BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Laut...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Laut Internasional
A.1. Pengertian Hukum Laut Internasional
Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang
mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan
dengan pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun
subyek hukum internasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan
negara atas laut, yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut.
Hukum laut internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum dilaut dan
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Akhir-akhir ini di kalangan para ahli hukum maupun di luar
lingkungan yang terbatas ini telah disadari pentingnya hukum laut bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, perkembangan
hukum laut (publik) Indonesia jauh lebih pesat. Bahkan dapat dikatakan
bahwa Indonesia memegang peranan yang cukup penting dalam
perkembangan hukum laut internasional publik masa kini.
Perjuangan Indonesia di bidang hukum laut tidak saja menghasilkan
pengakuan universal terhadap konsepsi negara kepulauan (archipelagic state
principle), tetapi telah membantu tercapainya kedudukan negara pantai yang
secara menyeluruh lebih kuat terhadap negara maritim daripada di masa-masa
sebelumnya.
14
Dalam beberapa puluh tahun belakangan ini sejak dicetuskannya
konsepsi “common heritage of mankind” dalam Sidang Majelis Umum PBB
di tahun 1967,1 hukum laut internasional publik telah mengalami proses
perubahan yang sangat mendasar dan menyeluruh. Perubahan-perubahan yang
telah terjadi berupa bertambahnya kekuasaan negara atas laut hingga 200 mil
dari pantai,2 bertambahnya wewenang negara tepi (riparian state) atas lalu
lintas kapal di selat dan bertambahnya wewenang negara untuk mengambil
tindakan-tindakan perlindungan lingkungan laut.
Hukum laut internasional yang hingga kini belum selang beberapa
lama merupakan penjelmaan supremasi negara maritim besar di lautan
berdasarkan doktrin “mare liberum” (laut bebas) Hugo Grotius3 dengan
demikian telah mengalami transformasi menjadi suatu perangkat ketentuan
hukum yang menggambarkan keseimbangan antara kepentingan negara
maritim dan negara non-maritim yang lebih baik.
Karena negara maritim pada umumya merupakan negara industri dan
maju, sedangkan negara non-maritim merupakan negara berkembang, maka
perjuangan-perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu tata hukum
laut internasional baru, sebagaimana juga perjuangan negara-negara
berkembang untuk mencapai tata ekonomi internasional baru, merupakan
suatu perjuangan negara-negara berkembang untuk suatu tata kehidupan
1 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi),
PT Refika Aditama, Bandung, 2014, h. 192. 2 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012,
h. 47. 3 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, h. 12.
15
internasional baru (new international order) yang lebih adil dan berimbang.
Itu sebabnya maka tata hukum laut internasional akan merupakan suatu
hukum laut internasional yang baru (new international of the Sea).
Walaupun demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam
proses pembentukannya, tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada hukum
laut internasional dewasa ini yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad ke
XVI di Eropa Barat.4 Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga
perkembangan-perkembangan yang kini sedang terjadi dalam bidang hukum
laut internasional publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang telah
ada dan terjadi sebelumnya. Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang
hukum laut internasional merupakan lanjutan daripada suatu proses perubahan
yang telah dimulai sejak akhir Perang Dunia ke-II.
Uraian mengenai hukum laut internasional perlu diawali dengan
pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam
sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi, antara lain sebagai:
1. Sumber makanan bagi umat manusia;
2. Jalan raya perdagangan;
3. Sarana untuk penaklukan;
4. Tempat pertempuran-pertempuran;
5. Tempat bersenang-senang; dan
6. Alat pemisah atau pemersatu bangsa.
4 Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi
Hukum Laut 1982), Djambatan, Jakarta, 1989, h. 1.
16
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka
fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang
dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber
daya alam.5
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa laut dapat
digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi
penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan
pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan di atas telah
dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap
penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan
yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.
A.2. Perkembangan Hukum Laut Internasional
Hukum dan ketertiban internasional laut di dunia telah diminta untuk
mengatur kepentingan beragam semua bangsa. Hukum laut di salah satu
cabang tertua hukum internasional, bagaimanapun, sumber kodifikasi dan
perkembangan progresif undang-undang ini adalah tiga Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1958, 1960 dan
1973-1982. Perkembangan hukum laut telah memiliki sejarah yang panjang
dan membingungkan, dipengaruhi oleh pendapat penulis, praktik Negara, dan
persidangan konferensi dan Konvensi konsekuen mereka.6
5 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman Penerbit Binacipta, Bandung, 1979, h. 1. 6 Mazen Adi, The Application of the Law of the Sea and the Covention on the Mediterranean Sea,
United Nations-Nippon Foundation Fellow 2008 – 2009, Division For Ocean Affairs and The Law of the Sea, Office of Legal Affairs, The United Nation, New York, 2009, h. 7.
17
Seiring waktu, telah diterima bahwa negara-negara pantai berhak
untuk mengklaim kedaulatan dan yurisdiksi atas laut yang berdekatan dan
dasar laut. Klaim ini telah dibuat untuk berbagai keperluan. Faktor keamanan
dan pertahanan adalah yang pertama yang membuat negara-negara memulai
proses ini. Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang terus
menerus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan
umat manusia melalui aturan-aturan yang berlaku untuk setiap negara.
Pemikiran-pemikiran para ahli dan konferensi-konferensi tentang hukum laut
internasional turut mewarnai proses perkembangan Hukum Laut Internasional
saat ini.
A.2.1. Zaman Romawi
Pada Zaman Romawi telah berkembang pemikiran dan aturan yang
berkaitan dengan laut. Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut
tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional
yang mengenal pertarungan antara 2 konsepsi, yaitu:
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik semua
orang, jadi laut adalah milik bersama masyarakat internasional, dan
karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara;
b. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki,
dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.
Di laut berlaku “first come first serve” mereka yang datang lebih dahulu
maka merekalah yang berhak menguasai wilayah tersebut.7
7 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h. 11.
18
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali
dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma.
Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan
karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan
demikian menimbulkan suatu keadaan di mana Lautan Tengah menjadi lautan
yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat
mempergunakan Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin
oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut
didasarkan atas doktrin res communis omnium (hak bersama seluruh umat
manusia), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap
orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran,
menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.8
Bertitik tolak dari perkembangan doktrin res communis omnium
tersebut di atas, tampak bahwa embrio kebebasan di laut lepas sebagai prinsip
kebebasan di laut lepas telah diletakkan jauh sejak lahirnya masyarakat
bangsa-bangsa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa doktrin ini dalam sejarah
hukum laut internasional merupakan tonggak bagi perkembangan hukum laut
internasional pada masa-masa berikutnya.
Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-
tanda yang menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu
dapat dimiliki, di mana dalam zaman itu hak penduduk pantai untuk
menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.9 Pemilikan suatu
8 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 3.
9 Hasyim Djalal, “Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut”, Op.Cit., h.12.
19
kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya didasarkan
atas konsepsi res nulius.
Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Pendudukan ini dalam
hukum perdata Romawi dikenal sebagai konsepsi “occupatio” (occupation).
Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium
Romawi dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan
Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari
yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Lautan Tengah oleh Imperium
Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-
negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.10
A.2.2. Masa Abad Pertengahan
Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma
disekitar tepi Laut Tengah masing-masing menuntut sebagian dari laut yang
berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam.11
1. Teori Bartolus dan Baldus
Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar
negara atas laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazimnya
disebut Post-Glossator atau Komentator mencari penyelesaian hukumnya
didasarkan atas asas-asas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi.
Kebutuhan untuk memberikan dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut
10
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 4. 11
Ibid., h. 5.
20
oleh negara-negara ini antara lain menimbulkan beberapa teori yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad
pertengahan.12
a. Bartolus
Bartolus meletakan dasar bagi pembagian dua atas laut yakni
bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai
dan di luar itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan
kedaulatan siapapun. Teori ini kelak merupakan dasar pembagian dua
atas laut yang klasik dalam Laut Teritorial (Wilayah) dan Laut Lepas.
b. Baldus
Konsepsi Baldus agak berlainan dan sebenarnya lebih maju. Ia
membedakan 3 (tiga) konsepsi bertalian dengan penguasaan atas laut
yakni:
- Pemilikan atas laut;
- Pemakaian laut;
- Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.13
2. Pada tahun 1493
Suatu peristiwa penting di dalam sejarah hukum laut internasional
adalah pembagian seluruh laut dan samudera dunia ini di dalam dua bagian
dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 mil laut) sebelah
12
Ibid., h. 6. 13
Ibid., h.7.
21
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup
Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik) menjadi
milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera
Atlantik sebelah selatan Marokko dan Samudera India) menjadi milik
Portugal,14
yang dilakukan oleh Paus Alexander VI ditahun 1493 dengan
piagam yang dinamakan Inter Caetera.
Pembagian seluruh lautan dan samudera di dunia antara Portugal dan
Spanyol yang pada hakekatnya merupakan pembagian dunia ke dalam dua
lingkungan kekuasaan yang masing-masing dinyatakan berada di bawah
kedaulatan raja-raja Portugal dan Spanyol ini merupakan usaha untuk
menyelesaikan persaingan dan sengketa antara dua kerajaan Katholik ini
yang mulai timbul sejak jatuhnya Constantinopel (sekarang Istanbul) ke
tangan Turki di tahun 1453.15
3. Dalam perkembangannya terjadi “Battle of the Books” dimana para ahli
hukum saling berargumen. Para ahli hukum berpendapat bahwa laut
bebas (mare liberum) lawan laut tertutup (mare calusum)
a. Mare Liberum
Azas kebebasan laut (Freedom of the Sea) pertama kali
dikemukakan oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberum yang
terbit ditahun 1609. Buku ini yang beranak judul (subtitle) “on the right
of the Dutch to sail to the East Indies” (tentang hak orang Belanda untuk
14
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 4. 15
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h.8.
22
berlayar ke Hindia Timur) ditulis oleh Grotius sebagai pembelaan hak
orang Belanda atau orang lain selain orang Portugis dan Spanyol untuk
mengarungi lautan.
Dalam tahun yang sama (1609) raja James I dari Inggris telah
mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda untuk menangkap ikan di
dekat pantai Inggris.
Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya di
tujukan pada orang Portugis dan Spanyol yang telah menutup laut-laut
tertentu bagi pelayaran oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan
perikanan yang dilakukan oleh Inggris, telah menimbulkan reaksi yang
hebat dari penulis-penulis Inggris seperti Welwood dan kemudian Selden
sehingga menimbulkan apa yang dinamakan “pertempuran buku-buku”
(battle of the books).
Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula
dibentangkan dalam buku “Mare Liberum” dikembangkannya kemudian
dalam buku “De Iure Praedae” dan akhirnya dalam “De Iure Belli ac
Paccis” yang meliputi tiga jilid.
Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare
Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal dan Spanyol
melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian
bahwa laut terbuka untuk siapapun juga karena tidak ada yang
memilikinya.
23
Sebagaimana diketahui sekarang buku “Mare Liberum” semula
sebenarnya dimaksudkan sebagai bab ke-12 dari buku “De Jure
Praedae” yang ditulis untuk menyerang politik Portugal dan Spanyol
yang merampas kapal-kapal bangsa lain yang melayari laut dan samudera
yang mereka anggap hanya boleh dilayari kapal-kapal mereka.
Keputusan untuk menerbitkan bab ini sebagai suatu buku tersendiri
didorong oleh keinginan dan harapan untuk meyakinkan pihak Spanyol
dengan alasan-alasan yang termuat didalamnya.
Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan
berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa
Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal
kebebasan untuk menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak
menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun
didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut
yang tak ada batasnya.16
b. Mare Clausum
Ajaran Grotius mengenai “Mare Liberum” sebagaimana
disebutkan di atas mendapat tantangan dari berbagai penulis sejamannya.
Mereka antara lain Gentilis, William Welwood, John Borough, Paulo
Sarol, dan John Shelden. Tantangan atas ajaran Grotius mencegah
kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian tertentu dari
laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori
16
Ibid., h. 12-14.
24
“Mare Liberium” hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran
(freedom of navigation) di laut.
Yang terpenting dari para penentang Grotius adalah John
Sheldon. Penentangnya ini mengemukakan dalam bukunya “Mare
Clausum: the Right and Dominion In the Sea (1636). Menurut Sheldon,
okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun, sejarah telah
membuktikan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka
atas lautan, dan karena itu melalui prescription itu dapat dimiliki.
Karenanya laut itu bukan “Mare Liberium” tetapi “Mare Clausum”.
Sifatnya yang cair tak menyebabkan laut tidak dapat dimiliki, karena
sungai dan perairan di sepanjang pantai yang cair diakui dapat dimiliki.17
Selden kembali mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh
suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas
laut tersebut. Teori ini dikembangkan oleh Pontanus yang
mengemukakan bahwa: Kedaulatan suatu Negara (souvereignty) atas laut
mencakup didalamnya wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga
wewenang untuk melarang melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi
dikaitkan dengan pemilikan (dominium) atas laut. Dengan demikian
dihindarkannya persoalan dapat atau tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi
yang merupakan salah satu titik kelemahan dalam argumentasi Grotius.18
17
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 6. 18
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 19.
25
Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya “Mare Liberum”
seorang ahli hukum terkemuka bangsa Belanda lainnya Cornelis van
Bynkershoek menulis sebuah buku berjudul “De Dominio Maris
Dissertatio”. Dalam tulisan ini ia menolak dalil John Selden, yang
mengklaim bagian-bagian laut yang luas bagi negara pantai, dengan
menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan negara pantai
dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu besar. Untuk ini ia
mengemukakan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari asas
penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang
berbunyi : “Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis” (kedaulatan
territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini
jalur laut territorial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah
(territori) daratan dan perbedaan antara pemilikan dan kedaulatan dengan
demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian sempurnalah pembagian
dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah “perang buku”
antara doktrin “Mare Liberum” dan “Mare Clausum”.19
4. Jarak tembakan meriam dan asal-usul kaidah lebar laut territorial 3 (tiga)
mil
Sudah menjadi anggapan umum bahwa kaidah lebar laut tiga mil
yang pernah dianggap sebagai suatu ukuran lebar laut territorial yang
berlaku umum berasal dari kaidah tembakan meriam. Akan tetapi penelitian
19
Ibid., h. 20.
26
yang diadakan beberapa waktu yang lalu telah mengemukakan beberapa
fakta yang membantah anggapan tadi. 20
Untuk lebih jelasnya baik apabila kita teliti sejarah penetapan lebar
laut teritorial ini setelah konsepsi laut wilayah ini lahir dengan membagi dua
laut dalam dua bagian yakni laut wilayah (territorial) yang berada di bawah
kedaulatan negara pantai dan laut lepas yang berstatus bebas.
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang
dipergunakan orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur
yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Diantaranya yang
terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata,
dan (3) ukuran "marine league". Baru jauh kemudian muncul ukuran 3 mil
laut yang untuk waktu yang cukup lama dianggap ukuran lebar laut teritorial
yang berlaku umum.
Diantara tiga ukuran tersebut di atas yang paling banyak
diperbincangkan adalah ukuran tembakan meriam dan lama sekali orang
mengira bahwa ukuran tembakan meriam inilah yang merupakan asal mula
dari kaidah laut territorial tiga mil, yakni suatu jalur laut yang terbentang
sepanjang pantai dan lebarnya tiga mil terhitung dari garis pasang surut.
Karenanya menarik kiranya kita ikuti sejarah perkembangan ukuran
tembakan meriam ini dan hubungannya dengan kaidah lebar laut tiga mil.
Dalam praktek antara negara ukuran tembakan meriam ini untuk
pertama kalinya disebut dalam sengketa antara Negeri Belanda dan Inggris
dalam nota wakil inggris, Gerbier di Brussel kepada Rajanya yang menulis
20
Ibid.
27
antara bahwa "............ orang Belanda tidak dapat mengakui Paduka Yang
Mulia memiliki kekuasaan di laut yang melampaui jarak tembakan
meriam".21
Dalil Bynkershoek yang dikemukakan seratus tahun setelah kejadian
di atas lekas sekali menjadi suatu teori yang diterima secara umum oleh
ahli-ahli hukum internasional antara lain Surland, Moser dan Vattel. Lebih
menarik lagi adalah usaha-usaha yang mencoba untuk menggambarkan dalil
tembakan meriam dalam ukuran jarak yang konkrit, yang pertama kali
dilakukan oleh Galiani, seorang penulis Italia yang dalam bukunya "Dei
doveri dei principii neutrali verso i principii guerregianti, e diquesto verso i
netrali” (Naples, 1782), menghubungkannya secara khusus dengan suatu
jalur netralitas yang lebarnya tiga mil.
Lebih terkenal lagi sebagai orang yang menyamakan dalil tembakan
meriam dengan kaidah 3 mil adalah penulis Italia Domenico Anzuni yang
mengemukakan pendapatnya itu dalam buku berjudul “Sistema universale
dei principii del dirrito marittimo dell’ Europa”, yang diterjemahkan dalam
bahasa Perancis dan kemudian bahasa Inggris.22
Disamakannya dalil tembakan meriam Bynkershoek dengan ukuran
3 mil laut yang dipelopori oleh Galiani dan Anzuni dalam abad ke-18, ini
ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar atas pemikiran dan
penulisan selanjutnya di bidang ini. Walaupun pada mulanya dalil tembakan
meriam dan kaidah tiga mil lebar laut teritorial disebut sebagai dua alternatif
yang identik (sama benar) dan dapat dipertukarkan satu sama lainnya,
21
Ibid., h. 21. 22
Ibid., h. 22.
28
diantara penulis-penulis hukum internasional kemudian timbul
kecenderungan untuk menyebutnya secara terpisah.
Menurut penelitian yang diadakan oleh Riesenfeld mengenai
pendapat dan tulisan-tulisan sarjana hukum internasional tentang batas lebar
laut teritorial dalam abad ke-19 dan ke-20, sebagian besar menganut
pendirian bahwa ukuran tembakan meriam atau 3 mil merupakan ukuran
lebar laut teritorial yang berlaku umum. Tetapi, ditambahkannya bahwa
sebagian besar daripada penulis ini hanya mengutip dan mengulang penulis-
penulis lain sebelumnya tanpa penelitian sendiri sehingga arti daripada
pendapat yang menyamakan dalil tembakan meriam dengan kaidah tiga mil
karenanya sangat berkurang.
A.2.3. Zaman Modern
Pada zaman modern, hukum laut internasional mengalami
perkembangan yang sangat luar biasa. Perkembangan hukum laut
internasional pada masa ini lebih banyak melibatkan negara-negara di dunia
melalui konferensi sebagai pemikir dan pembuat aturan-aturan dalam
perumusan hukum laut.
1. Den Haag Convention 1930
Di dalam tahun 1930 Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi
kodifikasi Hukum Internasional yang meliputi 3 masalah yakni:
1. Kewarganegaraan (Nationality);
2. Perairan Territorial (Territorial Waters);
29
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing
(Responsibility of State).
Patut disimak bahwa persoalan laut territorial ini dibicarakan dan
dibahas di dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial.
Konferensi ini didahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun
1929 yang menyusun dasar perbincangan (bases of discussion) dari
konferensi. Sebelum Konferensi Den Haag diadakan, Panitia Persiapan ini
menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut teritorial dan jalur tambahan.
Dasar perbincangan konferensi itu antara lain menyebutkan bahwa suatu
negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut
teritorial.23
Konferensi kodifikasi yang diadakan oleh Liga Bangsa-Bangsa ini di
dalam sejarah hukum internasional dapat dianggap sebagai usaha lanjutan
atas usaha kodifikasi hukum internasional dari masyarakat bangsa-bangsa
yang untuk pertama kalinya diadakan tahun 1899 pada waktu diadakannya
konferensi perdamaian di kota yang sama.
Dalam tahun 1899 hingga 1901 diselenggarakan Konferensi-
Konferensi Perdamaian di Den Haag yang merupakan usaha pertama dari
masyarakat bangsa-bangsa untuk melakukan perumusan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan antara negara dalam bentuk tertulis.
Konferensi-Konferensi Perdamaian Den Haag ini kemudian disusun dengan
23
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia(Edisi Revisi), Op.Cit., h. 7.
30
Konferensi Kodifikasi tahun 1907 menghasilkan Konvensi-Konvensi
tentang Perang dan Netralitas.24
Liga Bangsa-Bangsa setelah berakhirnya Perang Dunia I dengan
melanjutkan usaha ini menunjukkan optimisme dan kepercayaan anggota-
anggota akan kemampuan badan ini untuk paling tidak mengusahakan
terpeliharanya perdamaian melalui kodifikasi atas ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang berlaku dipilihnya hukum mengenai Laut
Teritorial sebagai salah satu masalah hukum yang perlu dikodifikasikan
menggambarkan keinginan masyarakat bangsa-bangsa waktu itu untuk
memperoleh ketegasan dalam suatu bidang hukum yang telah berkembang
sejak beberapa abad.
2. Truman Proclamation 28 September 1945
Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat Harry S.
Truman telah mengeluarkan suatu proklamasi yang di dalam paragrap-
paragrap pokoknya menyatakan sebagai berikut:25
Now, therefore, I, Harry S. Truman President of the United
States of America, do hereby proclaim the following policy of
United States of America with respect to the natural resources
of the subsoil and seabed of the continental shelf. Having
concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its
natural resources, the Government of the United States regards
the natural resources of the subsoil and seabed of the
continental shelf beneath the high seas but contiguous to the
coasts of the United States are appertaining to the United States,
subject to its jurisdiction and control. In cases where the
continental shelf extends to the shores of another State, or is
shared with an adjacent State, the boundary shall be determined
24
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54. 25
Proclamation No. 2667, “Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf”, 28 Sept. 1945, 10 Fed. Reg. 12,305 (1945); 3 CFR, 1943-1948 Compt., p.67.
31
by the United States and the State concerned in accordance with
equitable principles. The character as high seas of the waters
above the continental shelf and the right to their free and
unimpeded navigation are in no way thus affected.
Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah
suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas
pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi
“continental shelf” atau dataran kontinen. Tindakan Presiden Amerika
Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan
tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk
kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral
khususnya minyak dan gas bumi.
Di dalam pertimbangannya proklamasi Truman tersebut di atas
antara lain menyatakan perlunya dirangsang pencarian sumber-sumber baru
atas minyak bumi dan barang tambang lain mengingat kebutuhan dunia
jangka panjang akan sumber minyak bumi dan barang tambang lainnya.
Tindakan ini perlu diadakan demi eksplorasi dan eksploitasi sumber
kekayaan alam yang terdapat dalam dasar laut (seabed) dan tanah bawah
(subsoil) dataran kontinen yang teratur, yang dengan kemajuan teknik yang
telah tercapai sudah dapat di eksploitasikan. Sebagai alasan atas tindakan
Pemerintah Amerika Serikat untuk mengamankan cadangan kekayaan alam
yang terdapat pada dasar dataran kontinen dan tanah dibawahnya
dikemukakan bahwa sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh
negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan
alamiah atas wilayah daratan dan bagaimana pun juga usaha-usaha untuk
mengolah kekayaan alam yang terdapat di dalamnya memerlukan kerja
32
sama dan perlindungan dari pantai. Dengan demikian maka demi keamanan
pengusahaan sumber alam yang terdapat dari dalam continental shelf,
seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang
berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.26
Tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini didasarkan atas pendapat
ahli-ahli geologi minyak bumi bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran
kontinen di luar batas 3 mil mengandung endapan-endapan minyak bumi
yang sangat berharga. Tindakan ini memungkinkan untuk
mengeksploitasikan secara teratur suatu daerah di bawah permukaan laut
(sub marine area) yang luasnya 750.000 mil persegi yang di tutup oleh air
yang dalamnya tidak lebih dari 100 fathom.
Kesimpulan ini didasarkan atas pengamatan dan penelitian atas
struktur-struktur geologi yang terdapat dalam teluk Texas. Juga indikasi
yang sama terdapat di dalam struktur-struktur yang terdapat dalam teluk
Mexico. Pemerintah sekali lagi menekankan bahwa diumumkannya
penguasaan Amerika Serikat atas kekayaan mineral yang terdapat di dalam
dataran kontinen tidak sekali-kali bermaksud untuk mengurangi hak
kebebasan berlayar atas, atau melalui perairan yang terdapat di atas
"continental shelf” (dataran kontinen) yang tetap meliputi statusnya sebagai
laut lepas. Proklamasi ini juga tidak bermaksud untuk memperluas batas-
batas laut teritorial Amerika Serikat.
26
Ibid.
33
Dari bunyi teks proklamasi Truman yang dikutip di atas dan
penjelasan-penjelasan yang menyertainya kiranya jelas bahwa tindakan
Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan mengamankan atau
mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah
di bawahnya yang berbatasan dengan pantai tidak bermaksud mengganggu
pelayaran bebas yang terdapat dalam laut lepas. Dengan demikian
proklamasi Truman secara sekaligus memperluas wewenang Amerika
Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan
dengan pantainya termasuk tanah yang ada di bawahnya sambil tetap
mempertahankan kebebasan berlayar yang juga menjadi kepentingan
Amerika Serikat dalam perairan di atasnya dengan menegaskan bahwa
kedaulatan atau yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.
3. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 (UNCLOS I)
Dari tanggal 24 Februari hingga 27 April 1958 di kota Jenewa,
Switzerland telah diselenggarakan suatu konferensi internasional tentang
hukum laut yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 86 negara. Daftar negara
peserta memperlihatkan perubahan yang telah terjadi dalam keanggotaan
masyarakat bangsa dengan telah masuknya negara-negara yang memperoleh
kemerdekaannya setelah akhir Perang Dunia ke-II.27
Kenyataan dan faktor bertambah pentingnya laut sebagai sumber
kekayaan alam dan kemajuan teknologi memungkinkan penggaliannya yang
telah dijelaskan dalam tulisan diatas, menjadikan Konferensi Hukum Laut
27
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 109.
34
yang diadakan di Jenewa pada tahun 1958 ini suatu kejadian yang penting
dalam perkembangan hukum laut masa kini.
Konferensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 diadakan berdasarkan
resolusi Majelis Umum PBB No. 1105 (XI) tanggal 21 Februari 1957.
Paragraf operatif (operative paragraph) yang mengandung pokok isi
resolusi berbunyi sebagai berikut:28
"The General Assembly,
(2) Decides ...... that an international conference of
plenipotentiaries should be convoked to examine the law of the
sea, taking account not only of the legal but also of the
technical, biological, economic and political aspects of the
problem, and to embody the results of its work in one or more
international conventions or such other instrument as it may
deem appropriate."
Resolusi di atas yang merupakan dasar bekerja bagi konferensi dan
menetapkan batas-batas tugas konferensi dengan tegas menetapkan bahwa
konferensi harus membahas hukum laut tidak hanya dari sudut hukum,
melainkan harus pula mempertimbangkan aspek-aspek teknis, biologis,
ekonomis, dan politik atas masalah ini.
Untuk memahami persoalan sedalam-dalamnya perlu dijelaskan arti
dari aspek-aspek non-yuridis yang telah ditegaskan dalam resolusi di atas
dan pengaruhnya atas pertumbuhan hukum laut. Selanjutnya akan ditinjau
dengan cara bagaimana aspek-aspek non-yuridis ini dapat turut
dipertimbangkan di dalam membahas masalah hukum laut.
28
UN General Assembly, Official Records, 11th session, plenary meeting 658th, February 21, 1957. Res. 1105 (XI), p. 54.
35
Pembahasan atas persoalan-persoalan atau pertanyaan pre-liminer ini
perlu, karena akhirnya penilaian tentang berhasil atau tidaknya Konferensi
Hukum Laut Jenewa tahun 1958 dalam menunaikan tugasnya harus kita
lakukan menurut batas-batas tugas (terms of reference) yang telah diberikan.
Hasil Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 menghasilkan 4
(empat) Konvensi antara lain:29
a. Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone (Konvensi
mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);
b. Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas);
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources
of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas);
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas
Kontinen).
4. Konferensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1960 (UNCLOS II)
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam
klaim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan
selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut teritorial dikombinasikan dengan dua belas mil
29
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 128.
36
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami
kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah
pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan
Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas.30
Dengan demikian jelas,
diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas
masalah laut teritorial dan masalah perikanan.
5. United Nations Seabed Committe 18 Desember 1967 (Komisi PBB
mengenai Seabed)
Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2750 (XXV) tertanggal 17 Desember 1970.
Resolusi tersebut mengukuhkan mandat yang telah diberikan kepada The
Committe of the Peaceful Uses of the Seabed and Ocean Floor beyond the
Limits of national jurisdiction yang lebih dikenal dengan nama aslinya UN
Seabed Committe yang lahir sebagai hasil atas inisiatif Malta pada tahun
1967. UN Seabed Committe ditetapkan menjadi Panitia Persiapan bagi suatu
Konferensi Hukum Laut yang diadakan pada tahun 1973. Konferensi ini
ditugaskan untuk membahas:
a. Pengaturan hukum (regime) yang mengatur: “the area and the
resources of the seabed and ocean floor and the subsoil beyond
the limits of national jurisdiction, ...”;
b. Ketentuan-ketentuan mengenai pengaturan laut lepas (high seas);
c. Landas Kontinen (continental shelf);
30
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 5.
37
d. Territorial Sea, termasuk masalah lebar laut teritorial dan masalah
selat internasional;
e. Perikanan dan perlindungan sumber daya hayati di laut lepas;
f. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (termasuk
pencegahan pencemaran); dan
g. Penelitian ilmiah kelautan.31
6. United Nations Convention on the Law of the Sea III (UNCLOS III) 10
Desember 1982, Montego Bay, Jamaica.
Konvensi Hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB
tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10
Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
untuk penandatanganan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi Lautan
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi ini antara
lain terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi
nasional di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan
eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan
tentang penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga
mengatur tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk
31
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 11.
38
menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari
konvensi ini.
Pada tahun 1967 Majelis Umum membicarakan konsep Common
Heritage of Mankind (warisan umum kemanusiaan) dalam kaitan dengan
pemeliharaan dasar laut secara eksklusif untuk perdamaian, di mana
sebelumnya konsep warisan umum kemanusiaan ini belum pernah
dibicarakan dalam forum internasional. Pekerjaan dari Konferensi Ketiga
PBB tidaklah didasarkan kepada rancangan pasal-pasal yang dipersiapkan
oleh International Law Commission seperti halnya dalam Konferensi
Geneva tahun 1958, tetapi kesimpulan-kesimpulan didasarkan atas dasar
rasional yang merupakan paket dari konsep tersebut.
Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk
mempelajari Peaceful Uses of the Sea-bed and Ocean Floor di luar batas-
batas yurisdiksi nasional, yang diberi nama Sea-Bed Committee untuk
menentukan ide dan konsep baru mengenai hal tersebut.32
Sebagai
kelanjutan dari pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain,
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLC), dan International
Sea-bed Authority (ISBA). Di samping itu, juga telah dicapai beberapa
perjanjian tambahan yang merupakan aturan pelaksanaan dari konvensi,
yaitu Agreement relating to the Implementation of Part XI of the Convention
tahun 1994.
32
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 7.
39
Ada pun ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan
progresif dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional, negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif,
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, pulau, laut
tertutup atau separuh tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(termasuk pencegahan pencemaran), penelitian ilmiah dan alih teknologi
kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.33
Kemudian ternyata bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 yang
berhasil mengkodifikasikan perkembangan di atas tidak dapat
menyelesaikan masalah perikanan tangkap. Ketentuan Pasal 63 ayat 2 dan
Pasal 64 ayat 1 Konvensi ini sudah tidak efektif dalam mengatur masalah
konservasi dan pengelolan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan
yang beruaya jauh.
Demikian pula, ketentuan-ketentuan dalam Bab VII Konvensi tidak
efektif dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di
laut lepas dan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang terkait
dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas.
Ketidakefektifan kedua ketentuan tersebut menimbulkan kegiatan illegal,
unreported and unregulated (IUU) fishing yang memerlukan perhatian, baik
dari masyarakat nasional maupun masyarakat internasional. Kegiatan IUU
fishing ini merupakan kegiatan penangkapan ikan tidak bertanggung jawab
33
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 13.
40
yang mengakibatkan persediaan sumber-sumber daya ikan yang terus
mengalami penurunan drastis.
Konvensi Hukum Laut 1982 juga tidak memberikan pengertian
genuine link secara jelas yang menimbulkan banyak interpretasi dan
mendorong maraknya praktik bisnis penggunaan flags of convenience
(bendera pura-pura). Keadaan-keadaan yang disebutkan di atas mendorong
disusunnya the Agreement to Promote with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (the 1993 FAO
Compliance Agreement) dan Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember yang berkaitan dengan
Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan
Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Persetujuan PBB tentang Persediaan
Ikan 1995).
Instrumen-instrumen hukum perikanan internasional penting lainnya
yang telah berhasil disusun adalah the 1995 FAO Code of Conduct for
Responsible Fisheries (untuk selanjutnya akan disebut sebagai CCRF)
(aturan perilaku tentang pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab)
dan the 2001 FAO International Plan of Action to Deter, Prevent and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (untuk selanjutnya
akan disebut sebagai IPOA-IUU) (rencana aksi global untuk memberantas
kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, tidak diatur dan tidak
41
dilaporkan).34
Suatu uraian tentang perkembangan hukum laut internasional
sesudah berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 dan instrumen-instrumen
internasional lainnya tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan
tindakan Indonesia di bidang ini. Langkah-langkah yang telah diambil oleh
Indonesia di bidang ini merupakan implementasi dari ratifikasi Indonesia
terhadap Konvensi ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
A.3. Sumber-Sumber Hukum Laut Internasional
Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,
perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan,
semenjak itu pulalah para ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya
pada hukum laut. Sebagai suatu bentuk dari hukum laut yang paling dini
pada abad ke-12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan-peraturan
yang dipakai di laut di Eropa. Di Laut Tengah “Lex Rhodia” atau Hukum
Laut Rhodia mulai dikenal sejak abad ketujuh.
Kemudian suatu koleksi hukum maritim, yang mungkin merupakan
koleksi yang paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim, kapten-
kapten kapal dan pedagang-pedagang ternama, diterbitkan pada tahun 1494,
yang dinamakan Consolato del Mare (Konsulat dari Lautan).
Himpunan Rolles d'Oleron di dalam bahasa Perancis kuno,
merupakan aturan pokok lautan untuk daerah Atlantik. Sea Code of Wisby
merupakan himpunan hukum laut penting yang diterapkan di Eropa Utara.
Bagian pertamanya merupakan terjemahan ke dalam bahasa Flam dari 24
34
Ibid., h. 14.
42
Bab (Rolles d'Oleron), sedangkan bagian keduanya “Ordonancie”
kelihatannya disusun di Amsterdam tahun 1407.35
Kemudian pada abad ke-16 dan abad ke-17 keinginan untuk
menguasai lautan merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara
maritim di Eropa. Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan
Perjanjian Tordesillas tahun 1494, memperoleh tantangan baik dari Inggris
yang di bawah Elizabeth I menghendaki kebebasan di laut dan tantangan
dari Belanda, yang tercermin dalam karangan Grotius tahun 1609 yang
berjudul “mare liberum”. Pada abad ke-17 Raja James I dari Inggris
memproklamirkan bahwa penangkapan ikan dipantai negara-negara di
bawah kekuasaannya hanya diperkenankan dengan memakai izin. Hal ini
berarti bahwa nelayan-nelayan Belanda harus membayar semacam royalty
di perairan Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa kepada
perdebatan yuridis yang sengit antara yurist Belanda Grotius yang
mempertahankan mare liberum dengan pembelaan Selden dari Inggris yang
bergejolak dalam bukunya mare clausum. Masing-masing antara Belanda
dan Inggris sama-sama tidak menghendaki monopoli Spanyol dan Portugis
atas lautan.
Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakkan konsep-konsep dasar
tentang hukum laut, biasanya membagi teori-teori tentang lautan secara
legalistik dalam empat bagian, yaitu (1) perairan pedalaman, (2) laut
teritorial, (3) zona tambahan, (4) laut lepas. Terlihat dalam perkembangan
yang cepat dari hukum laut internasional dengan diperkenalkannya
35
Chairul Anwar, Hukum Internasional “Horizon Baru Hukum Laut Internasional” (Konvensi Hukum Laut 1982), Op.Cit., h. 1.
43
pengaturan tentang “landas kontinen” dalam UNCLOS I dan regim baru
“Zona Ekonomi Eksklusif”, “Negara Kepulauan”, “Kawasan Dasar Laut
Internasional” dan lain-lain. Adapun konferensi internasional utama yang
membahas masalah laut teritorial ialah Codification Conference pada tahun
1930 di Den Haag, yang dilangsungkan di bawah naungan Liga Bangsa-
Bangsa.
Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret sampai
tanggal 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari 47 negara.
Konferensi tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial
dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan.
Peserta konferensi pendapatnya terbagi di dalam beberapa versi, di
antaranya ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), ada
pula yang menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara
Nordic menghendaki laut teritorial selebar 4 mil. Konferensi Kodifikasi Den
Haag tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali beberapa rancangan pasal-
pasal yang disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag merupakan
satu-satunya konferensi hukum laut yang dilangsungkan di bawah naungan
Liga Bangsa-Bangsa.
Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari 1957,
disepakatilah untuk mengadakan konferensi hukum laut di dalam bulan
Maret 1958. Resolusi Majelis Umum tersebut diambil berdasarkan
rekomendasi dari International Law Commission yang menyarankan untuk
diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut, yang
dibicarakan oleh Sixth Committee dari Majelis Umum PBB pada akhir tahun
44
1976. Demikianlah Konferensi PBB II tentang hukum laut berlangsung di
Geneva dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan tanggal 27 April
1958, yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara. (UNCLOS I) Sebagai
basis dokumen dari konferensi ialah rancangan dari berbagai pengaturan
hukum laut yang telah disiapkan oleh International Law Commission, dan
diharapkan akan dapat disetujui konferensi sebagai konvensi-konvensi
tentang hukum laut. Konferensi terbagi atas empat Komite serta untuk
keputusan tentang hal-hal mendasar diperlukan suara dua pertiga dari yang
hadir dan memberikan suaranya.36
Komite Satu
Komite Satu bertugas menangani soal-soal yang bertalian dengan
laut teritorial dan jalur tambahan (teritorial sea and contiguous zone).
Bermacam-macam usul tentang laut teritorial dan jalur tambahan diajukan
di dalam Komite Satu ini, antara lain Kanada mengusulkan 6 mil laut
teritorial dan tambahan 6 mil zona perikanan dan Amerika Serikat
mengajukan 6 mil laut teritorial dan 6 mil zona perikanan. Usul lainnya
ialah yang mengusulkan 12 mil lebar laut teritorial oleh negara Mexico,
India, Indonesia, Maroko, Saudi Arabia, Republik Persatuan Arab dan
Venezuela. Untuk negara-negara yang mengajukan claim kurang dari 12
mil, mereka dapat melakukan claim atas zona perikanan ekslusif sampai 12
mil.
Dari usul-usul di atas tidak ada yang memperoleh suara terbanyak
sewaktu diadakan pemungutan suara, sehingga UNCLOS I ini telah gagal
36
Ibid., h. 3.
45
untuk menetapkan lebar laut teritorial dan jalur tambahan. Majelis Umum
PBB tahun 1958 menentukan untuk mengadakan konferensi kedua untuk
menetapkan masalah lebar laut teritorial dan jalur tambahan.
Komite Dua
Komite Dua yang bertugas membicarakan laut lepas (the high seas),
masalah yang banyak berkaitan dengan kebebasan di laut lepas yang oleh
International Law Commission telah dipersiapkan sebagai berikut:
1. Kebebasan pelayaran;
2. Kebebasan menangkap ikan;
3. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa;
4. Kebebasan terbang di atas laut lepas.
Rancangan International Law Commission tersebut seluruhnya
diterima dan dimasukkan ke dalam pasal 2 dari Konvensi tentang Laut
Lepas 1958.
Komite Tiga
Komite Tiga membahas rancangan-rancangan International Law
Commission tentang penangkapan ikan yang didasarkan atas prinsip-prinsip
yang disetujui pada United Nations Technical Conference on Living
Resources of the Sea di Roma, tahun 1955.
Pasal-pasal dari International Law Commission meliputi:
1. Definisi;
2. wilayah penangkapan ikan oleh satu negara;
3. wilayah penangkapan ikan oleh dua atau lebih negara;
4. penangkap-penangkap ikan baru;
46
5. kepentingan khusus dari negara pantai pada perairan lepas pantai;
6. hak-hak negara pantai untuk mengadakan tindakan-tindakan secara
unilateral tetapi tidak memihak;
7. kepentingan khusus dari pihak ketiga tentang upaya-upaya
konservasi;
8. pendirian dari Komisi Arbitrase.
Komite Empat
Komite Empat membahas pengaturan perihal landas kontinen.
Dengan demikian Konferensi Hukum Laut PBB I (UNCLOS I) telah
berhasil menyetujui empat buah konvensi, yaitu:
1. Convention on The Territorial Sea and Contiguous Zone;
2. Convention on The High Seas;
3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of
the High Seas;
4. Convention on Continental Shelf.
Di samping itu konferensi juga menyetujui sembilan resolusi
meliputi test nuklir di laut lepas, polusi laut lepas oleh bahan-bahan radio
aktif, konservasi perikanan internasional, kerjasama di dalam upaya-upaya
konservasi, pembunuhan oleh manusia terhadap makhluk hidup kelautan,
situasi khusus tentang penangkapan ikan pantai, ketentuan-ketentuan
tentang perairan sejarah, dan penyelenggaraan konferensi hukum laut kedua.
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam
claim terhadap laut teritorial. Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan
selebar 12 mil. Pembicaraan yang diadakan pada Committee of The Wole
47
berlangsung dari tanggal 17 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960.
Agendanya ialah tentang masalah lebar laut teritorial dan zona tambahan
perikanan. Berbagai usul dikemukakan seperti enam mil plus enam mil
(Kanada), enam mil laut territorial dikombinasikan dengan dua belas mil
zona perikanan (Amerika Serikat), namun kesemuanya mengalami
kegagalan untuk menentukan lebar laut teritorial. Kelemahan lainnya ialah
pengaturan yang terlalu kompleks dari Konvensi tentang Perikanan dan
Konservasi Sumber-Sumber Hayati Laut Lepas. Dengan demikian jelas,
diperlukan adanya suatu konferensi hukum laut berikutnya untuk membahas
masalah laut teritorial dan masalah perikanan.
Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat
dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20 ini.
Modernisasi dalam segala bidang kehidupan, tersedianya kapal-kapal yang
lebih cepat, bertambah pesatnya perdagangan dunia, tambah canggihnya
komunikasi internasional, pertambahan penduduk dunia yang membawa
konsekuensi bertambahnya perhatian yang diarahkan kepada usaha
penangkapan ikan serta kekayaan dari lautan, kesemuanya telah membuat
dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih
sempurna.
Di dalam dekade-dekade dari abad ke-20 ini telah empat kali
diadakan usaha-usaha untuk memperoleh suatu himpunan hukum laut yang
menyeluruh, yaitu:
(1) Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (The Hague Codification
Conference in 1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.
48
(2) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 (The U.N.
Conference on the law of The Sea in 1958).
(3) Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960 (The U.N.
Conference on the Law of The Sea in 1960).
(4) Konvensi Hukum Laut 1982, yang dihasilkan oleh Konferensi
Hukum Laut PBB III.
Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 telah
menghasilkan empat konvensi penting, yaitu:
(1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (The
Convention on Territorial Sea and Contiguous zone);
(2) Konvensi tentang Laut Lepas (The Convention on The High Seas);
(3) Konvensi tentang Landas Kontinen (The Convention on Continental
Shelf);
(4) Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber
Hayati di Laut Lepas (The Convention on Fishing and Conservation
of Living Resources of The High Seas).
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari
PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal
10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang ini yang
ditandatangani oleh 119 negara pada hari pertama konvensi ini terbuka
untuk penandatangan, diberi nama julukan sebagai Konstitusi lautan
(Constitution for the Ocean) oleh Presiden dari Konferensi Hukum Laut
PBB III. Terdiri dari 17 Bagian (Parts) dan 9 Annex, konvensi antara lain
terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi nasional
49
di ruang udara di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan
lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi
lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan tentang
penyelesaian perselisihan. Di samping itu konvensi ini juga mengatur
tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk menyelenggarakan
fungsi-fungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari konvensi.37
B. Ketentuan Hukum Laut Internasional tentang Pulau
B.1. Pengertian Pulau
Dalam upaya memberikan pengertian pulau sebelum Konvensi Hukum
Laut 1982, pertama-tama kita perlu merujuk pada Konferensi Liga Bangsa-
Bangsa mengenai Kodifikasi Hukum Internasional (Konferensi Kodifikasi
Den Haaq) Tahun 1930, yang meliputi 3 masalah yakni :
1. Kewarganegaraan (nationality);
2. Perairan teritorial (territorial waters); dan
3. Tanggungjawab negara untuk kerugian yang ditimbulkan dalam
wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing
(responsibility of states).38
Bertalian dengan perairan teritorial, Sub Komite II memperbincangkan
delapan persoalaan yang bertalian erat dengan laut teritorial, yaitu: (1) garis
pangkal laut teritorial; (2) teluk; (3) pelabuhan; (4) dermaga; (5) pulau; (6)
selat; (7) lintas kapal perang melalui selat; dan (8) penutupan laut teritorial
37
Ibid., h. 7. 38
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op.Cit., h. 54.
50
pada muara sungai.39
Dalam hubungannya dengan persoalan pulau tersebut,
Sub Komite II Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 memberikan
definisi pulau sebagai berikut:
“An island is an area of land, surrounded by water, which is
permanently above highwater mark.40
(pulau merupakan suatu
daratan yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan
air pada waktu air pasang).
Dalam rangka mempersiapkan rancangan pasal mengenai pulau untuk
penyelenggaraan Konferensi Hukum Laut I Tahun 1958, Komisi Hukum
Internasioal menggunakan karya Konferensi Kodifikasi Den Haaq 1930,
dengan memasukan rancangan pasal mengenai pulau. Menurut Rancangan
Pasal 10 Laporan Akhir Komisi Hukum Internasional bahwa setiap pulau
mempunyai laut teritorialnya. Dalam pada itu, definisi pulau yang dimuat
dalam Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan,41
berbunyi sebagai berikut:
“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high-tide”. (sebuah pulau adalah
suatu kawasan tanah atau daratan yang dikelilingi oleh perairan,
yang tampak di atas permukaan pada waktu perairan tersebut
pasang).
Rumusan yang sama mengenai definisi pulau ini diberikan oleh Pasal
121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu:42
39
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 218. 40
Candidate Number: 8031, “Islands and Their Capacity to Generate Maritime Zones Case law Romania v. Ukraine”, Thesis, Faculty of Law, University of Oslo, 2008, h. 7. 41
I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 38. 42
Article 121 para. (1) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
51
“An island is a naturally-formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high-tide”.
Dari bunyi ketentuan di atas nampak bahwa pulau merupakan suatu
daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada
di atas permukaan air pada waktu air pasang.
Dari uraian di atas, nampak bahwa definisi pulau yang dirumuskan
dalam Konferensi Kodifikasi Den Haaq Tahun 1930 merupakan definisi
pertama mengenai pulau, yang kemudian dikuatkan oleh Konvensi Hukum
Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi )beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-
Pulau Kecil Terluar (disingkat = PPKT) adalah pulau-pulau kecil yang
memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis
pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.43
Berdasarkan penjelasan diatas kategori Pulau-Pulau Kecil Terluar
ialah tidak memiliki luas area yang besar (kecil), sehingga daripada itu untuk
melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI di atas laut, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Presiden.
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau
Kecil Terluar dan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
43
Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010 tentang pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
52
Pulau Kecil Terluar adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama
dengan 2000 km2 (dua ribu kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar
koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai
dengan hukum internasional dan nasional.44
B.2. Kategori Pulau
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka untuk mendalami kategori
pulau, baiknya kita lebih mengenal apa yg dimaksud dengan “pulau alami”
dan “pulau buatan”. Dalam uraian berikut akan dijelaskan kategori dalam
“pulau” yang dimaksud tersebut.
B.2.1. Pulau Alami
Sehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasional
paling tidak ada 7 karakteristik tradisional yang harus dipenuhi oleh suatu
pulau, yaitu:
1. Suatu wilayah daratan;
2. Dibentuk secara alamiah;
3. Ukurannya cukup luas;
4. Dikelilingi oleh air;
5. Ada di atas permukaan air pada waktu air pasang;
6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan
7. Mempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonomi.
Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan hanya memuat kriteria nomor 1, 2, 4 dan 5,
44
Pasal 1 butir (b) Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
53
sedangkan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kriteria nomor 1,
2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria nomor 3 tentang "ukurannya cukup luas" tidak
dikenal dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi
Hukum Laut 1982.
Hal ini berarti bahwa keenam kriteria yang ditetapkan dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikat masyarakat
internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini akan
dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang
disebutkan di atas.45
1. Suatu Wilayah Daratan
Agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, maka
syaratnya harus memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk
harus tersambung dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik
sebagai pulau. Kedua, daratan tersebut harus merupakan terra firma
(wilayah daratan luas) yang stabil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan
kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah
daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan pondasi untuk
mendirikan bangunan-bangunan di atasnya untuk berbagai aktivitas
manusia.
2. Dibentuk Secara Alamiah
Pencantuman kalimat "dibentuk secara alamiah" dalam definisi
pulau menurut Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip
45
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 221.
54
peneliti) berarti bahwa kriteria pulau ini tidak mencakup pulau buatan
dengan kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim. Menurut
doktrin yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh
instalasi-instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan lain-lain.
Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali
dicantumkan istilah “insular formations” yang tidak ditemukan dalam
Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut
internasional "insular formations" diartikan sebagai “those formations
which are included by treaty law as legal terms, namely islands and low-
tide elevations" (elevasi surut). Istilah ini mencakup pulau-pulau, batu
karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga penerjemahan
format pulau-pulau dari "insular formations" dianggap kurang tepat.
Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan dari island
menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja ketentuan
Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan kedudukan
hukumnya dalam konteks delimitasi maritim.
3. Ukuran Wilayahnya Cukup Luas
Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi
pulau yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi
Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum
Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak
menetapkan kriteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun
demikian, sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria
ukuran pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau
55
penuh. Dalam kaitan ini menarik pendapat McDougal dan Burke yang
menyatakan bahwa apabila ada wilayah daratan yang cukup luas, maka
tidak perlu dipersoalkan jenis-jenis daratannya selama wilayah tersebut
mampu membentuk laut teritorial.
Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara
menurut Konvensi Mentevideo 1933, memang tidak penting apakah
daerah yang didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat
saja wilayah yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri
dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak
dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
Unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batas tertentu, baik
jumlah penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya
mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya
hanya 26 Km2. Negeri kecil ini disebut dengan negara „mini‟, „mikro‟,
atau sarjana lain menyebut juga sebagai very small state.46
Pengaturan penting dalam hukum internasional dewasa ini
mengenai kriteria ukuran pulau adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar
atau kecilnya suatu pulau. Ketentuan pasal inilah yang mengikat negara-
negara dalam menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.
4. Dikelilingi oleh Air
Definisi pulau ini sesungguhnya dianggap lebih penting daripada
persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau
46
Ibid., h. 223.
56
tersambung ke daratan dengan tanah tandus atau melalui pembangunan
dam, maka tanah tandus tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pulau.
Walaupun demikian, tanah atau fitur tersebut merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari garis pantai, yang dapat dipergunakan oleh Negara
pantai untuk menetapkan garis pangkalnya dan membentuk zona maritim
yang berada di dalam fitur tersebut.
5. Ada di atas Permukaan Air Pada Waktu Air Pasang
Berdasarkan pada definisi pulau yang dikemukakan di atas, maka
pulau harus berada di atas permukaan air baik pada waktu air pasang
maupun pada waktu air surut. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan
antara pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air
di waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap
berada di atas permukaan air yang mempunyai status pulau penuh
menurut hukum internasional, sehingga mempunyai kapasitas untuk
membentuk zona maritim.
6. Tempat Untuk Didiami oleh Manusia
Kriteria pulau yang dapat didiami oleh manusia tidak dibicarakan
dalam pembahasan Pasal 10 dari Komite Pertama Konferensi Hukum
Laut tahun 1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan
merupakan kriteria penting untuk dicantumkan dalam ketentuan Pasal 10
(1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan
Jalur Tambahan. Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami
oleh manusia harus merupakan wilayah yang dapat mendukung
57
kehidupan manusia atau memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri
sesuai dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
7. Mempunyai Kelangsungan Hidup di Bidang Ekonomi
Acapkali kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi di suatu
pulau terkait dengan kriteria pulau apakah dapat didiami atau tidak oleh
manusia. Karena banyak pulau kecil yang terisolasi dan pulau tandus
yang terbentuk di atas permukaan air tidak memiliki kriteria demikian.
Rockall merupakan salah satu contoh penting pulau tandus. Rockall
merupakan batu karang yang sangat kecil dengan ketinggian 70 kaki dan
80 kaki dalam bentuk lingkaran yang menjorok dan berada di atas
Samudra Atlantik. Batu karang ini merupakan suatu bentukan geologi
yang terisolasi yang jaraknya 226 mil laut dari daratan terdekat, yaitu
Country Donegal di Republik lrlandia. Memperhatikan hal di atas, maka
batu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak
mempunyai nilai ekonomis, dan sangat membahayakan bagi pelayaran.
Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah ini dan belum tentu berlaku
untuk batu karang di daerah lainnya.
Pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121
ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang
yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki
kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai ZEE
atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun kriteria kelangsungan
58
hidup di bidang ekonomi di suatu pulau, laut dan sumber daya alamnya
sangat penting dalam menyokong kehidupan manusia.47
B.2.2. Pulau Buatan
Sebagai istilah yang paling menentukan apa yang membedakan "pulau
buatan" dari "pulau alami" dalam ketentuan hukum laut, adalah satu-satunya
hasil atau efek dari aktivitas manusia. Itu bisa menjadi bagian dari tanah,
ditumpuk atau dikeraskan, atau bisa juga berupa konstruksi (terbuat dari
beton, logam, plastik atau kaca). Tidak ada kasus yang berpengaruh pada
situasi hukumnya.
Meskipun baik Konvensi 1982 tentang Hukum Laut maupun Konvensi
Jenewa 1958 di Landas Kontinen mencakup definisi tentang pulau buatan,
instalasi atau struktur, upaya definisi semacam itu bisa sama, mengingat
komponen yang ada dari definisi pulau. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa "pulau buatan adalah konstruksi buatan manusia atau bagian dari tanah
yang berada di laut dan dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat
air pasang dan keduanya dipasang pada atau dipasang di dasar laut atau
mengapung permukaan air ".
Mengingat kemajuan teknis dan persyaratan baru, definisi sebelumnya
harus diperluas untuk mencakup, bersama dengan konstruksi stasioner yang
dipasang secara permanen, atau dipasang di dasar laut, juga konstruksi yang
mengambang atau tergantung pada permukaan air. Sebuah "pulau buatan"
juga harus terletak di dan dikelilingi oleh laut, dan tetap berada di atas
permukaan laut pada saat air pasang. Konstruksi yang tidak dikelilingi oleh
47
Ibid., h. 225.
59
air merupakan bagian dari fasilitas pelabuhan atau pelabuhan dan, jika gagal
tetap berada di atas permukaan laut, maka hal itu dianggap sebagai
"konstruksi bawah laut atau instalasi" sehingga kehilangan status "pulau
alami".48
Karena menyangkut klasifikasi pulau-pulau buatan dari sudut pandang
konstruksi mereka, harus diterima bahwa yang penting di sini bukanlah
ukuran pulau atau bahan yang digunakan untuk pembangunannya tapi
pertanyaan apakah pulau itu adalah pulau yang permanen, atau unit
mengambang. Di sini pulau buatan tampaknya terbagi dalam empat kategori:
a) pulau-pulau yang didirikan dan dipasang secara permanen ke dasar
laut;
b) pulau-pulau tetap ke bawah saat beroperasi namun dapat bergerak;
c) pulau mengapung atau agak berkelanjutan di permukaan laut
(berlabuh, diderek atau digerakkan oleh arus laut atau angin);
d) pulau yang membawa peralatan navigasi (self-propulsion atau
peralatan lainnya).
Dari sudut pandang lokasi mereka, orang harus membedakan antara:
a) pulau-pulau di perairan dalam dan laut teritorial (dalam kedaulatan
teritorial suatu Negara);
b) pulau-pulau di zona ekonomi dan landas kontinen;
c) pulau-pulau di laut lepas.
48
Pasal 11 dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengatakan bahwa pekerjaan pelabuhan permanen terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pantai, berisi sebuah kalimat tambahan yang mengatakan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak boleh dipertimbangkan. sebagai pelabuhan permanen.
60
Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan siapa yang memiliki
hak untuk mendirikan pulau-pulau buatan dan menjalankan yurisdiksi atas
mereka. Dalam Hukum Laut, masalah pulau buatan menimbulkan beberapa
masalah namun saya membahas hanya status hukum mereka.
Demikian juga dengan Konvensi di Landas Kontinen, UNCLOS III
dalam Pasal 60 (8) mengatakan:
“Artificial islands, installations and structures do not possess
the status of islands. They have no territorial sea of their own,
and their presence does not affect the delimitation of the
territorial sea, the exclusive economic zone or the continental
shelf.”
Istilah “pulau buatan” tidak hanya meliputi pulau-pulau buatan dalam
arti sebenarnya, tetapi juga termasuk setiap instalasi lainnya untuk maksud
eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif serta setiap instalasi yang
mempengaruhi pelaksanaan hak-hak negara pantai di ZEE-nya. Hal yang
sama berlaku juga untuk pulau-pulau buatan di landas kontinen.49
Pulau-pulau buatan tunduk kepada yurisdiksi eksklusif negara
pantai.50
Pendirian pulau-pulau buatan harus diumumkan dan keberadaan
instalasi tersebut harus disertai dengan tanda peringatan, pulau-pulau buatan
yang tidak digunakan lagi harus dibongkar, pulau-pulau buatan tidak boleh
didirikan pada alur laut yang diakui dan sangat penting bagi pelayaran
internasional.51
Negara pantai harus menetapkan zona keselamatan yang
49
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Suatu Ringkasan), Konsorium Ilmu Hukum, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Nederlandse Raad voor Juridische Samenwerking met Indonesie, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, h. 41. 50
Article 60 para. (2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 51
Article 60 para. (3) and (7) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
61
ditetapkan berdasarkan standar internasional, dan kecuali untuk situasi
tertentu yang diatur dalam standar internasional atau yang direkomendasikan
oleh organisasi, zona tersebut seharusnya tidak melebihi 500 meter di
sekeliling pulau buatan, dan zona tersebut harus dilakukan tindakan-tindakan
untuk menjamin keselamatan pulau tersebut maupun pelayaran.52
Semua
kapal harus menghormati zona keselamatan dan standar internasional yang
berlaku mengenai navigasi di sekitar pulau buatan.53
Pulau-pulau buatan tidak
memiliki laut teritorial dan keberadaannya tidak mempengaruhi penetapan
batas laut teritorial, ZEE maupun landas kontinen.54
Dalam kasus pelanggaran
zona keamanan di dalam zona ekonomi atau landas kontinen, Negara pantai
memiliki hak untuk melakukan pengejaran seketika.55
Di UNCLOS III, zona aman dan hak pengejaran yang seketika adalah
subyek diskusi yang kuat karena dua pendekatan menemukan diri mereka
berselisih: yang pertama berusaha memperluas zona keselamatan, sementara
yang lain berpendapat bahwa, dengan ribuan instalasi sekarang Di laut,
perluasan zona keamanan bisa sangat menghambat navigasi internasional.
Karena menyangkut hak pengejaran yang dilakukan, hal itu seharusnya
dilakukan jika pelanggaran zona keamanan menyebabkan kerusakan yang
terjadi di pulau atau instalasi. Usulan ini dibuang, fakta bahwa pulau-pulau
buatan dan instalasi bukanlah wilayah tercermin dalam bagian yang
mengatakan bahwa semua instalasi dan struktur yang telah banyak atau habis
harus dihapus untuk memastikan keamanan navigasi.
52
Article 60 para. (4) and (5) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 53
Article 60 para. (6) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 54
Article 60 para. (8) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. 55
Article 111 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
62
B.3. Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut
Pertanyaan yang terkait dengan hak pulau untuk memiliki ruang laut
khususnya landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif menjadi subyek
perundingan negosiasi. Selama Konferensi Hukum Laut III, isu-isu ini
dibahas di tiga bidang:
a) bersamaan dengan definisi pulau;
b) bersamaan dengan lokasi pulau tersebut sehubungan dengan pantai
negara lain; dan
c) dalam hubungannya dengan status politik pulau, apakah pulau itu
berada di bawah kekuasaan asing atau kolonial.
Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian
perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping
perairan yang tunduk pada kedaulatan negara karena merupakan bagian
wilayahnya ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya atau
tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini contohnya adalah
laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah
perairan. Misalnya negara-negara yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi
oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan
sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti
misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika
Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Hungaria
dan Luxemburg di Eropa, negara Paraguay di Amerika Latin.
Dalam konteks hukum nasional Indonesia, Wilayah Perairan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
63
Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia
meliputi Laut Teritorial (Territorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic
Waters), dan Perairan Pedalaman (Inlands waters).56
Sedangkan Perairan
Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan
Perairan Darat (lnlands Waters).57
Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan di sekitar, di antara,
dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara Republik Indonesia.58
Lebih lanjut, berkaitan dengan
kedaulatan negara, melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di Perairan Indonesia
meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.59
B.3.1. Laut Teritorial
Laut Teritorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur laut yang
terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan sebelah luarnya
dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit). Yang dimaksud dengan garis
pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut.
Ditetapkannya pada waktu air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut
surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut). Garis
56
Pasal 1 butir 4 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 57
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 58
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 59
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
64
tersebut merupakan titik-titik atau garis pertemuan antara daratan dengan air
laut.
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), lebar laut
teritorial maksimum negara-negara disepakati sejauh 12 mil laut dari garis
pangkal. Selanjutnya menurut hukum internasional dikenal 3 (tiga) macam
garis pangkal, yaitu:
(1) Garis Pangkal Normal (Normal Base Line)
Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) adalah garis pangkal
yang ditarik dari pantai pada saat air laut surut dengan mengikut lekukan-
lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari Garis Pangkal Normal sejajar
dengan arah atau lekukan pantai tersebut. Untuk menentukan dan
mengukur lebar laut teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal
normal ke arah luar/laut sesuai dengan lebar laut teritorial masing-masing
negara.
Titik-titik atau garis pada bagian luar itulah yang disebut dengan
garis luar atau batas luar (outer limit) laut teritorial. Garis luar atau batas
luar ini merupakan garis yang selalu sejajar dengan garis pangkal, karena
ditarik pada titik-titik yang ada pada garis pangkal secara tegak lurus ke
arah luar/laut. Dalam sejarah pengukuran lebar laut teritorial, garis
pangkal ini merupakan garis pangkal normal (Normal Base Line) tertua.
65
Gambar 1.1 Normal Base Line
(2) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line)
Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) merupakan garis
pangkal yang ditarik di pantai pada saat air laut surut, dengan
menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Oleh
sebab itu metode ini disebut juga dengan Garis Pangkal Lurus Ujung ke
Ujung (Straight Base Line Point to Point). Penarikan Garis Pangkal
Lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku atau jika di depan pantai
tersebut terdapat pulau, deretan pulau atau gugusan pulau.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 (UNCLOS 1958)60
maupun
Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982)61
Garis Pangkal Lurus
(Straight Base Line) digunakan sebagai salah satu garis pangkal yang
60
Pasal 4-5 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (UNCLOS I). 61
Article 7 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
66
dapat diterapkan dalam pengukuran lebar laut teritorial selain Garis
Pangkal Normal (Normal Base Line).
Gambar 1.2 Straight Base Line Point to Point
Namun demikian dalam implementasinya, penggunaan Garis
Pangkal Lurus (Straight Base Line) terdapat pembatasan-pembatasan
sebagai berikut:
(a) Penarikan Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai, kecuali karena
alasan-alasan hak-hak sejarah (historis right) dan hak-hak
ekonomi (economic right) yang memang sudah dinikmati jauh
sebelumnya oleh negara yang bersangkutan;
(b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis
Pangkal Lurus harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk
67
dapat ditundukkan pada rezim perairan pedalaman (internal
water);
(c) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh ditarik dari
elevasi surut (low tide elevation)62
, kecuali jika di atas elevasi
surut tersebut didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa yang
secara permanen selalu tampak di atas permukaan air laut;
(d) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh diterapkan
dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong hubungan laut
teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE).
(3) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line)
Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) mulai
dipergunakan sebagai salah satu cara untuk pengukuran laut teritorial
mulai diberlakukan sejak ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut
Tahun 1982 (UNCLOS 1982), yang secara tegas tertuang dalam Pasal
46-54 UNCLOS 1982. Menurut TALOS sebagaimana dikutip oleh
Arsana63
, Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) ditarik
untuk menghubungkan titik terluar dari pulau terluar dan karang, dalam
sebuah kepulauan.
62
Elevasi Surut (Low Tide Elevation) adalah bagian dasar laut yang tampak di permukaan air laut pada saat air laut surut, tetapi tidak tampak (berada di bawah permukaan air laut) pada saat air laut pasang atau normal. 63
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara (Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, h. 16.
68
Dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Kepulauan
(Archipelagic Base Line) menurut Pasal 47 UNCLOS 1982 harus
memenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:
(1) Seluruh daratan utama dari negara yang bersangkutan harus
menjadi bagian dari sistem Garis Pangkal Kepulauan;
(2) Perbandingan antara luas perairan dan daratan di dalam sistem
garis pangkal harus berkisar antara 1:1 dan 9:1;
(3) Panjang segmen Garis Pangkal Kepulauan tidak boleh melebihi
100 mil laut, kecuali hingga 3 persen dari keseluruhan jumlah
garis pangkal meliputi suatu negara kepulauan boleh melebihi 100
mil laut hingga panjang maksimum 125 mil laut;
(4) Arah Garis Pangkal Kepulauan yang ditentukan tidak boleh
menjauh dari konfigurasi umum kepulauan.
Penggunaan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line)
tidak serta merta mengakibatkan negara-negara peserta konvensi tidak
boleh menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) ataupun
Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line). Dalam arti suatu negara
kepulauan selain menerapkan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic
Base Line) dapat saja menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base
Line) maupun Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) dalam
pengukuran lebar laut teritorialnya.
69
Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, Laut
Teritorial merupakan Jalur Laut yang terletak pada sisi luar dari garis
pangkal dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer
limit) atau jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia.64
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
6 tahun 1996 menetapkan bahwa Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
ditarik dengan menggunakan Garis Pangkal Lurus Kepulauan, sedangkan
dalam Pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila Garis Pangkal Lurus
Kepulauan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam penetapan batas,
maka digunakan Garis Pangkal Biasa atau Garis Pangkal Lurus.
Ketentuan mengenai Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga
tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
yang menyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah garis-
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah
pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari Kepulauan
Indonesia.65
Lebih lanjut melalui Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa Garis
Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut,
kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang
mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut,
hingga suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.
64
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 65
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
70
B.3.2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Water)
Perairan Kepulauan (archipelagic water) merupakan zona maritim
yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun hanya dimiliki oleh
negara-negara pantai yang dikategorikan sebagai negara kepulauan. Menurut
Pasal 49 UNCLOS 1982 yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah
perairan yang dilingkupi oleh Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base
line) tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.66
Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki
kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan kepulauannya, ruang udara di
atasnya, dalam dasar laut di bawahnya, di bawah tanah dan juga atas
kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Gambar 1.3 Perairan Kepulauan
66
Article 49 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
71
Seperti halnya di Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial, di Perairan
Kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the innocent passage)
bagi kapal niaga asing. Namun demikian, apabila berkaitan dengan aspek
keamanan dan pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan
pemberlakuan Hak Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada
pengecualian.
Dalam konteks Indonesia, Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi Garis Pangkal Lurus Kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.67
Perairan Kepulauan
Indonesia yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal
Lurus (berupa garis-garis lurus) yang menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau Indonesia terluar di mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur
secara tegak lurus selebar 12 mil, kecuali bagian perairan yang berada di sisi
dalam dari Garis-Garis Penutup (closing line). Berkaitan dengan hak lintas
damai, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Alur Lintas Kepulauan
Indonesia (ALKI) yaitu jalur pelayaran kapal di dalam perairan kepulauan
Indonesia.
B.3.3. Perairan Pedalaman
Perairan Pedalaman ini terjadi sebagai akibat dari penarikan garis
pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini
pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat
pulau atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan
67
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
72
atau laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut.
Perairan inilah yang disebut dengan perairan pedalaman. Sebagaimana halnya
dengan laut teritorial, perairan pedalaman inipun merupakan bagian dari
wilayah negara. Pada perairan pedalaman inipun juga diakui adanya hak lintas
damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal asing.
Secara teoritis, perairan pedalaman yaitu perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis pangkal lurus. Perairan Pedalaman Indonesia adalah
semua perairan yang terletak pada sisi darat dari Garis Pangkal air terendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu Garis Penutup.68
Di dalam
Perairan Kepulauan, untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman, Pemerintah
Indonesia dapat menarik Garis-garis Penutup pada mulut sungai, kula, teluk,
anak laut dan pelabuhan.69
Lain daripada itu, Parthiana menyatakan bahwa
Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam Garis
Pangkal Normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan
Garis Pangkal Normal, maka tidak akan terdapat Laut Pedalaman, yang ada
hanyalah Perairan Darat, yaitu bagian perairan yang terletak di sebelah dalam
Garis Pangkal Normal.70
Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas: Pertama, Laut
Pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal
lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Kedua, Perairan Darat
yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal
68
Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 69
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 70
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., h. 139.
73
maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas
perairan sungai, danau, terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan. Ketiga,
Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi
dalam dari garis pangkal kepulauan. Perairan Kepulauan ini khusus bagi
Negara Kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam pasal 46
sampai dengan Pasal 54 Konvensi Hukum Laut 1982.71
Seperti halnya Laut
Teritorial, pada Perairan Pedalaman (internal water) ini juga diakui adanya
Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal-kapal niaga
asing.
Gambar 1.4 Zona Maritim
71
Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Tiga Putra Utama, Jakarta, 2004, h. 31-32.
74
C. Konsep Negara Kepulauan menurut Hukum Laut
Internasional
C.1. Pengertian Negara Kepulauan (Archipelagic State)
Rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) yang diatur
dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982, memuat ketentuan-ketentuan
yang menyangkut definisi negara kepulauan, cara penarikan garis pangkal
kepulauan, status hukum perairan kepulauan, hak lintas damai dan hak lintas
alur-alur kepulauan.72
Definisi negara kepulauan dan kepulauan ditetapkan dalam Pasal 46
UNCLOS 1982 sebagai berikut:
(a) Negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu
atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
(b) Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan
perairan di antara pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah lainnya
yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya, sehingga pulau-
pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan
geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap demikian.
Pengertian sederhana kepulauan secara geografis di atas menjadi lebih
khusus karena disertai dengan syarat-syarat baru. Dengan demikian tidak
setiap gugusan pulau dapat diartikan sebagai kepulauan menurut pengertian
Konvensi. Seperti kepulauan, pengertian pulau juga tidak sesederhana
72
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, “Pengantar Hukum Internasional”, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan Penerbit P.T. ALUMNI Bandung, 2003, h. 178.
75
pengertiannya sebagai suatu konsepsi geografis. Ke dalam pengertian pulau
secara yuridis, Pasal 121 ayat 1 Konvensi mengartikan pulau adalah suatu
daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada
di atas permukaan air pada air pasang. Lebih lanjut, ayat 2 menetapkan bahwa
setiap pulau, kecuali kalau pulau itu merupakan karang-karang yang tidak
dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri,
dapat mempunyai laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas
kontinennya sendiri.
Merujuk pada ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982, tidak
semua negara yang wilayahnya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat
dianggap negara kepulauan. Dari sejumlah 24 negara yang diteliti hanya 19
negara yang secara nyata telah menyatakan dirinya sebagai Negara
Kepulauan. Dari peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan dan
dipublikasikan dalam situs jaringan UN-DOALOS ada sembilan negara yang
telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
negara kepulauan, yaitu Antigua dan Barbuda, Bahamas, Comoros, Cape
Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaica, Kiribati, Maldives, Marshall Islands,
Papua Nugini, Solomon Islands, Saint Vincent and the Grenadines, Sao Tome
and Principe, Seychelles, Trinidad and Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.73
C.2. Pengaturan Hukum Laut Internasional tentang Negara Kepulauan
Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 yang
menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus
73
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 Nomor 3 April 2004, h. 455-456.
76
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan
karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan
antara wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang adalah 1:1
sampai 9:1. Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga
per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100
mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima)
mil laut.
Kemudian, ayat 3,4 dan 5 memuat syarat-syarat yang harus
diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan
dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus
demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat
3).
Syarat kedua adalah garis-garis pangkal lurus tidak boleh ditarik di
antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air
di waktu pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila
di atasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa
yang setiap waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus
dari elevasi ini atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau
sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau
yang terdekat (ayat 4).74
Ketentuan ini hampir serupa dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang
berlaku untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut
74
Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.
77
sebagai titik pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus
kurang dari atau tidak melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat.75
Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan
tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut
teritorial negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).
Syarat lain yang harus diperhatikan dalam penarikan garis pangkal
lurus kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat
6 yang berbunyi:
(6) If part of the archipelagic waters of an archipelagic State
lies between two parts of an immediately adjacent neighbouring
State, existing rights and all other legitimate interests which the
latter State has traditonally exercised in such waters and all
rights stipulated by agreement between those States shall
continue and be respected.
Ketentuan ayat 5 dan 6 di atas ditetapkan untuk mengurangi dampak
penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan terhadap hak dan kepentingan
negara tetangga, khususnya agar tidak menyebabkan tertutupnya akses dari
laut teritorial negara tetangga. Dampak lain bagi negara tetangga yang
dilindungi oleh Konvensi Hukum Laut 1982 adalah terhadap kemungkinan
putusnya komunikasi melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara
tetangga terdekat, atau hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang
secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang
sekarang menjadi perairan kepulauan.76
75
Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional, Op., Cit., h. 447. 76
Ibid., h. 448.
78
Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis
pangkal tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat
dibuat daftar dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci
datum geodetik. Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang
memadai untuk menegaskan posisinya. Ayat 9 mewajibkan negara kepulauan
untuk mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar
koordinat geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar
demikian dan didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 16 yang
menetapkan kewajiban negara pantai untuk penarikan garis-garis pangkal laut
teritorial.
Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik
menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk
pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen
bagi suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa
garis-garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis-
garis pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis
pangkal lurus kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk
menetapkan bagian dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu
Pasal 50 Konvensi Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat
menarik garis-garis penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan
batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11.
Istilah penetapan (delimitation) biasanya digunakan dalam ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di
79
atas garis batas yang dimaksud adalah suatu garis penutup (closing line)
sebagaimana yang berlaku untuk mulut sungai, teluk dan pelabuhan yang
akan memisahkan perairan pedalaman dari perairan kepulauan.77
Mengenai status hukum dari perairan kepulauan, Pasal 49 menetapkan
bahwa:
(1) Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh
garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal
47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai;
(2) Kedaulatan ini selain meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan,
juga dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya, khususnya sumber daya ikan;
(3) Kedaulatan negara kepulauan ini harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Bab IV dari Konvensi Hukum Laut 1982; dan
(4) Rezim hak lintas alur-alur laut kepulauan tidak akan mempengaruhi
status hukum perairan kepulauan, termasuk alur-alur laut dan
pelaksanaan kedaulatan negara kepulauan atas perairan kepulauan,
dan ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di
bawahnya serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Bertitik tolak dari ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa berbeda
dengan akibat penarikan garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal
lurus dimana status hukum dari perairan yang tertutup oleh garis pangkal
menjadi perairan pedalaman, dalam penarikan garis-garis pangkal lurus
77
Ibid., h. 450-452.
80
kepulauan perairan yang tertutup oleh garis-garis pangkal tersebut akan
memiliki status sebagai perairan kepulauan.78
Perlu diperhatikan bahwa kedaulatan negara kepulauan di perairan
kepulauan tidak dapat disamakan dengan di laut teritorial, karena perairan
kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut Pasal 49
ayat 3 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab IV dari Konvensi.
Meskipun bukan perairan pedalaman, perairan kepulauan mempunyai sifat
laut teritorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing. Yang
perlu diperhatikan dari ketentuan-ketentuan Bab IV ini adalah bahwa
wewenang eksklusif negara kepulauan di perairan kepulauannya tersebut
harus diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak negara lain. Berbeda dengan
negara pantai biasa di perairan pedalaman, Konvensi membatasi kedaulatan
negara di perairan kepulauannya, dengan kewajiban-kewajiban untuk
memberikan jaminan atas hal-hal sebagai berikut:
Pertama, negara kepulauan menurut Pasal 51 ayat 1 wajib
menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku dan mengakui
hak perikanan tradisional dan juga kegiatan-kegiatan lainnya yang sah dari
negara tetangga yang langsung berdampingan, di bagian tertentu dari perairan
kepulauannya.
Kedua, negara kepulauan menurut ayat 2 harus menghormati kabel-
kabel laut yang ada yang dipasang oleh negara lain, dan mengijinkan
pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel tersebut.
78
Ibid., h. 448.
81
Ketiga, negara kepulauan menurut Pasal 52 ayat 1 wajib menghormati
hak lintas damai kapal-kapal dari semua negara untuk melewati perairan
kepulauannya sesuai dengan Bab II, Seksi 3 Konvensi.
Keempat, negara kepulauan menurut Pasal 53 ayat 2 berkewajiban
menghormati hak lintas alur laut kepulauan bagi semua jenis kapal dan
pesawat udara negara asing melalui perairan kepulauannya dan rute
penerbangan di atas alur tersebut.
Meskipun demikian, kewajiban-kewajiban tersebut di atas diimbangi
dengan pelbagai kewenangan negara kepulauan sebagaimana diatur dalam
ketentuan 52 ayat 2 dan Pasal 53 ayat 1, yaitu untuk:
1. Menangguhkan lintas damai bagi kapal asing di bagian tertentu dari
perairan kepulauannya apabila penangguhan demikian sangat
diperlukan untuk perlindungan keamanan negaranya. Tindakan
penangguhan itu tidak boleh membedakan antara kapal-kapal asing
yang satu dengan yang lainnya, dan hanya berlaku setelah dilakukan
pengumuman;
2. Menetapkan alur-alur laut pada perairan kepulauannya dan rute
penerbangan di atas alur-alur laut kepulauannya yang cocok
digunakan untuk lintas pelayaran dan penerbangan yang terus
menerus dan secepat mungkin yang diperuntukkan bagi kapal, dan
pesawat udara asing jenis apa pun melalui atau di atas perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan.
Dilihat dari hal-hal tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional
(International Maritime Organization) tidak memiliki kewenangan dalam
82
penetapan rule penerbangan. Hal ini sudah barang tentu harus dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 39 ayat 2 yang berdasarkan Pasal 54 berlaku mutatis
mutandis bagi lintas alur laut kepulauan, dimana berlaku kewajiban bagi
pesawat udara untuk menaati ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagai organisasi internasional
yang berwenang di bidang penerbangan sipil. Mengingat bahwa pengakuan
hak lintas penerbangan bagi pesawat udara di atas alur-alur kepulauan ini
dimaksudkan untuk mengakomodasikan kepentingan lintas kapal-kapal
perang yang secara operasional biasanya disertai dengan perlindungan atau
pengawalan dari udara (air cover) oleh pesawat udara militer, akan muncul
permasalahan tentang wewenang Organisasi Maritim Internasional maupun
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.79
Permasalahan lainnya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak
menetapkan hak dan kewajiban negara pantai/negara kepulauan dan negara-
negara lainnya berkaitan dengan kegiatan pesawat udara asing di alur-alur laut
kepulauan, misalnya bagaimana kalau ada kegiatan lintas udara asing di alur-
alur laut kepulauan yang dapat menimbulkan gangguan bagi negara yang
bersangkutan, pengangkutan bahan berbahaya nuklir oleh kapal asing.
Bagaimana apabila kebetulan pada jalur alur-alur laut kepulauan tersebut tiba-
tiba perlu dikembangkan usaha untuk kepentingan ekonomi, yaitu pengeboran
minyak, perikanan, industri agro di laut dan lain-lain. Menjadi permasalahan
apakah negara kepulauan dapat menetapkan larangan dilakukannya pelbagai
kegiatan tersebut di atas, dan hal ini akan dibahas dalam praktik Indonesia.
79
Etty R. Agoes, “Upaya Diplomatik Indonesia dalam Penetapan Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 357-358.
83
Hal lain yang patut diperhatikan adalah mengenai pengertian tentang
lintas alur kepulauan yang dijelaskan dalam Pasal 53 ayat 3 sebagai
pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal semata-mata
untuk tujuan transit yang terus menerus dan secepat mungkin serta tidak
terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan
bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Berbeda dengan lintas transit yang merupakan pelaksanaan kebebasan
pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight), lintas alur
kepulauan diartikan sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan
dalam cara normal (rights of navigation and overflight in the normay mode).
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa meskipun tidak sebebas seperti lintas
transit, lintas alur laut kepulauan tidak terlalu terbatas seperti lintas damai,
atau berada di antara kedua jenis hak lintas tersebut.80
Menurut ayat 4 bahwa alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan
di atas alur-alur laut kepulauan tersebut digunakan untuk melintasi perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, termasuk semua rute yang
biasa digunakan untuk pelayaran internasional dan penerbangan melalui atau
di atas perairan kepulauan. Berdasarkan ketentuan ayat 5 bahwa alur-alur laut
dan rute penerbangan tersebut ditentukan oleh rangkaian garis sumbu yang
bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan
kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan. Kapal dan pesawat udara
asing dalam melaksanakan lintas alur kepulauan, selama melintas tidak boleh
menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis
80
Ibid., h. 359.
84
sumbu alur laut kepulauan dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara
tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10%
(sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang
berbatasan dengan alur laut kepuluan tersebut.
Untuk menunjang pelaksanaan lintas alur kepulauan, negara
kepulauan berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 6 dan 7 mempunyai
wewenang untuk:
1. Menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk keperluan lintas kapal
yang aman melalui jalur yang sempit di dalam alur-alur laut tersebut;
dan
2. Apabila keadaan menghendaki, mengganti alur-alur laut kepulauan
dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya
dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang lain.
Sekalipun negara kepulauan mempunyai pelbagai wewenang tersebut
di atas, namun ia juga dibebani dengan kewajiban untuk:
1. Memilih alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang sesuai
dengan peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum
(ayat 8);
2. Mengajukan usul alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas kepada
organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai
kesepakatan bersama (ayat 9); dan
3. Mengumumkan peta-peta secara jelas menunjukkan letak poros atau
sumbu alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang
ditetapkannya (ayat 10). Apabila semua persyaratan tersebut telah
85
terpenuhi, maka negara kepulauan dapat mewajibkan setiap kapal dan
pesawat udara asing untuk menggunakan alur-alur laut kepulauan dan
skema pemisah lalu lintas tersebut.81
Menurut ketentuan Pasal 53 ayat 12 bahwa apabila negara kepulauan
tidak menetapkan alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan demikian,
maka kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan
menggunakan rute-rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.
C.3. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
C.3.1. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perairan Nasional
Indonesia
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi
fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km2, Laut Teritorial
seluas 0,3 juta km2, luas ZEE sekitar 3,0 juta km
2, panjang garis pantai lebih
dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. Dalam mengelola potensi
laut, kiranya dapat dibedakan tiga jenis laut yang penting bagi Indonesia,
yaitu:
(1) Laut yang merupakan "wilayah Indonesia" dan yang berada di bawah
"kedaulatan Indonesia". Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah
perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial;
(2) Laut yang merupakan kewenangan Indonesia di mana Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat atas sumber daya alamnya serta
kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, yaitu jalur tambahan,
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen serta;
81
Ibid., h. 360.
86
(3) Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, di mana keterkaitan
Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai
kedaulatan kewilayahan atau pun kewenangan dan hak-hak berdaulat
atas laut tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut
lepas dan kawasan dasar laut internasional.82
Kepentingan nasional yang diperjuangkan dan sangat penting
adalah pengakuan dalam UN Convention on the Law of the Sea terhadap
konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State). Berdasarkan konsep tersebut,
laut tidak lagi menjadi alat pemisah pulau-pulau besar Indonesia. Ide yang
secara sepihak dideklarasikan oleh mantan Perdana Menteri Djuanda sebagai
wawasan nusantara pada tahun 1957 kini diakui oleh masyarakat
internasional. Secara internal ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan
oleh suatu negara setelah turut serta dalam perjanjian internasional. Indonesia
harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional.
Praktik Indonesia dalam implementasi Konvensi Hukum Laut 1982
mencerminkan pola pikir dualisme yang umumnya dianut oleh Departemen
Kehakiman pada waktu itu. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dianggap
bukan merupakan undang-undang dalam arti material (substantif) melainkan
hanya penetapan (prosedural), sehingga masih dibutuhkan suatu undang-
undang lain yang mentransformasikan norma konvensi ke dalam hukum
nasional, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 yang pada hakikatnya
sebagian besar merupakan penulisan kembali (copypaste) pasal-pasal dalam
82
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 51.
87
Konvensi Hukum Laut 1982. Undang-Undang inilah yang mencabut Undang-
Undang No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.83
C.3.2. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Penarikan Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang-
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai penetapan garis
pangkal, perlu diuraikan terlebih dahulu latar belakang lahirnya Undang-
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Pertimbangan-
pertimbangan yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan
undang-undang tersebut adalah:
(1) Bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa
Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi
tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan
Negara Republik Indonesia;
(2) Bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi
negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan
83
Damos Dumoli Agusman, “Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Penerbit PT Refika Aditama, 2010, h. 106.
88
rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut
1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the
Law of the Sea;
(3) Bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum
negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi
tersebut pada huruf b;
(4) Bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan
hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan,
yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia
dalam pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara,
maka perlu mencabut Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan undang-undang
yang baru.
Bahwa pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut adalah
segi sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia yang merupakan aspek yang
penting sekali daripada dikeluarkannya undang-undang mengenai Perairan
Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan konsepsi negara
kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum
negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan
aspek penting lainnya. Selain dari kedua hal itu, ketentuan-ketentuan Undang-
89
Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak
sesuai lagi dengan Bab IV Konvensi tersebut.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara
yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup
pulau-pulau lain. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa kepulauan adalah suatu
gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau
tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain
demikian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya
merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau
yang secara historis dianggap demikian.
Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2
yang menyatakan bahwa:
(1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan;
(2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-
pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara
Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan
Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik
Indonesia.
Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai
dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan
selanjutnya terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan
90
perundang-undangan nasional Indonesia tidak jauh beda dengan Konvensi
Hukum Laut 1982 karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan
merupakan jiplakan dari Konvensi.
Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa Perairan Indonesia meliputi laut
teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Batasan
yang diberikan oleh ayat 4 Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai
indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak
pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Dalam ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perairan
Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam
garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya
dari pantai. Berdasarkan ayat 2 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut
selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 2
Konvensi Hukum Laut 1982, Pasal 4 menentukan bahwa di perairan
Indonesia tersebut, Indonesia mempunyai kedaulatan penuh yang meliputi
perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan
tanah di bawahnya termasuk sumber daya alam yang tekandung di dalamnya.
Yang dimaksud dengan sumber daya alam, khususnya sumber daya
ikan, yang langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan pemanfaatannya
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Meskipun
perumusan ketentuan mengenai kedaulatan dalam Undang-Undang No. 6
91
Tahun 1996 sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, namun secara umum
dapat dikatakan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan tidak
tercermin dalam ketentuan pasal-pasal dari undang-undang ini. Pengaturan
mengenai perikanan yang terkait dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996
mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 6
Tahun 1996, dan berlakunya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang
diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, maka salah satu
prioritas utama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dalam rangka
mengimplementasikan Konvensi tersebut adalah penetapan batas maritim
dengan negara-negara tetangga. Selain diamanatkan oleh Konvensi, Undang-
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga mengatur tentang
perlunya secara jelas menetapkan batas-batas wilayah perairan Indonesia dan
zona maritim lainnya, termasuk batas-batas yang berkaitan dengan negara-
negara tetangga.84
Ketentuan tersebut di atas terdapat dalam Pasal 9 yang
menyebutkan bahwa:
(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia
menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain
yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan
kepulauannya;
(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan dan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah
berlakunya hak dan kegiatan dimaksud, atas permintaan dari salah
84
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 55.
92
satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan pesetujuan
bilateral.
Ada pun persetujuan bilateral di atas adalah persetujuan mengenai
batas laut. Dalam hal batas laut ini, paling tidak ada 4 komponen, yaitu, 1)
Batas Teritorial, di mana Indonesia memiliki kedaulatan; 2) Batas
Yurisdiksional, artinya Indonesia tidak mempunyai perbatasan wilayah tetapi
Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu; 3) Batas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan 4) Batas Landas Kontinen.
Perlu dicatat bahwa Indonesia telah memiliki 15 Perjanjian Batas
Maritim yang mengatur berbagai zona yakni batas laut teritorial, batas landas
kontinen dan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan tujuh negara
tetangga Indonesia belum mempunyai batas dengan 3 negara yakni Filipina,
Palau, dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena Filipina baru
menyelesaikan survei titik dasar sebagai negara kepulauan pada akhir tahun
2002, sedangkan Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan
Palau, dan Timor Leste adalah negara baru yang lahir secara resmi pada tahun
2000. Dalam kaitan tiga negara ini, Indonesia tengah berunding dengan
Filipina, dan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Palau serta
menyepakati dimulainya perundingan batas maritim dengan Timor Leste
setelah perundingan semua segmen batas darat diselesaikan.85
Di samping itu,
masih ada segmen batas maritim yang belum diselesaikan dengan Malaysia,
dan Singapura misalnya di Selat Singapura dan perairan Tanjung Berakit.
85
Arif Havas Oegroseno, “ Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 312-313.
93
Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan
beberapa negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah
menimbulkan sengketa perbatasan dan pelbagai kerawanan serta masalah-
masalah keamanan, sehingga perlu segera ditetapkan. Masalah-masalah
tersebut akan diuraikan dalam pembahasan mengenai peraturan perundang-
undangan mengenai hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia.
Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut
pada dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang
wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak berdaulat Republik Indonesia,
memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian
hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim
ini juga mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau kecil
terluar Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan pulau-pulau kecil
terluar tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi
eksklusif, dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau
kecil terluar adalah pulau-pulau kecil terdepan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur
Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut
Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal
Lurus Kepulauan. Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini,
belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara-
negara tetangga. Indonesia sampai sekarang belum lagi mengumumkan dan
94
mengundangkan jalur tambahan ini, meskipun negara-negara tetangganya
seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Australia telah mengundangkannya.
Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan peraturan
perundang-undangan mengenai jalur tambahan ini dan merundingkan batas-
batasnya dengan negara-negara tetangga tersebut.
Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara
penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan
garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat
2 menyatakan bahwa apabila garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat
dalam ayat 1 tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau
garis pangkal lurus. Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa
sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai.
Pengaturan mengenai garis pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2
termuat dalam ayat 7, yang menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang
menjorok jauh dan menikung.
Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan
sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan
karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal
lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100
(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah
95
keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu
kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
Dalam perundingan batas maritim peran pulau-pulau terluar adalah
sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar
proyeksi klaim wilayah ke laut. Setelah penentuan titik-titik ini dilakukan,
maka sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan
karena berbagai aspek yang mempengaruhi pergerakan garis batas dalam
perundingan, yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih
ke kiri atau ke kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat
tergantung kepada hal-hal lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang
pantai, arah pantai, bentuk pantai, geologi dasar, lokasi sumber daya alam di
dasar laut, lokasi ikan dan lain sebagainya.86
Ayat 5 memuat syarat yang harus diperhatikan di dalam
menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Ada pun
syarat tersebut adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat
3 tidak boleh ditarik dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di
atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen
berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut tersebut terletak
seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut
teritorial dari pulau yang terdekat.
Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
86
Ibid., h. 313.
96
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.87
Pasal 2 ayat 1 Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 ini menyatakan bahwa Pemerintah menarik
garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2
ditetapkan bahwa penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan
dengan menggunakan: a) garis pangkal lurus kepulauan; b) garis pangkal
biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis penutup teluk; e) garis penutup muara
sungai, terusan dan kuala; dan f) garis penutup pada pelabuhan.
Dari pelbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan di atas dapat
dikemukan di sini bahwa, pertama, ketentuan mengenai garis pangkal lurus
kepulauan terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002.
Dalam Pasal 3 ayat 1 ditentukan bahwa garis pangkal lurus kepulauan
merupakan garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut
teritorial, di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan
Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan tersebut, menurut ayat 2 merupakan
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada
titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik
terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering
terluar yang lainnya yang berdampingan. Dalam ayat 6 ditegaskan bahwa
perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut
di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar
garis pangkal lurus kepulauan adalah laut teritorial.
Bertalian dengan syarat penarikan garis pangkal lurus kepulauan
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang No. 6
87
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
97
Tahun 1996, maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting
diutarakan di sini adalah ketentuan ayat 4 yang menetapkan tentang syarat
mengenai penarikan garis pangkal kepulauan tersebut di atas dilakukan
dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.
Berdasarkan ayat 5, penarikan garis pangkal lurus kepulauan
seperti tersurat dalam ayat 2 di atas dapat dilakukan dengan memanfaatkan
titik-titik terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di
atasnya terdapat mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada
di atas permukaan air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya
terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar
laut teritorial dari garis air rendah pulau terdekat.
Kedua, Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002
tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis
pantai suatu pulau terluar menunjukkan bentuk yang normal. Pengecualian
terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis
pangkal biasa tersebut adalah garis air rendah sepanjang pantai yang
ditetapkan berdasarkan Datum Hidrografis yang berlaku.
Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis
air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut
yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau
terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai
karang-karang di sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang
terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan
98
pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal biasa
tersebut adalah laut teritorial.
Ketiga, Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengatur
cara penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis
pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di
mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut,
menurut ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada
garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai
tersebut.
Berdasarkan ayat 3 garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur
lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah
lainnya. Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4,
adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah
yang menjorok paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah
lainnya tersebut.
Menurut ayat 5 perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal
lurus seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan
pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus
tersebut adalah laut teritorial.
Dalam konteks nasional, Indonesia masih perlu menetapkan
Perairan Pedalamannya di dalam Perairan Kepulauan melalui apa yang oleh
Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan sebagai closing lines. Sampai
sekarang, Indonesia belum lagi menetapkan Perairan Pedalaman tersebut.
Padahal Pasal 12 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002
99
menetapkan bahwa ketentuan mengenai penetapan Perairan Pedalaman
tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Indonesia sudah menetapkan 183 titik-titik pangkal sebagai basis menarik
garis-garis pangkal/garis-garis dasar bagi Perairan Kepulauannya dan
penetapan tersebut masih harus disampaikan ke Sekretariat PBB di New
York, sekaligus dengan batas Laut Teritorial 12 mil dari garis-garis pangkal
tersebut.
Sementara itu, cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal
kepulauan juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk,
Pasal 7 tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8
yang menetapkan garis penutup pelabuhan.
Dalam perkembangannya, Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pertimbangan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 adalah Keputusan
Mahkamah Internasional mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor
Timur telah menjadi negara tersendiri.
Kedua hal tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap
koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan dalam Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
100
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008
dinyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 2002 diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ayat 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Satu mil laut adalah 1.852 meter."
2. Di antara ayat 1 dan ayat 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat 1a
sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk
memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangan dalam
penetapan Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar untuk menarik
Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.
(1a) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan
oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang
survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang
membidangi Politik, hukum dan keamanan.
(2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar,
atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai,
terusan atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk
penetapan titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan, maka
diadakan perubahan.
(3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar,
pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut
101
terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, maka
diadakan penyesuaian.88
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan
Indonesia juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996.
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah menentukan alur-alur laut
termasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk
pelaksanaan lintas alur laut kepulauan tersebut dengan menentukan sumbu-
sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut yang diumumkan.89
Untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 ini telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan
Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas
Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.90
Perlu dicermati bahwa Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002
memuat ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan dihindari oleh kapal dan
pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur kepulauan melalui
alur laut kepulauan yang ditetapkan. Selanjutnya, harus diperhatikan juga
ketentuan mengenai penetapan alur laut kepulauan yang dapat digunakan
untuk hak lintas alur kepulauan sebagaimana termuat dalam Pasal 11.
Menurut Pasal 11 bahwa terdapat 3 (tiga) alur laut kepulauan yang dapat
dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan.
88
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 89
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 90
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan.
102
Pertama, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I sebagaimana
ditetapkan dalam ayat 1, yang garis sumbunya merupakan garis yang
menghubungkan titik-titik penghubung 1-1 sampai dengan 1-15, dapat
dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran
dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut
Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.
Kedua, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang ditetapkan
dalam ayat 3, yang garis sumbunya merupakan garis yang menghubungkan
titik-titik penghubung II-I sampai dengan II-8, dapat dipergunakan untuk
melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi
ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat Makassar, Laut Flores,
dan Selat Lombok.
Ketiga, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III A seperti
ditetapkan dalam ayat 4, yang garis sumbunya merupakan garis yang
menghubungkan titik-titik penghubung IIIA-1 sampai dengan IIIA-13, dapat
dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran
dari samudera lain ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.
Atas dasar uraian di atas, nampak bahwa secara internasional,
Indonesia telah berhasil menetapkan aksis (sumbu) dari tiga Alur Kepulauan
Indonesia melalui perairan Nusantara (perairan kepulauan) dan laut
teritorialnya yang bersangkutan, setelah mengadakan konsultasi-konsultasi
yang intensif dengan negara-negara maritim dan Organisasi Maritim
103
Internasional di London. Indonesia belum lagi menentukan sikap mengenai
penetapan ALKI-ALKI lainnya melalui perairan Nusantara Indonesia yang
dipakai buat pelayaran internasional, khususnya dalam rute timur-barat
melalui Laut Jawa dan Laut Flores. Pelbagai pelanggaran perlu dikaitkan
dengan permasalahan yang diutarakan sebelumnya, karena ketiadaan
ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan hak dan kewajiban
negara kepulauan terhadap kegiatan pesawat udara dan kapal asing di alur-
alur laut kepulauan.91
Selain itu, Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996
menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara
tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan. Ketentuan ayat 2 (a) mendefinisikan lintas sebagai navigasi
melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan
melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau berlabuh di
tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman. Pengertian
lintas menurut ayat 2 (b) meliputi pula navigasi melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan berlalu ke atau dari perairan
pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas
pelabuhan tersebut. Akan tetapi ayat 3 mensyaratkan bahwa lintas damai
tersebut harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup
berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi
yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami
91
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 67.
104
kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang
berada dalam bahaya atau kesulitan.
Nampak bahwa ketentuan-ketentuan di atas merupakan penulisan
kembali Pasal 18 Konvensi Hukum Laut 1982 dengan memasukkan pula
perairan kepulauan Indonesia sebagai laut yang dapat dilayari secara damai
oleh kapal-kapal asing. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-
Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni
2002, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36
Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan
Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.92
Menurut Pasal 1 ayat 2 dan 3
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 bahwa pengertian hak lintas damai
(innocent passage) bagi kapal-kapal asing melalui laut teritorial dan perairan
kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian lintas dan lintas damai
dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Sehubungan dengan selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, perlu dicatat ketentuan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun
1996. Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 memuat ketentuan
bahwa semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran
dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus,
langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara
satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan
bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia lainnya.
92
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
105
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa belum ditetapkannya
batas laut teritorial Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dan telah
menimbulkan masalah-masalah keamanan di laut teritorial Indonesia. Untuk
mengatasi pelbagai kasus di atas, maka perlu segera ditetapkan batas maritim
Indonesia di bagian-bagian laut tertentu dari laut teritorialnya dengan
Malaysia dan Singapura. Penyelesaian masalah-masalah keamanan ini harus
benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, sebab kasus di atas terjadi pula
di ALKI. Sebagai negara kepulauan dan negara tepi Selat Malaka, Indonesia
harus menjaga keamanan dan keselamatan di perairan nasional dan di selat
tersebut.
D. Pengaturan Indonesia tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar
Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki 17.504 pulau,93
membentang
dari Sabang hingga Merauke serta dari Miangas hingga Dana Rote dengan 111
Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT),94
diantaranya terdapat 12 (dua belas) pulau
kecil terluar yang memiliki nilai sangat strategis karena batas negara ditentukan
dari titik terluar pulau ini. Pulau-pulau ini sangat rawan baik ditinjau dari sisi
keamanan maupun keberadaan fisik geografisnya dikarenakan hilang karena
adanya ancaman baik secara politis maupun secara fisik. 95
93
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 51. 94
Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar. 95
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 228.
106
Di sisi lain didalam pengelolaan PPKT, pemerintah telah berupaya juga
untuk mengatur dan menetapkan dasar-dasar peraturan perundangan dan beberapa
instrumen diantaranya adalah: Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia; Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dan
Pulau-Pulau Kecil; Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara;
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia; Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2010
tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar; Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; dan
Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil
Terluar.
Pengelolaan PPKT bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah, keamanan
dan pertahanan negara, pemanfaatan sumberdaya alam, dan pemberdayaan
masyarakat setempat dengan prinsip wawasan nusantara, berkelanjutan, terpadu
dan berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar meliputi 5 (lima)
bidang, yaitu: sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan
perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan serta ekonomi,
sosial, dan budaya.96
Pemerintah telah membentuk Tim Kerja Peraturan Presisden
78 Tahun 2005 untuk pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Perpres 78 Tahun 2005 merupakan salah satu instrumen peraturan
perundang-undangan pemerintah untuk mengelola keberadaan pulau-pulau kecil
96
Ibid., h. 229.
107
terluar. Perpres ini mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi dengan tugas
mengkoordinasika dan merekomendasikan penetapan rencana dan pelaksanaan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar serta melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil. Sesuai dengan Perpres ini,
pengorganisasian pelaksanaan pengelolaan PPKT dan menghindari tumpang
tindih kewenangan ditetapkan 2 (dua) Tim Kerja. Tim Kerja I membidangi
sumberdaya alam, lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, ekonomi,
sosial, dan budaya; sedangkan Tim Kerja II membidangi wilayah, pertahanan, dan
keamanan; serta Sekretariat Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Di dalam
penyelenggaraan sehari-hari Tim Koordinasi dibantu oleh Tim Kerja yang
dikoordinasikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.97
Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis secara posisi
maupun potensi ekonomi. Untuk itu pentingnya sistem informasi dan peta spasial
dari pulau-pulau kecil secara detail. Terkait dengan hal di atas, UU RI No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tentunya
sudah mengakomodasi konsep ekosistem. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antarpemerintah dan
pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 98
97
Pasal 6-8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. 98
Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Opcit., h. 231.
108
PP No. 62 Tahun 2010 mengamanatkan juga prinsip dalam Pemanfaatan
Pulau-Pulau Kecil Terluar bertujuan untuk pertahanan dan keamanan;
kesejahteraan masyarakat; dan/atau pelestarian lingkungan.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pertahanan dan keamanan
dalam bentuk: akselerasi proses penyelesaian batas wilayah negara dilaut;
penempatan pos pertahanan, pos keamanan, dan/atau pos lain; penempatan aparat
Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
penempatan bangunan simbol negara dan/atau tanda batas negara; penempatan
sarana bantu navigasi pelayaran; dan/ataupengembangan potensi maritim lainnya.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk kesejahteraan masyarakat
dalam bentuk: usaha kelautan dan perikanan; ekowisata bahari; pendidikan dan
penelitian; pertanian subsisten; penempatan sarana dan prasarana sosial ekonomi;
dan/atau industri jasa maritim.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar untuk pelestarian lingkungan
dilaksanakan dengan penetapan PPKT sebagai kawasan yang dilindungi.
Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau
Kecil Terluar juga menetapkan 111 (seratus sebelas) Pulau sebagai Pulau-Pulau
Kecil Terluar. Pulau-Pulau Kecil Terluar sebagaimana dimaksud disusun dalam
daftar yang terdiri dari nama pulau, nama lain pulau, perairan, koordinat titik
terluar, titik dasar dan petunjuk jenis garis pangkal, dan provinsi.
Indonesia sebagai negara kepulauan kondisi ini mengindikasikan bahwa
Indonesia adalah bangsa bahari. Sebagai bangsa baharí, masyarakat seharusnya
memiliki pemahaman yang memadai terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau
109
kecil yang merupakan bagian penting dari Negara kepulauan. Dalam Peraturan
Presiden No. 78 Tahun 2005 yang kini diperkuat Undang-Undang No. 27 Tahun
2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang strategis
secara posisi maupun fungsi ekonomi. Maka pulau-pulau terluar yang termasuk
dalam wilayah Indonesia sebenarnya adalah titik krusial dalam keutuhan wilayah
NKRI, sebab pulau-pulau terluar telah menjadi titik-titik pangkal dalam
menentukan sejauh mana luas laut teritorial. Kehilangan kedaulatan atas satu saja
pulau terluar bagi Indonesia artinya juga mengurangi luas laut teritorial kita.