam dalam sensasi jiwanya sendiri, serta memandang dunia

sebagai sesuatu yang tidak menarik.

b. Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan

atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya

dengan pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

21

seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah

dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa

penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan

(McCullough dkk, 1997, 1998, 2003; Zechmeister dan Romero, 2002;

Macaskil dkk., 2002; Takaku, 2001). Empati juga menjelaskan variabel sosial

psikologis yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf

(apologies) dari pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada

pihak yang disakiti maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan

kemudian termotivasi untuk memaafkannya.

c. Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya

Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa

setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku

individu (termasuk pemaafan) di masa mendatang. Dibandingkan dengan

orang yang tidak memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung

menilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang

diperbuatnya cukup adekuat dan jujur (A1-Mabuk dkk., 1998). Pemaaf pada

umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak

bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang

menyakitkan itu. Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini

memberikan reaksi emosi positif yang kemudian akan memunculkan

pemberian maaf terhadap pelaku (Takaku, 2001).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

22

d. Tingkat kelukaan

Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk

mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Kadang-kadang rasa

sakit membuat mereka takut seperti orang yang dikhianati dan diperlakukan

secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat

mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun

melukai. Mereka pun menggunakan berbagai cara untuk menyangkal rasa sakit

hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang yang merasa sakit hati ketika

mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan

bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali

menimbulkan kesedihan yang mendalam. Ketika hal ini terjadi, maka

pemaafan tidak bisa atau sulit terwujudkan (Smedes, 1984).

e. Kualitas hubungan

Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh

komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas

hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan

interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya

mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, dalam

hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menjalin hubungan di

antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi kepentingan satu

orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan

mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

23

terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka

(McCullough dkk., 1998).

Setiyana (2013) menjelaskan bahwa terdapat lima faktor penentu

(determinan) forgiveness, antara lain:

a. Social-cognitive

Merupakan suatu proses yang melibatkan persepsi, evaluasi, dan

mengkategorikan orang lain (Dayakisni & Hudaniah, 2009). Variasi dari

variabel sosial-kognitif diasosiasikan dengan hubungan spesifik pemaafan.

Perasaan empati terhadap orang yang bersalah menjadi penting sekali pada

aspek sosial-kognitif (McCullough, et al., 1998). Empati merupakan

kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang

lain, kemampuan empati erat kaitannya dengan pengambilan peran (Dayakisni

& Hudaniah, 2009).

b. Tingkat kelukaan atau serangan

Persepsi tentang keparahan luka (serangan) dan akibat dari luka itu sendiri

pada sebuah hubungan akan sangat mempengaruhi pemaafan, luka (serangan)

yang lebih dalam akan menjadi lebih sulit dimaafkan (Dayakisni & Hudaniah,

2009). Di sisi lain, jika pelaku meminta maaf atas kesalahannya maka ini akan

menjadi pertimbangan tersendiri bagi sang korban.

c. Hubungan interpersonal

Hubungan antar individu yang berinteraksi satu sama lain, dalam hal ini

terdapat kedekatan, kepuasan, dan komitmen. Menurut Rusbult dan Lange

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

24

terdapat empat hubungan analisis keadaan saling tergantung dari pertolongan

dan kesediaan untuk berkorban (McCullough, et al., 1998). Pertama, pasangan

dalam sebuah hubungan akan lebih bersedia memaafkan karena mereka

memiliki motivasi lebih tinggi untuk memelihara hubungan yang telah mereka

jalin dengan sungguh-sungguh. Kedua, pasangan dengan kualitas hubungan

tinggi memiliki orientasi jangka panjang pada kekuatan motivasi mereka untuk

melupakan luka agar memaksimalkan kemungkinan menjaga hubungan.

Ketiga, hubungan kualitas tinggi tertarik pada diri sendiri dan pasangan yang

mungkin akan bergabung. Keempat, kualitas hubungan barang kali akan

menghasilkan sebuah orientasi bersama bahwa mempertimbangkan sebuah

kesediaan bertindak berdasarkan cara tertentu agar dapat bermanfaat bagi

pasangan, tetap jika mereka melibatkan beberapa kerugian untuk dirinya.

d. Kepribadian

Sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan

orang lain. Kepribadian ekstrovert menunjukkan karakter seperti berjiwa

sosial, terbuka, asertif, hangat kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri,

jujur, sopan, fleksibel, empatik, dan bersahabat. Sedangkan kepribadian

introvert menunjukkan kecenderungan seseorang bersikap tertutup, tidak

asertif, suka menyembunyikan perasaan, cenderung terbenam dalam sensasi

jiwanya sendiri, serta memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak menarik

(Alwisol, 2009). Kepribadian ekstrovert dan introvert akan cenderung

mempengengaruhi seseorang untuk melakukan forgiveness.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

25

e. Religiusitas

Penelitian Nashori, et al. (2011) juga diungkapkan bahwa terdapat

faktor lain dalam forgiveness yaitu religiusitas, semua ajaran agama

memandang bahwa salah satu dari sekian banyak karakter manusia yang mulia,

terpuji, dan memiliki pengaruh besar dalam kualitas kehidupan mereka adalah

sifat “pemaaf”. Ini merupakan salah satu sifat yang sangat mulia baik dalam

kacamata agama maupun norma masyarakat (Jamal & Thoif, 2009). Sehingga

agama memberikan pesan moral kepada umatnya agar ia dapat memaafkan

orang lain, sebagaimana Tuhan yang dapat mengampuni semua dosa hamba-

Nya ketika mereka bertaubat dengan sungguh-sungguh. Dalam penelitian

Webb, Chickering, Colburn, Heisler, dan Call (2005) ditemukan bahwa

religiusitas berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memaafkan.

Penelitian tersebut berfokus pada kemampuan forgiveness dan keyakinan

beragama. Indikasi hasil bahwa kecondongan forgiveness memiliki korelasi

positif dengan motivasi intrinsik. Forgiveness juga berkorelasi positif untuk

mencintai Tuhan dengan agama sebagai model problem solving yang

melibatkan keberpasangan dengan Tuhan atau menghormati Tuhan. Pada

penelitian tersebut terlihat bahwa manusia memaafkan tidak hanya untuk

memperbaiki hubungan interpersonal tetapi juga memperbaiki hubungan

dengan Tuhan.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi forgiveness meliputi karakteristik kepribadian,

empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat kelukaan, kualitas

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

26

hubungan, sosial kognitif, hubungan interpersonal dan religiusitas. Pada

penelitian ini peneliti memilih karakteristik kepribadian sebagai variabel bebas

karena kepribadian merupakan sifat dan tingkah laku khas seseorang yang

membedakannya dengan orang lain (Setiyana, 2013). Selain itu peneliti ingin

mengetahui salah satu karakteristik kepribadian yang lebih dekat dengan

forgiveness.

B. Karakteristik Kepribadian

1. Pengertian Kepribadian

Allport (Alwisol, 2004) mendefinisikan kepribadian yaitu sebagai susunan

sistem-sistem psikofisik yang dinamis dalam diri individu, yang menentukan

penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksud

Allport meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional, perasaan

dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar fisik anak secara

umum. Kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual,

unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri,

kemampuan memperoleh pengalaman (Stren dalam Alwisol, 2004).

Menurut Guilford (Alwisol, 2004) kepribadian adalah pola trait-trait unik

dari seseorang. Pervin (Alwisol, 2004) kepribadian adalah seluruh karakteristik

seseorang atau sifat umum banyak orang mengakibatkan pola yang menetap

dalam merespon suatu situasi. Lebih lanjut Maddy dan Burt (Alwisol, 2004)

berpendapat bahwa kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

27

kecenderungan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah

laku psikologik (berfikir, merasa, dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang

panjang dan tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan

sosial dan tekanan biologik saat itu. Kepribadian dapat diartikan sebagai pola

khas dari fikiran, perasaan, dan tingkah laku yang membedakan orang satu

dengan yang lain dan tidak berubah lintas waktu dan situasi (Phares dalam

Alwisol, 2004).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian

adalah sifat, tingkah laku dan karakteristik yang khas yang dapat membedakan

individu dengan individu lainnya.

2. Tipe Kepribadian

Terdapat beberapa tipe kepribadian antara lain; (a) tipe kepribadian

berdasarkan struktur tubuh manusia yang dikemukakan oleh Sheldon

(Suryabrata, 2015) bahwa tipe pokok dari jasmani manusia yaitu endomorph,

mesomorph, dan ectomorph; (b) tipe kepribadian berdasarkan temperamen

menurut Kant (Suryabrata, 2015) terbagi menjadi tiga yaitu sanguinis,

melancholis, choleris, dan phlegmatic; (c) tipe kepribadian introvert dan

ekstravert yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dan Hans J.Eysenck

(Alwisol, 2004).

Terdapat teori yang mengemukakan adanya lima bentuk tipe kepribadian

yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa yang dikenal dengan big five

personality (Timothy dalam Ghufron & Risnawati, 2014). Dalam teori tersebut

terdapat lima tipe kepribadian yang mendasari perilaku individu.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

28

Pemilihan ini karena Big Five menggunakan pendekatan teoritis yang

mengacu pada lima faktor kepribadian yang terdiri dari extraversion,

neuroticism, openness to experience,agreeableness, conscientiousness. Diantara

kelima faktor tersebut, manusia cenderung memiliki salah satu faktor

kepribadian sebagai faktor yang dominan.

3. Kepribadian Big Five

Caprara dan Cervone (2000) menyatakan bahwa kepribadian big five adalah

teori kepribadian yang menjelaskan hubungan antara kognisi, affect dan

tindakan. Feist dan Feist (2017) menyatakan bahwa big five adalah salah satu

kepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku. McCrae dan

Costa (Pervin, 2010) menyatakan bahwa tipe-tipe dari kepribadian big five

adalah:

a. Extraversion

Extraversion merupakan tipe yang penting dalam kepribadian,

dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial.

Seseorang yang memiliki faktor extraversion yang tinggi, akan mengingat

semua interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang dibandingkan

dengan seseorang dengan tingkat extraversion yang rendah. Dalam

berinteraksi mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol dan

keintiman. Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki

antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik,

tertarik dengan banyak hal, ambisius, juga ramah terhadap orang lain

memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

29

dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Extraversion dapat

memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang yang memiliki

tingkat extrversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman dari pada

seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah. Extraversion

mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan

mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan extraversion yang rendah

cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. Facet-facet

yang terdapat dalam extravertion menurut Pervin, dkk., (2005) sebagai

berikut:

1) Warmth (E1) merupakan kecenderungan untuk bergaul dan membagi

kasih sayang.

2) Gregariousness (E2) merupakan kecenderungan individu untuk banyak

berteman dan berinteraksi dengan banyak orang.

3) Assertiveness (E3) merupakan kecenderungan individu untuk bersikap

tegas.

4) Activity Level (E4) merupakan kecenderungan individu untuk aktif

mengikuti berbagai kegiatan, memiliki energi dan semangat yang tinggi.

5) Excitement-seeking (E5) merupakan kecenderungan individu untuk

mencari sensasi dan berani mengambil resiko.

6) Positive Emotion (E6) merupakan kecenderungan individu untuk

mengalami emosi-emosi yang positif seperti bahagia, cinta dan

kegembiraan.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

30

b. Neuroticism

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi

yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional

mereka labil, mereka juga merubah perhatian menjadi sesuatu yang

berlawanan. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah

cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup, dibandingkan

dengan seseorang yang memiliki neuroticism yang tinggi. Selain itu juga

memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka

juga memiliki tingkat self esteem yang rendah, kepribadian yang mudah

mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan cenderung memiliki

kecenderungan emotionally reaktif. facet dalam trait ini yang disebutkan

oleh Pervin, dkk., (2005) yaitu:

1) Anxiety (N1) merupakan kecenderungan untuk gelisah, penuh ketakutan,

merasa khawatir, gugup dan tegang.

2) Angry Hostility (N2) merupakan kecenderungan untuk mengalami

amarah, frustasi dan penuh kebencian.

3) Depression (N3) merupakan kecenderungan individu untuk mengalami

depresi.

4) Self-consciousness (N4) merupakan kecenderungan individu untuk

menunjukkan emosi malu, merasa tidak nyaman diantara orang lain,

sensitif dan rendah diri.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

31

5) Impulsiveness (N5) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam

mengontrol keinginannya yang berlebihan atau dorongan untuk

melakukan sesuatu.

6) Vulnerability (N6) menunjukkan ketidakmampuan individu dalam

menghadapi stress, kecenderungan untuk bergantung kepada orang lain,

mudah menyerah dan panik.

c. Openness to Experience.

Openness to experience yaitu proaktif dan menghargai pengalaman

karena keinginannya sendiri, toleran dan melakukan eksplorasi terhadap

sesuatu yang belum dikenal. Mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas

menyerap informasi, menjadi sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada

berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan openness

to experience yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki

imajinasi dan kehidupan yang indah. Sedangkan seseorang yang memiliki

tingkat openness to experience yang rendah memiliki nilai kebersihan,

kepatuhan dan keamanan bersama, juga menggambarkan pribadi yang

mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya

perubahan. Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi.

Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat

openness to experience yang tinggi. Juga memiliki rasa ingin tahu, kreatif,

terbuka terhadap pengalaman, lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk

suatu masalah. Facet-facet dalam trait openness to experience yang

disebutkan oleh Pervin, dkk., (2005), yaitu:

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

32

1) Fantasy (O1) merupakan kecenderungan individu yang memiliki tingkat

imajinasi tinggi dan aktif.

2) Aesthetic (O2) merupakan kecenderungan individu yang memiliki

apresiasi tinggi terhadap seni dan keindahan.

3) Feelings (O3) merupakan kecenderungan individu untuk menyadari dan

menyelami emosi serta perasaannya sendiri.

4) Action (O4) merupakan kecenderungan individu untuk mencoba hal-hal

baru.

5) Ideals (O5) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir terbuka dan

mau menyadari ide baru serta tidak konvensional.

6) Values (O6) merupakan kesiapan seseorang untuk menguji ulang nilai-nilai

sosial, politik dan agama.

d. Agreeableness

Dapat disebut juga sosial adaptability yang mengidentifikasikan

seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah,

menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang

lain. Individu yang berada pada skor agreeableness yang tinggi

digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, forgiving, dan

penyayang. Namun ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan

interpersonal, orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika

berhadapan dengan konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun.

Selain itu menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan

sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

33

salah satu ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang

tinggi. Sedangkan orang dengan tingkat agreeableness yang rendah

cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif. Facet-facet yang

terdapat dalam agreeableness menurut Pervin, dkk., (2005) yaitu:

1) Trust (A1) merupakan kecenderungan individu untuk mempercayai orang

lain.

2) Straight for wardness (A2) merupakan kecenderungan individu untuk

berterus terang dan sungguh-sungguh dalam menyatakan sesuatu.

3) Altruism (A3) merupakan kecenderungan individu yang murah hati dan

memiliki keinginan yang besar untuk membantu orang lain.

4) Compliance (A4) merupakan kecenderungan individu dalam merespon

adanya suatu konflik interpersonal.

5) Modesty (A5) merupakan kecenderungan individu untuk tampil

sederhana dan rendah hati.

6) Tender-mindedness (A6) merupakan kecenderungan individu untuk

simpati dan peduli terhadap orang lain.

e. Conscientiousness

Conscientiousness disebut juga impulsive control yang menggambarkan

perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Individu yang

conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, yang biasanya

digambarkan sebagai orang yang tepat waktu dan ambisius.

Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial,

berfikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

34

norma, terencana, terorganisir dan memprioritaskan tugas. Disisi negatif

menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholik, membosankan. Tingkat

conscientiousness yang rendah menunjukkan sikap ceroboh, tidak terarah,

serta mudah teralih perhatiannya. Facet-facet yang terdapat dalam

conscientiousness menurut Pervin, dkk., (2005) sebagai berikut:

1) Competence (C1) merupakan kesanggupan, keefektifan dan kebijaksanaan

individu dalam melakukan sesuatu.

2) Order (C2) merupakan kemampuan individu dalam mengorganisasi.

3) Dutifulness (C3) merupakan kecenderungan individu dalam memegang

erat prinsip hidupnya.

4) Achievement-striving (C4) merupakan orientasi individu dalam mencapai

prestasi.

5) Self-discipline (C5) merupakan kecenderungan individu dalam mengatur

dirinya sendiri.

6) Deliberation (C6) merupakan kecenderungan individu untuk berpikir

terlebih dahulu sebelum bertindak.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe dalam kepribadian big five

adalah extraversion, neuroticism, openness to experience, agreeableness,

conscientiousness. Dalam penelitian ini, tipe-tipe yang akan digunakan sebagai

indikator penyusunan alat ukur adalah tipe yang dikemukakan oleh McCrae dan

Costa (Pervin, 2010), yaitu neuroticism, extraversion, openness to experience,

agreeableness, dan conscientiousness. Peneliti mudah memahami tipe yang

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

35

dijelaskan oleh McCrae dan Costa, hal ini menjadi alasan peneliti untuk memilih tipe

tersebut.

C. Hubungan Antara Karakteristik Kepribadian dengan Forgiveness pada

Remaja Akhir

Tipe-tipe dalam kepribadian big five adalah extraversion, neuroticism,

openness to experience, agreeableness, conscientiousness. Extraversion ini dapat

memprediksi banyak tingkah laku sosial. Seseorang yang memiliki faktor

extraversion yang tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi dengan

lebih banyak orang dibandingkan dengan seseorang dengan tingkat extraversion

yang rendah. Dalam berinteraksi mereka juga akan lebih banyak memegang kontrol

dan keintiman.

Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang

tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan

banyak hal, ambisius, juga ramah terhadap orang lain memiliki tingkat motivasi

yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan

dalam lingkungannya. Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari

hubungan sosial. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat

lebih cepat berteman dari pada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang

rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup,

tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan extraversion yang

rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya.

Extraversion dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial. Seseorang

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

36

yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman.

Individu dengan karakter extraversion menunjukkan berkurangnya keinginan untuk

membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga

hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Dengan kata lain,

karakteristik extraversion ini mendorong individu untuk lebih mudah memaafkan

karena individu dengan kepribadian ekstravert lebih bersifat terbuka sehingga

cenderung tidak ada yang dirahasiakan, mudah bergaul dan senang bersosialisasi

dengan orang lain (Jung dalam Suryabrata, 2002).

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi

yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka

labil, mereka juga merubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Seseorang

yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan

puas terhadap hidup, dibandingkan dengan seseorang yang memiliki neuroticism

yang tinggi. Selain itu juga memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan

berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah, kepribadian

yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi dan cenderung memiliki

kecenderungan emotionally reaktif. Maltby dkk (2008) mengungkapkan bahwa

individu dengan karakter neuroticism menunjukkan keinginan untuk membalas

dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti hingga dua tahun setelah konflik

terjadi. Sehingga individu yang neuroticism sulit dalam memaafkan.

Openness to experience yaitu proaktif dan menghargai pengalaman karena

keinginannya sendiri, toleran dan melakukan eksplorasi terhadap sesuatu yang

belum dikenal. Mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas menyerap informasi,

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

37

menjadi sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan,

pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan openness to experience yang tinggi

digambarkan sebagai seseorang yang memiliki imajinasi dan kehidupan yang

indah. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness to experience yang

rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan dan keamanan bersama, juga

menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan

tidak menyukai adanya perubahan.

Openness to experience dapat membangun pertumbuhan pribadi.

Pencapaian kreativitas lebih banyak pada orang yang memiliki tingkat openness to

experience yang tinggi. Juga memiliki rasa ingin tahu, kreatif, terbuka terhadap

pengalaman, lebih mudah untuk mendapatkan solusi untuk suatu masalah. Individu

dengan karakter openness to experience menunjukkan berkurangnya keinginan

untuk membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap

menjaga hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Dengan

demikian, individu dengan karakter openness to experience akan lebih mudah

memaafkan karena mereka mampu untuk waspada pada berbagai perasaan,

pemikiran dan impulsivitas, mudah bertoleransi serta lebih mudah untuk

mendapatkan solusi untuk suatu masalah.

Agreeableness dicirikan dengan seseorang yang ramah, memiliki

kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki

kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Individu yang memiliki agreeableness

yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang suka membantu, forgiving, dan

penyayang. Ditemukan pula sedikit konflik pada hubungan interpersonal, orang

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

38

yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi ketika berhadapan dengan

konflik, self esteem mereka akan cenderung menurun.

Selain itu menghindar dari usaha langsung dalam menyatakan kekuatan

sebagai usaha untuk memutuskan konflik dengan orang lain merupakan salah satu

ciri dari seseorang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi. Individu

dengan karakter agreeableness menunjukkan berkurangnya keinginan untuk

membalas dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga

hubungan yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Penelitian McCullough

(2001) menunjukkan individu yang memiliki kepribadian agreeableness

merupakan individu yang sangat menyenangkan, cenderung untuk berkembang di

dunia interpersonal, memiliki rasa dendam yang rendah terhadap orang yang

menyakiti, terhindar dari terjadinya konflik dengan individu lain dan sangat mudah

untuk memaafkan kesalahan orang lain.

Conscientiousness disebut juga impulsive control yang menggambarkan

perbedaan keteraturan dan self discipline seseorang. Individu yang

conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi, yang biasanya

digambarkan sebagai orang yang tepat waktu dan ambisius. Conscientiousness

mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berfikir sebelum bertindak,

menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir dan

memprioritaskan tugas. Disisi negatif menjadi sangat perfeksionis, kompulsif,

workaholik, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukkan

sikap ceroboh, tidak terarah, serta mudah teralih perhatiannya. Individu dengan

karakter conscientiousness menunjukkan berkurangnya keinginan untuk membalas

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

39

dendam dan menjauhi orang yang telah menyakiti namun tetap menjaga hubungan

yang baik dengan orang yang telah menyakiti. Individu yang memiliki kepribadian

conscientiousness lebih mudah memaafkan karena memiliki kontrol diri terhadap

lingkungan sosial dan berfikir sebelum bertindak.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah:

1. Ada korelasi positif antara extraversion dengan forgiveness pada remaja akhir.

Semakin tinggi extraversion menunjukkan forgiveness yang tinggi pada remaja

akhir. Begitu pula semakin rendah extraversion menunjukkan forgiveness yang

rendah pada remaja akhir.

2. Ada korelasi negatif antara neuroticism dengan forgiveness pada remaja akhir.

Semakin tinggi neuroticism menunjukkan forgiveness yang rendah pada remaja

akhir. Begitu pula semakin rendah neuroticism menunjukkan forgiveness yang

tinggi pada remaja akhir.

3. Ada korelasi positif antara openness to experience dengan forgiveness pada

remaja akhir. Semakin tinggi openness to experience menunjukkan forgiveness

yang tinggi pada remaja akhir. Begitu pula semakin rendah openness to

experience menunjukkan forgiveness yang rendah pada remaja akhir.

4. Ada korelasi positif antara agreebleness dengan forgiveness pada remaja akhir.

Semakin tinggi agreebleness menunjukkan forgiveness yang tinggi pada remaja

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Forgivenesseprints.mercubuana-yogya.ac.id/4824/3/BAB II.pdfmenilai pihak yang bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup adekuat

40

akhir. Begitu pula semakin rendah agreebleness menunjukkan forgiveness yang

rendah pada remaja akhir.

5. Ada korelasi positif antara conscientiouness dengan forgiveness pada remaja

akhir. Semakin tinggi conscientiouness menunjukkan forgiveness yang tinggi

pada remaja akhir. Begitu pula semakin rendah conscientiouness menunjukkan

forgiveness yang rendah pada remaja akhir.